dampak krisis finansial global terhadap perekonomian sumatera

advertisement
Suplemen 2
Suplemen 2
RINGKASAN PENELITIAN:
DAMPAK KRISIS FINANSIAL GLOBAL TERHADAP PEREKONOMIAN
SUMATERA SELATAN
I. Pendahuluan
Gagalnya pembayaran subprime mortgage yang terjadi di Amerika Serikat (AS)
menyebabkan tergerusnya aset-aset finansial global yang telah saling terkait satu sama lain
di dunia. Nilai aset yang jatuh membuat adanya kebangkrutan institusi finansial, lembaga
asuransi, dan juga merugikan investor dalam jumlah besar. Hal ini berpengaruh pada
memburuknya nilai kekayaan dan realokasi portofolio seiring dengan menurunnya risk
appetite investor secara global. Sehingga, terjadi capital outflow pada negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Lebih lanjut, kerugian ini memicu turunnya konsumsi
serta produksi secara signifikan, dan menurunnya pemakaian tenaga kerja. Hal ini
menyebabkan lesunya permintaan atas berbagai komoditas. Sebagai konsekuensinya, harga
berbagai komoditas di pasar dunia mengalami penurunan drastis.
Harga komoditas dunia yang menurun berdampak signifikan bagi perekonomian yang
berbasiskan komoditas seperti Sumatera Selatan (Sumsel). Penurunan harga CPO, karet,
dan berbagai komoditas unggulan lainnya menyebabkan penurunan nilai tambah sektoral.
Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi secara agregat mengalami penurunan.
Di sisi perekonomian domestik, nilai ekspor yang menurun berpengaruh terhadap
menurunnya produksi, membuat pemakaian tenaga kerja juga mengalami penurunan, atau
setidaknya menurunkan pendapatan rumah tangga yang tercermin pada menurunnya
pendapatan per kapita pada triwulan IV 2008 sebesar 12,96% (qtq). Hal ini pada akhirnya
juga menurunkan permintaan domestik karena tergerusnya daya beli masyarakat.
Di sisi perbankan, prospek bisnis yang tidak baik dan menurunnya pendapatan
meningkatkan risiko yang tercermin dari meningkatnya rasio NPL perbankan dari 1,81%
pada Oktober 2008 menjadi 2,24% pada Januari 2009. Pertumbuhan kredit juga dapat
tersendat karena ketidakmampuan debitur dalam membayar pinjaman.
Berbagai upaya untuk meredam dampak krisis hingga juga telah dilakukan oleh pemerintah
dan otoritas moneter di berbagai negara, baik melalui stimulus fiskal maupun penurunan
suku bunga secara masif. Namun usaha-usaha tersebut belum berhasil mengembalikan
gairah perekonomian dunia seperti semula, walaupun tanda-tanda recovery secara
prematur sudah mulai terlihat. Secara teoritis, kebijakan moneter mempengaruhi jumlah
kredit pada perekonomian, sehingga berpengaruh pada produksi, inflasi, dan pendapatan
masyarakat.
Dalam menganalisa pengaruh krisis finansial global terhadap perekonomian Sumsel, perlu
dilakukan peninjauan atas teori-teori makroekonomi dan teori finansial. Berdasarkan teori
makroekonomi dan kondisi empiris, transmisi krisis finansial global dalam mempengaruhi
perekonomian Sumsel dapat dijelaskan pada Gambar 1.
1
Suplemen 2
Gambar 1. Transmisi Krisis Finansial Global terhadap
Perekonomian Nasional dan Sumatera Selatan
Perekonomian Dunia
Krisis Subprime
Kredit
Pemakaian
Tenaga Kerja
Kebijakan
moneter
Produksi
Aset/
Pendapatan
Realokasi
portofolio
Permintaan
Dunia
Nilai Tukar
Harga
Komoditas
Impor
Ekspor
komoditas
Pemakaian
tenaga kerja
Produksi/
Output
Nilai Aset
Finansial
Pendapatan
Kebijakan
Moneter
Kredit
Inflasi
Permintaan
Domestik
Perekonomian Sumatera Selatan/Nasional
Krisis keuangan dunia berpengaruh pada perekonomian dalam negeri, termasuk
perekonomian daerah di dalamnya. Krisis keuangan ditandai dengan gejolak pada pasar
saham dan pasar valas. Dalam pasar valas, secara teori depresiasi nilai tukar rupiah terhadap
US Dollar berdampak langsung pada ekspor dan impor. Sementara itu, penurunan
pertumbuhan ekonomi dunia yang ditandai dengan turunnya GDP di hampir semua negara
di dunia mendorong penurunan permintaan akan ekspor. Hal ini menurunkan pendapatan
pada perekonomian. Dari dalam negeri, penurunan pendapatan tersebut dapat berimbas
2
Suplemen 2
pada turunnya konsumsi dan investasi, yang kemudian dapat menurunkan produksi dan
pendapatan, sehingga menurunkan laju pertumbuhan ekonomi lebih dalam.
II. Metodologi
Berdasarkan landasan teori, persamaan-persamaan yang akan diestimasi
ekonometrik adalah sebagai berikut (dalam logaritma natural atau persen)
melalui
Persamaan Konsumsi
……………………………(1)
Persamaan investasi
…………………………….(2)
Persamaan ekspor
…………………………… (3)
Persamaan impor
…………………………………….(4)
Selain notasi yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, DS merupakan dummy musiman
yang disertakan pada persamaan ekspor. Berbeda dengan persamaan lainnya, persamaan
ekspor belum dipengaruhi oleh variabel yang menjelaskan faktor musiman perekonomian
domestik, sehingga penggunaan variabel dummy diperlukan. u merupakan stokastik error.
Kemudian, notasi
sampai dengan
merupakan parameter yang menjelaskan elastisitas
antara variabel independen dan variabel dependen.
Nilai n adalah salah satu dari 0,1,...dst, yang ditentukan berdasarkan statistik yang
menerangkan kecocokan lag yang digunakan pada variabel-variabel dalam estimasi, seperti
statistik Akaike Info Criterion (AIC), Schwarz Info Criterion (SIC), dan metode-metode
lainnya yang konsisten.
Keempat persamaan tersebut dihubungkan melalui suatu persamaan identitas yaitu,
Y=C+I+G+X–M
Disamping persamaan yang menjelaskan dinamika perekonomian pada sisi permintaan
agregat, dilakukan pula estimasi ekonometrika dengan menggunakan beberapa persamaan
sebagai berikut:
Persamaan Produksi
......................................(5)
Persamaan Inflasi
…….(6)
3
Suplemen 2
Dimana B adalah harga BBM, yang juga mewakili supply shock.
Persamaan Konsumsi Campbell-Mankiw (bukan dalam bentuk logaritma)
………………….(7)
Variabel-variabel pembentuk output dari sisi permintaan pada penelitian ini menggunakan
data PDRB penggunaan harga konstan (tahun dasar 2000), yang diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Propinsi Sumatera Selatan. Variabel-variabel tersebut mencakup
pendapatan/output, konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor, dan impor.
Tabel 1.
Keterangan Data
Variabel
Pertumbuhan ekonomi/ PDRB
riil
Konsumsi
Data
PDRB harga konstan 2000
Sumber
BPS
Ekspor
Konsumsi dari PDRB harga konstan
2000
PMTDB dan perubahan stok dari PDRB
harga konstan 2000
Ekspor dari PDRB harga konstan 2000
BPS
Impor
Impor dari PDRB harga konstan 2000
BPS
Nilai tukar
Tenaga kerja
Suku bunga
Pajak penghasilan
Harga Komoditas
Nilai tukar USD/IDR
Penduduk yang bekerja
BI rate
Pendapatan PPh
Harga komoditas
Investasi
BPS
BPS
BI
BPS
BI
Depkeu
Bloomberg
III. Analisis
Hasil estimasi ekonometrika menghasilkan persamaan sebagai berikut :
Konsumsi
ct = 9.51 + 0.24(yt-1-tt-1)
(0.82)
2
R =98.65
(2.17)
DW=1.82
Investasi
it = 3.10 - 0.003rt-2 + 0.02yt-3 + 0.77it-1
(1.21)
2
R =65.15
4
(-3.00)
(0.12)
DW=1.80
(10.68)
Keterangan
Interpolasi untuk
periode tertentu
Interpolasi untuk
periode tertentu
Interpolasi untuk
periode tertentu
Interpolasi untuk
periode tertentu
Interpolasi untuk
periode tertentu
Suplemen 2
Ekspor
xt = 0.51 - 0.11Et-1 + 0.32y*t-1 + 0.84xt-1 + 0.06*DSt
(0.39)
(-3.40)
2
R =90.48
(2.20)
(15.99)
(1.65)
DW=1.46
Impor
mt = -2.08 + 0.52yt-1 + 0.65mt-1-0.13et-2
(-1.52)
2
R = 94.67
(3.19)
(5.24)
(-2.82)
DW=1.56
Inflasi
πt = 0.64 πt-1 + 8.59yt -ýt + 0.53b
(5.31)
2
R =53.75
(0.32)
(2.94)
DW=1.74
Campbell-Mankiw
∆C = 0.15 ∆Yd
(1.69)
2
R =-12.18
DW=1.86
Ket: Huruf kecil dalam log natural, angka dalam () merupakan t-stat
Nilai dari antilog -0.50 adalah 0.61. Berdasarkan hal tersebut, hasil estimasi persamaan
konsumsi menghasilkan otonomus spending yang positif, yang menunjukkan aplikasi teori
Keynes relevan untuk diaplikasikan pada analisis. Peningkatan disposable income sebesar
1% akan meningkatkan konsumsi sebesar 0,04%.
Merujuk pada Campbell dan Mankiw (1989), dilakukan pengujian proporsi populasi yang
mengikuti pola konsumsi klasik dan pola Life Cycle – Permanent Income Hypothesis (LCPIH). Hasil estimasi tersebut mengindikasikan bahwa 15,09% dari konsumsi ditentukan oleh
pendapatan jangka pendek. Namun, 84,81% konsumsi lebih ditentukan oleh pendapatan
permanen.
Hasil estimasi persamaan investasi mengindikasikan bahwa perubahan BI rate akan
berpengaruh terhadap investasi pada dua periode berikutnya, sedangkan perubahan
pendapatan akan berpengaruh terhadap nilai investasi tiga triwulan kemudian, walaupun
secara statistik tidak dapat dikatakan signifikan. Walaupun hal ini tidak seperti yang
dikemukakan Stiroh (2000), namun Mankiw (2005) juga mengemukakan persamaan
investasi yang tidak dipengaruhi oleh pendapatan perekonomian tersebut. Hal ini dapat
5
Suplemen 2
disebabkan oleh proporsi sumber dana investasi yang berasal dari luar Sumatera Selatan
lebih besar.
Hasil estimasi persamaan ekspor menunjukkan bahwa meningkatnya PDB AS sebesar 1%
akan meningkatkan ekspor Sumatera Selatan sebesar 0,32%. Secara simetris, penurunan
PDB AS sebesar 1% akan menurunkan tingkat ekspor Sumatera Selatan sebesar 0,32%.
Berbeda dengan teori, hasil estimasi menunjukkan bahwa depresiasi Rupiah sebesar 1%
menyebabkan menurunnya ekspor Sumatera Selatan sebesar 0,11%. Hal ini dapat terjadi
karena
adanya ekspektasi adaptif jangka pendek atas nilai tukar Rupiah, yang
menyebabkan depresiasi Rupiah justru menyebabkan penundaan pesanan. Nilai DS, cukup
berpengaruh meskipun hanya signifikan pada tingkat keyakinan 89%. Hal ini menunjukkan
adanya faktor musiman yang cukup signifikan mempengaruhi ekspor, yang berasal dari
perekonomian domestik (karena terdapat variasi ekspor yang tidak dapat dijelaskan oleh
PDB AS dan nilai tukar Rupiah).
Meningkatnya PDRB Sumatera Selatan sebesar 1% akan meningkatkan impor sebesar
0,52% pada triwulan berikutnya. Terdepresiasinya nilai tukar Rupiah terhadap USD akan
menurunkan nilai impor sebesar 0,13%. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika pendapatan
masyarakat Sumatera Selatan mengalami peningkatan, masyarakat justru menambah
proporsi konsumsi barang impor dibandingkan barang yang diproduksi oleh perekonomian
domestik.
Berdasarkan hasil estimasi, inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh inflasi pada periode
sebelumnya. Kenaikan output gap sebesar 1% akan meningkatkan inflasi sebesar 2,08%.
Namun, parameter ini mempunyai resiko bias ke bawah karena masih adanya sampel Y
yang merupakan hasil interpolasi. Kenaikan Inflasi tahunan pada triwulan sebelumnya
sebesar 1% dapat meningkatkan inflasi tahunan sebesar 0,65%. Shock pada harga BBM
sebesar 1% akan meningkatkan inflasi sebesar 0,59%. Secara keseluruhan, hal ini
mengindikasikan bahwa faktor penyebab inflasi yang dominan di Sumatera Selatan adalah
cost-push dibandingkan demand-pull yang bersifat siklikal.
Hasil estimasi persamaan produksi Cobb-Douglas dengan dua faktor produksi menunjukkan
bahwa produksi secara signifikan dipengaruhi oleh modal dan teknologi, namun tidak
signifikan dipengaruhi oleh tenaga kerja. 1% penambahan kapital dapat meningkatkan
produksi perekonomian pada tiga triwulan ke depan sebesar 0.57%. Kemudian, hasil uji
restriksi koefisien mengindikasikan bahwa persamaan produksi tersebut memenuhi asumsi
Constant Return to Scale (CRS).
Melalui hasil simulasi dengan menurunkan PDB AS sebesar 5% pada waktu t0, dapat
diperhatikan bahwa angka ekspor turun sekitar 2,0% pada triwulan berikutnya, yang diikuti
oleh penurunan pendapatan sebesar 0,9%. Mulai triwulan berikutnya (2 triwulan setelah
shock terjadi, atau t+2), konsumsi pun mengalami penurunan terus menerus secara
perlahan. Kemudian, angka impor menurun mulai t+1 sampai dengan sebesar 0,64% pada
t+3. Tingkat investasi kemudian juga mengalami penurunan tipis sebesar 0,09%, dengan
risiko bias ke bawah. Tingkat inflasi tahunan mengalami penurunan hingga sebesar 2,8%
pada tahun berikutnya dari timbulnya deflationary gap seiring dengan menipisnya konsumsi
domestik. Tanpa adanya stimulus yang bersifat otonomus, progress signifikan recovery
(70%) dapat dicapai pada satu sampai dengan dua tahun pertama. Namun, tingkat PDRB
tidak dapat mencapai angka seperti semula tanpa adanya stimulus.
6
Suplemen 2
Peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 5% akan meningkatkan
pendapatan/output sebesar 0,35% pada periode yang sama, yang diikuti oleh
peningkatankonsumsi sebesar 0,01% dan peningkatan impor sebesar 0,18% pada triwulan
berikutnya. Perlu diperhatikan adverse effect melalui impor ini kemudian menyebabkan
pendapatan/output kembali menurun tipis sebesar 0,04%, karena berpengaruh pada
periode yang lebih panjang. Peningkatan konsumsi tersebut juga menyebabkan
peningkatan inflasi tahunan sekitar 0,28%. Selain itu, tingkat investasi berpeluang
mengalami peningkatan tipis sebesar 0,02%.
Penurunan BI rate sebesar 1% (100bps) dapat meningkatkan investasi sebesar 0,28%
pada dua triwulan berikutnya, yang diikuti oleh peningkatan pendapatan/output sebesar
0,06%. Konsumsi hanya terpengaruh tipis sebesar 0,01% secara perlahan, dan angka
impor meningkat sebesar 0,04%. Angka inflasi tahunan mengalami sedikit peningkatan
sebesar 0,16%. Walaupun efek kebijakan moneter ini lebih rendah dari kebijakan fiskal,
namun melalui hasil estimasi, efek tersebut lebih bersifat jangka panjang dibandingkan
pengeluaran pemerintah.
Bila dilakukan peningkatan stimulus fiskal sebesar 5% satu triwulan setelah adanya
penurunan PDB AS sebesar 5%, maka kebijakan tersebut mampu menurunkan efek
penurunan PDB AS tersebut terhadap perekonomian Sumatera Selatan. Turunnya PDRB
menjadi hanya 0,65%, yang semula sekitar 0,9%. Konsumsi mengalami penurunan secara
perlahan, namun dengan besaran yang terbilang minor. Angka penurunan impor juga
sedikit melambat dari yang semula 0,64% menjadi 0,59%. Penurunan tekanan inflasi juga
mengalami sedikit penurunan, dari 2,8% menjadi sekitar 2,5%.
Bila pengeluaran pemerintah ditingkatkan 10%, ternyata tidak memberikan dampak
yang berbeda secara signifikan dengan peningkatan sebesar 5%. Hal ini mengindikasikan
bahwa stimulus yang dilakukan secara besar-besaran pada satu triwulan tertentu tidak
memberikan hasil yang maksimal untuk meredam dampak krisis finansial global,
dibandingkan cost dari kebijakan tersebut. Untuk merendam dampak penurunan PDB AS
tersebut secara lebih efektif, stimulus fiskal yang diberikan perlu dilakukan secara lebih
kontinu.
Dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah pada t+1 sampai dengan t+3
sebesar 5% untuk meredam dampak penurunan PDB AS sebesar 5% pada t0,
penurunan output menjadi lebih rendah dari sebelumnya, yaitu dengan titik terendah
0,5%. Penurunan impor menjadi 0,45%, dan penurunan investasi menjadi 0,07%.
Penurunan inflasi yang terjadi juga akan semakin landai, yaitu dengan titik terendah 2,3%.
Kebijakan moneter dengan menurunkan BI rate secara gradual akan efektif bila dilakukan
satu periode sebelum adanya shock penurunan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Hal
ini menunjukkan pentingnya memformulasikan kebijakan moneter secara forward looking.
Selain itu, hal yang juga menarik pada simulasi ini adalah munculnya indikasi bahwa
kebijakan ekspansi moneter lebih signifikan untuk mempercepat proses recovery
perekonomian.
Adanya depresiasi Rupiah terhadap USD sebesar 5% dapat menyebabkan turunnya
impor sebesar 0,75%, yang juga berakibat pada turunnya ekspor sebesar 0,55%. Terjadi
goncangan jangka pendek pada kegiatan produksi yang menyebabkan output jangka
pendek berkurang sebesar 0,25%. Angka inflasi dan konsumsi juga mengalami penurunan
dalam nilai yang minor.
7
Suplemen 2
Simulasi berikutnya didasarkan atas proyeksi OECD (2009) atas pertumbuhan
ekonomi Amerika Serikat secara triwulanan pada 2009-2010. Melalui shock atas
proyeksi tersebut, dapat diperkirakan bahwa dampak krisis finansial global pada
perekonomian Sumatera Selatan yang paling tinggi akan terjadi pada triwulan III atau
triwulan IV 2009. Hal ini juga berdampak pada semakin rendahnya inflasi tahunan hingga
akhir tahun 2009. Proses recovery diperkirakan akan dimulai pada triwulan IV 2009. 90%
proses recovery diperkirakan akan tercapai pada triwulan IV 2009. Ketidakpastian pada
perekonomian cukup besar pada tahun 2009-2010 yang ditandai oleh lebarnya confidence
bounds, khususnya pada indikator ekspor, impor, PDRB, dan investasi. Mulai akhir tahun
2012, perekonomian Sumatera Selatan diperkirakan akan melejit secara signifikan dari
sebelumnya, yang didorong oleh tingkat ekspor yang lebih tinggi dari semula.
Berdasarkan hasil simulasi-simulasi di atas, dalam meredam efek penurunan pertumbuhan
ekonomi AS secara efektif dan efisien, diperlukan kombinasi antara kebijakan fiskal dan
moneter. Dimana kebijakan fiskal diperlukan dalam jangka pendek untuk menopang
konsumsi masyarakat yang berpotensi tergerus menyusul adanya penurunan pendapatan,
misalnya melalui BLT maupun realisasi proyek padat karya. Di samping stimulus fiskal untuk
menopang tingkat konsumsi, penurunan suku bunga dengan konteks forward looking juga
penting untuk mempercepat proses recovery perekonomian Sumatera Selatan, terutama
melalui investasi.
IV. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Krisis finansial global akan berpengaruh secara signifikan pada perekonomian Sumatera
Selatan melalui penurunan ekspor. Kemudian, penurunan ekspor tersebut akan
berpengaruh terhadap penurunan pendapatan, sehingga akan menurunkan konsumsi dan
investasi, atau secara keseluruhan mengurangi aktivitas perekonomian domestik.
Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa secara agregat tingkat konsumsi lebih dipengaruhi
oleh pendapatan permanen dibandingkan pendapatan temporer (84,81% dari populasi).
Sehingga, kekhawatiran penurunan konsumsi akibat adanya penurunan pendapatan jangka
pendek dapat dikurangi, dengan catatan bahwa terdapat ekspektasi perbaikan
perekonomian dalam waktu yang terukur dan tidak terlalu lama. Hal ini membuat efek
multiplier dampak krisis keuangan global melalui konsumsi dan permintaan domestik
menjadi lebih ringan dari semestinya. Terkait dengan hal tersebut, perlu diperkuat
ekspektasi pemulihan ekonomi masyarakat melalui kebijakan-kebijakan yang propertumbuhan, penjagaan citra dan kredibilitas, serta penguatan stabilitas perekonomian.
Mengingat besarnya penambahan impor menyusul adanya peningkatan pendapatan, perlu
diberikan edukasi kepada masyarakat untuk lebih menggunakan produk dalam negeri dan
mengurangi permintaan barang impor. Selain itu, perlu dilakukan pencarian alternatif
bahan baku domestik untuk produsen yang memakai bahan baku impor.
Tanpa adanya stimulus, proses recovery perekonomian Sumatera Selatan atas suatu shock
negatif PDB Amerika Serikat akan berlangsung selama 4 sampai 6 tahun. Namun, proses
signifikan (90%) dapat dicapai dalam satu sampai dua tahun pertama.
8
Suplemen 2
Stimulus fiskal diperkirakan efektif dalam memperhalus dampak krisis keuangan global
terhadap konsumsi secara jangka pendek. Namun, sesuai dengan Ricardian effect, efek dari
stimulus tersebut diperkirakan tidak bertahan lama. Selain itu, terdapat pula adverse effect
dari meningkatnya impor akibat stimulus tersebut.
Berdasarkan hasil simulasi, anggaran stimulus fiskal akan lebih efektif dalam memperkecil
dampak krisis keuangan global bila direalisasikan secara kontinu dan tersebar pada setiap
periode dibandingkan direalisasikan secara bersamaan pada suatu periode saja. Karena itu,
untuk memaksimalkan efek yang dihasilkan atas stimulus fiskal untuk mengurangi dampak
krisis keuangan global, dapat direkomendasikan kepada Pemda agar lebih konsisten
memberikan stimulus kepada perekonomian secara lebih kontinu dan merata antar periode,
serta lebih diperuntukkan untuk menopang penurunan konsumsi jangka pendek.
Kebijakan ekspansi moneter secara gradual dapat mempercepat proses recovery
perekonomian Sumatera Selatan, walaupun secara jangka pendek efeknya lebih kecil
dibandingkan stimulus fiskal. Selain itu, hasil estimasi juga memberikan indikasi pentingnya
formulasi kebijakan moneter secara forward looking untuk menjaga stabilitas
perekonomian. Kebijakan moneter akan memberikan hasil maksimal bila dilakukan sebelum
shock berupa krisis terjadi.
Baik kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal dibutuhkan perekonomian Sumatera
Selatan dalam menghadapi dampak krisis keuangan global, dan keduanya bersifat saling
melengkapi dan tidak secara sempurna dapat disubstitusikan antara satu dan lainnya
9
Suplemen 2
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page is intentionally blank
10
Download