Gender dalam Tinjauan Tafsir

advertisement
Gender dalam Tinjauan Tafsir
102
Jurnal Ilmiah Kajian Gender
PENGHAPUSAN DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN
DALAM BIDANG PERKAWINAN MENURUT HAM DAN
HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA
Nurhasnah
Abstract
As a participating member of the United Nations approved the Universal
Declaration, Indonesia also ratified the provisions of the Declaration of
Human Rights and the Convention On The Elimination Off All Forms of
Discrimination Against Women with the enactment of Law No. 7 of 1984.
One of the conditions set forth in it is the elimination of discrimination
against women in the field of marriage. Furthermore, the Indonesian
government also has an obligation to implement the contents of the
declaration in its laws and regulations. This means that Indonesia implement
the provisions of legislation in the field of marriage law in Indonesia that are
relevant to the content of the convention. One positive effect of marriage law
in Indonesia is an Islamic marriage laws apply to Muslims in Indonesia who
are the majority of Indonesia's population.
Keywords: Human Rights, Elimination of Discrimination Against Women,
Islamic Law in Indonesia.
A. Pendahuluan
Persoalan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan sampai saat ini masih
menjadi permasalahan dalam masyarakat dan terus diperjuangkan
aktivis perempuan. Meskipun pada tahun 1948, Deklarasi Hak-Hak
Asasi Manusia telah memberikan pengakuan terhadap persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan, namun dalam kenyataannya, setelah
itu masih banyak terjadi perlakuan diskriminatif terhadap perempuan
dalam berbagai bidang. Oleh karena itu kemudian disusunlah
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan yang disahkan pada tahun 1979. Salah satu isi dari
103
Gender dalam Tinjauan Tafsir
konvensi tersebut adalah penghapusan diskriminasi dalam bidang
hukum keluarga, termasuk dalam bidang perkawinan.
Sebagai salah satu negara yang ikut menyetujui Deklarasi HakHak Asasi Manusia dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan, Indonesia juga ikut merealisasikan
kesepakatan tersebut dalam peraturan perundang-undangan yang ada
di Indonesia. Pemerintah menyesuaikan peraturan perundangundangan yang sudah ada dengan Deklarasi dan Konvensi tersebut,
membuat peraturan perundang-undangan baru merealisasikannya.
Berdasarkan hal itu maka seharusnya peraturan perundang-undangan
dalam bidang hukum perkawinan Islam di Indonesia juga
mencerminkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan
sekaligus menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan.
Tulisan ini akan membahas tentang penghapusan diskriminasi
terhadap perempuan dalam bidang perkawinan menurut HAM,
Convention On The Elimination Off All Forms of Discrimination
Against Women (Kovensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan) yang juga dikenal dengan
singkatan CEDAW dan peraturan-peraturan hukum perkawinan Islam
yang berlaku di Indonesia. Bagaimanakah ketentuan HAM, CEDAW
dan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia dalam masalah
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di bidang perkawinan?
Selanjutnya data tulisan ini diambil dengan cara mengkaji dan
membahas masalah
ini dari isi dari kedua bidang tersebut, yaitu:
Pertama, dari isi Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang
biasa disingkat dengan DUHAM dan Convention On The Elimination
Off All Forms of Discrimination Against Women (Kovensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) yang
juga dikenal dengan singkatan CEDAW. Kedua, dari peraturanperaturan hukum perkawinan Islam yang berlaku di Indonesia yaitu
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP Nomor 9 Tahun
1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
104
Jurnal Ilmiah Kajian Gender
B. Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Bidang
Perkawinan Menurut HAM dan Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia.
1. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan dalam Bidang
Perkawinan Menurut Hak-Hak Asasi Manusia
a. Pengakuan Persamaan Hak Asasi Manusia dan Penghapusan
Diskriminasi Terhadap Perempuan dalam Bidang Perkawinan
Menurut DUHAM
Beberapa prinsip telah menjiwai hak-hak asasi manusia
internasional. Prinsip-prinsip tersebut terdapat di hampir semua
perjanjian internasional dan diaplikasikan ke dalam hak-hak yang
lebih luas. Prinsip kesetaraan, pelarangan diskriminasi dan kewajiban
positif yang dibebankan kepada setiap negara digunakan untuk
melindungi hak-hak tertentu (Smith, at.al., 2008: h. 39).
Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Prinsip kesetaraan. Hal yang sangat fundamental dari hak asasi
manusia kontemporer adalah ide meletakkan semua orang terlahir
bebas dan memiliki kesetaraan dalam hak-hak asasi manusia.
2. Prinsip diskriminatif. Pelarangan terhadap diskriminasi adalah salah
satu bagian penting prinsip kesetaraan. Jika semua orang setara,
maka seharusnya tidak ada perlakuan yang diskriminatif (selain
tindakan firmatif yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan).
3. Kewajiban positif untuk melindungi hak-hak tertentu. Menurut
hukum hak asasi manusia internasional, suatu Negara tidak boleh
sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan.
Sebaliknya negara diasumsikan memiliki kewajiban positif untuk
melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhi hak-hak dan
kebebasan-kebebasan (Dirjend. HAM Depkum dan HAM RI, t.th.:
h. 48).
Berdasarkan hal tersebut maka penghapusan diskriminasi sangat
terkait dengan adanya persamaan hak. Persamaan hak baru akan
terwujud bila dalam pelaksanaannya tidak terjadi diskriminasi. Oleh
karena itu disamping keharusan adanya persamaan hak, maka
105
Gender dalam Tinjauan Tafsir
sekaligus seharusnya
diskriminasi.
juga
dilarang
dan
dihapuskan
adanya
Salah satu bentuk persamaan yang diatur dalam DUHAM adalah
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Hal ini juga berarti
harus ada penghapusan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan.
Persamaan hak juga harus dilakukan dalam bidang hukum. Salah satu
bidang penting yang terkait dengan pelaksanaan hak-hak asasi
manusia adalah bidang hukum keluarga, termasuk bidang perkawinan.
Kovensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan telah merumuskan pengertian diskriminasi
terhadap perempuan dalam pasal 1 sebagai berikut:
“Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah “diskriminasi
terhadap perempuan” berarti setiap pembedaan, pengucilan atau
pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang
mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hakhak azasi manusia dan kebebasankebebasan pokok di bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh
kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas
dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan (Dirjend. HAM
Depkum dan HAM RI, t.th.: h. 1).
Adanya pengakuan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi
Manusia terhadap hak-hak asasi setiap orang terdapat dalam pasal 2
sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang
tercantum dalam Deklarasi ini tanpa pembedaan dalam bentuk
apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
keyakinan politik atau keyakinan lainnya, asal usul kebangsaan
dan sosial, hak milik, kelahiran atau status lainnya. Selanjutnya,
pembedaan tidak dapat dilakukan atas dasar status politik,
hukum atau status internasional negara atau wilayah dari mana
seseorang berasal, baik dari negara merdeka, wilayah perwalian,
wilayah tanpa pemerintahan sendiri, atau wilayah yang berada di
bawah batas kedaulatan lainnya.“ (Dirjend. HAM Depkum dan
HAM RI, t.th.: h. 1).
106
Jurnal Ilmiah Kajian Gender
Selanjutnya dalam pasal 7 juga terdapat pengakuan atas
persamaan dalam hukum sebagai salah satu bentuk hak asasi bagi
setiap manusia, yaitu: “Semua orang sama di depan hukum dan berhak
atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun.
Semua orang berhak untuk mendapatkan perlindungan yang sama
terhadap diskriminasi apapun yang melanggar deklarasi ini dan
terhadap segala hasutan untuk melakukan diskriminasi tersebut.
“(Dirjend. HAM Depkum dan HAM RI, t.th.: h. 2).
Berdasarkan ketentuan kedua pasal di atas dapat dipahami
bahwa menurut DUHAM setiap orang berhak atas semua hak dan
kebebasan yang tercantum dalam deklarasi tersebut tanpa pembedaan
dalam bentuk apapun, diantaranya tidak boleh ada pembedaan dari
segi jenis kelamin. Oleh karena itu seharusnya ada persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan dan sebaliknya juga membawa
konsekwensi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Persamaan hak dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan
juga berlaku di dalam bidang hukum perkawinan.
Mengenai persamaan hak dalam bidang perkawinan dan
sekaligus penghapusan terhadap diskriminasi terhadap perempuan
dalam bidang ini dinyatakan dalam pasal 16 Deklarasi Universal HakHak Asasi Manusia, yaitu:
1. Laki-laki dan perempuan dewasa, tanpa ada pembatasan apapun
berdasarkan ras, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk
menikah dan membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang
sama dalam hal perkawinan, dalam masa perkawinan dan pada saat
berakhirnya perkawinan.
2. Perkawinan hanya dapat dilakukan atas dasar kebebasan dan
persetujuan penuh dari pihak yang hendak melangsungkan
perkawinan.
3. Keluarga merupakan satuan kelompok masyarakat yang alamiah
dan mendasar dan berhak atas perlindungan dari masyarakat dan
negara. (Dirjend. HAM Depkum dan HAM RI, t.th.: h. 3).
107
Gender dalam Tinjauan Tafsir
Dengan demikian HAM telah mengakui persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan serta menuntut penghapusan diskriminasi
terhadap perempuan sebagaimana tercantum dalam pasal-pasalnya.
Dimana dalam hal ini ketentuan-ketentuan tersebut hanya mengatur
hal-hal pokok saja.
b. Ketentuan CEDAW tentang Penghapusan Diskriminasi
Terhadap Perempuan dalam Bidang Perkawinan
Selanjutnya sebagai tindak lanjut dari Deklarasi Hak-Hak Asasi
Manusia maka disahkanlah Konvensi dalam beberapa bidang. Salah
Konvensi Internasional tersebut adalah Konvensi tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On
The Elimination Off All Forms of Discrimination Against Women)
Konvensi ini juga dikenal dengan singkatan CEDAW. “Konvensi ini
ditetapkan dan dibuka untuk ditandatangai, diratifikasi, dan disetujui
oleh resolusi Majelis Umum pada 18 Desember 1979. Mulai berlaku 3
September 1981.” (Dirjend. HAM Depkum dan HAM RI, t.th.: h. 47).
Pengakuan dan pengaturan tentang persamaan hak antara lakilaki dan perempuan, perlindungan hak-hak perempuan serta
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam hukum,
termasuk dalam bidang hukum keluarga dalam Konvensi Internasional
tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan terdapat
dalam pasal 2, pasal 5, pasal 11 ayat 2, pasal 15 dan pasal 16 Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Di dalam pasal 2 diatur tentang larangan diskriminasi terhadap
perempuan dan upaya-upaya yang harus dilakukan negara pihak dalam
mewujudkannya sebagaimana bunyi pasal 2 CEDAW berikut ini:
Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap
perempuan dalam segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan
dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan
menghapus diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk tujuan ini
berusaha:
108
Jurnal Ilmiah Kajian Gender
a) Mencantumkan azas persamaan antara laki-laki dan perempuan
dalam Undang-Undang Dasar nasional mereka atau perundangundangan yang tepat lainnya jika belum termasuk di dalamnya,
dan untuk menjamin realisasi praktis dari azas ini, melalui hukum
dan cara-cara lain yang tepat ;
b) Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan
peraturan-peraturan lainnya termasuk sanksi-sanksinya di mana
perlu, melarang semua diskriminasi terhadap perempuan;
c) Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan
atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin
melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan
pemerintah lainnya, perlindungan kaum perempuan yang efektif
terhadap setiap tindakan diskriminasi ;
d) Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi
terhadap perempuan, dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat
pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai
dengan kewajiban tersebut;
e) Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus
perlakukan diskriminasi terhadap perempuan oleh tiap orang,
organisasi atau perusahaan;
f) Membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan
undang-undang, untuk mengubah dan menghapuskan undangundang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktekpraktek yang diskriminatif terhadap perempuan;
g) Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif
terhadap perempuan. (Dirjend. HAM Depkum dan HAM RI, t.th.: h.
48-49).
Selanjutnya dalam pasal 15 ayat 1 diatur kewajiban negara
peserta untuk memberikan persamaan hak perempuan dengan laki-laki
di muka hukum sebagaimana berikut ini: “Negara-negara peserta
wajib memberikan kepada perempuan persamaan hak dengan laki-laki
di muka hukum.” (Dirjend. HAM Depkum dan HAM RI, t.th.: h. 52).
Berkaitan dengan perkawinan dan kehidupan keluarga, konvensi
tersebut secara khusus menyebutkan perlindungan hak-hak perempuan
109
Gender dalam Tinjauan Tafsir
dalam beberapa pasal, misalnya dalam pasal 5 (b) dinyatakan:
“Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat
untuk menjamin bahwa pendidikan keluarga melalui pengertian yang
tepat mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial dan pengakuan
tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan dalam membesarkan
anak-anak mereka, seyogyanyalah bahwa kepentingan anak-anak
adalah pertimbangan utama dalam segala hal. (Dirjend. HAM
Depkum dan HAM RI, t.th.: h. 49).
Selanjutnya secara lebih khusus CEDAW berbicara tentang hakhak perempuan berkaitan dengan perkawinan yang berhubungan
dengan perkawinan dan hubungan keluarga, sebagaimana bunyi pasal
16 sebagai berikut:
1. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang
tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam
semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan
hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan
perempuan, dan khususnya akan menjamin:
a) Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan;
b) Hak yang sama untuk memilih suami secara bebas dan untuk
memasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang
bebas dan sepenuhnya;
c) Hak dan tanggungjawab yang sama selama perkawinan dan
pada pemutusan perkawinan;
d) Hak dan tanggungjawab yang sama sebagai orang tua, terlepas
dari status kawin mereka, dalam urusan-urusan yang
berhubungan dengan anak-anak mereka. Dalam semua kasus,
kepentingan anak-anaklah yang wajib diutamakan;
e) Hak yang sama untuk menentukan secara bebas dan
bertanggungjawab jumlah dan penjarakan kelahiran anak-anak
mereka serta untuk memperoleh penerangan, pendidikan dan
sarana-sarana untuk memungkinkan mereka menggunakan
hak-hak ini;
f) Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan
perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak
110
Jurnal Ilmiah Kajian Gender
atau lembaga-lembaga yang sejenis di mana konsep-konsep ini
ada dalam perundang-undangan nasional, dalam semua kasus
kepentingan anak-anaklah yang wajib diutamakan;
g) Hak pribadi yang sama sebagai suami isteri, termasuk hak
untuk memilih nama keluarga, profesi dan jabatan;
h) Hak sama untuk kedua suami isteri bertalian dengan pemilikan,
perolehan, pengelolaan, administrasi, penikmatan dan
memindahtangankan harta benda, baik secara cuma-cuma
maupun dengan penggantian berupa uang.
2. Pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak akan mempunyai
akibat hukum dan semua tindakan yang perlu, termasuk
perundang-undangan, wajib diambil untuk menetapkan usia
minimum untuk kawin dan untuk mewajibkan pendaftaran
perkawinan di Kantor Catatan Sipil yang resmi (Dirjend. HAM
Depkum dan HAM RI, t.th.: h. 53)..
Dalam pasal 16 huruf h di atas dinyatakan bahwa terdapat hak
yang sama untuk kedua suami isteri bertalian dengan pemilikan,
perolehan,
pengelolaan,
administrasi,
penikmatan
dan
memindahtangankan harta benda, baik secara cuma-cuma maupun
dengan penggantian berupa uang. Berkenaan dengan hal ini, dalam
pasal 15 ayat 2 dan 3 diatur bahwa:
Negara-negara peserta wajib memberikan kepada perempuan
dalam urusan-urusan sipil kecakapan hukum yang sama dengan kaum
laki-laki dan kesempatan yang sama untuk menjalankan kecakapan
tersebut, khususnya agar memberikan kepada perempuan hak-hak
yang sama untuk menandatangani kontrak-kontrak dan untuk
mengurus harta benda, serta wajib memberi mereka perlakuan yang
sama pada semua tingkatan prosedur di muka hakim dan pengadilan.
Negara-negara peserta bersepakat bahwa semua kontrak dan semua
dokumen yang mempunyai kekuatan hukum yang ditujukan kepada
pembatasan kecakapan hukum bagi perempuan, wajib dianggap batal
dan tidak berlaku (Dirjend. HAM Depkum dan HAM RI, t.th.: h. 52).
Persamaan hak ini juga berlaku dalam kehidupan berkeluarga, yaitu
yang terkait dengan hak milik suami isteri.
111
Gender dalam Tinjauan Tafsir
C. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan dalam
Bidang Perkawinan Menurut Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pada tahun 1979 sudah
ditetapkan Konvensi Internasional dalam rangka penghapusan
diskriminasi terhadap perempuan. Di dalam Konvensi itu dinyatakan
bahwa konvensi ditetapkan dan dibuka untuk ditandatangai,
diratifikasi, dan disetujui oleh resolusi. Oleh karena itu Indonesia
sebagai salah satu negara pihak yang ikut menandatangani konvensi
selanjutnya melakukan ratifikasi terhadap Konvensi tentang
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The
Elimination Off All Forms of Discrimination Against Women) dengan
disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Selanjutnya Indonesia juga
wajib mengimplementasikan isi deklarasi tersebut dalam peraturan
perundang-undangannya.
Salah satu hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum
perkawinan Islam bagi umat Islam di Indonesia. Aturan hukum
perkawinan tersebut diantaranya terdapat di dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP Nomor 9 Tahun 1975
tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan
Kompliasi Hukum Islam di Indonesia, dan lain-lain. Peraturan
perundang-undangan inilah yang akan dikaji untuk melihat bagaimana
ketentuan yang ada mengenai penghapusan diskriminasi terhadap
perempuan
dalam bidang perkawinan sesuai dengan tuntutan
DUHAM dan CEDAW.
UU Nomor 1 Tahun 1974 berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia,
karena undang-undang ini bertujuan untuk menyeragamkan ketentuan
hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia. Menyeragamkan
Undang-Undang Perkawinan di sini, bukanlah dimaksudkan sebagai
satu bentuk undang-undang yang berlaku bagi semua agama, Maksud
112
Jurnal Ilmiah Kajian Gender
unifikasi di sini adalah unifikasi terbatas, yang tetap mengakui adanya
kebergaman, dengan mengakui berlakunya hukum agama masingmasing (Ritonga, 2005: h.3). Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 2
ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi
sebagai berikut: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
(Sudarsono, 1991: h. 288)
Berdasarkan hal itu maka bagi umat Islam di Indonesia misalnya
berlaku juga ketentuan fikih munakahat dan Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia. Demikian pula halnya bagi umat Kristen, Hindu dan
Budha juga berlaku ketentuan-ketentuan khusus berdasarkan ketentuan
agama mereka.
Khusus bagi wanita, hadirnya UU Perkawinan Tahun 1974 telah
membawa keberuntungan. Sebab salah satu asas dari undang-undang
tersebut adalah memperbaiki derajat wanita. Asas ini merupakan salah
satu dari enam prinsip dasar yang dianut oleh Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974. Enam prinsip dasar tersebut adalah asas sukarela,
partisipasi keluarga, perceraian dipersulit, poligami dibatasi secara
ketat, kematangan calon mempelai, dan memperbaiki derajat kaum
wanita (Sasroatmodjo dan Aulawi, 1978: h. 35-40).
Adanya asas memperbaiki derajat wanita sebagai salah satu
prinsip dasar dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut
menunjukkan bahwa secara normatif (teoritis) kehadiran Hukum
Keluarga Indonesia bertujuan meninggikan dan mengangkat harkat
martabat wanita. Memperbaiki derajat wanita dalam bidang
perkawinan berarti memberikan aturan-aturan yang memperbaiki hakhak, posisi, kedudukan dan peran wanita di dalam perkawinan.
Ketentuan-ketentuan tersebut diharapkan dapat membawa persamaan
atau kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan dan
mencegahnya dari kondisi-kondisi yang mendiskriminasikannya
dibandingkan dengan laki-laki.
Ketentuan-ketentuan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia
yang memberikan persamaan hak dan sebaliknya menghapuskan
113
Gender dalam Tinjauan Tafsir
diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang perkawinan misalnya
adalah:
a. Adanya persetujuan calon suami isteri untuk melangsungkan
perkawinan (pasal 6 UU Nomor 1 Tahun 1974) (Sudarsono, 1991:
h. 290).
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menentukan bahwa
perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Sebelum
perkawinan berlangsung, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih
dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah. Bila
ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai
maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan (Pasal 6 ayat 1 dan
pasal 17 ayat 1 dan 2 KHI). Ini menunjukkan adanya persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan dalam hal ini atau tidak ada
diskriminasi.
b.
Perjanjian perkawinan dan taklik talak.
Dalam pasal 29 UU Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa
“Sebelum
perkawinan
dilangsungkan
atau
pada
waktu
dilangsungkannya perkawinan, kedua belah pihak (calon suami isteri)
atas kesepakatan bersama dapat melakukan perjanjian tertulis.
Perjanjian ini harus disahkan oleh pencatat nikah. Perjanjian itu
berlaku sejak berlangsungnya perkawinan dan hanya dapat diubah atas
persetujuan kedua belah pihak (Sudarsono, 1991: h. 290).
Disamping itu berdasarkan Pasal 11 ayat 3 dan pasal 26 ayat 1
Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 disebutkan bahwa
bila calon suami-isteri sepakat untuk adanya taklik talak, maka suami
mengucapkan dan menandatangani taklik talak yang telah disetujuinya
itu setelah akad nikah dilangsungkan. (Sudarsono, 1991: h. 290).
Dalam prakteknya saat ini hampir setiap perkawinan disertai
dengan adanya perjanjian taklik talak, yang dicantumkan dalam akta
perkawinan. Hal ini untuk mengantisipasi hal-hal yang mungkin
terjadi dalam perkawinan dan terlebih-lebih lagi untuk menjaga hakhak perempuan dalam rumah tangga. Bila isi taklik talak dilanggar
suami, seperti sikap sewenang-wenang terhadap isteri atau tidak suami
114
Jurnal Ilmiah Kajian Gender
tidak melaksanakan kewajibannya, taklik talak dapat digunakan isteri
untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama
c. Masalah poligami.
Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan
yang paling banyak dibicarakan dan sekaligus kontroversial. Satu sisi
poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi, baik yang
bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan
ketidakadilan gender. Bahkan para penulis Barat sering mengklaim
bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang
perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Pada sisi lain,
poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif
yang tegas dipandang sebagai salah satu alternatif menyelesaikan
fenomena selingkuh dan prostitusi. (Nuruddin dan Tarigan, 2004, h.
155)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pada prinsipnya
menganut asas bahwa dalam suatu perkawinan seorang pria hanya
boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberi izin kepada
seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang bila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dan sepanjang hukum agama masingmasing membolehkannya dan dilakukan dengan persyaratan dan
prosedur tertentu. (Pasal 3-5 UU Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 40-44
PP Nomor 9 Tahun 1975, dan 55-59 Kompilasi Hukum Islam.)
Namun aktivis kesetaraan gender menganggap bahwa poligami
suatu ketentuan hukum yang menimbulkan diskriminasi terhadap
perempuan. Menurut Siti Musdah Mulia misalnya:
Persoalan poligami dianggap merupakan diskriminasi terhadap
perempuan karena salah satu syarat yang harus dipenuhi suami untuk
mengajukan permohonan poligami adalah persetujuan isteri. Namun
ironisnya pada pasal 59, bila isteri tidak mau memberikan izin, namun
alasan berpoligami sesuai dengan ketentuan pasal 55 ayat 2, maka
Pengadilan Agama dapat memberi izin setelah mendengar dan
memeriksa isteri tersebut di sidang Pengadilan Agama, dan terhadap
115
Gender dalam Tinjauan Tafsir
penetapan ini suami atau isteri dapat mengajukan banding atau kasasi.
Namun dalam kenyataannya isteri malu dan berat untuk banding dan
kasasi. Ini menunjukkan lemahnya posisi perempuan. Di samping itu
alasan-alasan yang membolehkan berpoligami hanya dilihat dari
kepentingan suami. Dalam kenyataannya pada umumnya poligami
tidak karena alasan-alasan yang ditentukan undang-undang dan
pelaksanaannya telah menimbulkan banyak problem sosial (Mulia,
2007: h. 193-196).
Menurut penulis selama praktek poligami dilaksanakan sesuai
dengan aturan al-Qur’an, Sunnah dan sesuai dengan alasan serta
prosedur yang ditetapkan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
diharapkan poligami tidak akan menimbulkan ketidakadilan gender
bagi perempuan. Kebolehan poligami adalah pintu darurat bagi
kebutuhan umat Islam yang bila ditutup akan menimbulkan persoalan
yang lebih buruk seperti selingkuh dan prostitusi.
d. Perceraian
Menurut ketentuan hukum perkawinan di Indonesia, khusus bagi
umat Islam, perceraian dapat terjadi dalam bentuk talak dan fasakh.
Talak adalah hak suami dan fasakh dapat dilakukan oleh suami isteri.
Namun untuk dapat melakukan talak, harus dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama, agar suami tidak sewenang-wenang dalam
mempergunakan haknya. Sehingga talak itu dilakukan karena alasan
yang dapat diterima dan dengan cara yang benar. Selain itu perempuan
juga diberi hak untuk mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama
dengan alasan-alasan tertentu. Hal ini memberikan keseimbangan
antara laki-laki dan perempuan dalam pemutusan hub hubungan
keluarga dan ini berarti pula merupakan penghapusan terhadap
diskriminasi perempuan (Pasal 38-41 UU Nomor 1 Tahun 1974, Pasal
113-116 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan KUHP pasal 493.
e. Harta bersama
Dalam hukum keluarga di Indonesia terdapat ketentuan
mengenai harta bersama. Maksudnya adalah ketentuan yang
116
Jurnal Ilmiah Kajian Gender
menyatakan bahwa harta yang diperoleh sejak terjadi pernikahan
adalah harta bersama antara suami isteri. Bila keduanya bercerai maka
mereka masing-masing berhak atas setengah harta tersebut. Demikian
juga halnya bila salah satu meninggal dunia, maka setengah harta, hak
yang hidup dan setengah menjadi harta warisan. Ketentuan ini terdapat
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 85 dan 88-94. Dengan demikian
tidak ada diskriminasi terhadap perempuan dalam hal memiliki harta
dalam keluarga.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka dapat
dikatakan bahwa sebahagian peraturan perundang-undangan tentang
perkawinan Islam di Indonesia telah memberikan ketentuan yang
memberikan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam
keluarga. Dengan demikian berarti bahwa sebahagian peraturan
perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia telah
menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan.
Meskipun sebagian aturan-aturan dalam Hukum Perkawinan
yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia telah mengaplikasikan
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan namun ada beberapa
ketentuan tersebut yang mengindikasikan adanya diskriminasi
terhadap perempuan.
Ketentuan-ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam yang mengandung diskriminasi terhadap perempuan itu
diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut:
f. Defenisi Perkawinan
Defenisi perkawinan dalam UUP adalah “ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sementara dari perspektif
hukum, perkawinan adalah suatu perjanjian hukum (legal agreement)
antara seorang laki-laki dan perempuan yang masing-masing telah
memenuhi persyaratan yuridis formal.
Perkawinan dalam Islam sebenarnya lebih merupakan suatu akad
atau kontrak. Kontrak itu terlihat dari adanya unsur ijab (tawaran) dan
117
Gender dalam Tinjauan Tafsir
qabul (penerimaan). Untuk memperkuat posisi perempuan dalm
perkawinan, dalam defenisi, paling tidak dalam penjelasannya, harus
dipertegas bahwa perkawinan adalah sebuah akad atau kontrak yang
mengikat dua pihak yang setara, yaitu laki-laki dan perempuan yang
masing-masing-masing telah memenuhi persyaratan berdasarkan
hukum yang berlaku atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah
pihak untuk membentuk keluarga.
g. Poligami.
Selain itu surat an-Nisa’ ayat 3 yang dijadikan landasan
bolehnya berpoligami, menurutnya bukan jelas tidak berbicara tentang
perkawinan. Oleh karena itu menurutnya perlu diusulkan pelarangan
poligami secara mutlak karena poligami dipandang sebagai kejahatan
kemanusiaan (Pasal 38-41 UU Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 113-116
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan KUHP pasal 493).
Kebolehan poligami juga diatur dalam Pasal 55-59 Kompilasi
Hukum Islam. Menurut penulis, poligami sebagaimana yang diatur
dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam telah
mengantisipasi terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Sebab
dipandang dari segi hukum Islam, poligami itu dibolehkan, dan
kebolehan itu hanya sebagai pintu darurat karena dalam kenyataan
masyarakat, kadang-kadang poligami itu memang dibutuhkan.
Pelarangan terhadap poligami akan menimbulkan kerusakan
masyarakat seperti terjadinya perselingkuhan (perzinaan) dalam
masyarakat, yang akan lebih merusak tatanan masyarakat. Hanya saja
dalam tataran aplikasi harus lebih diperhatikan agar lebih sesuai
dengan aturan hokum yang ada dan tidak menimbulkan diskriminasi
terhadap perempuan.
h. Usia kawin
Batas minimal usia perkawinan menurut UU Perkawian adalah
19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan (Pasal 7 ayat1
UUP). Ketentuan ini sama dengan ketentuan pasal 15 ayat 1
Kompilasi Hukum Islam. Berbedanya batas minimal usia perkawinan
118
Jurnal Ilmiah Kajian Gender
antara laki-laki dan perempuan di sini merupakan diskriminasi
terhadap perempuan. Batas minimal usia perkawinan perempuan lebih
rendah dari laki-laki. Hal ini pada substansinya mempertegas
subordinasi perempuan (isteri) terhadap laki-laki (suami).
i. Kedudukan suami isteri.
Suami dan isteri mempunyai hak dan kedudukan yang
berimbang dalam keluarga dan pergaulan bersama dalam masyarakat.
Suami dan isteri mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan
kedudukan dan tugasnya masing-masing. Suami adalah kepala
keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Masing-masing pihak
berhak melakukan perbuatan hukum. Hal ini sebagaimana diatur
dalam pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal Pasal 77 dan 79
Kompilasi Hukum Islam.
Dalam pasal di atas, kedudukan suami adalah kepala keluarga.
Penggunaan kata “kepala keluarga” memberi konotasi kekuasaan dan
cendrung otoriter, dan secara awam suami dipandang sebagai
penguasa di dalam keluarga. Hal ini akan menimbulkan pemahaman
yang akan membawa perlakuan diskriminasi laki-laki terhadap
perempuan dalam keluarga. Akan lebih tepat bila dinyatakan bahwa
suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah wakil kepala keluarga.
Ketentuan ini akan lebih memberikan keseimbangan kedudukan
antara suami dan isteri dalam kehidupan rumah tangga.
Agak berbeda dengan UU No. 1 Tahun 1974, Kompilasi
menambahkan bahwa “Suami dan isteri memikul kewajiban untuk
mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasannya dan pendidikan
agamanya” (Pasal 77 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam). Disini
walaupun suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah
tangga, namun kewajiban yang dianggap hanya sebagai kewajiban ibu
rumah tangga dalam pemahaman fikih dan masyarakat, bagi
Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan kewajiban suami dan
isteri. Ini lebih mencerminkian persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan bila dilihat peranan perempuan di sektor publik, seperti
119
Gender dalam Tinjauan Tafsir
ikut bekerja mencari nafkah. Sehingga beban domestik (rumah tangga
tidak seharusnya dipikul isteri penuhnya), sehingga perempuan tidak
terbebani dengan beban ganda yang seringkali sangat memberatkan
perempuan.
j. Hak dan kewajiban suami isteri.
Ketentuan mengenai hal tersebut diatur secara tegas dalam pasal
34 UU Nomor 1 Tahun 1974. “Suami wajib melindungi isterinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga
sebaik-baiknya.” Pasal-pasal tersebut jelas mengindikasikan adanya
pengukuhan pembagian dan pembakuan peran perempuan berdasarkan
jenis kelamin dan sekaligus mengukuhkan domestikasi perempuan.
Domestikasi ini akan menimbulkan diskriminasi terhadap
perempuan. Pada sebahagian masyarakat perempuan tidak diberi
kesempatan untuk berkiprah di luar rumah. Dan sebaliknya ketika
perempuan diberi kesempatan berkerja di luar rumah untuk ikut
mencari nafkah maka ia akan dibebani tugas ganda yang seringkali
amat berat, yaitu tugas di rumah dan tugas-tugas pekerjaannya di luar
rumah sekaligus.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat pula dipahami bahwa
sebagian peraturan perundang-undangan Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia sudah berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur persamaan
hak antara laki-laki dan perempuan serta menghapuskan diskriminasi
terhadap perempuan dalam bidang perkawinan. Namun sebahagian
aturan-aturan juga masih ada yang mengandung diskriminasi terhadap
perempuan.
D. Penutup
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia telah menyatakan pengakuan dan
hal-hal pokok mengenai hak asasi manusia dalam bidang perkawinan.
Di samping itu deklarasi tersebut sekaligus juga melarang adanya
120
Jurnal Ilmiah Kajian Gender
diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang hukum keluarga.
Selanjutnya di dalam Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi
terhadap Perempuan juga diatur adanya persamaan hak laki-laki dan
perempuan dalam bidang perkawinan dan larangan adanya
diskriminasi terhadap perempuan dalam hal ini.
Selanjutnya ketentuan Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia dan
Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan
dilaksanakan di Indonesia. Konvensi tersebut kemudian juga
dilaksanakan dengan mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 1984. Hal ini
berarti mengharuskan Indonesia menerapkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang relevan dengan isi konvensi tersebut,
termasuk di bidang Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Dan
ternyata sebagian peraturan perundang-undangan Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia sudah mengaplikasikan isi dari Deklarasi Hak-Hak
Asasi Manusia dan Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi
terhadap Perempuan atau sudah relevan dan sebagian lagi ada yang
masih belum relevan.
E. Referensi
Abdurrahman. 1986. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
tentang Perkawinan. Jakarta: Akademika Pressindo.
Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan HAM
RI. tt. Instrumen Hak Asasi Manusia. Jakarta: Direktorat
Jenderal Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan HAM RI.
Huzaimah, Tahido Yanggo. 2001. Fikih Perempuan Kontemporer.
Jakarta: al-Mawardi Prima.
Iskandar, Ritonga. 2005. Hak-Hak Wanita Dalam Putusan Peradilan
Agama. Jakarta: Program Peningkatan Kualitas Pelayanan
Publik Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji
Departemen Agama RI.
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI.
1998. Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta: Depag RI.
121
Gender dalam Tinjauan Tafsir
Mulia, Siti Musdah. 2007. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Jender.
Yogyakarta: KaIbar Press.
Muttahhari, Marteza. 1985. Wanita dan Hak-Haknya dalam Islam.
Judul asli: The Right of Women in Islam, Bandung: Pustaka.
Mahmood, Tahir, (Ed.). t.th. Human Right in Islamic Law, New Delhi
t.p.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2006. Hukum Perdata
Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam
dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 Sampai KHI. Jakarta:
Kencana.
Rhona K.M. Smith. (at.al). 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. D.
Asplun, Knut, dkk. (ed.) Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi
Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII).
Rofiq, Ahmad. 2003. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Santi, Budie (ed.). 2005. Perempuan Bertutur: Sebuah Wacana
Keadilan Gender dalam Radio Jurnal Perempuan. Skrip Radio
Jurnal Perempuan Tahun 2003. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan (YJP) dan The Ford Foundation. Cet. 1.
Sihite, Romany. 2007. Perempuan, Kesetaraan dan Keadilan Gender,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sasroatmodjo Arso, dan A. Wasit Aulawi. 1978. Hukum Perkawinan
di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Sudarsono. 1991. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
S. Lev, Daniel. 1980. Peradilan Agama di Indonesia: Suatu Studi
tentang Landasan Politik Lembaga-Lembaga Hukum.
Terjemahan Z.A. Noeh dari Islamic Court in Indonesia, Jakarta:
Intermasa.
T.O. Ihromi. 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Wiratmo Soekito, Sri Widoyati. 1983. Anak dan Wanita dalam
Hukum. Jakarta: LP3ES.
122
Download