BAB 2 - Library Binus

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini, peneliti akan membahas lebih detil mengenai teori-teori yang
berkaitan dengan variabel-variabel yang ada di dalam penelitian ini, yaitu pernikahan,
sikap terhadap pernikahan, faktor-faktor yang mempengaruhi sikap terhadap
pernikahan, pengetahuan tentang pasangan, kriteria pengetahuan tentang pasangan, dan
emerging adult, serta kerangka berpikir penelitian dan asumsi penelitian.
2.1 Sikap Terhadap Pernikahan
2.1.1 Definisi Pernikahan
Berdasarkan pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, pernikahan atau
perkawinan adalah adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Gallagher (2003)
pernikahan adalah salah satu bentuk paling signifikan dari hubungan pribadi karena
melalui lembaga perkawinan indvidu dapat mengekspresikan cinta dan komitmen
mereka satu sama lain. Pernikahan adalah komitmen secara legal dan emosional antara
dua orang individu untuk berbagi keintiman emosional dan fisik, berbagai macam tugas,
dan keuangan (Olson & DeFrain, 2006). Dari berbagai definisi di atas, dapat
disimpulkan bahwa pernikahan adalah hubungan antara pria dan wanita secara legal
yang di dalamnya terdapat peran-peran sebagai suami isteri, mengekspresikan cinta dan
komitmen satu sama lain, dan adanya pembagian kerja dengan tujuan untuk
membangun sebuah keluarga yang bahagia dan kekal.
Dari definisi mengenai pernikahan didapat bahwa tujuan dari membangun
sebuah rumah tangga adalah untuk mendapatkan kebahagiaan. Namun, untuk
mendapatkan kebahagiaan dalam rumah tangga bukanlah hal yang mudah karena di
dalam rumah tangga terdapat berbagai konflik, salah satunya adalah konflik antara
suami dan istri. Adanya konflik antara pasangan ini didasarkan pada perbedaan
pandangan dari tiap individu terhadap pernikahan itu sendiri. Pandangan terhadap
pernikahan atau sikap individu terhadap pernikahan ini menjadi penting untuk
diperhatikan karena sikap terhadap pernikahan dapat memberikan pengaruh dalam
9
10
kepuasaan rumah tangga dan menjadikan sebuah rumah tangga langgeng (Klein, 2005).
Jadi, karena membangun sebuah pernikahan yang bahagia bukan hal yang mudah,
maka perlu diperhatikan sikap individu terhadap pernikahan.
2.1.2 Definisi Sikap
Sebelum membahas sikap terhadap pernikahan lebih lanjut diperlukan adanya
pemahaman mengenai sikap itu sendiri. Fishbein dan Ajzen (1975, dalam Azwar, 2010)
mendefinisikan sikap sebagai kecenderungan untuk berespon secara konsisten dengan
cara memberikan penilaian, yaitu positif dan negatif, terhadap suatu objek tertentu.
Konsistensi dari respon ini akan mempengaruhi individu untuk bersikap terhadap objek
tersebut, hal ini dikenal dengan istilah evaluative consistency. Baron dan Byrne (2003)
menjelaskan definisi sikap yaitu evaluasi individu terhadap berbagai aspek dunia sosial
serta bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka kita terhadap
isu, ide, orang, kelompok sosial dan objek. Lebih lanjut, La Pierre (dalam Azwar, 2010)
memberikan definisi sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan
antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara
sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.
Menurut Thurstone (dalam Azwar, 2010), terdapat dua jenis sikap seseorang terhadap
suatu objek yaitu sikap positif atau mendukung atau memihak dan sikap negatif atau
tidak mendukung atau tidak memihak terhadap objek tersebut.
2.1.3 Definisi Sikap terhadap Pernikahan
Berangkat dari beberapa definisi sikap yang telah dijelaskan yang jika dikaitkan
dengan pernikahan, maka dapat didefinisikan sikap terhadap pernikahan adalah
kecenderungan untuk berespon baik suka maupun tidak suka dengan sebelumnya telah
melakukan evaluasi terhadap konsep pernikahan itu sendiri. Hasil evaluasi ini akan
menentukan sikap individu terhadap pernikahan, yaitu positif atau negatif. Menurut
Braaten dan Rosen (1998) sikap terhadap pernikahan adalah opini individu tentang
pernikahan sebagai suatu institusi. Sikap terhadap pernikahan menurut Mosko dan
Pistole (2010) adalah opini individu mengenai pernikahan sebagai suatu institusi yang
dibentuk oleh dua individu dimana keduanya saling mengatur perilaku mereka dan
saling bekerjasama dalam membangun sebuah struktur dalam pernikahan. Sikap
11
terhadap pernikahan merupakan bagian dari skema kognitif yang terstruktur secara
kompleks dan berisi keyakinan dan perasaan tentang hubungan romantis yang diperoleh
melalui pengalaman (Fincham & Bradbury, dalam Riggio & Weiser, 2008). Lebih
lanjut, Klein (2005) mendefinisikan sikap terhadap pernikahan sebagai opini subjektif
individu mengenai lembaga pernikahan yang di dalamnya melibatkan pandangan global
tentang apakah nantinya seseorang harus menikah atau tidak harus menikah, kepuasan
dalam hubungan pernikahan, kelanggengan pernikahan, perasaan yang ditimbulkan
terhadap pernikahan dan konflik peran di dalam hubungan pernikahan. Sikap terhadap
pernikahan merupakan keyakinan seseorang mengenai pernikahannya saat ini atau di
masa depan dan juga keyakinan seseorang mengenai pernikahan sebagai suatu institusi
secara keseluruhan (Park & Rosen, 2013). Dari definisi-definisi yang telah disebutkan
di atas, dengan menggunakan kerangka pengertian Braaten dan Rosen (1998), dapat
disimpulkan bahwa sikap terhadap pernikahan adalah pandangan individu mengenai
pernikahan sebagai suatu institusi dengan sebelumnya telah melakukan evaluasi
terhadap konsep pernikahan itu sendiri, dimana hasil evaluasi ini akan menentukan
sikap individu terhadap pernikahan, yaitu positif atau negatif.
2.1.4 Jenis Sikap terhadap Pernikahan
Menurut Braaten & Rosen (dalam Mosko & Pistole, 2010). Terdapat dua jenis
sikap terhadap pernikahan yaitu sikap positif terhadap pernikahan dan sikap negatif
terhadap pernikahan.
1. Sikap positif terhadap pernikahan
Sikap terhadap pernikahan yang positif merepresentasikan kepercayaan bahwa
suatu pernikahan akan sukses dan bahagia. Dalam sikap positif terhadap pernikahan
berisikan pandangan-pandangan, seperti keyakinan bahwa pernikahan merupakan
suatu keharusan, pernikahan merupakan sebuah hal yang sakral, pernikahan yang
bahagia merupakan salah satu impian hidup, pernikahan menyediakan
companionship yang tidak didapat pada tipe-tipe hubungan yang lain, pernikahan
merupakan kepuasan dalam diri seseorang, keyakinan bahwa pernikahan harus
dijalani sepanjang hidup bersama pasangannya, dan keyakinan bahwa pernikahan
akan bertahan selamanya (Braaten & Rosen, 1998). Menurut Blagojevic (1989)
Sikap positif terhadap pernikahan melibatkan beberapa definisi mengenai
12
pernikahan yang ideal. Terdapat beberapa pengertian mengenai pernikahan yang
ideal yaitu, perpanjangan logika dari memiliki hubungan dengan seseorang, solusi
terbaik dalam hidup, peresmian secara formal dari dua orang yang saling jatuh cinta,
sebagai sesuatu yang membuat hidup jadi lebih mudah, sebagai hal penting dalam
hidup, hubungan untuk mendapatkan persahabatan. Dalam jurnal Blagojevic (1989)
juga disebutkan bahwa cinta berperan penting dalam memasuki dunia pernikahan
dan menjadi dasar dari pernikahan yang bahagia. Pernikahan juga merupakan
tempat untuk menetap, mendapatkan keamanan, perlindungan, kebahagiaan. Secara
keseluruhan pengertian mengenai pernikahan yang ideal relatif luas dan terikat erat
dengan sikap yang positif.
2. Sikap negatif terhadap pernikahan
Sikap negatif terhadap pernikahan merepresentasikan kepercayaan bahwa
pernikahan hanyalah sebagai sebuah perjanjian legal atau kontrak. Dalam sikap
negatif terhadap pernikahan berisikan pandangan-pandangan, seperti ketakutan
terhadap pernikahan, adanya kepercayaan yang rendah bahwa pernikahan akan
sukses, adanya keragu-raguan terhadap pernikahan, perasaan tidak bahagia dalam
pernikahan, sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk menikah,
keyakinan bahwa terlalu banyak pengorbanan yang dilakukan dalam pernikahan,
pernikahan merupakan hal yang sia-sia, adanya keraguan dalam hubungan
romantis, pernikahan membatasi seseorang dalam mencapai tujuannya, pernikahan
bukanlah merupakan sebuah pilihan dan adanya pandangan bahwa tidak harus
bersama pasangan dalam menjalani pernikahan (Braaten & Rosen, 1998).
Sikap-sikap yang timbul, baik sikap positif maupun negatif mengenai
pernikahan ini tidak hanya dikarenakan oleh keadaan objek yang sedang kita hadapi
tapi juga ada kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, situasi di saat
sekarang dan harapan-harapan kita akan masa yang akan datang (Azwar, 2010).
2.1.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap terhadap Pernikahan
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Riggio dan Weiser (2008),
Larson et al (1998), Amato dan Booth (2001), Shurts dan Myers (2012), Mosko dan
Pistole (2010), DeGenova (2008), Segrin dan Nabi (2002), Alqashan dann Alkandari
(2010), Fincham dan Bradbury (1990), diperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi
13
sikap terhadap pernikahan. Adapun berbagai faktor tersebut dapat dirangkum sebagai
berikut.
1. Keluarga
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riggo dan Weiser (2008) disebutkan
bahwa keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap seseorang
terhadap pernikahan. Kondisi keluarga seperti, kebahagiaan, intensitas konflik, dan
interaksi orang tua sehari-hari akan mempengaruhi pandangan anak dalam melihat
suatu pernikahan. Tinggi atau rendahnya konflik pada orang tua dan status
pernikahan orang tua menghasilkan sikap negatif ataupun positif terhadap
pernikahan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Larson et al (1998) menyatakan
bahwa dewasa muda yang berasal dari keluarga yang tidak berkonflik memiliki
sikap yang lebih positif terhadap pernikahan dibanding anak-anak yang berasal dari
keluarga yang berkonflik. Sementara itu, anak-anak dari orang tua bercerai memiliki
sikap perkawinan yang lebih negatif daripada anak-anak dari keluarga utuh. Selain
itu, kualitas perkawinan orang tua telah ditemukan memiliki hubungan dengan
banyak jenis sikap relasional pada orang dewasa muda, termasuk sikap terhadap
pernikahan (Amato & Booth, 2001 dalam Willoughby, 2010). Lebih lanjut Shurts
dan Myers (2012) mengungkapkan bahwa individu mengembangkan sikap
berdasarkan pemodelan dalam pesan yang diterima dari keluarga asal mereka. Oleh
karena itu, tidak mengherankan bahwa sikap dan perilaku, baik positif maupun
negatif, sering disampaikan melalui generasi ke generasi dalam keluarga. Proses
itulah yang disebut transmisi antargenerasi.
2. Attachment dan Agama
Sikap terhadap pernikahan juga dipengaruhi oleh attachment dan nilai-nilai
religius yang dimiliki seseorang. Dalam penelitian yang dilakukan terhadap 239
partisipan, baik pria maupun wanita dengan religi Agnostik atau Atheis dan Kristen
menunjukan bahwa agama yang dipeluk para partisipan memberikan kontribusi
pada sikap positif terhadap pernikahan. Sementara, mengenai attachment dengan
orang-orang signifikan yang dimiliki partisipan, didapatkan bahwa tingginya
attachment dengan orang-orang signifikan yang dimiliki partisipan berkontribusi
terhadap sikap positif terhadap pernikahan (Mosko & Pistole, 2010).
14
3. Pendidikan
DeGenova (2008) menjelaskan level of education and vocational aspirations
mempengaruhi sikap individu terhadap pernikahan. Secara umum, semakin rendah
pendidikan seseorang maka akan semakin cepat dia menikah. Jika seseorang
memiliki aspirasi tinggi, orang tersebut akan menunggu lebih lama untuk menikah
setelah dia lulus dari universitas dan akan menunggu lebih lama untuk memiliki
anak setelah dia menikah. Pendidikan dilihat sebagai tempat untuk mencari dan
untuk menemukan pemenuhan karir serta kemandirian ekonomi, sehingga
mempengaruhi sikap seseorang terhadap pernikahan.
4. Media Massa
Banyaknya pemberitaan melalu media seperti internet, televisi, dan majalah
tentang pernikahan dapat mempengaruhi sikap terhadap pernikahan. Dengan adanya
pemberitaan-pemberitaan, seperti perayaan pernikahan yang dilakukan orang lain
ataupun perceraian yang terjadi pada orang lain, individu secara tidak langsung akan
memiliki gambaran mengenai pernikahan sehingga dapat mempengaruhi sikapnya
terhadap pernikahan (Segrin & Nabi, 2002 dalam Shurts & Myers, 2012).
5. Gender
Dalam penelitiannya Alqashan dan Alkandari (2010) menyatakan bahwa gender
memberikan pengaruh pada sikap seseorang terhadap pernikahan. Wanita cenderung
lebih memiliki sikap positif terhadap pernikahan dibanding pria. Hal ini terkait
dengan adanya nilai-nilai pernikahan yang lebih tinggi pada wanita dibanding pria.
Wanita dinilai lebih memusatkan perhatiannya jika berhubungan dengan
pernikahan. Selain itu, wanita dinilai lebih realistis dalam memandang suatu
hubungan dibandingkan pria, dimana hal tersebut dapat mempengaruhi sikapnya
terhadap pernikahan.
6. Pengalaman Dalam Hubungan Romantis
Sikap terhadap pernikahan merupakan bagian dari skema kognitif yang
terstruktur secara kompleks dan berisi keyakinan dan perasaan tentang hubungan
romantis yang diperoleh melalui pengalaman (Fincham & Bradbury, dalam Riggio
& Weiser, 2008). Individu yang memiliki hubungan romantis yang kurang baik di
masa lalu mungkin akan memiliki ketakutan untuk menuju hubungan yang lebih
serius karena takut apa yang terjadi pada hubungan di masa lalunya, dapat juga
15
terjadi di hubungan romantis berikutnya. Dengan kata lain, pengalaman dalam
hubungan romantis akan mempengaruhi sikap seseorang terhadap pernikahan.
2.1.6 Dampak Sikap terhadap Pernikahan
Sikap terhadap pernikahan memiliki dampak-dampak, seperti yang dirangkum
dari penelitian-penelian yang dilakukan oleh Esmaeilpour, Mahdavi, dan Khajeh (2009),
Park (2012), Fotineri (2013), Crissey (2005), Riggio dan Weiser (2008), dan Johnson
(2009). Berikut penjelasan mengenai dampak-dampak sikap terhadap pernikahan.
1. Kepuasan Hubungan
Esmaeilpour, Mahdavi, dan Khajeh (2009) dalam jurnalnya menjelaskan bahwa
kepercayaan terhadap pernikahan dan hubungan romatis akan berdampak pada
kepuasaan dalam hubungan dan pernikahan. Pada individu yang memiliki
pandangan positif terhadap pernikahan, seperti hubungan yang baik akan mudah
dipertahankan, setiap pasangan harus melakukan hal apapun bersama, dan
pandangan bahwa tiap pasangan harus bisa menyesuaikan kebutuhan satu sama lain
akan dapat memprediksi kepuasan dalam pernikahannya.
2. Keputusan Untuk Menikah
Sikap terhadap pernikahan dapat mempengaruhi keputusan seseorang untuk
menikah atau tidak. Pada individu yang memiliki pandangan positif mengenai
pernikahan mereka akan lebih cepat menikah karena memang mereka memiliki
harapan lebih tinggi untuk menikah suatu hari dibanding pada individu yang
memiliki pandangan negatif mengenai pernikahan (Park, 2012).
3. Kesiapan Menikah
Dalam penelitian pada dewasa muda yang orang tuanya mengalami perceraian
didapatkan hasil bahwa sikap terhadap pernikahan baik positif maupun negatif
memiliki hubungan positif dan signifikan dengan kesiapan menikah individu
tersebut. Terdapat empat area dalam kesiapan menikah yang memiliki hubungan
positif dan signifikan dengan sikap terhadap pernikahan yaitu area komunikasi, latar
belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, area agama, dan area minat
dan pemanfaatan waktu luang (Fotineri, 2013).
16
4. Perilaku Di Dalam Hubungan
Crissey (2005, dalam Willoughby, 2009) menjelaskan bahwa sikap terhadap
pernikahan merupakan variabel kunci dalam memahami perilaku berpacaran pada
remaja dan dewasa muda. Konsep mengenai pernikahan memiliki kaitan dengan
perilaku di dalam hubungan romantis. Pada dewasa muda yang berpacaran dan
memiliki kepercayaan bahwa pernikahan merupakan hal penting memiliki ciri-ciri
perilaku dalam hubungan intimnya seperti sering bertemu orang tua dari pasangan
masing-masing, bertukar hadiah, saling menyatakan perasaan sayang, dan memiliki
identitas bersama. Menurut Riggio dan Weiser (2008, dalam Park, 2012) individu
yang memilki sikap positif terhadap pernikahan melihat pernikahannya saat ini dan
masa depan akan bahagia dan sukses, sementara individu dengan sikap negatif
terhadap pernikahan memiliki ekspektasi yang kurang positif terhadap pernikahan.
Adanya sikap terhadap pernikahan pada seseorang ini akan mempengaruhi pola
perilakunya dalam hubungan romantis. Perilaku dalam hubungan romantis menurut
Riggio dan Weiser (2008) meliputi hal-hal yang berkaitan dengan komitmen dan
usaha-usaha dalam menghindari atau mengurangi konflik. Dalam jurnal Johnson
(2009) menyatakan sikap terhadap pernikahan akan mengarahkan individu untuk
memiliki kemampuan dalam memelihara hubungan atau relationship skills.
Menurut Epstein 2013, kemampuan individu di dalam sebuah hubungan
romantis dibutuhkan untuk mensukseskan hubungan tersebut di masa depan.
Relationship skill yang dikembangkan oleh Epstein (2005) terdiri dari tujuh
keterampilan, salah satunya adalah knowledge of partner atau pengetahuan tentang
pasangan. Berikut penjelasan menganai relationship skill pengetahuan tentang
pasangan.
2.2 Pengetahuan tentang Pasangan
2.2.1 Definisi Pengetahuan tentang Pasangan
Robert Epstein mengembangkan alat ukur yang disebut Epstein Love
Competencies Inventory (ELCI) sebagai suatu alat untuk mengukur relationship skill,
yaitu keterampilan seseorang dalam sebuah hubungan bertujuan untuk meningkatkan
kelanggengan, meningkatkan kepuasan, dan mengurangi konflik dalam sebuah
hubungan, di mana hal-hal tersebut akan berkontribusi terhadap kesuksesan sebuah
17
hubungan. Relationship skills ini terdiri dari tujuh kompetensi yang berkontribusi
terhadap keberhasilan suatu hubungan romantis, salah satunya adalah knowledge of
partner atau pengetahuan tentang pasangan (Epstein, 2005). Pengetahuan tentang
pasangan merupakan salah relationship skill yang paling berpengaruh dalam
memprediksi kepuasan hubungan (Epstein, 2013). Pengetahuan tentang pasangan
dijelaskan oleh Showes dan Zeigler-Hill (dalam Epstein, 2013) tentang bagaimana
individu dapat mendeskripsikan pasangannya secara tepat. Adanya kompetensi
pengetahuan tentang pasangan didapat dari teori yang dikemukakan oleh Showers dan
Kevlyn (1999), mereka mengembangkan apa yang disebut "partner knowledge
structures", yaitu keadaan di mana individu menyimpan segala informasi—baik ataupun
buruk—tentang pasangannya dalam berbagai situasi yang berbeda. Menurut Gainey
(2012) pengetahuan tentang pasangan adalah bagaimana orang mengorganisasikan
pikiran tentang pasangan romantis mereka saat ini.
Terdapat tiga kriteria yang menggambarkan tingkat pengetahuan terhadap
pasangan yang dijelaskan oleh Epstein (2005), yaitu knowing how to having fun with
one’s partner, knowing about his/her preferences, dan caring abour one’s partner’s
hopes and dreams. Pengetahuan tentang pasangan merupakan salah satu prediktor yang
paling berpengaruh dalam memprediksi kesuksesan suatu hubungan. Hal tersebut
dikarenakan kompetensi pengetahuan tentang pasangan diduga lebih mudah dipelajari
dan dikuasai oleh orang-orang dibanding dengan kompetensi-kompetensi yang lain.
Sebagai contoh, ketika seseorang melupakan hari ulang tahun pasangannya atau terlihat
tidak mengetahui makanan pasangannya atau ukuran baju pasangannya, hal itu akan
memberikan pengaruh yang dapat menghancurkan hubungan, terutama ketika hal-hal
tersebut terjadi secara terus menerus. Ketika hal-hal yang dapat memicu konflik tersebut
dikurangi, dengan lebih peduli terhadap kegemaran pasangan atau mengetahui ukuran
pakaian atau dengan mengingat hari ulang tahun pasangannya, maka kondisi dalam
hubungan akan membaik. Semakin sering kompetensi pengetahuan tentang pasangan ini
dilatih maka akan semakin memberikan pengaruh baik dalam hubungan karena
kompetensi ini relatif mudah dan pertukaran informasinya lebih mudah (Epstein, 2005).
18
2.2.2 Kriteria Pengetahuan tentang Pasangan
Epstein (2005) menjelaskan bahwa terdapat tiga kriteria yang menggambarkan
tingkat pengetahuan tentang pasangan yang dimiliki individu.
1. Mengetahui bagaimana bersenang-senang dengan pasangan. Seseorang
dikatakan memiliki pengetahuan baik tentang pasangannya jika orang
tersebut mengetahui bagaimana untuk memiliki waktu yang menyenangkan
bersama pasangannya. Hal itu berarti individu menyadari kegiatan apa saja
yang mampu membuat pasangan dan dirinya sendiri merasa bahagia
melakukan kegiatan tersebut.
2. Mengetahui preferensi dari pasangan. Individu dikatakan tahu betul
mengenai pasangannya jika mengetahui preferensi dari pasangan atau hal-hal
yang disukai oleh pasangannya. Dimaksudkan bahwa individu harus dapat
mengetahui dan berusaha untuk menghormati dasar pandangan dan nilai
pasangan, selalu mengetahui semua hal tentang keluarga pasangan, selalu
mengetahui makanan kesukaan pasangan, mengingat hari-hari penting bagi
pasangan, mau bertanya atau peduli mengenai selera, preferensi, dan
kegemarannya pasangan, mendorong pasangan untuk mengekspresikan
pandangan mereka, dan bahkan mengetahui fantasi atau khayalan romantis
atau seksual pasangan.
3. Peduli dengan cita-cita atau harapan dari pasangan. Dalam kriteria ini
lebih menekankan pada rencana di masa depan yang pasangan miliki serta
membantu pasangan dalam meraih cita-citanya tersebut. Dengan
terpenuhinya kriteria ini, individu dianggap peduli dan menghormati cita-cita
atau harapan dari pasangannya serta menganggap serius apa yang menjadi
rencana pasangan di masa depan.
2.2.3 Dampak Pengetahuan tentang Pasangan
Berikut dirangkum beberapa dampak dari pengetahuan tentang pasangan yang
didapat dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Epstein (2013) dan Sari (2014).
Adapun dampak-dampak tersebut dijelaskan sebagai berikut.
19
1. Kesuksesan Hubungan
Pengetahuan tentang pasangan atau knowledge of partner merupakan salah satu
prediktor yang paling berpengaruh dalam memprediksi kesuksesan suatu hubungan.
Hal tersebut dikarenakan kompetensi pengetahuan tentang pasangan diduga lebih
mudah dipelajari dan dikuasai oleh orang-orang dibanding dengan kompetensikompetensi yang lain. Semakin sering kompetensi pengetahuan tentang pasangan ini
dilatih maka akan semakin memberikan pengaruh baik dalam hubungan karena
kompetensi ini relatif mudah dan pertukaran informasinya lebih mudah (Epstein,
2013).
2. Kesiapan Menikah
Dalam penelitian yang dilakukan Sari (2014) di Jakarta, didapatkan hasil bahwa
pengetahuan tentang pasangan memiliki korelasi positif dengan kesiapan menikah.
artinya, semakin tinggi pengetahuan seseorang tentang pasangannya maka kesiapan
menikahnya pun akan tinggi, begitupun sebaliknya. Dengan berbagai pengetahuan
tentang perbedaan di antara pasangan yang berpacaran, dapat disimpulkan bahwa
pasangan mengetahui, mempelajari serta menyesuaikan diri dalam beberapa hal,
seperti kebiasaan pasangan dalam mengelola keuangan, latar belakang pasangan,
memupuk
relasi
dengan
keluarga
besar
masing-masing
pasangan,
dan
membicarakan masalah agama yang merupakan area-area dalam kesiapan menikah.
2.3 Emerging Adult
2.3.1 Definisi Emerging Adult
Emerging adult adalah periode transisi dari remaja menuju dewasa (Papalia,
2009). Emerging adulthood merupakan suatu tahapan perkembangan yang muncul
setelah individu mengalami atau melewati masa remaja (adolescence) dan sebelum
memasuki masa dewasa awal (young adulthood), dengan rentang usia antara 18 hingga
29 tahun (Arnett, 2013). Namun dalam penelitiannya, Arnett (2000) menegaskan bahwa
emerging adult tidak dapat dikatakan sebagai remaja ataupun dewasa. Emerging adult
paling tepat digambarkan pada individu di negara-negara industri, khususnya di kotakota besar, yang mulai memikirkan pernikahan, tidak memiliki anak, tidak tinggal di
rumah mereka sendiri, atau tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk menjadi
sepenuhnya independen di usia 18 sampai 29 tahun. Emerging adult merupakan struktur
20
populasi baru yang terus berubah dan memiliki karakteristik yaitu identity exploration,
instability, self-focus, feeling in-between, dan the age of possibilities.
2.3.2 Ciri-ciri Utama Emerging Adult
Menurut Arnett (2004) terdapat 5 hal utama yang menjadi karakteristik
emerging adulthood. Karakteristik-karakteristik tersebut adalah:
a. The age of identity explorations
Fitur utama dalam emerging adulthood adalah eksplorasi identitas,
terutama pada percintaan dan pekerjaan. Pada tahap individu menggali lebih
dalam peluang-peluang di hidup mereka untuk benar-benar dapat
memperjelas identitas mereka. Di tahap ini individu diberi kesempatan
terbaik untuk melakukan self-exploration atau eksplorasi diri. Emerging
adult menjadi lebih mandiri dibanding saat remaja tetapi masih belum stabil
dan belum memiliki komitmen yang bertahan lama, seperti pekerjaan jangka
panjang, pernikahan, dan menjadi orang tua.
b. The age of instability
Masa mengeksplorasi pada emerging adulthood dan perubahan pilihan
dalam cinta dan pekerjaan membuat kehidupan emerging adulthood sangat
padat dan intens tetapi juga sangat tidak stabil. Ini merupakan masa
puncaknya emerging adult sering tidak stabil dalam percintaan, pekerjaan,
dan pendidikan. ketidakstabilan dalam percintaan yaitu saat mereka mulai
menjalin hubungan percintaan namun baru belakangan menyadari ada
ketidakcocokan. Dalam hal pekerjaan, emerging adult merasa bahwa apa
yang mereka kerjakan tidak sesuai dengan minatnya atau membutuhkan
keterampilan lain sehingga mereka perlu melanjutkan sekolah.
c. Self-focused age
Self-focused dalam arti bahwa mereka memiliki sedikit kewajiban sosial
dan memiliki sedikit tugas dan komitmen kepada orang lain, dimana hal
tersebut menjadikan mereka punya banyak otonomi dalam menjalankan
kehidupan mereka sendiri. Emerging adulthood merupakan masa paling selffocused dibanding masa kanak-kanak ataupun remaja. Pada masa ini,
21
individu sudah kurang mendapatkan pengawasan dari orang tuanya.
Berbagai keputusan dalam kehidupan mereka buat dengan caranya sendiri.
d. The age of feeling in-between
Kebanyakan dari emerging adult menganggap mereka tidak remaja
ataupun orang dewasa seutuhnya. Hal tersebut dikarenakan kebanyakan
emerging adult merasa berada diantara remaja dan dewasa awal adalah
karena menurut mereka untuk menjadi dewasa membutuhkan proses-proses
yang tidak mudah, yaitu menjalankan tanggung jawab diri sendiri
sepenuhnya, membuat keputusan-keputusan secara mandiri, dan mandiri
secara materi atau sudah memiliki penghasilan sendiri. Proses tersebut
membutuhkan waktu dan tidak dapat dicapai begitu saja dalam satu waktu.
e. The age of possibilities
Ini merupakan waktu ketika individu memiliki sebuah kesempatan untuk
mengubah hidupnya. Pada masa ini merupakan masa dengan harapan dan
ekspektasi tinggi karena beberapa mimpi dan pencapaian individu sedang
ditantang dalam kehidupan sebenarnya. Segala kesempatan untuk
berkembang sangat terbuka lebar dibanding tahapan perkembangan lainnya,
seperti kesempatan untuk melanjutkan sekolah, meniti karir hingga memulai
hubungan yang baru.
2.3.3 Fase-fase dalam Emerging Adulthood
Arnett (2013) membagi tahapan emerging adult usia 18-29 tahun menjadi tiga
fase, yaitu launching, exploring, dan landing.
1. Launching: Usia 18-22 tahun. Ini adalah fase awal dalam emerging adulthood,
dimana fase ini merupakan langkah penting menuju kemandirian tapi tetap
banyak bergantung kepada orang tua. Dimulai dengan masih sedikitnya usia 1822 tahun yang sudah dapat secara kesuluruhan memenuhi kebutuhannya secara
finansial, terlepas dari mereka yang berkuliah dan tidak bekerja atau hanya
bekerja separuh waktu, atau pada mereka yang bekerja penuh waktu tetapi dalam
pekerjaan yang belum bisa mendukung secara penuh kehidupannya secara
mandiri. Secara emosional, mereka tetap membutuhkan dukungan ketika
mereka mendapati bahwa kehidupan tidak sesuai dengan apa yang mereka
22
bayangkan. Fase launching juga merupakan waktu ketika individu usia 18-22
tahun ini mulai meninggalkan rumah untuk kuliah ataupun untuk hidup sendiri
dengan tetap mengadakan kontak dengan orang tuanya ataupun sesekali
mengunjungi orang tuanya. Secara bertahap, mereka belajar untuk lebih
bertahan dengan cara mereka sendiri dan mereka merasa lebih nyaman dengan
hidup secara mandiri.
2. Exploring: Usia 22-26 tahun. Pada fase ini kebanyakan emerging adults telah
terbebas dari rasa tidak aman dan ketidakpastian pada fase launching. Mereka
telah belajar hal-hal penting mengenai pembuatan keputusan oleh mereka sendiri
dan mengambil tanggung jawab untuk diri mereka masing-masing. Mereka
merasa lebih percaya diri pada kemampuannya untuk hidup dengan cara mereka
sendiri, dan sebagian telah mendapatkan gelar dalam perguruan tinggi atau
pengalaman kerja guna mendapatkan pekerjaan dimana hal tersebut cukup untuk
mendukung kehidupan mereka sendiri, walaupun masih banyak yang
membutuhkan pinjaman sesekali dari bank ataupun dari orang tuanya.
Pada fase ini mereka lebih serius mengeksplorasi pilihan pekerjaan dan
memutuskan apa yang benar-benar mereka ingin lakukan, juga untuk mencoba
menyesuaikan dengan kehidupan nyata mengenai hal-hal apa yang benar-benar
tersedia untuk mereka. Banyak dari emerging adult usia 22-26 tahun memasuki
dunia kerja yang tidak sesuai dengan jurusan perkuliahan yang mereka ambil,
dan para orang tua mungkin kecewa karena tidak sedikit materi yang
dikeluarkan agar anaknya menjadi sarjana. Bagaimanapun, mendapatkan gelar
sarjana sangat mempengaruhi emerging adult dalam mendapatkan pekejaan
yang bagus. Pada beberapa emerging adult mengambil keputusan untuk
berkuliah lagi dan mendapatkan pendidikan lebih lanjut agar tau benar-benar
siapa diri mereka dan apa yang benar-benar menjadi minatnya.
Dalam percintaan, ini merupakan fase untuk lebih serius dalam hubungan. Usia
22-26 tahun lebih mencari pada intimasi dan keabadian. Mereka sekarang
mencari belahan jiwa dimana orang spesial tersebut terlihat tepat dan membuat
prospek pernikahan yang ramah dan menyenangkan.
3. Landing: Usia 26-29 tahun. Di akhir usia 20an, kebanyakan emerging adult
membuat keputusan penting yang akan menjadi bentuk struktur kehidupan
23
dewasa mereka dalam percintaan dan pekerjaan. Sebagian dari mereka sudah
menikah atau kohabitasi, dan sebagiannya mengharapkan untuk melakukan hal
yang sama sebelum mereka mencapai usia deadline, yaitu usia 30 tahun.
Sebagian besar emerging adult di fase ini telah menyelesaikan pendidikan dan
berkomitmen untuk memiliki karir jangka panjang. Hal terpenting adalah
mereka siap untuk membuat keputusan besar dan mengambil tanggung jawab
penuh akan kehidupan mereka sendiri.
Walupun fase launching, exlporing, dan landing menjelaskan urutan khas
perkembangan pada emerging adulthood, tetapi masih banyak variabilitas dalam setiap
fase tersebut. beberapa emerging adult secara lurus melawati fase-fase tersebut, dari
launching ke landing tanpa memasuki fase exploring karena dari awal invidu tersebut
telah mengetahui pekerjaan yang mereka inginkan ataupun mungkin telah menemukan
belahan jiwanya. Emerging adult yang lain memiliki fase explore yang lebih panjang
dari pada biasanya tidak begitu mau memasuki fase landing sampai usia 30.
2.4 Kerangka Berpikir
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Sikap terhadap pernikahan adalah opini individu mengenai pernikahan sebagai
suatu institusi (Braaten & Rosen, 1998). Menurut Braaten dan Rosen (1998, dalam
24
Mosko & Pistole, 2010) terdapat dua sikap terhadap pernikahan, yaitu positif dan
negatif. Sikap positif terhadap pernikahan berisikan kepercayaan bahwa sebuah
pernikahan akan sukses dan bahagia. Individu yang memiliki sikap positif terhadap
pernikahan memiliki beberapa pandangan, seperti pernikahan merupakan sebuah hal
yang sakral, pernikahan yang bahagia merupakan salah satu impian hidup, pernikahan
menyediakan companionship yang tidak didapat pada tipe-tipe hubungan yang lain, dan
pernikahan merupakan sebuah kepuasan dalam diri seseorang (Braaten & Rosen,
1998).
Menurut Riggio dan Weiser (2008) sikap positif terhadap pernikahan akan
mengarahkan perilaku seseorang dalam berhubungan dengan pasangannya. Hal ini
terlihat dari tindakan individu tersebut dalam berjuang untuk untuk menghindari
perpecahan atau mempertahankan kualitas hubungannya. Lebih lanjut, Riggio dan
Weiser (2008) menjelaskan bahwa individu yang memiliki sikap positif terhadap
pernikahan memiliki keyakinan bahwa pernikahannya akan sukses dan bahagia.
Individu dengan sikap positif tersebut cenderung lebih banyak berkorban dan berusaha
agar bisa mewujudkan cita-cita atau harapan bersama pasangannya. Salah satu wujud
usaha tersebut adalah dengan dengan mengetahui cara bersenang-senang dengan
pasangan, mengetahui preferensi dari pasangan, dan peduli dengan cita-cita atau
harapan pasangan (Epstein, 2005).
Sementara itu, sikap negatif terhadap pernikahan merepresentasikan
kepercayaan bahwa pernikahan hanyalah sebagai sebuah perjanjian legal atau kontrak
(Braaten & Rosen, 1998, dalam Mosko & Pistole, 2010). Individu yang memiliki sikap
negatif terhadap pernikahan memiliki keragu-raguan, kecemasan, dan perasaan tidak
aman terhadap hubungan intim di mana hal tersebut terlihat dari sikap dan perasaan
negatif mereka terhadap hubungan intim, terutama pernikahan (Larson et al, 1998). Hal
ini juga didukung oleh pernyataan Braaten dan Rosen (1998) bahwa sikap terhadap
pernikahan berisikan ketakutan terhadap pernikahan, adanya kepercayaan yang rendah
bahwa pernikahan akan sukses, adanya keragu-raguan terhadap pernikahan, keyakinan
bahwa terlalu banyak pengorbanan yang dilakukan dalam pernikahan, pernikahan
merupakan hal yang sia-sia, dan adanya keraguan dalam hubungan romantis.
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa individu yang memiliki sikap negatif
terhadap pernikahan memiliki keyakinan bahwa dalam pernikahan merupakan hal sia-
25
sia dan tidak perlu banyak berkorban di dalam pernikahan. Riggio dan Weiser (2008)
menyatakan individu dengan sikap negatif terhadap pernikahan memiliki komitmen
yang sedikit dan cenderung untuk mengabaikan konflik, dimana kedua hal tersebut
berkaitan dengan kurangnya keinginan untuk mempertahankan sebuah hubungan. Lebih
lanjut, Riggio dan Weiser (2008) menjelaskan sikap negatif terhadap pernikahan
berkaitan dengan kurangnya perilaku dalam memelihara hubungan. Salah satu perilaku
tersebut adalah perilaku yang melibatkan akomodasi kebutuhan pasangannya seperti
kebutuhan untuk diperhatikan dalam berbagai hal termasuk kegemaran, hari spesial, dan
cita-cita dari pasangannya. Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa individu dengan
sikap negatif terhadap pernikahan, kemungkinan akan menarik diri dari sebuah
hubungan romantis karena adanya keragu-raguan dan ketakutan terhadap hubungan
romantis, dimana hal tersebut mungkin akan mengurangi keterampilannya untuk
mengetahui lebih dalam hal-hal tentang pasangannya.
Sikap terhadap pernikahan yang merupakan hasil evaluasi seseorang mengenai
pernikahan sebagai suatu institusi akan menimbulkan keyakinan dan ekspektasi
mengenai seperti apa pernikahannya kelak. Sikap ini juga yang nantinya akan
mengarahkan individu dalam berperilaku guna mewujudkan harapannya tersebut.
Menurut Johnson (2009), sikap terhadap pernikahan yang berisikan kepercayaan
mengenai pernikahan akan meningkatkan kemampuan seseorang dalam
mempertahankan pernikahan yang sukses. Kemampuan seseorang dalam hubungan
romantis atau relationship skills menurut Epstein (2005) merupakan keterampilan
seseorang dalam sebuah hubungan yang bertujuan untuk meningkatkan kelanggengan,
meningkatkan kepuasan, dan mengurangi konflik dalam sebuah hubungan, dimana halhal tersebut akan berkontribusi terhadap kesuksesan sebuah hubungan. Salah satu
relationship skills yang paling ampuh dalam kesuksesan sebuah hubungan romantis
adalah pengetahuan tentang pasangan atau knowledge of partner (Epstein, 2013).
Dari pemaparan di atas mengenai sikap terhadap pernikahan dan pengetahuan
tentang pasangan, dapat terlihat bahwa sikap terhadap pernikahan merupakan hal yang
akan mengarahkan perilaku seseorang dalam hubungan romantis, yaitu keterampilan
pengetahuan tentang pasangan. Sikap positif terhadap pernikahan akan mengarahkan
perilaku seseorang dalam berhubungan dengan pasangannya. Hal ini terlihat dari
tindakan individu tersebut dalam berjuang untuk untuk menghindari perpecahan atau
26
mempertahankan kualitas hubungannya yaitu dengan cara mengetahui berbagai hal
mengenai pasangannya. Sementara sikap negatif terhadap pernikahan akan
mempengaruhi kurangnya komitmen dan kemampuan seseorang dalam
mempertahankan sebuah hubungan romantis. Hal ini terlihat dari kurangnya
keterampilan individu tersebut untuk mengetahui berbagai hal mengenai pasangannya.
Sikap terhadap pernikahan atau attitude toward marriage diukur menggunakan
adaptasi Marital Attitude Scale (MAS) yang dikembangkan oleh Braaten dan Rosen
(1998). Alat ukur ini mengukur sikap positif terhadap pernikahan, dimana semakin
tinggi skor yang dimiliki seseorang mengindikasikan bahwa semakin positif sikapnya
terhadap pernikahan. Sedangkan, semakin rendah skor yang dimiliki partisipan ketika
mengerjakan MAS mengindikasikan kurangnya sikap positif individu tersebut terhadap
pernikahan atau dengan kata lain mengarah ke sikap negatif terhadap pernikahan.
Sikap terhadap pernikahan sudah terbentuk dan lebih stabil pada masa emerging
adult usia 18 sampai 29 tahun, karena pada masa ini individu tengah mengalami masa
transisi dari remaja menuju dewasa, dimana masa dewasa identik dengan masuknya
seseorang ke dalam dunia pernikahan. Hal ini didukung oleh pernyataan Willoughby,
Carrol, Vitas, dan Hill (2011) yang mengungkapkan bahwa berbagai jenis hubungan
jangka panjang dan pembentukan sikap terhadap pernikahan merupakan hal-hal yang
menjadi karakteristik emerging adult. Salah satu bentuk hubungan jangka panjang
adalah pacaran. Dalam emerging adulthood, status berpacaran juga memiliki keterkaitan
dengan sikap seseorang terhadap pernikahan karena dalam proses pacaran seseorang
mulai membentuk ekspektasi mengenai pernikahan seperti apa yang akan ia dan
pasangannya miliki kelak dimana hal tersebut akan membentuk sikap terhadap
pernikahan (Scott, Schelar, Manlove, & Cui, 2009). Lama berpacaran normal adalah
enam bulan sampai tiga tahun. Kurang dari waktu tersebut, pasangan dinilai masih
belum mengetahui hal-hal satu sama lain dan terlalu dini untuk membuat keputusan
untuk menikah (Putranto, 2012).
2.5 Asumsi Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah
terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara sikap terhadap pernikahan dan
pengetahuan tentang pasangan pada emerging adult di Jakarta.
Download