Permasalahan diskriminasi berbagai bentuk

advertisement
BAB 10
PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM
BERBAGAI BENTUK
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk
(multi-ethnic society). Kesadaran akan kemajemukan tersebut
sebenarnya telah ada sebelum kemerdekaan, antara lain telah
diekspresikan pada saat pernyataan Sumpah Pemuda. Namun selama
ini, perjalanan bernegara menunjukkan bahwa penyelenggaraan
negara terlalu berpihak kepada kesatuan dengan meninggalkan
keberagaman, sesuatu yang secara faktual mencerminkan bangsa
Indonesia yang sesungguhnya. Keberagaman seharusnya dipandang
sebagai kekayaan dan modal pembangunan. Oleh karena itu,
kebijakan multikultural seharusnya dikedepankan, sehingga negara
dan masyarakat diharapkan lebih mampu mengelola perbedaan
(termasuk suku, ras, agama dan golongan) sebagai konsekuensi dari
keberagaman secara lebih positif.
Kekurangmampuan
dalam
mengelola
perbedaan
mengakibatkan banyak permasalahan, yang kemudian dipahami
sebagai diskriminasi. Secara formal, pengertian diskriminasi diatur di
dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 1
ayat (3) undang-undang tersebut menyatakan ‘Diskriminasi adalah
setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan
lainnya’.
Pengaturan mengenai pengertian diskriminasi pada undangundang tentang hak asasi manusia menunjukkan hubungan yang erat
di antara keduanya atau dengan kata lain, perilaku diskriminatif
merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu,
diskriminasi dalam berbagai bentuk harus dihapuskan.
Pada dasarnya kesadaran untuk menghapuskan diskriminasi
dalam berbagai bentuk telah terjadi sejak lama, tetapi tindakan yang
diambil, baik pada tingkat kebijakan maupun pada tingkat
operasional, belum menunjukan hasil yang menggembirakan.
Hak Asasi Manusia sebagaimana terdapat di dalam UU No. 39
Tahun 1999 mempunyai ruang lingkup yang luas dan berkaitan
dengan berbagai bidang kehidupan. Demikian juga dengan
diskriminasi yang di atur di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang
tentang Hak Asasi Manusia tersebut. Oleh karena itu, pembahasan
mengenai diskriminasi selalu kontekstual, tergantung pada bidang
yang dibahas.
Kesadaran untuk melakukan penghapusan diskriminasi pada
tingkat kebijakan juga telah diatur di dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan. Pasal 6 ayat (1) UU No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah
menetapkan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan
mengandung asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan,
kekeluargaan, kenusantaraan, kebhineka tunggal-ikaan, keadilan,
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban
dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, serta keselarasan.
Dengan memenuhi pasal 6 tersebut di atas, peraturan perundangundangan seharusnya sudah tidak diskriminatif lagi.
10 - 2
I.
Permasalahan yang Dihadapi
Upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk telah
dilakukan secara terus-menerus, tetapi hasil yang dicapai belum
optimal. Upaya penghapusan diskriminasi masih menghadapi
berbagai permasalahan. Secara umum, permasalahan yang dihadapi
meliputi peraturan perundang-undangan dan kaitannya dengan nilai
sosial yang hidup di masyarakat dan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan.
Dalam konteks peraturan perundang-undangan dan kaitannya
dengan nilai sosial yang hidup di masyarakat, misalnya dalam
permasalahan diskriminasi jenis kelamin, permasalahan utama yang
dihadapi adalah kuatnya pandangan sebagian masyarakat yang
menempatkan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Pandangan
demikian tidak hanya terdapat pada kaum laki-laki, tetapi juga
banyak perempuan yang mempunyai pandangan bahwa perempuan
secara kodrati memang merupakan subordinasi dari laki-laki.
Apabila seseorang yang berpandangan demikian berada di posisi
pembentuk peraturan perundang-undangan atau pembuat kebijakan
publik, potensi terjadinya kebijakan yang diskriminatif menjadi lebih
besar. Di samping itu, kurangnya perhatian para pembentuk
peraturan perundang-undangan dalam mematuhi asas kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan juga berperan besar bagi
lahirnya peraturan perundang-undangan yang diskriminatif.
Di beberapa daerah, kebijakan yang bersifat diskriminatif
masih sering terjadi, antara lain dengan dibentuknya peraturan
daerah (perda) yang mengatur tentang tata cara berpakaian dan batas
ruang gerak perempuan di ruang publik serta melarang perempuan
keluar malam tanpa muhrim.
Disamping itu, sejak diberlakukannya UU Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, laporan terhadap terjadinya
tindakan kekerasan terhadap perempuan malah semakin meningkat,
sedangkan catatan terjadinya kekerasan terhadap laki-laki tidak
tersedia. Sistem sosial belum memungkinkan hal tersebut dilakukan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) mencatat bahwa pada tahun 2005 terjadi 20.392 kasus
10 - 3
kekerasan terhadap perempuan. Angka tersebut meningkat menjadi
22.512 kasus pada tahun 2006.
Selain itu, Indonesia sebagai negara yang juga meratifikasi
berbagai konvensi, salah satunya adalah meratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women/CEDAW) melalui UU Nomor 7 Tahun 1984, tetapi
dalam tataran pelaksanaan ketentuan yang ada dalam konvensi
tersebut belum sepenuhnya dijadikan acuan bagi aparat penegak
hukum dalam penyelesaian kasus-kasus yang berhubungan dengan
tindakan diskriminasi khususnya diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam konteks kesenjangan ekonomi, diskriminasi pada
tingkat kebijakan juga terjadi pada kelompok masyarakat kurang
mampu. Dalam kaitan itu, beberapa peraturan perundang-undangan,
terutama pada tingkat operasional, menetapkan berbagai persyaratan
tertentu yang mengakibatkan sulitnya kelompok masyarakat kurang
mampu untuk memperoleh pelayanan publik hampir pada semua
bidang. Hal itu antara lain tercermin dari tingginya biaya pendaftaran
perkara perdata pada pengadilan tingkat pertama, sehingga
menyulitkan kelompok masyarakat yang kurang mampu untuk
memperoleh pelayanan publik di bidang hukum atau memperoleh
keadilan. Kendala yang sama juga dialami oleh kelompok
masyarakat kurang mampu dalam memperoleh pelayanan publik
pada bidang kehidupan lainnya.
Pada tingkat pelaksanaan, permasalahan utama terletak pada
kurangnya pemahaman masyarakat termasuk para penyelenggara
negara dan aparat penegak hukum akan pentingnya kesamaan cara
pandang dalam upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai
bentuk, misalnya terminologi kekerasan dalam rumah tangga yang
sering dipahami secara sempit sebagai kekerasan fisik, padahal
peraturan perundang-undangan memberikan arti luas, antara lain
meliputi kekerasan ekonomi (penelantaran ekonomi) dan kekerasan
psikis.
Hal yang perlu mendapat perhatian khusus berkaitan dengan
upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk ialah dalam
penyelenggaraan pelayanan umum. Keluhan masyarakat terhadap
10 - 4
kinerja pelayanan publik merupakan isu yang sering kita dengar dari
masyarakat. Secara umum yang menjadi permasalahan adalah
kelambanan proses pelayanan terhadap kelompok masyarakat yang
kurang mampu dibandingkan dengan kelompok yang secara
ekonomis lebih mampu.
Kurangnya kesamaan cara pandang dalam upaya penghapusan
diskriminasi dalam berbagai bentuk merupakan awal dari tiadanya
koordinasi dalam pelaksanaan penegakan hukum. Fakta demikian
merupakan permasalahan penting di dalam upaya penghapusan
diskriminasi.
II.
Langkah Kebijakan dan Hasil yang Dicapai
Dalam upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai
bentuk, pemerintah telah melakukan berbagai langkah kebijakan,
antara lain sebagai berikut:
Dalam kaitannya dengan diskriminasi dalam konteks
kewilayahan, pemerintah telah membuat berbagai kebijakan dalam
rangka mengurangi kesenjangan antara wilayah barat dan wilayah
timur, dan juga antara daerah maju dan daerah tertinggal/terisolir.
Salah satu langkah maju pada tingkat kebijakan adalah upaya
penyusunan RUU Anti-Diskriminasi Ras dan Etnik yang saat ini
sedang dilakukan pembahasan antara pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai salah satu upaya untuk menghapuskan
diskriminasi dalam berbagai bentuk terutama diskriminasi rasial.
Dengan demikian, diharapkan RUU itu dapat segera disahkan dalam
waktu dekat.
Selanjutnya, sebagai tindak lanjut dari diratifikasinya
International Covenant on Economic, Social and Culture Rights
(ICESCR) dan I (ICCPR) melalui UU No. 11 dan UU No.12 Tahun
2005, saat ini sedang dilakukan proses harmonisasi berbagai
peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan kepastian hukum
di bidang tersebut.
10 - 5
Selain itu, dalam mendukung upaya penghapusan tindakan
diskriminatif terhadap perempuan, di tingkat peraturan perundangundangan yang dijadikan landasan bagi aparat penegak hukum dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, saat ini telah diupayakan
memasukkan konsep sistem penanganan peradilan pidana terpadu
(SPPT) khususnya penanganan tindakan kekerasan terhadap
perempuan. Konsep ini sedang dibahas dan direncanakan untuk
diintegrasikan dalam ketentuan-ketentuan perubahan KUHAP yang
sedang dalam proses amendemen. Dengan demikian, diharapkan
dengan dicantumkannya konsep dalam KUHAP yang baru, konsep
untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dapat
dilakukan secara terpadu antar aparat penegak hukum mulai dari
tingkat penyidikan, penuntutan, sampai tingkat peradilan.
Sebagai tindak lanjut dari diberlakukannya UU No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU
PKDRT), di tingkat nasional, pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan
dan Kerjasama dalam Upaya Pemulihan Korban Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
Kebijakan penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk
juga telah mulai memberikan inspirasi bagi berbagai pemerintah
daerah untuk merancang berbagai kebijakan operasional. Beberapa
tindak lanjut yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah, di
antaranya adalah Dinas Kesehatan DKI Jakarta bersama Pusat
Penanganan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
memutuskan bahwa mulai 1 Agustus 2006 perempuan dan anak
korban kekerasan mendapat pelayanan medis gratis di 17 rumah sakit
dan puskesmas di tingkat kecamatan, termasuk pembuatan visum.
Pemerintah Provinsi Lampung telah menerbitkan Perda
Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pelayanan Terpadu terhadap
Perempuan dan Anak Korban Kekerasan; di Yogyakarta telah ada
peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 16 Tahun 2006 tentang
Pelayanan Terpadu bagi Korban Kekerasan Berbasis Gender; di
Bone lahir SK Bupati Bone Nomor 504 Tahun 2006 yang
menyediakan layanan terpadu untuk perempuan korban kekerasan di
rumah sakit umum milik pemerintahan daerah dan RS Bhayangkara
milik kepolisian. Daerah lain yang juga menyediakan layanan untuk
10 - 6
perempuan korban kekerasan adalah Desa Jayakarta (Bengkulu),
Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Jawa
Barat.
Penghapusan diskriminasi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik juga terus dilakukan melalui berbagai penyederhanaan
persyaratan, prosedur serta peningkatan transparansi. Dalam rangka
mendukung peningkatan investasi telah dilakukan pendelegasian
wewenang kepada 33 Kantor Wilayah Departemen Hukum dan
HAM serta peningkatan kualitas pelayanan melalui proses sistem
informasi penyusunan prosedur, standardisasi, persyaratan pelayanan
jasa hukum dan pada tahun 2006 sampai dengan April 2007 telah
diselesaikan pelayanan jasa hukum.
Terkait pemberian pelayanan bidang Hak Kekayaan
Intelektual (HKI), untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan
pelayanan kepada masyarakat telah dilakukan pengembangan
Website Informasi HKI. Permohonan pendaftaran bidang hak
kekayaan intelektual tahun 2006 sampai dengan 31 Mei 2007
meliputi 56.558 dokumen merek, 6987 dokumen paten, 9363
dokumen hak cipta, dan 7116 dokumen desain industri. Selain itu,
dalam rangka peningkatan pelayanan permohonan pendaftaran HKI
menjadi lebih mudah, saat ini sedang dilaksanakan sistem
pendaftaran HKI yang terintegrasi secara on line yang dikenal
dengan Intellectual Property Digital Library (IPDL) dan DGIP Net
di 17 Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM, yaitu Nangroe
Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa
Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Kalimantan Barat, dan Kalimantan
Selatan.
III.
Tindak Lanjut yang Diperlukan
Pelaksanaan kegiatan penghapusan diskriminasi dalam
berbagai bentuk belum menunjukkan hasil yang maksimal. Oleh
karena itu, untuk menuntaskannya masih diperlukan kerja keras,
biaya, dan waktu yang panjang. Untuk mendukung pelaksanaan
10 - 7
kegiatan tersebut, diperlukan
sebagai berikut:
langkah tindak lanjut, antara lain
Dalam tingkat kebijakan, tindak lanjut yang diperlukan adalah
meningkatkan pemahaman tentang pentingnya penghapusan
diskriminasi dan potensi pelanggarannya terhadap hak asasi manusia
kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk para penyelenggara
negara dan aparat penegak hukum.
Disamping itu, perlu dipahami bahwa diskriminasi dalam
berbagai bentuk bukan hanya merupakan pelanggaran terhadap nilainilai sosial, melainkan juga pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan, termasuk konstitusi.
Kebijakan lain yang perlu dilakukan adalah dengan
meningkatkan inventarisasi, identifikasi, dan penyempurnaan
berbagai
peraturan
perundang-undangan
dan
peraturan
pelaksanaannya yang terindikasi diskriminatif terhadap berbagai
bentuk. Hal tersebut dalam rangka memberikan jaminan kepastian
hukum bagi seluruh warga negara Indonesia dan menjunjung tinggi
nilai hak asasi manusia serta adanya kesetaraan bagi setiap warga
negara Indonesia.
Selain itu, perlu ditingkatkan pemberian pelayanan publik
kepada masyarakat terutama kepada masyarakat miskin melalui
penguatan dukungan, komitmen, dan keinginan yang tegas dari
semua instansi/lembaga terkait termasuk lembaga penegak hukum.
Dalam rangka mendukung peningkatan investasi serta
memperbaiki mekanisme pelayanan kepada masyarakat pada
umumnya, dalam kegiatan pelayanan jasa hukum akan dilakukan
pendelegasian wewenang secara bertahap kepada Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM dan melanjutkan peningkatan kualitas
pelayanan hukum melalui sistem komputerisasi.
10 - 8
Download