PENGARUH PENAMBAHAN DOSIS KARBON YANG

advertisement
PENGARUH PENAMBAHAN DOSIS KARBON YANG
BERBEDA TERHADAP PRODUKSI BENIH IKAN PATIN
(Pangasius sp) PADA SISTEM PENDEDERAN INTENSIF
MUSYAWARAH NAJAMUDDIN
SKRIPSI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
PENGARUH PENAMBAHAN DOSIS KARBON YANG BERBEDA
TERHADAP PRODUKSI BENIH IKAN PATIN (Pangasius sp) PADA
SISTEM PENDEDERAN INTENSIF
adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2008
MUSYAWARAH NAJAMUDDIN
C14104003
RINGKASAN
MUSYAWARAH NAJAMUDDIN. Pengaruh Penambahan Dosis Karbon yang
Berbeda terhadap Produksi Benih Ikan Patin (Pangasius sp) pada Sistem
Pendederan Intensif. Dibimbing oleh TATAG BUDIARDI dan DADANG
SHAFRUDDIN
Akuakultur adalah kegiatan yang memproduksi biota (organisme) akuatik di
lingkungan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan (profit).
Keuntungan ini dapat diperoleh melalui pengelolaan sistem dan penerapan
teknologi, terutama pada sistem budidaya intensif. Sistem yang intensif
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air akibat meningkatnya produk sisa
metabolisme berupa nitrogen organik. Rasio C/N adalah salah satu cara untuk
perbaikan sistem pada budidaya intensif dan termasuk teknologi yang murah dan
aplikatif. Penerapan teknologi pada rasio C/N berupa bioteknologi karena
mengaktifkan kerja bakteri heterotrof. Perkembangan bakteri heterotrof melalui
manipulasi rasio C/N yang menggunakan bahan organik sebagai sumber karbon
dalam sistem akuakultur dapat mengurangi konsentrasi amonia. Penelitian ini
bertujuan untuk menentukan pengaruh rasio C/N pada sistem pendederan ikan
patin di akuarium melalui pemberian karbon dengan jumlah yang berbeda-beda.
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 3 Juni 2008 sampai dengan 30 Juni
2008, bertempat di laboratorium Sistem dan Teknologi, Departemen Budidaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hewan
uji yang digunakan adalah benih ikan patin berukuran panjang awal 2,66 ± 0,12
cm dan bobot awal 0,370 ± 0,05 gram. Bakteri yang digunakan adalah bakteri
heterotrof yang merupakan produk komersil dengan konsentrasi 109 CFU/ml.
Bakteri ditambahkan sebanyak 0,6 ml ke dalam air yang bervolume 30 L. Untuk
mengoptimalkan kerja bakteri heterotrof digunakan sumber karbon berupa molase
yang memiliki kandungan unsur karbon sebesar 37%. Benih ikan patin dipelihara
selama 28 hari. Wadah pemeliharaan berupa akuarium dengan volume air 30 L.
Pakan yang diberikan adalah pakan buatan dengan kandungan protein 30%.
Jumlah pakan yang diberikan 8% dari biomassa. Pakan diberikan 3 kali sehari
(pagi, siang dan sore hari) dengan cara ditebar merata. Penambahan karbon
disesuaikan dengan rasio C/N yang ditentukan dan disesuaikan dengan jumlah
pakan yang diberikan setiap hari. Parameter yang diukur antara lain derajat
kelangsungan hidup (SR), pertumbuhan panjang dan bobot, pertumbuhan panjang
baku, laju pertumbuhan harian, biomassa, produksi dan efisiensi pakan. Analisis
data dilakukan dengan analisis ragam dan uji lanjut polinom ortogonal. Selain itu
dilakukan pengukuran kualitas air yang meliputi temperatur, kandungan oksigen
terlarut, pH, amonia dan kekeruhan. Data kualitas air dianalisis secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan molase pada sistem
pemeliharaan yang stagnan berpengaruh nyata terhadap peningkatan parameter
laju pertumbuhan harian, pertumbuhan panjang baku, biomassa, efisiensi pakan
dan produksi, serta diperoleh hubungan yang linear. Walaupun parameter SR telah
menurun pada perlakuan rasio C/N 10 dan 15, tetapi kecenderungan dari kurva
kuadratik yang dibentuk masih kecil. Data kualitas air menunjukkan bahwa
kondisi físika kimia sistem pemeliharaan masih berada pada kisaran toleransi ikan
untuk hidup dan tumbuh. Berdasarkan hasil tersebut, penambahan molase sebagai
sumber karbon memberikan pengaruh yang positif pada sistem pemeliharaan yang
stagnan sehingga dapat diterapkan pada kegiatan akuakultur karena merupakan
cara yang praktis dan murah untuk mengurangi penumpukan atau mempercepat
penurunan konsentrasi nitrogen anorganik yang toksik di dalam air.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, produksi tertinggi diperoleh pada rasio
C/N 15 yaitu sebesar 7,98 gram/hari, sedangkan produksi terendah diperoleh pada
perlakuan kontrol atau rasio C/N 0 yaitu sebesar 1,95 gram/hari. Dari hasil
tersebut, secara umum rasio C/N perlu ditingkatkan lagi yaitu lebih dari 15.
PENGARUH PENAMBAHAN DOSIS KARBON YANG
BERBEDA TERHADAP PRODUKSI BENIH IKAN PATIN
(Pangasius sp) PADA SISTEM PENDEDERAN INTENSIF
MUSYAWARAH NAJAMUDDIN
SKRIPSI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Budidaya Perairan
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
SKRIPSI
Judul Skripsi
: Pengaruh Penambahan Dosis Karbon yang Berbeda
terhadap Produksi Benih Ikan Patin (Pangasius sp) pada
Sistem Pendederan Intensif
Nama Mahasiswa
: Musyawarah Najamuddin
Nomor Pokok
: C14104003
Menyetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Tatag Budiardi
NIP. 132 169 277
Ir. Dadang Shafruddin, M.Si.
NIP. 130 536 671
Mengetahui
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc.
NIP. 131 578 799
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT, Rabb Semesta Alam
yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia sehingga penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam kepada junjungan Nabiullah
Muhammad SAW, sahabat dan ummatnya yang senantiasa istiqomah hingga
akhir zaman.
Skripsi yang berjudul “Pengaruh Penambahan Dosis Karbon yang
Berbeda terhadap Produksi Benih Ikan Patin (Pangasius sp) pada Sistem
Pendederan Intensif” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Dr. Tatag Budiardi sebagai pembimbing pertama atas bimbingan, arahan,
pemikiran, materi, motivasi, kesabaran dan waktunya selama proses
pembelajaran serta penyusunan skripsi ini, sehingga dapat terselesaikan
dengan baik.
2. Ir. Dadang Shafruddin, M. Si sebagai pembimbing kedua atas bimbingan,
arahan, motivasi dan masukan yang bersifat membangun.
3. Dr. Dinamella Wahjuningrum sebagai dosen penguji pada sidang ujian
akhir/skripsi atas masukan dan motivasinya.
4. Ayahanda Najamuddin DG Muntu dan Ibunda Rosmiati, A. Md atas dukungan
moril, materi, spritual dan kasih sayang yang tiada henti-hentinya tercurahkan
untuk penulis. Adikku (Asmaul, Pia, Mitha), A. DG Sese yang telah banyak
membantu dan memotivasi penulis selama penelitian dan DG Te’ne.
5. Staf pengajar, pegawai dan laboran Departemen Budidaya Perairan atas
dukungan serta bantuannya.
6. Teman-teman BDP 41 dan 42, Rohmah, teman-teman Pondok Raos, saudara
seperjuangan di PAI dan Ikhwahfillah seperjuangan di FKM-C.
Diantara kelebihan dan kekurangannya, penulis berharap semoga karya
tulis ini berguna bagi yang membacanya.
Bogor, September 2008
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 11 Maret 1986 sebagai
anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Najamuddin DG Muntu
dan Ibu Rosmiati.
Penulis telah menyelesaikan berbagai jenjang pendidikan, diantaranya
pendidikan sekolah dasar diselesaikan di SD Pabrik Gula Takalar pada tahun
1998. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan di SLTP Neg. 1 Bajeng Kab.
Gowa dan lulus pada tahun 2001. Pendidikan menengah atas diselesaikan di
SMUN 1 Takalar dan lulus pada tahun 2004. Penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor (IPB) pada tahun 2004 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB)
sebagai mahasiswa di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen
Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor.
Selama masa perkuliahan, penulis pernah aktif menjadi pengurus Badan
Semi Otonom FKM-C (Forum Keluarga Muslim) periode 2004 s/d 2007 di
Bidang Informasi dan Komunikasi (INFOKOM), Bendahara, dan Bidang
Keputrian. Penulis juga pernah menjadi asisten pada mata kuliah Avertebrata Air
tahun ajaran 2006-2007, asisten Fisiologi Hewan Air tahun ajaran 2006-2007, dan
asisten Pendidikan Agama Islam tahun ajaran 2005-2006. Selain itu, penulis juga
pernah menjadi pengurus mata kuliah Pendidikan Agama Islam periode 2008.
Pada tahun 2007, penulis pernah mengikuti Praktek Kerja Lapangan pembenihan
udang pama (Penaeus semisulcatus) di BRPBAP Maros dan pembesaran rajungan
(Portunus pelagicus) di BBAP Takalar.
Penulis melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Penambahan
Dosis Karbon yang Berbeda terhadap Produksi Benih Ikan Patin (Pangasius
sp) pada Sistem Pendederan Intensif” sebagai syarat tugas akhir dalam
menyelesaikan studi, di bawah bimbingan Dr. Tatag Budiardi dan Ir. Dadang
Shafruddin M.Si.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ........................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... v
I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Tujuan ........................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
2.1 Biologi Ikan Patin ..........................................................................
2.2 Pendederan Ikan Patin ...................................................................
2.3 Persediaan Air ...............................................................................
2.4 Rasio C/N ......................................................................................
2.5 Molase (Tetes Tebu) .....................................................................
2.6 Bakteri Heterotrof .........................................................................
2.7 Distribusi Energi dan Pertumbuhan ..............................................
2.8 Kualitas Air ...................................................................................
2.8.1 Temperatur .....................................................................
2.8.2 DO (Oksigen Terlarut) ...................................................
2.8.3 Derajat Keasaman .........................................................
2.8.4 Amonia ...........................................................................
2.8.5 Kekeruhan ......................................................................
3
3
3
5
5
7
7
9
9
10
10
11
12
12
III. BAHAN DAN METODE ........................................................................
3.1 Waktu dan Tempat .......................................................................
3.2 Alat dan Bahan ..............................................................................
3.2.1 Hewan Uji ......................................................................
3.2.2 Bakteri Heterotrof ..........................................................
3.2.3 Sumber Karbon ..............................................................
3.2.4 Wadah dan Media Pemeliharaan ....................................
3.3 Metode Penelitian .........................................................................
3.3.1 Rancangan Perlakuan .....................................................
3.3.2 Rancangan Percobaan ....................................................
3.3.3 Prosedur Penelitian .........................................................
3.3.4 Pengamatan dan Pengolahan Data .................................
3.3.5. Analisis Data .................................................................
13
13
13
13
13
14
14
14
14
14
15
17
20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
4.1 Hasil ..............................................................................................
4.1.1 Derajat Kelangsungan Hidup .........................................
4.1.2 Pertumbuhan ..................................................................
21
21
21
22
4.1.2.1 Pertumbuhan Panjang Baku .............................
4.1.2.2 Laju Pertumbuhan Harian ................................
4.1.3 Biomassa ........................................................................
4.1.4 Produksi .........................................................................
4.1.5 Efisiensi Pakan ...............................................................
4.1.6 Kualitas Air ....................................................................
4.2 Pembahasan....................................................................................
V.
22
23
24
25
26
27
28
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 35
5.1 Kesimpulan ................................................................................... 35
5.2 Saran .............................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 36
LAMPIRAN .................................................................................................... 39
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kriteria fasilitas kolam/wadah unit pembenihan patin .............................. 4
2. Kriteria proses produksi benih patin siam ................................................. 4
3. Rasio C/N pada sistem perairan ................................................................ 6
4. Pengaruh konsentrasi oksigen terlarut pada beberapa konsentrasi ........... 11
5. Pengaruh pH terhadap udang dan ikan ...................................................... 11
6. Parameter kualitas air yang diukur dan metode
atau alat yang digunakan ........................................................................... 19
7. Kisaran kualitas air selama masa pemeliharaan ........................................ 27
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerja bakteri heterotrof pada sistem budidaya udang ...............................
8
2. Alur pemberian karbon atau molase ......................................................... 16
3. Derajat kelangsungan hidup benih ikan patin selama 28 hari ................... 21
4. Pertumbuhan panjang baku benih ikan patin selama 28 hari .................... 22
5. Laju pertumbuhan harian benih ikan patin selama 28 hari ....................... 23
6. Biomassa benih ikan patin selama 28 hari ................................................ 24
7. Produksi benih ikan patin setelah 28 hari ................................................. 25
8. Efisiensi pakan benih ikan patin selama 28 hari ........................................ 26
9. Kerja bakteri heterotrof pada sistem budidaya stagnan dengan
penambahan karbon ................................................................................... 29
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Derajat kelangsungan hidup benih ikan patin dan sidik ragamnya .......... 40
2. Data panjang (cm) dan bobot (g) benih ikan patin selama
masa pemeliharaan .................................................................................... 41
3. Jumlah pellet (g) dan molase (g) yang diberikan/hari
selama masa pemeliharaan ........................................................................ 42
4. Pertumbuhan panjang baku benih ikan patin dan sidik ragamnya ........... 43
5. Laju pertumbuhan benih ikan patin dan sidik ragamnya ......................... 44
6. Biomassa benih ikan patin dan sidik ragamnya ........................................ 45
7. Produksi benih ikan patin dan sidik ragamnya ......................................... 46
8. Efisiensi pakan dan tabel sidik ragamnya ................................................. 47
9. Data kualitas air selama 28 hari pemeliharaan .......................................... 48
10. Grafik kualitas air selama 28 hari pemeliharaan ....................................... 51
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akuakultur adalah kegiatan yang memproduksi biota (organisme) akuatik di
lingkungan
terkontrol
dalam
rangka
mendapatkan
keuntungan
(profit).
Keuntungan ini dapat diperoleh melalui pengelolaan sistem dan penerapan
teknologi, terutama pada sistem budidaya yang intensif, baik pada kegiatan
pembenihan, pendederan maupun pembesaran. Intensifikasi pada kegiatan
akuakultur dicirikan dengan adanya peningkatan kepadatan ikan dan pemberian
pakan tambahan dari luar. Hal inilah yang menjadi permasalahan utama pada
sistem budidaya intensif karena menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air
akibat meningkatnya produk sisa metabolisme berupa nitrogen anorganik.
Ikan mengasimilasi nitrogen yang terdapat di dalam pakan sebesar 67%,
sedangkan sisanya diekskresikan sebagai N-organik pada feses dan residu pakan
sebesar 33%. N-organik ini masih mengandung energi yang dapat dimanfaatkan,
tetapi berpotensi bersifat toksik bagi ikan. Oleh sebab itu pada budidaya yang
tidak dilakukan pergantian air perlu dilakukan upaya untuk menangani limbah
nitrogen ini, sehingga limbah tidak menjadi toksik bahkan bermanfaat dan
menghasilkan sistem dan teknologi budidaya yang lebih efisien, terutama dalam
menciptakan sistem yang bersifat zero waste.
Rasio C/N adalah salah satu cara untuk perbaikan sistem budidaya intensif
dan penerapan teknologi yang murah dan aplikatif dalam pengelolaan limbah
budidaya. Penerapan teknologi pada rasio C/N berupa bioteknologi karena
mengaktifkan kerja mikroba heterotrof. Hubungan rasio C/N dengan mekanisme
kerja bakteri yaitu bakteri memperoleh makanan melalui substrat karbon dan
nitrogen dengan perbandingan tertentu. Dengan demikian, bakteri dapat bekerja
dengan optimal untuk mengubah N-anorganik yang toksik menjadi N-anorganik
yang tidak toksik sehingga kualitas air dapat dipertahankan dan biomas bakteri
berguna sebagai sumber protein bagi ikan. Mekanisme inilah yang berperan pada
peningkatan efisiensi pakan. Secara umum, rasio C/N yang dikehendaki dari suatu
sistem perairan adalah rasio C/N lebih dari 15 (Avnimelech et al., 1994).
Nitrogen yang diperoleh sebagai sumber energi berasal dari sisa
metabolisme dan residu pakan, sedangkan karbon dapat diperoleh dari lingkungan
perairan budidaya. Namun ketersediaan karbon pada sistem perairan berbedabeda. Menurut Beristain (2005), rata-rata rasio C/N pada sistem perairan kolam
pemeliharaan tilapia hanya 9,5 (kisaran 7,10-10,55), sedangkan pada sistem
resirkulasi hanya sekitar 2,3.
Kegiatan pendederan ikan patin (Pangasius sp) dapat dilakukan dengan
sistem pemeliharaan di akuarium dan kondisi rasio C/N pada sistem ini serupa
dengan kondisi yang dinyatakan oleh Beristain (2005). Dengan demikian perlu
dilakukan peningkatan rasio C/N melalui penambahan karbon dari luar sistem.
Penambahan jumlah karbon yang berbeda-beda merupakan salah satu cara untuk
menentukan rasio C/N yang optimal untuk perbaikan sistem tersebut.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh rasio C/N pada sistem
pendederan ikan patin di akuarium melalui pemberian karbon dengan jumlah yang
berbeda-beda.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Ikan Patin
Ikan patin (Pangasius sp) merupakan salah satu ikan air tawar yang
mempunyai nilai ekonomis karena dapat dimanfaatkan sebagai ikan hias dan ikan
konsumsi. Ikan ini sangat potensial dibudidayakan karena memiliki pertumbuhan
relatif cepat, mampu hidup dan tumbuh pada kondisi perairan yang kadar
oksigennya rendah karena memiliki alat pernapasan tambahan (Purba, 2000).
Klasifikasi ikan patin menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Famili
: Pangasidae
Genus
: Pangasius sp.
Ikan patin berbadan panjang, berwarna putih perak dengan punggung
berwarna kebiru-biruan. Kepala ikan patin relatif kecil, mulut terletak di ujung
kepala di sebelah bawah yang merupakan ciri khas golongan catfish. Pada sudut
mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba.
Menurut Arifin (1991), sifat biologis ikan patin yaitu nokturnal atau
melakukan aktivitas pada malam hari seperti golongan catfish lainnya. Ikan patin
sesekali muncul ke permukaan air untuk mengambil oksigen dari udara langsung.
Selain itu ikan patin termasuk golongan ikan pemakan segala (omnivora).
2.2 Pendederan Ikan Patin
Persyaratan teknis unit pembenihan patin yang telah disetujui Direktur
Jenderal Perikanan Budidaya (2007) terdapat pada Tabel 1 dan 2. Persyaratan
teknis ini dapat digunakan sebagai pedoman bagi para petani dalam menjalankan
usaha pendederan ikan patin.
Tabel 1. Kriteria fasilitas kolam/wadah unit pembenihan patin
No.
1.
2.
Fasilitas
Kolam induk (m²)
Wadah penetasan indoor (liter)
Satuan
100,0
> 250
Unit
1
<2
< 500
>1
> 100
Wadah pendederan I (indoor)
< 25
a. Akuarium (liter) atau;
< 200
> 13
b. Bak (ton)
1
10 – 15
4. Wadah pendederan II
15
a. Bak (m2)
15
<4
b. Kolam (m2)
> 100
< 400
>1
Sumber : Pedoman Kelayakan Teknis Pembenihan Skala Kecil dan Data
Lapangan Tahun 2007
3.
Tabel 2. Kriteria proses produksi benih patin siam
Pendederan II
No
Kriteria
Pendederan I
1.
Padat tebar (ekor/L)
(ekor/m²)
Ukuran benih (inci)
Pupuk organik (g/m²)
Pupuk
anorganik(g/m²)
-Urea
-TSP
Jenis pakan
40
0,1-0,2
-
Akuarium/Bak
20
0,75
-
Kolam
40
0,75
500-1.000
-
-
20-50
10-25
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Artemia+Tubifex Tubifex hidup +
hidup
pakan buatan
Pakan
buatan
Frek. pakan (kali/hari)
5
4
Waktu pemeliharaan
15
21
(hari)
8. Sintasan (%)
50
85
9. Ukuran panen (inci)
0,75-1
1-2
10. Produktivitas
> 50.000
> 170.000
(ekor/siklus)
Sumber : SNI Produksi Benih Ikan Patin dan Data Lapangan Tahun 2007
3
30
80
2-3
Berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2, wadah pendederan kedua, yaitu pada
bak seluas 15 m2, padat tebar ikan patin sebanyak 20 ekor/L. Kriteria jumlah padat
tebar di bak tersebut sama seperti jumlah padat tebar di akuarium. Ikan patin yang
didederkan di akuarium atau bak pada tahap pendederan kedua (Tabel 2), ukuran
benihnya 0,75 inci. Selama masa pemeliharaan, jenis pakan yang diberikan untuk
benih tersebut adalah tubifex hidup dan pakan buatan dengan frekuensi pemberian
pakan empat kali dalam sehari. Setelah benih dipelihara selama dua puluh satu
hari, ukuran panennya dapat mencapai 1-2 inci dengan sintasan 85 %.
2.3 Persediaan Air
Syarat utama dalam usaha pendederan ikan patin adalah tersedianya air
yang cukup. Namun, dewasa ini persediaan air (water supply) sebagai kebutuhan
primer sangat terbatas sehingga pemanfaatannya harus dioptimalkan, termasuk
untuk kebutuhan pada kegiatan pendederan ikan patin. Menurut Welcomme
(2001), keterbatasan ini ditekan oleh adanya kompetisi penggunaan sumber daya,
kegiatan pertanian, konsumsi domestik, industri, transport, rekreasi dan kegiatan
perikanan. Dalam dunia akuakultur, kondisi ini menuntut untuk ditemukannya
sistem treatment air pada kegiatan perikanan agar kualitas air tetap bagus pada
sistem budidaya yang intensif yang dicirikan dengan adanya limbah atau
penumpukan nutrien yang menjadi polutan di air.
2.4 Rasio C/N
Konsep rasio C/N adalah suatu konsep yang dapat digunakan untuk
mengatasi permasalahan limbah berupa penumpukan N-anorganik dalam
lingkungan budidaya. Konsep ini dikemukakan oleh Avnimelech (1999)
menyatakan bahwa kontrol nitrogen anorganik dalam sistem perairan akuakultur
dapat diatur melalui rasio C/N. Hal ini merupakan cara yang praktis dan murah
untuk
mengurangi
penumpukan
nitrogen
anorganik
di
kolam.
Untuk
meningkatkan kontrol nitrogen, dilakukan pemberian karbon sebagai sumber
energi (pakan) bagi bakteri. Nitrogen akan berkurang karena terjadi penyusunan
protein oleh mikroba. Mekanismenya ialah dengan penambahan karbon, amonium
akan tereduksi karena dimanfaatkan bakteri untuk memproduksi protein mikroba.
Untuk menyusun biomassa mikroba diperlukan konsep rasio C/N dan
karbon adalah bahan yang ditambahkan sebagai bahan dalam penyusunan
biomassa mikroba. Penambahan karbon sebagai substrat telah dibuktikan dapat
mengurangi nitrogen anorganik pada percobaan yang dilakukan di tank udang dan
kolam produksi tilapia. Di dalam kolam tilapia telah ditemukan bahwa produksi
protein mikroba dapat dimanfaatkan oleh ikan sebagai pakan. Selain itu, hasil dari
percobaan terkait rasio C/N yaitu pertumbuhan ikan pada kolam yang diberi
perlakuan berupa penambahan karbon lebih tinggi daripada ikan yang
ditumbuhkan dengan teknik konvensional. Koefisien konversi protein pakan dan
biaya pakan untuk produksi ikan menurun secara signifikan setelah menggunakan
teknik rasio C/N (Avnimelech et al., 1994).
Beristain (2005) menyatakan, bahwa karbon dan nitrogen merupakan
kesatuan yang telah ditetapkan sebagai pembentuk jaringan biomassa bakteri.
Apabila mempertimbangkan kebutuhan karbon untuk respirasi, perbandingan
karbon dan nitrogen yang optimal dapat ditingkatan di atas 10 pada kondisi
aerobik. Hal yang sama dinyatakan oleh Chamberlain et al. (2001), bahwa
perbandingan antara karbon dengan nitrogen sangat berpengaruh terhadap kerja
bakteri. Rasio C/N sekitar 20 akan mempercepat proses dekomposisi. Jika C/N
sangat tinggi, seperti halnya pada sistem perairan alami, maka N akan menjadi
sangat terbatas, sedangkan senyawa nitrogen digunakan sebagai pupuk dan salah
satu bahan yang dimanfaatkan oleh bakteri untuk membentuk jaringan biomassa
bakteri. Pada sistem resirkulasi, pakan yang biasanya digunakan adalah pakan
yang kandungan proteinnya 40-50%, sehingga rasio C/N dapat menjadi rendah
yaitu 2, sedangkan produksi bakteri bergantung pada ketersediaan karbon. Rasio
C/N dari beberapa lingkungan perairan ditunjukkan pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Rasio C/N pada sistem perairan (Beristain, 2005).
Sistem
Rasio C/N
Perairan laut
7-40 (kisaran 6,99-27,63)
Danau
12,5 (kisaran 6-30)
Kolam pemeliharaan tilapia
9,5 (kisaran 7,10-10,55)
Resirkulasi catfish
sekitar 2,3
2.5 Molase (Tetes Tebu)
Permasalahan yang sering terjadi pada sistem budidaya intensif yaitu
terjadinya peningkatan buangan metabolik berupa nitrogen anorganik, terutama
amonia dan nitrit. Aktivitas suspensi mikroba dapat mengontrol konsentrasi
nitrogen anorganik dengan memanfaatkan kembali residu protein yang tidak
dicerna oleh ikan. Penambahan karbon ke dalam kolam akan mempercepat
penurunan konsentrasi nitrogen anorganik di dalam air (Avnimelech, 2000).
Molase adalah salah satu sumber karbon yang dapat digunakan untuk
mempercepat penurunan konsentrasi nitrogen anorganik di dalam air. Molase
merupakan limbah pabrik gula pasir yang tidak dapat dikristalkan. Molase adalah
hasil samping industri gula yang mengandung senyawa nitrogen, trace element
dan kandungan gula yang cukup tinggi terutama kandungan sukrosa sekitar 34%
dan kandungan total karbon sekitar 37%. Molase berbentuk cair, berwarna coklat
seperti kecap dengan aroma yang khas (Suastuti, 1998).
Penambahan molase akan mengurangi konsentrasi TAN (total amonia
nitrogen) sekitar 65% dari perairan selama 6 jam. Namun, dosis molase yang
rendah akan dikonsumsi oleh bakteri sebelum asimilasi amonia. Pada dosis yang
tinggi, bakteri kembali mengasimilasi setelah 12 jam, sehingga sebagian besar
amonia tereliminasi dari perairan. Kosentrasi TAN akan terus meningkat apabila
jumlah karbon menurun, sehingga perlu penambahan molase setiap hari agar
manajemen amonia terus berlangsung (Willet et al., 2007). Selain itu penambahan
karbon sebaiknya ditingkatkan hingga rasio C/N lebih dari 10 agar akumulasi
DON (dissolved organic nitrogen) berkurang (Erler et al., 2005).
2.6 Bakteri Heterotrof
Penambahan molase sebagai sumber karbon dan adanya penumpukan
nitrogen anorganik yang sebagian besar berasal dari residu pakan dan feses akan
dimanfaatkan oleh bakteri heterotrof. Bakteri heterotrof adalah bakteri yang
membutuhkan karbon organik dan nitrogen anorganik sebagai sumber energi.
Studi nutrisi menunjukkan bahwa banyak bakteri yang mampu mengasimilasi
berbagai senyawa karbon organik yang dimanfaatkan untuk menyusun sel yang
baru. Pada kondisi berat kering, sel bakteri terdiri dari 50% karbon (Parker, 1997).
Selain karbon, bahan yang dibutuhkan oleh bakteri adalah nitrogen, yang
dapat ditemukan pada bahan organik dan anorganik. Pada kondisi berat kering, sel
bakteri terdiri dari 12% nitrogen. Di alam, nitrogen tersedia dalam bentuk
anorganik seperti amonia (NH3), nitrat (NO3-) atau N2. Bakteri mampu
menggunakan amonium dan nitrat sebagai sumber nitrogen, namun hanya bakteri
tertentu yang memanfaatkan N2 sebagai sumber nitrogen (Parker, 1997).
Menurut Sugita et al. (1985), bakteri heterotrof berperan penting untuk
menjaga
keseimbangan
kualitas
air
karena
bakteri
heterotrof
mampu
mengasimilasi bahan secara langsung dari lingkungan abiotik, dari materi yang
dilepaskan sebagai hasil ekskresi, atau dari organisme yang mati di dalam
ekosistem perairan. Bahan tersebut dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk
pertumbuhan bakteri heterotrof (Sugita et al., 1987). Hal yang sama dinyatakan
oleh Ming (1985) bahwa amonium adalah hasil ekskresi yang menjadi sumber
energi dan dapat disintesis kembali menjadi protein. Kerja bakteri heterotrof pada
sistem budidaya udang dalam memanfaatkan amonium tertera pada Gambar 1
(Montoya dan Mario, 2000).
Populasi
Nitrosomonas sp.
Proporsi NH4+
Tingkat
oksidasi
NH3-N
Tingkat
oksidasi
NO3--N
NO2--N
15 %
Tingkat pengambilan
NH4+-N
Partikel
pakan
<1%
43 %
Populasi heterotrof
Pakan tidak
termakan
< 10 %
Feses
70 %
NH4+-N
Populasi
Nitrosococcus sp.
N Bakteri
Heterotrof
Tingkat degradasi
Gambar 1. Kerja bakteri heterotrof pada sistem budidaya udang
(Montoya dan Mario, 2000)
2.7 Distribusi Energi dan Pertumbuhan
Pada pendederan intensif yang menerapkan konsep rasio C/N, pakan buatan
dan pakan alami berupa SCP akan dikonsumsi oleh ikan yang selanjutnya
mengalami proses pencernaan, penyerapan, pengangkutan dan metabolisme.
Menurut Affandi (2002), sehubungan dengan kekomplekan zat makanan dan
keterbatasan kemampuan mencerna maka tidak semua pakan yang dikonsumsi
dapat diserap oleh tubuh ikan. Bagian pakan yang tidak dapat dicerna dan diserap
tubuh akan dibuang sebagai feses, sedangkan zat makanan yang terserap setelah
diangkut menuju organ target, ada yang dapat dimetabolisir dan ada yang tidak
dapat dimetabolisir. Bahan yang tidak dapat dimetabolisir diekskresikan dalam
bentuk urin, sedangkan bahan yang dapat dimetabolisir sebagian akan mengalami
proses katabolisme sehingga dapat dihasilkan energi bebas dan sebagian lagi akan
dijadikan bahan untuk menyusun jaringan baru (pertumbuhan) dan proses lainnya
dalam rangka menunjang kelangsungan hidup.
Menurut Buwono (2000), pertumbuhan diasumsikan sebagai pertambahan
jaringan struktural, yang berarti pertambahan atau peningkatan jumlah protein
dalam jaringan tubuh. Hampir semua jaringan secara aktif mengikat asam-asam
amino dan menyimpannya secara intraseluler dalam konsentrasi yang lebih besar
untuk dibentuk menjadi protein tubuh. Untuk mencapai pertumbuhan yang
optimal dibutuhkan jumlah pakan yang cukup dan kualitas yang bagus sesuai
dengan spesies ikan yang dibudidayakan. Penentuan kuantitas dan kualitas pakan
dapat ditentukan dan diatur melalui feeding management. Menurut Umar et al.
(2000), feeding management sangat penting karena pakan dalam usaha budidaya
merupakan faktor produksi yang mahal sebab memerlukan biaya sebesar 48,1%
s/d 65%. Feeding management yang tepat akan meningkatkan tingkat
pertumbuhan dan memperkecil nilai FCR (food convertion ratio). Tingkat
pertumbuhan dan FCR merupakan dua parameter yang menentukan keberhasilan
usaha budidaya (Henken et al., 1986).
2.8 Kualitas Air
Dunham (2004) menyatakan bahwa proses biologi dan fisiologi ikan
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terkait kualitas air, sehingga kedua proses ini
akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan dan kondisi luas permukaan insang.
Misalnya ikan yang berukuran lebih besar kurang toleran terhadap kandungan
oksigen yang rendah, sedangkan ikan yang berukuran lebih kecil sangat toleran
terhadap kandungan oksigen yang rendah.
Selain itu perubahan lingkungan berpengaruh besar pada stok ikan yang
dipelihara karena perubahan ini sering menyebabkan stres yang hebat yang
berdampak pada timbulnya penyakit atau penyebab kematian yang mendadak
sehingga kegiatan akuakultur tidak memperoleh profit akibat menurunnya
produksi (Roedel, 1975).
2.8.1 Temperatur
Kisaran temperatur yang optimum untuk perkembangan telur dan kegiatan
pembesaran yaitu 25,5-27,5 0C. Apabila temperatur sangat rendah, penetasan dan
pertumbuhan akan berlangsung lambat dan memicu tumbuhnya jamur.
Temperatur yang tinggi akan berpengaruh pada perkembangan embrio yang cepat.
Selain itu direkomendasikan agar suhu di atas 27,5 0C untuk mencegah terjadinya
penyakit bakteri dan virus (Hargreaves dan Tucker, 2004).
Hogendoorn et al. (1983) menyatakan, bahwa kisaran temperatur
berpengaruh pada pertumbuhan. Pertumbuhan optimal pada ikan kecil berada
pada kisaran suhu 27,5-32,5
0
C. Namun pada suhu 35
0
C, pertumbuhan
berlangsung lambat dan pada suhu yang lebih tinggi lagi akan terjadi deformasi.
Pada ikan yang berukuran besar, pertumbuhan maksimal terjadi pada kisaran 2527,5 0C, tetapi pertumbuhan menurun pada suhu 20 0C dan 30 0C.
2.8.2 Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO) adalah salah satu faktor pembatas
dalam kegiatan pembenihan karena fase ikan pada tahap ini memiliki tingkat
metabolisme dan kebutuhan yang tinggi. Konsentrasi kandungan oksigen terlarut
sebaiknya tidak boleh di bawah 4 ppm (Hargreaves dan Tucker, 2004). Menurut
Boyd (1990), pengaruh dari beberapa konsentrasi oksigen terlarut pada kolam
ikan ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh konsentrasi oksigen terlarut pada beberapa konsentrasi
Konsentrasi DO
(mg/L)
0
0,3-1,0
1-4
5
Pengaruh
hanya ikan kecil yang mampu bertahan hidup, tetapi dalam
waktu yang singkat
ikan akan mati apabila kondisi ini berlangsung lama
ikan akan hidup, tetapi pertumbuhan lambat apabila kondisi
ini berlangsung lama
nilai yang diharapkan
Kekurangan oksigen di dalam air dapat diatasi dengan pemberian aerasi
sebelum air digunakan. Namun, sebelum diaerasi, konsentrasi oksigen pada air
yang akan digunakan harus diketahui agar tidak terjadi kondisi supersaturasi yang
menyebabkan buble gas disease. Menurut Boyd (1989), tingkat saturasi oksigen
terlarut di dalam air dinyatakan dalam persen (%) saturasi dengan rumus:
% saturasi =
konsentras i oksigen terlarut di dalam air
x 100
konsentras i oksigen terlarut pada saturasi tertentu
2.8.3 Derajat Keasaman
Derajat keasaman pH adalah konsentrasi ion hidrogen di dalam air atau
suatu kondisi yang asam atau basa di dalam air. Air pada pH 7 adalah suatu
kondisi yang tidak asam dan juga tidak basa atau suatu kondisi yang netral.
Apabila kisaran pH di dalam air di bawah 7 maka kondisinya asam, sedangkan
apabila kisaran pH di dalam air di atas 7 maka kondisinya basa (Boyd, 1989).
Pengaruh pH terhadap udang maupun ikan tertera pada Tabel 5.
Tabel 5. Pengaruh pH terhadap udang dan ikan
pH
4
4-6
6-9
9-11
11
Pengaruh
kondisi asam yang mematikan
pertumbuhan lambat
kisaran yang bagus untuk pertumbuhan
pertumbuhan lambat
kondisi basa yang mematikan
2.8.4 Amonia
Jumlah amonia yang banyak di dalam air, yang berasal dari ekskresi ikan
merupakan senyawa nitrogen yang berbau busuk karena aktivitas mikroba yang
memanfaatkan senyawa ini. Tanaman mengabsorbsi amonia dengan cepat dan
bakteri tertentu mengoksidasi amonia dan nitrat, sehingga kandungan amonia di
dalam air akan berkurang. Namun di dalam kolam dengan kepadatan ikan yang
tinggi dan adanya masukan pakan buatan, akan berakibat pada tingginya
konsentrasi amonia bahkan berada di luar batas toleransi.
Di dalam air, terjadi reaksi keseimbangan antara amonium yang terionisasi
+
(NH4 ) dengan yang tidak terionisasi (NH3). Konsentrasi amonia ditentukan oleh
pH dan temperatur, dengan persamaan reaksi:
NH3 + H2O
NH4+ + OH-
; K = 10-4,74
Amonia yang tidak terionisasi akan menjadi senyawa yang toksik bagi ikan, tetapi
amonia yang terionisasi tidak toksik bagi ikan (Boyd, 1992). Avnimelech et al.
(1994) menyatakan, bahwa ikan di dalam kolam hanya dapat mengasimilasi
nitrogen yang ada di dalam pakan sekitar 67%. Sisanya sebesar 33%
diekskresikan sebagai NH4 atau N-organik pada feses atau residu pakan.
2.8.5 Kekeruhan
Effendi (2000) menyatakan bahwa kekeruhan adalah sifat optik air yang
ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh
bahan-bahan yang terdapat daam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik
dan anorganik baik yang tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus,
bahan anorganik dan bahan organik seperti plankton dan mikrorganisme lainnya.
Kekeruhan yang baik untuk sistem pemeliharaan ikan adalah kurang dari 20
NTU (Nephelometric Turbidity Unit) atau setelah dikonversi sama dengan 42
KTU (Kaolin Turbidity Unit). Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan
terganggunya sistem osmoregulasi seperti pernapasan dan daya lihat organisme
akuatik serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air (Effendi, 2000).
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 3-30 Juni 2008 selama 28 hari,
bertempat di laboratorium Sistem dan Teknologi Akuakultur, Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
3.2 Alat dan Bahan
Alat-alat dan bahan yang digunakan antara lain akuarium, termometer,
perangkat aerasi, lampu 15 watt, plastik hitam, kain kasa, timbangan digital,
jangka
sorong,
serokan
ikan,
DO-meter,
pH-meter,
spektrofotometer,
turbidimeter, pipet, bulp, beaker glass, autoklaf dan kertas tisu.
3.2.1 Ikan Uji
Ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah benih ikan patin yang
memiliki panjang awal 2,66 ± 0,12 cm dan bobot awal 0,370 ± 0,05 gram. Ikan
yang digunakan dipilih yang berukuran seragam. Benih ini diperoleh dari
Laboratorium Lapangan Departemen Budidaya Perairan. Sebelum ditebar, benih
ikan patin diadaptasikan terlebih dahulu selama 4 hari.
3.2.2 Bakteri Heterotrof
Bakteri yang digunakan adalah bakteri heterotrof yang merupakan produk
komersial dengan konsentrasi bakteri 1,0 x 109 CFU/ml (Andhara, 2007). Produk
bakteri yang dimasukkan ke dalam air berbentuk cair. Berdasarkan aturan pakai,
dosis yang ditambahkan ke dalam air sebanyak 1 ml per 50 L air, sehingga untuk
volume 30 L air, dosis yang diberikan pada penelitian sebanyak 0,6 ml.
3.2.3 Sumber Karbon
Sumber karbon yang digunakan adalah molase yang merupakan limbah
dari pabrik gula. Kandungan unsur karbon molase sebesar 37% (Suastuti, 1998).
Pemberian karbon ke dalam air dilakukan setiap hari.
3.2.4 Wadah dan Media Pemeliharaan
Wadah pemeliharaan yang digunakan untuk memelihara benih ikan patin
adalah akuarium berukuran 24 x 19,5 x 30 cm sebanyak 12 buah. Volume air pada
masing-masing akuarium yaitu 30 L yang diisi ikan sebanyak 150 ekor atau
masing-masing akuarium memiliki kepadatan tebar awal sebanyak 5 ekor/L.
Sistem yang digunakan pada penelitian ini adalah sistem yang stagnan tanpa
pergantian air selama 28 hari.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Rancangan Perlakuan
Penelitian ini terdiri dari empat perlakuan dengan tiga kali ulangan.
Perlakuan yang diberikan antara lain perlakuan rasio C/N 0, rasio C/N 5, rasio
C/N 10 dan rasio C/N 15.
3.3.2 Rancangan Percobaan
Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 3 kali ulangan dengan model menurut Steel dan Torrie (1991) sebagai
berikut:
Yij = μ + δ i + ε ij
Keterangan : Yij
= nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dengan ulangan ke-j
μ
= rataan umum
δi
= pengaruh perlakuan ke-i
εij
= pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke-i, ulangan
ke-j
3.3.3 Prosedur Penelitian
Tahap Persiapan dan Penebaran Ikan Uji
Tahap persiapan meliputi desinfeksi wadah dan alat yang akan digunakan,
media tempat pemeliharaan, perlakuan pada air dan adaptasi ikan uji. Bahan yang
digunakan sebagai desinfektan wadah dan alat yaitu klorin yang kemudian
dinetralisir dengan Na2SO3. Untuk menstabilkan suhu,
tempat pemeliharaan
dirancang dengan pemasangan lampu dan menutup akuarium dengan plastik
hitam. Setelah itu, akuarium diisi air sebanyak 30 L lalu diaerasi kuat selama 6
hari. Adaptasi ikan uji dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengaerasian
tersebut.
Setelah tahap persiapan dilakukan, tahap selanjutnya adalah tahap
penebaran ikan uji. Sebelum ikan uji ditebar, dilakukan sampling panjang dan
bobot dengan pengambilan sampel secara acak sebanyak 30 ekor ikan untuk tiap
akuarium. Pengambilan sampel air sebagai data kualitas air awal dilakukan
sebelum ikan ditebar. Pada awal masa pemeliharaan, dilakukan pemberian pakan,
molase dan bakteri untuk semua akuarium dalam jumlah yang sama.
Pemberian Pakan
Pakan yang diberikan selama penelitian (28 hari) adalah pakan buatan
komersial dengan kandungan protein 30%. Jumlah pakan yang diberikan
sebanyak 8% dari biomassa dengan frekuensi 3 kali sehari (pagi, siang dan sore
hari). Pemberian pakan dilakukan dengan cara ditebar merata.
Prosedur Penambahan Karbon
Penambahan karbon disesuaikan dengan rasio C/N yang ditentukan.
Pemberian karbon ke dalam media pemeliharaan diberikan setiap hari. Alur
pemberian karbon atau molase yang dibutuhkan setiap hari berdasarkan kebutuhan
rasio C/N yang ditentukan ditunjukkan pada Gambar 2.
Jumlah pakan/hari yaitu
FR (%) x biomassa (gram)
Persamaan 1 x kandungan protein pakan
.......... (Persamaan 1)
.......... (Persamaan 2)
Persamaan 2 x 16% (persentase jumlah N dalam protein pakan)
.......... (Persamaan 3)
Persamaan 3 x 33% (jumlah pakan yang menjadi limbah)
.......... (Persamaan 4)
Persamaan 4 x rasio C/N yang ditentukan
.......... (Persamaan 5)
37%/Persamaan 5 = 100/ molase yang dibutuhkan
Gambar 2. Alur pemberian karbon atau molase
Berdasarkan alur perhitungan penambahan karbon (Gambar 2), apabila
jumlah pakan yang diberikan setiap hari sebanyak 1 kg dengan kandungan protein
sebesar 30% dan kandungan karbon di dalam molase sebesar 37%, maka
penambahan molase yang ditambahkan setiap hari untuk 1 kg pakan yaitu pada
perlakuan rasio C/N 5, jumlah molase yang ditambahkan 214,05 gram/hari, pada
perlakuan rasio C/N 10, jumlah molase yang ditambahkan 428,10 gram/hari dan
pada perlakuan rasio C/N 15, jumlah molase yang ditambahkan 642,16 gram/hari.
3.3.4 Pengamatan dan Pengolahan Data
Parameter yang diamati selama penelitian meliputi jumlah ikan, panjang
baku dan bobot ikan, serta kualitas air.
Jumlah ikan dihitung dengan cara
menghitung jumlah ikan yang mati setiap hari sehingga diketahui jumlah ikan
yang hidup. Panjang baku diukur dengan menggunakan jangka sorong, sedangkan
bobot diukur dengan menggunakan timbangan digital.
Dari parameter yang diamati kemudian dihitung untuk mendapatkan
parameter derajat kelangsungan hidup (survival rate, SR), panjang baku (P), laju
pertumbuhan harian (α), biomassa (BM), produksi (yield, Y), serta efisiensi pakan
(EP).
Derajat Kelangsungan Hidup
Derajat kelangsungan hidup dihitung berdasarkan data jumlah ikan yang
hidup pada akhir pemeliharaan dan jumlah ikan yang ditebar pada awal
pemeliharaan dengan menggunakan rumus dari Goddard (1996):
SR =
Nt
x 100 %
No
Keterangan: SR = tingkat kelangsungan hidup ikan (%)
Nt = jumlah ikan pada akhir pemeliharaan (gram)
No = jumlah ikan pada awal penebaran (gram)
Pertumbuhan Panjang Baku
Pertumbuhan panjang baku diperoleh dari selisih antara panjang baku
akhir dengan panjang baku awal dengan menggunakan rumus dari Effendi (1979):
P = Pt – Po
Keterangan: P = pertumbuhan panjang baku (cm)
Pt = panjang rata-rata ikan pada akhir pemeliharaan (cm)
Po = panjang rata-rata ikan pada awal pemeliharaan (cm)
Laju Pertumbuhan Harian
Laju pertumbuhan harian dapat diketahui dari data bobot akhir dan bobot
awal selama pemeliharaan. Laju pertumbuhan harian dihitung dengan
menggunakan rumus dari Huisman (1987):
⎡ Wt
⎤
− 1⎥ x 100 %
⎣ Wo ⎦
α = ⎢t
Keterangan: Wt = bobot rata-rata benih pada akhir pemeliharaan (gram)
Wo = bobot rata-rata ikan pada awal pemeliharaan (gram)
t = lama pemeliharaan (hari)
α = laju pertumbuhan harian (%)
Biomassa
Biomassa merupakan perkalian antara jumlah anggota populasi dengan
bobot rata-rata dengan menggunakan rumus (Effendi, 2004):
BM = Nt x Wt
Keterangan: BM = biomassa (gram)
Nt
= populasi (ekor)
Wt
= bobot rata-rata (gram/ekor)
Produksi (Yield)
Untuk mengetahui bobot ikan yang dihasilkan selama pemeliharaan,
dihitung berdasarkan laju pertumbuhan harian dan jumlah ikan yang hidup di
akhir pemeliharaan yaitu menggunakan rumus :
Yield ( gram / hari ) =
( NtxWt ) − ( NoxWo )
t
Keterangan: Nt = jumlah individu pada hari ke-t (ekor)
No = jumlah individu pada har ke-o (ekor)
Wt = bobot rata-rata individu pada hari ke-t (gram)
Wo = bobot rata-rata individu pada hari ke-o (gram)
t = lama pemeliharaan (hari)
Efisiensi Pakan
Efisiensi pakan dihitung dengan cara menjumlahkan pakan yang diberikan
setiap hari. Selanjutnya berdasarkan data bobot ikan dan jumlah pakan dihitung
efisiensi pakan dengan rumus :
⎧ ( Wt + D ) − Wo ⎫
⎬ x 100 %
F
⎩
⎭
EP = ⎨
Keterangan: EP = efisiensi pakan (%)
Wt = bobot total ikan di akhir pemeliharaan (gram)
Wo = bobot total ikan di awal pemeliharaan (gram)
D = bobot total ikan yang mati selama pemeliharaan (gram)
F = total pakan yang diberikan (gram)
Kualitas Air
Sifat fisika dan kimia air diamati seminggu sekali dengan pengambilan air
sampel yang kemudian diamati di laboratorium. Parameter kualitas air yang
diamati meliputi amonia, suhu, oksigen terlarut, pH dan kekeruhan.
Tabel 6. Parameter kualitas air yang diukur dan metode atau alat yang digunakan
Parameter
Kekeruhan
Suhu
Oksigen terlarut
pH
Amonia (TAN)
Satuan
Alat/Metode
NTU
Turbidimetri
o
C
Termometer
(mg/L)
DO-meter
unit
pH-meter
(mg/L)
Spektrofotometer/Phenate Method
3.3.5 Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil sampling per minggu dicatat, dikumpulkan
dan ditabulasi. Dari data tersebut kemudian dihitung untuk menentukan parameter
produksi yang berupa derajat kelangsungan hidup, pertumbuhan panjang baku,
laju pertumbuhan harian, biomassa, produksi dan efisiensi pakan. Selanjutnya data
produksi dianalisis dengan menggunakan ANOVA (pada selang kepercayaan
99%) dan uji lanjut polinom ortogonal. Data kualitas air dianalisis secara
deskriptif dengan penyajian tabel dan gambar.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Derajat Kelangsungan Hidup
Derajat kelangsungan hidup (SR) yang diperoleh pada akhir penelitian
berkisar pada 47,33-91,33%. Persentase ini dapat dilihat pada Gambar 3 dan pada
Lampiran 1. Pada Gambar 3 ditunjukkan, SR pada rasio C/N 0, rasio C/N 5, rasio
C/N 10 dan rasio C/N 15 secara berturut-turut adalah 47,33%, 91,33%, 89,78%
dan 88,89%. Perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap SR (p<0.01).
Perlakuan rasio C/N 0 berbeda nyata dengan perlakuan rasio C/N 5, 10 dan 15.
Namun perlakuan rasio C/N 5, 10 dan 15 tidak berbeda nyata. Nilai SR yang
terendah dicapai pada rasio C/N 0, sedangkan nilai SR yang tertinggi dicapai pada
rasio C/N 5. Awal penurunan nilai SR terjadi pada rasio C/N 10, kemudian rasio
C/N 15.
Dari hasil uji lanjut polinom ortogonal menunjukkan adanya hubungan
kuadratik antara rasio C/N dengan SR (Gambar 3), yang mengikuti persamaan y =
-0,4489x2 + 9,1954x + 49,645 (R2= 0,8934; p<0,01). Nilai koefisien
determinasinya adalah 0,8934, artinya model dugaan dapat menjelaskan model
Derajat kelangsungan hidup (%)
yang sebenarnya sebesar 89,34%.
100
y = -0,4489x 2 + 9,1954x + 49,645
R2 = 0,8934
91,33
80
89,78
88,89
60
47,33
40
20
b
a
a
a
0
5
10
15
0
Rasio C/N
Gambar 3. Derajat kelangsungan hidup benih ikan patin selama 28 hari
4.1.2 Pertumbuhan
4.1.2.1 Pertumbuhan Panjang Baku
Pertumbuhan panjang baku benih ikan patin selama masa pemeliharaan
pada keempat rasio C/N disajikan pada Lampiran 4 dan Gambar 4. Pada Gambar
4, pertumbuhan panjang baku pada rasio C/N 0, rasio C/N 5, rasio C/N 10 dan
rasio C/N 15 secara berturut-turut adalah 1,96 cm, 2,15 cm, 2,21 cm dan 2,45 cm.
Perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan panjang baku
(p<0.01). Perlakuan rasio C/N 5 tidak berbeda nyata dengan perlakuan rasio C/N
0 dan rasio C/N 10, tetapi perlakuan rasio C/N 15 berbeda nyata dengan perlakuan
rasio C/N 0, 5 dan 10. Nilai pertumbuhan panjang baku yang tertinggi dicapai
pada rasio C/N 15, sedangkan nilai pertumbuhan panjang baku yang terendah
terdapat pada rasio C/N 0.
Dari hasil uji lanjut polinom ortogonal menunjukkan adanya hubungan
linier antara rasio C/N dengan pertumbuhan panjang baku (Gambar 4), yang
y = 0,0309x + 1,9614 (R2= 0,8758; p<0,01). Dengan
mengikuti persamaan
demikian, setiap kenaikan rasio C/N sebesar satu satuan akan menaikkan
pertumbuhan panjang baku sebesar 0,0309 cm, serta semakin tinggi rasio C/N
maka semakin tinggi pertumbuhan panjang baku. Nilai koefisien determinasinya
adalah 0,8758, artinya model dugaan dapat menjelaskan model yang sebenarnya
P ertum buhan panjang baku
(cm )
sebesar 87,58%.
y = 0,0309x + 1,9614
R2 = 0,8758
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0
2,45
2,21
2,15
1,96
c
bc
b
a
0
5
10
15
Rasio C/N
Gambar 4. Pertumbuhan panjang baku benih ikan patin selama 28 hari
4.1.2.2 Laju Pertumbuhan Harian
Pada Gambar 5, angka laju pertumbuhan harian dari yang tertinggi sampai
dengan yang terendah secara berturut-turut yaitu rasio C/N 15 sebesar 5,24%,
rasio C/N 10 sebesar 5,57%, rasio C/N 5 sebesar 5,99% dan rasio C/N 0 sebesar
6,38%. Perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan
harian (p<0. 01). Perlakuan rasio C/N 5 tidak berbeda nyata dengan perlakuan
rasio C/N 0 dan rasio C/N 10. Demikian pula dengan perlakuan rasio C/N 10 yang
tidak berbeda nyata dengan perlakuan rasio C/N 15, tetapi perlakuan rasio C/N 15
berbeda nyata dengan perlakuan rasio C/N 0 dan 5. Angka laju pertumbuhan
harian yang tertinggi dicapai pada rasio C/N 15, sedangkan angka laju
pertumbuhan harian yang terendah dicapai pada rasio C/N 0.
Dari hasil uji lanjut polinom ortogonal menunjukkan adanya hubungan
linier antara rasio C/N dengan laju pertumbuhan harian (Gambar 5), yang
y = 0,0769x + 5,2211(R2= 0,9368; p<0,01). Dengan
mengikuti persamaan
demikian, setiap kenaikan rasio C/N sebesar satu satuan akan menaikkan laju
pertumbuhan sebesar 0,0769%, serta semakin tinggi rasio C/N maka semakin
tinggi laju pertumbuhan harian. Nilai koefisien determinasinya adalah 0,9368,
Laju pertumbuhan harian (%)
artinya model dugaan dapat menjelaskan model yang sebenarnya sebesar 93,68%.
8
7
6
5
4
3
2
1
0
y = 0,0769x + 5,2211
R2 = 0,9368
6,38
5,99
5,57
5,24
c
bc
ab
a
0
5
10
15
Rasio C/N
Gambar 5. Laju pertumbuhan harian benih ikan patin selama 28 hari
4.1.3 Biomassa
Perbandingan biomassa pada keempat rasio C/N dapat dilihat pada Gambar
6 dan Lampiran 6. Pada akhir pemeliharaan, biomassa dari yang tertinggi sampai
dengan yang terendah berturut-turut yaitu rasio C/N 15, 10, 5 dan 0. Perlakuan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap biomassa (p<0.01). Perlakuan rasio
C/N 0 dan 5 berbeda nyata, tetapi perlakuan rasio C/N 10 tidak berbeda nyata
dengan perlakuan rasio C/N 5 dan 15. Namun perlakuan rasio C/N 15 berbeda
nyata dengan perlakuan rasio C/N 5 dan 0.
Dari hasil uji lanjut polinom ortogonal menunjukkan adanya hubungan linier
antara rasio C/N dengan biomassa (Gambar 6), yang mengikuti persamaan
y=
10,593x + 139,19 (R2= 0,8112; p<0,01). Dengan demikian, setiap kenaikan rasio
C/N sebesar satu satuan akan menaikkan biomassa sebesar 10,593 gram, serta
semakin tinggi rasio C/N maka semakin tinggi biomassa. Nilai koefisien
determinasinya adalah 0,8112, artinya model dugaan dapat menjelaskan model
yang sebenarnya sebesar 81,12%.
B iom assa (gram )
300
y = 10,593x + 139,19
R2 = 0,8112
278
250
254
200
231
150
100
50
110
c
b
ab
a
0
5
10
15
0
Rasio C/N
Gambar 6. Biomassa benih ikan patin selama 28 hari
4.1.4 Produksi
Perbandingan jumlah produksi pada keempat rasio C/N dapat dilihat pada
Gambar 7 yaitu terdapat jumlah produksi yang berbeda pada keempat rasio C/N.
Jumlah produksi pada rasio C/N 0, 5, 10 dan 15 secara berturut-turut adalah 1,95
gram/hari, 6,27 gram/hari, 7,11 gram/hari dan 7,98 gram/hari. Perlakuan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi (p<0.01). Perlakuan rasio
C/N 0 dan 5 berbeda nyata, tetapi perlakuan rasio C/N 10 tidak berbeda nyata
dengan perlakuan rasio C/N 5 dan 15. Namun perlakuan rasio C/N 15 berbeda
nyata dengan perlakuan rasio C/N 5 dan 0. Jumlah produksi yang terbesar dicapai
pada rasio C/N 15, sedangkan jumlah produksi yang terkecil terdapat pada rasio
C/N 0.
Dari hasil uji lanjut polinom ortogonal menunjukkan adanya hubungan
linier antara rasio C/N dengan produksi (Gambar 7), yang mengikuti persamaan
y = 0,3784x + 2,9889 (R2= 0,8113; p<0,01). Dengan demikian, setiap kenaikan
rasio C/N sebesar satu satuan akan menaikkan produksi sebesar 0,3784 gram/hari,
serta semakin tinggi rasio C/N maka semakin tinggi produksi. Nilai koefisien
determinasinya adalah 0,8113, artinya model dugaan dapat menjelaskan model
P roduksi benih (gram /hari)
yang sebenarnya sebesar 81,13%.
12
10
y = 0,3784x + 2,9889
R2 = 0,8113
8
7,98
7,11
6
6,27
4
2
0
c
0
1,95
b
ab
a
5
10
15
Rasio C/N
Gambar 7. Produksi benih ikan patin setelah 28 hari
4.1.5 Efisiensi Pakan
Efisiensi pakan pada keempat rasio C/N berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 8. Efisiensi pakan pada rasio C/N 0, 5, 10 dan 15 secara berturutturut berdasarkan Gambar 8 adalah 73,67%, 139,8%, 153% dan 180,81%.
Perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap efisiensi pakan (p<0.01).
Perlakuan rasio C/N 0 berbeda nyata dengan perlakuan rasio C/N 5, 10 dan 15.
Namun perlakuan rasio C/N 5, 10 dan 15 tidak berbeda nyata. Efisiensi pakan
yang tertinggi dicapai pada rasio C/N 15, sedangkan efisiensi pakan yang terendah
terdapat pada rasio C/N 0.
Dari hasil uji lanjut polinom ortogonal menunjukkan adanya hubungan
linier antara rasio C/N dengan efisiensi pakan (Gambar 8), yang mengikuti
persamaan y = 6,7065x + 86,696 (R2= 0,8538; p<0,01). Dengan demikian, setiap
kenaikan rasio C/N sebesar satu satuan akan menaikkan efisiensi pakan sebesar
6,7065%, serta semakin tinggi rasio C/N maka semakin tinggi efisiensi pakan.
Nilai koefisien determinasinya adalah 0,8538, artinya model dugaan dapat
menjelaskan model yang sebenarnya sebesar 85,38%.
y = 6,7065x + 86,696
R2 = 0,8538
Efisiensi
pakan (%)
200
180,81
150
153,7
139,8
100
73,67
50
0
b
a
a
a
0
5
10
15
Rasio C/N
Gambar 8. Efisiensi pakan benih ikan patin selama 28 hari
4.1.6 Kualitas Air
Nilai parameter kualitas air pada masing-masing rasio C/N selama masa
pemeliharaan mengalami fluktuasi (Lampiran 9 dan 10). Namun, secara umum
perubahan tersebut masih berada pada batas toleransi untuk kehidupan benih ikan
patin. Data kisaran kualitas air selama masa pemeliharaan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Kisaran Kualitas air selama masa pemeliharaan
Parameter
DO (ppm)
pH
Amonia
(ppm)
Suhu (°C)
Kekeruhan
(NTU)
Rasio C/N 0
Perlakuan
Rasio C/N 5
Rasio C/N 10
Rasio C/N15
4,54 - 5,38
6,8 - 8,6
3,68 - 5,87
5,35 - 7,95
4,54 - 5,57
5,68 - 8,0
3,92 - 5,60
6,02 - 7,95
0,0010 - 0,0253
0,0010-0,0194
0,0010 - 0,0282
0,0010 - 0,0134
27,8 – 28,4
27,6 – 28,5
27,7 – 28,5
27,7 – 28,4
1,7 – 5,8
2,1 – 6,6
2,1 – 5,8
2,1 – 9,1
4.2 Pembahasan
Permasalahan yang sering terjadi pada sistem budidaya intensif yaitu
terjadinya peningkatan buangan metabolik berupa nitrogen anorganik, terutama
amonia dan nitrit. Peningkatan konsentrasi nitrogen anorganik ini dapat dikontrol
oleh aktivitas suspensi mikroba dengan memanfaatkan kembali residu protein
yang tidak dicerna oleh ikan. Aktivitas mikroba (bakteri heterotrof) pada kolam
budidaya intensif dapat berlangsung secara optimal jika terdapat sediaan karbon
yang cukup sehingga akan mempercepat penurunan konsentrasi nitrogen
anorganik di dalam air. Dengan demikian penambahan molase sebagai sumber
karbon penting untuk diterapkan karena merupakan cara yang praktis dan murah.
Hal ini menurut Avnimelech (1999) dapat digunakan untuk mengurangi
penumpukan atau mempercepat penurunan konsentrasi nitrogen anorganik di
dalam air. Selain itu, hal yang menjadi dasar pemikiran dilakukannya penambahan
karbon ke dalam sistem pemeliharaan, yaitu pakan yang biasanya digunakan
adalah pakan yang kandungan proteinnya 40-50%, sehingga rasio C/N dapat
menjadi rendah yaitu 2, sedangkan produksi bakteri bergantung pada ketersediaan
karbon (Beristain, 2005).
Penambahan molase sebagai kontrol nitrogen anorganik dalam sistem
perairan akuakultur dapat diatur melalui konsep rasio C/N. Konsep rasio C/N
merupakan bioteknologi karena memanfaatkan kerja bakteri terutama bakteri
heterotrof. Bioteknologi ini sangat cocok diterapkan, melihat kondisi sekarang
yaitu persediaan air sebagai kebutuhan primer sangat terbatas sehingga
pemanfaatannya harus dioptimalkan. Keterbatasan
ini ditekan oleh adanya
kompetisi penggunaan sumber daya, kegiatan pertanian, konsumsi domestik,
industri, transport, rekreasi dan kegiatan perikanan. Menurut Welcomme (2001),
dalam dunia akuakultur, kondisi ini menuntut untuk ditemukannya sistem
treatment air agar kualitas air tetap bagus pada sistem budidaya yang intensif.
Dengan demikian, konsep rasio C/N inilah yang menjadi jawaban untuk tuntutan
permasalahan yang terjadi dalam dunia akuakultur.
Penambahan molase yang berpengaruh positif pada sistem pemeliharaan
stagnan disebabkan oleh kerja bakteri heterotrof yang sebagian besar
memanfaatkan karbon dari substrat molase dan nitrogen dari sisa buangan
metabolisme ikan dan residu pakan sebagai sumber energi untuk menyusun
biomassa sel bakteri atau disebut SCP (Single Cell Protein). Mekanisme kerja
bakteri heterotrof dalam mengurangi konsentrasi nitrogen anorganik yaitu terdapat
pada Gambar 9.
Proporsi NH4+
Populasi
Nitrosomonas sp.
Tingkat oksidasi
Tingkat oksidasi
NH3-N
Partikel
pakan
<1%
Pakan tidak
termakan
< 10 %
Feses
70 %
NH4+-N
Populasi
Nitrosococcus sp.
NO3--N
NO2--N
15 %
Tingkat pengambilan
NH4+-N
43 %
Populasi heterotrof
N Bakteri
Heterotrof
Tingkat degradasi
cepat karena
penambahan karbon
Gambar 9. Kerja bakteri heterotrof pada sistem budidaya tanpa pergantian air
dengan penambahan karbon
Mekanisme kerja bakteri pada Gambar 9 yaitu partikel pakan yang
jumlahnya sekitar 1%, pakan yang tidak termakan sekitar 10% dan feses sekitar
70% merupakan sumber N yang berpotensi menghasilkan amonia yang tidak
terionisasi terutama ketika terjadi perombakan secara anaerob. Senyawa amonia
ini berpotensi toksik bagi ikan, sehingga perlu ditambahkan bakteri heterotrof ke
dalam sistem pemeliharaan karena bakteri ini dapat mendegradasi amonia.
Perkembangan bakteri heterotrof melalui manipulasi rasio C/N menggunakan
molase sebagai sumber karbon dalam sistem pendederan ikan patin dapat
mengurangi konsentrasi amonia. Penambahan molase dapat mempercepat
asimilasi N dalam bentuk amonium oleh bakteri, akibatnya reaksi kesetimbangan
amonia akan bergeser ke kanan (regenerasi amonium) sehingga nilai amonia dapat
dipertahankan pada kondisi yang dapat ditoleransi ikan. Pengambilan karbon dan
nitrogen oleh bakteri dari lingkungannya dimanfaatkan sebagai sumber energi
untuk penyusunan protein tubuh atau SCP yang selanjutnya akan menjadi sumber
protein yang bermanfaat bagi ikan. Mekanisme kerja bakteri ini akan menurunkan
tingkat pergantian air, bahkan tanpa pergantian air selama masa pemeliharaan
sehingga dapat menghemat biaya pemompaan air dan meminimalisir limbah
buangan budidaya.
Dengan adanya penambahan karbon ke dalam media pemeliharaan, kerja
bakteri menjadi optimal. Namun, terdapat perbedaan hasil dengan adanya
penambahan dosis karbon yang berbeda-beda. Secara berturut-turut, efektivitas
kerja bakteri heterotrof dimulai dari yang terbaik yaitu rasio C/N 15, 10, 5 dan 0.
Semakin tinggi rasio C/N atau semakin tinggi jumlah molase yang diberikan maka
kerja bakteri semakin efektif. Selain itu, dari jumlah molase yang diberikan pada
dosis yang tertinggi dari hasil penelitian, ternyata masih diperoleh hubungan yang
linier antara rasio C/N terhadap parameter laju pertumbuhan harian, pertumbuhan
panjang baku, biomassa, efisiensi pakan dan produksi, sedangkan hubungan yang
kuadratik tardapat pada parameter SR. Namun, kecenderungan ini masih kecil.
Dengan demikian, rasio C/N masih perlu ditingkatkan lagi yaitu melalui
penambahan jumlah molase dengan rasio C/N lebih dari 15. Rasio C/N sekitar 20
akan mempercepat proses dekomposisi (Chamberlain et al., 2001).
Derajat kelangsungan hidup pada rasio C/N 15,10 dan 5 masih tinggi yaitu
berada pada kisaran 88 s/d 99%, sedangkan SR pada rasio C/N 0 sangat rendah,
yaitu 47,35%. Hal ini disebabkan karena kandungan amonia yang tinggi pada
minggu pertama dan kedua (Lampiran 9). Konsentrasi amonia menurun ketika
minggu ketiga dan keempat. Penurunan konsentrasi amonia ini berlangsung
lambat karena persediaan karbon di dalam air kurang sehingga bakteri tidak
memperoleh energi yang cukup untuk menyusun protein tubuhnya. Walaupun
kandungan amonia di minggu pertama pada rasio C/N 10
telah mencapai
konsentrasi yang cukup tinggi yaitu 0,02 ppm, ikan masih dapat hidup dan
tumbuh karena kondisi ini tidak berlangsung lama sebab penambahan karbon ke
dalam air mempercepat degradasi NH3 dan NH4+. Hal ini dibuktikan dengan
menurunnya konsentrasi amonia pada minggu kedua sehingga kondisi akumulasi
amonia tidak berlangsung lama. Penurunan ini bisa terjadi dengan cepat yaitu
pada hari ke delapan karena penambahan karbon dilakukan setiap hari sehingga
manajemen amonia masih berlangsung (Willet dan Catriona, 2007). Berdasarkan
SNI SR benih ikan patin dan data lapangan pada Tabel 2, hasil penelitian
menunjukkan bahwa SR pada rasio C/N 5, 10 dan 15 sesuai dengan SNI yang
telah ditetapkan.
Penambahan molase ke dalam media pemeliharaan berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan. Pertumbuhan panjang dan bobot terjadi pada keempat
perlakuan yaitu rasio C/N 0, 5, 10 dan 15. Namun dari data yang ada,
pertumbuhan yang tertinggi secara berturut-turut dicapai pada rasio C/N 15, 10, 5
dan 0. Hal ini disebabkan oleh jumlah karbon yang berbeda, semakin banyak
jumlah molase yang ditambahkan ke dalam air, maka pertumbuhan panjang dan
bobot semakin cepat. Pertumbuhan pada rasio C/N yang tertinggi lebih cepat
karena semakin banyak jumlah karbon yang ditambahkan maka kerja bakteri
semakin bagus sehingga bakteri dapat tumbuh dengan jumlah yang melimpah dan
dengan kelimpahannya inilah, jumlah protein sel baru atau SCP yang berguna
sebagai pakan alami ikan juga meningkat. Dengan melimpahnya jumlah pakan
alami berupa SCP, maka ketersediaan energi yang diperoleh dari pakan juga
meningkat.
Energi yang berasal dari pakan buatan dan alami (SCP) akan dipergunakan
untuk kegiatan pemeliharaan hidup ikan (maintenance), untuk tumbuh dan
berkembang. Pertumbuhan pada rasio C/N 0 lebih rendah dari rasio C/N 5, 10 dan
15 karena penggunaan energi yang diperoleh baik dari pakan buatan maupun
alami terlebih dahulu digunakan untuk maintenance. Hal ini diakibatkan oleh
menurunnya daya dukung lingkungan pada minggu pertama dan kedua selama
dua puluh delapan hari pemeliharaan. Dengan meningkatnya pertumbuhan dari
yang tertinggi secara berturut-turut pada rasio C/N 15, 10, 5 dan 0 maka akan
diikuti dengan peningkatan parameter laju pertumbuhan harian dan biomassa.
Apabila data pertumbuhan panjang (ukuran panen dalam satuan inci) pada rasio
C/N 0, 5, 10 dan 15 disesuaikan dengan SNI ukuran panen benih ikan patin dan
data lapangan pada Tabel 2, maka pertumbuhan panjang yang dicapai selama
masa pemeliharaan sesuai dengan SNI yang telah ditetapkan. Artinya sistem
pemeliharaan ikan pada kondisi yang stagnan tanpa pergantian air sama dengan
kondisi sistem pemeliharaan yang konvensional (sistem pemeliharaan dengan
pergantian air).
Sistem budidaya yang stagnan dan tanpa pergantian air selama dua puluh
delapan hari tidak menyebabkan produksi dan biomassa menurun, bahkan terus
meningkat. Produksi dan biomassa yang meningkat dipengaruhi oleh parameter
pertumbuhan bobot dan SR. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan dan SR maka
semakin tinggi pula produksi dan biomassa benih. Walaupun SR pada rasio C/N
15 lebih rendah daripada rasio C/N rasio 10 dan 5, tetapi angka produksi dan
biomassa pada rasio C/N 15 tetap lebih tinggi daripada rasio C/N rasio 10 dan 5
karena parameter pertumbuhan yang lebih tinggi tersebut lebih berpengaruh pada
penentuan produksi daripada parameter SR.
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi pakan pada rasio C/N
5, 10 dan 15 lebih dari 100%. Data ini membuktikan bahwa bakteri heterotrof
yang dimasukkan ke dalam air mampu bekerja secara optimal dengan adanya
penambahan molase ke dalam air. Dengan sumber karbon yang jumlahnya
memadai maka bakteri heterotrof mampu mengasimilasi sebagian besar karbon
dan nitrogen anorganik menjadi protein mikroba yang berperan sebagai pakan
alami benih ikan patin. Dengan tersedianya pakan alami, efisiensi pakan menjadi
lebih tinggi.
Secara umum kondisi kualitas air yang meliputi parameter suhu,
kandungan oksigen terlarut,
pH, amonia dan kekeruhan masih berada pada
kisaran normal selama masa pemeliharaan dan masih mendukung terjadinya
pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena kerja dari bakteri heterotrof yang
berperan penting untuk menjaga keseimbangan kualitas air (Sugita et al., 1985).
Kisaran temperatur atau suhu selama masa pemeliharaan yaitu pada rasio C/N 0,
5, 10 dan 15 rata-rata berada pada kisaran 27,6-28,5 0C (Lampiran 10). Kisaran ini
merupakan kisaran yang dapat memacu pertumbuhan sesuai dengan pernyataan
Hogendoorn et al. (1983) yaitu pada ikan kecil kisaran suhu untuk pertumbuhan
yang optimal adalah 27,5 s/d 32,5 0C.
Oksigen terlarut adalah salah satu faktor pembatas dalam kegiatan
pembenihan. Hal ini disebabkan oleh fase ikan pada tahap ini memiliki tingkat
metabolisme dan kebutuhan yang tinggi sehingga konsentrasi oksigen terlarut
harus di atas 4 ppm. Konsentrasi oksigen selama masa pemeliharaan masih berada
pada kisaran kelayakan untuk terjadinya pertumbuhan. Bahkan kandungan
oksigen yang terendah pun masih mencapai 3,68 ppm yang terjadi pada minggu
keempat masa pemeliharaan (Lampiran 9). Hal ini disebabkan oleh ukuran ikan
yang semakin besar sehingga tingkat kebutuhan oksigen juga meningkat.
Nilai pH selama masa pemeliharaan pada rasio C/N 0, 5, 10 dan 15 masih
berada pada kisaran yang optimum yaitu sekitar 6,95 s/d 7,95. Namun pada akhir
masa pemeliharaan, pH menjadi rendah hingga mencapai pH 5, tetapi kondisi ini
tidak berpengaruh pada lambatnya pertumbuhan karena penurunan pH hingga
mencapai 5 bisa terjadi hanya pada hari ke 28 yaitu pada saat dilakukannya
sampling yang terakhir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin bertambahnya waktu
pemeliharaan, maka biomassa ikan semakin meningkat, sehingga jumlah pakan
yang diberikan juga meningkat. Peningkatan pemberian jumlah pakan akan
berakibat pada peningkatan jumlah buangan metabolit benih ikan. Namun setelah
hari ke-14 (Lampiran 10 lanjutan), peningkatan biomassa pada rasio C/N 5, 10
dan 15 tidak diikuti dengan peningkatan kandungan amonia. Hal ini disebabkan
oleh adanya peranan bakteri heterotrof yang memanfaatkan nitrogen di air sebagai
sumber energi untuk penyusunan SCP. Pemanfaatan nitrogen oleh bakteri pada
rasio C/N 5, 10 dan 15 berlangsung optimal karena adanya penambahan molase
sebagai sumber karbon, sedangkan pemanfaatan nitrogen pada rasio C/N 0 kurang
optimal karena tidak adanya penambahan molase. Hal ini dapat dilihat dari
lambatnya proses degradasi amonia yang terjadi setelah minggu kedua masa
pemeliharaan, sedangkan degradasi amonia pada rasio C/N 5, 10 dan 15 terjadi
setelah minggu pertama. Lambatnya proses degradasi amonia pada rasio C/N 0
menyebabkan derajat kelangsungan hidup sangat rendah yang hanya mencapai
47,33%. Dengan demikian degradasi amonia berlangsung lebih cepat dengan
adanya penambahan molase ke dalam air.
Penambahan molase ke dalam air tidak menyebabkan kekeruhan menjadi
tinggi. Pada umumnya, kekeruhan masih berada pada kisaran normal pada rasio
C/N 0, 5, 10 dan 15 yaitu 1,7-9,1 NTU. Nilai kekeruhan tersebut masih kurang
dari 20 NTU. Apabila kekeruhan mencapai 20 NTU, maka kekeruhan yang tinggi
ini dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi seperti pernapasan
dan daya lihat organisme akuatik (Effendi, 2000). Apabila sistem osmoregulasi
pada ikan terganggu, maka pembelanjaan energi lebih diutamakan untuk energi
maintenance karena pemenuhan energi ini bersifat mutlak agar kelangsungan
hidup ikan dapat dipertahankan. Kondisi ini akan berakibat pada berkurangnya
budget energi untuk pertumbuhan sehingga pertumbuhan ikan akan terhambat
(Affandi, 2002).
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan molase pada sistem
pemeliharaan yang stagnan berpengaruh nyata terhadap peningkatan parameter
laju pertumbuhan harian, pertumbuhan panjang baku, biomassa, efisiensi pakan
dan produksi. Walaupun parameter SR telah menurun pada perlakuan rasio C/N
10 dan 15, tetapi kecenderungan dari kurva kuadratik yang dibentuk masih kecil.
Selain itu, data kualitas air menunjukkan bahwa kondisi físika kimia sistem
pemeliharaan masih berada pada kisaran toleransi ikan untuk hidup dan tumbuh.
Berdasarkan hasil tersebut, penambahan molase sebagai sumber karbon
memberikan pengaruh yang positif pada sistem pemeliharaan yang stagnan
sehingga dapat diterapkan pada kegiatan akuakultur.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Penambahan molase sebagai sumber karbon ke dalam media pemeliharaan
yang stagnan tanpa pergantian air berpengaruh nyata terhadap peningkatan
parameter laju pertumbuhan harian, pertumbuhan panjang baku, biomassa dan
tingkat efisiensi pakan. Walaupun parameter SR telah menurun pada perlakuan
rasio C/N 10 dan 15, tetapi kecenderungan dari kurva kuadratik yang dibentuk
masih kecil. Selain itu, penambahan molase ternyata memberikan keuntungan
pada kegiatan pendederan ikan patin karena dapat meningkatkan produksi benih
ikan patin. Produksi tertinggi diperoleh pada rasio C/N 15 yaitu sebesar 7,98
gram/hari. sedangkan produksi terendah diperoleh pada perlakuan kontrol atau
rasio C/N 0 yaitu sebesar 1,95 gram/hari.
5.2 Saran
Diperlukan
penelitian
lebih
lanjut
untuk
mengetahui
pengaruh
penambahan molase pada rasio C/N lebih dari 15 terhadap produksi benih ikan
patin. Selain itu diperlukan penerapan lebih lanjut lagi dengan menambah
kepadatan ikan lebih dari 5 ekor/L, tetapi masih pada perlakuan C/N rasio 0, 5, 10
dan 15.
DAFTAR PUSTAKA
Andhara. 2007. PS Bio and BioFlock for Freshwater and Marine Aquarium.
http://sixx666.multiply.com/reviews/item/15. [12 Agustus 2008].
Affandi R. 2002. Fisiologi Hewan Air. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arifin Z. 1991. Hasil Penelitian Komoditas Patin. Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Balitkanwar, Bogor. Tidak dipublikasikan.
Avnimelech Y. 1999. Carbon/Nitrogen ratio as a control element in aquaculture
system. Aquaculture 176: 227-235.
Avnimelech Y. 2000. Nitrogen control and protein recycling: Activated
suspension ponds. Global Aquaculture Alliance: 24.
Avnimelech Y, Kochva MM, Mokady S. 1994. Development of controlled
intensive aquaculture system with a limited water exchange and
adjusted carbon to nitrogen Ratio. Bamidgeh 46: 119-131.
Beristain TB. 2005. Organic Matter Decomposition in Simulated Aquaculture
Ponds. Wageningen Institute of Animal Sciences. Netherlands.
Boyd CE. 1989. Water Quality Management and Aeration in Shrimp Farming.
Auburn University. Albama.
_______. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Birmingharm Publ. Co.
Albama.
_______. 1992. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier.
Amsterdam.
Buwono. 2000. Kebutuhan Asam Amino Esensial dalam Ransum Ikan. Kanisius.
Yogyakarta.
Chamberlain G, Yoram A, Robins PM, Mario V. 2001. Advantages of aerated
microbial reuse system with balanced C:N. Global Aquaculture
Alliance: 54.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya. 2007. Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Pengembangan Kawasan Pembenihan .http://203.77.209.118/down
load/Kawasan%20Perbenihan%20DPM% 20website.pdf. [1 Januari
2008].
Dunham AR. 2004. Aquaculture an Fisheries Biotechnology, Genetic
Approaches. CABI Publ. Departement of Fisheries and Allied
Aquaculture, Auburn University, Alabama, USA.
Effendi H. 2000. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
Effendi I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta
Erler DP, Songsangjinda T, Keawtawee K, Chaiyakum. 2005. Preliminary
investigation into the effect of carbon addition on growth, water
quality and nutrient dynamics in zero-exchange shrimp (Penaeus
monodon) culture system. Asian Fisheries Science 18: 203.
Effendi MI. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
Goddard S. 1996. Feed Management in Intensive Aquaculture. Chapman and
Hall, New York.
Hargreaves A, Tucker SC. 2004. Biology and Culture of Channel Catfish, Pond
Water Quality. Elsevier. USA.
Henken MA, Machiels MAM, Dekker W, Hogendoorn H. 1986. The effect of
dietary protein and energy content on growth rate and feed utilization
of the africans catfish Clarias gariepinus. Aquaculture 58: 55.
Hogendoorn H. Jansen JAJ, Koops WJ, Machiels MZM, van Ewijk PH, van Hees
JP. 1983. Growth and production of the africans catfish, Clarias lazera
(C. & V.) II. Effects of body weight, Temperature and feeding level in
intensive tank culture. Aquaculture 34: 277.
Huisman EA. 1987. The Principles of Fish Culture Production. Department of
Aquaculture, Wageningen University, The Netheland.
Ming FW. 1985. Amonia excretion rate as an index for comparing effeciency of
dietary protein utilization among rainbow trout (Salmo gairdneri) of
different strains. Aquaculture 46: 27-35.
Montoya R, Mario V. 2000. Role of bacteria on nutrition and management
strategies in aquaculture system. Global Aquaculture Alliance: 35.
Parker MM. 1997. Biology of Microorganism. Prentice Hall. United States of
America.
Purba R. 2000. Penelitian Adaptif Teknologi Budidaya Ikan Patin di Karamba
Jaring Apung. http//banten.litbang.deptan.go.id/profil-staf/maya.html.
[17 April 2008].
Roedel MP. 1975. Optimum Sustainale Yield as a Concept in Fisheries
Management. Proceedings of Sympsium Held During the 104th Annual
Meeting of the American Fisheries Society Honolulu. American
Fisheries Society, Hawai, Washington DC.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Binacipta. Bandung.
Steel RGD and Torrie JH. 1982. Principle and Procedures of Statistics A
Biometrical Aprroach Second Edition. CRC Press. Boca Ratio. Florida
Suastuti M. 1998. Pemanfaatan Hasil Samping Industri Pertanian Molase dan
Limbah Cair Tahu sebagai Sumber Karbon dan Nitrogen untuk
Produki Biosurfaktan oleh Bacillus sp Galur Komersil dan Lokal.
Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sugita H, Ken O, Toshinori F. 1987. Substrate specificity of heterotrophic bacteris
in the water and sediment of a carp culture pond. Aquaculture 64:39.
Sugita H, Satoshi U, Daiju K, Yoshiaki D. 1985. Changes in the bacterial
composition of water in a carp rearing tank. Aquaculture 44:243.
Umar C, Setijaningsih L, Suhenda N. 2000. Penentuan Formulasi yang Tepat
untuk Pertumbuhan Optimal Ikan Patin (Pangasius sp). Prosiding
Seminar Hasil Penelitian Perikanan. Departemen Kelautan dan
Perikanan Sekretariat Jenderal Pusat Penelitian dan Pengembangan
Eksplorasi Laut dan Perikanan. Jakarta.
Welcomme LR. 2001. Inland Fisheries, Ecology and Management. Blackwell
Science. FAO-UN, New York.
Willet D, Catriona M. 2007. Using Molasses to Control Inorganic Nitrogen and
pH in Aquaculture Ponds. www. dpi.qld.gov.au/cps/rde/xchg/dpi
/hs.xsl/302790ENAPrint.htm. [28 Agustus 2008].
LAMPIRAN
Lampiran 1. Derajat kelangsungan hidup benih ikan patin dan tabel sidik
ragamnya
A. Derajat kelangsungan hidup benih (%) selama 28 hari pemeliharaan
Perlakuan
Ulangan
Rasio C/N 0
Rasio C/N 5
Rasio C/N 10
Rasio C/N 15
1
46,67
92,67
87,33
92,67
2
44,00
87,33
86,67
89,33
3
51,33
94,00
95,33
84,67
Rata-rata
47,33 ± 3,71
91,33 ± 3,53
89,78 ± 4,82
88,89 ± 4,02
B. Sidik Ragam Derajat Kelangsungan Hidup
Sumber
dB
Keragaman
Linier
1
Kuadratik
1
Kubik
1
Sisa
8
Total
11
** Sangat Berbeda Nyata
JK
2273,534
1511,11
320,536
131,216
4236,396
KT
2273,534
1511,11
320,536
16,402
F
138,613**
92,129**
19,542**
F tabel
0,05
0,01
5,32
11,26
5,32
11,26
5,32
11,26
Lampiran 2. Data panjang (cm) dan bobot (g) benih ikan patin selama
masa pemeliharaan
HARI KEPERLAKUAN
0
7
14
21
28
Rasio
P
B
P
B
P
B
P
B
P
B
(cm)
(g)
(cm)
(g)
(cm)
(g)
(cm)
(g)
(cm)
(g)
2,660 0,370 3,029 0,566 3,357 0,748 3,786 0,915 4,627 1,521
C/N 0
2,660 0,370 2,941 0,487 3,328 0,753 3,770 0,932 4,606 1,522
2,660 0,370 2,967 0,534 3,363 0,782 3,604 0,812 4,628 1,602
Rata-rata
2,660 0,370 2,979 0,529 3,349 0,761
3,72 0,886 4,621 1,548
Rasio
2,660 0,370 3,035 0,540 3,393 0,883 3,960 1,037 4,823 1,637
C/N 5
2,660 0,370 2,964 0,521 3,477 0,836 3,956 1,010 4,813 1,741
2,660 0,370 2,955 0,524 3,437 0,858 3,929 0,992 4,786 1,687
Rata-rata
2,660 0,370 2,984 0,528 3,436 0,859 3,948 1,013 4,807 1,688
Rasio
2,660 0,370 2,968 0,527 3,541 0,876 4,102 1,217 4,792 1,834
C/N 10
2,660 0,370 2,951 0,517 3,402 0,779 4,018 1,031 4,866 1,893
2,660 0,370 2,910 0,535 3,416 0,852 4,191 1,108 4,953 1,938
Rata-rata
2,660 0,370 2,943 0,526 3,453 0,835 4,104 1,119 4,870 1,888
Rasio
2,660 0,370 3,024 0,552 3,511 0,568 4,296 1,282 5,002 1,976
C/N 15
2,660 0,370 3,102 0,620 3,488 0,584 4,354 1,338 5,152 2,163
2,660 0,370 2,915 0,580 3,587 0,614 4,335 1,328 5,191 2,142
Rata-rata
2,660 0,370 3,014 0,584 3,529 0,588 4,328 1,316 5,115 2,094
Lampiran 3. Jumlah pelet (g) dan molase (g) yang diberikan/hari selama
masa pemeliharaan
MINGGU KEPERLAKUAN
I
II
III
IV
Pelet
Molase
Pelet
Molase
Pelet
Molase
Pelet
Molase
Rasio
4,38
0
4,19
0
5,39
0
4,76
0
C/N 0
4,38
0
4,36
0
5,11
0
5,48
0
4,38
0
4,77
0
5,11
0
6,04
0
Rata-rata
4,38
0
4,44
0
5,2
0
5,43
0
Rasio
4,38
0,94
4,83
1,03
4,18
0,89
5,85
1,25
C/N 5
4,38
0,94
4,59
0,98
3,73
0,8
5,42
1,16
4,38
0,94
4,71
1,01
4,02
0,86
5,39
1,15
Rata-rata
4,38
0,94
4,71
1,01
3,98
5,55
1,187
Rasio
4,38
1,88
4,74
2,03
5,91
2,52
6,52
2,79
C/N 10
4,38
1,88
4,59
1,97
4,59
1,96
5,4
2,31
4,38
1,88
4,82
2,6
4,54
1,94
4,89
2,09
Rata-rata
4,38
1,88
4,72
2,2
5,01
2,14
5,6
2,397
Rasio
4,38
2,81
4,11
2,64
3,3
2,11
5,65
3,63
C/N 15
4,38
2,81
4,59
2,94
3,66
2,35
5,69
3,65
4,38
2,81
5,15
2,62
3,62
2,32
5,22
3,35
4,38
2,81
4,62
2,73
3,53
2,26
5,52
3,543
Rata-rata
0,85
Lampiran 4. Pertumbuhan panjang baku benih ikan patin dan tabel sidik ragamnya
A. Pertumbuhan panjang baku (cm) selama 28 hari pemeliharaan
Ulangan
Perlakuan
Rasio C/N 0
Rasio C/N 5
Rasio C/N 10
Rasio C/N 15
1
1,97
2,16
2,13
2,34
2
1,95
2,15
2,21
2,49
3
1,97
2,13
2,29
2,53
Rata-rata
1,96 ± 0,01
2,15 ± 0,02
2,21 ± 0,08
2,45 ± 0,10
B. Sidik Ragam pertumbuhan panjang baku
Sumber
dB
Keragaman
Linier
1
Kuadratik
1
Kubik
1
Sisa
8
Total
11
** Sangat Berbeda Nyata
JK
KT
F
0,353
0,003
0,353
0,003
83,968**
0,643
0,014
0,034
0,402
0,014
0,004
3,214
F tabel
0,05
0,01
5,32
11,26
5,32
11,26
5,32
11,26
Lampiran 5. Laju pertumbuhan harian benih ikan patin dan tabel sidik ragamnya
A. Laju pertumbuhan harian (%)
Ulangan
1
2
3
Rata-rata
Perlakuan
Rasio C/N 0
5,18
5,18
5,37
5,24 ± 0,11
Rasio C/N 5
5,45
5,69
5,57
5,57 ± 0,12
Rasio C/N 10
5,88
6,00
6,09
5,99 ± 0,11
Rasio C/N 15
6,17
6,51
6,47
6,38 ± 0,18
B. Sidik Ragam laju pertumbuhan harian
Sumber
dB
Keragaman
Linier
1
Kuadratik
1
Kubik
1
Sisa
8
Total
11
** Sangat Berbeda Nyata
JK
KT
F
2,212
0,003
2,212
0,003
122,77**
0,185
0,002
0,144
2,361
0,002
0,018
0,12
F tabel
0,05
0,01
5,32
11,26
5,32
11,26
5,32
11,26
Lampiran 6. Biomassa benih ikan patin dan tabel sidik ragamnya
A. Biomassa (gram) selama 28 hari pemeliharaan
Ulangan
1
2
3
Rata-rata
Rasio C/N 0
106,49
100,43
123,35
110 ± 11,9
Perlakuan
Rasio C/N 5
Rasio C/N 10
227,50
240,25
228,07
246,04
237,82
277,18
231 ± 5,80
254 ± 19,9
Rasio C/N 15
274,66
289,84
272,08
278 ±9,59
B. Sidik Ragam biomassa
Sumber
dB
JK
Keragaman
42082,546
Linier
1
7008,817
Kuadratik
1
Kubik
1
1460,957
Sisa
8
1322,585
Total
11
51874,905
** Sangat Berbeda Nyata
KT
42082,546
7008,817
1460,957
165,323
F
254,547**
42,395**
8,837
F tabel
0,05
0,01
5,32
11,26
5,32
11,26
5,32
11,26
Lampiran 7. Produksi benih ikan patin dan tabel sidik ragamnya
A. Produksi (gram/hari) benih ikan patin
Ulangan
1
2
3
Rata-rata
Perlakuan
Rasio C/N 5
Rasio C/N 10
6,14
6,60
6,16
6,80
6,51
7,92
6,27 ± 0,21
7,11 ± 0,71
Rasio C/N 0
1,82
1,60
2,42
1,95 ± 0,42
Rasio C/N 15
7,83
8,37
7,73
7,98 ± 0,34
B. Sidik Ragam produksi
Sumber
dB
Keragaman
Linier
1
Kuadratik
1
Kubik
1
Sisa
8
Total
11
** Sangat Berbeda Nyata
JK
53,733
8,944
1,859
1,696
66,232
KT
53,733
8,944
1,859
0,212
F
253,427**
42,184**
8,766
F tabel
0,05
0,01
5,32
11,26
5,32
11,26
5,32
11,26
Lampiran 8. Efisiensi pakan dan tabel sidik ragamnya
A. Efisiensi pakan (%) benih ikan patin selama 28 hari
Ulangan
Perlakuan
Rasio C/N 0
Rasio C/N 5
Rasio C/N 10
Rasio C/N 15
1
73,72
130,38
133,54
184,00
2
69,18
144,83
153,55
186,08
3
78,10
144,19
174,03
172,34
Rata-rata
73,67 ± 4,46
139,80 ± 8,16
153,70 ± 20,24
180,81± 7,40
B. Sidik Ragam efisiensi pakan
Sumber
dB
JK
Keragaman
16866,596
Linier
1
1142,701
Kuadratik
1
Kubik
1
641,966
Sisa
8
1102,544
Total
11
19753,807
** Sangat Berbeda Nyata
KT
16866,596
1142,701
641,966
137,818
F
122,383**
8,291
4,658
F tabel
0,05
0,01
5,32
11,26
5,32
11,26
5,32
11,26
Lampiran 9. Data kualitas air selama 28 hari pemeliharaan
A. Oksigen Terlarut (ppm)
PERLAKUAN
Rasio
C/N 0
Rata-rata
Rasio
C/N 5
Rata-rata
Rasio
C/N 10
Rata-rata
Rasio
C/N 15
Rata-rata
0
4,54
4,54
4,54
4,54
4,54
4,54
4,54
4,54
4,54
4,54
4,54
4,54
4,54
4,54
4,54
4,54
7
5,29
5,39
5,46
5,38
5,27
4,90
5,56
5,24
5,64
5,24
5,47
5,45
5,46
5,34
5,10
5,30
Hari ke14
5,50
5,20
5,20
5,30
4,90
5,10
6,50
5,50
6,10
5,60
5,00
5,57
4,80
6,40
5,60
5,60
21
5,03
5,02
6,10
5,38
6,50
6,10
5,00
5,87
6,10
5,10
5,00
5,40
5,40
5,20
5,20
5,27
28
5,03
4,47
4,56
4,69
3,74
3,70
3,59
3,68
4,31
4,94
4,78
4,68
4,50
3,45
3,82
3,92
7
7,82
7,96
8,03
7,94
7,90
7,79
7,95
7,88
7,98
7,95
8,08
8,00
8,03
7,90
7,88
7,94
Hari ke14
8,50
8,60
8,70
8,60
7,62
6,21
6,61
6,81
5,91
6,49
7,48
6,63
6,88
6,93
7,04
6,95
21
7,24
7,22
7,79
7,42
7,15
6,95
7,02
7,04
6,75
6,81
7,48
7,01
6,98
7,39
7,12
7,16
28
6,77
6,37
7,51
6,88
5,54
5,33
5,18
5,35
5,67
5,89
5,48
5,68
5,20
6,35
6,51
6,02
B. Nilai pH
PERLAKUAN
Rasio
C/N 0
Rata-rata
Rasio
C/N 5
Rata-rata
Rasio
C/N 10
Rata-rata
Rasio
C/N 15
Rata-rata
0
7,95
7,95
7,95
7,95
7,95
7,95
7,95
7,95
7,95
7,95
7,95
7,95
7,95
7,95
7,95
7,95
Lampiran 9. Lanjutan
C. Amonia (ppm)
PERLAKUAN
Rasio
C/N 0
Rata-rata
Rasio
C/N 5
Rata-rata
Rasio
C/N 10
Rata-rata
Rasio
C/N 15
Rata-rata
0
0,00100
0,00100
0,00100
0,00100
0,00100
0,00100
0,00100
0,00100
0,00100
0,00100
0,00100
0,00100
0,00100
0,00100
0,00100
0,00100
7
0,02009
0,03600
0,02000
0,02536
0,02330
0,01170
0,02330
0,01943
0,02830
0,02640
0,03000
0,02823
0,00850
0,01390
0,01800
0,01347
0
28,3
28,3
28,3
28,3
28,3
28,3
28,3
28,3
28,3
28,3
28,3
28,3
28,3
28,3
28,3
28,3
7
27,3
28,8
27,3
27,8
28,5
27,3
28,5
28,1
27,3
28,9
28,5
28,2
27,3
27,3
28,5
27,7
Hari ke14
0,11447
0,31817
0,14260
0,19175
0,01969
0,00385
0,00119
0,00824
0,00410
0,00190
0,00141
0,00247
0,00263
0,00265
0,00063
0,00197
21
0,00500
0,00340
0,01820
0,00887
0,01850
0,01660
0,01590
0,01700
0,00200
0,00300
0,03770
0,01423
0,01570
0,01010
0,00330
0,00970
28
0,00140
0,00140
0,01500
0,00593
0,00004
0,00367
0,00678
0,00350
0,00200
0,00405
0,00601
0,00402
0,00400
0,00291
0,00256
0,00316
21
27,8
27,9
27,9
27,9
27,0
27,8
27,9
27,6
27,9
27,6
27,7
27,7
28,0
27,5
28,0
27,8
28
28,2
28,4
28,6
28,4
28,5
28,5
28,4
28,5
28,9
28,2
28,3
28,5
28,4
28,6
28,3
28,4
D. Nilai suhu (°C)
PERLAKUAN
Rasio
C/N 0
Rata-Rata
Rasio
C/N 5
Rata-Rata
Rasio
C/N 10
Rata-Rata
Rasio
C/N 15
Rata-Rata
Hari ke14
27,8
27,9
27,9
27,9
27,0
27,8
27,9
27,6
27,9
27,6
27,7
27,7
28,0
27,5
28,0
27,8
Lampiran 9. Lanjutan
E. Kekeruhan (NTU)
PERLAKUAN
Rasio
C/N 0
Rata-rata
Rasio
C/N 5
Rata-rata
Rasio
C/N 10
Rata-rata
Rasio
C/N 15
Rata-rata
0
2,1
2,1
2,1
2,1
2,1
2,1
2,1
2,1
2,1
2,1
2,1
2,1
2,1
2,1
2,1
2,1
7
5,1
6,5
1,0
4,2
9,8
3,6
6,5
6,6
2,8
3,0
8,3
4,7
8,8
9,6
8,8
9,1
Hari ke14
2,5
9,2
5,8
5,8
5,9
6,7
6,3
6,3
6,0
5,6
5,7
5,8
4,0
5,1
2,9
4,0
21
1,5
1,8
1,7
1,7
1,8
2,0
2,6
2,1
2,4
2,7
2,8
2,6
2,4
2,2
2,8
2,5
28
3,0
3,3
3,8
3,4
3,7
3,9
3,7
3,8
3,9
4,0
3,9
3,9
3,9
4,1
4,0
4,0
Lampiran 10. Grafik kualitas air selama 28 hari pemeliharaan
Lampiran 10. Lanjutan
Download