foraminifera bentik sebagai indikator kondisi

advertisement
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2010) 36(2): 181-192
ISSN 0125 – 9830
FORAMINIFERA BENTIK SEBAGAI INDIKATOR KONDISI
LINGKUNGAN TERUMBU KARANG PERAIRAN PULAU
KOTOK BESAR DAN PULAU NIRWANA, KEPULAUAN SERIBU
oleh
SUHARTATI MUHAMMAD NATSIR
Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI
Received 10 February 2010, Accepted 14 July 2010
ABSTRAK
Kawasan Kepulauan Seribu memiliki nilai konservasi yang tinggi karena
kelimpahan, keragaman jenis dan ekosistemnya yang unik dan khas. Degradasi
terumbu karang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan
manusia karena menganggu keseimbangan ekosistem di sekitarnya. Penelitian
foraminfera bentik ini dilakukan di sekitar Pulau Kotok Besar dan Pulau
Nirwana, Kepulauan Seribu pada tahun 2008. Tujuan penelitian untuk
mengetahui tingkat kelayakan lingkungan terhadap pertumbuhan terumbu karang
berdasarkan komposisi foraminifera bentik yang terdapat di Pulau Kotok Besar
dan Pulau Nirwana. Metode yang digunakan adalah melalui pendekatan
kelimpahan foraminifera bentik dengan menghitung FORAM (Foraminifera in
Reef Assessment and Monitoring) Index. Pengambilan sampel sedimen untuk
memperoleh sampel foraminifera bentik dilakukan dengan menggunakan Van
Veen Grab. Proses preparasi (pencucian, picking, deskripsi dan identifikasi serta
sticking dan dokumentasi), observasi dan analisis terhadap sampel dilakukan di
laboratorium. Secara umum, perairan di sekitar Pulau Kotok Besar sangat
kondusif untuk pertumbuhan terumbu karang dengan nilai FORAM Index antara
7,57 – 7,63. Foraminifera bentik yang mendominasi adalah dari marga
Amphistegina, Calcarina dan Tynoporus. Pulau Nirwana lebih didominasi oleh
foraminifera bentik dari marga Ammonia, Elphidium, Quinqueloculina dan
Spiroloculina. Kondisi perairan Pulau Nirwana tidak layak untuk pertumbuhan
terumbu karang karena nilai FORAM Index-nya rendah, hanya berkisar antara
1,57 – 1,92.
Kata kunci : Foraminifera, FORAM Index, Pulau Kotok Besar, Pulau
Nirwana, Kepulauan Seribu.
NATSIR
ABSTRACT
BENTHIC
FORAMINIFERA
AS
INDICATOR
OF
ENVIRONMENTAL CONDITION OF CORAL REEFS IN KOTOK
BESAR AND NIRWANA ISLANDS OF SERIBU ISLANDS. Seribu Islands
has precious conservation value due to their unique biodiversities. Coral reefs
degradation would lead to perturbation of ecosystem balance that in the end
affect human life. This study on benthic foraminifera was conducted on Kotok
Besar and Nirwana Islands of Seribu Islands during 2008. The aim of the study
was to recognize environmental suitability for coral reefs growth based on the
benthic foraminiferal distribution by Foraminifera in Reef Assessment and
Monitoring Index (FORAM Index). Sediment of the sampling sites was collected
by Van Veen Grab and then later treated in laboratory to collect benthic
foraminifera. The results showed that Kotok Besar Island was suitable for reefs
growth due to FORAM Index of 7.57 and 7.63. The most dominant of symbiont
bearing foraminifera are Amphistegina, Calcarina and Tynoporus. Whereas, the
Nirwana Island was dominated by Ammonia, Elphidium, Quinqueloculina and
Spiroloculina that are opportunistic foraminifera. Nirwana Island showed
stressed conditions that unsuitable for reef growth as shown by the range of
FORAM Index of 1.57 to 1.92.
Key words : Foraminifera, FORAM Index, Kotok Besar Island, Nirwana
Island, Seribu Islands.
PENDAHULUAN
Kawasan Kepulauan Seribu memiliki nilai konservasi yang tinggi karena
kelimpahan, keragaman jenis dan ekosistemnya yang unik dan khas. Pulau
Kotok Besar merupakan salah satu pulau dari gugusan Pulau Seribu bagian
utara, sedangkan Pulau Nirwana terletak di Kepulauan Seribu bagian selatan.
Secara umum, kondisi perairan bagian selatan Pulau Seribu masih terpengaruh
oleh aktifitas dari daratan (BROWN 1986; GIYANTO & SOEKARNO 1997).
Ekosistem terumbu karang memiliki fungsi sangat besar bagi berbagai
biota laut sehingga harus selalu dijaga kelestariannya. Degradasi terumbu karang
secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan manusia karena
menganggu keseimbangan ekosistem di sekitarnya. Salah satu metode yang
digunakan untuk memantau kondisi terumbu karang adalah penghitungan indeks
keanekaragaman ikan dan biota lain yang berasosiasi dengan terumbu karang.
182
FORAMINIFERA BENTIK
Metode sederhana yang dapat digunakan untuk memantau kondisi terumbu
karang adalah melalui pendekatan foraminifera bentik di sekitar terumbu karang
tersebut, yaitu dengan menghitung FORAM (Foraminifera in Reef Assessment
and Monitoring) Index atau FI (HALLOCK et al. 2003). Penelitian tentang
FORAM Index pada beberapa pulau di Kepulauan Seribu (Pulau Bidadari, Pulau
Pramuka dan Pulau Belanda) yang telah dilakukan oleh DEWI et al. (2010)
dilakukan di luar ekosistem terumbu karang didapatkan nilai FORAM Index
antara 2,53 dan 2,99.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh HALLOCK et al.
(2003), foraminifera dipilih sebagai indikator lingkungan karena foraminifera
tertentu memerlukan kesamaan kualitas air dengan berbagai biota pembentuk
terumbu karang, dan siklus hidupnya yang cukup singkat sehingga dapat
menggambarkan perubahan lingkungan yang terjadi dalam waktu cepat.
Disamping itu, foraminifera merupakan organisme yang berukuran relatif kecil,
jumlahnya berlimpah dan mudah dikoleksi. Hasil studi seperti ini dapat diolah
secara statistik dan sangat ideal sebagai salah satu komponen suatu program
pemantauan lingkungan perairan. Hal penting lainnya adalah pengambilan
sampel foraminifera berpengaruh sangat kecil terhadap ekosistem terumbu
karang sehingga aman untuk kelestarian terumbu karang tersebut (HALLOCK et
al. 2003). Foraminifera dari jenis tertentu merupakan organisme yang hidup
berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang. YAMANO et al. (2000)
menyatakan bahwa 30% dari total sedimen yang terhampar di Pulau Green,
Great Barrier Reef, Australia adalah foraminifera bentik sehingga organisme
tersebut merupakan salah satu kontributor dalam pembentukan terumbu karang.
Foraminifera yang mendominasi sedimen tersebut adalah Amphistegina,
Baculogypsina dan Calcarina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat
kelayakan lingkungan untuk pertumbuhan terumbu karang berdasarkan
komposisi foraminifera bentik yang terdapat di sekitar perairan Pulau Kotok
Besar dan Pulau Nirwana, Kepulauan Seribu.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di sekitar Pulau Kotok Besar dan Pulau Nirwana,
Kepulauan Seribu pada tahun 2008. Secara umum, metode yang digunakan
dalam penelitian di lapangan adalah metode survey. Stasiun penelitian terletak
pada bagian Utara, Timur, Selatan dan Barat dari Pulau Kotok Besar dan Pulau
Nirwana, Kepulauan Seribu, masing-masing terdiri dari empat titik (Gambar 1).
Pengukuran parameter lingkungan dilakukan secara langsung untuk mengetahui
hubungan antara faktor lingkungan dengan foraminifera bentik dan terumbu
karang yang hidup di sekitar perairan tersebut. Alat yang digunakan dalam
pengukuran parameter lingkungan disajikan pada Tabel 1.
183
NATSIR
Tabel 1.
Alat yang digunakan dalam pengukuran parameter lingkungan
di sekitar Pulau Kotok Besar dan Pulau Nirwana, Kepulauan
Seribu.
Table 1. Instruments for environmental parameters monitoring of marine
waters in the Kotok Besar and Nirwana Islands of Seribu
Islands.
Paramaters
Depth
Temperature
Salinity
pH
Transparancy
Unit
meter
°C
ppt
meter
Instruments
Plastimo hand held depth sounder
Horiba portable thermometer
Atago Refractometer
Horiba pH-meter
Secchi disk
Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel di Pulau Kotok Besar dan Pulau
Nirwana, Kepulauan Seribu pada bagian Utara (N), Timur (E),
Selatan (S) dan Barat (W).
Figure 1. Sampling sites of Kotok Besar Island and Nirwana Island of
Seribu Islands in the northern side (N), eastern side (E),
southern side (S) and western side (W).
184
FORAMINIFERA BENTIK
Pengambilan sampel sedimen dasar laut untuk memperoleh sampel
foraminifera bentik dilakukan dengan menggunakan Van Veen Grab dengan luas
cakupan (8060) cm2 pada setiap pengoperasian. Pengambilan sampel juga
dilakukan masing-masing empat titik pada empat stasiun tersebut (bagian Utara,
Timur, Selatan dan Barat masing-masing Pulau). Sampel yang diperoleh
dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label.
Preparasi sampel dilakukan berdasarkan metode KENNEDY &
ZIEDLER (1976) yang terdiri dari tahapan pencucian sampel, pemisahan
foraminifera dari sedimen, deskripsi dan identifikasi serta penempelan dan
dokumentasi. Pencucian sampel dilakukan dengan air mengalir di atas saringan
hingga bersih dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 30°C selama 2
jam. Sampel yang telah kering dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah
diberi label untuk analisis lebih lanjut. Tahap selanjutnya adalah pemisahan
foraminifera dari sedimen yaitu menyebarkan sampel yang telah dicuci pada
extraction tray di bawah mikroskop binokuler secara merata. Foraminifera yang
terdapat dalam sampel tersebut diambil dan disimpan pada foraminiferal slide.
Kemudian dilakukan proses deskripsi dan identifikasi terhadap individu
yang didapatkan. Individu yang telah dipisahkan diklasifikasikan berdasarkan
morfologinya seperti bentuk cangkang, bentuk kamar, formasi kamar, jumlah
kamar, ornamentasi cangkang, kemiringan apertura, posisi apertura dan kamar
tambahan. Proses identifikasi dilakukan sampai tingkat spesies berdasarkan
CHAPMAN (1902); BOLTOVSKOY & WRIGHT (1976); BUZAS & CULVER
(1982). Tahap selanjutnya merupakan analisis kuantitatif untuk mendapatkan
data kelimpahan. Proses penempelan dan dokumentasi dilakukan dengan
meletakkan spesimen yang terpilih pada foraminiferal slide dengan posisi
tampak apertura, tampak dorsal, tampak ventral dan tampak samping yang
kemudian difoto di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 sampai 100.
Untuk mendapatkan nilai FORAM Index, dilakukan perhitungan dengan
menggunakan formula berikut (HALLOCK et al. 2003):
FI = (10×Ps) + (Po) + (2×Ph)
Keterangan:
FI = FORAM Index
Ps = Ns/ T
Ns = Jumlah individu yang mewakili foraminifera yang berasosiasi
dengan terumbu karang: Amphistegina, Heterostegina, Alveolinella,
Borelis, Sorites, Amphisorus, Marginophora.
Po = No/T
No = Jumlah individu yang mewakili foraminifera oportunis: Ammonia,
Elphidium, beberapa marga dari Suku Trochaminidae, Lituolidae,
Bolivinidae, Buliminidae.
Ph = Nh/T
185
NATSIR
Nh = Jumlah individu yang mewakili foraminifera kecil lain yang
heterotrofik: beberapa marga dari Miliolida, Rotaliida, Textulariida
dan lain-lain.
T = Jumlah seluruh individu foraminifera yang didapatkan dari sampel
yang diuji.
Interpretasi nilai FORAM Index berdasarkan HALLOCK et al. (2003):
FI > 4
= lingkungan sangat kondusif untuk pertumbuhan terumbu karang
3 < FI < 5 = lingkungan peralihan
2 < FI < 4 = lingkungan cukup untuk pertumbuhan terumbu karang, namun
tidak cukup untuk pemulihan
FI < 2
= lingkungan tidak layak untuk pertumbuhan terumbu karang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan terhadap sampel yang diperoleh dari masing-masing
pulau menunjukkan bahwa terdapat perbedaan komposisi jumlah foraminifera
bentik yang ditemukan. Dari seluruh foraminifera bentik yang ditemukan di
Pulau Kotok Besar, sebanyak 72,80% diantaranya merupakan foraminifera
bentik yang berasosiasi dengan terumbu karang terutama dari marga
Amphistegina, Calcarina dan Tynoporus. Foraminifera dari kelompok oportunis
dan heterotrofik, masing-masing hanya mencapai 22,05 dan 5,16% dari total
individu yang ditemukan di pulau tersebut. Pada masing-masing stasiun, ketiga
marga tersebut ditemukan dalam jumlah yang relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan marga yang termasuk dalam kelompok foraminifera oportunis maupun
foraminifera lain yang heterotrofik. Rata-rata kelimpahan marga Amphistegina
pada masing-masing stasiun di pulau ini mencapai 24% (Tabel 2).
Pulau Nirwana lebih didominasi oleh foraminifera bentik kelompok
oportunis seperti Ammonia, Elphidium, Quinqueloculina dan Spiroloculina.
Kelompok foraminifera bentik oportunis di perairan sekitar Pulau Nirwana
mencapai 71,16% dari seluruh foraminifera bentik yang ditemukan. Kelompok
foraminifera yang berasosiasi dengan terumbu karang dan foraminifera kecil lain
yang heterotrofik masing-masing hanya mencapai 5,12 dan 22,05% dari seluruh
foraminifera yang ditemukan.
Berdasarkan foraminifera bentik yang ditemukan, nilai FORAM Index
di Pulau Kotok Besar tergolong tinggi, yaitu berkisar antara 7,57 sampai 7,63
(Tabel 2). Hal ini mengindikasikan bahwa terumbu karang di perairan sekitar
pulau tersebut dalam keadaan masih baik dan sehat. HALLOCK et al. (2003)
menyatakan bahwa lingkungan suatu perairan yang memiliki nilai FORAM Index
lebih dari empat tergolong sangat kondusif untuk pertumbuhan terumbu karang.
186
FORAMINIFERA BENTIK
Jenis foraminifera bentik yang mendominasi pada setiap stasiun pengamatan di
Pulau Kotok Besar adalah marga Amphistegina, terutama Amphistegina lessonii
(D’ORBIGNY). Spesies tersebut di temukan melimpah pada setiap stasiun
pengamatan. RENEMA (2008) menemukan dua spesies dari marga
Amphistegina di lereng terumbu (reef slope) pada pecahan karang (rubble) atau
pecahan karang bercampur pasir bersama-sama dengan beberapa spesies dari
marga Calcarina di Kepulauan Seribu. Beberapa spesies Calcarina yang
ditemukan melimpah di paparan terumbu (reef flat) dan puncak terumbu (reef
crest) atau yang berasosiasi dengan alga dan makroalga adalah Sargassum,
Galaxaura dan Chelidiopsis. BARKER (1960) menemukan spesies-spesies
tersebut pada kedalaman 16 m sampai 25 m di Kepulauan Admiralty, Pasifik,
sedangkan GRAHAM & MILITANTE (1959) menemukan pada kedalaman 8,5
m sampai 14,5 m di Teluk Puerto Galera, Filipina.
Tabel 2. Sebaran foraminifera bentik di perairan Pulau Kotok Besar,
Kepulauan Seribu yang dikelompokkan berdasarkan marga.
Table 2. Distribution of benthic foraminifera in Kotok Besar Island, Seribu
Islands, classified according to genera.
Genera
Acervulina
Amphistegina
Ammonia
Calcarina
Elphidium
Heterostegina
Marginophora
Operculina
Quinqueloculina
Rosalina
Spiroloculina
Tynoporus
Total
FORAM Index
Percentage of collected benthic foraminifera (%)
North
East
South
West
2.71
2.52
2.25
2.19
24.49
23.19
24.72
24.13
11.77
13.31
12.82
13.31
15.78
16.06
17.32
17.28
4.47
4.15
5.51
4.41
4.28
4.29
4.28
3.97
10.13
9.68
6.32
7.13
4.08
4.70
5.15
4.74
2.79
2.12
1.62
1.94
3.22
2.61
2.76
2.63
2.71
2.29
2.40
2.33
13.58
15.09
14.86
15.95
100.00
100.00
100.00
100.00
7.57
7.62
7.59
7.63
187
NATSIR
Tabel 3. Sebaran foraminifera bentik di perairan Pulau Nirwana,
Kepulauan Seribu yang dikelompokkan berdasarkan marga.
Table 3. Distribution of benthic foraminifera in Nirwana Island, Seribu
Islands, classified according to genera.
Genera
Acervulina
Amphistegina
Ammonia
Calcarina
Elphidium
Heterostegina
Marginophora
Operculina
Quinqueloculina
Rosalina
Spiroloculina
Tynoporus
Total
FORAM Index
Percentage of collected benthic foraminifera (%)
North
East
South
West
3.88
7.24
6.12
3.27
1.09
1.23
0.61
1.99
18.17
18.03
16.51
13.66
1.24
0.92
0.61
1.71
18.17
13.41
17.74
17.92
0.62
0.62
1.07
1.14
0.62
0.62
0.92
0.43
0.47
0.00
0.15
0.71
19.25
18.80
20.80
17.35
16.61
17.87
18.20
21.19
18.79
20.65
16.97
19.06
1.09
0.62
0.31
1.56
100.00
100.00
100.00
100.00
1.67
1.61
1.57
1.92
Pulau Kotok Besar merupakan salah satu pulau yang terletak di bagian
utara Kepulauan Seribu. Diduga kedalaman perairan di sekitar Pulau Kotok
Besar yang berkisar antara 29 – 35 m cukup baik bagi kelangsungan hidup
maupun proses reproduksi Amphistegina lessonii yang merupakan anggota dari
Subordo Rotaliina. HALLOCK (1981) menyatakan bahwa Amphistegina lessonii
dapat hidup, tumbuh dan bereproduksi dengan baik pada kedalaman lebih dari 3
m. Jenis substrat yang mendominasi pulau tersebut adalah pasir halus dan
terumbu karang dengan tingkat kecerahan antara 8 – 10 m dan pH antara 7,80 –
7,95 (Tabel 4). Secara umum, populasi foraminifera bentik akan cenderung
berkurang pada perairan dengan tingkat kecerahan rendah (BOLTOVSKOY &
WRIGHT 1976).
Berbeda dengan Pulau Kotok besar, Pulau Nirwana yang terletak di
bagian Selatan Kepulauan Seribu memiliki kondisi perairan yang kurang layak
untuk pertumbuhan terumbu karang. Terbukti dengan hasil perhitungan FORAM
Index yang berkisar antara 1,57 – 1,92. HALLOCK et al. (2003) mengemukakan
bahwa perairan yang memiliki nilai FORAM Index kurang dari dua merupakan
perairan yang tidak sesuai untuk pertumbuhan terumbu karang. Foraminifera
188
FORAMINIFERA BENTIK
yang berasosiasi dengan terumbu karang ditemukan dalam jumlah yang sangat
sedikit (rata-rata < 5 individu), bahkan pada beberapa stasiun tidak ditemukan.
Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi terumbu karang di sekitar perairan
tersebut kurang baik. Sedikitnya jumlah foraminifera yang berasosiasi dengan
terumbu karang ini disebabkan oleh kondisi perairan (kecerahan dan pH) pulau
tersebut yang cenderung kurang sesuai untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan
dan reproduksi foraminifera. Perairan di sekitar pulau Nirwana didominasi oleh
foraminifera bentik oportunis seperti Ammonia beccarii (LINNE), Elphidium
craticulatum (FITCHEL & MOLL), Quinqueloculina parkery (BRADY) dan
Spiroloculina communis (BLAINVILLE).
Tingkat kecerahan di perairan Pulau Nirwana relatif lebih rendah, yaitu
berkisar antara 3 – 4 m (Tabel 4). Kecerahan dapat mempengaruhi penetrasi
cahaya matahari di perairan sehingga akan mempengaruhi fotosintesis dan
jumlah oksigen akan berkurang. Secara umum, populasi foraminifera bentik
akan berkurang di perairan dengan tingkat kecerahan yang rendah
(BOLTOVSKOY & WRIGHT 1976). HALLOCK (1981) menyatakan bahwa
Amphistegina lobifera hidup, tumbuh dan bereproduksi dengan baik pada
perairan dangkal (kurang dari 3 meter) dengan intensitas cahaya yang tinggi.
Derajat keasaman (pH) perairan Pulau Nirwana tercatat antara 7,40 – 7,95
dengan nilai tertinggi diperoleh dari perairan bagian selatan. Derajat keasaman
(pH) air laut berpengaruh pada kondisi cangkang foraminifera. Perairan dengan
pH asam akan melarutkan CaCO3, sehingga spesies foraminifera dengan
cangkang gampingan akan hancur dan mati, namun spesies berdinding pasiran
tidak akan terpengaruh pH yang rendah (BOLTOVSKOY & WRIGHT 1976).
Tabel 4. Kondisi lingkungan (faktor abiotik) di sekitar Pulau Kotok Besar
dan Pulau Nirwana, Kepulauan Seribu.
Table 4. Environmental condition (abiotic factors) of marine waters in the
environment of Kotok Besar and Nirwana Island of Seribu
Islands.
Paramaters
Depth
Surface
Temperature
Bottom
Surface
Salinity
Bottom
pH
Transparency
Unit
meter
°C
ppt
meter
Island
Kotok Besar
Nirwana
29 – 35
13 – 22
29.20 – 29.75
30.01 – 30.10
29.24 – 29.74
30.01 – 30.09
31.20 – 32.16
31.91 – 32.50
31.20 – 32.15
31.90 – 32.50
7.80 – 7.95
7.40 – 7.95
8 – 10
3–4
189
NATSIR
Sedimen di sekitar Pulau Nirwana didominasi oleh lumpur dan bahkan
ditemukan endapan sampah, terutama pada bagian selatan, yang ketebalannya
mencapai 20 cm. Tingkat kecerahan yang tercatat di sekitar pulau tersebut relatif
rendah, yaitu berkisar antara 3 – 4 m. Perairan Kepulauan Seribu bagian selatan
masih mendapat pengaruh dari daratan kota Jakarta yang merupakan tempat
bermuaranya 13 sungai yang mengalir di kawasan tersebut (BROWN 1986;
GIYANTO & SOEKARNO 1997). Kondisi perairan yang demikian dapat
mengakibatkan penurunan nilai kecerahannya. Penetrasi cahaya yang masuk ke
dalam perairan akan terhambat oleh rendahnya tingkat kecerahan. Secara nyata
kondisi tersebut dapat mempengaruhi kehidupan biota laut di bawahnya
termasuk foraminifera bentik. SUHARTATI (2010) menemukan sebagian besar
foraminifera di perairan Pulau Belanda terdapat di bagian utara yang mempunyai
tingkat kecerahan lebih tinggi. BOLTOVSKOY & WRIGHT (1976) menyatakan
bahwa kecerahan dapat mempengaruhi penetrasi cahaya matahari di perairan,
sehingga akan mempengaruhi fotosintesis. Kecerahan yang rendah akan
mengurangi jumlah oksigen yang akan mengakibatkan berkurangnya populasi
foraminifera bentik.
Suhu merupakan faktor ekologi yang penting bagi foraminifera. Suhu
dasar perairan yang tercatat selama penelitian di Pulau Nirwana dan Kotok Besar
relatif stabil dengan kisaran 29,24 – 30,09 °C, demikian pula dengan suhu
permukaan yang berkisar antara 29,20 – 30,10 °C (Tabel 4). Kisaran tersebut
merupakan kisaran normal untuk kehidupan foraminifera. NATLAND seperti
disitir oleh PRINGGOPRAWIRO (1982) menyatakan bahwa umumnya
foraminifera hidup pada suhu antara 1 – 50 °C dan suhu mempengaruhi
pertumbuhan cangkang, terutama pada foraminifera berdinding agglutinated.
Kisaran salinitas yang tercatat pada permukaan dan dasar perairan Pulau
kotok Besar berkisar antara 31,20 – 32,16 ppt, sedangkan pada perairan Pulau
Nirwana sedikit lebih tinggi, yaitu antara 31,90 – 31,50 ppt (Tabel 4). Salinitas
tersebut merupakan salinitas yang normal bagi kelangsungan hidup dan
pertumbuhan foraminifera bentik. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang
dilakukan oleh BRADSHAW yang disitir oleh MURRAY (1973) yang
menyatakan bahwa secara umum foraminifera bentik dapat hidup pada salinitas
antara 20 – 40 ppt. Pada kisaran salinitas tersebut, Ammonia beccarii mampu
membentuk satu kamar dalam satu hari, namun spesies tersebut hanya mampu
membentuk satu kamar dalam waktu tiga hari pada salinitas yang lebih rendah
(13 ppt). Selain itu, Ammonia beccarii tidak dapat tumbuh pada salinitas yang
lebih tinggi (50 ppt). Fenomena tersebut juga terjadi pada spesies Operculina
ammonoides.
190
FORAMINIFERA BENTIK
KESIMPULAN
Berdasarkan perhitungan FORAM Index, perairan di sekitar Pulau Kotok
Besar sangat kondusif untuk pertumbuhan terumbu karang, sedangkan kondisi
perairan Pulau Nirwana tidak layak untuk pertumbuhan terumbu karang. Secara
umum, perairan Pulau Kotok Besar didominasi oleh foraminifera bentik yang
berasosiasi dengan terumbu karang terutama dari marga Amphistegina,
Calcarina dan Tynoporus. Pulau Nirwana lebih didominasi oleh foraminifera
bentik dari kelompok oportunis seperti Ammonia, Elphidium, Quinqueloculina
dan Spiroloculina.
PERSANTUNAN
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Wahyoe Supri
Hantoro dari Pusat Penelitian Geoteknologi – LIPI dan Ir. Tjuk Aziz dari Pusat
Penelitian Geologi Laut yang telah banyak memberi masukan dan membimbing
di lapangan pada penelitian pertama dalam rangkaiannya dengan penelitian ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Subhan yang telah
membantu mengetik untuk penyelesaian tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
BARKER, R.W. 1960. Taxonomic notes. Society of economic paleontologist
and mineralogist. Special publication No. 9. Tulsa. Oklahoma, USA:
238 pp.
BOLTOVSKOY, E. and R. WRIGHT. 1976. Recent foraminifera. In: W. JUNK
(ed.) Foraminifera. The Hague, Netherland: 515 pp.
BROWN, B.E. 1986. Human induced damage to coral reefs. Unesco Reports in
Marine Science 40: 179 pp.
BUZAS, M. A. and S.J. CULVER 1982. Biogeography of modern benthic
foraminifera In: B. K. SEN GUPTA (ed.) Modern Foraminifera.
University of Tennessee Studies in Geology 6: 90–106.
CHAPMAN, F. 1902. The foraminifera. An introduction to the study of the
Protozoa. Longmans, Green and Co, London: 354 pp.
191
NATSIR
DEWI, K.T; M.N. SUHARTATI dan Y. SISWANTORO 2010. Mikrofauna
(foraminifera) terumbu karang sebagai indikator perairan sekitar
pulau-pulau kecil. Ilmu Kelautan. Edisi khusus 1: 162–170.
GRAHAM, J. J. and P. J. MILITANTE 1959. Recent foraminifera from the
Puerto Galera area, northern Mindoro, Philippines: Stanford Univ.
Pubs., Geol. Sci. 6 (2): 1–132.
GIYANTO dan SOEKARNO 1997. Perbandingan komunitas terumbu karang
pada dua kedalaman dan empat zona yang berbeda di pulau-pulau
Seribu, Jakarta. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 30: 33–51.
HALLOCK, P. 1981. Light dependence in Amphistegina. J. of Foraminifera
Research 11 (1): 40–46.
HALLOCK, P; B.H. LIDZ; E.M. COCKEY-BURKHARD and K.B.
DONNELLY 2003. Foraminifera as bioindicators in coral reef
assessment and monitoring: the FORAM Index. Environmental
Monitoring and Assessment 81(1–3):221–238.
KENNEDY, C. and W. ZIEDLER 1976. The preparation of oriented thin
sections in micropaleontology: An improved method for revealing the
internal morphology of foraminifera and other microfossils.
Mycropaleontology 22 (1): 104–107.
MURRAY, J. W. 1973. Distribution and ecology of living foraminifera. Ciane
Russell Co. Inc. New York: 274 pp.
PRINGGOPRAWIRO, H. 1982. Mikropaleontologi lanjut. Laboratorium
Mikropaleontologi Institut Teknologi Bandung. Bandung: 4–18.
RENEMA, W. 2008. Habitat selective factors Influencing the distribution of
larger benthic foraminiferal assemblages over the Kepulauan Seribu.
Marine Micropaleontology 68: 286–298.
SUHARTATI, M. N. 2010. Sebaran foraminifera bentik di Pulau Belanda,
Kepulauan Seribu pada musim barat. Ilmu Kelautan. Edisi khusus 2:
381–387.
YAMANO, H; T. MIYAJIMA and I. KOIKE 2000. Importance of foraminifera
for the formation and maintenance of a coral sand cay: Green Island,
Australia. Coral Reefs (19) : 51–58.
192
Download