Diskursus Tuhan dalam Pemikiran Etika Immanuel Kant: Memaknai

advertisement
Diskursus Tuhan dalam Pemikiran Etika
Immanuel Kant: Memaknai Agama
dalam Kehidupan Manusia
Samsul Huda
Pusat Penelitian IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstrak:
Dalam lapangan filsafat, terdapat banyak wacana pembuktian
adanya Tuhan. Argumen-argumen tersebut antara lain argumen
moral dan keajaiban (miracle). Artikel ini membahas tentang
argumen keberadaan yang dikemukakan Immanuel Kant.
Menurut penulisnya, argumen Kant sangat berkaitan dengan
pemikirannya dalam bidang etika. Kant berkeyakinan bahwa
kenyataan hukum moral yang universal, yang mengikat semua
orang tanpa pandang bulu, yang menjadi bukti otentik tentang
keberadaan Tuhan. Dimensi ketuhanan ini mendorong manusia
untuk tidak begitu saja menyerah kalah kepada tuntutan keputusasaan moral. Dengan adanya dimensi Tuhan ini, manusia lebih
memilih bersikap optimis dan punya pengharapan (rajâ’) daripada
bersikap pesimis atau putus asa.
Kata Kunci: Etika, Immanuel Kant, Tuhan.
A. Pendahuluan
Dalam diskursus wacana filsafat agama, muncul beberapa proposisi
argumentatif dengan beberapa karakteristik dalam upaya membuktikan keberadaan Tuhan, di antaranya argumen ontologis, kosmologis,
teleologis dan argumen moral. Beberapa preposisi yang dibangun
secara argumentative untuk membuktikan keberadaan tuhan dapat
dilihat dari beberapa postulat seperti: “Moralitas menjadi benar apaMedia Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
2 SAMSUL HUDA
bila adanya unsur kepercayaan akan adanya Tuhan,” atau “kepercayaan akan adanya Tuhan dan posisi agama akan membuktikan
secara jelas fakta pengalaman kemanusian.”1 Ungkapan lain, “Tuhan
adalah zat yang maha besar,” “Tuhan adalah penggerak yang tidak
bergerak,” “Tuhan adalah designer di balik konfigurasi dinamis alam
semesta” dan banyak ungkapan lain yang menjadi bagian argumen
pembuktian akan adanya eksistensi Tuhan.
Sebahagian besar para filosof lebih fokus dalam menggunakan
tiga argumen: Ontologi, kosmologi dan teleologi. Argumen ontologis
mencoba membuktikan bahwa “ketiadaan” Tuhan merupakan sesuatu
yang mustahil, sebaliknya keberadaannya menjadi niscaya. Adapun
argumen kosmologis membuktikan batasan antara yang general dan
yang spasial-temporal dalam alam semesta sebagai sesuatu yang ada
dan mengalami perubahan, dan itu menunjukkan keharusan postulasi
adanya Tuhan untuk menerangkannya. Sedangkan argumen
teleologis atau juga disebut design argument membuktikan bahwa
keberadaan dunia, keindahan dan keberangkaiannya, menunjukkan
adanya proses pemikiran tentang suatu rancangan. Argumen ini
berakhir dengan kesimpulan bahwa ada “sesuatu” yang merancangnya.2
Menurut Wainwrigh, argumen kosmologis dan argumen
teleologis hanya diekspresikan secara terbatas dalam pendirian
mazhab atau kelompok pemikiran agama. Seseorang dapat berpikir
bahwa Tuhan sendirilah yang bisa menerangkan mengapa ada alam
semesta, yang secara implisit memunculkan argumen kosmologis.
Seseorang juga dapat percaya bahwa dunia, keindahan, dan kebajikan
merupakan indikasi adanya aktivitas ketuhanan yang digunakan
dalam argumen “perancangan”. Sedangkan argumen ontologis sering
dimunculkan oleh pemikir atau intelektual yang memiliki basis
relegiusitas dan cenderung berlandaskan agama, yang secara umum
dapat menjadi lorong atau bahkan penguatan keimanan kepada
Tuhan, “Tuhan yang Mutlak” dan seterusnya, dan sampai pada
kesimpulan bahwa ketiadaan eksistensi Tuhan adalah sesuatu yang
mustahil dan tak dapat dibayangkan.3
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
DISKURSUS TUHAN 3
B. Membaca Ulang Argumen-argumen Eksistensi Tuhan
Dalam sejarah perkembangan filsafat, beberapa filosof membangun
dan menyusun argumen ontologis untuk membahas eksistensi Tuhan.
Pembuktian ontologis tentang eksistensi Tuhan di antaranya disusun
oleh Anselm (1033-1109 M) yang disederhanakan oleh Rene Descartes
(1596-1650 M). Argumen ini bertumpu pada adanya ide tentang
Tuhan, suatu zat yang tak terbatas (infinite) dan sempurna, yang tidak
dapat ditimbulkan oleh zat yang terbatas (finite), dan oleh sebab itu,
ide tersebut tentu ditimbulkan oleh Tuhan sendiri. Kesimpulannya
menyebabkan Tuhan itu ada dan mengandung adanya dalam dirinya
sendiri.4 Argumen ontologis ini, sebenarnya telah dimulai oleh Plato
jauh sebelumnya dengan “teori idea.” Dalam pandangan Plato semua
eksistensi atau bentuk yang ada di alam semesta mempunyai “cetak
biru”nya masing-masing yang ia sebut idea. Penampakanpenampakan material itu adalah semu karena yang hakikat adalah
idea. Idea-idea yang ia sebut sebagai hakikat asli dari penampakan
di alam ini, tidak lah terpisah-pisah satu sama lain, tetapi bersatu
pada idea tertinggi: the absolute good (yang mutlak baik). Ide tertinggi
ini merupakan sumber, tujuan dan sebab bagi segala yang ada.
Argumen ini mempunyai kelemahan ketika dihadapkan kepada
logika; jika hakikat wujud itu hanya ada dalam ide, maka ide tentang
the absolute good tidak mesti benar dalam realitas. Konsep Zat Maha
Besar berarti tidak mengharuskan adanya Yang Maha Besar pula.
Adapun argumen kosmologis digunakan oleh beberapa filosof
seperti Aristoteles dan beberapa filosof Muslim seperti al-Fârâbî dan
Ibn Sînâ, dan filosof Kristen Thomas Aquinas. Argumen kosmologis
(dalam filsafat Islam: dalîl al-imkân) berlandaskan pada pemisahan
necessary being (niscaya ada) dan contingent being (mungkin ada).
Dalam filsafat Islam, argumen ini dikenal dengan dalîl al-imkân atau
argumen kemungkinan, dari mana wujud niscaya (Tuhan) dapat
secara logis disimpulkan. Fazlur Rahman dalam bukunya The
Philosophy of Mullâ Sadrâ mengatakan: “Argumen dari
kemungkinan menyatakan bahwa suatu wujud yang mungkin (a
contingent existent) tidak bisa dengan sendirinya dan karena itu
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
4 SAMSUL HUDA
membutuhkan sebuah sebab yang akan menjadikan ia ada.”5
Pengamatan terhadap sesuatu yang ada di alam semesta ini
sampai pada kesimpulan kata kunci sebab (cause), bahwa masingmasing benda ada karena suatu sebab. Dalam dunia kita tiap-tiap
kejadian mesti didahului oleh sebab-sebab. Hukum sebab akibat itu
pula yang melandasi argumen “penggerak yang tidak bergerak” dan
tidak digerakkan oleh Aristoteles, yang diidentifikasi sebagai Causa
Prima yang bersifat necessary being (niscaya ada). Argumen ini
punya kekuatan kepada adanya sebab (cause) yang saling bekerja
(bergerak), dan berlandaskan pada pemikiran tentang kausalitas yang
menjadi hukum alam (law of nature). Kelemahan argumen ini adalah
adanya “keraguan” bahwa sebab atau penggerak yang pertama dari
rangkaian sebab akibat dan gerak tersebut sebagai Tuhan. Aristoteles
sendiri tidak pernah mempertanyakan: adakah Tuhan?6 Di samping
itu, logikanya mengenai bentuk wujûd dan materi berakhir kepada
yang immaterial. Rentetan gerak dan sebab akibat juga tidak mesti
berakhir pada apa yang disebut sebagai Tuhan yang mencipta alam.
Argumen selanjutnya adalah teleologis atau design argument
(dalîl al-‘inâyah), biasanya dibangun berdasarkan pengamatan atas
keteraturan dan keterpaduan alam semesta, argumen yang dibangun
dari pengalaman tersebut akan berakhir pada kesimpulan bahwa halhal sebagi keteraturan dan keterpaduan mengharuskan natîjah bahwa
adanya perancang atau designer yang menjadi aktor di balik itu
semua.7 Argumen ini digunakan oleh beberapa filosof, di antaranya
seperti William Falley (1743-1805) dalam tulisannya Natural
Theology: or Evidences of the Existence and Attributes of Deity
Collected from the Appearances of Nature (1802). Dalam Islam, Ibn
Rusyd juga menggunakan argument ‘inâyah ini sebagai argumen yang
menurutnya paling tepat dan sesuai dengan preskripsi-preskripsi alQur’ân.8 Ibn Rusyd mendasarkan argumennya pada dua prinsip:
Pertama, bahwa segala sesuatu yang ada di dunia adalah cocok untuk
keberadaan manusia, dan kedua, bahwa keserasian haruslah
ditimbulkan oleh sebuah agen yang sengaja melakukannya untuk
tujuan tertentu. Hal ini dipahami, bahwa segala sesuatu yang
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
DISKURSUS TUHAN 5
diciptakan termasuk keserasian, keteraturan dan harmonitas alam
semesta akan mengarahkan pada adanya perancang yang
menciptanya.
Kekuatan argumen teleologis, terletak dalam penempatan
fenomena empirik dan aktual sebagai bukti otentik dari adanya
Tuhan, namun argumen ini juga mengalami kendala ketika
dihadapkan kepada pertanyaan, apakah Tuhan juga “mendesain”
kejahatan yang secara langsung akan menjadi dan mengakibatkan
penderitaan bagi manusia?, apa tujuan penderitaan dan kejahatan?.
Argumen Moral
Sedangkan argumen moral, yaitu pemikiran yang menempatkan
eksistensi moral sebagai indikasi keberadaan Tuhan. Hukum moral
ataupun imperatif moral yang berdasarkan hati nurani bersifat
universal dan secara implisit berlandaskan kepada kepercayaan
terhadap Tuhan. Seperti telah disebutkan di atas, ada ungkapan
bahwa kebenaran moralitas itu sendiri berdasarkan pada suatu
kepercayaan terhadap adanya Tuhan, karena secara rasional, moral
itu sendiri memiliki tujuan dan arah sebagaimana diungkapkan oleh
Immanuel Kant, yaitu: free will, immortalitas dan personal God. Hal
ini menunjukkan bahwa imperatif moral sebagai dasar argumen dari
adanya moral bukan merupakan sesuatu yang absurd. Argumen moral
tentang pembuktian keberadaan Tuhan, sudah dimulai sejak lama,
misalnya Anaximandros (500 sM) menyatakan dunia ini penuh
dengan ketidak-adilan, yang mengharuskan adanya hukum yang
tertinggi sebagai hukum di luar jangkauan manusia.
Secara keseluruhan, argumen-argumen moral bersifat rasional
transendental dan menjadi bagian dari pelurusan isu-isu agama dari
distorsi empirisme yang menolak persoalan metafisik dan kegagalan
rasionalisme spekulatif yang tidak mampu menyelesaikan persoalan
metafisik. Kekuatan argumen moral terletak kepada pemaknaan
kehidupan manusia itu sendiri. Kehidupan manusia itu tidaklah
absurd, apa yang dilakukan mempunyai konsekuensi berdasarkan
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
6 SAMSUL HUDA
kebebasan pilihan hidup. Konsekuensi berakhir kepada kepercayan
bahwa pembalasan mengharuskan adanya kehidupan lain
(immortalitas) dan Tuhan sebagi hakimnya. Kelemahan argumen ini
jika dihadapkan kepada pertanyaan, apakah manusia benar-benar
bebas untuk memilih?, misalnya, dapatkah seorang tua renta lari dari
kondisi perang yang akan membuat ia terbunuh tanpa ia sendiri
menyadarinya? atau dalam kasus agama, mengapa saya dilahirkan
sebagai seorang kafîr, Eropa, Negro, Asia, Indonesia atau lain
sebagainya?, kenapa bukan di samping masjid al-harâm? atau kenapa
tidak di zaman Nabi Muhammad?
Argumen Miracle
Seterusnya, argumen keajaiban atau miracle, secara proposisi
memang bisa mengindikasikan eksistensi who called: a supernatural:
Tuhan. Kejadian-kejadian luar biasa yang tidak wajar dalam tata nalar
yang logis, menunjukkan adanya kekuatan yang menjadi agen yang
berbuat. Argumen ini mempunyai proposisi yang hampir serupa
dengan design argument. Perbedaan mendasar adalah: bahwa
argumen perancangan menjadikan aturan atau hukum alam sebagai
desain yang dihasilkan oleh seorang perancangnya. Sedangkan
argumen keajaiban ini, justru menolak adanya aturan hukum alam
(sunnah Allah).
Dalam khazanah filsafat agama, sebahagian besar filosof
menolak argumen miracle, karena menentang law of nature, apalagi
dalam perkembangan epistemologi modern, setiap penentangan
terhadap hukum alam merupakan hal yang tidak logis;
kesimpulannya, argumen miracle itupun tidak logis. 9 Menurut
penulis, percaya kepada eksistensi Tuhan dengan hanya berpegang
kepada kejadian-kejadian yang ajaib-menakjubkan- atau masuk
kategori mu‘jizat atau miracle, memiliki landasan yang rapuh.
Kejadian-kejadian yang “jarang” terjadi tersebut, mesti ditempatkan
pada faktor komplementer sebuah pembangunan kepercayaan
terhadap adanya Tuhan. Karena pondasi ini bisa hancur karena
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
DISKURSUS TUHAN 7
perkembangan hal-hal yang lain atau kejadian-kejadian yang lain.
Misalnya, seorang pesulap sekelas David Coverfield bisa menjadi
“tuhan” karena mampu membuat kejadian-kejadian irrasional yang
tidak masuk dalam tata-nalar manusia. Di samping itu, fondasi
kepercayaan seperti ini merupakan set back epistemologis terhadap
adanya Tuhan, seperti halnya kepercayaan-kepercayaan yang bersifat
natural yang dipicu oleh pengalaman tertentu atas kejadian-kejadian
alam. Fondasi yang paling baik bagi keberagamaan -terutama
pembuktian eksistensi Tuhan, adalah rasionalitas dan ilmu
pengetahuan. Artinya, seseorang percaya kepada adanya Tuhan
berdasarkan argumen-argumen pengetahuan rasional, bahwa ada
data-data agama yang bisa didekati dengan piranti rasio.
Filosof Muslim Ibn Rusyd misalnya, memandang bahwa mu‘jizat
al-Qur’ân sebagai keajaiban sastra pada zamannya, harus dipahami
dalam konteks ilmiah. Kejadian-kejadian luar biasa harusnya tidak
menjadi fondasi keberagamaan, maka al-Qur’ân pun harus dipandang
dari keluarbiasaan fleksibelitasnya atas firanti rasional. Artinya,
sumber atau fondasi keagamaan Islam -al-Qur’ân, jangan dipandang
sebagai keajaiban yang irasional, tapi harus diposisikan sebagai basis
menakjubkan bagi rasionalitas untuk memahaminya sebagai sumber
nilai, etik, moral ilmu bagi agama. Pendapat Ibn Rusyd ini dipertegas
oleh Paul Davids kemudian hari dengan “the theory of every thinks”
yang menggambarkan “keajaiban” ilmu pengetahuan memungkinkan
manusia untuk membangun teori tentang segala sesuatu, yang secara
sempurna akan mendeskripsikan dunia semesta dalam terminologi
berdasarkan sistem logis yang tak bisa dibantah.10
C. Eksistensi Tuhan dalam Kajian Disiplin Filsafat Agama
Ada asumsi bahwa memahami agama dengan filsafat akan
menimbulkan kerancuan dan ko ntra produktif bagi keimanan. Hal
ini dikarenakan filsafat dalam pola aktivitasnya secara umum dimulai
dengan “rasa keraguan,” pencaharian yang tidak pernah memuaskan
dan seterusnya, sedangkan agama bertolak dari “rasa yakin,” maka
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
8 SAMSUL HUDA
timbul asumsi bahwa metode filsafat akan menjadi kontra produktif
bagi agama dan penganut agama. Goddes MacGregor misalnya,
menegaskan bahwa pendekatan rasional tidak bisa memuaskan dan
memperkokoh keimanan. 11 Bahkan dengan filsafat, Tuhan bisa
menjadi ada dan sekaligus tidak ada dalam proposisi-proposisi
filosofis. Penolakan Karl Marx (1818-1883 M) terhadap agama yang
dianggapnya sebagai “candu” dan menyebabkan semakin
mempertajam jurang antar kelas dalam struktur masyarakat. Agama
baginya adalah pelarian dari ketertindasan kelas buruh dalam
struktur sosial. Maka ia mencela pemimpin agama yang ia anggap
menina-bobokkan manusia dengan agama, membuat kelas buruh
tidak mampu bangkit karena bergantung kepada hal-hal yang
mustahil dan non material. Freud di lain pihak berangggapan bahwa
agama merupakan ilusi atau angan-angan manusia saja.12 Sedangkan
David Hume (1711-1776 M) secara tegas menyatakan agama sebagai
penipuan terhadap diri sendiri, karena pengalaman keagamaan tidak
bisa dibuktikan dengan data empiris.13 Positivisme Auguste Comte
(1798-1857 M) yang membagi perkembangan filsafat dalam tiga
tahapan menjadi: theologi atau religius, metafisik dan akhirnya
menjadi ilmiah atau empirik,14 pada akhirnya menyebutkan agama
hanya bagian kehidupan primitip, karena gejala keagamaan yang
bersifat irasional tidak akan dapat diterima dalam tahap positif yang
menggunakan kesimpulan-kesimpulan rasional yang bersifat
universal berdasarkan data-data empirik. Menurut Comte,
pengalaman-pengalaman agama hanya berguna pada tingkat teologi
dan metafisik dan menjadi absurd di tingkat positip.
Berbagai argumen yang mendiskreditkan agama (Tuhan)
tersebut tidaklah selalu mulus benar, karena ia mempunyai beberapa
kelemahan, misalnya, beberapa reduksi yang dilakukan empirismepositivisme-materialisme terhadap realitas, hal ini menjadi celah
untuk dikritisi. Memang pada dasarnya, pemikiran filosofis pun selalu
berkembang dalam proses yang kritis. Maka banyak pula argumen
yang mengedepankan pembuktian akan adanya Tuhan. Analisis
selanjutnya akan memperlihatkan bahwa pengkajian agama dengan
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
DISKURSUS TUHAN 9
pendekatan filsafat tidak akan menimbulkan kontra-produksi bagi
kepercayaan-keimanan atau keberagamaan seseorang.
Josiah Royce (1855-1916 M) misalnya, membantah adanya
asumsi bahwa filsafat akan mendistorsi agama. Ia kemudian
menerangkan fungsi filsafat bagi agama, yang pada satu sisi berfungsi
analitik: mempelajari asumsi-asumsi keagamaan tentang moralitas
dan realitas. Pada sisi yang lain menurut Royce, filsafat tidak hanya
sekedar sebuah kritik, tetapi juga menjawab persoalan-persoalan
seperti: Apa yang harus dilakukan? Apa yang bisa diharapkan? Pada
point ini, filsafat dan agama berdiri pada dasar yang sama.15 Bahkan
menurut Karl Jaspers, pengkajian agama dengan filsafat akan
menambah wawasan keimanan. Iman yang berakar dari filsafat
berdasarkan perenungan terhadap akar-akar hakikat akan
bersentuhan dengan alam transendental Tuhan. Gottfried Wilhem
Von Leibniz (1646-1716) dan Baruch Spinoza (1632-1677) yang
menempuh jalan filsafat bahkan menempatkan ketuhanan sebagai
mahkota di atas bangunan pemikiran mereka. Cara mereka
berfilsafatpun, tergetar oleh keharuan religius yang berujung pada
kesimpulan ekstrim bahwa agama dan kebertuhanan tidak dapat
dibatasi oleh wahyu16
Jika proposisi-proposisi filosofis yang berhubungan dengan
pembuktian eksistensi Tuhan dianalisis secara cermat, maka
anggapan bahwa mengkaji keberadaan Tuhan melalui filsafat
dianggap kontra-produktif bisa dimentahkan secara logis. Memang
secara eksplisit sebuah argumen bisa membuktikan dan menyatakan
ketiadaan Tuhan. Namun secara implisit, argument tersebut akan
berujung kepada pengakuan akan adanya Tuhan. Contohnya,
argumen Friedrich Nietzsche (1844-1900 M) yang mengatakan Tuhan
telah mati (God is dead), kita semua membunuh Tuhan (we have
killed him –you and I),17 yang menunjukkan kelemahan dan kontra
produktifitas setiap usaha pembuktian eksistensi Tuhan. Argumen
ini kendati secara verbal-eksplisit menyatakan Tuhan tidak ada, atau
Tuhan telah terbunuh, namun secara tidak langsung mengakui Tuhan
ada atau pernah ada. Sebagaimana dikatakan oleh Don Cuppit,
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
10 SAMSUL HUDA
Nietzsche tidak melihat agama sebagai pengalaman yang utuh yang
terpusat pada pembangunan jiwa, yang terdapat dalam kesadaran
beragama. Ia tidak terlalu berkepentingan untuk memaparkan
“sesuatu yang lain” dari dimensi spritualitas yang juga menjadi bagian
dari dunia keseluruhan. Nietzsche menurutnya, hanya berbicara
sebatas apa yang ia ingat saja.18
Seterusnya, penolakan Karl Marx terhadap agama yang ia sebut
sebagai “candu,” sebenarnya karena realitas keberagamaan yang ia
dapatkan pada kelas buruh yang tertindas. Agama menjadi “kambing
hitam” dari suatu situasi struktur sosial-politik saja. Secara implisit
Marx bukan menolak agama, melainkan menolak realitas struktural
kelas sosial yang menggunakan institusi agama sebagai alat untuk
mempertajam antara yang kaya (kelas atas) dan yang tertindas (kelas
buruh). Sama halnya, ketika Thomas Hobbes (1588-1679)
menyimpulkan agama hanya sebagai pengejawantahan politik
ketuhanan, karena agama dijadikan justifikasi dan legitimasi dalam
melestarikan sebuah kekuasaan politik. 19 Roger Geraudy bahkan
berpendapat bahwa atheisme Marxis bukanlah atheisme metafisik,
melainkan atheisme metodologis, yang menyingkirkan Tuhan
pemberi imbalan baik dan Tuhan pemberi beban. Atheisme jenis ini
ingin membebaskan diri dari hambatan yang menghalanginya untuk
menyalurkan ambisi menciptakan diri dan menentukan nasib, maka
Geraudy berkesimpulan bahwa atheisme Marxis sama saja dengan
humanisme.20 Lebih lanjut, jika diterapkan definisi agama menurut
teori secular, maka apa yang dilakukan oleh Nietzsche dan Marxisme
merupakan model sebuah agama, bukan anti agama.
Seperti telah diulas terdahulu, banyak filosof mempunyai
perhatian terhadap agama atau Tuhan sebagai objek kajian, sejak
masa Yunani, Hellenisme Romawi, skolastik dan sampai alam
Modern. Pemikiran mereka tentang agama menjadi khazanah dan
bagian tak terpisahkan dalam perkembangan filsafat agama. Beberapa
filosof pula kendati tidak memfokuskan kepada agama (Tuhan), pada
bagian-bagian tertentu, pikirannya dapat dikategorikan ke dalam
wilayah filsafat agama, baik pada masa filsafat agama telah menjadi
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
DISKURSUS TUHAN 11
istilah tersendiri ataupun sebelumnya.
Untuk menyebut sebagian dari mereka: William Falley (17431805) dalam tulisannya Natural Theology: or Evidences of the
Existence and Attributes of Deity Collected from the Appearances of
Nature (1802), Leibniz menulis Theodicy (1710) George Willhem
Friedrich Hegel (1770-1830 M) menulis Philosophy of Religion
(1924), David Hume menulis Dialogues Concerning Natural Religion
(1779), Josiah Royce menulis buku The Religious Aspect of Philosophy
(1885), Bertrand Russell (1872-1970 M) juga menulis tentang “A Free
Man’s Whorship” (1903). Alfred North Whitehead (1861-1947 M)
mengungkapkan pikiran panentheism dalam bukunya Religion in The
Making, (New York, New Amerikan Library, 1974), Tuhan dalam
tulisannya diistilahkan sebagai perwujudan ‘azalî kreativitas
(primordial actualization), Tuhan menjadi sumber segala tujuan dan
arah dari proses konkresi penciptaan.21 William James (1842-1910)
menulis satu bab tentang “Pragmatism and Religion” dalam bukunya
Pragmatism. Selanjutnya filosof ahli filologi, yang banyak meneliti
agama-agama Timur, Friedrich Max Muller, karyanya demikian luas
tentang sejarah agama terutama filsafat agama di India seperti:
Lecture on the Origin and Growth of Religion, as Illustration by
Religions of India (1878), Six System of Indian Philosophy (1899),
50 volume serial tulisannya Sacred Books of the East (1879-1894).
William Falley (1743-1805) dalam tulisannya Natural Theology: or
Evidences of the Existence and Attributes of Deity Collected from
the Appearances of Nature (1802).
Di antara sekian tokoh yang mempunyai kontribusi besar dalam
bidang filsafat agama adalah Immanuel Kant (1724-1804 M). Kritik
filsafat moral Kant dalam Kritique der Practischen Vernunft dan
Kritique der Urtheilskraft memberikan pengaruh yang luas dalam
pemikiran tentang agama, karena formulasi etika rasional yang
dibangun oleh Kant justru menempatkan postulat “personal God”
(Tuhan), kehidupan setelah mati (immortality) serta kebebasan
(freedom) pada posisi yang sentral.22
Jika dilihat pandangan para ahli etika atau filsafat moral di alam
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
12 SAMSUL HUDA
modern, pada hakekatnya, etika tidaklah selalu bersangkut paut
dengan pengetahuan tentang baik dan buruk. Etika pada dasarnya
menyangkut bidang kehidupan yang luas. Paling tidak, dikemukakan
oleh Alasdayr Macintyre, etika juga menyangkut analisis-konseptual
mengenai hubungan yang dinamis antara manusia sebagai subjek
yang aktif dengan pikiran-pikirannya sendiri, dengan dorongan dan
motivasi dasar tingkah lakunya, dengan cita-cita dan tujuan hidupnya
serta perbuatan-perbuatannya. Kesemuanya itu mengandaikan
adanya interaksi yang dinamis dan saling terkait antara satu dan
lainnya, lagi pula merupakan organisme yang hidup dan berlaku
secara aktual dalam kehidupan pribadi dan sosial.23 Singkatnya, ada
keterkaitan erat antara etika sebagai filosofi moralitas dan sistem
berpikir yang dianut oleh pribadi, kelompok atau masyarakat.
D. Etika Rasional Imanuel Kant
sebagai Pembuktian Eksistensi Tuhan
Sistem etika-moral yang menempatkan manusia sebagai subjek atau
pelaku yang aktif, dinamis, kreatif dan otonom sangat dikedepankan
oleh Immanuel Kant, tidak mengesampingkan nilai kedalaman
religiusitas seseorang. Justru dalam konsep etika rasional Kant inilah
kekuatan cengkeraman imanensi ajaran moral keagamaan terasa
tertancap lebih kuat dalam kehidupan keseharian manusia.24 Uraian
Kant tentang Antinomy of Practical Reason memberi landasan kuat
untuk hidup agamis, utamanya dalam menghadapi keputusasaan
moral (moral despair).
Kekuatan konsepsi etika rasional Kant sebenarnya adalah ketika
ia menjelaskan secara eksplisit perbedaan antara “virtue” (kebaikan
tertinggi) yang bersifat unconditioned, tak bersyarat, otonom,
universal (berlaku untuk semua orang tanpa memandang perbedaan
agama, ras, suku atau bangsa) dan happines (kebahagiaan) yang
bersifat conditioned, bersyarat, heteronom dan partikular (berbeda
antara yang diinginkan oleh orang yang satu dengan lainnya atau
kelompok lainnya). Dengan lain kata, hubungan antara virtue dan
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
DISKURSUS TUHAN 13
happines dalam konsep etika Kant membedakan dua hal tersebut,
yang tidak begitu jelas dalam konsep yang dikemukakan para filosof
Yunani seperti Stoic, Epicurus dan lain-lain, yang cenderung untuk
menyama-ratakan saja antara keduanya. Yang paling maju di antara
filosof Yunani tentang konsepsi etika-moral adalah Aristoteles yang
membuat klasifikasi nilai-nilai moral, seperti kebijaksanaan
(wisdom), keberanian (courage), kesederhanaan (temperance) dan
keadilan (justice).25
Dalam puncak kematangan sistem etika rasional Kant, dimensi
ketuhanan dan keagamaan menampakkan sosoknya. Secara nyata,
Kant menghadapi kenyataan yang tidak bisa dipungkirinya, bahwa
dalam realitas sehari-hari, manusia menghadapi berbagai macam
tindakan dan perilaku a moral. Menghadapi situasi yang tidak bisa
dihindari, manusia kadang tergoda untuk terjatuh dalam keputusasaan moral. Ia menjadi skeptik dan menyama-ratakan saja antara
yang baik dan buruk. Menghadapi keputus-asaan moral yang akut
itu, Kant hanya mempunyai satu alternatif, yakni percaya sepenuhnya
kepada adanya Tuhan yang menjamin kokohnya sendi-sendi hukum
dan perbuatan moral. Lebih dari itu, Kant berkeyakinan bahwa justru
ada kenyataan hukum moral yang universal, yang mengikat semua
orang tanpa pandang bulu, dan itulah yang menjadi bukti otentik
tentang keberadaan Tuhan. Dimensi ketuhanan ini sebenarnya
mendorong manusia untuk tidak begitu saja menyerah kalah kepada
tuntutan keputus-asaan moral. Dengan adanya dimensi Tuhan ini,
manusia lebih memilih bersikap optimis dan punya pengharapan
(rajâ’) dari pada bersikap pesimis atau putus asa.26
Dalam third critique-nya, Kant menonjolkan dimensi trust
ketika memberi pengertian tentang faith. Kata trust merupakan key
word yang membedakan Immanuel Kant dengan beberapa filosof
Barat lainnya. Dengan istilah trust, Kant menggaris-bawahi adanya
hubungan personal antara manusia dengan Tuhan. Penekanan
adanya struktur yang transparan kemampuan akal untuk menemukan
dan merumuskannya, serta perlunya menta‘ati hukum-hukum moral
yang dirumuskan tersebut, merupakan ciri khas konsep moral Kant
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
14 SAMSUL HUDA
yang bersifat rasional. Baginya, kehidupan moralitas manusia
memang tidak banyak berbeda dengan kehidupan fisik dan organisme
yang lain, di mana di dalamnya ada struktur fundamental dan hukumhukum tertentu yang perlu dirumuskan dan ditemukan sendiri oleh
manusia, untuk kemudian dipatuhi dan dimanfa‘atkan sendiri oleh
mereka.
Immanuel Kant juga secara artikulatif merumuskan “hukum
karma” dalam wacana filsafat. Menurut Kant, secara moral hidup ini
tidak akan bermakna, kalau saja tidak ada basis metafisis yang pasti.
Basis ini, pertama, adanya keyakinan setiap orang memiliki
kebebasan (kemerdekaan) untuk menentukan pilihan hidupnya
secara otonom. Kedua, adanya keabadian hidup setelah manusia mati,
dan ketiga, Tuhan akan menyelenggarakan pengadilan di akhirat
secara tuntas dan adil.27
Ketiga prinsip ini dikemukakan Kant sesungguhnya merupakan
inti dari rukun iman dalam agama Islam. Terutama prinsip
kebebasan, dalam sistem etika Islam, manusia menduduki tempat
pusat di alam, ia bukan hanya satu elemen dalam kemaha-luasan
ciptaan Tuhan, melainkan memberikan tujuan bagi semua yang
mawjûd: “Apakah kamu tidak memperhatikan bahwa Allah telah
menaklukkan segala yang ada di langit dan di bumi untuk
kepentinganmu...” (Q. 31:20). Manusia adalah pertanda perwujudan
Tuhan (teomorphis) dalam dirinya. Karenanya, mewujudkan
kemampuan teomorphisnya merupakan tugas utama manusia, dan
ia akan diminta pertanggung-jawaban jika tidak melakukannya.
Maka, untuk memungkinkan melakukan misi Ilahi ini, Islam
memandang manusia sebagai khalîfah yang bebas, diberi tanggung
jawab yang disertai kebebasan. Karena kebebasannya, manusia
mempunyai kemampuan untuk menjadi khalîfah dan mewujudkan
misi ilahiyahnya.28 Hal yang membedakannya dari argumen moral
Kant adalah bahwa manusia bukanlah subjek entitas yang menjadi
pertanda teomorfistik¸ melainkan ia dalam etika adalah suatu entitassubjek yang otonom dan benar-benar bebas dengan potensi akal budi
praktis dan hati nuraninya.
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
DISKURSUS TUHAN 15
Prinsip Kebebasan, Baik, dan Buruk
Kebebasan menentukan pilihan secara rasional merupakan supremasi
ketentuan dan kondisi moralitas.29 Prinsip kebebasan memberikan
prasyarat bagi setiap orang untuk melakukan tindakan moral. Tanpa
adanya kebebasan untuk memilih tindakan, maka seseorang tidak
bisa dinilai sebagai orang baik atau orang yang jahat, tindakan moral
selalu mengasumsikan adanya kebebasan bagi seseorang untuk
menentukan pilihan. Begitu tinggi nilai kebebasan (kemerdekaan),
sehingga Tuhan tidak dapat menjatuhkan hukuman pada orang yang
melakukan tindakan kejahatan secara tidak ia sadari atau di bawah
paksaan, dan seseorang yang berbuat tidak berdasarkan pilihannya
sendiri.30
Lalu apa artinya perbuatan baik dan buruk ini, kalau tidak akibat
lanjut setelah datangnya kematian? Kant menjawab, betapa
absurdnya dunia manusia kalau nantinya tidak ada serial kehidupan
baru. Apa yang disebut perjuangan dan pengorbanan tidak akan ada
mempunyai makna yang sejati kalau tidak keabadian hidup setelah
mati, betapa menyakitkan dan kacaunya hukum dan drama
kehidupan, kalau nasib akhir dari semua orang adalah sama, antara
pejuang dan penghianat, antara koruptor dan penegak keadilan. Oleh
karenanya, akal-budi manusia sejalan dengan doktrin agama, bahwa
di sana ada kehidupan lanjutan setelah mati, tetapi kehidupan yang
tidak kenal henti, dan tanpa ada mekanisme keadilan absolut
bukankah memperpanjang penderitaaan manusia?, agama dan akalbudi menjawab: Tuhan tidak sekedar menciptakan manusia
melainkan akan menyelenggarakan mahkamah pengadilan di hari
akhir nanti.31 Terlihat dalam argumentasi moralitas mengenai ketiga
prinsip di atas, justru lebih berorintasi kepada pembuktian tentang
“keimanan”32 selain merupakan berdasarkan kritik pengetahuan
metafisis.
Ketiga prinsip metafisis di atas memiliki beberapa pesan etis
kepada manusia. Pertama, bahwa manusia seharusnya menghormati
kemerdekaan orang lainnya, karena letak kemanusiaan adalah pada
kemerdekaannya. Seseorang rela binasa hanya untuk sebuah
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
16 SAMSUL HUDA
kebebasan dan kemerdekaan. Kedua, orang yang berbuat jahat
sesungguhnya menggali lobang untuk dirinya sendiri, karena akan
ada pembalasan di akhir nanti. Orang yang berbuat kejahatan pada
dasarnya hanya berpegang kepada pemahaman kausalitas dengan
time-respon yang singkat. Ketiga, manusia tidak perlu berputus asa
dan merasa sia-sia dalam berbuat kebenaran dan kebaikan, karena
sesungguhnya segala perbuatan akan direkam dalam disket ruhani
manusia yang pada saatnya akan di print-out dihari pengadilan untuk
diberi pembalasan.
Pemikiran metafisis di atas oleh Kant disebut postulat akal-budi
praktis. Kebebasan merupakan pra anggapan bagi seluruh kesadaran
moral, demikian kuatnya sehinggga tanpa kebebasan berarti tidak
ada tata-moral atau moral. Tetapi menurut Kant, dalam arti teoritik
kebebasan itu sendiri tidak dapat dibuktikan; ia hanya dapat
dipostulasikan sebagai dasar moral dan asas etika yang niscaya ada
(du kanst, denn du sollz= engkau dapat engkau wajib/harus).
Keadaan yang sama juga berlaku bagi dua postulat lainnya. Keabadian
jiwa merupakan pahala yang niscaya diperoleh bagi perbuatan moral,
yang jika tidak demikian akan berarti terputus tanpa makna. Akhirnya
pada cakrawala dengan tanpa batas bertemulah harus/layak/wajib
dengan kebahagiaan (happines). Tetapi keabadian jiwa ini dapat
memperoleh jaminan dengan adanya satu Tuhan yang bersifat pribadi
(personal God).33
E. Penutup
Kalau dianalisis secara mendalam, pemikiran etika rasional
Immanuel Kant yang amat penting terletak pada usahanya
menghidupkan kembali idea-idea tentang Tuhan, kebebasan, dan
immortalitas secara rasional. Rekonstruksi filsafat Kant dalam
Religion Within the Limits of Pure Reason adalah sebuah usaha untuk
menggantikan basis agama dari teologi rasional kepada moralitas,
dari keyakinan kepada tindakan, yang hanya dapat datang dari suatu
kedalaman jiwa keagamaan. Dalam etika rasional Kant ini, norma
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
DISKURSUS TUHAN 17
agama terasa hidup dan menampakkan aktualitas yang nyata, dapat
dirasakan bermanfa‘at, tidak hanya dalam pikiran.
Catatan:
1. William J. Wainwright, Philosophy of Religion, 2nd ed., (Toronto:
Wadsworth Publishing Company, 1999), hlm. 35.
2. Wainwrigh, Philosophyof Religion, hlm. 35.
3. Wainwrigh, Philosophy of Religion, hlm. 35.
4. David Trueblood, Filsafat Agama, cet. IX, ed. HM. Rasydi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), hlm. 50.
5. Fazlur Rahmân, The Philosophy of Mullâ Sadrâ, (Albany: State University
of New York Press, 1975), 127; Mulyadhi Kertanegara, “Argumen-argumen
Adanya Tuhan” dalam jurnal PARAMADINA vol. I, No. 2, (Jakarta:
Paramadina, 1999), hlm. 108.
6. Lihat Harun Nasution, Falsafat Agama, cet. VIII, (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), hlm. 55-58.
7. Antony Flew, A Dictionary of Philosophy, cet. II, (New York: St. Martins
Press, 1984), hlm. 20.
8. Madjîd Fakhrî, A History of Islamic Philosophy, cet. II, (New York:
Columbia University Press, 1983), hlm. 281.
9. Wainwright, Philosophy of Religion, hlm. 63.
10. Paul Davies, The Mind of God, (New York: Orion Prodections, 1992), hlm.
20-21.
11. Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, hlm. 24.
12. Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, hlm. 87.
13. Forrest E. Baird and Walter Kaufmann, Modern Philosophy, 2nd ed., (New
Jersey: Prentice-Hall, 1997), hlm. 463.
14. Roth, The Questions, hlm. 14.
15. Roth, The Questions, hlm. 18-19.
16. Van Peursen, Orientasi, hlm. 112.
17. Roth, The Questions, hlm. 408-410.
18. Don Cuppit, After Gods; The Future of Religion, (New York: Brockman,
1997), hlm. 80.
19. E. Baird, Modern Philosophy, hlm. 82.
20.Muhsin al-Mâyi, Perjalanan Religious Roger Geraudy, terj. Rifa’I Ka’bah,
(Beirût: Dâr Qutaybah, 1993), hlm. 147.
21. J. Sudarminta, Filsafat Proses; Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat
Alfred North Whitehead, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 39-40.
22. M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas?,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 287.
23. Amin Abdullah, Studi Agama, hlm. 293.
24. Amin Abdullah, Studi Agama, hlm. 293-294.
25. Amin Abdullah, Studi Agama, hlm. 294.
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
18 SAMSUL HUDA
26. Amin Abdullah, Studi Agama, hlm. 295.
27. Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis
Modernis, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 247.
28.Syed Nawâb Haider Naqvi, Etika dan Ekonomi suatu Sintesis Islami, terj.
Husin Anis dan Asep Hikmat, (Bandung: Mizan, 1985), hlm. 74-76.
29. Wilhelm Windelband, A History of Philosophy: Renaissance,
Enlightenment, Modern, (New York: Mac Millan Company, 1958), hlm.
554.
30.Komaruddin Hidayat, Tragedi, hlm. 248.
31. Komaruddin Hidayat, Tragedi, hlm. 249.
32. Windelband, A History of Philosophy, hlm. 556.
33. Bernard Delfgauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono
Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992),hlm. 128.
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
DISKURSUS TUHAN 19
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Studi Agama; Normativitas atau Historisitas?,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.
Bahtiar, Amsal. Filsafat Agam. Jakarta: logos. 1997.
Baird, Forrest E. and Kaufmann, Walter, Modern Philosophy, 2nd
ed., (New Jersey: Prentice-Hall, 1997
Cuppit, Don. After Gods; The Future of Religion. New York:
Brockman, 1997.
Davies, Paul, The Mind of God, (New York: Orion Prodections, 1992
Delfgauw, Bernard. Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono
Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1992.
Fakhrî, Madjîd, A History of Islamic Philosophy, cet. II, (New York:
Columbia University Press, 1983
Flew, Antony, A Dictionary of Philosophy, cet. II, (New York: St.
Martins Press, 1984
Hidayat, Komaruddin. Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan
Krisis Modernis. Jakarta: Paramadina, 1998.
Kessler, Gary E., Philosophy of Religion: Toward a Global
Perspective, (Toronto: Wadsworth Publishing Company, 1999
Mâyi, Muhsin al-, Perjalanan Religious Roger Geraudy, terj. Rifa’I
Ka’bah. Beirût: Dâr Qutaybah. 1993.
Naqvi, Syed Nawâb Haider. Etika dan Ekonomi suatu Sintesis Islami,
terj. Husin Anis dan Asep Hikmat. Bandung: Mizan. 1985.
Nasution, Harun. Falsafat Agama, cet. VIII, Jakarta: Bulan Bintang.
1991.
Rahmân, Fazlur, The Philosophy of Mullâ Sadrâ, (Albany: State
University of New York Press, 1975).
Mulyadhi Kertanegara, “Argumen-argumen Adanya Tuhan” dalam
jurnal PARAMADINA vol. I, No. 2, (Jakarta: Paramadina, 1999).
Roth, John K. and Frederick Sontag, The Questions of Philosophy.
California: Wadsworth, 1988.
Sudarminta J., Filsafat Proses; Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat
Alfred North Whitehead. Yogyakarta: Kanisius. 1991.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1990.
Trueblood, David, Filsafat Agama, cet. IX, ed. HM. Rasydi, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994
Wainwright, William J., Philosophy of Religion, 2nd ed., (Toronto:
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
20 SAMSUL HUDA
Wadsworth Publishing Company, 1999.
Windelband, Wilhelm. A History of Philosophy: Renaissance,
Enlightenment, Modern. New York: Mac Millan Company, 1958.
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
Download