Diskursus Tuhan dalam Pemikiran Etika Immanuel Kant: Memaknai Agama dalam Kehidupan Manusia Samsul Huda Pusat Penelitian IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Abstrak: Dalam lapangan filsafat, terdapat banyak wacana pembuktian adanya Tuhan. Argumen-argumen tersebut antara lain argumen moral dan keajaiban (miracle). Artikel ini membahas tentang argumen keberadaan yang dikemukakan Immanuel Kant. Menurut penulisnya, argumen Kant sangat berkaitan dengan pemikirannya dalam bidang etika. Kant berkeyakinan bahwa kenyataan hukum moral yang universal, yang mengikat semua orang tanpa pandang bulu, yang menjadi bukti otentik tentang keberadaan Tuhan. Dimensi ketuhanan ini mendorong manusia untuk tidak begitu saja menyerah kalah kepada tuntutan keputusasaan moral. Dengan adanya dimensi Tuhan ini, manusia lebih memilih bersikap optimis dan punya pengharapan (rajâ’) daripada bersikap pesimis atau putus asa. Kata Kunci: Etika, Immanuel Kant, Tuhan. A. Pendahuluan Dalam diskursus wacana filsafat agama, muncul beberapa proposisi argumentatif dengan beberapa karakteristik dalam upaya membuktikan keberadaan Tuhan, di antaranya argumen ontologis, kosmologis, teleologis dan argumen moral. Beberapa preposisi yang dibangun secara argumentative untuk membuktikan keberadaan tuhan dapat dilihat dari beberapa postulat seperti: “Moralitas menjadi benar apaMedia Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 2 SAMSUL HUDA bila adanya unsur kepercayaan akan adanya Tuhan,” atau “kepercayaan akan adanya Tuhan dan posisi agama akan membuktikan secara jelas fakta pengalaman kemanusian.”1 Ungkapan lain, “Tuhan adalah zat yang maha besar,” “Tuhan adalah penggerak yang tidak bergerak,” “Tuhan adalah designer di balik konfigurasi dinamis alam semesta” dan banyak ungkapan lain yang menjadi bagian argumen pembuktian akan adanya eksistensi Tuhan. Sebahagian besar para filosof lebih fokus dalam menggunakan tiga argumen: Ontologi, kosmologi dan teleologi. Argumen ontologis mencoba membuktikan bahwa “ketiadaan” Tuhan merupakan sesuatu yang mustahil, sebaliknya keberadaannya menjadi niscaya. Adapun argumen kosmologis membuktikan batasan antara yang general dan yang spasial-temporal dalam alam semesta sebagai sesuatu yang ada dan mengalami perubahan, dan itu menunjukkan keharusan postulasi adanya Tuhan untuk menerangkannya. Sedangkan argumen teleologis atau juga disebut design argument membuktikan bahwa keberadaan dunia, keindahan dan keberangkaiannya, menunjukkan adanya proses pemikiran tentang suatu rancangan. Argumen ini berakhir dengan kesimpulan bahwa ada “sesuatu” yang merancangnya.2 Menurut Wainwrigh, argumen kosmologis dan argumen teleologis hanya diekspresikan secara terbatas dalam pendirian mazhab atau kelompok pemikiran agama. Seseorang dapat berpikir bahwa Tuhan sendirilah yang bisa menerangkan mengapa ada alam semesta, yang secara implisit memunculkan argumen kosmologis. Seseorang juga dapat percaya bahwa dunia, keindahan, dan kebajikan merupakan indikasi adanya aktivitas ketuhanan yang digunakan dalam argumen “perancangan”. Sedangkan argumen ontologis sering dimunculkan oleh pemikir atau intelektual yang memiliki basis relegiusitas dan cenderung berlandaskan agama, yang secara umum dapat menjadi lorong atau bahkan penguatan keimanan kepada Tuhan, “Tuhan yang Mutlak” dan seterusnya, dan sampai pada kesimpulan bahwa ketiadaan eksistensi Tuhan adalah sesuatu yang mustahil dan tak dapat dibayangkan.3 Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 DISKURSUS TUHAN 3 B. Membaca Ulang Argumen-argumen Eksistensi Tuhan Dalam sejarah perkembangan filsafat, beberapa filosof membangun dan menyusun argumen ontologis untuk membahas eksistensi Tuhan. Pembuktian ontologis tentang eksistensi Tuhan di antaranya disusun oleh Anselm (1033-1109 M) yang disederhanakan oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Argumen ini bertumpu pada adanya ide tentang Tuhan, suatu zat yang tak terbatas (infinite) dan sempurna, yang tidak dapat ditimbulkan oleh zat yang terbatas (finite), dan oleh sebab itu, ide tersebut tentu ditimbulkan oleh Tuhan sendiri. Kesimpulannya menyebabkan Tuhan itu ada dan mengandung adanya dalam dirinya sendiri.4 Argumen ontologis ini, sebenarnya telah dimulai oleh Plato jauh sebelumnya dengan “teori idea.” Dalam pandangan Plato semua eksistensi atau bentuk yang ada di alam semesta mempunyai “cetak biru”nya masing-masing yang ia sebut idea. Penampakanpenampakan material itu adalah semu karena yang hakikat adalah idea. Idea-idea yang ia sebut sebagai hakikat asli dari penampakan di alam ini, tidak lah terpisah-pisah satu sama lain, tetapi bersatu pada idea tertinggi: the absolute good (yang mutlak baik). Ide tertinggi ini merupakan sumber, tujuan dan sebab bagi segala yang ada. Argumen ini mempunyai kelemahan ketika dihadapkan kepada logika; jika hakikat wujud itu hanya ada dalam ide, maka ide tentang the absolute good tidak mesti benar dalam realitas. Konsep Zat Maha Besar berarti tidak mengharuskan adanya Yang Maha Besar pula. Adapun argumen kosmologis digunakan oleh beberapa filosof seperti Aristoteles dan beberapa filosof Muslim seperti al-Fârâbî dan Ibn Sînâ, dan filosof Kristen Thomas Aquinas. Argumen kosmologis (dalam filsafat Islam: dalîl al-imkân) berlandaskan pada pemisahan necessary being (niscaya ada) dan contingent being (mungkin ada). Dalam filsafat Islam, argumen ini dikenal dengan dalîl al-imkân atau argumen kemungkinan, dari mana wujud niscaya (Tuhan) dapat secara logis disimpulkan. Fazlur Rahman dalam bukunya The Philosophy of Mullâ Sadrâ mengatakan: “Argumen dari kemungkinan menyatakan bahwa suatu wujud yang mungkin (a contingent existent) tidak bisa dengan sendirinya dan karena itu Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 4 SAMSUL HUDA membutuhkan sebuah sebab yang akan menjadikan ia ada.”5 Pengamatan terhadap sesuatu yang ada di alam semesta ini sampai pada kesimpulan kata kunci sebab (cause), bahwa masingmasing benda ada karena suatu sebab. Dalam dunia kita tiap-tiap kejadian mesti didahului oleh sebab-sebab. Hukum sebab akibat itu pula yang melandasi argumen “penggerak yang tidak bergerak” dan tidak digerakkan oleh Aristoteles, yang diidentifikasi sebagai Causa Prima yang bersifat necessary being (niscaya ada). Argumen ini punya kekuatan kepada adanya sebab (cause) yang saling bekerja (bergerak), dan berlandaskan pada pemikiran tentang kausalitas yang menjadi hukum alam (law of nature). Kelemahan argumen ini adalah adanya “keraguan” bahwa sebab atau penggerak yang pertama dari rangkaian sebab akibat dan gerak tersebut sebagai Tuhan. Aristoteles sendiri tidak pernah mempertanyakan: adakah Tuhan?6 Di samping itu, logikanya mengenai bentuk wujûd dan materi berakhir kepada yang immaterial. Rentetan gerak dan sebab akibat juga tidak mesti berakhir pada apa yang disebut sebagai Tuhan yang mencipta alam. Argumen selanjutnya adalah teleologis atau design argument (dalîl al-‘inâyah), biasanya dibangun berdasarkan pengamatan atas keteraturan dan keterpaduan alam semesta, argumen yang dibangun dari pengalaman tersebut akan berakhir pada kesimpulan bahwa halhal sebagi keteraturan dan keterpaduan mengharuskan natîjah bahwa adanya perancang atau designer yang menjadi aktor di balik itu semua.7 Argumen ini digunakan oleh beberapa filosof, di antaranya seperti William Falley (1743-1805) dalam tulisannya Natural Theology: or Evidences of the Existence and Attributes of Deity Collected from the Appearances of Nature (1802). Dalam Islam, Ibn Rusyd juga menggunakan argument ‘inâyah ini sebagai argumen yang menurutnya paling tepat dan sesuai dengan preskripsi-preskripsi alQur’ân.8 Ibn Rusyd mendasarkan argumennya pada dua prinsip: Pertama, bahwa segala sesuatu yang ada di dunia adalah cocok untuk keberadaan manusia, dan kedua, bahwa keserasian haruslah ditimbulkan oleh sebuah agen yang sengaja melakukannya untuk tujuan tertentu. Hal ini dipahami, bahwa segala sesuatu yang Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 DISKURSUS TUHAN 5 diciptakan termasuk keserasian, keteraturan dan harmonitas alam semesta akan mengarahkan pada adanya perancang yang menciptanya. Kekuatan argumen teleologis, terletak dalam penempatan fenomena empirik dan aktual sebagai bukti otentik dari adanya Tuhan, namun argumen ini juga mengalami kendala ketika dihadapkan kepada pertanyaan, apakah Tuhan juga “mendesain” kejahatan yang secara langsung akan menjadi dan mengakibatkan penderitaan bagi manusia?, apa tujuan penderitaan dan kejahatan?. Argumen Moral Sedangkan argumen moral, yaitu pemikiran yang menempatkan eksistensi moral sebagai indikasi keberadaan Tuhan. Hukum moral ataupun imperatif moral yang berdasarkan hati nurani bersifat universal dan secara implisit berlandaskan kepada kepercayaan terhadap Tuhan. Seperti telah disebutkan di atas, ada ungkapan bahwa kebenaran moralitas itu sendiri berdasarkan pada suatu kepercayaan terhadap adanya Tuhan, karena secara rasional, moral itu sendiri memiliki tujuan dan arah sebagaimana diungkapkan oleh Immanuel Kant, yaitu: free will, immortalitas dan personal God. Hal ini menunjukkan bahwa imperatif moral sebagai dasar argumen dari adanya moral bukan merupakan sesuatu yang absurd. Argumen moral tentang pembuktian keberadaan Tuhan, sudah dimulai sejak lama, misalnya Anaximandros (500 sM) menyatakan dunia ini penuh dengan ketidak-adilan, yang mengharuskan adanya hukum yang tertinggi sebagai hukum di luar jangkauan manusia. Secara keseluruhan, argumen-argumen moral bersifat rasional transendental dan menjadi bagian dari pelurusan isu-isu agama dari distorsi empirisme yang menolak persoalan metafisik dan kegagalan rasionalisme spekulatif yang tidak mampu menyelesaikan persoalan metafisik. Kekuatan argumen moral terletak kepada pemaknaan kehidupan manusia itu sendiri. Kehidupan manusia itu tidaklah absurd, apa yang dilakukan mempunyai konsekuensi berdasarkan Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 6 SAMSUL HUDA kebebasan pilihan hidup. Konsekuensi berakhir kepada kepercayan bahwa pembalasan mengharuskan adanya kehidupan lain (immortalitas) dan Tuhan sebagi hakimnya. Kelemahan argumen ini jika dihadapkan kepada pertanyaan, apakah manusia benar-benar bebas untuk memilih?, misalnya, dapatkah seorang tua renta lari dari kondisi perang yang akan membuat ia terbunuh tanpa ia sendiri menyadarinya? atau dalam kasus agama, mengapa saya dilahirkan sebagai seorang kafîr, Eropa, Negro, Asia, Indonesia atau lain sebagainya?, kenapa bukan di samping masjid al-harâm? atau kenapa tidak di zaman Nabi Muhammad? Argumen Miracle Seterusnya, argumen keajaiban atau miracle, secara proposisi memang bisa mengindikasikan eksistensi who called: a supernatural: Tuhan. Kejadian-kejadian luar biasa yang tidak wajar dalam tata nalar yang logis, menunjukkan adanya kekuatan yang menjadi agen yang berbuat. Argumen ini mempunyai proposisi yang hampir serupa dengan design argument. Perbedaan mendasar adalah: bahwa argumen perancangan menjadikan aturan atau hukum alam sebagai desain yang dihasilkan oleh seorang perancangnya. Sedangkan argumen keajaiban ini, justru menolak adanya aturan hukum alam (sunnah Allah). Dalam khazanah filsafat agama, sebahagian besar filosof menolak argumen miracle, karena menentang law of nature, apalagi dalam perkembangan epistemologi modern, setiap penentangan terhadap hukum alam merupakan hal yang tidak logis; kesimpulannya, argumen miracle itupun tidak logis. 9 Menurut penulis, percaya kepada eksistensi Tuhan dengan hanya berpegang kepada kejadian-kejadian yang ajaib-menakjubkan- atau masuk kategori mu‘jizat atau miracle, memiliki landasan yang rapuh. Kejadian-kejadian yang “jarang” terjadi tersebut, mesti ditempatkan pada faktor komplementer sebuah pembangunan kepercayaan terhadap adanya Tuhan. Karena pondasi ini bisa hancur karena Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 DISKURSUS TUHAN 7 perkembangan hal-hal yang lain atau kejadian-kejadian yang lain. Misalnya, seorang pesulap sekelas David Coverfield bisa menjadi “tuhan” karena mampu membuat kejadian-kejadian irrasional yang tidak masuk dalam tata-nalar manusia. Di samping itu, fondasi kepercayaan seperti ini merupakan set back epistemologis terhadap adanya Tuhan, seperti halnya kepercayaan-kepercayaan yang bersifat natural yang dipicu oleh pengalaman tertentu atas kejadian-kejadian alam. Fondasi yang paling baik bagi keberagamaan -terutama pembuktian eksistensi Tuhan, adalah rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Artinya, seseorang percaya kepada adanya Tuhan berdasarkan argumen-argumen pengetahuan rasional, bahwa ada data-data agama yang bisa didekati dengan piranti rasio. Filosof Muslim Ibn Rusyd misalnya, memandang bahwa mu‘jizat al-Qur’ân sebagai keajaiban sastra pada zamannya, harus dipahami dalam konteks ilmiah. Kejadian-kejadian luar biasa harusnya tidak menjadi fondasi keberagamaan, maka al-Qur’ân pun harus dipandang dari keluarbiasaan fleksibelitasnya atas firanti rasional. Artinya, sumber atau fondasi keagamaan Islam -al-Qur’ân, jangan dipandang sebagai keajaiban yang irasional, tapi harus diposisikan sebagai basis menakjubkan bagi rasionalitas untuk memahaminya sebagai sumber nilai, etik, moral ilmu bagi agama. Pendapat Ibn Rusyd ini dipertegas oleh Paul Davids kemudian hari dengan “the theory of every thinks” yang menggambarkan “keajaiban” ilmu pengetahuan memungkinkan manusia untuk membangun teori tentang segala sesuatu, yang secara sempurna akan mendeskripsikan dunia semesta dalam terminologi berdasarkan sistem logis yang tak bisa dibantah.10 C. Eksistensi Tuhan dalam Kajian Disiplin Filsafat Agama Ada asumsi bahwa memahami agama dengan filsafat akan menimbulkan kerancuan dan ko ntra produktif bagi keimanan. Hal ini dikarenakan filsafat dalam pola aktivitasnya secara umum dimulai dengan “rasa keraguan,” pencaharian yang tidak pernah memuaskan dan seterusnya, sedangkan agama bertolak dari “rasa yakin,” maka Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 8 SAMSUL HUDA timbul asumsi bahwa metode filsafat akan menjadi kontra produktif bagi agama dan penganut agama. Goddes MacGregor misalnya, menegaskan bahwa pendekatan rasional tidak bisa memuaskan dan memperkokoh keimanan. 11 Bahkan dengan filsafat, Tuhan bisa menjadi ada dan sekaligus tidak ada dalam proposisi-proposisi filosofis. Penolakan Karl Marx (1818-1883 M) terhadap agama yang dianggapnya sebagai “candu” dan menyebabkan semakin mempertajam jurang antar kelas dalam struktur masyarakat. Agama baginya adalah pelarian dari ketertindasan kelas buruh dalam struktur sosial. Maka ia mencela pemimpin agama yang ia anggap menina-bobokkan manusia dengan agama, membuat kelas buruh tidak mampu bangkit karena bergantung kepada hal-hal yang mustahil dan non material. Freud di lain pihak berangggapan bahwa agama merupakan ilusi atau angan-angan manusia saja.12 Sedangkan David Hume (1711-1776 M) secara tegas menyatakan agama sebagai penipuan terhadap diri sendiri, karena pengalaman keagamaan tidak bisa dibuktikan dengan data empiris.13 Positivisme Auguste Comte (1798-1857 M) yang membagi perkembangan filsafat dalam tiga tahapan menjadi: theologi atau religius, metafisik dan akhirnya menjadi ilmiah atau empirik,14 pada akhirnya menyebutkan agama hanya bagian kehidupan primitip, karena gejala keagamaan yang bersifat irasional tidak akan dapat diterima dalam tahap positif yang menggunakan kesimpulan-kesimpulan rasional yang bersifat universal berdasarkan data-data empirik. Menurut Comte, pengalaman-pengalaman agama hanya berguna pada tingkat teologi dan metafisik dan menjadi absurd di tingkat positip. Berbagai argumen yang mendiskreditkan agama (Tuhan) tersebut tidaklah selalu mulus benar, karena ia mempunyai beberapa kelemahan, misalnya, beberapa reduksi yang dilakukan empirismepositivisme-materialisme terhadap realitas, hal ini menjadi celah untuk dikritisi. Memang pada dasarnya, pemikiran filosofis pun selalu berkembang dalam proses yang kritis. Maka banyak pula argumen yang mengedepankan pembuktian akan adanya Tuhan. Analisis selanjutnya akan memperlihatkan bahwa pengkajian agama dengan Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 DISKURSUS TUHAN 9 pendekatan filsafat tidak akan menimbulkan kontra-produksi bagi kepercayaan-keimanan atau keberagamaan seseorang. Josiah Royce (1855-1916 M) misalnya, membantah adanya asumsi bahwa filsafat akan mendistorsi agama. Ia kemudian menerangkan fungsi filsafat bagi agama, yang pada satu sisi berfungsi analitik: mempelajari asumsi-asumsi keagamaan tentang moralitas dan realitas. Pada sisi yang lain menurut Royce, filsafat tidak hanya sekedar sebuah kritik, tetapi juga menjawab persoalan-persoalan seperti: Apa yang harus dilakukan? Apa yang bisa diharapkan? Pada point ini, filsafat dan agama berdiri pada dasar yang sama.15 Bahkan menurut Karl Jaspers, pengkajian agama dengan filsafat akan menambah wawasan keimanan. Iman yang berakar dari filsafat berdasarkan perenungan terhadap akar-akar hakikat akan bersentuhan dengan alam transendental Tuhan. Gottfried Wilhem Von Leibniz (1646-1716) dan Baruch Spinoza (1632-1677) yang menempuh jalan filsafat bahkan menempatkan ketuhanan sebagai mahkota di atas bangunan pemikiran mereka. Cara mereka berfilsafatpun, tergetar oleh keharuan religius yang berujung pada kesimpulan ekstrim bahwa agama dan kebertuhanan tidak dapat dibatasi oleh wahyu16 Jika proposisi-proposisi filosofis yang berhubungan dengan pembuktian eksistensi Tuhan dianalisis secara cermat, maka anggapan bahwa mengkaji keberadaan Tuhan melalui filsafat dianggap kontra-produktif bisa dimentahkan secara logis. Memang secara eksplisit sebuah argumen bisa membuktikan dan menyatakan ketiadaan Tuhan. Namun secara implisit, argument tersebut akan berujung kepada pengakuan akan adanya Tuhan. Contohnya, argumen Friedrich Nietzsche (1844-1900 M) yang mengatakan Tuhan telah mati (God is dead), kita semua membunuh Tuhan (we have killed him –you and I),17 yang menunjukkan kelemahan dan kontra produktifitas setiap usaha pembuktian eksistensi Tuhan. Argumen ini kendati secara verbal-eksplisit menyatakan Tuhan tidak ada, atau Tuhan telah terbunuh, namun secara tidak langsung mengakui Tuhan ada atau pernah ada. Sebagaimana dikatakan oleh Don Cuppit, Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 10 SAMSUL HUDA Nietzsche tidak melihat agama sebagai pengalaman yang utuh yang terpusat pada pembangunan jiwa, yang terdapat dalam kesadaran beragama. Ia tidak terlalu berkepentingan untuk memaparkan “sesuatu yang lain” dari dimensi spritualitas yang juga menjadi bagian dari dunia keseluruhan. Nietzsche menurutnya, hanya berbicara sebatas apa yang ia ingat saja.18 Seterusnya, penolakan Karl Marx terhadap agama yang ia sebut sebagai “candu,” sebenarnya karena realitas keberagamaan yang ia dapatkan pada kelas buruh yang tertindas. Agama menjadi “kambing hitam” dari suatu situasi struktur sosial-politik saja. Secara implisit Marx bukan menolak agama, melainkan menolak realitas struktural kelas sosial yang menggunakan institusi agama sebagai alat untuk mempertajam antara yang kaya (kelas atas) dan yang tertindas (kelas buruh). Sama halnya, ketika Thomas Hobbes (1588-1679) menyimpulkan agama hanya sebagai pengejawantahan politik ketuhanan, karena agama dijadikan justifikasi dan legitimasi dalam melestarikan sebuah kekuasaan politik. 19 Roger Geraudy bahkan berpendapat bahwa atheisme Marxis bukanlah atheisme metafisik, melainkan atheisme metodologis, yang menyingkirkan Tuhan pemberi imbalan baik dan Tuhan pemberi beban. Atheisme jenis ini ingin membebaskan diri dari hambatan yang menghalanginya untuk menyalurkan ambisi menciptakan diri dan menentukan nasib, maka Geraudy berkesimpulan bahwa atheisme Marxis sama saja dengan humanisme.20 Lebih lanjut, jika diterapkan definisi agama menurut teori secular, maka apa yang dilakukan oleh Nietzsche dan Marxisme merupakan model sebuah agama, bukan anti agama. Seperti telah diulas terdahulu, banyak filosof mempunyai perhatian terhadap agama atau Tuhan sebagai objek kajian, sejak masa Yunani, Hellenisme Romawi, skolastik dan sampai alam Modern. Pemikiran mereka tentang agama menjadi khazanah dan bagian tak terpisahkan dalam perkembangan filsafat agama. Beberapa filosof pula kendati tidak memfokuskan kepada agama (Tuhan), pada bagian-bagian tertentu, pikirannya dapat dikategorikan ke dalam wilayah filsafat agama, baik pada masa filsafat agama telah menjadi Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 DISKURSUS TUHAN 11 istilah tersendiri ataupun sebelumnya. Untuk menyebut sebagian dari mereka: William Falley (17431805) dalam tulisannya Natural Theology: or Evidences of the Existence and Attributes of Deity Collected from the Appearances of Nature (1802), Leibniz menulis Theodicy (1710) George Willhem Friedrich Hegel (1770-1830 M) menulis Philosophy of Religion (1924), David Hume menulis Dialogues Concerning Natural Religion (1779), Josiah Royce menulis buku The Religious Aspect of Philosophy (1885), Bertrand Russell (1872-1970 M) juga menulis tentang “A Free Man’s Whorship” (1903). Alfred North Whitehead (1861-1947 M) mengungkapkan pikiran panentheism dalam bukunya Religion in The Making, (New York, New Amerikan Library, 1974), Tuhan dalam tulisannya diistilahkan sebagai perwujudan ‘azalî kreativitas (primordial actualization), Tuhan menjadi sumber segala tujuan dan arah dari proses konkresi penciptaan.21 William James (1842-1910) menulis satu bab tentang “Pragmatism and Religion” dalam bukunya Pragmatism. Selanjutnya filosof ahli filologi, yang banyak meneliti agama-agama Timur, Friedrich Max Muller, karyanya demikian luas tentang sejarah agama terutama filsafat agama di India seperti: Lecture on the Origin and Growth of Religion, as Illustration by Religions of India (1878), Six System of Indian Philosophy (1899), 50 volume serial tulisannya Sacred Books of the East (1879-1894). William Falley (1743-1805) dalam tulisannya Natural Theology: or Evidences of the Existence and Attributes of Deity Collected from the Appearances of Nature (1802). Di antara sekian tokoh yang mempunyai kontribusi besar dalam bidang filsafat agama adalah Immanuel Kant (1724-1804 M). Kritik filsafat moral Kant dalam Kritique der Practischen Vernunft dan Kritique der Urtheilskraft memberikan pengaruh yang luas dalam pemikiran tentang agama, karena formulasi etika rasional yang dibangun oleh Kant justru menempatkan postulat “personal God” (Tuhan), kehidupan setelah mati (immortality) serta kebebasan (freedom) pada posisi yang sentral.22 Jika dilihat pandangan para ahli etika atau filsafat moral di alam Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 12 SAMSUL HUDA modern, pada hakekatnya, etika tidaklah selalu bersangkut paut dengan pengetahuan tentang baik dan buruk. Etika pada dasarnya menyangkut bidang kehidupan yang luas. Paling tidak, dikemukakan oleh Alasdayr Macintyre, etika juga menyangkut analisis-konseptual mengenai hubungan yang dinamis antara manusia sebagai subjek yang aktif dengan pikiran-pikirannya sendiri, dengan dorongan dan motivasi dasar tingkah lakunya, dengan cita-cita dan tujuan hidupnya serta perbuatan-perbuatannya. Kesemuanya itu mengandaikan adanya interaksi yang dinamis dan saling terkait antara satu dan lainnya, lagi pula merupakan organisme yang hidup dan berlaku secara aktual dalam kehidupan pribadi dan sosial.23 Singkatnya, ada keterkaitan erat antara etika sebagai filosofi moralitas dan sistem berpikir yang dianut oleh pribadi, kelompok atau masyarakat. D. Etika Rasional Imanuel Kant sebagai Pembuktian Eksistensi Tuhan Sistem etika-moral yang menempatkan manusia sebagai subjek atau pelaku yang aktif, dinamis, kreatif dan otonom sangat dikedepankan oleh Immanuel Kant, tidak mengesampingkan nilai kedalaman religiusitas seseorang. Justru dalam konsep etika rasional Kant inilah kekuatan cengkeraman imanensi ajaran moral keagamaan terasa tertancap lebih kuat dalam kehidupan keseharian manusia.24 Uraian Kant tentang Antinomy of Practical Reason memberi landasan kuat untuk hidup agamis, utamanya dalam menghadapi keputusasaan moral (moral despair). Kekuatan konsepsi etika rasional Kant sebenarnya adalah ketika ia menjelaskan secara eksplisit perbedaan antara “virtue” (kebaikan tertinggi) yang bersifat unconditioned, tak bersyarat, otonom, universal (berlaku untuk semua orang tanpa memandang perbedaan agama, ras, suku atau bangsa) dan happines (kebahagiaan) yang bersifat conditioned, bersyarat, heteronom dan partikular (berbeda antara yang diinginkan oleh orang yang satu dengan lainnya atau kelompok lainnya). Dengan lain kata, hubungan antara virtue dan Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 DISKURSUS TUHAN 13 happines dalam konsep etika Kant membedakan dua hal tersebut, yang tidak begitu jelas dalam konsep yang dikemukakan para filosof Yunani seperti Stoic, Epicurus dan lain-lain, yang cenderung untuk menyama-ratakan saja antara keduanya. Yang paling maju di antara filosof Yunani tentang konsepsi etika-moral adalah Aristoteles yang membuat klasifikasi nilai-nilai moral, seperti kebijaksanaan (wisdom), keberanian (courage), kesederhanaan (temperance) dan keadilan (justice).25 Dalam puncak kematangan sistem etika rasional Kant, dimensi ketuhanan dan keagamaan menampakkan sosoknya. Secara nyata, Kant menghadapi kenyataan yang tidak bisa dipungkirinya, bahwa dalam realitas sehari-hari, manusia menghadapi berbagai macam tindakan dan perilaku a moral. Menghadapi situasi yang tidak bisa dihindari, manusia kadang tergoda untuk terjatuh dalam keputusasaan moral. Ia menjadi skeptik dan menyama-ratakan saja antara yang baik dan buruk. Menghadapi keputus-asaan moral yang akut itu, Kant hanya mempunyai satu alternatif, yakni percaya sepenuhnya kepada adanya Tuhan yang menjamin kokohnya sendi-sendi hukum dan perbuatan moral. Lebih dari itu, Kant berkeyakinan bahwa justru ada kenyataan hukum moral yang universal, yang mengikat semua orang tanpa pandang bulu, dan itulah yang menjadi bukti otentik tentang keberadaan Tuhan. Dimensi ketuhanan ini sebenarnya mendorong manusia untuk tidak begitu saja menyerah kalah kepada tuntutan keputus-asaan moral. Dengan adanya dimensi Tuhan ini, manusia lebih memilih bersikap optimis dan punya pengharapan (rajâ’) dari pada bersikap pesimis atau putus asa.26 Dalam third critique-nya, Kant menonjolkan dimensi trust ketika memberi pengertian tentang faith. Kata trust merupakan key word yang membedakan Immanuel Kant dengan beberapa filosof Barat lainnya. Dengan istilah trust, Kant menggaris-bawahi adanya hubungan personal antara manusia dengan Tuhan. Penekanan adanya struktur yang transparan kemampuan akal untuk menemukan dan merumuskannya, serta perlunya menta‘ati hukum-hukum moral yang dirumuskan tersebut, merupakan ciri khas konsep moral Kant Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 14 SAMSUL HUDA yang bersifat rasional. Baginya, kehidupan moralitas manusia memang tidak banyak berbeda dengan kehidupan fisik dan organisme yang lain, di mana di dalamnya ada struktur fundamental dan hukumhukum tertentu yang perlu dirumuskan dan ditemukan sendiri oleh manusia, untuk kemudian dipatuhi dan dimanfa‘atkan sendiri oleh mereka. Immanuel Kant juga secara artikulatif merumuskan “hukum karma” dalam wacana filsafat. Menurut Kant, secara moral hidup ini tidak akan bermakna, kalau saja tidak ada basis metafisis yang pasti. Basis ini, pertama, adanya keyakinan setiap orang memiliki kebebasan (kemerdekaan) untuk menentukan pilihan hidupnya secara otonom. Kedua, adanya keabadian hidup setelah manusia mati, dan ketiga, Tuhan akan menyelenggarakan pengadilan di akhirat secara tuntas dan adil.27 Ketiga prinsip ini dikemukakan Kant sesungguhnya merupakan inti dari rukun iman dalam agama Islam. Terutama prinsip kebebasan, dalam sistem etika Islam, manusia menduduki tempat pusat di alam, ia bukan hanya satu elemen dalam kemaha-luasan ciptaan Tuhan, melainkan memberikan tujuan bagi semua yang mawjûd: “Apakah kamu tidak memperhatikan bahwa Allah telah menaklukkan segala yang ada di langit dan di bumi untuk kepentinganmu...” (Q. 31:20). Manusia adalah pertanda perwujudan Tuhan (teomorphis) dalam dirinya. Karenanya, mewujudkan kemampuan teomorphisnya merupakan tugas utama manusia, dan ia akan diminta pertanggung-jawaban jika tidak melakukannya. Maka, untuk memungkinkan melakukan misi Ilahi ini, Islam memandang manusia sebagai khalîfah yang bebas, diberi tanggung jawab yang disertai kebebasan. Karena kebebasannya, manusia mempunyai kemampuan untuk menjadi khalîfah dan mewujudkan misi ilahiyahnya.28 Hal yang membedakannya dari argumen moral Kant adalah bahwa manusia bukanlah subjek entitas yang menjadi pertanda teomorfistik¸ melainkan ia dalam etika adalah suatu entitassubjek yang otonom dan benar-benar bebas dengan potensi akal budi praktis dan hati nuraninya. Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 DISKURSUS TUHAN 15 Prinsip Kebebasan, Baik, dan Buruk Kebebasan menentukan pilihan secara rasional merupakan supremasi ketentuan dan kondisi moralitas.29 Prinsip kebebasan memberikan prasyarat bagi setiap orang untuk melakukan tindakan moral. Tanpa adanya kebebasan untuk memilih tindakan, maka seseorang tidak bisa dinilai sebagai orang baik atau orang yang jahat, tindakan moral selalu mengasumsikan adanya kebebasan bagi seseorang untuk menentukan pilihan. Begitu tinggi nilai kebebasan (kemerdekaan), sehingga Tuhan tidak dapat menjatuhkan hukuman pada orang yang melakukan tindakan kejahatan secara tidak ia sadari atau di bawah paksaan, dan seseorang yang berbuat tidak berdasarkan pilihannya sendiri.30 Lalu apa artinya perbuatan baik dan buruk ini, kalau tidak akibat lanjut setelah datangnya kematian? Kant menjawab, betapa absurdnya dunia manusia kalau nantinya tidak ada serial kehidupan baru. Apa yang disebut perjuangan dan pengorbanan tidak akan ada mempunyai makna yang sejati kalau tidak keabadian hidup setelah mati, betapa menyakitkan dan kacaunya hukum dan drama kehidupan, kalau nasib akhir dari semua orang adalah sama, antara pejuang dan penghianat, antara koruptor dan penegak keadilan. Oleh karenanya, akal-budi manusia sejalan dengan doktrin agama, bahwa di sana ada kehidupan lanjutan setelah mati, tetapi kehidupan yang tidak kenal henti, dan tanpa ada mekanisme keadilan absolut bukankah memperpanjang penderitaaan manusia?, agama dan akalbudi menjawab: Tuhan tidak sekedar menciptakan manusia melainkan akan menyelenggarakan mahkamah pengadilan di hari akhir nanti.31 Terlihat dalam argumentasi moralitas mengenai ketiga prinsip di atas, justru lebih berorintasi kepada pembuktian tentang “keimanan”32 selain merupakan berdasarkan kritik pengetahuan metafisis. Ketiga prinsip metafisis di atas memiliki beberapa pesan etis kepada manusia. Pertama, bahwa manusia seharusnya menghormati kemerdekaan orang lainnya, karena letak kemanusiaan adalah pada kemerdekaannya. Seseorang rela binasa hanya untuk sebuah Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 16 SAMSUL HUDA kebebasan dan kemerdekaan. Kedua, orang yang berbuat jahat sesungguhnya menggali lobang untuk dirinya sendiri, karena akan ada pembalasan di akhir nanti. Orang yang berbuat kejahatan pada dasarnya hanya berpegang kepada pemahaman kausalitas dengan time-respon yang singkat. Ketiga, manusia tidak perlu berputus asa dan merasa sia-sia dalam berbuat kebenaran dan kebaikan, karena sesungguhnya segala perbuatan akan direkam dalam disket ruhani manusia yang pada saatnya akan di print-out dihari pengadilan untuk diberi pembalasan. Pemikiran metafisis di atas oleh Kant disebut postulat akal-budi praktis. Kebebasan merupakan pra anggapan bagi seluruh kesadaran moral, demikian kuatnya sehinggga tanpa kebebasan berarti tidak ada tata-moral atau moral. Tetapi menurut Kant, dalam arti teoritik kebebasan itu sendiri tidak dapat dibuktikan; ia hanya dapat dipostulasikan sebagai dasar moral dan asas etika yang niscaya ada (du kanst, denn du sollz= engkau dapat engkau wajib/harus). Keadaan yang sama juga berlaku bagi dua postulat lainnya. Keabadian jiwa merupakan pahala yang niscaya diperoleh bagi perbuatan moral, yang jika tidak demikian akan berarti terputus tanpa makna. Akhirnya pada cakrawala dengan tanpa batas bertemulah harus/layak/wajib dengan kebahagiaan (happines). Tetapi keabadian jiwa ini dapat memperoleh jaminan dengan adanya satu Tuhan yang bersifat pribadi (personal God).33 E. Penutup Kalau dianalisis secara mendalam, pemikiran etika rasional Immanuel Kant yang amat penting terletak pada usahanya menghidupkan kembali idea-idea tentang Tuhan, kebebasan, dan immortalitas secara rasional. Rekonstruksi filsafat Kant dalam Religion Within the Limits of Pure Reason adalah sebuah usaha untuk menggantikan basis agama dari teologi rasional kepada moralitas, dari keyakinan kepada tindakan, yang hanya dapat datang dari suatu kedalaman jiwa keagamaan. Dalam etika rasional Kant ini, norma Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 DISKURSUS TUHAN 17 agama terasa hidup dan menampakkan aktualitas yang nyata, dapat dirasakan bermanfa‘at, tidak hanya dalam pikiran. Catatan: 1. William J. Wainwright, Philosophy of Religion, 2nd ed., (Toronto: Wadsworth Publishing Company, 1999), hlm. 35. 2. Wainwrigh, Philosophyof Religion, hlm. 35. 3. Wainwrigh, Philosophy of Religion, hlm. 35. 4. David Trueblood, Filsafat Agama, cet. IX, ed. HM. Rasydi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 50. 5. Fazlur Rahmân, The Philosophy of Mullâ Sadrâ, (Albany: State University of New York Press, 1975), 127; Mulyadhi Kertanegara, “Argumen-argumen Adanya Tuhan” dalam jurnal PARAMADINA vol. I, No. 2, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 108. 6. Lihat Harun Nasution, Falsafat Agama, cet. VIII, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 55-58. 7. Antony Flew, A Dictionary of Philosophy, cet. II, (New York: St. Martins Press, 1984), hlm. 20. 8. Madjîd Fakhrî, A History of Islamic Philosophy, cet. II, (New York: Columbia University Press, 1983), hlm. 281. 9. Wainwright, Philosophy of Religion, hlm. 63. 10. Paul Davies, The Mind of God, (New York: Orion Prodections, 1992), hlm. 20-21. 11. Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, hlm. 24. 12. Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, hlm. 87. 13. Forrest E. Baird and Walter Kaufmann, Modern Philosophy, 2nd ed., (New Jersey: Prentice-Hall, 1997), hlm. 463. 14. Roth, The Questions, hlm. 14. 15. Roth, The Questions, hlm. 18-19. 16. Van Peursen, Orientasi, hlm. 112. 17. Roth, The Questions, hlm. 408-410. 18. Don Cuppit, After Gods; The Future of Religion, (New York: Brockman, 1997), hlm. 80. 19. E. Baird, Modern Philosophy, hlm. 82. 20.Muhsin al-Mâyi, Perjalanan Religious Roger Geraudy, terj. Rifa’I Ka’bah, (Beirût: Dâr Qutaybah, 1993), hlm. 147. 21. J. Sudarminta, Filsafat Proses; Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred North Whitehead, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 39-40. 22. M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 287. 23. Amin Abdullah, Studi Agama, hlm. 293. 24. Amin Abdullah, Studi Agama, hlm. 293-294. 25. Amin Abdullah, Studi Agama, hlm. 294. Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 18 SAMSUL HUDA 26. Amin Abdullah, Studi Agama, hlm. 295. 27. Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernis, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 247. 28.Syed Nawâb Haider Naqvi, Etika dan Ekonomi suatu Sintesis Islami, terj. Husin Anis dan Asep Hikmat, (Bandung: Mizan, 1985), hlm. 74-76. 29. Wilhelm Windelband, A History of Philosophy: Renaissance, Enlightenment, Modern, (New York: Mac Millan Company, 1958), hlm. 554. 30.Komaruddin Hidayat, Tragedi, hlm. 248. 31. Komaruddin Hidayat, Tragedi, hlm. 249. 32. Windelband, A History of Philosophy, hlm. 556. 33. Bernard Delfgauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992),hlm. 128. Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 DISKURSUS TUHAN 19 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin. Studi Agama; Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996. Bahtiar, Amsal. Filsafat Agam. Jakarta: logos. 1997. Baird, Forrest E. and Kaufmann, Walter, Modern Philosophy, 2nd ed., (New Jersey: Prentice-Hall, 1997 Cuppit, Don. After Gods; The Future of Religion. New York: Brockman, 1997. Davies, Paul, The Mind of God, (New York: Orion Prodections, 1992 Delfgauw, Bernard. Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1992. Fakhrî, Madjîd, A History of Islamic Philosophy, cet. II, (New York: Columbia University Press, 1983 Flew, Antony, A Dictionary of Philosophy, cet. II, (New York: St. Martins Press, 1984 Hidayat, Komaruddin. Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernis. Jakarta: Paramadina, 1998. Kessler, Gary E., Philosophy of Religion: Toward a Global Perspective, (Toronto: Wadsworth Publishing Company, 1999 Mâyi, Muhsin al-, Perjalanan Religious Roger Geraudy, terj. Rifa’I Ka’bah. Beirût: Dâr Qutaybah. 1993. Naqvi, Syed Nawâb Haider. Etika dan Ekonomi suatu Sintesis Islami, terj. Husin Anis dan Asep Hikmat. Bandung: Mizan. 1985. Nasution, Harun. Falsafat Agama, cet. VIII, Jakarta: Bulan Bintang. 1991. Rahmân, Fazlur, The Philosophy of Mullâ Sadrâ, (Albany: State University of New York Press, 1975). Mulyadhi Kertanegara, “Argumen-argumen Adanya Tuhan” dalam jurnal PARAMADINA vol. I, No. 2, (Jakarta: Paramadina, 1999). Roth, John K. and Frederick Sontag, The Questions of Philosophy. California: Wadsworth, 1988. Sudarminta J., Filsafat Proses; Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred North Whitehead. Yogyakarta: Kanisius. 1991. Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1990. Trueblood, David, Filsafat Agama, cet. IX, ed. HM. Rasydi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994 Wainwright, William J., Philosophy of Religion, 2nd ed., (Toronto: Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011 20 SAMSUL HUDA Wadsworth Publishing Company, 1999. Windelband, Wilhelm. A History of Philosophy: Renaissance, Enlightenment, Modern. New York: Mac Millan Company, 1958. Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011