1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia. Seluruh aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu membutuhkan tanah sebagai landasan. Sedemikian fundamentalnya tanah sebagai kebutuhan hidup sehingga kerap kali suatu bangsa melekatkan identitasnya pada wilayah tertentu yang ditempati dengan sebutan tanah air. Oleh karena itu, tanah menjadi salah satu hak bagi warga negara yang pengelolaannya diatur oleh negara melalui undang-undang sesuai pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kebutuhan akan tanah mendorong seseorang ataupun sekelompok perorangan yang tergabung dalam sebuah entitas untuk mengukuhkan eksistensinya melalui kepemilikan sejumlah tanah tertentu sebagai wilayah guna pengelolaan lebih lanjut demi meningkatkan kesejahteraan. Kepemilikan sejumlah tanah tertentu sebagai wilayah pribadi yang terdaftar atas nama perorangan maupun entitas tertentu membutuhkan dukungan pengakuan secara yuridis berupa jaminan kepastian hukum terutama di bidang pertanahan. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. 2 Jaminan kepastian hukum memerlukan tersedianya perangkat hukum yang jelas dan tegas serta dilaksanakan secara konsisten sesuai ketentuan-ketentuan yang termaktub di dalamnya. Konsepsi logis berkaitan dengan kepastian hukum atas kepemilikan tanah melahirkan inisiatif penyusunan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan sebutan UUPA. UUPA merupakan ketentuan yuridis untuk mengatur eksistensi pertanahan sebagai pengejawantahan ketentuan pasal 28 D ayat (1) dan 33 ayat (3) UUD 1945. Implementasi lebih lanjut mengenai jaminan kepastian hukum seputar eksistensi tanah ditemui juga pada Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah; Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah; dan lain-lain. Upaya penguasaan tanah untuk kepentingan tertentu atas nama pribadi ataupun suatu entitas tertentu tidak jarang menimbulkan perbedaan pendapat yang memicu lahirnya konflik horizontal dalam tataran sosial. Timbulnya sengketa berawal dari pengaduan suatu pihak yang merasa keberatan berkaitan dengan hak atas tanah baik berupa status tanah, prioritas ataupun kepemilikannya. Oleh karena itu, jaminan kepastian hukum berkaitan dengan eksistensi dan pengakuan status tanah menjadi sangat penting. Salah satu aspek yuridis yang diulas dalam UUPA adalah berkaitan dengan hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam pasal 4 ayat (1) dan (2) yang dipunyai atau diberikan kepada perseorangan 3 ataupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum, serta memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan untuk kepentingannya. Berkaitan dengan hal tersebut, per tanggal 24 September 1960, hak-hak atas tanah yang ada dikonversi sesuai ketentuan UUPA menjadi : 1. Hak Milik (HM) 2. Hak Guna Usaha (HGU) 3. Hak Guna Bangunan (HGB) 4. Hak Pakai (HP) Hak Milik (HM) menjadi satu-satunya hak primer dengan kedudukan terkuat jika dibandingkan dengan hak-hak lainnya sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang menyatakan : “Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6” Turun-temurun memiliki arti bahwa hak kepemilikan atas sejumlah tanah tertentu di suatu wilayah tertentu dapat berlangsung terus walaupun pemiliknya telah meninggal dunia dengan hak kepemilikan yang diturunkan kepada ahli waris yang telah ditunjuk sesuai ketentuan norma hukum yang diakui sebagai subjek hak milik. Terkuat memiliki arti bahwa hak milik atas tanah memiliki posisi lebih kuat dibandingkan hak atas tanah lainnya, tidak memiliki batas waktu, dapat dipertahankan dari gangguan pihak-pihak lain serta tidak mudah dihapus. Terpenuh memiliki arti bahwa wewenang yang dimiliki oleh pemilik hak atas 4 tanah lebih tinggi jika dibandingkan hak atas tanah yang lain sehingga kategori pemanfaatan tanah menjadi lebih luas daripada hak atas tanah lainnya. 1 Keabsahan hak kepemilikan atas tanah hendaknya mengacu pada 2 (dua) asas yaitu “Nemo plus juris transfere potest quam ipse habel” yang berarti tidak ada seorang pun dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak miliknya ataupun apa yang dia punyai, serta asas “Nemo sibi ipse causam possesionis mutare potest” yang berarti tidak ada seorang pun mengubah bagi dirinya maupun kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objeknya. 2 Lebih lanjut, pendaftaran hak atas tanah maupun peralihan hak tersebut diatur dalam pasal 19 ayat (1) dan (2) UUPA sehingga lahir surat tanda bukti hak kepada pemegang hak atas tanah yang didaftarkan yang bernama sertipikat. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 pasal 32 ayat 1 menyatakan : “Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”. Terbitnya sertipikat atas tanah menjadi salah satu jaminan kepastian hukum hak milik baik perorangan maupun sekelompok orang yang tergabung dalam sebuah entitas atas sejumlah tanah tertentu di wilayah tertentu setelah melalui mekanisme untuk menjamin kepastian hak-hak atas tanah (recht kadaster) dimana kadaster sendiri berarti suatu daftar yang melukiskan semua persil tanah 1 Urip Santoso, 2007, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hlm 90 – 91. 2 Adrian Sutedi, 2008, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 8 – 9. 5 yang ada dalam suatu daerah berdasarkan pemetaan dan pengukuran yang cermat.3 Undang-undang serta peraturan yang mengatur mengenai penguasaan dan tata kelola tanah, hak atas tanah serta pengukuran dan pendaftaran tanah sebaiknya memiliki aspek perencanaan sesuai skala prioritas yang disesuaikan dengan pola pemenuhan kebutuhan masyarakat yang paling mendasar tanpa mengabaikan pentingnya menyertakan aspek penunjang pertumbuhan ekonomi secara dinamis sehingga fokus utama perancangan jaminan kepastian yuridis berkaitan dengan hak kepemilikan atas tanah mampu memberikan keadilan yang sebaik-baiknya. Oleh karena itu, seluruh lapisan masyarakat memiliki jaminan perlindungan hukum yang semestinya guna memperoleh dan memanfaatkan tanah sebagai pelaksanaan kebutuhan esensial manusia. 4 Pada prinsipnya, pendaftaran tanah sebagaimana termaktub dalam Pasal 19 UUPA memiliki tujuan memberikan kepastian hukum yang meliputi objek tanah, hak dan subjek serta ketertiban administrasi pertanahan baik bagi pemilik maupun pihak-pihak yang menguasai tanah tersebut, yang dibuktikan dengan kepemilikan sertipikat tanah atas nama yang bersangkutan sebagai alat pembuktian yang kuat dan sah. HM sebagai hak primer kepemilikan sebidang tanah dengan kedudukan yang terkuat dapat dipindah tangankan melalui proses jual beli. Banyak faktor yang melatar belakangi terjadinya hal tersebut. Salah satunya adalah motivasi ekonomi dimana harga per meter tanah cenderung konstan dan memiliki tren 3 4 Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Beberapa Masalah Hukum dalam Perjanjian Kredit Bank Dengan Jaminan Hypotheek Serta Hambatan-hambatannya Dalam Praktek Di Medan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, hlm 97. Maria S. W. Sumardjono, 2009, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm 20. 6 positif seiring pertambahan waktu diluar force majeure seperti bencana alam dan lain-lain. Pemilik hak atas tanah dalam hal ini pihak yang namanya tertera pada Sertipikat Hak Milik (SHM) ataupun ahli warisnya berusaha mengalihkan hak kepemilikan atas tanah kepada melalui proses jual beli kepada pihak lain dalam hal ini selaku pembeli guna memperoleh keuntungan ekonomis sesuai harga nominal tanah yang telah disepakati. Tanah sendiri memiliki beberapa kategori nilai ekonomis.5 Kategori tersebut adalah sebagai berikut: 1. Harga pasar yaitu rata-rata harga per meter persegi atau hektare jual beli tanah pada suatu kawasan dalam rentang waktu tertentu. 2. Harga dasar yaitu harga per meter persegi menurut takaran pemerintah sesuai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam penetapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagaimana yang tertera dalam Surat Penetapan Pajak Tahunan (SPPT) PBB yang diterbitkan setahun sekali. 3. Harga nominal yaitu harga yang tercantum dalam Akta Jual Beli (AJB) ataupun Akta Peralihan Hak lainnya yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak penjual dan pembeli dengan sifat umum untuk memenuhi persyaratan formal lainnya tanpa menggambarkan nilai real yang sesungguhnya. Faktor objektif tanah yang paling menggambarkan nilai ekonomis sebidang tanah adalah letak dan lokasinya. Faktor letak dan lokasi sebidang tanah memiliki keutamaan secara koordinat tidak bisa dipindahkan atau tumpang tindih antara satu dengan yang lain sehingga lokasi tanah yang strategis selalu berada 5 Komite Penyusun SPI, 2002, Standar Penilaian Indonesia, Komite Penyusun SPI, Jakarta, hlm 10. 7 pada jalan utama. Faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi nilai ekonomis sebidang tanah selain lokasi adalah sebagai berikut: 6 1. Rencana penggunaan dan peruntukan tanah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (master plan) daerah setempat. 2. Status hak kepemilikan atas tanah. 3. Jenis dan keadaan tanah. 4. Luas dan kontur bidang tanah yang meliputi luasan total, bentuk gambar dan ukuran lebar sisi depan tanah yang menghadap jalan keluar masuk lokasi tanah. 5. Letak dan posisi tanah terhadap jalan. 6. Jarak lokasi tanah dengan sentra ekonomi, pusat kota maupun pusat pemerintahan setempat. 7. Desain serta tata cara pengolahan dan pemanfaatan tanah yang turut menambah nilai ekonomis tanah secara langsung. 8. Prospek pengembangan wilayah lokasi tanah setempat ke depannya. Faktor objektif Proses jual beli sendiri bukanlah barang baru dalam masyarakat Indonesia yang sudah dilakukan sejak jaman dulu. Proses jual beli pada umumnya didahului dengan sebuah akad yang dapat dituangkan secara tertulis jika diperlukan yang lebih dikenal dengan perjanjian jual beli. Hukum adat menyatakan bahwa perjanjian jual merupakan perjanjian riil dimana penyerahan barang yang diperjanjikan merupakan syarat mutlak terpenuhinya sebuah perjanjian jual beli. 6 Budi Santoso, 2000, Realestate : Sebuah Konsep Ilmu Dan Problema Pengembang Indonesia, School of Realestate, Jakarta, hlm 9. 8 Oleh karena itu, apabila telah diperjanjikan sesuatu hal namun dalam prakteknya, objek perjanjian tersebut belum diserahkan maka perjanjian dianggap tidak ada. 7 Selain itu, perjanjian menganut asas terang dan tunai dimana penyerahan hak atas sesuatu berlaku untuk selama-lamanya pada saat dilakukan pembayaran oleh pembeli yang diterima oleh penjual. Ketentuan-ketentuan umum mengenai perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1458 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan : “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar”. Berdasarkan pasal tersebut maka perjanjian dianggap telah ada sejak tercapai kata sepakat, terlepas dari barang yang diperjanjikan telah dipindah tangankan baik hak maupun kepemilikannya ataupun harga yang disepakati belum dibayarkan dari pihak pembeli kepada pihak penjual. Perjanjian adalah peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana kedua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 8 Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan : “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Dari pemaparan tersebut dapat dipahami bahwa suatu perjanjian menimbulkan hubungan antara dua orang atau lebih dalam suatu bentuk perikatan, dimana perikatan sendiri memiliki makna perhubungan hukum antara dua orang atau dua 7 R. Subekti, 1988, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 29. 8 R. Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Bina Cipta, Bandung, hlm 1. 9 pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu. 9 Salah satu bentuk perikatan antara dua pihak, sebagaimana yang telah disebutkan, adalah perjanjian jual beli dimana setelah tercapai kata sepakat antara kedua belah pihak mengenai barang dan harga, telah terjadi perikatan antara keduanya meskipun barang belum diserahkan dan harga belum dibayar. Prinsip tersebut merupakan asas konsensualisme dalam perjanjian. Proses jual beli dalam masyarakat dengan objek jual beli berupa hak kepemilikan atas tanah perlu dilakukan dengan perjanjian serta akta autentik yang menyertai sebagai landasan primer perlindungan hukum mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dilakukan bagi pihak-pihak yang mengikatkan diri di bawah perjanjian. Selain itu, tanah merupakan objek yang secara khusus diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga setiap perbuatan hukum menyangkut status hak maupun pemindah tanganan kepemilikan hak atas tanah harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, semua pihak yang melakukan perbuatan hukum yang menyangkut hak kepemilikan atas tanah tidak bisa secara bebas melakukan tindakannya melainkan terikat secara yuridis terhadap peraturan hukum yang mengatur hak atas tanah. Sesuai buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 506 ayat (1), tanah masuk dalam kategori benda tidak bergerak (benda tetap) sehingga proses jual belinya pun berbeda dengan proses jual beli benda bergerak seperti 9 Ibid, hlm 1. 10 kendaraan. Perbuatan hukum yaitu proses jual beli yang berakibat pengalihan hak atas kepemilikan tanah harus selalu diikuti dengan pembuatan akta autentik yang diperlukan sebagaimana telah diatur secara khusus mengenai hal tersebut. Akta autentik yang dimaksud dibuat oleh pejabat umum yang berwenang yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dimana dalam hal-hal tertentu melibatkan akta Notaris. Ketentuan mengenai PPAT dapat ditemukan pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur jabatan serta tugas PPAT; Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan pelaksanaan tugas diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1998. Aspek yuridis mengenai jabatan notaris dapat ditemukan pada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Proses pemindahan hak kepemilikan atas tanah dari pihak penjual kepada pihak pembeli telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pengalihan hak kepemilikan atas tanah harus dilakukan di hadapat pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah PPAT, yang daerah kerjanya meliputi wilayah lokasi tanah yang diperjual belikan. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menyatakan: “PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di daerah kerjanya”. 11 Berdasarkan peristiwa tersebut, PPAT berhak dan wajib menyusun akta perubahan kepemilikan (balik nama) berupa Akta Jual Beli (AJB) yang bersifat autentik, dimana bentuk dan isinya telah ditetapkan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku sehingga PPAT hanya mengisi blanko akta yang telah tersedia. Adapun terdapat prasyarat yang harus dipenuhi sebelum PPAT dapat mengesahkan proses jual beli tanah dengan ditandai keluarnya AJB oleh pejabat yang bersangkutan. Prasyarat tersebut diantaranya adalah hak atas tanah yang diperjual belikan merupakan hak atas tanah yang sah dimiliki oleh penjual yang dibuktikan dengan sertipikat tanah atau tanda bukti sah lainnya berkaitan dengan status kepemilikan atau penguasaan atas tanah. Selain itu, tanah yang diperjual belikan tidak berada dalam sengketa dengan pihak lain. Prasyarat berkaitan dengan subjek jual beli adalah adanya pembeli yang mensyaratkan bahwa hak atas tanah yang dibeli memiliki sertipikat sebagai bukti kepemilikan yang sah atas tanah sehingga tanah tanpa sertipikat ataupun tanda bukti sah kepemilikan lainnya belum bisa dibayar lunas oleh pembeli. Terpenuhinya prasyarat tersebut memungkinkan pelaksanaan penanda tanganan AJB sebagai proses pemindah tanganan status kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah dapat dilakukan di hadapan PPAT sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun sebaliknya, PPAT berhak menolak membuatkan AJB sebagai konsekuensi tidak terpenuhinya prasyarat perjanjian jual beli yang dimaksud. Kondisi ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi salah satu pihak penjual maupun pembeli ataupun kedua-duanya. Pihak penjual terpaksa menunda keinginannya untuk segera memperoleh keuntungan 12 sebagai manifestasi nilai ekonomis atas tanah yang dimilikinya, sementara pihak pembeli juga harus menunda keinginannya untuk segera memiliki dan memanfaatkan hak kepemilikan atas tanah yang hendak dibeli guna kepentingan lebih lanjut. Solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut ditempuh dengan dibuatnya pengikatan jual beli antara pihak penjual dan pihak pembeli. Pengikatan jual beli adalah perjanjian antara pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain sertipikat hak atas tanah yang belum ada karena masih dalam proses, atau belum terjadinya pelunasan harga atau pajak-pajak yang dikenakan terhadap jual beli hak atas tanah belum dapat dibayar baik oleh pihak penjual ataupun pihak pembeli. 10 Implementasi pengikatan jual beli tersebut adalah dikeluarkannya akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB). Akta PPJB merupakan ikatan awal antara penjual dan pembeli yang bersifat di bawah tangan (akta non autentik) sehingga tidak mengikat tanah sebagai objek jual beli atau dengan kata lain tidak menyebabkan beralihnya hak kepemilikan atas tanah dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Di dalam akta PPJB biasanya disebutkan bahwa pihak penjual sepakat untuk menjual tanahnya kepada pihak pembeli yang telah disepakati, namun prosesnya belum dapat dilaksanakan karena sebab tertentu yang kemudian dituangkan dalam akta PPJB sebagai prasyarat yang harus dipenuhi oleh para pihak guna terwujudnya AJB. Oleh karena itu, PPJB melahirkan hak dan 10 Ibid, hlm 75. 13 kewajiban untuk memenuhi prestasi dan kontra prestasi antara para pihak yang mengikatkan diri sebagaimana ketentuan-ketentuan yang disepakati dan dituangkan dalam perjanjian. Pengaturan lebih lanjut yang disebutkan dalam PPJB adalah berkaitan dengan tindakan selanjutnya yang dapat ditempuh apabila persyaratan tentang proses jual beli hak kepemilikan atas tanah telah dipenuhi. Clausa ini dimasukkan jika dalam situasi dan kondisi tertentu prasyarat jual beli telah dipenuhi dan proses penandatanganan AJB dapat dilangsungkan, pihak penjual tidak mungkin hadir karena pertimbangan jarak yang jauh ataupun sakit dan lain sebagainya, pihak pembeli diberikan kuasa untuk menghadap sendiri kepada PPAT guna melaksanakan penanda tanganan AJB atas nama sendiri serta atas nama penjual. Pemberian kuasa diatur secara spesifik pada Bab XVI, buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata dimana pasal 1792 menyatakan: “Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa”. Lebih lanjut, Pasal 1793 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan: “Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa”. Pemberian kuasa dalam hal implementasi PPJB merupakan bentuk kuasa tertulis yang dibuat oleh pejabat notaris (Kuasa Notariil) atau yang lazim disebut akta kuasa sebagai hasil penyusunan oleh dan atas buah pikiran dari pejabat notaris itu sendiri, atau menyesuaikan dengan draft standar yang telah umum digunakan. 14 Sebelum menyusun akta kuasa, notaris wajib menanyakan keperluan pembuatannya dengan disertai penyerahan data kependudukan yang masih berlaku dari para pihak berupa kartu tanda penduduk (KTP) pemberi dan penerima kuasa, KTP suami atau istri pemberi kuasa, kartu keluarga (KK) pemberi kuasa ataupun surat nikah. Hal tersebut ditempuh berkaitan dengan kepentingan legalitas serta persyaratan tuntutan peraturan perundang-undangan yang berlaku dimana untuk melepaskan suatu hak kebendaan, seseorang harus mendapatkan persetujuan dari pasangannya. Notaris juga wajib menanyakan syarat-syarat khusus lainnya yang hendak dicantumkan oleh para pihak dalam akta kuasa. 11 Berdasarkan sifat perjanjiannya12, pemberian kuasa dapat bersifat umum dan khusus. Pemberian kuasa umum adalah pemberian kuasa yang dirumuskan dengan kata-kata umum yang biasanya hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Pemberian kuasa khusus adalah pemberian kuasa yang berkaitan dengan satu kepentingan tertentu. Sehingga untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu diperlukan pemberian kuasa khusus yang menyebutkan perbuatan yang harus dilakukan. Pasal 1796 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan: “Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan. Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas”. 11 12 Wicaksono, 2009, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kuasa, Visimedia, Jakarta, hlm 1. R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 143. 15 Dalam prakteknya, pemberian kuasa ini seringkali mengalami penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud adalah pada batasan yang ditetapkan dalam Pasal 1796 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak selalu diindahkan, demikian juga halnya dengan batasan yang diberikan pada Pasal 1813 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenai waktu berakhirnya pemberian kuasa juga acapkali dilanggar. Kondisi inilah yang sering dianalogikan dengan istilah kuasa mutlak. Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah secara tegas menyatakan dalam pasal 39 ayat (1) butir (d) bahwa PPAT berhak menolak untuk membuat akta jika salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak. Disinilah peran penting notaris sebagai pejabat yang berwenang membuat akta yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak merugikan para pihak yang terlibat. Selain itu, produk hukum notaris berupa akta otentik dapat berfungsi sebagai alat pembuktian formal yang mengandung kebenaran absolut sehingga memberikan jaminan yuridis terhadap para pihak. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap Perjanjian Perikatan Jual Beli dengan tindak lanjut berupa pemberian kuasa dalam proses jual beli tanah dengan mengambil judul TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH DENGAN KLAUSULA KUASA UNTUK MENJUAL YANG DIBUAT DI HADAPAN NOTARIS. 16 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan pada sub bab A, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah perjanjian pengikatan jual beli tanah dengan klausula kuasa untuk menjual merupakan perjanjian yang sah? 2. Bagaimana akibat hukumnya apabila dalam hal perjanjian pengikatan jual beli tanah salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui dan mengkaji keabsahan perjanjian pengikatan jual beli yang diikuti dengan klausula kuasa untuk menjual. 2. Mengetahui dan mengkaji akibat hukumnya apabila dalam hal perjanjian pengikatan jual beli tanah salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. D. Keaslian Penelitian Menelusuri kepustakaan ternyata terdapat beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan tentang perjanjian pengikatan jual beli tanah dan konsekuensi yuridisnya. Adapun penelitian tersebut adalah : 1. Penelitian yang dilakukan oleh Sriyono, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2009 dengan judul PELAKSANAAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH DI PT. BUKIT SENTUL CITY DI BOGOR. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: 17 a. Bagaimanakah kekuatan hukum dari akta perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) hak atas tanah yang dibuat dibawah tangan, khususnya yang dibuat oleh PT. Bukit Sentul City di Bogor? b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak dalam perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat dibawah tangan (dengan draft baku/standar kontrak), bila dibandingkan dengan akta notaris sebagai alat bukti yang otentik? Adapun hasil dari penelitian ini adalah: a. Dari keterangan yang diberikan oleh PT. Bukit Sentul City dan dikaitkan dengan kedudukan hukum perjanjian Pengikatan Jual Beli (PJB), disimpulkan bahwa kekuatan hukum dari perjanjian Pengikatan Jual Beli (PJB) yang dibuat antara PT. Bukit Sentul City di Bogor dengan nasabah adalah sama dengan kekuatan hukum yang dimiliki oleh akta perjanjian Pengikatan Jual Beli (PJB) yang dibuat secara dibawah tangan. b. Kekuatan pembuktian secara akta otentik jauh lebih besar dibandingkan dengan kekuatan hukum pembuktian yang dimiliki oleh akta dibawah tangan jika ditinjau dari 3 (tiga) aspek pokok pembuktian yaitu : i. Kekuatan Pembuktian Lahiriah Akta yang dibuat dibawah tangan baru berlaku sah terhadap siapa akta itu dipergunakan apabila yang menanda tanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu. Sedangkan akta otentik 18 membuktikan sendiri keabsahannya, atau yang dikenal dengan “acta publica probant sese ipsa” yang berarti apabila suatu akta kelihatannya sebagai akta otentik, maka akta itu terhadap setiap orang dianggap sebagai akta otentik, sampai dapat dibuktikan bahwa akta itu tidak otentik. ii. Kekuatan Pembuktian Formal Sepanjang berkaitan dengan akta otentik (ambtelijke akte), akta itu membuktikan sendiri kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai pejabat umum di dalam menjalankan jabatannya. iii. Kekuatan Pembuktian Material Tidak hanya kenyataan bahwa adanya dinyatakan sesuatu oleh akta itu, akan tetapi juga di isi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang yang menyuruh mengadakan/membuatkan akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya, maka akta itu mempunyai kekuatan pembuktian material. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kepastian hukum yang lebih baik maka pembuatan perjanjian baik itu perjanjian biasa maupun berupa perjanjian Pengikatan Jual Beli (PJB) sebagaimana yang dibuat antara PT. Bukit Sentul City dengan nasabahnya sebaiknya dibuat dalam bentuk akta otentik supaya mempunyai kekuatan hukum pembuktian yang lebih baik serta memberikan perlindungan hukum yang lebih baik juga. 19 E. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan kontribusi bagi pengembangan hukum pertanahan, khususnya yang berkaitan dengan perjanjian Pengikatan Jual Beli dengan klausula kuasa menjual. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang peran dan kerjasama antara Notaris/PPAT dan Badan Pertanahan Nasional dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih optimal kepada masyarakat sebagai perwujudan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut dengan sudut pandang yang berbeda tentang peranan Notaris/PPAT dalam aspek pelayanan publik di bidang proses jual beli tanah.