SENI SEBAGAI FAKTA SOSIAL: SEBUAH PENDEKATAN DENGAN PARADIGMA SOSIOLOGIS Wadiyo∗) Abstrak Seni dapat didekati dengan menggunakan berbagai sudut pandang ilmu, salah satu di antaranya adalah sosiologi. Dalam sosiologi yang menjadi pokok persoalan adalah masyarakatnya bukan seninya. Dengan demikian jika seni tersebut didekati dengan menggunakan disiplin ilmu sosiologi maka yang dipelajari adalah masyarakat yang menggunakan seni tersebut untuk kepentingan apa pun, utamanya kepentingan untuk memahami masyarakat pengguna seni. Dalam hubungannya dengan fakta sosial, sebenarnya hanya untuk menunjuk pokok persoalan tertentu yang menjadi fokus kajian sosiologi, yakni fakta sosial. Isi fakta sosial adalah struktur sosial dan pranata sosial. Salah satu wujud nyata fakta sosial adalah kehidupan kelompok. Dalam kenyataannya, kehidupan di masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok sosial. Penggunaan istilah paradigma dalam kajian ini, digunakan untuk menunjuk pokok persoalan apa yang semestinya dikaji oleh disiplin ilmu tertentu yang dalam hal ini adalah sosiologi. Nyatanya pokok persoalan yang dikaji ilmu sosiologi adalah ganda, di antaranya adalah fakta sosial ini. Kehidupan seni di masyarakat juga merupakan fakta sosial. Oleh karena itu tidak keliru jika didekati dengan menggunakan pendekatan sosiologi. Kata-kata kunci: fakta sosial, kelompok, struktur sosial, pranata sosial, seni. Pendahuluan Berbicara tentang seni dalam paradigma fakta sosial, akan berkait erat dengan disiplin ilmu sosiologi. Dikatakan demikian sebab fakta sosial adalah salah satu dari paradigma yang ada pada sosiologi. Dalam disiplin ilmu sosiologi, para tokohnya mempunyai pandangan sendiri-sendiri terhadap apa yang semestinya dikaji atau dipelajari. Berangkat dari pandangan yang berbeda-beda itu, akhirnya berdiri sebuah ilmu sosiologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang berparadigma ganda. Istilah paradigma menurut Ritzer (1975) secara umum berkait dengan pokok persoalan apa yang semestinya dikaji/dipelajari oleh disiplin ilmu tertentu, yang dalam hal ini adalah sosiologi. Berhubung para tokohnya mempunyai pandangan yang berbeda-beda, maka kajian sosiologi selalu ganda yang masing-masing dikenal dengan istilah paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, paradigma perilaku sosial, dan jika ada paradigma yang lain, paradigma lain itu ∗) Penulis adalah Dosen Jurusan Pendidikan Sendratasik FBS UNNES hanya menggabungkan paradigma-paradigma yang telah ada atau biasa disebut dengan paradigma terpadu. Secara sosiologis, kehidupan seni di masyarakat juga dapat dikaji dengan menggunakan paradigma-paradigma yang ada pada sosiologi itu. Salah satu paradigma dalam sosiologi yang akan digunakan untuk mengkaji kehidupan seni di masyarakat dalam konteks tulisan ini adalah paradigma fakta sosial. Teori yang akan digunakan untuk menjawab atau menjelaskan persoalan yang ada pada paradigma fakta sosial ini adalah teori struktural fungsional dan teori konflik. Digunakannya teori struktural fungsional dan teori konflik karena teori itu dianggap paling dominan yang dapat digunakan untuk menjawab dan atau menjelaskan persoalan-persoalan yang ada atau dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena yang ada pada kehidupan seni di masyarakat saat sekarang. Berikut akan dikemukakan tentang fakta sosial dalam paradigma sosiologi dan kehidupan seni di masyarakat sebagai fakta sosial. Berkait dengan itu selanjutnya akan dipaparkan pula teori struktural fungsional dan teori konflik dalam hubungannya dengan fenomena kehidupan seni di masyarakat. Paradigma Fakta Sosial Menurut Ritzer (dalam Alimandan 1992) fakta sosial adalah barang sesuatu. Untuk mencari barang sesuatu tersebut harus diteliti dalam dunia nyata. Fakta sosial terdiri atas dua macam, yakni fakta sosial dalam bentuk material dan fakta sosial dalam bentuk nonmaterial. Fakta sosial dalam bentuk material, adalah barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Contohnya adalah arsitektur dan norma hukum. Demikian dikemukakan oleh Ritzer dengan mengambil pendapat Durkheim dalam bukunya yang sangat terkenal berjudul The Rule of Sociological Method 1964. Dalam bahasa umum, arsitektur dapat dipahami sebagai suatu gaya rancangan suatu konstruksi (The Liang Gie 1996); sedangkan norma hukum menurut Taneko (1993) kurang lebih dapat dipahami sebagai aturan perilaku dan atau tindakan masyarakat yang “harus ditaati oleh seluruh warga masyarakat dalam wilayah hukum masyarakat tersebut”. Fakta sosial dalam bentuk material ini adalah nyata bagi individu dan berpengaruh terhadap mereka. Fakta sosial dalam bentuk nonmaterial, yaitu sesuatu yang dianggap nyata namun fenomenanya bersifat intersubjektif yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia. Fakta sosial dalam bentuk nonmaterial ini menurut Durkheim (dalam Ritzer 1975 dan Hoselitz 1988) misalnya egoisme, altruisme, dan opini. Egoisme dalam pemahaman ini dapat dimengerti sebagai suatu sikap dan atau perilaku yang mengutamakan kepentingan diri sendiri. Altruisme dapat dimengerti sebagai suatu sikap atau perilaku yang mengutamakan kepentingan orang lain, jadi kebalikan dari egoisme. Opini dapat dimengerti sebagai suatu pendapat, pendirian, dan atau pikiran yang ada pada masyarakat luas. Fakta sosial dalam bentuk nonmaterial ini adalah nyata tidak berbeda dengan fakta sosial dalam bentuk material. Setidaknya keduanya sama-sama nyata bagi individu dan berpengaruh terhadap mereka. Dalam perkembangan lebih lanjut, sebagian dari pendukung fakta sosial tidak memisahkan lagi antara fakta sosial dalam bentuk material dan fakta sosial dalam bentuk nonmaterial. Keduanya dianggap sebagai barang sesuatu yang nyata dan tidak perlu dipisahkan. Ritzer (1975) mengemukakan, salah seorang pendukung fakta sosial yang paling kokoh pendiriannya untuk tidak membedakan antara fakta sosial dalam bentuk material dan fakta sosial dalam bentuk nonmaterial adalah Charles K. Warriner. Ia mempunyai karya yang sangat terkenal berjudul Groups Are Real: A Reaffirmation. Dalam karyanya itu ia hanya memusatkan perhatiannya pada satu fakta sosial saja yakni kehidupan kelompok. Namun demikian menurutnya kasus yang sama dapat pula diterapkan terhadap fakta sosial yang lain. Ia memilih untuk memusatkan penyelidikannya kepada kehidupan kelompok karena kelompok adalah fakta sosial yang dianggapnya sebagai yang terpenting. Kelompok adalah suatu fakta sosial yang nyata meskipun tidak senyata kursi atau meja. Karya Warriner (1956) itu memuat pula empat kriteria yang dipakai untuk menyatakan kehidupan kelompok sebagai barang sesuatu yang nyata, yakni nominalist position, interaksionisme, neonominalisme, dan realisme. Nominalist position, kelompok itu bukanlah barang sesuatu yang sungguh-sungguh ada secara riil tetapi semata-mata merupakan suatu terminologi atau suatu pengertian yang digunakan untuk menunjukkan kepada kumpulan individu. Interaksionisme, menolak pembedaan individu dan kelompok sebab tidak ada individu tanpa kelompok dan tidak ada kelompok tanpa individu. Neonominalisme, menerima proposisi yang menyatakan kelompok itu nyata-nyata ada namun kelompok kurang riil dibanding individu. Realisme, kelompok sama riilnya dengan individu tapi keduanya juga boleh dikatakan sebagai sesuatu yang abstrak. Keempat kriteria yang dikemukakan oleh Warriner itu, sebenarnya gunanya hanya lah untuk unit analisis. Lebih lanjut kelompok difahami dan diaplikasikan khusus dalam istilah untuk menerangkan proses sosial. Mengenai keriilan kehidupan kelompok ini, Hoselitz (1988) melihat Warriner berpandangan sama dengan Durkheim. Warriner dan Durkheim berpandangan, ada empat proposisi yang menguatkan kehidupan kelompok dianggap sebagai sesuatu yang riil sekalipun tidak seriil individu. Pertama, kita dapat melihat orang atau individu tetapi tidak dapat melihat kelompok kecuali dengan mengamati individu. Dalam hal ini berarti kelompok lebih abstrak daripada individu. Kedua, kelompok tersusun dari para individu. Ketiga, fenomena sosial hanya mempunyai realitas dalam individu-individu. Keempat, tujuan mempelajari kelompok adalah untuk membantu menerangkan dan untuk meramalkan perilaku individu. Fakta sosial dalam bentuk material dan nonmaterial atau pun fakta sosial dalam bentuk kehidupan kelompok manusia yang dianggap oleh sosiolog Warriner sebagai bentuk fakta sosial yang paling nyata telah diuraikan. Saat sekarang yang lebih penting dari itu adalah, kita perlu mengetahui pokok persoalan apa yang menjadi pusat penyelidikan sosiologi menurut paradigma fakta sosial ini. Secara garis besar kita dapat melihat dua pokok persoalan yang menyatu dalam fakta sosial ini, yakni struktur dan pranata atau lebih tepatnya dikatakan struktur sosial dan pranata sosial. Fakta sosial dalam bentuk meterial dan fakta sosial dalam bentuk nonmaterial masing-masing mempunyai struktur dan pranata. Demikian pula suatu kehidupan kelompok sebagaimana yang dikemukakan oleh Warriner yang dianggapnya sebagai yang terpenting dalam bentuk nyata fakta sosial, juga mempunyai struktur dan pranata. Struktur sosial secara umum dapat dimengerti sebagai hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial dan antara perananperanan atau jaringan dari unsur-unsur sosial sedangkan pranata sosial secara umum dapat dimengerti sebagai norma dan nilai suatu kehidupan masyarakat atau suatu kehidupan kelompok sosial masyarakat (Soekanto 1993). Pengertian tentang struktur sosial dan pranata sosial di antaranya juga dapat dimengerti dari penjelasan Ritzer (dalam Alimandan 1992) bahwa struktur sosial adalah jaringan hubungan sosial di mana suatu interaksi sosial berproses dan menjadi terorganisasi serta melalui mana posisi-posisi sosial dari individu dan subkelompok dapat dibedakan. Norma-norma dan pola nilai yang dijadikan acuan untuk bersikap dan bertindak di tempat dan atau dalam hubungan sosial itu berlangsung, dinamakan pranata sosial. Suatu kehidupan kelompok sosial menurut Soekanto (1993) dan Taneko (1993) dalam pandangan sosiologi sebenarnya hanya satu dari unsur sosial masyarakat yang ada. Unsur sosial yang lebih lengkap adalah kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang. Berkait dengan itu suatu struktur sosial tidak hanya menjelaskan berbagai hubungan antar unsur sosial yang ada, namun juga menjelaskan hubungan sosial/jaringan sosial dari setiap unsur sosial. Kehidupan Seni di Masyarakat sebagai Fakta Sosial Telah dijelaskan pada bagian paradigma fakta sosial bahwa, yang terpenting yang dikaji atau yang menjadi pokok persoalan paradigma fakta sosial berdasar sebuah pendekatan sosiogis adalah struktur sosial dan pranata sosial dari sebuah fakta sosial. Dalam hal ini baik itu fakta sosial dalam bentuk material atau fakta sosial dalam bentuk non material, atau pun fakta sosial yang tidak membedakan antara bentuk material dannonmaterial seperti halnya kehidupan kelompok yang dikemukakan oleh Warriner. Sisi lain dari itu telah dijelaskan pula unsur-unsur sosial seperti kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang Sebenarnya kehidupan kelompok sosial hanya salah satu dari unsur sosial dalam sebuah struktur sosial tersebut. Berkait dengan itu maka sebenarnya dapat dipahami pula bahwa suatu struktur sosial hanya menjelaskan jaringan antar unsur sosial yang ada dan jaringan hubungan sosial dari setiap unsur sosial sebagai aspek statis, sedangkan pranata sosial menjelaskan bagaimana proses hubungan sosial antara unsur sosial berlangsung sebagai aspek dinamis. Sebuah kehidupan seni di masyarakat yang didekati dengan menggunakan kacamata sosiologi atau biasa disebut dengan sosiologi seni sebagaimana ditulis oleh Dasilva (1984), yang dipelajari atau yang dikaji bukan seninya melainkan masyarakatnya atau kelompok masyarakat yang menggunakan kesenian tersebut. Jika demikian maka tampaknya menjadi berkesesuaian antara apa yang dikemukakan oleh Warriner tentang pentingnya mempelajari kehidupan kelompok dalam sebuah kehidupan sosial masyarakat dan penting pula tampaknya mempelajari antar unsur sosial dalam masyarakat sebagaimana yang dikemukakan oleh Soekanto dan Taneko, seperti kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang untuk mengetahui bagaimana kesenian digunakan sebagai sarana berinteraksi antar individu, kelompok, dan unsur sosial yang lain berdasar pada pranata sosial yang dijadikan pedoman atau acuan dalam bersikap dan bertindak. Di sini kita bisa melihat sebuah kasus misalnya, kepopuleran sebuah kelompok musik hiburan. Kelompok musik tersebut dalam pandangan sosiologi termasuk sebuah fakta sosial. Dikatakan fakta sosial karena dalam kelompok tersebut jelas mempumyai struktur dan memiliki pranata atau di dalam struktur tersebut ada pranata atau norma dan nilai yang dipatuhi oleh individu-individu yang ada pada kelompok tersebut. Pengertian norma di sini adalah norma kelompok, yakni suatu ukuran atau pandangan tentang sesuatu atau pun sejumlah tingkah laku, demikian menurut Garna (1996) yang diterima dan disepakati bersama oleh anggota atau individu-individu dari kelompok tersebut. Dengan terbentuknya sebuah kelompok apalagi kelompok tersebut sampai terkenal atau populer, tentu tiap anggota mengikuti atau mematuhi norma kelompok itu. Dalam bahasa yang mudah dipahami menurut Walgito (1978) yang dimaksud dengan istilah norma kelompok di sini adalah pedoman-pedoman yang mengatur perilaku atau perbuatan anggota kelompok tersebut. Di samping norma, dalam kelompok tersebut juga terdapat nilai yang dijadikan pegangan bersama. Pengertian nilai di sini menurut Soedjito (1991) dimaksudkan sebagai sesuatu yang pantas dilakukan atau segala sesuatu yang dianggap tidak pantas dilakukan atau apa-apa yang dianggap baik dan apa-apa yang dianggap buruk yang tidak boleh dilakukan sebagai larangan oleh kelompok tersebut. Sebuah kelompok musik hiburan yang dicontohkan tadi bisa menjadi terkenal tentunya karena ada kerjasama (sebagai bentuk hubungan sosial) antara kelompok itu dengan pihak-pihak lain. Sebagai misal, kelompok musik tersebut ingin merilis sebuah album dalam bentuk kaset. Di sini kelompok tersebut harus melakukan kerjasama dengan penyelenggara produk musik/industri kaset. Setelah jadi dalam wujud kaset, agar kaset tersebut dikenal oleh masyarakat maka diperlukan media cetak seperti koran dan majalah serta media elektronik seperti radio dan televisi sebagai sarana promosi. Tidak cukup dengan itu, sangat penting pula bahwa kaset tersebut harus tersedia di toko-toko penjual kaset. Di sini jelas pihak pedagang juga memegang posisi penting, baik dari tingkat grosir atau agen sampai ke pedagang eceran. Sampai di sini masih dirasa belum cukup lagi, kelompok musik tersebut masih harus manggung atau pentas di berbagai tempat untuk menjalin hubungan dengan fansnya melalui kerjasama dengan penyelenggara-penyelenggara pertunjukan. Bentuk kerjasama untuk mencapai kepopuleran sebuah kelompok seperti kelompok musik yang dicontohkan tadi juga bisa dinamakan fakta sosial, namun dalam bentuk fakta sosial yang kompleks karena telah banyak melibatkan unsur-unsur sosial yang lain, seperti kelompok musik itu sendiri dengan kebudayaan yang dipangkunya, lembaga sosial yang ada, stratifikasi sosial masyarakat, dan kekuasaan serta wewenang utamanya berkait dengan pemerintah sebagai penegak aturan. Dalam hal hubungan kelompok musik itu dengan kebudayaan, segala sesuatu yang dilakukan oleh kelompok itu senantiasa harus dalam bingkai budaya masyarakatnya. Dalam hal hubungan kelompok dengan lembaga sosial, apa yang dijalankan atau dilakukan oleh kelompok tersebut senantiasa harus mengikuti norma yang berlaku di masyarakat yang dalam masyarakat itu sendiri terdiri dari berbagai lembaga sosial yang salah satu atau beberapa dari lembaga sosial yang ada tentu berhubungan dengan kelompok tersebut. Selanjutnya adalah hubungan kelompok dengan stratifikasi sosial masyarakat. Sebenarnya sebuah kelompok apa pun bentuknya, berada dalam tingkatan tertentu dalam stratifikasi sosial masyarakat. Pada dasarnya sebuah masyarakat terbagi dalam stratifikasi-stratifikasi sosial yang sebuah kelompok apa pun termasuk kelompok musik yang dicontohkan ini tentu menempati stratifikasi sosial tertentu dalam masyarakat tempat kelompok itu hidup dan berkembang. Dalam hubungan kelompok dengan kekuasaan dan wewenang, hidup dan berkembangnya sebuah kelompok sebenarnya tinggal bagaimana kelompok itu dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan suatu kekuasaan dan wewenang serta bagaimana kelompok tersebut tidak melanggar rambu-rambu yang ditentukan oleh suatu kewenangan dan kekuasaan yang berhak mengatur dan menegakkan aturan. Teori Struktural Fungsional dan Teori Konflik dalam Paradigma Fakta Sosial dan Fenomena Kehidupan Seni di Masyarakat Ada dua teori yang dominan yang dapat digunakan untuk menjawab dan atau menjelaskan fenomena kehidupan seni di masyarakat sebagai bentuk fakta sosial. Dua teori itu masing-masing adalah teori struktural fungsional yang ditokohi oleh Robert K. Merton dan teori konflik yang ditokohi oleh Ralp Dahrendorf (Ritzer dalam Alimandan 1992). Teori struktural fungsional menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik serta perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifes, dan keseimbangan. Menurut teori struktural fungsional, masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Secara ekstrim penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Kalau terjadi konflik, penganut teori ini memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan. Teori ini juga mengakui, selain ada fungsi juga ada disfungsi. Ada fungsi manifes dan ada juga fungsi laten. Segala fakta sosial dan peristiwa yang ada dalam masyarakat adalah fungsional dalam artian positif dan negatif. Masyarakat dilihat dalam kondisi dinamika dalam keseimbangan. Salah satu contoh kehidupan seni di masyarakat saat sekarang sebagai bentuk fakta sosial yang sedang populer dan kontroversial di masyarakat adalah tampilan Inul Daratista di panggung pertunjukan musik dangdut. Tampilannya dianggap seronok (porno aksi) oleh kelompok pedangdut lain yang tidak sehaluan dan kelompok-kelompok di luar kelompok musik dangdut dari golongan masyarakat tertentu. Dalam teori struktural fungsional, tampilan Inul Daratista dan kawankawan seperti Anisa Bahar, Liza Natalia, dan lain-lain yang dianggap seronok atau porno aksi tersebut merupakan fakta sosial yang fungsional bagi fakta sosial yang lain. Kefungsionalan itu misalnya dapat dilihat dari semakin tingginya keuntungan pihak stasiun televisi karena iklan banyak yang masuk, semakin untungnya para pengusaha yang dapat mempromosikan barang dagangannya melalui even tayangan musik dangdut tampilan Inul Daratista dan kawan-kawannya, lalu semakin larisnya kaset dan CD Inul dan kawan-kawannya di pasaran yang menguntungkan banyak para pedagang kaset dan CD, dan semakin tingginya penerimaan hasil pajak atas penjualan kaset dan CD Inul dan kawan-kawan yang masuk ke kas negara, dan lain sebagainya. Selain sisi fungsional, teori struktural fungsional juga menjelaskan ada sisi disfungsionalnya. Keuntungan di pihak satu belum tentu menguntungkan pihak lain. Fungsional bagi fakta sosial yang satu belum tentu fungsional bagi fakta sosial yang lain. Sisi disfungsional ini dirasakan betul oleh para pedangdut lain yang menjadi kurang mendapat perhatian dari para pemirsa televisi, karena sebagian besar pemirsa perhatiannya tertuju pada Inul Daratista, dan kawan-kawannya yang tampilannya semotif dengan Inul Daratista. Disfungsional yang lain misalnya juga dirasakan oleh golongan masyarakat tertentu yang merasa terganggu oleh lenggak-lenggok Inul Daratista dan kawankawannya, yang mengakibatkan misi-misi hidupnya dan keinginan idealnya merasa terganggu. Lebih lanjut teori struktural fungsional juga menjelaskan, selain sisi fungsional dan disfungsional, ada juga fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes dari tampilan dangdut Inul Daratista ini adalah tersedianya lapangan pekerjaan yang menguntungkan bagi banyak orang berkait dari dampak tampilan dangdut Inul Daratista ini. Fungsi manifes yang lain misalnya, adalah dapat menghibur masyarakat luas dengan biaya yang sangat murah dan bahkan gratis karena masyarakat cukup menyaksikan tampilan Inul Daratista ini dari tayangan televisi yang hampir dimiliki oleh setiap keluarga bagi masyarakat saat sekarang. Fungsi laten juga jelas ada, karena dari tampilan Inul Daratista ini menjadikan adanya pro dan kontra di masyarakat yang mengakibatkan tumpahnya massa antara yang mendukung dan yang anti, yang menjurus kepada ketegangan masyarakat sampai berlebihan bahkan menjurus ke sara. Teori struktural fungsional juga menjelaskan bahwa, jika di masyarakat terjadi suatu konflik maka harus dicari suatu cara untuk menyelesaikannya agar senantiasa masyarakat ada dalam keseimbangan. Fenomena peristiwa Inul Daratista yang mengakibatkan terjadinya pro dan kontra di masyarakat, dapat dijadikan contoh bahwa hal ini harus diselesaikan agar masyarakat tetap dalam keseimbangan. Berkait dengan itu lalu dicari jalan damai dengan cara dirumuskan suatu undang-undang yang diharapkan dapat mengakomodasi keinginan banyak pihak dan banyak kepentingan masyarakat, yang sampai saat sekarang masih terus menerus diupayakan kesempurnaannya agar semua pihak merasa tidak ada yang dirugikan. Berlawanan dengan teori struktural fungsional adalah teori konflik. Teori konflik ini dibangun untuk menentang secara langsung terhadap teori struktural fungsional. Premis yang dikemukakan teori konflik adalah, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus di antara unsurunsurnya. Setiap unsur memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Keteraturan yang ada dalam masyarakat hanya lah disebabkan adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Konsep sentralnya adalah wewenang dan posisi. Keduanya merupakan fakta sosial. Distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematis. Perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam masyarakat. Kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur. Berhubung wewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sangsi. Dengan demikian Dahrendorf sebagai tokoh teori konflik ini mengatakan, masyarakat adalah perseketuan yang terkoordinasi secara paksa. Kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara yang menguasai dan yang dikuasai, oleh karena itu dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Penguasa ingin selalu mempertahankan kekuasaannya sedangkan golongan yang dikuasai selalu ingin mengadakan perubahan. Pertentangan ini ada pada setiap waktu dan dalam setiap struktur. Teori konflik menegaskan, kekuasaan selalu dalam terancam bahaya dan konflik memimpin ke arah perubahan. Teori konflik ini akan kita gunakan untuk menjawab dan atau menjelaskan fenomena Inul Daratista dalam pemanggungan musik dangdut sebagai bentuk fakta sosial seperti yang telah dikemukakan di atas menggunakan teori struktural fungsional. Berhubung teori yang digunakan untuk menganalisis dan atau untuk menjelaskan berbeda dan bahkan bertentangan maka hasilnya pun tentu akan bertentangan karena setiap peristiwa, fenomena, ataupun penjelasan permasalahan hasilnya akan diwarnai oleh teori yang digunakannya. Fenomena tampilan Inul Daratista dalam pemanggungan musik dangdut sebenarnya sebagai suatu hal yang biasa dipandang dari sudut tampilan biduan dangdut pada umumnya. Namun demikian karena seorang Inul adalah pendatang baru dan bahkan dalam blantika musik dangdut seorang Inul dianggap belum mempunyai andil yang banyak, maka semestinya Inul belum menduduki posisi yang sedemikian penting sebagai orang yang “dinomersatukan” atau sebagai bintang dalam pemanggungan yang diekspos besar-besaran untuk masyarakat luas. Nyatanya Inul tidak demikian. Ia secara mendadak menjadi bintang dan bahkan menjadi ikon bagi para pendatang baru yang lain. Fenomena ini berdasar teori konflik, tentu ada pihak yang merasa dirugikan utamanya para senior yang telah banyak berjasa dalam musik dangdut. Posisi para senior yang ada di “atasnya sebagai pemegang kekuasaan ” apa pun alasannya menurut istilah teori konflik terancam dalam bahaya, dalam artian namanya dan pengaruhnya akan tergeser oleh orang yang di bawahnya sebagai orang yang mestinya “dikuasai”. Di sinilah maka terjadi konflik. Orang yang merasa ada di atasnya ingin mempertahankan kepopulerannya sementara bagi pendatang baru ingin mendapat pengakuan dari masyarakat seperti halnya para seniornya yang sudah terkenal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Dalam teori konflik, hal ini jelas dan nyata bahwa adanya kekuasaan dan wewenang yang berbeda akan menjadi sumber ketegangan, yang nyatanya terjadilah pada kasus Inul yang dikenal dengan sebuah kasus atau peristiwa digoyangnya si ratu ngebor. Sebuah fakta sosial telah kita saksikan, yakni fakta sosial berkait dengan peristiwa pemanggungan musik dangdut yang dilakukan oleh Inul Daratista yang akhirnya juga menyeret pada para biduan dangdut lain yang dianggap sehaluan atau setipe dengan gaya penampilan pemanggungan Inul. Hal serupa namun tidak sama menurut penganut teori konflik akan terus menerus terjadi pada setiap waktu dan setiap struktur yang bagaimana pun bentuknya. Fenomena Inul hanyalah sebuah contoh peristiwa sebagai bentuk fakta sosial yang dalam konteks ini dijelaskan menggunakan teori struktural fungsional dan yang terakhir dalam penjelasan ini menggunakan teori konflik. Penutup Seni dalam paradigma fakta sosial berdasar pendekatan sosiologis menekankan kajian pada masyarakat yang berkesenian atau masyarakat yang menggunakan seni untuk kepentingan apa pun bukan seninya itu sendiri. Pengertian paradigma menunjuk pada pokok persoalan apa yang mestinya dikaji oleh disiplin ilmu tertentu yang dalam hal ini adalah sosiologi. Dalam sosiologi. masyarakat terbagi dalam kehidupan kelompok-kelompok yang tiap kehidupan kelompok pasti memiliki struktur dan pranata. Dalam sebuah kelompok yang memiliki struktur dan pranata tersebut dalam ilmu sosiologi dinamakan fakta sosial. Fakta sosial ada yang dalam bentuk material namun juga ada yang dalam bentuk nonmaterial. Namun demikian dalam perkembangannya kedua bentuk tersebut tidak terlalu dipentingkan dan yang dipentingkan dalam sebuah fakta sosial adalah struktur sosial dan pranata sosial itu. Struktur sosial menunjuk pada aspek statisnya sedangkan pranata sosial menujuk pada aspek dinamisnya. Struktur merupakan hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial dan antara peranan-peranan atau jaringan dari unsur-unsur sosial sedangkan pranata sosial secara umum dapat dimengerti sebagai norma dan nilai suatu kehidupan masyarakat atau suatu kehidupan kelompok sosial masyarakat. Oleh karena itu antara struktur dan pranata aplikasinya dalam bentuk fakta sosial tidak bisa dipisahkan dan oleh karena itu pula kajian suatu fakta sosial adalah struktur sosial dan pranata sosialnya. Penjelasan terhadap suatu fenomena sosial dalam bentuk apa pun dalam ilmu sosiologi penting menggunakan pijakan teori. Oleh karena itu pemahaman mendalam terhadap suatu teori berkait dengan fenomena sosial yang akan dikaji, menjadi suatu keharusan. Contoh nyata dalam paradigma fakta sosial, teori yang dominan untuk dapat digunakan sebagai pisau analisis adalah teori struktural fungsional dan teori konflik. Bagaimana jika kita tidak memahami kesemuanya? Kita akan kesulitan. Oleh karena itu kegiatan mempelajari banyak teori adalah penting, yang nantinya dapat dipilih untuk digunakan sebagai pisau analisis terhadap fenomena atau persoalan sosial yang dihadapi. Daftar Pustaka Dasilva, Fabio. 1984. The Sociology of Music. University of Notre Dame Press: Notre Dame Indiana. Garna, Judistira K. 1996. Ilmu-ilmu Sosial Dasar – Konsep – Posisi. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD. Hoselitz, Bert F. 1988. Panduan Dasar Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali Pers. Soekanto, Soerjono. 1993. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soedjito, S. 1991. Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri. Yogyakarta: Tiara Wacana Yoga. Ritzer, George. 1975. Sociology: A Multiple Paradigm Science. Boston : Allyn and Bacon. Ritzer, George. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penyadur Alimandan. Jakarta: Rajawali Pers. Taneko, Soleman B. 1993. Struktur dan Proses Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. The Liang Gie. 1996. Filsafat Seni. Yogyakarta: PUBIB. Walgito, Bimo. 1994. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Offset Warriner, Charles K. 1956. Groups are Real: A Reaffirmation. ASR: The Free Press.