analisis daya dukung lingkungan perairan untuk budidaya laut

advertisement
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN PERAIRAN UNTUK
BUDIDAYA LAUT SISTEM KERAMBA JARING APUNG
DI TELUK AMBON DALAM
Lutfi Hardian Murtiono, Evri Noerbaeti, Hamida Pattah
Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon
Jl. Leo Wattimena, Waiheru, Ambon, 97233
Email : [email protected]
ABSTRAK
Daya dukung produksi (production carrying capacity) merupakan salah satu pendekatan
dalam perhitungan daya dukung untuk kegiatan akuakultur yang mempertimbangkan
produksi maksimum yang mampu didukung oleh suatu lingkungan perairan. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis daya dukung lingkungan perairan melalui pendekatan
model beban limbah N dalam pengembangan budidaya ikan kerapu sistem keramba
jaring apung di Teluk Ambon Dalam. Beban limbah budidaya (internal loading) dan
aktivitas antropogenik (external loading) menjadi komponen yang dipertimbangkan
dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan beban limbah kegiatan budidaya
menghasilkan 237,1 kg N/tahun dan 44,1 kg P/tahun. Aktivitas antropogenik di pesisir
teluk menyumbangkan 178.964,05 kg N/tahun dan 52.276,91 kg P/tahun. Berdasarkan
pendekatan beban limbah tersebut, maka jumlah unit keramba yang dapat ditampung
adalah 24 petak/ha atau 6 unit keramba/ha dengan produksi optimal adalah 690,97 ton
untuk kerapu macan dan 521,40 ton untuk kerapu bebek.
Kata kunci : daya dukung lingkungan, keramba jaring apung, budidaya laut, beban
limbah.
ABSTRACT
Production carrying capacity is an approach in the calculation of the carrying capacity
for aquaculture activities that take into account the maximum production that is able to
be supported by an aquatic environment. This study aimed to analyze the carrying
capacity of the aquatic environment through N model waste load approach in the
development of grouper aquaculture system of floating cages in the Inner Bay of
Ambon. Aquaculture waste load as internal loading and anthropogenic activities as
external loading into components that are considered in this study. The results showed
aquaculture activities generate waste load 237,1 kg N per year and 44,1 kg P per year.
Anthropogenic activities in the coastal bays donated 178.964,05 kg N per year and
52.276,91 kg P per year. Based on approach to the waste load, the number of units
cages that can be accommodated is 24 plots/ha or 6 units of cages/ha with optimal
production was 690,97 tons for tiger grouper and 521,40 tons for humpback grouper.
Keywords: production carrying capacity, floating net cages, mariculture, waste load.
PENDAHULUAN
Perkembangan kegiatan budidaya laut telah tumbuh dengan sangat pesat di
beberapa negara, salah satunya Indonesia. Budidaya laut telah menjadi sebuah industri
yang penting di dunia seiring dengan tingginya permintaan atas produk perikanan laut
17
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
yang disebabkan peningkatan populasi manusia (Holmer et al., 2002). Dukungan
teknologi pada skala perbenihan dan pembesaran, tersedianya akuainput secara
komersial, pangsa pasar yang luas, harga jual yang cukup tinggi jika dibandingkan
komoditas perikanan lainnya, ketersediaan lahan yang potensial, serta kebijakan
pemerintah yang meletakkan sub sektor perikanan budidaya menjadi prioritas dalam
pembangunan perikanan ke depan merupakan faktor pendorong berkembangnya
budidaya laut di Indonesia (Rachmansyah, 2004).
Maluku sebagai sebuah provinsi kepulauan memiliki potensi perikanan yang
besar. Penetapan Maluku sebagai daerah Lumbung Ikan Nasional akan membuat
peningkatan produksi perikanan di wilayah ini meningkat. Sektor yang diharapkan
dalam mendorong peningkatan volume produksi perikanan yaitu dari perikanan tangkap
dan perikanan budidaya, termasuk budidaya laut. Hal ini karena sebagian besar
wilayahnya yang berupa lautan dan memiliki banyak lokasi yang potensial untuk
kegiatan budidaya laut selain kualitas perairannya yang masih bagus. Berdasarkan data
statistik perikanan, Maluku merupakan 10 besar provinsi produsen perikanan budidaya
dengan jumlah produksi mencapai 592.053 ton. Bahkan untuk produksi ikan kerapu
nasional, Maluku berkontribusi sebanyak 1.023 ton (11,99%) dan menjadi produsen
kerapu ke 4 di Indonesia (KKP, 2013).
Salah satu wilayah yang berpotensi dikembangkan sebagai lokasi budidaya laut
adalah perairan Teluk Ambon Dalam yang terletak di Kota Ambon. Teluk Ambon
merupakan bagian penting dari Pulau Ambon yang secara geomorfologi terbagi atas dua
bagian yaitu Teluk Ambon Luar (outer bay) dan Teluk Ambon Bagian Dalam (inner
bay) dimana kedua teluk ini dipisahkan ambang Galala – Rumahtiga dengan kedalaman
ambang antara 9 – 13 meter (Nontji, 1996). Perairan Teluk Ambon Bagian Dalam
merupakan bagian dari perairan Teluk Ambon yang bersifat estuari dan tergolong semi
tertutup (Tubalawony et al., 2008). Melihat karakteristiknya yang bersifat estuari,
menunjukkan Teluk Ambon Dalam mempunyai fungsi secara ekologis, yaitu sebagai
sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut, sebagai
penyedia habitat bagi sejumlah hewan yang bergantung pada estuaria sebagai tempat
berlindung dan tempat mencari makan, dan sebagai tempat berproduksi dan tumbuh
besar ikan dan organisme akuatik lainnya (Bengen, 2001).
Teluk Ambon Bagian Dalam terletak pada 128°11’29’’ BT sampai dengan
128°19’25” BT dan 3°37’40” LS sampai 3°39’50” LS (Hermanto, 1987). Teluk Ambon
Bagian Dalam secara geomorfologi juga menjadi kawasan yang sesuai bagi hutan
mangrove untuk tumbuh dan berkembang dengan vegetasinya banyak ditemui di pesisir
Teluk Ambon Bagian Dalam banyak ditemui di wilayah Lateri, Negeri Lama, Waiheru,
Poka, Halong dan Galala (Suyadi, 2009). Pemanfaatan Teluk Ambon Bagian Dalam
telah banyak digunakan masyarakat sebagai daerah perikanan tangkap dan budidaya,
jalur transportasi laut, daerah konservasi dan tempat rekreasi dan olah raga (Selano et
al., 2009). Selain itu di bidang perikanan budidaya, Teluk Ambon Dalam digunakan
sebagai lokasi budidaya ikan kerapu dan baronang dengan sistem keramba jaring apung
(KJA) (Miller, 1999; Nirahua, 2009). Berdasarkan kondisi tersebut, maka Pemerintah
Kota Ambon telah menetapkan Teluk Ambon Dalam sebagai kawasan budidaya laut
sistem keramba jaring apung dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Ambon tahun
2011-2031 (Bappekot Ambon, 2011).
18
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
Namun patut disadari bahwa kegiatan budidaya berpotensi menimbulkan
cemaran pada lingkungan perairan. Dampak terhadap lingkungan yang ditumbulkan
oleh kegiatan budidaya dengan sistem keramba jaring apung yaitu peningkatan
kandungan nutrient di perairan yang berasal dari sisa pakan yang tidak termakan,
ekskresi dan feses ikan, serta kemungkinan adanya penurunan terhadap kualitas
perairan, lingkungan dan kondisi kesehatan ekosistem (Mente et al., 2006). Hanya
sekitar 25 – 30% kadar nitrogen dan fosfor dalam pakan yang termanfaatkan oleh ikan
dan sisanya akan terbuang ke perairan (McDonald et al., 1996). Masukan bahan organik
yang berasal dari sisa pakan budidaya dan feses yang membusuk akan terakumulasi di
dasar perairan dan mempengaruhi kualitas lingkungan perairan di sekitarnya
(Beveridge, 1984). Jumlah pakan yang tidak dikonsumsi dan hasil ekskresi dicirikan
dengan adanya peningkatan konsentrasi TSS dan BOD serta kandungan N dan P, namun
secara potensial penyebaran dampak buangan limbah yang kaya nutrient dan bahan
organik dapat mempengaruhi kualitas perairan pesisir (Barg, 1992).
Pesatnya pertumbuhan peduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan di
pesisir menyebabkan tekanan ekologis yang tinggi terhadap ekosistem dan sumberdaya
pesisir sehingga mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem, baik secara
langsung (misalnya kegiatan konversi lahan) dan tidak langsung (misalnya adanya
pencemaran limbah dari kegiatan antropogenik) (Bengen, 2001). Sumber cemaran dari
kegiatan di pesisir Teluk Ambon Dalam umumnya didominasi oleh adanya aktivitas
pemukiman dan pertanian yang menghasilkan limbah organik yang mengandung
nitrogen dan fosfor dan berpotensi menimbulkan eutrofikasi di perairan (Selano et al.,
2009). Adanya peningkatan kadar N dan P akibat kegiatan antopogenik menyebabkan
terjadinya eutrofikasi di perairan pesisir sehingga menyebabkan dampak sosioekonomi
(Smith et al., 1999).
Adanya potensi cemaran yang berasal dari kegiatan budidaya (internal loading)
dan kegiatan di pesisir teluk (eksternal loading) menjadi perhatian tersendiri kaitannya
dengan pengembangan budidaya laut. Analisis terhadap daya dukung lingkungan
perairan diperlukan dalam pengelolaan budidaya laut di perairan Teluk Ambon Dalam.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis daya dukung lingkungan perairan melalui
pendekatan model beban limbah N untuk pengembangan budidaya ikan kerapu sistem
keramba jaring apung di Teluk Ambon Dalam.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di pesisir Teluk Ambon bagian Dalam (TAD), Kota
Ambon, Provinsi Maluku. Secara geografis Teluk Ambon Dalam terletak pada terletak
pada 128°11’29’’ BT sampai dengan 128°19’25” BT dan 3°37’40” LS sampai 3°39’50”
LS. Lokasi pengambilan sampel terdiri atas sembilan stasiun yang ditentukan secara
purposive dengan mempertimbangkan fisiografi lokasi, interpretasi peta batimetri,
kondisi eksisting budidaya agar sedapat mungkin bisa mewakili atau menggambarkan
keadaan perairan tersebut. Waktu pelaksanaan penelitian adalah bulan April – Juni
2015.
19
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
Gambar 1. Lokasi penelitian
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang digunakan untuk
menganalisis tujuan. Pengumpulan terhadap data primer dengan pengukuran dan
pengamatan langsung di lapangan, dalam hal ini berupa parameter-parameter fisika dan
kimia perairan Teluk Ambon Dalam. Sedangkan data sekunder merupakan data
pendukung yang diperoleh dari penelitian sebelumnya.
Tabel 1. Koordinat lokasi pengambilan sampel kualitas air
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Lokasi
Galala
Poka
Batu Koneng
Halong
Waiheru
Hunuth
Lateri
Nania
Passo
Sandi Lokasi
ST-01
ST-02
ST-03
ST-04
ST-05
ST-06
ST-07
ST-08
ST-09
Koordinat
LS
03°39’30,10”
03°39’13,20”
03°38’30,20”
03°39’09,41”
03°38’17,65”
03°38’12,20”
03°38’23,35”
03°38’09,93”
03°37’56,61”
BT
128°12’26,90”
128°12’01,60”
128°11’57,60”
128°13’00,94”
128°12’34,45”
128°12’55,34”
128°14’24,31”
128°13’39,17”
128°14’19,96”
Pendugaan Kuantitatif Limbah Kegiatan Budidaya (internal loading)
Limbah kegiatan budidaya yang dijadikan dasar perhitungan adalah limbah
budidaya ikan kerapu yang dipelihara di keramba jaring apung. Hal ini didasarkan pada
waktu pemeliharaan hingga waktu pemanenan yang lebih lama yaitu sekitar 6 – 10
bulan serta limbah yang dihasilkan berupa feses lebih besar dibandingkan dengan
limbah dari komoditas budidaya lain.
Dalam menentukan loading total bahan organik dari kegiatan budidaya ikan di
keramba jaring apung, mengacu pada formula Iwama (1991) sebagai berikut :
𝑂 = π‘‡π‘ˆ + π‘‡πΉπ‘Š
(1)
O merupakan total output partikel bahan organik (kg), TU adalah total food uncaptured
atau jumlah pakan yang tidak termakan (kg), sedangkan TFW
adalah total fecal
waste atau total limbah feses dan ekskresi (kg).
20
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
Pendugaan kuantifikasi limbah total N dan P didasarkan atas data kandungan N
dan P dalam pakan ikan rucah dan dalam karkas ikan kerapu (Barg, 1992; Beveridge,
1984).
Pendugaan Kuantitatif Limbah Kegiatan Antropogenik (external loading)
Pendugaan beban limbah N dan P yang berasal dari kegiatan di luar budidaya
laut didasarkan atas data sekunder yang dihitung dengan mengacu pada metode LOICZ
(Land Ocean Interaction in the Coastal Zone) yang diaplikasikan oleh Diego-McGlone
(2006). Beberapa aktivitas antropogenik di pesisir Teluk Ambon Dalam yang dapat
diidentifikasi berpotensi memberikan kontribusi terhadap limbah organik antara lain
pemukiman penduduk, peternakan, akuakultur dan pertanian.
Beban limbah yang berasal dari kegiatan antropogenik sekitar teluk dihitung
dengan mengalikan level aktivitas yang diperoleh dari data sekunder dengan koefisien
beban limbah. Pendugaan total nitrogen (TN) dan total fosfat (TP) di dalam limbah non
organik budidaya adalah sebagai berikut :
𝑇𝑁 = 𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 π‘Žπ‘˜π‘‘π‘–π‘£π‘–π‘‘π‘Žπ‘  π‘₯ π‘˜π‘œπ‘’π‘“π‘–π‘ π‘–π‘’π‘› π‘™π‘–π‘šπ‘π‘Žβ„Ž
𝑇𝑃 = 𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 π‘Žπ‘˜π‘‘π‘–π‘£π‘–π‘‘π‘Žπ‘  π‘₯ π‘˜π‘œπ‘’π‘“π‘–π‘ π‘–π‘’π‘› π‘™π‘–π‘šπ‘π‘Žβ„Ž
Perhitungan Pendugaan Daya Dukung
Pendugaan daya dukung dengan menggunakan pendekatan nutrient loading
model yang dimodifikasi dan dikembangkan oleh Barg (1992) yaitu berdasarkan beban
limbah yang dihasilkan dari kegiatan budidaya dan aktivitas pesisir teluk. Menurut
Gowen et al (1989) dalam Barg (1992) disebutkan bahwa tinggi rendahnya kadar
nutrient di perairan ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu volume badan air, laju
pembilasan dan fluktuasi pasang surut yang dapat ditentukan dengan persamaan berikut.
𝑁×𝐹
(2)
𝑉
Dimana Ec adalah konsentrasi N dalam air (mg/l), N adalah jumlah nitrogen yang
masuk ke perairan dari kegiatan budidaya dan antropogenik (g), sedangkan F
merupakan flushing time dari badan air, dan V adalah volume badan air (m3).
𝐸𝑐 =
Tabel 2. Jenis aktivitas dan koefisien limbah kegiatan antropogenik pesisir teluk.
Jenis Aktivitas
Koef. Limbah
Referensi
Permukiman
Limbah padat
Kg N/org/th
1,86
Sogreah (1974)
Kg P/org/th
0,37
Padilla et al. (1997)
Sampah
Kg N/org/th
4
World Bank (1993)
Kg P/org/th
1
World Bank (1993)
Deterjen
Kg P/org/th
1
World Bank (1993)
Peternakan
Sapi
Kg N/ekor/th
43,8
Economopoulos (1993)
Kg P/ekor/th
11,3
Economopoulos (1993)
Kambing
Kg N/ekor/th
4
Economopoulos (1993)
Kg P/ekor/th
21,5
Economopoulos (1993)
Ayam
Kg N/ekor/th
0,3
Economopoulos (1993)
Kg P/ekor/th
0,7
Economopoulos (1993)
Babi
Kg N/ekor/th
7,3
Economopoulos (1993)
21
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
Akuakultur
Hatchery
Kg P/ekor/th
2,3
Economopoulos (1993)
Kg N/juta ekor/th
kg P/juta ekor/th
2,21
0,05
Rachmansyah (2004)
Rachmansyah (2004)
Kg N/ton
Kg P/ton
1,68
0,04
Padilla et al. (1997)
Padilla et al. (1997)
Lahan pertanian
Erosi lahan pertanian
Nilai F (flushing time) ditentukan sebagai waktu yang diperlukan limbah untuk
tinggal dalam badan air sehingga lingkungan perairan menjadi bersih. Flushing time
ditentukan dengan formula berikut.
1
(3)
𝐷
D merupakan laju pengenceran yang diperoleh dari persamaan di persamaan berikut.
𝐹=
𝐷=
(π‘‰β„Ž − 𝑉𝑙 )
𝑇 × π‘‰β„Ž
(4)
Vh adalah volume air dalam keadaan pasang tertinggi (m3), Vl adalah volume air dalam
keadaan pasang terendah (m3). Sedangkan T merupakan periode pasang surut dalam
satuan hari.
Perhitungan volume badan air teluk diukur pada saat pasang tertinggi (mean high
water spring)dan pada saat surut terendah (mean low water spring) dengan
menggunakan persamaan berikut.
π‘‰β„Ž = 𝐴 × β„Ž1
(5)
𝑉𝑙 = 𝐴 × β„Ž0
(6)
A adalah luas perairan teluk (m2), sedangkan h1 dan h0 adalah kedalaman perairan saat
pasang tertinggi dan surut terendah (m).
Guna mendapatkan daya dukung kapasitas maksimal produksi budidaya, maka
perlu dihitung konsentrasi nitrogen di perairan yang dihubungkan dengan baku mutu
nitrogen untuk biota laut sesuai dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004. Persamaan
berikut untuk memperkirakan kapasitas produksi optimal yang dianjurkan.
𝑃=
𝑁𝐡𝑀
𝑁𝑖
(7)
P merupakan jumlah produksi optimal yang dapat dihasilkan oleh unit budidaya
tanpa melampaui baku mutu perairan yang dipersyaratkan (ton), NBM adalah nilai
konsentrasi N yang dipersyaratkan dalam baku mutu untuk biota laut, dalam hal ini
konsentrasinya adalah 0,3 mg/l. Sedangkan Ni adalah konsentrasi limbah budidaya dan
kegiatan antropogenik yang masuk ke perairan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Teluk Ambon Dalam
Teluk Ambon Dalam (TAD) secara geografis berada pada posisi 128°19’4,03” 128°24’33” BT dan 03,66°39’29” – 03,63°30’30” LS dengan luas sekitar 11,72 ha.
TAD merupakan bagian dari Teluk Ambon secara keseluruhan yang terbagi atas Teluk
22
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
Ambon bagian Luar (TAL) dan Teluk Ambon bagian Dalam (TAD), dimana diantara
keduanya dipisahkan oleh sebuah ambang (sill) yang dangkal dan sempit yaitu ambang
Galala. Secara administratif, Teluk Ambon bagian Dalam masuk dalam wilayah Kota
Ambon, Provinsi Maluku, dengan dua kecamatan yang berbatasan langsung dengan
TAD, yaitu Kecamatan Teluk Ambon (2 desa) dan Teluk Ambon Baguala (7 desa).
Iklim di Kota Ambon adalah iklim laut tropis dan iklim musim karena letak
pulau Ambon yang dikelilingi oleh laut. Iklim di Kota Ambon sangat dipengaruhi oleh
lautan dan berlangsung bersamaan dengan iklim musim, yaitu musim Barat atau Utara
dan musim Timur atau Tenggara. Sementara untuk perairan Teluk Ambon Dalam
sendiri sangat terpengaruh oleh perubahan musim di Kota Ambon, dimana musim
Timur berlangsung pada bulan Juni – Agustus, Musim Peralihan II pada bulan
September – November, Musim Barat pada bulan Desember – Februari dan Musim
Peralihan I pada bulan Maret – Mei.
Kondisi Lingkungan Oseanografi, Fisika dan Kimia Perairan Teluk Ambon
Dalam
Hasil pengukuran rerata kualitas perairan TAD selama penelitian ditampilkan
pada Tabel 3. Terlihat hasil pengukuran menunjukkan parameter oksigen terlarut, nitrat
dan fosfat berada pada kondisi yang tidak sesuai dengan baku mutu untuk biota laut.
Konsentrasi nitrat tertinggi dijumpai di perairan desa Passo, sedangkan konsentrasi
fosfat tertinggi di perairan desa Nania dan Passo. Kedua kawasan tersebut merupakan
daerah dengan pemukiman yang padat penduduk dan pertanian. Tingginya kadar nitrat
dan fosfat di perairan Nania dan Passo diduga karena adanya buangan limbah dari
lingkungan pesisir teluk yang masuk bersamaan dengan aliran sungai. Wilayah Nania
merupakan kawasan pertanian dan pemukiman, sedangkan Passo merupakan kawasan
yang sangat padat penduduk sehingga timbul run off dari kegiatan pertanian dan
pemukiman yang masuk ke teluk.
Rendahnya kadar oksigen terlarut di TAD diduga terkait dengan adanya
masukan bahan-bahan organik dari aktivitas pesisir teluk. Kadar oksigen terlarut
terendah di perairan Desa Lateri, Nania dan Passo merupakan kawasan pesisir yang
padat penduduk dan terdapat muara sungai yang mengalir ke teluk dan membawa
material pencemar dari limbah rumah tangga dari sepanjang sungai tersebut. Odum
(1993) menyebutkan bahwa kandungan oksigen terlarut akan semakin rendah jika
masukan limbah perairan semakin besar. Oksigen terlarut berperan penting sebagai
pengoksidasi dan pereduksi bahan organik sehingga sangat penting untuk mengurangi
beban pencemaran pada perairan secara alami (Salmin, 2005).
Konsentrasi senyawa nitrogen termasuk nitrat yang terdapat dalam air laut
bervariasi tergantung dari jauh dekatnya sumber penyebab berlimpahnya senyawa
nitrogen (Susana, 2004). Kadar nitrat dalam perairan banyak dipengaruhi oleh
pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia maupun tinja hewan
(Effendi, 2003). Secara normatif keberadaan nitrat dalam perairan ditunjang oleh
adanya transport nitrat ke daerah tersebut, oksidasi amonia oleh mikroorganisme dan
kebutuhan produktivitas primer (Kangkan, 2006).
Tabel 3. Rata-rata dan kisaran parameter kualitas air Teluk Ambon Bagian Dalam
selama penelitian.
23
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Parameter
Rata-rata
Kedalaman (m)
22,56 ± 9,32
Kecerahan (m)
7,67 ± 1,37
Kec. Arus (cm/dt)
9,71 ± 2,00
Suhu (°C)
29,21 ± 1,83
Salinitas (‰)
31,8 ± 0,71
Oksigen Terlarut (mg/l)
4,86 ± 0,67
pH
8,21 ± 0,11
Nitrit (mg/l)
0,001 ± 0,001
Nitrat (mg/l)
0,04 ± 0,017
Total Amonia (mg/l)
0,071 ± 0,021
Orthofosfat (mg/l)
0,031 ± 0,020
Turbiditas (NTU)
2,89 ± 1,96
5,27 ± 2,50
BODβ‚… (mg/l)
βƒ° = Kepmen LH No 51 Tahun 2004
Kisaran
12 - 37
5 - 10
5,7 - 12,4
26,5 - 32,2
30,2 - 33,0
3,43 - 5,84
7,94 - 8,44
0 - 0,002
0,01 - 0,07
0,035 - 0,104
0,001 - 0,082
0,34 - 6,22
1,25 - 10,29
Baku Mutu
Biota Laut *
alami
alami
alami
>5
7 - 8,5
< 0,008
< 0,3
< 0,015
<5
<20
Pendugaan Kuantitatif Limbah dari Kegiatan Budidaya (internal loading)
Data pemeliharaan ikan kerapu diperoleh dari kegiatan pembesaran kerapu
macan di Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Ambon selama masa pemeliharaan 10
bulan. Kegiatan pembesaran ikan kerapu di BPBL Ambon dilakukan dalam petakan
keramba jaring apung ukuran 3 x 3 x 3 m dengan jumlah benih ikan kerapu macan yang
ditebar 720 ekor (kepadatan ± 80-90 ekor/m3). Pertambahan bobot biomassa ikan
selama pemeliharaan tercatat dari 18 kg menjadi 282,24 kg, rata-rata pertumbuhan
harian sebesar 1,60 g/hari. Sedangkan nilai konversi pakan (food convertion rate/FCR)
adalah sebesar 6,78. Dari hasil kegiatan pemeliharaan ikan kerapu diperoleh hasil untuk
1 petak keramba berukuran 3 x 3 x 3 m dapat memproduksi ikan kerapu macan
sebanyak 282,24 kg. Pakan yang dibutuhkan selama masa pemeliharaan adalah
1.914,31 kg.
Mengacu pada penelitian Noor (2009) diperoleh hasil analisa proksimat terhadap
pakan rucah yang digunakan menunjukkan kandungan N sebesar 12,6% dan kandungan
P sebesar 2,6%, sehingga terdapat 241,2 kg N dan 49,8 kg P pada pakan kerapu macan.
Dari jumlah total pakan yang diberikan, sebanyak 18% persen pakan tidak termakan
(uneaten food) dengan kadar N 43,4 kg dan kadar P 9 kg. Sementara itu, pada pakan
yang dimakan (eaten food) akan terbuang melalui feses, ekskresi serta tersimpan dalam
daging. Beban limbah yang dikeluarkan dari konsumsi pakan rucah yang diberikan pada
kerapu macan yang masuk ke perairan adalah sebesar 237,1 kg N dan 44,1 kg P. Total
bahan partikel yang dihasilkan adalah sebesar 963,1 kg. Untuk jenis kerapu lain yaitu E.
aerolatus menghasilkan beban limbah lebih besar yaitu 321 kg N/ton atau sebesar 88%
dari total pakan yang diberikan (Leung et al., 1999). Sedangkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Usman et al. (2002) dengan menggunakan jenis pakan komersil (buatan)
menyebutkan bahwa limbah yang dihasilkan dalam pembesaran kerapu bebek sebesar
138,4 kg N dan 29,6 kg P. Penggunaan pakan rucah akan menghasilkan beban limbah N
dan P yang lebih besar dibandingkan pakan komersil. Pada pakan komersil, kandungan
N dalam pakan sebesar 7,68% dan kandungan P sebesar 1,53% dengan konversi pakan
hanya 3,2. Meskipun kadar protein dalam pakan rucah lebih tinggi dibandingkan pakan
komersil namun pakan komersil memiliki keseimbangan unsur-unsur nutrisi lain seperti
protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral sehingga dapat mempengaruhi
24
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
metabolisme tubuh ikan (Sutarmat et al., 2003). Sementara itu Chu (1994) menyebutkan
bahwa limbah N yang dihasilkan dari pakan rucah 17 (tujuh belas) kali lebih tinggi
dibandingkan limbah dari pakan pellet dan hanya 8,1% N yang dimanfaatkan dalam
tubuh ikan kerapu. Umumnya budidaya laut masih tergantung pada penggunaan pakan
rucah dimana akibatnya menimbulkan beberapa permasalahan antara lain pencemaran
lingkungan, ketersediaan yang tidak teratur dan tingginya konversi pakan (FCR)
(Kongkeo et al., 2010).
Tabel 4. Parameter penentuan beban limbah budidaya ikan kerapu di KJA.
Parameter yang dianalisa
Kerapu Macan
Rasio Konversi Pakan (FCR)
6,78
Kandungan N Pakan (%)
12,6
Kandungan P Pakan (%)
2,6
Bobot awal ikan (g/ekor)
25,0
Bobot akhir ikan (g/ekor)
504,0
Jumlah pakan yang dibutuhkan (kg)
1.914,31
Jumlah pakan yang terbuang (18%)
344,6
Kebutuhan N untuk memproduksi ikan (kg/ton ikan)
197,8
Kebutuhan P untuk memproduksi ikan (kg/ton ikan)
40,8
Kecernaan N pakan (%)
81,0
Kecernaan P pakan (%)
57,5
Retensi N (%)
26,1
Retensi P (%)
23,8
Jumlah feses yang dihasilkan oleh 1 ton ikan (39,4%) (kg/ton ikan)
618,5
Tabel 5. Pendugaan kuantifikasi total N dan P dari pakan yang diberikan dalam
pemeliharaan ikan kerapu macan.
Parameter
Jumlah (kg)
N (kg)
P (kg)
Pakan yang diberikan
1.914,3
241,2
49,8
Pakan yang dimakan
1.569,7
197,8
40,8
Pakan yang terbuang
344,6
43,4
9,0
Feses
618,5
37,6
17,3
Retensi
-
41,7
5,6
Ekskresi (terlarut)
-
156,1
17,9
963,1
237,1
44,1
Total Limbah
Pendugaan Kuantitatif Limbah Kegiatan Antropogenik (external loading)
Hasil analisa limbah eksternal loading diperoleh besaran limbah organik
715.855,22 kg N per tahun atau 76,08% total N, dan 225.107,64 kg P per tahun
(31,45%). Total N sebagian besar bersumber dari limbah domestik rumah tangga
(59,49%) dan pertanian (28,51%). Sedangkan penyumbang total P bersumber dari
limbah domestik rumah tangga (76,52%) dan peternakan (21,32%). Namun keseluruhan
limbah bahan organik yang berasal dari kegiatan antropogenik di sekitar pesisir teluk,
maka diasumsikan hanya 25% dari limbah yang masuk ke perairan teluk setelah melalui
proses asimilasi di daratan (Noor, 2009). Mengacu pada pernyataan di atas maka
besaran limbah yang masuk ke perairan Teluk Ambon Dalam adalah 178.964,05 kg
N/tahun atau 490,31 kg N/hari dan 52.276,91 kg P/tahun atau 154,18 kg P/hari.
25
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
Tabel 6. Pendugaan beban limbah antropogenik sekitar Teluk Ambon Dalam.
Jenis Aktivitas
Koef.
Limbah
Level Aktivitas
Total N
(kg/tahun)
Total P
(kg/tahun)
Permukiman
Limbah padat
Kg N/org/th
Kg P/org/th
72.680 a)
1,86 b)
0,37 c)
Kg N/org/th
Kg P/org/th
72.680
Kg P/org/th
72.680
1 d)
Kg N/ekor/th
Kg P/ekor/th
1.127 a)
43,8 e)
11,3 e)
49.362,60
Kg N/ekor/th
Kg P/ekor/th
875 a)
4 e)
21,5 e)
3.500
Kg N/ekor/th
Kg P/ekor/th
10.013 a)
0,3 e)
0,7 e)
3.003,90
Kg N/ekor/th
Kg P/ekor/th
4.104 a)
7,3 e)
2,3 e)
29.959,20
135.185,80
26.891,60
Sampah
4 d)
1 d)
290.720
72.680
Deterjen
72.680
Peternakan
Sapi
12.735,10
Kambing
18.812,50
Ayam
7.009,10
Babi
Akuakultur
Hatchery
Kg N/juta ekor/th
kg P/juta ekor/th
Lahan pertanian
Erosi lahan pertanian
Kg N/ton
Kg P/ton
Jumlah
9.439,20
184.824f)
2,21 g)
0,05 g)
0,41
1,68 c)
0,04 c)
204.125,31
0,01
121.503,16 a, h)
715.856,22
4.860,13
225.107,64
Sumber : a) BPS Kota Ambon (2014); b) Sogreah (1974); c) Padilla et al. (1997); d)
World Bank (1993); e) Economopoulos (1993); f) BPBL Ambon (2015b); g)
Rachmansyah (2004); h) Kesaulija (1988).
Pendugaan Daya Dukung dengan Pendekatan Model Beban Limbah N (NH3-N)
Pendugaan daya dukung dengan pendekatan beban limbah N di perairan Teluk
Ambon Dalam mempertimbangkan adanya beban limbah yang berasal dari kegiatan
budidaya KJA (internal loading) dan beban limbah yang berasal dari kegiatan
antropogenik di pesisir teluk (eksternal loading). Daya dukung dengan pendekatan
beban limbah N ini digunakan untuk mengetahui pemanfaatan wilayah pesisir yang
berkelanjutan khususnya untuk budidaya ikan kerapu di KJA karena memperhitungkan
segi daya dukung lingkungan.
Mengacu pada formula yang dikembangkan oleh Barg (1992), diketahui
konsentrasi N dalam perairan akibat masukan dari beban limbah budidaya dan kegiatan
antropogenik adalah sebesar 0,013 mg/l. Nilai ini selanjutnya dihubungkan dengan nilai
baku mutu perairan untuk biota laut sesuai Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 yaitu
sebesar 0,3 mg/l untuk mendapatkan nilai kapasitas produksi optimal budidaya yang
dapat dicapai. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa produksi optimal yang dapat
26
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
dicapai untuk setiap hektar perairan di Teluk Ambon Dalam adalah 6,7 ton/ha, dimana
kapasitas produksi untuk 1 petak pemeliharaan ikan kerapu macan adalah 282,24 kg
dengan masa pemeliharaan selama 10 bulan.
Tabel 7. Penghitungan daya dukung dengan pendekatan beban limbah N.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Parameter
Luas perairan
Volume air pasang tertinggi
Volume air surut terendah
Volume rata-rata perairan
Flushing time
Beban limbah budidaya (N)
 Pakan terbuang
 Feses
 Ekskresi
Limbah antropogenik (N)
Total beban limbah (N)
Baku Mutu NH3-N
Ec (konsentrasi N dalam air)
Jumlah unit KJA sesuai daya dukung
 Jumlah petak
 Jumlah unit KJA
Produksi optimum
 Kerapu macan
 Kerapu bebek
Nilai
11.227.760
277.550.277
245.775.666
259.920.979
17,47
m2
m3
m3
m3
hari
43,4
37,6
156,1
178.964,06
179.201,16
0,3
0,012
kg
kg
kg
kg
kg
mg/l
mg/l
24
6
690,97
521,40
Satuan
petak/ha
unit KJA/ha
Ton
Ton
KESIMPULAN
Mengacu hasil perhitungan daya dukung lingkungan dengan pendekatan beban
limbah N, budidaya ikan kerapu dengan sistem keramba jaring apung di perairan Teluk
Ambon Dalam memiliki kemampuan produksi optimal 690,97 ton untuk kerapu macan
dan 521,40 ton untuk kerapu bebek. Kepadatan unit keramba jaring apung yang
disarankan adalah 24 petak/ha atau 6 unit KJA/ha.
DAFTAR PUSTAKA
Bappekot Ambon, 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ambon Tahun
2011-2031. Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappekot) Ambon, Ambon.
Barg, U.C., 1992. Guidelines for The Promotion of Environmental Management of
Coastal Aquaculture Development. FAO Fisheries Technical Paper, No. 328. FAO,
Rome. 122 p.
Bengen, D.G., 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan
Secara Terpadu dan Berkelanjutan, in: Bengen, D.G. (Ed.), Prosiding Pelatihan
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. 29 Oktober-3 November 2001. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor, pp. 28–55.
Beveridge, M.C.M., 1984. Cage and Pen Fish Farming. Carrying Capacity Models and
Environmental Impact. FAO Fisheries Technology Paper (255)β€―: 131 p.
BPBL Ambon, 2015. Laporan Tahunan Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon Tahun
2014. Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon, Ambon.
BPS Kota Ambon, 2014. Kota Ambon dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik Kota
Ambon, Ambon. p 367.
Chu, J.C.W., 1994. Environmental Management of Mariculture: The Effect of Feed
Types on Feed Waste. Regional Workshop on Seafarming and Grouper
Aquaculture 103–108.
27
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
Economopoulos, A.P., 1993. Assessment of Sources of Air, Water, and Land Pollution.
A Guide to Rapid Source Inventory Techniques and Their Use in Formulating
Environmental Control Strategies. Part One: Rapid Inventory Techniques in
Environmentl Pollution. World Health Organization, Geneva.
Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius, Yogyakarta. p 258.
Hermanto, B., 1987. Laju Sedimentasi dan Stratifikasi Sedimen Teluk Ambon Bagian
Dalam, in: Soemodihardjo, S., Birowo, S., Romimohtarto, K. (Eds.), Teluk Ambon.
Biologi, Perikanan, Oseanografi Dan Geologi. Balitbang Sumberdaya Laut. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI, Ambon, pp. 125–132.
Holmer, M., Marba, N., Terrados, J., Duarte, C.M., Fortes, M.D., 2002. Impacts of
Milkfish (Chanos chanos) Aquaculture on Carbon and Nutrient Fluxes in the
Bolinao Area, Philippines. Marine Pollution Bulletin 44 (7), 685–96.
Iwama, G.K., 1991. Interactions between aquaculture and the environment. Critical
Reviews in Environmental Control 21 (2), 177–216. doi : 10.1080 /
10643389109388413
Kangkan, A.L., 2006. Studi Penentuan Lokasi Untuk Pengembangan Budidaya Laut
Berdasarkan Parameter Fisika, Kimia dan Biologi di Teluk Kupang, Nusa
Tenggara Timur. Tesis. Magister Manajemen Sumberdaya Pantai. Universitas
Diponegoro. Semarang. p 102.
Kesaulija, E.M., 1988. Beberapa Model Pendugaan Erosi pada Areal Hutan yang
Dikonversi Menjadi Lahan Pertanian dan Pemukiman di Sub DAS Jeneberang
Hulu Sulawesi Selatan. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Universitas Hasanuddin.
Makassar.
KKP, 2013. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2013. Pusat Data Statistik dan
Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. p 188.
KLH, 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004
Tentang Baku Mutu Air Laut.
Kongkeo, H., Wayne, C., Murdjani, M., Bunliptanon, P., Chien, T., 2010. Current
Practices of Marine Finfish Cage Culture in China, Indonesia, Thailand and Viet
Nam. Aquaculture Asia Magazine Vol. XV (2). 32–40.
Leung, K.M.Y., Chu, J.C.W., Wu, R.S.S., 1999. Nitrogen Budgets for the Areolated
Grouper Epinephelus areolatus Cultured Under Laboratory Conditions and in
Open-sea Cages. Marine Ecology Progress Series 186, 271–281.
McDonald, M.E., Tikkanen, C.A., Axler, R.P., Larsen, C.P., Host, G., 1996. Fish
Simulation Culture Model (FIS-C): A Bioenergetics Based Model for Aquacultural
Wasteload Application. Aquacultural Engineering 15 (4), 243–259.
doi:10.1016/0144-8609(96)00260-9
Mente, E., Pierce, G.J., Santos, M.B., Neofitou, C., 2006. Effect of Feed and Feeding in
the Culture of Salmonids on the Marine Aquatic Environmentβ€―: A Synthesis for
European
Aquaculture.
Aquaculture
International
14,
499–522.
doi:10.1007/s10499-006-9051-4
Miller, A., 1999. Resources Management in The Urban Sphere: Ambon’s Urban
Environment. University of Hawaii at Manoa. Cakalele 10.
Nirahua, C., 2009. Analisa Pencemaran Limbah Organik Terhadap Penentuan Tata
Ruang Budidaya Ikan Keramba Jaring Apung di Perairan Teluk Ambon.
Tesis.Program Pascasarjana. Intitut Teknologi Surabaya. Surabaya.
28
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
Nontji, A., 1996. Status Kondisi Hidrologi, Sedimentasi dan Biologi Teluk Ambon Saat
Ini, in: Prosiding Seminar Dan Lokakarya Pengelolaan Teluk Ambon. LIPI,
Ambon, pp. 1–6.
Noor, A., 2009. Model pengelolaan kualitas lingkungan berbasis daya dukung
(carrying capacity) perairan teluk bagi pengembangan budidaya keramba jaring
apung ikan kerapu (Studi kasus di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru Propinsi
Kalimantan Selatan). Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. p 145.
Odum, E.P., 1993. Dasar-dasar Ekologi, 3rd ed. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Padilla, J., Castro, L., Morales, A., Naz, C., 1997. Evaluation of Economy-environment
Interactions in the Lingayen Gulf Basin: A Partial Area-based Environmental
Accounting Approach. DENR and USAID, Philippines.
Rachmansyah, R., 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange
Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan bagi Pengembangan Budidaya Bandeng
dalam Keramba Jaring Apung. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. p 274.
Salmin, S., 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Sebagai Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana XXX
(3), 21–26.
Selano, D.A.J., Adiwilaga, E.M., Dahuri, R., Muchsin, I., Effendi, H., 2009. Sebaran
Spasial Luasan Area Tercemar dan Analisis Beban Pencemar Bahan Organik
Pada Perairan Teluk Ambon Dalam. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan)
19 (2), 96–106.
Smith, V.H., Tilman, G.D., Nekola, J.C., 1999. Eutrophicationβ€―: Impacts of Excess
Nutrient Inputs on Freshwater, Marine, and Terrestrial Ecosystems.
Environmental Pollution 100, 179–196.
Sogreah, 1974. Laguna de Bay Water Resources Development Study. Laguna Lake
Deveopment Authority, Pasiq City, Philippines.
Susana, T., 2004. Sumber Polutan Nitrogen dalam Air Laut. Oseana XXIX (3), 25–33.
Sutarmat, T., Hanafi, A., Suwarya, K., Ismi, S., Wardoyo, W., Kawahara, S., 2003.
Pengaruh Beberapa Jenis Pakan Terhadap Performasi Ikan Kerapu Bebek
(Cromileptes altivelis) di Keramba Jaring Apung. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia.
Suyadi, S., 2009. Kondisi Hutan Mangrove di Teluk Ambon: Prospek dan Tantangan.
Berita Biologi 9 (5), 481–490.
Tubalawony, S., Tuahattu, J.W., Wattimena, S.M., 2008. Karakteristik Fisik Massa Air
Permukaan Teluk Ambon Dalam pada Bulan Juli. Ichthyos 8 (1), 35–41.
Usman, U., Rachmansyah, R., Pongsapan, D.S., 2002. Beban Limbah Budidaya Ikan
Kerapu Bebek Cromileptes altivelis dalam Keramba Jaring Apung. Laporan Hasil
Penelitian. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Maros.
World Bank, 1993. Environmental Sector Study. Towards Improved Management of
Environmental Impacts. Washington, D.C. USA.
29
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
30
Download