BAB 9 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK BAB 9 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK A. KONDISI UMUM Dalam rangka mewujudkan persamaan di depan hukum, penghapusan praktik diskriminasi terus menerus dilakukan, namun tindakan pembedaan terhadap sekelompok orang maupun golongan masih sering terdengar dan dirasakan oleh golongan tertentu. Hak-hak warga negara masih belum dapat terjamin secara utuh, walaupun saat ini Indonesia memberlakukan asas persamaan di depan hukum (equality before the law) bagi semua golongan masyarakat tanpa terkecuali. Selain itu sebagai suatu negara yang berdasarkan atas hukum dan bukan negara yang berdasarkan kekuasaan belaka, sepatutnya langkah untuk mendukung penghapusan diskriminasi perlu terus dilakukan dalam rangka menjamin hak-hak warga negara secara adil, namun tampaknya asas tersebut masih bersifat slogan semata dan tidak dijalankan dengan kesadaran yang penuh. Perlakuan diskriminatif yang terjadi di Indonesia seringkali terjadi antara lain didasarkan pada jenis kelamin, ras, usia, golongan masyarakat ekonomi-sosial yang lemah atau masyarakat kecil/tidak mampu. Upaya penghapusan perlakuan diskriminatif berdasarkan jenis kelamin terutama terhadap perempuan telah ditunjukkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Convention of Elimination All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984. Dinyatakan dalam konvensi tersebut bahwa praktik diskriminasi terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan untuk melindungi, memajukan dan untuk memenuhi hak asasi perempuan perlu untuk memasukkan prinsip kesetaraan antara perempuan dan laki-laki ke dalam sistem hukum yang ada. Salah satu bentuk pendekatannya adalah melalui penghapusan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan menetapkan peraturan baru yang melarang diskriminasi terhadap perempuan. Diskriminasi yang terjadi dalam lingkup rumah tangga antara lain adalah mengenai kekerasan terhadap perempuan dimana hal ini jelas menunjukkan suatu prinsip ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki. Namun karena selama ini isu kekerasan dalam rumah tangga dianggap merupakan masalah pribadi yang tidak perlu diketahui oleh pihak luar, maka persoalan kekerasan dalam rumah tangga tidak banyak terungkap. Namun berdasarkan data yang ada pada lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam organisasi yang menangani permasalahan perempuan, tercatat yang terbanyak menjadi korban tindakan kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungan terdekat mereka seperti suami dan yang mempunyai pertalian keluarga. Untuk mencegah keberlangsungan tindakan tersebut, pada tanggal 22 September 2004 Pemerintah telah mensahkan Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Adanya undang-undang ini diharapkan sebagai suatu langkah maju untuk menghapuskan praktik kekerasan di dalam rumah tangga serta membawa perubahan karena dikategorikan sebagai tindakan kriminal dan bukan sebagai isu pribadi yang patut disembunyikan sehingga pada akhirnya akan membantu meminimalisir adanya praktik diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Untuk mengimplementasikan undang-undang tersebut, pada saat ini tengah dilakukan persiapan pada instansi-instansi terkait antara lain dengan kepolisian, kejaksaan dan instansi terkait lainnya sehingga diharapkan dapat terjadi hubungan yang sinergis antara beberapa instansi terkait tersebut dalam melakukan penanganan kasuskasus kekerasan yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga termasuk kekerasan terhadap perempuan. Upaya untuk menghapuskan diskriminasi terhadap suku atau golongan etnis, juga telah dilaksanakan antara lain dengan menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional sebagaimana hari libur keagamaan lainnya, serta memperbaiki prosedur dan menyederhanakan berbagai persyaratan yang diskriminatif, mulai dari pencatatan kelahiran, sampai pengurusan administrasi kependudukan, pendidikan sampai kematian. Sesungguhnya ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penghapusan SBKRI telah dihapus dengan Keppres No. 56 Tahun 1996 dimana untuk keperluan pembuktian kewarganegaraan cukup memerlukan KTP, kartu keluarga atau akte kelahiran. Semangat ini sejalan dengan maksud dan isi dari Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999. Upaya menghilangkan diskriminasi telah dimulai, akan tetapi praktik diskriminasi dalam berbagai hal masih sering diberitakan di media massa. Salah satu bentuk praktik diskriminasi yang nyata dilakukan secara institusional di Indonesia adalah keharusan untuk memiliki dan menunjukan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi warga negara Indonesia (WNI) keturunan dalam mengurus berbagai kepentingan pada lembaga pemerintah. Pada beberapa lembaga pemerintah, ketentuan ini telah dihapus, akan tetapi praktik di berbagai lembaga lain masih berlangsung. Walaupun bersifat administratif, namun pemberlakuan SBKRI menunjukkan adanya perilaku diskriminatif dalam berbagai hal, mulai dari proses administratif kewarganegaraan, pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), memasuki dunia pendidikan, menyatakan hak politiknya, sampai menikah dan meninggal dunia pun harus membuktikan dirinya adalah WNI melalui SBKRI tersebut. Sejalan dengan hal tersebut di atas, dalam rangka pemberian pelayanan publik terhadap semua golongan masyarakat dan bagi setiap warga negara maka dibutuhkan pelayanan publik yang tidak membeda-bedakan pelaksanaannya baik berdasarkan jenis kelamin, suku, etnis, agama golongan serta tidak melanggar prinsip diskriminatif. Draft RUU tentang Pelayanan Publik telah diselesaikan dan diharapkan akan segera dilakukan pembahasannya untuk segera menjadi undang-undang. dengan adanya undang-undang pelayanan publik, harapan masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik yang tidak diskriminatif dan sesuai dengan prinsip keadilan dapat segera terpenuhi. II.9 – 2 Upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi membutuhkan waktu yang lama dan harus dilakukan dengan komitmen yang kuat karena berkaitan dengan cara pandang dan struktur sosial. Permasalahan terpenting adalah diskriminasi terhadap perempuan yang terdapat pada sebagian besar etnis di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh sistem sosial patrimonial yang banyak dianut masyarakat dengan kultur yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan. Sistem sosial ini mempengaruhi alam pikir seseorang ketika memegang suatu jabatan formal di lingkungan pemerintahan, terutama dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu pemahaman yang berbeda dari para aparat pelayanan publik terhadap maksud dan tujuan peraturan perundang-undangan juga berpotensi menimbulkan diskriminasi dalam pelaksanaannya. Tantangan lainnya adalah belum pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat pemerintah yang selama ini dipandang bersikap diskriminatif dalam menyelenggarakan pelayanan publik, rendahnya komitmen serta lingkungan yang tidak kondusif dalam mendukung upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi. B. SASARAN PEMBANGUNAN TAHUN 2006 Untuk mendukung upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk, sasaran yang akan dicapai adalah: 1. Teroperasionalkannya peraturan perundang-undangan yang tidak mengandung perlakuan diskriminasi baik kepada setiap warga negara, lembaga/instansi pemerintah, maupun lembaga swasta/dunia usaha secara konsisten dan transparan; 2. Terkoordinasikannya dan terharmonisasikannya pelaksanaan peraturan perundangundangan yang tidak menonjolkan kepentingan tertentu sehingga dapat mengurangi perlakuan diskriminatif terhadap warga negara; dan 3. Terciptanya aparat dan sistem pelayanan publik yang adil dan dapat diterima oleh setiap warga negara. C. ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TAHUN 2006 Upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk dalam kurun waktu satu tahun ke depan diarahkan pada kebijakan untuk menciptakan penegakan dan kepastian hukum yang konsiten, adil dan tidak diskriminatif dengan langkah-langkah: 1. Meningkatkan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi termasuk ketidakadilan gender bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum tanpa terkecuali; dan 2. Menerapkan hukum dengan adil, melalui perbaikan sistem hukum yang profesional, bersih dan berwibawa. II.9 – 3 D. MATRIKS PROGRAM PEMBANGUNAN TAHUN 2006 No. 1. Program/ Kegiatan Pokok RPJM Program/ Kegiatan Pokok RKP 2006 Program Peningkatan Pelayanan dan Bantuan Hukum Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Peningkatan kualitas pelayanan umum di bidang hukum, pada bidang antara lain pemberian grasi, naturalisasi, pemberian/penerbitan perizinan yang dibutuhkan oleh berbagai bidang pembangunan; pemberian status badan hukum; pendaftaran hak atas kekayaan intelektual, pembuatan akte kelahiran gratis sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku, pencatatan sipil yang adil bagi setiap warga negara dan lain sebagainya; 2. Peningkatan pemberian bantuan hukum bagi golongan masyarakat yang kurang mampu baik laki-laki dan perempuan dalam proses berperkara di pengadilan maupun upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban hukumnya; 3. Penyederhanaan syarat-syarat pelayanan jasa hukum pada semua lingkup lembaga/instansi yang dapat Program Peningkatan Pelayanan dan Bantuan Hukum Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Peningkatan kualitas pelayanan publik yang berkaitan dengan pemberian akses dan pelayanan yang adil dan tidak diskriminatif kepada setiap warga negara antara lain dengan melakukan penyusunan pedoman pelayanan publik serta melakukan kajian pelayanan publik di peradilan; 2. Peningkatan pemberian bantuan hukum dalam proses berperkara di pengadilan kepada setiap warga negara terutama untuk golongan masyarakat yang tidak mampu disertai dengan perhatian terhadap kepentingan pemberian pelayanan publik di peradilan yang tidak bias gender serta melakukan kajian dan bantuan hukum pada pengadilan; 3. Peningkatan untuk melakukan penyederhanaan syarat-syarat dalam pemberian pelayanan jasa hukum yang mudah dimengerti dan adil serta tidak diskriminatif antara lain dengan penerapan sistem informasi yang terbuka, melakukan pembuatan laporan kinerja peradilan secara berkala, penyusunan LAKIP dan AKIP Peradilan; 4. Pembinaan keimigrasian; 5. Penyelenggaraan keimigrasian; Sasaran Program Instansi Pelaksana Terwujudnya pelayanan publik khususnya di bidang hukum yang merata, dan mampu menjangkau lapisan masyarakat serta terciptanya kesempatan yang sama bagi setiap anggota masyarakat dalam memperoleh keadilan Dep. Hukum & HAM, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi II.9 – 4 Pagu Indikatif (Juta Rupiah) 219.796,5 No. Program/ Kegiatan Pokok RPJM dimengerti, informasi yang terbuka, transparan dengan dengan biaya yang dapat dijangkau oleh seluruh golongan masyarakat luas Program/ Kegiatan Pokok RKP 2006 Sasaran Program 6. Pembinaan dan Penyelenggaraan Administrasi Hukum Umum; dan 7. Pembinaan Hak Kekayaan Intelektual. II.9 – 5 Instansi Pelaksana Pagu Indikatif (Juta Rupiah)