Negara dan Masyarakat Sipil dalam Perspektif Sejarah Politik

advertisement
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010
P. Anthonius Sitepu
ISSN: 0216-9290
Negara dan Masyarakat Sipil
Negara dan Masyarakat Sipil dalam
Perspektif Sejarah Politik Indonesia
P. ANTHONIUS SITEPU
Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8211965
Diterima tanggal 31 April 2007/Disetujui tanggal 12 Mei 2007
This study focused to explain about relation between state and civil society. Especially discuss
opposition between them in political perspective approach. Actually state and civil society are
two of vital importance political elements in perspective politics. Both of them, is concept that
expand along with era growth. Concept of civil society emerged as respond from state role that
too dominant in society and concept of state emerged as respond from society that each other
battle. But now, concept of civil society and state has expanded. There are there models relationships by them. First, civil society relations stands up as shield for society and state behavior
that tend to hegemonic, authoritarian and repressive. Second, if state not hegemonic, civil society will emerge as state partner in executing public interest. Third, if public life already accommodated by country, civil society can do its function in complementary where civil society
emerges to equip society needs. So, in this perspective concept of civil society comprehended as
the element of democratization acceleration.
Keywords: Civil society, State behaviour, democratization.
Pendahuluan
Gejolak politik nasional pada dekade tahun
1950-an terjadi di Sumatera Barat, Sulawesi
Selatan dan Aceh. Gerakan ini muncul dalam
bentuk aksi pemberontakan. Di Jawa Barat
juga muncul pemberontakan yang bermaksud
untuk mendirikan Negara Islam (NI), serta di
Kalimantan Barat pada awal tahun 1960-an,
muncul gejolak politik yang terkait dengan
masalah etnik Cina.
Perdebatan mengenai dasar Negara pancasila
ataukah Islam merupakan salah satu pemicu
munculnya pemberontakan di daerah. Ketika
Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) menetapkan Pancasila sebagai Dasar
Negara Republik Indonesia yang akan diproklamirkan tahun 1945. Pemberontakan
Darul Islam (DI) adalah salah satu buktinya.
Sejak awal 1960-an pertentangan antara para
nasionalis dibawah kepemimpinan Soekarno
yang secara tegas mendukung pancasila
sebagai dasar Negara dan Masyumi yang
mendukung Islam sebagai dasar negara semakin tajam. Pertentangan antara kaum nasionalis yang notabene menjadi aktor yang
dominan dalam pemerintahan pusat ini, dengan Masyumi menjadi perseteruan antara
Negara dengan (pusat) atau Jawa dengan luar
Jawa (daerah) sesuai dengan peta/pola geografis basis sosial.
Kekuasaan negara dalam relasinya dengan
masyarakat (daerah) mencakup isu-isu yang
sangat luas. Ia bisa saja terkait dengan nasionalisme, isu demokrasi nasional dan demokrasi lokal dan isu hubungan kekuasaan
Negara dan masyarakat. Bahkan dalam tataran kenyataannyapun defenisi pusat sering
dijabarkan secara konstektual yang mencerminkan hubungan kekuasaan (power relationship) yang terkesan timpang. Negara (pusat) sering digambarkan sebagai memonopoli
kekuasaan negara dan pasar. Sementara itu
daerah (masyarakat) dipergunakan untuk
57
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010
P. Anthonius Sitepu
menggambarkan komunitas yang tertindas.
Pusat dijabarkan tidak semata-mata sebagai
pemerintah pusat. Akan tetapi dengan Jakarta
dan bahkan Jawa, yang dianggap sebagai
kelompok sosial dan ekonomi yang mampu
memanfaatkan kekuasaan negara ditingkat
nasional. Sementara itu daerah, (masyarakat)
tidakalah semata-mata menggambarkan pemerintahan daerah (Pemda) atau sebagai masyarakat (komunitas) serta sebagai wilayah di
luar jakarta atau bahkan diluar Jawa.
Kedudukan negara berhadapan dengan rakyatnya (masyarakat) dijaman modern ini memang menjadi problematis. Hal ini disebabkan karena rakyat atau masyarakat disuatu
negara di zaman modern pada umumnya mulai terdidik dan memiliki kesadaran yang
tinggi akan hak-haknya. Berberda dengan
gambaran Thomas Hobbes yang melukiskan
negara sebagai leviathan atau bahkan semacam dewa ataupun tuhan (dewa mortalis
yang menakutkan karena kekuasaanya yang
sangat besar). Kesadaran demokrasi dewasa
ini justru memungkinkan rakyat membatasi
kekuasaan sang leviathan sehinggga tidak bisa sewenag-wenang lagi menentukan hukumhukumnya sendiri. Dalam hal ini gambaran
Hobbes menegenai peran negara masih dekat
dengan monarki tradisional yang mengakui
kekuasaaanya berasal dari tuhan.
Studi akan mengkaji labih jauh tentang hubungan negara dan masyarakat sipil dalam
perspektif sejarah politik Indonesia. Dasar
masalah hubungan antara negara dan masyarakat sipil terletak dalam konsepsi tentang
peran negara yang dominan dan hegemonik.
Inilah sebabnya teroritisasi hubungan negara
dan masyarakat menjadi aktual dalam pemikiran dan penelitian ilmu-ilmu sosial sejak
pertengahan 1980-an. Ditegaskan kembali
perbedaan bahkan pertentangan antara negara
dan masyarakat sebagai dua agregat politik
yang mempunyai preferensi politik dan prioritas yang berbeda.
Pendekatan dan Metode
Studi ini menggunakan pendekatan sistem
politik dan pendekatan sejarah dalam melihat
kedudukan negara dan masyarakat sipil dalam konteks sejarah perpolitikan di Indone-
58
ISSN: 0216-9290
Negara dan Masyarakat Sipil
sia. Metode pengumpulan data menggunakan
metode studi pustaka dan studi dokumen.
Konsepsi Negara dan Masyarakat Sipil
Negara telah menjadi objek penting dalam
politik sehingga menjadi pusat berbagai pertanyaan dari pemikir politik seperti Plato,
Sokrates, dan Aristoteles. Hal ini dikarenakan sejak teori politik klasik menarik perhatian pada kehidupan yang baik mencoba, menyadari bahwa dalam rangka institusionaliasasi negara sebagai intinya. Namun demikian, sentralisasi negara (state-centered) senantiasa menimbulkan pertanyaan seperti bagaimanakah negara itu dapat dipahami dan dijelaskan ketika berhadapan dengan rakyatnya.
Istilah negara diterjemahkan dari kata asing
”staat” (bahasa Belanda dan Jerman), State
(Bahasa Inggris), Etat (bahasa Perancis). Pertumbuhan stelsel negara modern dimulai di
benua Eropa disekitar abad 17, sehingga penyelidikan pembahasan tentang negara dimulai dari penyelidikan asal usul dan pemakaian
kata-kata asing itu di Benua Eropa. Penggunaan istilah staat mempunyai sejarah tersendiri. Istilah itu pertama kali dipergunakan dalam abad ke 15 di Eropa Barat. Kata ”staat,
state, etat” itu dialihkan dari bahasa latin
”status”atau ”statum”. Secara etimologis kata
”status” itu dalam bahasa latin klasik adalah
suatu istilah yang abstrak yang menunjukkan
keadaan yang tegak dan tetap itu. Sejak jaman Cicero kata ”status” atau ”statum” itu
lazim diartikan sebagai standing status (kedudukan) persekutuan hidup manusia sebagaimana diartikan dalam istilah ”status civitatus” atau ”status republicae”. Dari kata latin klasik ini dialihkan beberapa istilah ”state” ataupun ”staat”. Dalam abad 16 kata ini
dipertalikan dengan kata ”negara”. Daalm hal
ini negara diidentifikasikan dengan pemerintah umpamanya kata itu dipergunakan dalam
kekuasaan negara.
Konsep masyarakat sipil merupakan salah satu produk pemikiran barat, yang telah melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang sejak jaman Yunani kuno. Konsepsi masyarakat sipil (civil society) itu sendiri berasal dari
sejarah peradabaan Barat. Ditempat asalnya
(Eropa Barat) sebenarnya konsep masyarakat
sipil sudah lama tidak dibicarakan. Masya-
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010
P. Anthonius Sitepu
rakat sipil, kembali mengemukakan ketika
gerakan solidaritas di Polandia pimpinan
Kech Walenza melancarkan perlawanan terhadap dominasi pemerintahan Jeruzeski. Dalam perlawanan itu, solidaritas memakai ”civil society” sebagai dasar sekaligus arah perjuangan dengan tekanan utama pada perlawanan terhadap otoritarianisme negara. Konsep
ini kembali menjadi populer semenjak gelombang demokratisasi menerpa negara-negara Eropa Timur pada pertengahan tahun
1980-an hingga 1990-an. Konsep ini menjadi
inspirasi pemikiran yang mendorong terjadinya perubahan politik di bekas negara-negara
komunis sebagai akibat kebangkitan gerakan
masyarakat sipil.1
Terminologi ”masyarakat sipil” dengan terjemahan yang beragam seperti ”masyarakat
sipil”, ”masyarakat madani”, masyarakat
warga”’ atau masyarakat kewargaan” sering
tampil menjadi wacana utama dalam diskusi
penelitian dan penerbitan.2 Ada yang menekankan kepada ruang di mana individuindividu atau kelompok dalam masyarakat
dapat berinteraksi. Dalam ruang tersebut,
masyarakat dapat melakukan partisipasi dalam pembentukan kebijaksanaan publik dalam suatu negara. 3 Atau dalam pengertian
lain bahwa masyarakat sipil merupakan suatu
ruang (space) yang terletak antara negara di
satu pihak dan masyarakat dipihak lain,
sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh
Michael Walker (1995) dan dalam ruang tersebutlah terdapat asosiasi masyarakat yang
bersifat sukarela dan terbangun sebuah jaringan hubungan diantara asosiasi tersebut.
Asosiasi tersebut bisa dalam bentuk macammacam ikatan pengajian, persekutuan gereja,
koperasi, kalangan bisnis dan lain-lain.
Dalam pemikiran Barat, manusia dipandang
sebagai mahluk yang memiliki kebebasan
dan kesetaraan atau kesederajatan. Manusia
dipandang sebagai mahluk individual. Pan1
Adi Surjadi Culla, Rekonstruksi Civil Society:
Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, (Jakarta:
LP3ES, 2006), hal. 33.
2
Hendro Prasetyo (ed.), Islam dan Civil Society,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 12.
3
Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju
Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
hal. 3-5.
ISSN: 0216-9290
Negara dan Masyarakat Sipil
dangan ini menginspirasikan munculnya hakhak azasi manusia yang bersifat universal.
Maka pada titik ini, konsep manusia sebagai
individu bersifat liberal. Atas dasar pemikiran tersebut segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan manusia-hubungan sosial-harus tunduk pada nilai-nilai universal.
Pada saat yang sama segala sesuatu yang
menghalangi, mengancam atau bertentangan
dengan nilai-nilai universal seperti rasisme
nasionalisme, ideologi agama atau negara harus dikontrol atau dilawan.
Konsep masyarakat sipil (civil society) yang
dipahami dalam kerangka tradisi liberal berkaitan dengan ruang publik yang berisikan
manusia sebagai individu-individu. Jika individu-individu merupakan ruang pribadi, civil
society (masyarakat sipil) sebagai ruang publik khususnya dalam hubungannya dengan
negara, paling tidak civil society (masyarakat
sipil) dapat melakukan salah satu dari tiga
fungsi. Pertama, masyarakat sipil berdiri sebagai perisai bagi masyarakat dan perilaku
negara yang cenderung hegemonik, otoritarian dan represif. Kedua jika negara tidak hegemonik, masyarakat sipil (civil society)
muncul sebagai mitra negara dalam melaksanakan kepentingan publik. Ketiga bila kehidupan publik telah diakomodasi secara baik
oleh negara, masyarakat sipil (civil society)
dapat memainkan fungsinya secara komplementer di mana masyakat sipil muncul untuk
melengkapi kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Terkait relasi negara dan masyarakat sipil,
ada empat pandangan pokok yang masingmasing mengkaitkannya realitas politik negara. Pertama, hubungan antara negara dan masyarakat sipil (civil society) dilihat sebagai
dua entitas terpisah yang berhadapan. Dalam
hal ini berlaku konsepsi Hegel yang menganggap masyarakat sipil sebagai entitas
yang inferior. Perspektif ini digugat oleh
panganut aliran pemikiran yang menekankan
pentingnya otonomi masyarakat sipil dalam
upaya membebaskan diri dari pengaruh negara. Namun demikian kedua perspektif ini sama-sama menekankan pemisahan hubungan
antara negara dan masyarakat sipil. Perbedaan tersebut tercermin dalam “pendekatan negara” dan “pendekatan masyarakat sipil”.
59
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010
P. Anthonius Sitepu
Dalam prateknya, perspektif yang pertama
mendorong terciptanya negara kuat (strong
state) yang menjauhkan politik dari politik
dari prinsip-prinsip demokrasi. Sedangkan
perpektif kedua memberikan kesempatan lebih besar bagi timbulnya pluraslisasi politik.
Singkat kata, perspektif ini lebih menekankan superioritas negara saat berhadapan dengan masyarakat sipil, perspektif kedua, lebih menekankan kemandirian masyarakat sipil dalam mempertahankan eksistensinya dari
intervensi negara. 4
Kedua, perspektif yang memandang keberadaan masyarakat sipil dan masyarakat politik
(negara) sebagai dua entitas yang terpisah.
Masyarakat dan negara telah memasuki dan
mencapai suatu tahapan demokrasi. Interaksi
antara negara dan masyarakat sipil dipersatukan oleh sebuah sistem hukum yang berwatak demokratis. Tidak ada pembatasan dan
pengekangan politik yang diberlakukan negara secara semena-mena terhadap ruang tumbuh dan berkembangnya masyarakat sipil.
Orientasi gerakan masyarakat sipil pun tidak
lagi bearada dalam situasi konfrontatif dengan negara. Perspektif ini sedikit banyak
memiliki toleransi dengan realitas politik negara yang demokratis.5
Ketiga, perspektif yang melihat hubungan
antara negara dan masyarakat sipil bukan sebagai entitas yang berhadapan. Secara politik
terdapat kekuatan pro demokrasi dan pendukung totaliterisme baik dalam entitas masyarakat sipil maupun dalam negara-negara.
Kekuatan-kekuatan di dalam domain negara
dan masyaakat sipil dapat bekerjasama mewujudkan demokrasi atau sebaliknya menghambat demokrasi. Perspektif ini dapat juga
dipakai untuk menjelaskan realitas politik negara berkembang (Indonesia). Demikian juga
pendekatan kultural yang lebih memperhatikan perilaku individu aktor dan kelompok
masyarakat dalam politik tingkat negara
maupun masyarakat sipil serta pendekatan
struktural yang memperhatikan struktur dan
peran kelas.
Keempat, perspektif yang memisahkan domain masyarakat sipil dari domain negara
(state) masyarakat politik (political society),
ISSN: 0216-9290
Negara dan Masyarakat Sipil
masyarakat ekonomi (economic society). Dalam hubungan ini negara tidak identik baik
dengan masyarakat politik maupun dengan
masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi.
Dari empat domain tersebut, merupakan entitas yang berbeda dan berdiri terpisah. Perspektif ini merupakan sebuah kerangka analisis konseptual yang lebih luas ketimbang dari
ketiga perspektif terdahulu. 6
Wacana tentang kekuasaan negara tetap menjadi primadona dalam studi ilmu politik dan
bahkan dalam hubungan ini Max Weber pernah mengatakan bahwa negara sebgai satusatunya lembaga yang memiliki keabsahan
terhadap warga negaranya melaksanakan tindakan kekerasan maka dengan demikian
penjelasan terkait dengan masalah kekuasaan
negara itu, adalah dalam hubungannya pola
hubungan antara negara dan masyarakat sipil.
Dalam pandangan teoritik ada sejumlah unsur penting sebagai batasan penting dalam
pengertian tentang negara. Negara itu lebih
dari sekedar pemerintah. Negara merupakan
sebuah pengaturan (regulasi) yang berkesinambungan, sistem hukum, birokasi, dan
terdiri dari sistem paksaan. Mengatur hubungan antara masyarakat sipil dan otoritas
publik dalam masyarakat.
Sistem Politik dan Kekuasan Politik Negara
Doktrin pemisahan kekuasaan pada dasarnya
merupakan teori pemerintahan (goverment
theory) yang bertujuan untuk melindungi kebebasan dan memfasilitasi pemerintahan
yang baik ”Good Governance” dengan cara
membagi kekuasaan politik negara berdasarkan fungsinya. Karena itu pemisahan kekuasaan dapat dipahami sebagai doktrin konstitusional atau dengan istilah doktrin pemerintahan yang terbatas yang membagi kekuasaan pemerintahan itu ke dalam cabang
kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif,
dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan yang
terbagi seperti ini yang pada dasarnya adalah
untuk mencegah absolutisme sebagaimana
kekuasaan monarki dan diktator. Ketika semua cabang kekuasaan itu terpusat pada otoritas tunggal, maka sulit mencegah korupsi
6
4
Adi Suryadi Culla, op.cit., hal. 25-26.
5
Adi Suryadi Culla, ibid., hal. 26-27.
60
Adi Suryadi Culla, ibid., hal. 27-28.
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010
P. Anthonius Sitepu
kekuasaan yang timbul karena kemungkinan
kekuasaan tanpa pengawasan.
Doktrin pemisahan kekuasaan, pada pokoknya merupakan doktrin konstitusionalisme
ataupun merupakan doktrin pemerintahan
yang terbatas. Sangat jelaslah bahwa pemisahan kekuasaan negara atau pemerintahan dalam berbagai bentuk tubuh kekuasaan berbeda dan berdiri sendiri. Ini merupakan inti kepercayaan konstitusional dan doktrin pemisahan kekuasaan. Mekanisme yang dikembangkan adalah dengan membagi dan mendistribusikan kekuasaaan pemerintahan untuk
mencegah tirani dan kekuasaan kesewenangwenangan dan dengan cara meletakkan tiga
tipe kekuasaan pemerintahan di dalam lembaga (legislatif, eksekutif dan yudikatif).
Distribusi sumber-sumber kekuasaan politik
secara merata pada semua kelompok atau
individu-individu digambarkan ke dalam tiga
model yaitu: (1).model elit yang memerintah
(2).model pluralis dan (3).model populis.
Model yang pertama melukiskan kekuasaan
sebagai yang dimiliki oleh sekelompok kecil
orang yang biasa disebut elit. Model yang
kedua yaitu model pluralis yang menggambarkan kekuasaan itu sebagai sesuatu yang
dimiliki oleh berbagai kelompok sosial dan
lembaga-lembaga masyarakat (pemerintah).
Model yang ketiga adalah model populis
yang melukiskan kekuasaan itu sebagai sesuatu yang dipegang atau dimiliki oleh setiap
individu atau warga negara atau rakyat secara
kolektif.
Gaetano Mosca melukiskan distribusi kekuasaan dalam masyarakat terdapat dua kelas
yang menonjol yaitu kelas yang memerintah
yang terdiridari sedikit orang melaksanakan
fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan
menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan dengan kekuasaan dan kelas yang
diperintah yang berjumlah lebih banyak dan
dikendalikan oleh penguasa dengan cara-cara
yang kurang lebih berdasarkan hukum semaunya. Paksaan ini adalah model elitisme.
Model eltisme ini berasumsi bahwa setiap
masyarakat tidak pernah terdapat distribusi
kekuasaan secara merata. Mereka yang memiliki sumber kekuasaan politik jumlahnya
sedikit sekali apabila dibandingkan dengan
jumlah penduduk dalam masyarakat. Itulah
ISSN: 0216-9290
Negara dan Masyarakat Sipil
sebabnya, mengapa elit politik dirumuskan
sebagai kelompok kecil orang yang mempunyai pengaruh besar dalam pembuatan dan
pelaksanaan keputusan politik. Mereka inilah
yang menentukan arah dan haluan kebijakan
negara.
Berbeda dengan model elitis, model pluralis
berasumsi bahwa setiap individu menjadi
anggota satu atau lebih kelompok sosial atau
kekuatan sosial sesuai dengan aspirasi dan
kepentingan yang bersifat kultural dan ideologis. Ini menjadi wadah dalam memperjuangkan kepentingan anggota menjadi perantara anggotanya dan pemerintah selaku
pembuat dan pelaksana keputusan politik.
Sementara model kerakyatan berasumsi yang
mendasari model ini adalah demokrasi. Artinya bahwa partisipasi individu, warga negara
dalam proses dan pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik yang jelas akan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan individu dan
sosial masyarakat. Kunci utama demokrasi
sebagai suatu padangan hidup yaitu partisipasi individu yang telah dewasa dalam pembentukan nilai-nilai kepada masyarakat. Dalam
model ini terdapat perbedaan mengenai pandangan siapa yang dimaksud dengan rakyat.
Distribusi kekuasaan model kerakyatan ini
memiliki masalah dalam mendefenisikan rakyat. Terdapat perbedaan mengenai pandangan siapa yang dimaksud dengan rakyat
itu. Pendapat pertama yang mengatakan bahwa rakyat itu adalah individu warga negara,
sedangkan yang kedua memandang rakyat
adalah keseluruhan warga negara. Dalam
pandangan yang pertama, tampak dalam negara yang menerapkan sistem politik demokrasi liberal yang dibangun dengan berdasarkan dengan individualisme, sedangkan
pandangan yang kedua, tampak dalam negara-negara yang baru membebaskan diri
dari penjajah dan dalam negara-negara yang
menerapkan sistem sosialis (demokrasi rakyat). Pengertian kerakyatan, sebagai seluruh
warga dijelmakan dalam bentuk lembaga pemerintahan.
Dua perspektif untuk melihat peranan dimainkan negara pada saat berhubungan
dengan masyarakat sipil itu. Pertama adalah
pendekatan liberal klasik (pluralisme liberal).
Pendekatan ini memusatkan perhatiannya ke-
61
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010
P. Anthonius Sitepu
pada persoalan yang bersifat normative atau
cenderung kepada sifat yang idealisme yaitu
individu-individu yang kebebasannya untuk
mengejar kepentingan ekonomi maupun politiknya. Dalam pandangan seperti ini, dipercaya bahwa masyarakat akan mampu mengatur dirinya sendiri. Maka dengan demikian peran negara itu menurut padangan
ini sangat terbatas (reduksionis). Kedua,
pendekatan negara dalam perspektif Marxist.
Dalam pandangan seperti ini menolak premis
ataupun asumsi dasar yang dikemukakan
oleh pendekatan Liberal Klasik, terutama
pada fungsi normatif dari negara itu. Seperti
dalam perspektif Marxist yang memandang
bahwa secara ekslusif negara merupakan alat
penindas dari kelas-kelas sosial yang berkuasa.
Distribusi Kekuasaan, Masyarakat Sipil &
Peranan Negara
Sumber-sumber kekuasaan tidak pernah terdistribusikan secara merata dalam setiap sistem politik. Hal ini disebabkan karena kemampuan setiap orang itu bervariasi. Dalam
masyarakat yang struktur sosialnya masih
sederhana, distribusi kepemilikan sumbersumber relatif merata, sebab selain sumber
kekuasaan yang tersedia masih sederhana,
juga karena hubungan antara sesama dilandasi dengan prinsip kekeluargaan. Ketika sebuah masyarakat itu melakukan perubahan
dan modernisasi maka terjadi kesenjangan.
Hubungan kekuasaan yang lebih bersifat vertikal, menyebabkan distribusi kekuasan tidak
merata, sementara dalam masyarakat yang
sudah maju, distribusi sumber kekuasaan ditentukan oleh susunan masyarakat, tingkat
perkembangan penduduk, telekomunikasi, tipe birokrasi dan tingkat, jenis dan realitas
pengadaan barang dan jasa.
Konsep pembagian kekuasaan (trias politca)
telah diterapkan oleh banyak negara menganut paham demokrasi konstitusional dalam
penyelanggaraan pemerintahan. Pada awalnya, konsep pembagian kekuasaan ini muncul sebagai kritik terhadap kesewenang-wenangan (kekuasaan monarki absolut) kebanyakan di negara-negara Eropa Barat. Untuk
pertama sekalinya seorang filosof Perancis
yang bernama Montesquie (1728) -yang sebelumnya adalah John Locke- menekankan
pada pemisahan kekuasaan (Separation of
62
ISSN: 0216-9290
Negara dan Masyarakat Sipil
power) untuk tidak mengulang kesewenangwenangan kekuasaan dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara. Fungsinya dibagi ke
dalam tiga bidang: (1).Fungsi Legislatif (The
Rule of Making Policy ); (2).Fungsi Eksekutif (The Rule of Application Policy); (3).Fungsi Judikatif (The Rule of Adjudication
Policy).
Latar belakang dan proses panjang pembagian kekuasaan dalam politik di Eropa Barat
yaitu pasca suasana abad 15/16 di mana
wilayah benua Eropa diselimuti oleh Suasana
pemerintahan Monarki Absolut (Raja) dengan kekuasaan mutlak. Artinya bahwa kekuasaan berada ditangan satu orang yaitu
pada kekuasaan raja atau dikenal dalam istilah Absolutisme. Kekuasaan Raja tidak terbatas akan memiliki kecenderungan disalahgunakan. Ini disebabkan karena dalam mengambil keputusan seorang Raja lebih banyak
diwarnai oleh sifat perasaanya (Feeling),
emosionalitas (like) senang atau tidak senang
(like or dislike) dari pada kearifan rasional.
Tampaknya pemikiran inilah kiranya yang
kemudian lebih lanjut dianut oleh Negara-negara yang mempunyai sistem politik atau pemerintahan yang demokratis (demokrasi).
Dalam konteks ini Montesquie berpendapat
bahwa kekuasaan itu harus dibagi-bagikan ke
dalam tiga organ dengan berdasarkan fungsinya secara terpisah. Kekuasaan legislative adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang dan kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang
(The Rule Application Policy) yang telah dibuat oleh badan legislative. Dan kekuasaan
Yudikatif (the rule adjudication) adalah kekuasaan pengadilan pelanggaran terhadap undang-undang.
Dalam teori trias politica atau dalam konsepsi Trias Politica kekuasaan itu harus dipisahkan (kekuasaan negara) ke dalam tiga
bagian. Doktrin ini sangat besar pengaruhnya
terhadap kehidupan politik di AS khususnya
dalam pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU). Ketiga lembaga itu ternyata
tidak selaras dengan dasar pemikiran politiknya. Oleh sebab itu yang terjadi adalah
suasana Check and Balances (pengawasan
dan keseimbangan). Jadi dapat dikatakan
bahwa pemikiran politik tentang teori pemisahan kekuasaan Monstesquie telah me-
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010
P. Anthonius Sitepu
ngalami modifikasi dan orang lebih cenderung hanya memilih karekternya dan prinsip dasarnya yaitu pembagian kekuasaan
(distribution of power).
Dalam konteks Indonesia gagasan masyarakat sipil (civil society) memiliki signifikansi
sosial dan politik sangat besar. Sistem kekuasaan di Indonesia khususnya pada masa Orba
memperlihatkan kecenderungan hegemonik
dan otoritarian. Negara bersama-sama pelaku
ekonomi memegang kontrol dominan di
hampir seluruh proses kehidupan politik kenegaraan. Dalam hal ini, peranan masyarakat
sipil (civil society) sebagaimana yang dikembangkan oleh Alexis de Tocquiville sebagai
kekuatan pengimbang kekuatan negara. Konsep ini agaknya lebih dekat dengan konsepsi
yang dikemukakan oleh Hegel yang memandang masyarakat sipil (civil society) sebagai
gejala sosial di dalam masyarakat modern.
Dengan menggunakan pemahaman Tocquiville diatas dalam pengertian sosiologis masyarakat sipil (civil society) di Indonesia mengalami masa pertumbuhannnya ketika terjadi proses formasi sosial baru dalam masyarakat kolonial menyusul diperkenalkannya sistem ekonomi kapitalis dan birokrasi modern.7 Formasi sosial seperti itu semakin
diperburuk lagi manakala gagasan negara kuat dianut dalam sistem politik Indonesia sejak
periode sistem politik demokrasi terpimpin.
Sistem ini kemudian dilaksanakan sepenuhnya oleh orde baru selama lebih dari tiga dasawarsa. 8 Realitas politik Indonesia ini, kalau
ditempatkan di dalam konstruksi studi dan
perpspektif pendekatan masyarakat sipil
(civil society) adalah semacam reaksi terhadap pendekatan dari analisis politik yang
menggunakan pendekatan negara (statist approach) yaitu, sebuah pendekatan mainstream yang mendominasi wacana negara-masyarakat (state-society) sepanjang lebih dari
tiga dasawarsa. Orde Baru memandang eksistensi negara sebagai faktor penting dan menentukan bagi berlangsungnya proses politik
di Indonesia.
7
Muhammad AS Hikam, Islam, Demokrasi dan
Pemberdayaan Civil Society, (Jakarta: Erlangga,
2000), hal. 118.
8
Ignas Kleden, Masyarakat dan Negara, (Magelang: Indonesia, 2004), hal. 122.
ISSN: 0216-9290
Negara dan Masyarakat Sipil
Pada masa Orde Baru Negara memang menjalankan peran yang sangat besar dalam menentukan berbagai sektor kehidupan sosial
politik dan ekonomi. Namun demikian, muncul respons, reaksi bahkan tuntutan bagi peninjauan kembali paradigma pendekatan politik yang dipergunakan. Dalam berbagai kasus di negara-negara berkembang bahwa sistem otoritarianisme tampaknya tidak berjalan
langgeng. Ada peran serta masyarakat diluar
institusi yang tidak puas dengan sistem
tersebut. Munculnya pendekatan masyarakat
sipil yang dianggap sebagai counter discourses terhadap akibat dari pengaruh institusi
negara yang sangat kuat sebagaimana senantiasa tercemin dalam kajian teori negara yang
pada umumnya dipergunakan untuk memahami realitas politik Indonesia. Karena itu
pendekatan masyarakat sipil harus dilihat
sebagai upaya membalikkan pendekatan atau
perhatian dari penekanan pada peran negara
ke masyarakat. 9
Dalam realitas politik selama 32 tahun, Orde
Baru berhasil membangun dan mempertahankan kekuasaan negara yang bersifat sentralistik. Selama itu pula negara menikmati
dan menjaga penuh otonomi serta selalu
berupaya memaksakan kepentingannya terhadap masayarakat sipil. Jaringan masyarakat terutama lembaga eksekutif berkembang
menjadi alat yang efektif dalam mengelola
dan manajemen memobilisasi politik yang
mendukung berbagai kebijakan negara. Dengan demikian berbagai aturan (regulasi) perundang-undangan dan prosedur penataan kehidupan politik negara menghambat dan mengontrol pertumbuhan dan gerak masyarakat
sipil. 10 Negara yang dominan dan hegemonik
terhadap wacana dan praksis politik dengan
sendirinya membuat komponen gerakan masyarakat sipil (civil society) mengalami kesulitan dalam mengembangkan otonominya
dalam proses pembangunan politik dan
partisipasi politik masyarakat.
Dominasi Negara yang Kuat
Tema hubungan antara negara dan masyarakat sipil menjadi aktual dalam pemikiran
dan penelitian ilmu-ilmu sosial-politik sejak
pertengahan tahun 1980-an. Perbedaan bah9
Adi Suryadi Culla, op.cit., hal. 57-60.
Ibid., hal. 61.
10
63
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010
P. Anthonius Sitepu
kan pertentangan kepentingan-kepentingan
antara negara dan masyarakat sipil sebagai
dua elemen politik yang memiliki preferensi
dan prioritas yang berbeda. 11 Dalam konteks
Indonesia fenomena yang ada menunjukkan
bahwa negara mempunyai posisi dan peranan
yang sedemikian penting sampai-sampai merugikan inisiatif dan bahkan mematikan
peran masyarakat. 12
Pengaruh besar dari negara seperti itu kemudian dapat dijelaskan dengan melalui 2
konsep dasar yaitu, dominasi negara dan hegemoni negara. Dominasi negara muncul karena negara itu memiliki kekuasaan lebih
(surplus power) baik melalui birokrasi maupun dengan melalui monopoli kekerasan oleh
negara (state monopoly of violence’s control)
yang menurut pengertian Max Weber, terwujud dalam lembaga-lembaga militer dan polisi. Ini artinya, negara memiliki daya paksa
secara fisik dan administratif.
Selain itu dominasi negara juga diprelukan
atau diperkuat karena negara juga menguasai
nilai-nilai lebih (surplus value) dengan melalui etatisme dalam bidang ekonomi dimana
kontrol ekonomi bersifat langsung. Kontrol
ekonomi oleh negara terjadi dengan melalui
penguasaan lisensi untuk proyek-proyek
pembangunan melalui regulasi dan birokrasi. 13 Jika menggunakan istilah atau konsep
dari filosof Louis Slthausser maka dominasi
negara dapat terwujud dengan melalui bantuan dari “repressive state apparatus”. Namun
dalam ditingsi yang lebih dipertajam biasanya dikatakan bahwa dominasi penguasaan
yang lebih cenderung pada sifat pemaksaan
(coercive) karena orang yang secara fisik
atau administrative diharuskan melakukan
sesuatu sekalipun yang bersangkutan sendiri
barangkali tidak suka melakukannya. 14
Sementara itu istilah dan konsep hegemonik
negara menunjukkan penguasaan negara terhadap makna lebih (surplus meaning). Ini artinya bahwa pengertian umum tentang soalsoal yang terpenting dan interpretasi budaya
oleh masyarakat telah sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan dan interpretasi
11
Ignas Kleden, ibid., hal. XIII.
Ibid.
13
Ibid., hal. XIV-XXV.
14
Ibid., hal. XXV.
ISSN: 0216-9290
Negara dan Masyarakat Sipil
negara sehingga suatu pengertian atau tafsiran tidak dilibatkan dalam konsistensi publik antara pihak-pihak yang bertanding pada
suatu tataran yang setaraf, akan tetapi cenderung diversikasi dengan berdasarkan kesesuaian atau penyimpangannya dari pihak negara. Contoh yang paling nyata adalah pemahaman warga negara tentang pancasila sebagai
dasar filfasat Negara Republik Indonesia telah dibuat seragam sesuai dengan interpretasi
Negara Orba dengan melalui indoktrinasi P-4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila). Maka dalam konteks ini hegemoni negara itu adalah pemaksaan secara liberal. Karena yang bersangkutan seakan-akan
sukarela melakukan sesuatu dalam pemikiran
dan cara berpikirnya setelah diarahkan sedemikian rupa. Akibatnya muncul kecenderungan untuk mengatakan suatu pandangan
tertentu, tanpa dia sendiri menyukainya. 15
Menurut pandangan Althouser, hegemoni
Negara seperti itu dapat diperoleh dengan
melalui Idiological State Appratus. 16
Terkait dengan hal tersebut diatas, seperti
yang dikemukakan oleh Max Weber, negara
dapat dilihat sebagai organized domination.
Terdapat tiga kemungkinan hubungan negara
dan masyarakat sipil, yaitu: (1).mengembangkan struktur negara, yang oleh Antonio
Gramsci disebut sebagai pola Hegemoni atas
kekuatan-kekuatan masyarakat; (2).membangun kekuatan pemaksa (coercive power of
the state) sehingga tidak ada ruang bagi warganya untuk menentang kecuali taat (loyal)
pada apa yang dikehendaki oleh negara;
(3).negara dianggap mengalami kegagalan
untuk menguasai masyarakat sipil bilamana
terdapat sebuah resistensi yang efektif di dalamnya.
Penutup
Negara dan masyarakat sipil adalah dua elemen politik yang sangat penting dalam perspektif ilmu politik. Keduanya, baik negara
dan masyarakat sipil, merupakan konsep
yang berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Konsep negara yang lebih dahulu ada dari konsep masyarakat sipil, adalah
konsep yang terkait dengan peranannya
ditengah-tengah masyarakat. Konsep masya-
12
64
15
16
Ibid., hal. XXIV
Ibid.,, hal. XXVI
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010
P. Anthonius Sitepu
rakat sipil sendiri muncul sebagai respon dari
peranan negara yang terlalu dominan di masyarakat. Oleh sebab itu ada tiga kemungkinan bagaimana hubungan negara dan masyarakat sipil dalam politik. Pertama, hubungan
masyarakat sipil berdiri sebagi perisai bagi
masyarakat dan perilaku negara yang cenderung hegemonik, otoritarian dan represif. Kedua jika negara tidak hegemonik, masyarakat
sipil (civil society) muncul sebagai mitra negara dalam melaksanakan kepentingan publik. Ketiga bila kehidupan publik telah diakomodasi secara baik oleh negara, masyarakat
sipil (civil society) dapat memainkan fungsinya secara komplementer di mana masyakat
sipil muncul untuk melengkapi kebutuhankebutuhan masyarakat. Dalam kenyataannya
Pola hubungan yang pertama menjadi ciri
khas negara berkembang atau dalam proses
menuju demokrasi. Masyarakat sipil menghadapi hegemoni dan dominasi negara. Pola
kedua dan ketiga terdapat di negara maju
atau negara yang sudah memiliki sistem politik demokrasi yang terkonsolidasi. Kontrol
ISSN: 0216-9290
Negara dan Masyarakat Sipil
kelembagaan telah berjalan baik dan partisipasi publik serta kesadaran politik masyarakat sudah mengalami peningkatan menjadi
kesadaran nasional. Pola yang terakhir inilah
pola yang ideal yang harus dicapai dalam
tatanan kehidupan politik setiap negara.
Daftar Pustaka
Ali, Mukti. 1996. Alam Pikiran Islam Modern di
India dan Pakistan. Bandung: Mizan.
Culla, Adi Surjadi. 2006. Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia.
Jakarta: LP3ES.
Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia: Transisi
Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hikam, Muhammad AS. 2000. Islam, Demokrasi
dan Pemberdayaan Civil Society. Jakarta:
Erlangga.
Prasetyo, Hendro (ed.). 2002. Islam dan Civil Society. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2002.
Kleden, Ignas. 2004. Masyarakat dan Negara.
Magelang: Indonesia. 2004.
65
Download