ARTI PENTING INTELIGENSI DALAM DUNIA

advertisement
ARTI PENTING INTELIGENSI DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Oleh: Rahmawati, S.pd.
Pendahuluan
Dalam bidang pendidikan inteligensi dimanfaatkan untuk mengetahui sejauh
mana prestasi belajar yang dapat dicapai oleh individu, untuk penyesuaian dalam
sekolah, jurusan, dan perlakuan kepada subjek didik. Dalam penerimaan tes untuk
masuk atau melanjutkan pendidikan serta masuk di suatu bidang kerja pun saat ini
salah satunya melalui tes inteligensi. Individu dalam menyelesaikan masalah,
apakah cepat atau lambat, faktor yang turut menentukan adalah faktor inteligensi
dari individu yang bersangkutan. (Walgito, 2010:210)
Inteligensi dan keberhasilan dalam pendidikan adalah dua hal yang saling
berkaitan. Di mana biasanya anak yang memiliki inteligensi yang tinggi dia akan
memiliki prestasi yang membanggakan di kelasnya, dan dengan prestasi yang
dimilikinya ia akan lebih mudah meraih keberhasilan.
Ada ragam pendapat mengenai inteligensi. Bagi kaum awam, inteligensi
dianggap unsur mutlak dalam menentukan kecerdasan seseorang.
Inteligensi
sering juga disamakan dengan IQ. Beberapa pertanyaan umum yang sering muncul
berkaitan dengan inteligensi misalnya: apakah inteligensi itu dan dapatkah
inteligensi ditingkatkan, serta apakah tes inteligensi menjadi patokan kecerdasan
seseorang?
Melihat betapa pentingnya manfaat inteligensi sebagaimana disebutkan, dan
adanya ragam pendapat, anggapan serta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
umum mengenai inteligensi di atas, pada artikel ini akan diuraikan hakikat
inteligensi, pengukuran, faktor-faktor yang mempengaruhi, teori, pengaruh
inteligensi pada belajar, dan implikasinya dalam pendidikan atau pembelajaran.
1
A. Hakikat Inteligensi
Perkataan
inteligensi
dari
kata
latin
intelligere
yang
berarti
mengorganisasikan, menghubungkan atau menyatukan satu dengan yang lain (to
organize, to relate, to bind together). Istilah inteligensi kadang-kadang atau justru
sering memberikan pengertian yang salah, yang memandang inteligensi sebagai
kemampuan yang mengandung kemampuan tunggal, padahal menurut para ahli
inteligensi mengandung bermacam-macam kemampuan. Namun demikian
pengertian inteligensi itu sendiri memberikan berbagai macam arti bagi para ahli.
Menurut panitia istilah padagogik (Walgito, 2010:210) yang mengangkat
pendapat Stern yang dimaksud dengan inteligensi adalah “daya menyesuaikan diri
dengan keadaan baru dengan menggunakan alat-alat berpikir menurut tujuannya”.
Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa Stern menitikberatkan masalah inteligensi
pada soal adjustment atau penyesuaian diri terhadap masalah yang dihadapinya.
Pada orang yang inteligen akan lebih cepat dalam menyelesaikan masalah-masalah
baru apabila dibandingkan dengan orang yang kurang inteligen. Dalam
menghadapi masalah atau situasi baru orang yang inteligen akan cepat dapat
mengadakan adjustment terhadap masalah atau situasi yang baru tersebut.
Thorndike (Walgito, 2010:211) mengemukakan pendapatnya bahwa orang
dianggap inteligen apabila responnya merupakan respon yang baik atau sesuai
terhadap stimulus yang diterimanya.
Terman (Walgito, 2010:211) memberikan
pengertian inteligensi sebagai
ability yang berkaitan dengan hal-hal yang kongkrit dan ability yang berkaitan
dengan hal-hal yang abstrak. Individu itu inteligen apabila dapat berpikir secara
abstrak secara baik. Ini berarti bahwa apabila individu kurang mampu berpikir
abstrak, individu bersangkutan inteligensinya kurang baik.
C.P. Chaplin (Yusuf, 2006:106) mengartikan inteligensi itu sebagai
kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat
dan efektif.
Anita E. Woolfolk (Yusuf, 2006:106) mengemukakan bahwa menurut teoriteori lama, inteligensi itu meliputi tiga pengertian, yaitu (1) kemampuan untuk
belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk
2
beradaptasi secara berhasil dengan situasi atau lingkungan pada umumnya.
Selanjutnya Woolfolk mengemukakan inteligensi itu merupakan satu atau
beberapa kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam
rangka menyelesaikan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan
Clarrade dan Stern (Arisandy, 2006:1) berpendapat bahwa inteligensi adalah
menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru.
David Wechsler (Arisandy, 2006:1) mengartikan inteligensi sebagai
kumpulan atau totalitas kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara
rasional dan menghadapi lingkungan secara efektif.
Banyak tokoh yang mendeskripsikan inteligensi sebagai kemampuan
individu memecahkan masalah (problem solving) dan ada juga pakar yang
mendeskripsikan inteligensi sebagai kemampuan beradaptasi dan belajar dari
pengalaman sehari-hari. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa Inteligensi ialah
kemampuan individu dalam mendayagunakan potensi yang ada pada dirinya
sebagai upaya memecahkan suatu permasalahan untuk beradaptasi pada
lingkungannya.
B. Pengukuran Inteligensi
Masing-masing individu berbeda-beda dalam segi inteligensinya. Untuk
dapat mengetahui taraf inteligensi seseorang, orang menggunakan tes inteligensi.
Dengan tes inteligensi diharapkan dapat mengungkap inteligensi seseorang, akan
dapat diketahui tentang keadaan tarafnya.
Ahli yang dipandang pertama menciptakan tes inteligensi adalah Binet. Tes
inteligensi Binet disusun pertama kali di tahun 1905 yang kemudian mendapatkan
revisi baik dari Binet sendiri maupun dari para ahli. Tahun 1949 diciptakan
Wechsler Intelligence Scale for Children atau tes WISC, yang khusus
diperuntukkan anak-anak. Selanjutnya di tahun 1955 Wechsler menciptakan tes
inteligensi untuk orang dewasa yang dikenal dengan Wechsler Adult Intelligence
Scale yang dikenal dengan tes WAIS.
Tes inteligensi terus mengalami perkembangan. Beberapa jenis alat tes yang
digunakan untuk mengukur inteligensi yang dikenal sebagai berikut.
3
1. Tes Inteligensi berdasarkan usia
a. Tes inteligensi untuk anak-anak
: WPPSI, WISC, CPM, TES BINET
b. Tes inteligensi untuk dewasa
: WBIS, WAIS, IST, FRT, SPM,
APM, PM-60, CFIT
2. Tes Inteligensi berdasarkan jumlah peserta
a. Tes inteligensi individual
: WPPSI, WISC, WBIS, WAIS,
BINET
b. Tes inteligensi kelompok
: CPM, IST, FRT, SPM, APM, PM60, CFIT
3. Tes Inteligensi berdasarkan aspek-aspek yang dapat diungkap
a. Penalaran verbal
b. Penalaran kuantitatif
c. Penalaran visual abstrak
d. Memori
e. Sequantial Processing Scale
f. Simultaneous Processing Scale
Pembicaran mengenai tes inteligensi secara mendalam dikaji khusus dalam
psikodiagnostik dimana seorang psikolog dan atau orang yang ahli/berkompeten
dalam pelaksanaanya.
Unit skala yang digunakan untuk menunjukkan skor inteligensi ini disebut IQ
(Intelligence Quotient). Berdasarkan hasil pengukuran atau tes inteligensi terhadap
sampel yang dipandang mencerminkan populasinya, maka dikembangkan suatu
sistem norma ukuran kecerdasan sebaran berikut.
Tingkatan Inteligensi
IQ (Intelligence Quotient)
Klasifikasi
140- ke atas
Jenius
130 – 139
Sangat cerdas
120 – 129
Cerdas
110 – 119
Di atas normal
90 – 109
Normal
80 – 89
Di bawah normal
4
70 – 79
Bodoh
50 – 69
Terbelakang (Moron/Debil)
49 ke bawah
Terbelakang (Imbecile/ dan Idiot)
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inteligensi
Seperti yang telah kita ketahui bahwa setiap individu memiliki tingkat
inteligensi yang berbeda. Adanya perbedaan tersebut dapat diketahui bahwa
inteligensi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut (Senjaya, 2010).
1. Pengaruh faktor bawaan
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang
berasal dari suatu keluarga, atau bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka
berkolerasi tinggi (+ 0,50), orang yang kembar (+ 0,90) yang tidak bersanak
saudara ( + 0,20), anak yang diadopsi korelasi dengan orang tua angkatnya ( +
0,10 – + 0,20 ).
2. Pengaruh faktor lingkungan
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Oleh
karena itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi dengan inteligensi
seseorang. Pemberian makanan bergizi ini merupakan salah satu pengaruh
lingkungan yang amat penting selain guru, rangsangan-rangsangan yang
bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat
penting, seperti pendidikan, latihan berbagai keterampilan, dan lain-lain
(khususnya pada masa-masa peka).
3. Stabilitas inteligensi dan IQ
Inteligensi bukanlah IQ. Inteligensi merupakan suatu konsep umum
tentang kemampuan individu, sedang IQ hanyalah hasil dari suatu tes
inteligensi itu (yang notabene hanya mengukur sebagai kelompok dari
inteligensi). Stabilitas inteligensi tergantung perkembangan organik otak.
4. Pengaruh faktor kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan
perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang
jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya.
5
5. Pengaruh faktor pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi.
6. Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan
dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan
(motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar.
7. Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode
yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai
kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan
kebutuhannya.
Semua faktor tersebut di atas bersangkutan satu sama lain. Untuk
menentukan inteligensi seorang anak, kita tidak dapat hanya berpedoman kepada
salah satu faktor tersebut, karena inteligensi adalah faktor total. Keseluruhan faktor
turut serta menentukan dalam inteligensi seseorang.
Inteligensi dapat ditingkatkan walaupun peningkatan tidak menghasilkan
skor yang signifikan (pada range yang sama). Inteligensi dapat ditingkatkan pada
masa perkembangan bukan pada masa pembentukan. Maksudnya ialah inteligensi
dapat ditingkatkan ketika seseorang sudah berada pada tahap dapat berpikir secara
abstrak bukan pada tahap dimana anak masih berpikir secara kongkrit (nyata).
Inteligensi dapat ditingkatkan melalui stimulus lingkungan, gizi/nutrisi, dan
ketika memasuki masa golden age (5 tahun pertama) si anak diberi stimulusstimulus yang dapat membangkitkan daya pikir dan daya nalar terhadap suatu
objek atau hal-hal tertentu. Peningkatan inteligensi tidak berkaitan dengan
genetika namun dipengaruhi oleh stimulus-stimulus yang diberikan lingkungan.
Penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik saja tidak cukup bagi
seseorang untuk mengembangkan kecerdasannya secara maksimal. Justru peran
orang tua dalam memberikan latihan-latihan dan lingkungan yang mendukung jauh
lebih penting dalam menentukan perkembangan kecerdasan seorang anak. Jadi
untuk menjamin anak yang berhasil, kita tidak bisa menggantungkan pada sukses
6
sekolah semata. Kedua orang tua harus berusaha sebaik mungkin untuk
menentukan dan mengembangkan sebanyak mungkin kecerdasan yang dimiliki
oleh masing-masing anak. Sebaliknya, lingkungan yang buruk dapat saja
mengubah inteligensi seseorang yang semata-mata karena ia berada dalam didikan
lingkungan tersebut (Komorita dalam Azwar, 2004:87).
Dari penelitian di atas menunjukkan bahwa inteligensi seseorang dapat
mengalami perubahan, baik meningkat maupun menurun karena faktor
lingkungan.
D. Teori Inteligensi
1. Teori “Two Factors”
Teori ini dikemukakan oleh Charles Spearmen (Yusuf, 2006:107). Dia
berpendapat bahwa inteligensi itu meliputi kemampuan umum yang diberi
kode “G” (general factors), dan kemampuan khusus yang diberi kode “S”
(specific factors). Setiap individu memiliki kedua kemampuan ini yang
keduanya menentukan penampilan atau perilaku mentalnya.
a. Faktor umum (G), general factor
Faktor G, mencakup semua kegiatan intelektual yang dimiliki oleh setiap
orang dalam berbagai derajat tertentu. Contohnya penyanyi, orang yang
mempunyai suara yang merdu dengan musikalitas yang tinggi tanpa
latihan. General factor mempunyai beberapa karakteristik, antara lain
sebagai berikut:
1) Merupakan kemampuan umum yang dibawa sejak lahir
2) Bersifat konstan
3) Dipergunakan dalam setiap kegiatan individu
4) Jumlah faktor G setiap individu berbeda
5) Semakin besar jumlah G yang ada dalam diri seseorang, maka makin
besar kemungkinan kesuksesan hidupnya
b.
Faktor khusus (S), specific factors
Faktor S, mencakup berbagai faktor khusus tertentu yang relevan dengan
tugas tertentu. Contohnya pianis, dengan latihan yang giat setiap orang
7
dapat bermain piano dengan baik. Atau seorang ahli matematika, dengan
terus menerus berlatih mengerjakan soal-soal matematika seseorang akan
dapat mengerjakan soal dengan baik. Specific factor mempunyai beberapa
karakteristik, antara lain sebagai berikut:
1) Dipelajari dan diperoleh dari lingkungan
2) Bervariasi dari kegiatan yang satu dengan lainnya dari individu yang
sama
3) Jumlah muatan S pada tiap-tiap individu berbeda
Kedua faktor di atas terkadang tumpang tindih dan terkadang pula
terlihat berbeda. Menurut Spearman, faktor G lebih banyak mewakili segi
genetis dan faktor S lebih banyak diperoleh melalui latihan dan
pendidikan. Kedua faktor diatas sangat penting untuk melihat kemampuan
individu saat berpindah dari situasi satu ke situasi yang lainnya.
2. Teori “Primary Mental Abilities”
Teori ini dikemukakan oleh Thurstone (Yusuf, 2006:107). Thurstone
berpendapat bahwa inteligensi merupakan penjelmaan dari kemampuan
primer, yaitu (a) kemampuan berbahasa: verbal comprehension; (b)
kemampuan mengingat: memory; (c) kemampuan nalar atau berpikir logis:
reasoning; (d) kemampuan tilikan ruang; spatial factor; (e) kemampuan
bilangan: numerical abilty; (f) kemampuan menggunakan kata-kata: word
fluency; dan (g) kemampuan mengamati dengan cepat dan cermat: perceptual
speed.
3. Teori “Multiple Intelligence”
Teori ini dikemukakan oleh J.P. Guilford dan Howard Gardner (Yusuf,
2006:107). Guilford berpendapat bahwa inteligensi itu dapat dilihat dari tiga
kategori dasar atau “faces of intellect”, yaitu sebagai berikut.
a. Operasi Mental (Proses Berpikir)
b. Content (Isi yang Dipikirkan)
c. Product (Hasil Berpikir)
Tokoh berikutnya dari teori multiple intelligence ini adalah Howard Gardner
(Yusuf, 2006:108). Gardner membagi inteligensi itu dalam 7 jenis, yaitu:
8
a. Logical-Mathematical (Kepekaan dan kemampuan untuk mengamati polapola logis dan bilangan serta kemampuan untuk berpikir rasional/logis)
b. Linguistic (Kepekaan terhadap suara, ritme, makna kata-kaata, dan
keragaman fungsi-fungsi bahasa)
c. Musical (Kemampuan untuk menghasilkan dan mengapresiasikan ritme.
Nada, dan bentuk-bentuk ekspresi musik)
d. Spatial (Kemampuan mempersepsi dunia ruang-visual secara akurat dan
melakukan transformasi persepsi tersebut)
e. Bodily Kinesthetic (Kemampuan untuk mengontrol gerakan tubuh dan
menangani objek-objek secara terampil)
f. Interpersonal (Kemampuan untuk mengamati dan merespon suasana hati,
temperamen, dan motivasi orang lain)
g. Intrapersonal (Kemampuan untuk memahami perasaan, kekuatan dan
kelemahan, serta inteligensi sendiri).
Dalam buku terbarunya, “Intelligence Reframed : Multiple Intelligence for
The 21st Century” (1999), Howard Gardner (Badruddin, 2009) menjelaskan 8
kecerdasan yang tersimpan dalam otak manusia. Ada penambahan satu dari
tujuh jenis kecerdasan/keahlian sebelumnya, yaitu keahlian naturalis (Cerdas
Alam/Nature Smart): kemampuan mengamati pola-pola alam, memahami
sistem alam, dan sistem-sistem buatan manusia.
Mengembangkan kecerdasan majemuk anak merupakan kunci utama
untuk kesuksesan masa depan anak. Peran orang tua dalam memberikan
latihan-latihan dan lingkungan yang mendukung jauh lebih penting dalam
menentukan perkembangan kecerdasan seorang anak. Jadi jelaslah bahwa
kecerdasan, yang biasanya diukur dengan skala IQ, memang bukan elemen
tunggal atau tiket menuju sukses (John Wareham dalam Badruddin, 2009).
4. Teori “Triachic of intelligence”
Teori ini dikemukakan oleh oleh Robert Stenberg (Yusuf, 2006:109).
Teori ini merupakan pendekatan proses kognitif untuk memahami inteligensi.
Stenberg mengartikannya sebagai suatu deskripsi tiga bagian kemampuan
mental (proses berpikir, mengatasi pengalaman atau masalah baru, dan
9
penyesuaian terhadap situasi yang dihadapi) yang menunjukkan tingkah laku
inteligen. Dengan kata lain, tingkah laku inteligen itu merupakan produk
(hasil) dari penerapan strategi berpikir, mengatasi masalah-masalah baru
secara kreatif dan cepat, dan penyesuaian terhadap konteks dengan
menyeleksi dan ber-adaptasi dengan lingkungan.
Uraian di atas menjelaskan inteligensi dalam ukuran kemampuan intelektual
atau tataran kognitif. Pandangan lama menunjukkan bahwa kualitas inteligensi
yang tinggi dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan individu
dalam belajar atau meraih kesuksesan dalam hidupnya. Menurut Goleman (Yusuf,
2006:113), saat ini telah berkembang pandangan lain yang menyatakan bahwa
faktor yang paling dominan mempengaruhi keberhasilan individu bukan sematamata ditentukan oleh tingginya kecerdasan intelektual, tetapi oleh faktor
kemantapan emosional yang oleh ahlinya, yaitu Daniel Goleman disebut
Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional).
Berdasarkan pengamatannya, banyak orang yang gagal dalam hidupnya
bukan karena kecerdasan intelektualnya rendah, namun karena mereka kurang
memiliki kecerdasan emosional. Tidak sedikit orang yang sukses dalam hidupnya
karena
mereka
memiliki
kecerdasan
emosional
meskipun
kecerdasan
intelektualnya hanya pada tingkat rata-rata (Yusuf, 2006:113).
Kecerdasan
emosional
ini merujuk kepada kemampuan-kemampuan
kesadaran diri, mengendalikan diri (mengelola emosi),
memotivasi diri (me-
manfaatkan emosi secara produktif), dan berempati, dan membina hubungan.
E. Pengaruh Inteligensi pada Belajar
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran masalah inteligensi merupakan
salah satu masalah pokok. Oleh karena itu, peranan inteligensi dalam proses
pendidikan ada yang menganggap demikian pentingnya sehingga dipandang
menentukan dalam hal berhasil atau tidaknya seseorang dalam hal belajar,
sedangkan pada sisi lain ada juga yang menganggap bahwa inteligensi tidak terlalu
mempengaruhi dalam hal belajar.Namun, pada umumnya orang berpendapat
10
bahwa inteligensi merupakan salah satu faktor penting yang ikut menentukan
berhasil atau gagalnya belajar seseorang.
Menurut teori Binet dalam Sumadi Suryabrata (2004:133), sifat hakikat
inteligensi ada tiga macam, yaitu:
1.
Kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan (memperjuangkan)
tujuan tertentu. Makin cerdas seseorang, akan makin cakaplah dia membuat
tujuan sendiri, tidak menunggu perintah saja. Semakin cerdas seseorang, maka
dia akan makin tetap pada tujuan itu, tidak mudah dibelokkan oleh orang lain
dan suasana lain.
2.
Kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dengan maksud mencapai
tujuan. Jadi makin cerdas seseorang dia akan makin dapat menyesuaikan caracara menghadapi sesuatu dengan semestinya dan makin dapat bersikap kritis.
3.
Kemampuan untuk oto-kritik, yaitu kemampuan untuk mengkritik diri sendiri,
kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya. Makin cerdas
seseorang makin dapat dia belajar dari kesalahannya, kesalahan yang telah
dibuatnya tidak mudah di ulang lagi.
Seseorang yang memiliki inteligensi yang tinggi cenderung memiliki
perbedaan dan kelebihan dalam menanggapi sesuatu permasalahan demi mencapai
tujuannya. Pelajar yang memiliki inteligensi tinggi dalam proses belajar, dia akan
lebih mudah mengatasi masalahnya dan cenderung bisa mencapai tujuan
pembelajaran. Ini dikarenakan seorang pelajar yang memiliki inteligensi tinggi
cenderung bisa menentukan tujuannya tanpa harus mendapatkan bimbingan lebih
dari gurunya, dan dapat menyesuaikan dirinya untuk mencapai tujuan.
Selain itu, seorang pelajar yang memiliki inteligensi yang tinggi memiliki
kemampuan oto-kritik yang tinggi, sehingga dia bisa memperbaiki diri dari
kesalahan yang ada. Sebaliknya, seorang pelajar dengan inteligensi yang rendah
(pada tingkatan di bawah normal) tidak akan sama kemampuannya dalam kegiatan
belajar. Bagi seorang guru dengan diketahuinya inteligensi akan mempengaruhi
dalam perlakuan kepada subjek didik yang berbeda-beda tersebut.
Seiring dengan pendapat di atas, khadijah (2009:101) mengemukakan,
inteligensi seseorang diyakini sangat berpengaruh pada keberhasilan belajar yang
11
dicapainya. Berdasarkan hasil penelitian, prestasi belajar biasanya berkorelasi
searah dengan tingkat inteligensi. Artinya, semakin tinggi tingkat inteligensi
seseorang, maka semakin tinggi prestasi belajar yang dicapainya. Bahkan menurut
sebagian besar ahli, inteligensi merupakan modal utama dalam belajar dan
mencapai hasil yang optimal. Anak yang memiliki skor IQ di bawah 70 tidak
mungkin dapat belajar dan mencapai hasil belajar seperti anak-anak dengan skor
IQ normal, apalagi dengan anak-anak jenius.
Kenyataan menunjukkan bahwa setiap anak memiliki tingkat inteligensi
yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tampak memberikan warna di dalam kelas.
Selama menerima pelajaran yang diberikan oleh guru, ada anak yang dapat
mengerti dengan cepat apa yang disampaikan oleh guru, dan ada pula anak yang
lamban dalam menerima pelajaran, ada anak yang cepat dan ada yang lamban
dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Perbedaan individu dalam
inteligensi ini perlu diketahui dan dipahami oleh guru, terutama dalam
hubungannya dengan pengelompokan siswa. Selain itu, guru harus menyesuaikan
tujuan pembelajarannya dengan kapasitas inteligensi siswa. Perbedaan inteligensi
yang dimiliki oleh siswa membuat guru harus mengupayakan agar pembelajaran
yang ia berikan dapat membantu semua siswa dengan perlakuan metode yang
beragam (Khadijah, 2009:102).
Lebih lanjut Khadijah mengatakan (2009:103), perbedaan tersebut juga
tampak dari hasil belajar yang dicapai. Tinggi rendahnya hasil belajar yang dicapai
oleh siswa bergantung pada tinggi rendahnya inteligensi yang dimiliki. Meski
demikian, inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi
keberhasilan belajar seseorang. Seperti telah dikemukakan bahwa banyak sekali
faktor yang dapat mempengaruhinya. Yang terpenting dalam hal ini adalah guru
harus bijaksana dalam menyikapi perbedaan tersebut. ).
F. Implikasi dalam Pendidikan/Pembelajaran
Dalam perkembangannya inteligensi yang diimplikasikan dalam pendidikan
selalu dijadikan tolak ukur dalam keberhasilan pembelajaran, implikasi dalam
pendidikan menggunakan tes inteligensi yang tersusun sedemikian rupa. Menurut
12
Sumadi Suryabrata (2004:136) dalam penggunaan tes inteligensi orang bersifat
naif, yaitu menggunakan tes inteligensi tanpa mengingat kelemahan-kelemahan
yang mungkin terkandung di dalamnya. Tes inteligensi dianggap sebagai sesuatu
yang serba dapat menentukan, dan tes inteligensi juga dianggap dapat dipakai
sebagai dasar yang kuat dalam menentukan berbagai hal mengenai kemampuan
manusia. Kelemahan-kelemahan tes inteligensi tersebut secara lengkap menurut
Suryabrata (2004:140) sebagai berikut.
1.
Tes inteligensi tergantung pada kebudayaan
2.
Tes inteligensi hanya cocok untuk jenis tingkah laku tertentu
3.
Tes inteligensi hanya cocok untuk tipe kepribadian tertentu
4.
Perbandingan kecerdasan atau IQ yang merupakan hasil yang ditunjukkan
oleh tes inteligensi tidaklah semata-mata tergantung kepada keturunan.
Dalam pendidikan, inteligensi seseorang pelajar ditentukan berdasarkan
hasil tes inteligensi, baik itu hasil belajar seorang pelajar maupun dalam
penyaringan siswa baru. Selain itu tes inteligensi dalam dunia pendidikan dapat
digunakan jauh lebih luas lagi, tes inteligensi dapat digunakan dalam penggolongan pelajar, dan pemilihan/penentuan jurusan.
Anak yang memiliki inteligensi abnormal, baik sangat tinggi (superior)
maupun yang sangat rendah (inferior) sama-sama menimbulkan masalah bila
ditinjau dari dunia pendidikan. Pentingnya makna perbedaan individual,
khususnya dalam hal inteligensi, membawa kesadaran dalam dunia pendidikan
akan perlunya perlakuan khusus terhadap anak didik yang tergolong memiliki
tingkat inteligensi tidak biasa. Anak yang memiliki inteligensi begitu rendah
sehingga kemampuan belajarnya sangat terbatas memerlukan program khusus
yang memungkinkan mereka belajar dengan beban kecepatan yang sesuai dengan
keterbatasan mereka. Pada sisi lain, anak yang memiliki kemampuan superior pun
memerlukan program khusus yang memungkinkan mereka mengembangkan
segenap potensi lebih yang mereka punyai sehingga dapat mencapai prestasi yang
optimal dan tidak menimbulkan problem psikologis lain (Azwar, 2004:170).
Konsep kecerdasan ganda, bila dipahami dengan baik, akan membuat semua
guru memandang potensi anak lebih positif. Terlebih lagi, para guru pun dapat
13
menyiapkan sebuah lingkungan yang menyenangkan dan memberdayakan di
sekolah.
Untuk mengembangkan kecerdasan unik anak-anak lewat konsep ini, yang
dibutuhkan sebenarnya sudah tersedia di lingkungan sekitar. Di sekolah, anak bisa
diajak keluar kelas untuk mengamati setiap fenomena yang terjadi di dunia nyata.
Konsep Multiple Intelligences juga mengajarkan kepada anak bahwa mereka bisa
belajar apapun yang mereka ingin ketahui. Apapun yang ingin diketahuinya itu
dapat ditemui di dalam kehidupan nyata yang dapat mereka alami sendiri. Bagi
guru yang dibutuhkan hanya kreativitas dan kepekaan untuk mengasah
kemampuan anak. Guru juga harus mau berpikir terbuka, keluar dari paradigma
tradisional (bahwa kecerdasan hanya dilihat dari kemampuan intelektual/kognitif).
Soal manfaat lingkungan untuk membantu proses belajar ini, sudah diteliti
oleh beberapa orang peneliti kegiatan belajar. Ada Vernon A. Magnesen tahun
1983 dan sekelompok peneliti seperti Bobbi De Porter; Mark Reardon, dan Sarah
tahun 2000. Mereka menjelaskan bahwa kita sebenarnya mendapat pengetahuan
dari apa yang kita baca (10%), dari apa yang kita dengar (20%), dari apa yang kita
lihat (30%), dari apa yang kita lihat dan dengar (50%), dari apa yang kita katakan
(70%) dan dari apa yang kita katakan dan lakukan (90%).
Dari situ terlihat aktivitas seperti apa kita lebih banyak mendapatkan
pengetahuan? Tentunya dari yang kita lihat dan dengar serta dari praktik yang kita
lakukan. Belajar dengan menggunakan teori kecerdasan ganda bukan cuma
menegaskan “it’s how smart they are” tapi “It’s how they are smart!” Bukan
‘seberapa pintar anak’ tapi ‘bagaimana mereka bisa menjadi pintar’.
Setelah mengulas informasi tentang inteligensi ini, kepada para pendidik
hendaknya dapat memahami dengan baik tentang inteligensi yang sesungguhnya,
dan dapat memanfaatkan
serta mengimplikasikannya dalam pendidikan/
pembelajaran. Jadi, bukan masalah seberapa tinggi tingkat inteligensi seorang anak
tetapi seberapa besar usaha kita dalam memberdayakan inteligensi yang ada pada
diri pelajar seoptimal mungkin. Bagi masyarakat awam, agar dapat memahami apa
sebenarnya inteligensi dan manfaatnya.
14
SUMBER REFERENSI
Arisandy, Desy. 2006. Psikodiaknostik III-Inteligensi (Diktat). Palembang: Bina
Darma.
Azwar, Saifuddin. 2004. Pengatar Psikologi Inteligensi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Badruddin, Imam. Penerapan Konsep Multiple Inteligensi (Kecerdasan Majemuk)
dalam Pembelajaran Sebagai Upaya Mencerdaskan Bangsa.
imambadruddin.wordpress.com: TembolokMirip.
Khadijah, Nyanyu. 2009. Psikologi Pendidikan. Palembang: Grafika Telindo
Press.
Senjaya, Sutisna. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inteligensi (Artikel).
Sutisna.Com:Tembolok.
Suryabrata, Sumadi. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Walgito, Bimo. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.
Yusuf, Syamsu. 2006. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
15
Download