1 BAB I PENDAHULUAN Peningkatan harga diri penderita HIV/AIDS dapat dilakukan dengan memberi pelatihan. Oleh karenannya, seorang penderita HIV/AIDS atau ODHA sangat perlu diberi terapi psikis dalam bentuk pelatihan yang akan membuat mereka dapat menerima keberadaan diri mereka termasuk dengan status mereka sebagai seorang penderita HIV/AIDS. Bagi individu yang positif terinfeksi HIV, menjalani kehidupan akan terasa sulit, karena dari segi fisik individu tersebut akan mengalami perubahan yang berkaitan dengan perkembangan penyakitnya, tekanan emosional dan stres psikologis dikucilkan keluarga dan teman karena takut tertular, serta adanya stigma sosial dan diskriminasi di masyarakat.Hal ini berdampak pada respon sosial penderita, sebagai contoh adanya stigma sosial yang akan menyebabkan gangguan perilaku pada orang lain, termasuk menghindari kontak fisik dan sosial. Dengan demikian perlu adanya pelatihan yang bertujuan dapat meningkatkan harga diri bagi penderita HIV/AIDS sehingga penderita siap untuk kembali ke masyarakat. Dalam bab ini, akan diuraikan mengenai latar belakang penulis ingin melakukan penelitian mengenai peningkatan harga diri penderita HIV/AIDS di Kota Salatiga dengan memberi pelatihan penerimaan diri, manajemen stress dan motivasi. 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tantangan sosial yang paling rumit yang sedang dihadapi oleh masyarakat kontemporer saat ini dalam hubungannya dengan perilaku seksual dan stigma sosial adalah HIV dan AIDS. Secara 2 sederhana HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). HIV menyerang sistem kekebalan tubuh dan merusak bagian dari sistem itu, yaitu jenis sel darah putih yang disebut T lymphocyte atau T cell atau dalam bahasa Indonesia, sel limfosit. Suzana (2007) mengemukakan bahwa HIV adalah virus yang dapat menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan segala jenis penyakit yang menyerang tubuh penderitanya. Nisa (2007) menjelaskan, kasus HIV/AIDS pertama kali di dunia dilaporkan tahun 1981 pada sekelompok kaum homoseksual di California dan New York. Dalam kasus tersebut ditemukan adanya sarcoma kaposi, pneumonia, pneucystis dan beberapa gejala klinis yang tidak biasa. Kemudian gejala penyakit tersebut semakin jelas diketahui sebagai akibat adanya kegagalan sistim imun, karena itu disebut AIDS. HIV tidaklah sama dengan AIDS. HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, sedangkan AIDS adalah kumpulan penyakit yang timbul akibat virus HIV. Kumpulan penyakit ini disebut infeksi oportunitis atau penyakit-penyakit yang menyertai akibat virus HIV. Sementara itu, Nisa (2007) menambahkan, di Indonesia kasus AIDS pertama kali dilaporkan secara resmi pada tahun 1987, yang menimpa seorang warga negara asing di Bali. Sampai akhir Desember 2005, tercatat ada 5.321 kasus AIDS dan 4.244 kasus HIV yang telah dilaporkan sebanyak 16% adalah perempuan dan sebagian besar adalah laki-laki (84%).Kelompok umur terbanyak penderita HIV/AIDS merupakan kelompok umur produktif, yaitu kelompok umur 20-39 tahun sebanyak 54,07% dan kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 25,86%. 3 Di Indonesia, kasus HIV dan AIDS meroket begitu cepat, bahkan diestimasikan pada tahun 2014 ini akan menjadi 501.400 kasus dimana HIV dan AIDS sudah terdapat di 32 propinsi dan 300 kabupaten dan penderitanya ditemukan pada usia produktif, yaitu 15-29 tahun. Tingginya peningkatan kasus HIV/AIDS sebagian besar diakibatkan penularan lewat hubungan seksual, selain suntikan, transfusi dan sebagian kecil tertular karena kehamilan. Data KPA Nasional menunjukkan, 3,3 juta laki-laki mengunjungi pekerja seks. Ada 381.000 laki-laki pengguna narkoba suntik, dan 809.000 melakukan hubungan seksual sesama jenis. Sri Kusyuniati (2010), direktur world population foundation perwakilan Indonesia mengakui, tren kasus HIV/AIDS di Indonesia akan terus meningkat. Masyarakat yang berisiko tinggi terhadap HIV, seperti pekerja seks, gay, waria, atau pengguna jarum suntik, sebenarnya mengetahui perbuatannya akan berdampak terhadap potensi penularan HIV/AIDS. Oleh karena itu, dia menegaskan perlu penanganan kasus HIV/AIDS secara nasional yang melibatkan semua pihak, termasuk pemuka agama. Menurut data Dirjen P2MPLP Depkes RI, tercatat sejak April 1987 hingga Maret 2004 terdapat 4.159 kasus HIV/ AIDS dengan 2.746 menderita HIV, 1.413 menderita AIDS dan 493 meninggal dunia. Diperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV/ AIDS sekitar 120.000 orang dan infeksi baru sekitar 80.000 orang. Angka-angka tersebut diatas diperoleh dari pemeriksaan darah anonymunlinked yang artinya darah yang diperiksa tidak diketahui orangnya. Karena masa inkubasi HIV/ AIDS sekitar 5-10 tahun dan masih adanya penolakan dari penderita yang terinfeksi. Menurut data dari dinas kesehatan Provinsi Jawa Tengah bahwa saat ini kota Salatiga tercatat sebagai peringkat 5 penderita HIV/AIDS 4 dengan jumlah komulatif penderita HIV/AIDS sebanyak 153 kasus, dengan rincian infeksi HIV 64 kasus, dan AIDS 89 kasus dan 48 orang diantaranya telah meninggal dunia. Prosentase penemuan penderita per kecamatan di kota Salatiga adalah sebagai berikut: Kecamatan Sidorejo menempati posisi pertama dengan 40 persen, kecamatan Tingkir di posisi kedua dengan 22 persen, Kecamatan Argomulyo dan kecamatan Sidomukti menempati posisi ketiga dan kempat masing-masing pada angkat 19 persen. Kenyataan ini perlu disikapi secara positif, mengingat bahwa tertular HIV dapat menyebabkan berbagai masalah yang berhubungan dengan harga diri, secara sosial mereka terisolir dan mengalami kesejahteraan psikologis yang buruk (Asante, 2012). Dampak masalah ini bagi orang yang terinfeksi HIV atau yang dikenal dengan sebutan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah mereka akan mengalami kondisi terpuruk. Mereka merasa tidak berharga sehingga tidak layak lagi untuk hidup, atau dengan kata lain ODHA akan mengalami harga diri yang rendah yang tentunya akan menghambat aktivitas dari ODHA itu sendiri. Tingginya peningkatan kasus HIV/AIDS sebagian besar diakibatkan penularan lewat hubungan seksual, selain suntikan, transfusi dan sebagian kecil tertular karena kehamilan dan melalui pajanan saat bekerja. Pajanan ada tiga macam, yaitu pajanan di tempat kerja yang biasanya menimpa petugas perawat kesehatan. Peristiwa ini biasanya berupa kecelakaan akibat tertusuk tertusuk jarum suntik bekas pakai secara tidak sengaja pada petugas. Kedua, pajanan akibat hubungan seks beresiko, misalnya bila kondom pecah atau lepas saat berhubungan seks dengan pasangan HIV negatif. Ketiga pajanan akibat pemerkosaan atau hubungan seks terjadi secara paksa, yang disertai dengan kekerasan, 5 resikonya lebih tinggi. Soraya (2006) menambahkan apabila seseorang telah didiagnosis terinfeksi HIV biasanya mereka akan menghadapi berbagai masalah diantaranya perasaan malu, tidak diterima dalam keluarga atau masyarakat, merasa dikucilkan, tidak memiliki masa depan,akan menjadi beban orang lain, sulit mendapat pekerjaan, tidak punya teman,khawatir tidak ada obat yang dapat menyembuhkan dari virus itu, merasa tidak berguna hilang semangat,dan takut akan meninggal. Maka dari itu, menurut Soraya menata diri adalah hal yang sangat diperlukan bagi penderita HIV/AIDS. Begitu juga dengan kota Salatiga pada saat ini dengan adanya ketetapan World Healt Organization (WHO) bahwa setiap ditemukan satu kasus penderita HIV/AIDS harus dikalikan seratus karena permasalah HIV/AIDS ini adalah penomena gunung es ini berarti di kota Salatiga sudah terdapat 153.000 penderita HIV/AIDS, kota Salatiga yang merupakan kota kecil yang terdiri dari empat kecamatan dalam hal ini penyebaran virus HIV/AIDS sudah sama dengan provinsi Papua. Hal inilah yang merupakan masalah kita bersama, dimana setiap warga negara harus mengambil peran aktif dalam rangka menekan angka penyebaran HIV/AIDS ini. Program penangganan seharusnya tidak hanya dilakukan dalam usaha pencegahan atau preventive saja, namun juga harus dipikirkan program penangganan bagi mereka yang telah terinfeksi dengan program curative atau rehabilitasi. Penderita HIV/AIDS akan mengalami kondisi terpuruk saat mereka diberitahukan tentang status terinfeksinya yang mengakibatkan mereka merasa tidak layak dan tidak berharga bahkan tidak sedikit dari mereka yang ingin mengakhiri hidup mereka saat tahu status terinfeksi ini. Pemahaman masyarakat tentang HIV/AIDS ini sendiri 6 juga sangat berperan dalam proses penerimaan seseorang yang terinfeksi terhadap keadaannya. Banyak dari mereka yang mendapat stigma dan diskriminasi dari masyarakat bahkan dari keluarga sendiri, saat mereka diketahui terjangkit virus HIV atau terinfeksi. Selama ini terapi yang didapat oleh seseorang yang terinfeksi HIV/AIDS adalah terapi medis dimana seseorang yang telah terinfeksi akan mengkonsumsi obat ARV (Anti Retro Viral) satu-satunya obat yang di rekomendasi oleh WHO untuk dikonsumsi selama hidup mereka. ARV bukanlah obat untuk menyembuhkan penyakit AIDS karena sampai saat ini belum ditemukan obat dari penyakit ini, ARV hanya berfungsi untuk mempertahankan imun tubuh bagi penderita HIV/AIDS. Indikasi sehat bagi penderita HIV/AIDS adalah ditentukan dari jumlah cluster of diferentiation 4 atau yang lebih dikenal dengan CD4 yaitu sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limposit. CD4 pada orang yang sistem kekebalan yang menurun menjadi sangat penting,karena kekurang sel CD4 dalam diri manusia menunjukkan kekurangan sel darah putih atau limposit yang seharusnya berperan dalam memerangin infeksi yang masuk kedalam tubuh manusia. Pada orang yang sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan bagi orang dengan sistem kekebalan terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun bahkan pada beberapa kasus bisa sampai diangka nol. Peningkatan angka CD4 bukan hanya ditentukan oleh kesehatan medis saja tapi juga oleh kesehatan psikis. Masalah-masalah psikologis ternyata adalah hal yang sangat berpengaruh dalam peningkatan CD4 bagi seseorang yang terinfeksi HIV/AIDS karena apabila seseorang 7 yang terinfeksi tidak memiliki manajemen diri yang baik maka akan mudah sekali untuk mengalami stres bahkan depresi. Harga diri yang rendah bagi penderita HIV/AIDS perlu diatasi karena apabila penderita HIV/AIDS memiliki harga diri yang rendah akan berefek pada tidak mampunya penderita menerima keberadaan dirinya, merasa tertolak di masyarakat dan lingkungan dan ini akan membuat penderita HIV/AIDS bisa mengambil tindakan-tindakan yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang-orang disekitarnya.Tindakan yang merugikan ini misalnya,tidak mau bersosialisasi dengan masyarakat dan lingkungan, mengakhiri kehidupannya bahkan menularkan virus yang ada pada dirinya kepada orang lain. Karena itu perlu diperhatikan faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi harga diri penderita dan menyebabkan harga diri penderita menjadi rendah.Penerimaan diri, manajemen stres dan motivasi adalah faktor yang sangat mempengaruhi harga diri seorang penderita HIV/AIDS.Untuk mengatasi bagaimana penderita HIV/AIDS dapat meningkatkan harga diri maka sangat perlu adanya suatu pelatihan yang bertujuan membuat penderita bisa menerima keberadaan dirinya, mengelolah stres dengan baik dan memotivasi diri untuk menjadi lebih dan maju, sehingga akhirnya diharapkan penderita ini bisa kembali hidup normal di masyarakat. Belajar dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh UNDP (united Nation Development Program ) bekerja sama dengan pemerintah Negara India dimana pelatihan ini bertujuan meningkatkan kepribadian dan harga diri bagi penderita HIV/AIDS di Negara India karena negara India adalah penyumbang populasi terbesar HIV/AIDS di Dunia dengan menduduki peringkat ke-2 penderita HIV/AIDS Dunia.Pelatihan kepada 8 penderita HIV/AIDS dengan menjadikan aspek-aspek psikologis sebagai materi pelatihan diantaranya: manajemen konflik, pengembangan diri, motivasi, manajemen waktu, pengambilan keputusan, komunikasi, kepemimpinan, manajemen stres, penerimaan diri, hubungan antar pribadi.Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa aspek-aspek ini sangat mempengaruhi harga diri bagi penderita HIV/AIDS. Dalam penelitian ini pelitian hanya mengambil tiga aspek saja sebagai aspek yang dinilai sebagai faktor yang mempengaruhi harga diri yaitu penerimaan diri, manajemen stres dan motivasi. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dalam penelitian ini rumusan masalahnya adalah: Apakah pelatihan penerimaan diri, manajemen stress dan motivasi dapat meningkatkan harga diri (self esteem) penderita HIV/AIDS di kota Salatiga. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh pelatihan penerimaan diri, manajemen stres dan motivasi terhadap peningkatan harga diri bagi penderita HIV/AIDS di kota Salatiga. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1. Manfaat Teoritis dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh pelatihan penerimaan diri, manajemen stres dan motivasi terhadap peningkatan harga diri bagi penderita HIV/AIDS (ODHA) yang ada di kota Salatiga. 9 2. Manfaat Praktis dari penelitian ini: Pemerintah Agar bisa dijadikan masukan dan informasi dalam menentukan program penanganan bagi ODHA lewat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Salatiga. Bagi penderita HIV/AIDS (ODHA) Sebagai evaluasi untuk melihat bagaimana harga diri mereka saat ini dan bagaimana mereka mampu menerima keberadaan mereka saat ini. Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Sebagai masukan dan dijadikan pertimbangan secara kontekstual dan konseptual operasional dalam merumuskan pola pengembangan organisasi atau komunitas yang sehat dan membantu para penderita HIV/AIDS. 3. Untuk penelitian-penelitian selanjutnya Diharapkan hasil dalam penelitian ini dapat memberi sumbangan untuk penelitian lanjutan yang sejenis. 1.5 Sistematika Penulisan Untuk memperoleh pembahasan yang sistematis, penulis menulis tulisan ini dalam beberapa bab, antara lain: Bab I Dalam bab ini penulis menguraikan pendahuluan yang di dalamnya membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II 10 Menguraikan tentang tinjauan pustaka yang terdiri dari pengertian masing-masing variabel, teori masing-masing variabel, aspek-aspek, faktor pengaruh, hasil-hasil penelitian sebelumnya, model penelitian, serta hipotesis penelitian. Bab III, Menguraikan tentang variabel penelitian, definisi operasional, metodologi pengumpulan data, validitas dan rehabilitas alat ukur, subjek penelitian dan subjek penelitian, serta teknik analisis data. Bab IV, Menguraikan tentang diskripsi, tempat penelitian, karakteristik, responden, hasil uji validitas dan reliabilitas alat ukur, hasil pengumpulan variabel, hasil uji statistik, serta diskusi. Bab V Menguraikan tentang kesimpulan dan saran berdasarkan hasil penelitian.