Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 ANALISIS KRITIS ATAS BAHASA HUKUM DAN DISTORSI BAHASA DALAM HUKUM Christina Purwanti Fakultas Liberal Arts, Universitas Pelita Harapan [email protected] Abstract Language present ideas about object and non-object itself. Language visualizes ideas not as an image but as sign that replaces the idea. Because of that language can be understood only by people that know the meaning of that sign. Law Language is language that has its own meaning and has its own world in the writing system even though it is not managed in standard form; law language is form of writing based on a habit that is continually used by people involved in the field of law. Together we know sometimes that law language can only be understood by people who are involved in law and that common people only follow, in other words, they pretend to understand. Language in law must be understood as medium of instruction to gain law rights. If the language used in law is not relevant or hard to understand by common people, then how can justice be achieved with low law communication quality of its subject. Do not blame people for not understanding, because language use in law practice today can sometimes be confusing and exclusive. Keywords: language, law and language distortion Abstrak Bahasa merepresentasikan ide mengenai objek dan non-objek. Bahasa memvisualisasikan ide-ide bukan sebagai gambar tetapi sebagai tanda yang menggantikan ide. Oleh karena itu bahasa dapat dimengerti hanya oleh mereka yng mengetahui arti dari tanda tersebur. Bahasa Hukum adalah bahasa yang memiliki pengertian tersendiri dan memiliki dunia sendiri dalam sistem penulisan meskipun tidak dikelola dalam bentuk standar; bahasa hukum adalah bentuk tulisan berdasarkan kebiasaan yang terus digunakan oleh orang-orang yang terlibat dalam bidang hukum. Kita mengetahui bahwa kadang-kadang bahas hukum hanya dapat dimengerti oleh mereka yang terlibat dalam bidan hukum dan orang awam hanya mampu mengikuti saja, dalam kata lain pura-pura mengerti. Bahasa dalam Hukum harus dimengerti sebagai media instruksi untuk mendapatkan hak-hak secara hukum. Jika bahasa yang dipergunakan dalam hukum tidak relevan atau sulit dipahami oleh orang awam, bagaimana keadilan dapat dicapai dengan kualitas bahasa yang rendah. Jangan menyalahkan orang awam karena tidak mengerti karena bahasa yang digunakan dalam praktik hukum dewasa ini terkadang membingungkan dan eksklusif. Kata Kunci: bahasa, hukum dan distorsi bahasa A. Pendahuluan Posisi bahasa adalah sebagai alat untuk mengekspresikan diri, alat komunikasi, alat untuk integrasi dan adaptasi sosial, serta alat untuk mengadakan kontrol sosial201. Semakin 201 Gorys Keraf, Komposisi, Ende. Nusa Indah. 1994, hal. 3. 447 Christina Purwanti: Analisis Kritis Atas Bahasa Hukum Dan Distorsi Bahasa Dalam… disadari bahwa bahasa ternyata adalah produk dari suatu zaman, kumulasi ekspresi suatu kebudayaan, atau ‘wakil’ suatu kekuasaan. Dari sinilah bahasa merupakan bagian yang ada. Bahasa bukan sesuatu yang netral dan konsisten, melainkan partisipasi atau yang turut bermain dalam proses tahu, proses budaya, proses politik, termasuk di dalamnya proses hukum. Bahasa dapat terlibat secara penuh di dalam semua proses hukum202. Bahasa bukanlah sesuatu yang transparan yang mampu menangkap dan memantulkan segala sesuatu yang ada di luarnya secara jernih.203 Kegiatan hukum selalu berusaha untuk mengetahui berbagai kekuatan, kecenderungan, dan peluang hukum yang ada. Seluruh proses menuju tahu untuk menyampaikan pengetahuan dalam bidang hukum, sepenuhnya berlangsung melalui bahasa. Lewat pengetahuan tentang bahasa itulah posisi-posisi hukum ditentukan dan posisi hukum mau tidak mau harus tampil dalam wujud bahasa. Seluruh kegiatan hukum sangat terlibat jauh dalam problematik bahasa; di sinilah terjadi dilemanya yakni masyarakat hukum tidak mungkin mengetahui segala yang ada tanpa perantaraan bahasa. Sebagai contoh peraturan yang ditetapkan yang bersifat multi tafsir, dapat dikatakan bahwa hal tersebut merupakan suatu kelemahan terhadap penguasaan bahasa; khususnya penafsiran tentang tata bahasa yang di dalamnya termuat makna dari kata-kata kunci yang dianggap sangat penting dalam hukum. Penafsiran hukum yang dilakukan berdasarkan arti kata-kata kalimat dinamakan penafsiran tata bahasa; kalau dilakukan menurut sejarahnya (undang-undang), dinamakan penafsiran (menurut) sejarah. Sejarah ini dapat dilihat dari sejarah undang-undang, maka penafsiran itu dinamakan penafsiran menurut sejarah undang-undang.204 Bentuk pokok simbol bahasa yang mempunyai arti adalah kata. Bentuk pokok bahasa itu sendiri adalah kalimat. Untuk mengungkapkan suatu gagasan yang lengkap diperlukan kalimat. Baru berdasarkan situasi bahasa dan konteks kalimat, kata-kata mendapat artinya yang pasti. Pada tingkat tertentu, ini juga mengena pada kalimat sejauh kalimat itu merupakan bagian dari suatu keseluruhan yang lebih luas.205 Bahasa memerlukan simbol-simbol (seperti kata, bunyi, sikap, tanda) yang diatur dan dihubungkan dalam suatu sistem kompleks untuk memperoleh arti yang dikomunikasikan. 202 Bdk. Michael,Foucault, The Archaelogy of Knowledge & The Discourse on Language.New York:Pantheon Books,1972, hal.46 203 Bdk. uraian tentang : “ Masalah makna dalam pembentukan kata”, seperti terdapat dalam Harimurti Kridalaksana, Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal. 2325 204 Pringgodigdo, A.G., dkk, Ensiklopedi Umum, Yogyakarta, Kanisius, 1977, hal. 422 205 Lorenz Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal. 114 448 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 Sistem simbol ini dapat dimanipulasikan dengan cara sedemikian rupa, sehingga mampu menyusun suatu gabungan yang tidak terbatas yang dapat dibubuhi arti-arti. Sistem semacam ini mempunyai aturan-aturan yang menentukan bagaimana gabungan-gabungan semacam ini dapat terjadi dan bagaimana arti-arti standar ditetapkan.206 Penggunaan bahasa Indonesia khususnya pemaknaan kata dan kalimat akan lebih memadai dalam bahasa hukum, kalau peran dan fungsi bahasa Indonesia adalah setaraf dengan bahasa asing yang adalah cikalbakal dan pengasal dari bahasa hukum; di sinilah distorsi bahasa tidak terjadi, kepastian hukum dan keadilan dapat tercapai dalam perspektif bahasa207. B. Pembahasan Seluruh uraian dalam tulisan ini akan dibahas dua hal penting yakni pertama, tentang aspek bahasa dalam hukum dan yang kedua, tentang distorsi bahasa di dalam hukum. B. 1. Aspek Bahasa dalam Hukum B. 1. 1. Bahasa sebagai Kesadaran Hukum Bahasa sebagai kesadaran hukum adalah bahasa yang digunakan melalui kepekaan untuk menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat dalam hukum yang ada atau hukum yang diharapkan ada. Bahasa ini bukanlah bahasa sebagai suatu entitas seperti jika kita menandai bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan seterusnya; melainkan bahasa sebagai praktik dalam hukum. Yang dipersoalkan bukanlah bahasa sebagaimana yang kita pelajari dalam pelajaran bahasa Indonesia melainkan bahasa sebagaimana terungkap pada pembicaraan atau tulisan pada peristiwa nyata. Bahasa sebagai yang diucapkan atau ditulis pada peristiwa nyata yang oleh kalangan ahli bahasa dinamakan sistem bahasa atau susunan linguistik. Wacana (diskursus) bahasa adalah peristiwa bahasa atau penggunaan linguistik untuk menalar dan menganalisis fenomena bahasa. Hal ini sangat penting dalam 206 Simbol-simbol fonetik bahasa dapat digantikan oleh tanda-tanda lain, misalnya dengan tulisan yang menggantikan simbol-simbol fonetik yang mudah hilang/rusak dengan tanda-tanda yang lebih permanen. Namun, penyajian gagasan-gagasan dengan tulisan dapat terjadi tanpa melalui perantara bunyi, seperti dalam simbol gagasan-gagasan Cina. Bentuk pokok bunyi adalah silabel (suku kata). Ibid 114. Bandingkan juga uraian tersebut yang terdapat pada Harimurti Kridalaksana: “Tata Nilai Bahasa Penutur sedang Goncang?” yang terdapat dalam Bambang Bujono, Leila S. Chudori, Jakarta, PT. Temprint, 2008, hal. 15. 207 Bdk.nilai keadilan sosial dibangun melalui kesediaan warga untuk berperan aktif dengan sukarela dalam membangun kebersamaan;ataupun keadilan dibangun melalui rasa kebersamaan dan kepedulian sosial,seperti yang ditulis oleh C.B.Mulyatno:”Berkeadilan Sosial dalam Upacara Sadranan Warga Pedukuhan Sorowajan, dalam Armada Riyanto dkk(Editor), Kearifan Lokal Pancasila, Butir-butir Filsafat Keindonesiaan, Yogyakarta, PT.Kanisius, 2015, hal.561. 449 Christina Purwanti: Analisis Kritis Atas Bahasa Hukum Dan Distorsi Bahasa Dalam… merumuskan bahasa hukum. Ketika terlibat dalam bahasa sebagai diskursus inilah setiap individu dituntut untuk berpihak dan menentukan posisi dalam aspek hukum. Posisi hukum amat ditentukan dalam berbahasa. Sebagai contoh istilah whistle blower, 208 yang bertujuan untuk mengungkapkan kejahatan atau penyelewengan yang diketahui oleh pelapor, di mana tidak banyak orang yang mengetahui dengan persis dan detail tentang siapa sesungguhnya yang dapat dikategorikan sebagai seorang whistle blower. Bahasa menjadi paradigma utama karena pada bahasalah totalitas hukum kita bisa diekspresikan. Bahasa tidak dapat melepaskan diri dari kebudayaan khususnya dalam budaya hukum. Sebagai contoh orang Eskimo memiliki begitu banyak variasi kata mengenai salju. Lain halnya dengan orang Indonesia tidak mempunyai banyak kata untuk menggambarkan salju karena pada kesehariannya tidak pernah berhadapan dengan salju. Bahasa juga menjadi paradigma karena ia tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan, apakah itu kekuasaan politik, ekonomi, atau hukum sekalipun. Jika penguasa hukum terlihat jelas dalam praktik bahasa menolak menggunakan bahasa menurut paradigma kebudayaan atau kekuasaan yang berlaku, maka dapat dikatakan sama artinya dengan bunuh diri. Doktrin hukum mengikat orang banyak melalui jenis praktik bahasa tertentu dan tidak memungkinkan mereka melakukan praktik bahasa yang lain.209 Pada bahasalah suatu doktrin hukum terukir; di sini terjadilah penghambaan secara ganda: penghambaan orang terhadap bahasa (diskursus) dan penghambaan bahasa (diskursus) kepada sekelompok pemegang kendali hukum yang dalam waktu kurun tertentu menentukan bahasa. B. 1. 2. Bahasa dan Budaya Hukum Erat kaitan bahasa sebagai paradigma, pendekatan bahasa juga akan berbicara tentang representasi yakni tentang bagimana kita dapat menggambarkan sesuatu. Sesuatu itu bisa 208 Whistleblower biasanya ditujukan kepada seseorang yang pertama kali mengungkap atau melaporkan suatu tindak pidana atau tindakan yang dianggap illegal di tempatnya bekerja atau orang lain berada, kepada otoritas internal organisasi atau kepada publik seperti media massa atau lembaga pemantau publik. Pengungkapan tersebut tidak selalu didasari itikad baik sang pelapor, tetapi tujuannya untuk mengungkap kejahatan atau penyelewengan yang diketahuinya. Pada dasarnya seorang whistle blower merupakan seorang martir. Ia sang pemicu pengungkapan skandal kejahatan yang kerap melibatkan atasan maupun koleganya sendiri. Namun tidak banyak orang yang mengetahui dengan persis dan detail mengenai siapa sesungguhnya yang dapat dikategorikan sebagai seorang whistle blower ? seperti tertulis dalam Abdul Haris Semendawai, SH., LLM, dalam ‘Memahami Whistleblower’ dalam : http://www.lpsk.go.id/upload/Buku%20Wistleblowers.pdf 209 Michael Foulcaut., op.cit., hal. 52 450 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 merupakan benda, ikhwal, atau gejala tunggal sebagai contoh kesenjangan sosial dan lainlain; ia juga merupakan sesuatu yang kompleks (konsep kekuasaan orang Jawa atau etos kerja golongan Peranakan). Soal etos kerja adalah untuk menerangkan sebuah peristiwa dalam hukum seperti fakta sesuai dengan apa adanya. Bahasa menghadirkan gagasan mengenai obyek dan bukan obyek itu sendiri. Bahasa menjadikan gagasan hadir bukan dengan sebuah gambar melainkan dengan sebuah tanda yang menggantikan gagasan itu. Karena itu bahasa dapat dimengerti hanya oleh orang yang mengetahui arti dan makna tanda itu.210 B. 1. 3. Bahasa Hukum Bahasa sebagai diskursus dalam hukum, statusnya memang tidak pernah transparan. Dalam hukum, bahasa selalu menyatu dengan berbagai distorsi; apakah karena kepicikan, karena bias lingkungan, kelas, dan zaman atau karena tarik-menarik kepentingan hukum atau secara sengaja mau memencengkan. Bahasa adalah sesuatu yang menurut Mochtar Pabottinggi211; “kotorannya” harus selalu diseka dan disikat sana-sini agar kita dapat menemukan realitas secara lebih baik. Sementara yang kita ketahui bahwa bahasa merupakan salah satu sarana untuk berkomunikasi dan bahasa sebagaimana yang kita pahami adalah merupakan hal yang bersifat universal. Bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol yang dapat digunakan untuk menyatakan atau menerangkan hal-hal seperti : (1) obyek material eksternal; (2) hal mental internal; (3) kualitas; (4) relasi; (5) tanda logika matematika; (6) fungsi; (7) keadaan; (8) proses; (9) kejadian.212 Bahasa ialah ungkapan pikiran dan perasaan manusia yang secara teratur dinyatakan dengan memakai alat bunyi. Perasaan dan pikiran merupakan isi bahasa, sedangkan bunyi yang teratur merupakan bentuk bahasa. Ada dua macam bentuk bahasa: bahasa lisan dan bahasa tulisan. Asal bahasa tak diketahui. Unsur perseorangan dan kemasyarakatan tak dapat dipisah-pisahkan untuk menentukan macam dan susunan bahasa. Ungkapan bahasa tergantung dari lingkungan masyarakat seseorang dibesarkan. Bahasa-bahasa yang mirip satu sama lain secara sistematis dikatakan sebagai bahasa sejenis. Hal yang demikian dinyatakan 210 Lorens Bagus, Op. Cit., hal. 113 Mochtar Pabottinggi: Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu Politik dalam Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (Editor), Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal. 53 212 Ibid., hal. 112-113 211 451 Christina Purwanti: Analisis Kritis Atas Bahasa Hukum Dan Distorsi Bahasa Dalam… dalam ilmu linguistik berdasarkan penyelidikan terhadap makna dan bunyi bahasa tadi digolongkan. Belum ada kepastian yang dicapai dalam membandingkan dasar susunan tata bahasa dari bahasa-bahasa yang dikatakan sejenis. Kelompok besar dari bahasa-bahasa sejenis atau bersaudara dinamakan rumpun. Isi bahasa memungkinkan orang berbicara tentang hal-hal atau benda-benda yang pada saat orang itu berbicara tidak ada di sekitarnya. Kata rumah, misalnya, bukanlah hanya berarti rumah, tempat tinggal, tempat berteduh; kata rumah bisa memiliki arti lain tergantung konteks kalimatnya. Contoh lain kata Pancasila mewakili suatu falsafah negara yang dapat diuraikan lebih panjang. Bahasa dikatakan bunyi karena kelahirannya mempunyai gejala-gejala frekuensi, intensitas, dan waktu, yang dapat dihasilkan oleh alat ucap dan dapat ditangkap oleh indera pendengar manusia serta dicatat dengan alat-alat mekanis. Dalam batasan ini tulisan dianggap merupakan sistem yang sangat bergantung kepada ujaran. Bahasa dikatakan arbitrer karena hubungan antara bahasa sebagai simbol yang berupa rangkaian bunyi dengan obyek di alam atau pengertian yang diwakilinya tidak dapat diramalkan melainkan diturunkan sebagai kecakapan yang meminta latihan oleh warga masyarakat yang lebih tua. Dengan kata lain, bahasa yang sifatnya sosial ini kemudian merambah ke aspek hukum.213 Sebagai contoh pernyataan: Praktik politik dan hukum di Indonesia adalah “kotor “, oleh karena itu harus ditegakkan secara baik dan benar serta adil oleh penegak hukum. Penggunaan kata “kotor” dalam pernyataan tersebut adalah persoalan bahasa. Kata kotor adalah kata sifat dalam bahasa Indonesia yang pemaknaan sederhananya adalah lawan dari kata “bersih”. Kata “kotor” digunakan di dalam hukum, maknanya menjadi sangat berbeda dan bisa bermacam-macam maknanya seperti, “kotor” artinya “korupsi”, “kotor” artinya “yang tidak terpandang akhlaknya” di dalam masyarakat. Praktik penggunaan bahasa tersebut bisa membingungkan masyarakat apalagi masyarakat yang sangat awam di dalam hukum; Di sinilah fungsi pokok bahasa : fungsi kognitif, fungsi emotif, fungsi imperatif (direktif), fungsi evaluatif; tereduksi ke dalam bahasa hukum sesuai dengan kepentingan yang diperjuangkan dalam hukum. 213 Apa yang bernama kuda dalam bahasa Indonesia, bernama jaran dalam bahasa Jawa Ngoko, at dalam bahasa Turki, cheval dalam bahasa Perancis, horse dalam bahasa Inggris, Pferd dalam bahasa Jerman, loshad dalam bahasa Rusia, dst. Sebagai alat untuk saling berhubungan, bahasa merupakan mata rantai yang menghubungkan orang atau sistem syaraf yang satu dengan sistem urat syaraf yang lain. Jadi dapat menggantikan rangsang maupun tanggapan yang langsung. Jumlah penggantian ini dapat suatu rangkaian ujaran mempunyai kemungkinan yang tidak terbatas. Seperti terdapat dalam Pringgodigdo, A.G., dkk, Op. Cit, hal. 116., Bdk juga Harimurti Kridalaksana tentang Bahasa (language) dalam Kamus Linguistik, Jakarta, 1993, PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 21. 452 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 Beberapa fungsi pokok bahasa sebagai berikut :214 (1) Kognitif. Ini mencakup fungsifungsi seperti menunjukkan, menyampaikan informasi, komunikasi arti (konsep, gagasan, penggunaan), dan konstruksi sistem-sistem simbolis untuk memenuhi fungsi-fungsi ini. Contoh : “Ratna mempunyai rambut hitam” berfungsi untuk mengkomunikasikan sesuatu mengenai suatu acuan, sesuatu yang dinyatakan benar mengenai suatu dunia obyektif yang dapat dinilai benar atau salah. “Suatu pernyataan tidak dapat benar dan sekaligus salah pada waktu yang sama dalam segi yang sama” berfungsi untuk mengkomunikasikan arti-arti tentang suatu aturan procedural dalam logika, terlepas dari apakah untuk pertanyaan ini terdapat sebuah referen (acuan) atau tidak. (2) Emotif. Di sini bahasa berfungsi untuk menyatakan dan/atau membangkitkan emosi, perasaan, suasana hati, sensasi, sikap, gambaran, nilai-nilai, purbasangka, serta seringkali untuk mempengaruhi tingkah laku. Contoh : “Anda seorang sembrono yang menjijikkan.” “Hal itu sungguh membuatku malu dan seharusnya kau merasa malu terhadap dirimu sendiri.” Untuk sebagai besar, bahasa emotif tidak menunjuk sebuah referen, tidak secara langsung menyampaikan informasi mengenai sebuah referen, dan tidak secara langsung menyangkut pernyataan bahwa sesuatu sungguh-sungguh benar atau salah. (3) Imperatif (direktif). Bahasa yang berfungsi untuk memerintahkan (menasihatkan, mendesak, mewajibkan, mengikat) sesuatu. Contoh : “Buka pintu!” “Mohon lakukan sesuai dengan apa yang aku katakan.” “Kau tidak boleh mencuri!” (4) Evaluatif. Bahasa yang berfungsi untuk menganalisis nilai (harga, manfaat) sesuatu. Contoh : “Saya yakin, pemerintahan kita adalah sistem pemerintahan terbaik di dunia.” “Lukisan Abdullah jauh lebih indah daripada lukisan Raden Saleh.” Banyak dari fungsifungsi ditemukan secara bersamaan dalam bahasa. Mereka bukan hanya merupakan fungsifungsi yang dapat ditunjukkan. Beberapa fungsi lain : (5) Bertanya, (6) Performatif, (7) Magis, (8) Seremonial, (9) Ekspresif, (10) Seruan. Fungsi bahasa juga terlihat jelas dalam membahas hukum pidana. Unsur utama yang harus diperhatikan dalam membahas hukum pidana adalah jenis bahasa yang dalam hal ini adalah bahasa objek (object language),215 yang terdiri dari dua hal pokok yakni : (1) Bahasa obyek ialah bahasa yang digunakan untuk membicarakan hal-hal yang karenanya tidak sadar, sebagai lawan dari metabahasa, yaitu bahasa yang dipakai untuk berbicara (dan/atau membuat teori) tentang bahasa semacam ini atau tentang bahasa-bahasa 214 Uraian selengkapnya seperti terdapat dalam Lorens Bagus, Filsafat Bahasa, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal. 117-118. 215 Lorens Bagus, hal. 118-119 453 Christina Purwanti: Analisis Kritis Atas Bahasa Hukum Dan Distorsi Bahasa Dalam… lain. Ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam suatu bahasa obyek tidak mempunyai referensi linguistik atau sintaksis. Ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam suatu metabahasa mempunyai referensi linguistik atau sintaksis. Contoh :216 “Bandot adalah kambing jantan”. Ini merupakan sebuah pernyataan dalam bahasa obyek. “Bandot adalah sebuah kata ganti diri yang terdiri dari enam huruf” merupakan sebuah pernyataan metabahasa. (2) Untuk mempelajari struktur-struktur suatu bahasa, seseorang harus menggunakan suatu bahasa yang dipelajarinya. Bahasa yang dianalisis secara sistematis disebut bahasa obyek (obyek analisis). Bahasa yang digunakan dalam analisis bahasa obyek ini disebut metabahasa. B. 2. Distorsi Bahasa dalam Hukum217 Bahasa, khususnya sebagai diskursus (wacana), memang tidak pernah transparan. Bahasa selalu menyatu dengan berbagai distorsi, apakah itu karena kepicikan, karena bias lingkungan, kelas dan zaman, atau karena tarikan-menarik kepentingan serta paradigma yang memencengkan. Bahasa adalah sesuatu yang “kotorannya” harus selaku diseka dan disikat di sana-sini agar kita dapat mengamati realitas secara lebih baik dalam hukum. Untuk mengukuhkan analisis kita tentang pendekatan baru dalam ilmu hukum, kita perlu menunjukkan setidak-tidaknya tiga praktik bahasa yang distortif dalam hukum. Ketiganya ialah distorsi bahasa sebagai topeng, distorsi bahasa sebagai proyek lupa, distorsi bahasa sebagai representasi. B. 2. 1. Distorsi Bahasa sebagai Topeng dalam Hukum Jika orang mengatakan “Putra Bapak memang agak ketinggalan dalam memahami pelajaran matematika” atau “Bolehkah saya ke belakang sebentar?” atau “Beliau telah pergi meninggalkan kita semua”, kita berhadapan dengan eufemisme. Tapi ketika mendapati orang berkata : “Biar harimau di dalam, kambing juga dikeluarkan” atau “nggih boten kepanggih”, atau “Tokoh partai terlarang itu sudah diamankan” atau “Undangan dapat dibeli di toko X” atau “Hormatilah pejalan kaki”, atau “sepak bola Pancasila” hendaknya tidak lagi dianggap sebagai eufemisme. 216 Ibid, hal. 120 Bdk Mochtar Pabottinggi. Op.cit., hal. 45-47. Sebagai bahan bandingan juga, lihat bunyi bahasa dan tata bunyi dalam bahasa Indonesia tentang sistem realisasi fonem vokal yang membedakan dan yang tidak membedakan alofon yang tertutup dan yang terbuka tidak menimbulkan pemiuhan (distorsi) dalam komunikasi tetapi sistem yang menyederhanakan gugus konsonan cenderung menimbulkan kejanggalan, seperti terdapat dalam Anton M. Mulyono, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1988, hal. 45. 217 454 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 Eufemisme adalah pelambangan suatu entitas atau pengertian secara lebih halus; penggambarannya bisa lain namun entitas atau pengertiannya sendiri tidak berubah. Kata “agak ketinggalan” atau “ke belakang” atau “meninggalkan” jelas menunjukkan bahwa entitas yang dimaksud tidak berubah. Dibandingkan dengan “Biar harimau di dalam, kambing juga yang dikeluarkan”. Pengertian yang ditampilkan beda dengan pengertian yang sebenarnya ada. Ungkapan “Nggih boten kepanggih” menunjukkan adanya praktik untuk menampilkan pengertian lain dari yang sebenarnya dimaksudkan. Telah dijelaskan di atas bahwa bahasa memang bukanlah sesuatu yang transparan, yang mencerminkan segenap yang ada secara jernih. Itu sudah menjadi kodrat bahasa. Yang kita persoalkan di sini ialah kenyataan bahwa bahasa yang memang sudah tidak transparan itu, dirusak oleh praktik hukum yang justru lebih mengacaukan pemahaman. Praktik bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan atau lain dari keadaan sebenarnya bisa disebut, mengikuti Ben Anderson, “bahasa topeng”.218 Anderson juga menyebut praktik yang sama dengan bahasa politesse atau kramanisasi.219 Di sini kita akan mempertahankan istilah “bahasa topeng”, sebab bukan saja istilah itu lebih jelas dan lebih langsung menggambarkan apa yang kita maksudkan, tapi juga lantaran pengertian “topeng” itu sentral sifatnya dalam permasalahan komunikasi politik yang bisa diarahkan ke dalam bahasa hukum. Problem penggunaan kata dalam praktik hukum dilihat dalam distorsi bahasa sebagai topeng seperti: “Papa minta saham”. Jika kita memperhatikan kata “papa” dalam kalimat tersebut, dalam pemahaman bahasa Indonesia yang artinya seorang ayah dari anak-anak dan sebagai seorang suami dari seorang istri dalam sebuah keluarga. Dalam konteks pengertian hukum dalam praktiknya, terjadi distorsi bahasa sebagai topeng, orang lebih memahaminya dalam konteks penafsiran makna yang ada di balik kata tersebut yakni bisa bermakna kepala negara, bisa bermakna bapak presiden atau pun makna yang lainnya, yang selalu dalam hubungan dengan kepemilikan saham dalam kasus hukum; dalam analisis ini, saya menyebutnya sebagai distorsi bahasa sebagai topeng dalam hukum.220 Anderson, Benedict, “The Languages of Indonesia Politics” dalam Indonesia, No. 1, Spring 1966. Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project, hal. 54-55. 219 Lihat Benedict Anderson, The Languages of Indonesian Nationalism dalam Indonesia, No. 1, Spring 1966. Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project. Di sini perlu dikemukakan meskipun pendapat Ben Anderson tidak bertentangan dengan opini umum. 220 Bdk. Mochtar Pabotinggi, Op.cit., hal 54. 218 455 Christina Purwanti: Analisis Kritis Atas Bahasa Hukum Dan Distorsi Bahasa Dalam… B. 2. 2. Distorsi Bahasa sebagai Proyek Lupa dalam Hukum Ketika Foucault menulis bahwa “rasa kesejahteraan sejati memandang eksistensi kita tegak di atas selaksa peristiwa yang hilang tanpa bekas dan tanpa rujukan”, 221 ia sesungguhnya mengingatkan kita agar jangan mudah lupa. Di sini kita tidak membicarakan ikhwal lupa sebagai kodrat manusia. Di sini kita membicarakan ikhwal lupa sebagai sesuatu yang dimanipulasikan. Demi kejelasan argumen, kita terlebih dahulu harus meluruskan arti lupa. Dalam keadaan normal dan jaga, lupa berarti ingat yang lain. Dengan pemahaman ini, kita lalu dapat memaklumi bahwa lupa dapat diciptakan dan direncanakan. Manusia adalah makhluk yang penuh keterbatasan, yang perhatiannya amat mudah dialihkan. Lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang. Dengan mengalihkan perhatian seseorang atau ratusan juta orang, kita membuat mereka lupa. Lebih parah lagi, lupa ini dapat diperpanjang selama dikehendaki oleh para manipulator juga. Bahasa sebagai proyek lupa juga berlaku pada hal-hal yang jauh lebih penting bagi hajat hidup dan hajat nilai orang banyak222. Kita, misalnya, bisa terjerumus ke dalam proyek lupa sejarah. Ini terjadi manakala orang menulis sejarah dengan sengaja menghilangkan atau mengecilkan arti peristiwa-peristiwa tertentu, jejak-jejak tertentu, dan tokoh-tokoh tertentu. Problem penggunaan kata dalam praktik hukum dilihat dalam distorsi bahasa sebagai proyek lupa seperti: “Saya tidak tahu”. Jika kita memperhatikan kata “saya tidak tahu” dalam kalimat tersebut, dalam pemahaman bahasa Indonesia yang artinya orang itu mau menyampaikan bahwa ia tidak tahu atau pun tidak berpengetahuan tentang sesuatu yang ditanyakan. Dalam konteks pengertian hukum: “Saya tidak tahu” adalah kata yang digunakan oleh seorang terdakwa misalnya yang sedang duduk di kursi pesakitan di pengadilan dalam memberikan jawaban atas pertanyaan misalnya: Apakah anda melihat seseorang, si A misalnya mencuri seluruh barang bawaannya tersebut? Orang itu menjawab: “Saya tidak tahu”. Terhadap jawabannya tersebut, ia tidak dihukum karena argumentasi sederhananya adalah jika seseorang yang tidak tahu tentang sesuatu yang ditanyakan maka tidak perlu dihukum. Dalam konteks ini kata “tidak tahu” karena lupa atau memang benar-benar tidak tahu. Dalam praktik hukum, terhadap jawaban tersebut tetap terus diselidiki, apakah benar- 221 222 Michael, Foucault, Op. Cit., hal. 57. Bdk. Mochtar Pabotinggi, Op.cit,. 58. 456 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 benar tidak tahu atau karena lupa; hal tersebut, saya menyebutnya distorsi bahasa sebagai proyek lupa.223 B. 2. 3. Distorsi Bahasa sebagai Representasi dalam Hukum Dalam distorsi topeng, orang mengetengahkan sesuatu yang lain untuk menutupi keadaan sebenarnya. Dalam distorsi lupa, orang mengetengahkan apa saja, asalkan perhatian teralih dari sesuatu. Berbeda dari kedua distorsi bahasa itu, distorsi bahasa sebagai representasi terjadi jika kita menggambarkan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Dalam hukum, penggambaran tidak sebagaimana mestinya ini juga merupakan tindakan yang berbahaya. Sebagai contoh: Pembantaian bangsa Aztek di tangan Columbus dan Cortez pada awal abad keenambelas dimulai dengan penggambaran jelek atas bangsa tersebut.224 Hal yang sama juga terjadi dalam kasus eksplotasi yang tak ada presedennya atas bangsa kita oleh bangsa Belanda dimulai oleh Jan Pieterszoon Coen dengan menyamakan penduduk Nusantara sebagai “ternak” – sebutan yang segera disusul oleh para kolonis Belanda sesudahnya dengan memanggil kita “monyet” atau “inlander”. Contoh lain distorsi bahasa sebagai representasi secara umum adalah dalam kasus: Pembantaian orang Yahudi juga bermula dengan tersebarnya di seluruh Eropa gambaran tentang mereka sebagai bangsa penyalib Kritus, sebagai bangsa pembawa degradasi bagi kemuliaan ras Aria, sebagai penyebar racun di sumur-sumur, dan sebagai rentenir penghisap. Tak terperikannya kekejaman yang ditimpakan kepada mereka agaknya merupakan korelasi langsung dari betapa dalamnya penggambaran itu tertanam dalam jiwa masyarakat Eropa. 225 Problem penggunaan kata dalam praktik hukum dilihat dalam distorsi bahasa sebagai representasi seperti: “Apel Malang dan Apel Washington”. Jika kita memperhatikan kata “apel Malang” dalam kalimat tersebut, dalam pemahaman bahasa Indonesia yang artinya buah apel yang bisa dimakan yang biasanya dijual di berbagai tempat seperti di pasar tradisional atau pun di super market. Dalam konteks pengertian hukum dalam praktiknya, bisa terjadi distorsi bahasa sebagai representasi, orang lebih memahaminya dalam konteks penafsiran makna yang ada di balik kata tersebut yakni kata “apel Malang” bisa merepresentasikan mata uang rupiah dan “apel Washington” bisa merepresentasikan dolar 223 Ibid., hal 54. Tzetan,Todorov, The Conquest of America. New York , Harper & Row Publisher, 1984, hal. 237 225 Bdk. Mochtar Pabotinggi, Op.cit., hal 54. 224 457 Christina Purwanti: Analisis Kritis Atas Bahasa Hukum Dan Distorsi Bahasa Dalam… Amerika, atau pun makna lainnya, yang selalu dalam hubungan dengan representasi kata yang bersifat simbolik; hal tersebut, saya menyebutnya distorsi bahasa sebagai representasi. C. Kesimpulan Makna hukum selalu dirumuskan melalui bahasa untuk mencapai tujuan hukum yang sebenarnya; di sinilah segala diksi, kata, ataupun kalimat dalam bahasa sangat berperanan penting di dalam aktivitas hukum. Perumusan bahasa hukum yang tepat dalam proses hukum demi tegaknya sebuah keadilan harus memperhatikan makna kata, diksi, dan kalimat. Jika hal tersebut dilakukan tentu tidak menimbulkan distorsi bahasa dalam hukum. Bahasa hukum harus tepat. Perumusan bahasa hukum yang tepat ini demi tegaknya hukum itu sendiri dan tidak menimbulkan makna yang ambigu. Penyandang (pengguna) bahasa adalah manusia. Manusia seorang diri di antara makhluk-makhluk yang mempunyai pikiran yang dapat dia komunikasikan kepada orang lain. Manusia sebagai makhluk rohani harus bisa memiliki kemampuan, kemauan, dan mampu mengungkapkan pikiran melalui bunyi yang sesuai dan yang cocok. Karena itu, bahasa mencerminkan hakikat jasmani rohani manusia dan mengalirkan hukum-hukumnya. Selaku bunyi, bahasa ada hanya selama dihasilkan dalam hukum sekalipun. Bahasa selalu merupakan ungkapan jiwa tertentu dari orang yang sedang berbicara. Tujuan pokok bahasa (sebagaimana berbeda dari bentuk ekspresi lain) bukan sekedar ungkapan jiwa. Tujuan utama bahasa adalah menggambarkan dan mengkomunikasikan gagasan. Bahasa menghadirkan gagasan mengenai obyek dan bukan obyek itu sendiri. Bahasa menjadikan gagasan hadir bukan dengan sebuah gambar melainkan dengan sebuah tanda yang menggantikan gagasan itu. Karena itu bahasa dapat dimengerti hanya oleh orang yang mengetahui arti dan makna tanda tersebut. DAFTAR PUSTAKA Buku Bagus, Lorenz. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996 Bujono, Bambang dan Leila S. Chudori. Bahasa ! Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo. Jakarta: PT. Temprint, 2008 Foucault, Michael. The Archaelogy of Knowledge & The Discourse on Language. New York : Pantheon Books, 1972 458 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 Keraf, Gorys. Komposisi. Ende: Nusa Indah, 1994 Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993 _______. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992 Mulyono, Anton M. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1988 Pringgodigdo, A.G. dkk. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta: Kanisius, 1977 Rauf, Maswadi dan Mappa Nasrun (Editor). Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993 Riyanto, Armada dkk (Editor). Kearifan Lokal Keindonesiaan. Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015 Pancasila: Butir-butir Filsafat Todorov, Tzvetan. The Conquest of America. New York : Harper & Row Publisher, 1984 Jurnal Anderson, Benedict. “The Languages of Indonesia Politics”. Indonesia, No. 1, Spring Ithaca. New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1966 _______. “The Languages of Indonesian Nationalism”. Indonesia, No. 1, Spring Ithaca. New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1966 Internet Haris Semendawai, Abdul. “Memahami http://www.lpsk.go.id/upload/Buku%20Wistleblowers.pdf Whistleblower”. 459