ANALISIS PELAKSANAAN DISKRESI FUNGSIONAL DALAM PROSES PENYIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA Oleh : Muhammad Harismatulloh Sanjaya. bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila, email: [email protected], Firganefi, Tri Andrisman, Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila, Jl. Soemantri Brodjonegoro No.1 Bandar Lampung 35145. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan diskresi fungsional dalam proses penyidikan perkara tindak pidana dan apakah faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan diskresi fungsional dalam proses penyidikan tindak pidana. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan didukung denga pendekatan yuridis empiris. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa pelaksanaan diskresi fungsional dalam proses penyidikan perkara tindak pidana diskresi oleh seorang petugas Polisi dimulai dari proses pemanggilan, penangkapan, pemeriksaan tersangka dimana letak munculnya diskresi dalam proses penyidikan, mengenai tindakan penyidikan tersebut terdapat tindakan diskresi dalam proses penyidikan oleh kepolisian yang dimana pada proses penangkapan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan diskresi fungsional dalam proses penyidikan tindak pidana antara lain adalah faktor hukum, faktor aparatur penegak gukum, fakto fasilitas dan faktor masyarakat. Kata Kunci: Pelaksanaan, Diskresi Fungsional, Penyidikan 2 ABSTRACT This study aims to determine the functional implementation of discretion in the process of criminal case investigation and whether the factors that affect the implementation of functional discretion in the process of criminal investigations. The approach used is a matter normative juridical and judicial approach empirically supported premises. Based on the results of research and discussion note that the implementation of functional discretion in the process of investigating criminal cases by the discretion of a police officer starts from the calling process, the arrest, the suspect examination where is the emergence of discretion in the investigation process, the investigation of the actions are discretionary actions by the police in the investigation process that where the arrest process. Factors affecting the implementation of functional discretion in the process of criminal investigations include legal factors, factors gukum enforcement agencies, and facilities facto community factors. Keywords: Implementation, Functional Discretion, Investigation I. PENDAHULUAN Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Tindakan diskresi dapat dibedakan menjadi ; (1) tindakan diskresi yang dilakukan oleh petugas kepolisian secara individu dalam mengambil keputusan tersebut; (2) tindakan diskresi yang beradasar petunjuk atau keputusan atasan atau pimpinanannya.1 Manfaat diskresi dalam penanganan masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat antara lain adalah sebagai salah satu cara pembangunan moral petugas kepolisian dan meningkatkan cakrawala intelektual petugas dalam menyiapkan dirinya untuk mengatur orang lain dengan rasa keadilan bukannya dengan kesewenang - wenangan. Kenyataannya hukum memang tidak bisa secara kaku untuk diberlakukan kepada siapapun dan dalam kondisi apapun seperti yang tercantum dalam bunyi perundang-undangan. Pandangan yang sempit didalam hukum pidana bukan saja tidak sesuai dengan tujuan hukum pidana, tetapi akan membawa akibat kehidupan masyarakat menjadi berat, susah dan tidak menyenangkan. Hal ini dikarenakan segala gerak aktivitas masyarakat diatur atau dikenakan sanksi oleh peraturan. Jalan keluar untuk mengatasi 1 http://jurnalsrigunting.wordpress.com/2 012/01/13/kejahatan-korporasi-dalamdiskusi-bersama-prof-koesparmonoirsan, diakses 12 Februari 2013. kekuatan-kekuatan itu oleh hukum adalah diserahkan kepada petugas penegak hukum itu sendiri untuk menguji setiap perkara yang masuk didalam proses, untuk selanjutnya diadakan penyaringan-penyaringan yang dalam hal ini disebut dengan diskresi. Berdasarkan hal tersebut maka apabila berbicara soal diskresi kepolisian dalam sistem peradilan pidana, maka akan ditemukan suatu hubungan antara hukum, diskresi, kepolisian, penyidikan dan sistem peradilan pidana. Maka pokok permasalahan yang akan dikaji pada hakekatnya adalah bekerjanya hukum dan diskresi kepolisian itu. Polisi mempunyai peran yang sangat besar didalam penegakan hukum pidana. Polisi sebagai bagian dari aparat penegak hukum merupakan salah satu subsistem yang bertugas dalam bidang penyidik dan penyelidik tindak pidana. Kedudukan Polri sebagai penegak hukum tersebut ditetapkan dalam Undangundang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 2 bahwa: “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”. Ketentuan pasal di atas dapat terlihat dengan jelas bahwa Polri dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum mempunyai fungsi menegakkan hukum di bidang yudisial, tugas preventif maupun represif. Sehingga dengan dimilikinya kewenangan diskresi dibidang yudisial yang tertuang dalam UU No 2 tahun 2002 pada 4 Pasal 18 ayat (1) bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”, maka akan menjadi masalah apabila dengan adanya diskresi ini justru malah merangsang atau memudahkan penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi. Luasnya kekuasaan yang dimiliki oleh polisi, mempunyai potensi kekuasaan itu disalahgunakan untuk keuntungan diri sendiri, kelompok maupun organisasi lain. Padahal penggunaan kekuasaan diskresi yang diberikan oleh pembuat undangundang sebenarnya apabila jalur hukum yang disediakan untuk menyelesaikan suatu masalah malah menjadi kurang efisien, kurang ada manfaatnya maupun macet. Ditinjau dari sudut hukumpun setiap kekuasaan akan dilandasi dan dibatasi oleh ketentuan hukum. Namun, kekuasaan diskresi yang begitu luas dan kurang jelas batasbatasnya akan menimbulkan permasalahan terutama apabila dikaitkan dengan asas-asas hukum pidana yaitu asas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Dalam penelitian ini perumusan masalah dari masalah-masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimanakah pelaksanaan diskresi fungsional dalam proses penyidikan perkara tindak pidana? b. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan diskresi fungsional dalam proses penyidikan tindak pidana? Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan didukung denga pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan. II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Diskresi Fungsional Dalam Proses Penyidikan Perkara Tindak Pidana Adanya kewenangan penyidik untuk dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab menjadi dasar bagi pelaksanaan diskresi penyidik. Kewenangan tersebut biasa digunakan secara fungsional oleh penyidik yang disebut sebagai diskresi fungsional penyidik. Dengan kewenangan ini, seorang penyidik dapat mengambil keputusan/tindakan demi hukum berdasarkan penilaiannya sendiri. Diskresi kepolisian dapat dilakukan di dalam semua bentuk pelaksanaan tugas kepolisian, baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif. Dan tugas represif tersebut dapat dibagi menjadi represif 5 yustisial (penyidikan) dan represif non yustisial (pemeliharaan ketertiban). Penyampingan penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh kepolisian merupakan suatu tindakan diskresi, tapi tidak semua bentuk penyampingan perkara dikatakana diskresi kepolisian, karena tidak sepenuhnya perkara tersebut dikesampingkan. Dalam hal penegakan hukum tindakan diskresi yang diterapkan oleh Kepolisian juga berlandaskan norma-norma yang telah ditentukan oleh Kepolisian itu sendiri. Diskresi melibatkan pula hubungan dan keterkaitan dengan code of conduct (norma tingkah laku) dalam arti standard atau prinsip atau aturan tentang perilaku petugas penegak hukum atau dalam praktek penegakan hukum. jika seorang advokat/penasehat hukum datang ke notaris agar si notaris mau membuatkan perjanjian atau pemyataan penyelsaian tentang suatu kecelakaan lalu lintas yang materinya tentang ganti rugi dan tidak saling menuntut perkara pidana atau perdatanya. Maka di dalam konteks ini terjadinya suatu diskresi dalam menjalankan code of conductnya pula, sekalipun jelas perkara kecelakaan itu pasti adalah perkara pidana paling jelek Pasal 359 KUHP di samping itu, maka si professiqnal tersebut, terlibat dalam tidak menjalankan atau menyampingkan Pasal 395 KUHP tersebut. Penerapan diskresi merupakan proses pengambilan keputusan. Keputusan polisi seyogyanya di buat secara secara tepat dan arif. Pengambilan keputusan secara tepat biasanya didasarkan pada pertimbangan yuridis, sedangkan pengambilan keputusan secara arif didasarkan atas pertimbangan moral. Pekerjaan kepolisian adalah pekerjaan yang hampir tidak bisa di control karena sering kali melibatkan pertimbangan moral. Kepentingan untuk mendapatkan pertimbangan moral dalam penerapan diskresi kepolisian semakin berarti mengingat karakter konflik yang melekat dalam pekerjaan penegakan hukum. Sebagaimana dikemukakan terdahulu, tugas kepolisian seringkali dihadapkan pada situasi konflik antara menegakkan hukum dan menjamin kamtib. Konflik tersebut semakin besar lagi mengingat Negara kita sebagai negara yang sedang berkembang. Diskresi pada kepolisian ada dua pola seperti yang dikatakana oleh Dwi Purwanto diskresi yang di terapkan adalah: 1. Di bidang kamtibmas ( keamanan dan ketertiban masyarakat). Semua anggota kepolisian secara menyeluruh baik dari kalangan pangk:d yang paling rendah sampai pangkat yang paling tinggi memiliki hak untuk melakukan tindakan diskresi. 2. Di bidang penegakan hukum. Diskresi kepolisian hanya dapat dilakukan oleh penyidik dan penyidik pembantu karena di dalam penegakan hukum diperlukan orangoranp, yang memerlukan konpetensi, intelejensi, serta kecakapan di dalani bertindak.2 2 Hasil Wawancara Penulis Di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung, pada hari senin tanggal 11 Februari 2013 pukul 10.00. 6 Diskresi kepolisian yang dilakukan oleh semua jajaranya berpedoman pada Asas kewajiban kepolisian, asas kewajiban sering di gunakan di dalam bidang kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat). Salah satu contoh anggota kepolisian yang bertugas dilapangan yang pangkatnya paling bawah atau bayangkara dua, sabhara, ataupun anggota lain yang pangkatnya lebih tinggi dari itu. Tindakan diskresi yang di lakukan adalah diskresi pada bidang tugas Sabhara ini sering kali diterapkan pada saat pelaksanaan tugas patroli. Tujuan utama patroli adalah untuk preventif, tetapi tidak berarti apabila di temukan suatu peristiwa yang memerlukan tindakan represif maka polisi tidak bertindak. Usaha preventif di maksudkan untuk mencegah terjadinya kejahatan atau pelanggaran dengan menghapuskan factor kesempatan. Sehubungan dengan hal itu terdapat anggapan bahwa kejahatan atau pelanggaran akan terjadi jika factor niat bertemu dengan factor kesempatan. Sedangkan tujuan represif arlalah untuk menindak suatu kejahatan yang merupakan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban umum. Tindakan yang di maksud di sini adalah tindakan yang di ambil oleh petugas apabila menemukan tindak pidana yang merupakan gangguan bagi ketertiban dan keamanan umum. Peristiwa itu belum merupakan tindak pidana, tetapi petugas polisi sudah menindaknya dengan tujuan untuk menghindari terlaksananya suatu tindak pidana. Sedangkan diskresi di dalam pola penegakan hukum yang di terapkan oleh penyidik atau penyidik pembantu adalah penyidik merasa memiliki kewenangan untuk menerapkan diskresi setelah melihat dan mengkaji kasus-kasus yang di tanganinya apakah bisa di terapkan diskresi atau tidak semua. hal itu penyidik maupun penyidik pembantu semua kebijakannya harus ada koordinasi terlebih dahulu dengan pimpinannya. Intinya tergantung atasan atau pimpinan. Penerapan diskresi di dalam bidang penegakan hukum Pasal 5 ayat I huruf a, angka 4 KUHAP adalah: yang di maksud dengan "tindakan lain" adalah tindakan dari penyidikan untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat: a. Tidak bertentangan dengan aturan hukum; b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskam dilakukan tindakan jabatan; c. Tindakan itu harus dan masuk akal dan temiasuk dalam lingkungan jabatannya. d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa. e. Menghormati hak asasi manusia. Penerapan diskresi di bidang penegakan hukum Pasal 7 ayat (1) huruf c KUHAP adalah: menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka. Contoh kasus di dalam penerapan diskresi di dalam bidang penegakan hukum: Khusus tahun 2009 pada bagian kasat 1 operasional dalam bidang Reskrim di Polresta Bandar Lampung adalah: Kasus l Berkas Perkara, No. Pol: BP/410/41/2009/DIT RESKRIM. Laporan Polisi : LP/K/65/III/2009/siaga operasional. Tanggal 28 maret 2009. Perkara : 7 Tindak Pidana Perbankan. TKP : PT. Bank Lampung. Tersangka : wahyudin Amin. Pasal yang di langgar : Pasal 49 ayat (2) huruf b. UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah di ubah dengan UU No 10. Tahun 1998 tentang Perbankan jo pasal 55 ayat (1) ke 1. KUHP jo Pasal 64 ayat (1) ke 1 KUHP. pidana seperti yang telah di kemukakan oleh penulis di atas berdasarkan prinsip tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, sebagai mana di sebutkan dalam pasal-pasal dan UndangUndang yang menyangkut tentang tindakan yang telah di terapkan di atas.3 Kasus 2 Berkas Perkara, NO. POL: BP/86/XI/2009/DIT. Reskrim. Laporan Polisi : LP/K/193/IX/2009/siaga operasional. Tanggal 21 september 2007. Perkara: dengan sengaja dan melawan hukum penyuapan terhadap dengan pegawai negeri atau pejabat penyelenggara Negara maksud Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban. TKP (tempat kejadian perkara) : kantor lapas Wayrui Kota Tanjung Karang. Korban : Ruslan ALs. Mamiq Lilik Als. Janggrat. Als Datuq. Tersangka: sudarso. S.H. M.H. DKK. Pasal yang di langgar: Pasal 5 ayat (2) UU NO. 20 Tahun 2001 dan atau Pasal 223 KUHP Jo. 426. KUHP. Sebelumnya penulis juga telah menanyakan kepada penyidik pembantu yang menangani perkara di dalam penerapan diskresi tantang langkah-langkah pihak penyidik pembantu di dalam menerapkan diskresi pada kasus yang di diskresikan. Telah di kemukakan oleh Hasyim adalah: a. Penilaian penyidik tentang kasusnya menyimpulkan keterangan yang di perlukan dari tersangka sudah cukup. b. tersangka tidak melarikan diri, karena semua identititas dan tempat tinggal, pekerjaan tersangka segalanya jelas c. tidak akan menghilangkan barang bukti. d. tersangka tidak akan mengulangi perbuatannya.4 Alasan yang dikemukakan oleh penyidik tentang penerapan diskresi kepolisian pada wawancara penulis dengan pihak kepolisian yaitu penyidik Dwi Purwanto dikantor Polrsta Bandar Lampung, dalam kasus yang telah di terapkannya diskresi di atas, pihak penyidik kepolisian memerintahkan kepada tersangka yang tidak di tahan untuk wajib lapor karena pihak kepolisian hat tersebut di anggap sah dan berdasarkan hukum. Atas tindakan tersebut pihak penyidik kepolisian penerapan diskresi pada kasus-kasus Panarapan diskresi yang di lakukan oleh pihak penyidik kepolisian terhadap tersangka dengan berlandaskan regulasi-regulasi yang telah di jelaskan di atas bukan tidak ada batasanya akan tetapi di berikan batasan secara limitative di dalam Pasal 16 ayat ( 2 ) UU No.2 Tahun 2002 tentang kepolisian yaitu: 3 Hasil Wawancara Penulis Di Kepolisian Daerah Lampung, pada hari senin tanggal 11 Februari 2013 pukul 10.00. 4 Hasil Wawancara Penulis Di Kepolisian Resor Kota BandarLampung, pada hari senin tanggal 11 Februari 2013 pukul 10.00. 8 1. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; 2. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut di lakukan; 3. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatanya; 1) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatanya; 2) pertimbangan yang layak berdasarkan berdasarkan keadaan memaksa; 3) menghormati hak azasi manusia. Selain pasal-pasal yang telah di jelaskan di atas, pasal-pasal ini juga menjelaskan tentang penerapan diskresi Kepolisian yang menjadi (landasan atau acuan di dalam bertindak. Berdasarkan uraian di atas, undangundang memberikan wewenang yang begitu besar kepada polisi dalam rangka melaksanakan tugasnya, sehingga tidak salah kiranya jika tindakan-tindakan kepolisian tersebut perlu diimbangi dengan adanya pengawasan-pengawasan dan harus dapat dipertanggungjawabkan oleh ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dikarenakan antara subsistem yang satu dengan yang lainnya terdapat keterkaitan satu dengan yang lainnnya. Ketidaksempurnaan kerja dalam salah satu subsistem, akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem lainnya. Demikian pula, reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu subsistem akan menimbulkan dampak kembali pada subsistem yang lainnya. Dengan demikian mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, bukan saja tanggungjawab kepolisian, tetapi kejaksaan dan pengadilan juga turut bertanggungjawab melalui putusan yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat. Gambaran di atas lebih sebagai hal yang ideal. Akan tetapi pada kenyataanya, berbagai variabel diluar sistem peradilam pidana, justru potensial sebagai variabel yang mempengaruhi efektif atau tidaknya kerja sistem.Karena cakupan yang demikian maka sistem peradilan pidana lebih berdimensi kebijakan lewat suatu sistem untuk menanggulangi masalah kejahatan. Pada titik ini jelas bahwa penegakan hukum lewat sistem peradilan pidana merupakan bagian dari kebijakan perlindungan masyarakat untuk mencapai dan menikmati kedamaian serta kesejahteraan. Apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-segi negatif dari perkembangan masyarakat, maka hendaknya dilihat dalam hubungannya dengan keseluruhan politik kriminal atau kebijakankebijakan sosial. Bertitik tolak dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa penegakan hukum pidana untuk menanggulangi masalah kejahatan tidak akan maksimal apabila tidak terkait dan tidak searah dengan kebijakan-kebijakan sosial lainnya. B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Diskresi Fungsional Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana. Penegakan hukum adalah proses pemberlakukan hukum diatur dalam suatu undang-undang baik undang- 9 undang formal maupun undangundang materil. Penegakan hukum dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktorfaktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktorfaktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: a. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undangundang saja. b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.5 Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan oleh penulis tentang diskresi di atas, tindakan diskresi yang di lakukan oleh pihak-pihak kepolisian merupakan langkah di dalam mengurangi tindak Pidana dalam kamtihmas (keamanan dan ketertiban masyarakat). Tindakan diskresi adalah merupakan langkah awal dari perbuatan pidana atau sebelum perbuatan pidana itu di lakukan, misalkan dengan situasi dan kondisi yang besar peluang untuk melakukan kejahatan, karena kejahatan yang timbul bukan hanya 5 Soerjono Soekanto. Faktorfaktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 25 karena ada niat si pelaku akan tetapi karena kondisi dan situasi yang berpeluang sangat besar untuk melakukan tindak pidana.Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pemberian diskresi, yaitu : 1. Faktor Hukumnya Sendiri Adanya kesenjangan perundangumdangan sebagai landasan dan pedoman bagi semua lembaga penegak hukum, inkonsistensi penerapan peraturan di lapangan dalam pelaksanaan diskresi Kepolisian yang paling sederhana dapat dilihat pada beragamnya batasan kewenangan pada peraturanperaturan yang terkait. Akibatnya aparat penegak hukum membuat putusan yang tidak konsisten dalam suatu perkara yang memiliki kemiripan unsur-unsur perbuatan. Terkait dengan kewenangan pemberian diskresi ini, bisa terjadi karena adanya kesenjangan antara peraturan hukum positif yang berlaku dengan tuntutan atau kepentingan tugas, misalnya: a. Karena kepentingan yang dilanggar tidak terlalu serius, dianggap terlalu ringan, dan tak merugikan orang banyak atau kepentingan nusa dan bangsa. b. Karena peraturan-peraturan hukum yang memberi keleluasaan petugas untuk memilih suatu tindakan-tindakan tertentu. Maka dengan demikian pemberian diskresi dapat dipengaruhi oleh pemikiran petugas terhadap faktor hukumnya. Jadi dengan kenyataan hukum yang demikian itulah faktor hukum tersebut dapat mempengaruhi 10 penegak hukum khususnya dalam pemberian diskresi Kepolisian. 2. Faktor Penegak hukum Masalah ini merupakan hambatan yang lain yang masih banyak terjadi dalam menegakkan suatu ketentuan hukum, dalam hal ini tingkat intelegensi dan profesionalisme aparat Kepolisian yang sangat menentukan pengambilan tindakan diskresi kepolisian tersebut. Tindakan-tindakan penegak hukum dalam mengambil keputusan sendiri itu memerlukan kemampuan intelektual, situasi, moral atau etika dan tujuan yang dikehendaki. Hal yang demikian itu dapat mempengaruhi setiap sikap dan tindakan di dalam mempergunakan wewenang diskresi itu. Faktor petugas ini dipengaruhi oleh kedudukan dan peran petugas dalam menegakkan hukum. Lamanya masa dinas anggota, jabatan/pangkat anggota, pandangan anggota tentang kasus tersebut dibandingkan kasus lainnya dan tingkat frustrasi anggota tentang tidak efektifnya sistim peradilan pidana. Dengan demikian bentuk pelanggaran dan keadaan sipelanggar ikut menentukan keputusan Polisi untuk menggunakan diskresi. Otonomi petugas lapangan dipengaruhi berbagai faktor, sebagian besar tugas-tugas bawahan tidak dapat direncanakan dengan teliti karena sifatnya yang selalu mendadak, seperti mendatangi TKP dan melayani situasi darurat lainnya. Para supervisor jarang dapat melakukan pengawasan langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. 3. Faktor Masyarakat Maksud dari faktor masyarakat, yaitu dimana masyarakat baik korban maupun pelaku atau tersangka tindak pidana yang menginginkan penyelesaian yang cepat tanpa melalui pengadilan memberikan akses bagi polisi untuk mengambil tindakan diskresi. Di sisi lain juga adanya kurangnya pemahaman anggota masyarakat tentang diskresi, karena sesungguhnya di dalam membicarakan persoalan diskresi ini titik sentralnya adalah pendapat atau keyakinan si petugas terhadap permasalahan yang dihadapi, tetapi permasalahan yang dihadapi tak terlepas dari orang yang dihadapi oleh petugas itu. Jika petugas menganggap masyarakat yang dihadapi adalah warga negara yang dilindungi, dibina, diayomi, dibimbing, atau dilayani, maka kecenderungan pemberian diskresi akan lebih besar. III. SIMPULAN Berdasarkan pada perumusan masalah dan pembahasan masalah yang telah penulis uraikan pada babbab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan diskresi fungsional dalam proses penyidikan perkara tindak pidana diskresi oleh seorang petugas Polisi dimulai dari proses pemanggilan, penangkapan, pemeriksaan tersangka dimana letak munculnya diskresi dalam proses penyidikan, mengenai tindakan penyidikan tersebut terdapat tindakan diskresi dalam proses penyidikan oleh kepolisian yang dimana pada proses penangkapan. Pelaksanaan diskresi Kepolisian sendiri harus dilakukan melalui pengawasan yang ketat baik dari eksternal maupun dari internal kepolisian itu sendiri. Hal ini dibutuhkan 11 untuk menjaga profesionalisme serta kemandirian Polri terutama ditengah situasi dinamika kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. wewenang yang begitu besar kepada polisi dalam rangka melaksanakan tugasnya, sehingga tidak salah kiranya jika tindakantindakan kepolisian tersebut perlu diimbangi dengan adanya pengawasan-pengawasan dan harus dapat dipertanggungjawabkan oleh ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan diskresi fungsional dalam proses penyidikan tindak pidana antara lain adalah faktor hukum di mana adanya kesenjangan antara peraturan hukum positif yang berlaku dengan tuntutan atau kepentingan tugas. Dari faktor aparatur dalam mengambil keputusan memerlukan kemampuan intelektual, situasi, moral atau etika dan tujuan yang dikehendaki. Lamanya masa dinas anggota, jabatan/pangkat anggota, pandangan anggota tentang kasus tersebut dibandingkan kasus lainnya dan tingkat efektifitas sistim peradilan pidana. Sedangkan dari faktor masyarakat yang dihadapi adalah warga negara yang dilindungi, dibina, diayomi, dibimbing, atau dilayani, maka kecenderungan pemberian diskresi akan lebih besar. Penerapan diskresi pada kasus tindak pidana, pihak kepolisian sebaiknya benar-benar obyektif bukan subyektif atau melihat tersangka atau pelaku tapi melihat bagaimana kasus yang akan diterapkan tindakan diskresi di perkenankan atau tidak di perkenankan di liat dari sisi perkara yang di hadapinya. DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi, 2002, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. Atmasasmita, Romli, 2008, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Armico, Bandung. Ashshofa, Burhan, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Bassar, Sudradjat, 1986, Tindaktindak pidana tertentu, Remadja Karya, Bandung. Soekanto. Soerjono, 2005, Faktorfaktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. ________________, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.