PRESENTASI KASUS Central Serous Retinopathy Oleh: Lutfie 0906487871 Narasumber dr. Gusti G. Suardana, SpM DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA MARET 2013 DAFTAR ISI Halaman Judul ...................................................................................................................... 1 Daftar Isi ................................................................................................................................ 2 Bab I Pendahuluan ................................................................................................................. 3 Bab II Ilustrasi Kasus ............................................................................................................. 4 Bab III Tinjauan Pustaka .................................................................................................... 10 1 Anatomi dan Histologi Makula.................................................................................. 10 2 Defisini dan Patofisiologi CSR .................................................................................. 12 3 Temuan Klinis CSR ................................................................................................... 15 4 Pemeriksaan Penunjang CSR..................................................................................... 17 5 Tatalaksana CSR ........................................................................................................ 17 6 Prognosis CSR ........................................................................................................... 18 Bab IV Pembahasan ............................................................................................................. 19 Bab V Kesimpulan ............................................................................................................... 22 Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 23 2 BAB I PENDAHULUAN Makula adalah bagian pada mata yang bertanggung jawab untuk penglihatan detail / membutuhkan fokus dan sangat dibutuhkan untuk melakukan kegiatan sehari – hari sebagai seorang manusia yang fungsional, misalnya membaca atau menyetir.1,2 Oleh karenanya, kelainan pada makula merupakan sebuah gangguan yang sangat bermakna Salah satu kelainan yang dapat ditemukan adalah Central Serous Chorio Retinopathy (CSCR) / Central Serous Retinopathy (CSR) / Idiopathic Central Serous Chorioretinopathy (ICSC). Kelainan ini didefinisikan sebagai elevasi retina pars sensoris akibat cairan serosa, dengan etiologi yang idiopatik.3,4 Secara epidemiologis, penyakit ini umumnya ditemukan leih banyak enam kali lipat pada laki – laki dengan insidensi 10 per 100.000 populasi, ras Asian dan Hispanik, serta usia produktif (20 – 55 tahun), dengan faktor predisposisi stres dan penggunaan kortikosteroid.3,4 Dalam hal ini, produktivitas adalah salah satu komponen vital fungsi manusia. Mengingat 83% input sensoris berasal dari organ penglihatan, kelainan pada makula yang dapat cukup mengganggu fungsi ini sudah seharusnya dapat ditangani dengan baik oleh para praktisi kesehatan. 3 BAB II ILUSTRASI KASUS ANAMNESIS Pasien baru / lama : Pasien baru. Tempat pemeriksaan : A7 / Poli vitreoretina. Waktu pemeriksaan : Senin, 25 Maret 2013, 15:20 WIB. Identitas Nama : Tn. UJ No. RM : 375-65-60 Usia : 31 tahun Agama : Islam Alamat : Lampung Pekerjaan : Buruh Pembayaran : ASKES Keluhan Utama Mata tidak merah dengan penglihatan kedua mata buram perlahan sejak 1 tahun lalu. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan utama mata tenang visus turun perlahan sejak 1 tahun lalu. Penglihatan dirasakan kabur / tidak jelas saat membaca dengan terkadang garis lurus terlihat bengkok (metamorfopsia). Pada lapang pandang pasien tidak terlihat adanya bayangan hitam 4 (skotoma) pada daerah tertentu. Pasien tidak merasakan adanya sensasi benda yang melayang-layang di mata, rasa terfoto dengan lampu blits kamera (fotopsia). Pasien sendiri sudah dalam waktu sekitar 2-3 tahun terakhir ini mengonsumsi obat yang diberikan dari dokter di Lampung, yaitu steroid Dexamethasone dan Omeprazole, setiap kali terdapat keluhan nyeri yang didiagnosis peradangan saluran cerna kronik. Adapun obat terakhir diminum sekitar dua bulan lalu. Pasien memiliki profesi sebagai seorang buruh dan mengaku belakangan ini sedang memiliki banyak sekali hal yang sedang dipikirkan dan dicemaskan. Pasien mengaku bukanlah orang yang suka menyendiri atau sering curiga kepada orang lain. Riwayat trauma, mata nyeri, jalan menabrak, sering terjatuh, penglihatan berkabut, konsumsi alkohol, penglihatan membaik pada siang atau malam hari, paparan sinar matahari berlebihan pada mata, pemakaian kacamata atau penglihatan membaik dengan kacamata disangkal oleh pasien. Riwayat Penyakit Dahulu Tidak terdapat riwayat hipertensi, DM, asma, alergi, penyakit jantung, penyakit paru, maupun sakit mata. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak terdapat riwayat hipertensi, DM, asma, alergi, penyakit jantung, penyakit paru, maupun sakit mata pada keluarga. Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan Pasien sehari – harinya bekerja sebagai seorang buruh pabrik di Lampung. Pasien memiliki kebiasaan merokok 1 batang sehari. Pembiayaan kesehatan menggunakan ASKES. 5 PEMERIKSAAN FISIK: Keadaan Umum : Tampak sakit ringan. Kesadaran : Compos mentis. Tanda Vital Tekanan darah : 105/81 mmHg. Frekuensi nadi : 76 x/menit reguler. Frekuensi nafas : 18 x/ menit reguler. Suhu : Afebris. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGIS Mata Kanan Pemeriksaan Mata Kiri Kedudukan bola mata: ortoforia 6/30, pinhole tidak maju Visus 6/ 30, pinhole tidak maju 15,7 TIO 19,4 Pergerakan Bola Mata Tenang: edema (-), spasme (-) Tenang: injeksi konjungtiva (-), injeksi silier (-) Palpebra Konjungtiva Tenang: edema (-), spasme (-) Tenang: injeksi konjungtiva (-), injeksi silier (-) Jernih Kornea Jernih Dalam Bilik mata depan Dalam Kripta iris (+) Bulat, sentral, middilatasi e..c. Kripta iris (+) Iris/ pupil midriatikum Jernih Bulat, sentral, middilatasi e..c. midriatikum Lensa Jernih 6 Jernih Badan kaca Jernih Papil bulat, batas tegas, CDR Papil bulat, batas tegas, CDR 0,3-0,4; aa/vv = 2/3 0,3-0,4; aa/vv = 2/3 Funduskopi Refleks Makula menurun, Reflek Makula menurun, ditemukan edema makula ditemukan edema makula PEMERIKSAAN PENUNJANG Foto fundus Refleks makula menurun, ditemukan edema makula, dimana makula terkesan terelevasi. 7 Optical Coherence Tomography (OCT) – OD & OS Lapisan pada daerah makula mengalami edema dan terelevasi. DAFTAR MASALAH Central Serous Retinopathy ODS. PENATALAKSANAAN Rencana Diagnosis: Tes Amsler Grid. Fluorescens Angiography. Rencana Terapi Edukasi untuk menghindari stres. Penghentian terapi Dexamethasone. Fotokoagulasi laser. 8 PROGNOSIS Ad vitam : Bonam. Ad functionam : Dubia ad bonam. Ad sanactionam : Dubia ad malam. 9 BAB III TINJAUAN PUSTAKA 1. Anatomi dan Histologi Makula Makula adalah salah satu komponen dari tunika neuralis / retina mata. Retina melapisi khoroid mulai dari papila saraf optik di bagian posterior hingga ora serrata di anterior.1 Pada irisan histologik, umumnya dapat ditemukan 10 lapisan retina, berturut – turut dari luar ke dalam:1,2 Epitel pigmen, merupakan lapisan sel poligonal yang teratur dengan sitoplasma kaya akan butir melanin. Fungsi utama lapisan ini adalah meyerap cahaya dan mencegah pemantulan, nutrisi fotoreseptor, penimbunan vitamin A, serta pembentukan rodopsin. Lapisan batang dan kerucut. Membran limitans eksterna. Lapisan inti luar, terdiri atas inti sel batang dan sel kerucut. Lapisan pleksiform luar. Lapisan inti dalam, terdiri atas sel bipolar, horizontal, amakrin, dan Muller. Lapisan pleksiform dalam. Lapisan sel ganglion. Lapisan serat saraf. Membran limitans dalam. Papila nervus optikus adalah tonjolan yang berisi sera saraf mata, umumnya tidak mengandung sel fotoreseptor dan tidak peka terhadap cahaya, sehingga disebut sebagai bintik buta (blind spot). Pada daerah ini, terdapat pula arteri sentralis yang memperdarahi retina serta pada beberapa orang terdapat pula arteri silioretina untuk mensuplai makula. Adapun kebutuhan sirkulasi retina juga dibantu oleh lapisan khoriokapiler dari koroid yang masuk melewati epitel pigmen maupun membran Bruch.1 Retina memiliki sawar darah luar dan dalam. Sawar darah luar umumnya bersifat impermeabel, akan tetapi dinding kapiler khoriokapiler mengandung beberapa fenestrasi yang dapat ditembus, 10 misalnya oleh molekul flouresens. Setelah menembus membran Bruch, umumnya taut ketat pada RPE akan menghalangi jalannya molekul. Sawar darah dalam retina terusun atas taut ketat antara retina dan endotel kapiler. Sawar ini hanya dapat ditembus apabila terjadi kebocoran.3 Pada kondisi normal, sawar darah ini memiliki mekanisme pompa aktif yang mengeluarkan cairan dan protein dari ruang subretinal yang potensial. Gambar 1. Sawar Darah Retina.3 Kira – kira 2,5 mm lateral dari bintik buta, terdapat daerah yang umumnya berwarna lebih gelap dibandingkan retina di sekitarnya karena sel epitel pigmen retinanya lebih banyak mengandung pigmen.2 Pada beberapa mata, makula dapat terlihat berpigmen kuning (lutein dan zeaxanthin) sehingga dikenal pula sebagai makula lutea / bintik kuning.1 Bagian tengah makula ini dikenal sebagai fovea sentralis, yang merupakan pusat penglihatan yang paling peka. Fovea berbentuk sumur dangkal berbentuk bulat dengan letak 4 mm ke arah temporal dari lempeng optik dan sekitar 0,8 mm di bawah meridian horizontal. Gambar 2. Struktur Anatomis dan Histologis Makula.1 11 Cekungan ini disebabkan oleh tidak adanya lapisan dalam retina sehingga lapisan ini hanya terdiri atas sel fotoreseptor, terutama sel kerucut yang tersusun rapat dan berukuran lebih panjang dibandingkan dengan bagian perifer retina.1,2 Gambar 3. Lapisan pada Retina dan Fovea (OCT). Sumber: www.aashiwadeyecare.com. Makula bertanggung jawab untuk menghasilkan penglihatan yang bersifat detail atau terfokus dengan jelas, dan umumnya digunakan dalam kegiatan membaca, menonton, atau menyetir. Hal ini dimungkinkan dengan adanya lapisan sel kerucut yang rapat pada fovea. Adapun daerah ini juga merupakan tempat utama untuk diskriminasi warna.1 Di samping itu, akibat terbentuknya perubahan ketebalan ini, dapat pula ditemukan adanya pola pantulan refleks cahaya khusus pada penyinaran dengan oftalmoskop, yang dapat ditemukan pada sisi temporal dari papil nervus optikus, dan dikenal sebagai refleks makula / foveal reflex.2 2. Definisi dan Patofisiologi Central Serous Retinopathy (CSR) CSR didefinisikan sebagai terjadinya elevasi / ablasi retina bagian sensoris pada makula yang disebabkan oleh keberadaan cairan serosa.3 Adapun patofisiologi yang mendasari kejadian ini sampai saat ini masih belum terlalu dimengerti (idiopatik), namun diperkirakan terjadi sebagai akibat dari gangguan pompa ionik dari Retinal Pigmented Epithelial cells (RPE) maupun vaskulopati yang menyebabkan kebocoran / peningkatan permeabilitas dari khoriokapiler.4 12 Faktor risiko yang diketahui berperan pada CSR adalah usia muda / pertengahan (20-40 tahun), ras Kaukasia, jenis kelamin (laki-laki lebih banyak 6 kali lipat, wanita umumnya pada usia lebih tua), stres fisiologis, kepribadian tipe A, hipertensi sistemik, Obstructive Sleep Apnea (OSA), penggunaan steroid jangka panjang, Cushing syndrome, penyakit lupus, serta kehamilan pada trimester ke tiga.3,4 Kepribadian tipe A, hipertensi sistemik, stres, maupun OSA diperkirakan terkait dengan meningkatnya kadar kortisol dan epinefrin yang beredar dalam darah, sehingga mengubah autoregulasi dari sirkulasi koroid.4 Administrasi glukokortikoid dikatakan dapat menyebabkan CSR dengan cara mengubah ekspresi gen reseptor adrenergik, sehingga berkontribusi pada efek katekolamin dan jumlah cAMP pada RPE. Oleh karenanya, terjadi perubahan fungsi pompa ionik ataupun mengubah permeabilitas dari sawar darah dan karenanya mengganggu sawar darah retina bagian luar.5 Secara garis besar, perjalanan penyakit CSR dapat dibagi menjadi 6 tahapan, yaitu:6 Tahap 1, akut, belum terdapat kebocoran, namun telah terjadi perubahan pada area multifokal taut ketat. Tahap 2, subakut, tahap perkembangan dari tahap 1, dimana mulai terjadi kebocoran fokal pada taut ketat, umumnya masih tetap asimtomatik namun dapat pula mulai dirasakan adanya keluhan penglihatan, misalnya penurunan visus dan metamorfopsia. Umumnya, tahapan ini mengalami regresi spontan. Tipe 3, kronik, dimana tahap 2 berlangsung kronik, biasanya akan ditemukan defek pada lapang pandang dan penurunan visus akan terjadi secara lebih nyata. Umumnya CSR baru terdeteksi pada tahapan ini dan harus ditatalaksana dengan fotokoagulasi. Tipe 4, inaktif, yaitu tahapan yang ditemukan pada kasus CSR yang mengenai satu mata. Mata lain dapat saja telah menunjukkan adanya defek RPE pada FA, akan tetapi tidak terdapat gejala. Tipe 5, tahapan komplikasi, misalnya dekompensasi RPE, umumnya muncul 5-10 tahun setelah onset CSR. Tipe 6, komplikasi neovaskularisasi subretinal. CSR dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 6 13 Berdasarkan tipenya: o Tipikal, yaitu ditemukan satu atau dua area kebocoran pada FA. o Atipikal, yaitu kebocoran multipel. Berdasarkan keadaan edema yang ditemukan: o Tipe 1, koleksi cairan terjadi pada ruang subretinal (94% kasus). o Tipe 2, koleksi cairan terjadi di bawah ruang RPE (3% kasus). o Tipe 3, campuran tipe 1 dan tipe 2. 3. Temuan Klinis Central Serous Retinopathy (CSR) Berdasarkan anamnesis, umumnya dapat ditemukan metamorfopsia unilateral atau bilateral yang dapat pula disertai mikropsia, dengan berkurangnya lapang pandang terutama wilayah sentral, kesulitan membedakan warna / diskromatopsia ringan, berkurangnya sensitivitas terhadap kontras, hingga bintik buta / skotoma.3 Keluhan ini umumnya disebabkan oleh adanya edema sentralis sehingga menyebabkan kerapatan sel berkurang. Melalui pemeriksaan fisik, visus yang ditemukan berkisar antara 6/9 - 6/30, namun pada beberapa kasus dapat dikoreksi dengan lensa konveks lemah hingga mencapai tajam penglihatan sempurna. Hal ini disebabkan oleh elevasi retina sensoris tersebut dapat bermanifestasi pada hipermetropia yang didapat, sehingga dapat saja terkoreksi dengan lensa positif.3,4 Status oftalmologis di luar pemeriksaan funduskopi umumnya berada dalam batas normal. Adapun pada pemeriksaan funduskopi, dapat ditemukan elevasi dari retina bagian sensoris dengan bentuk bulat atau oval / pembengkakan berbatas tegas pada makula serta cairan subretinal pada lesi awal atau presipitat pada permukaan retina posterior. 3 Dalam hal ini, dapat ditemukan refleks makula yang menurun atau bahkan tidak ada.6 14 Gambar 4. Temuan Funduskopi pada CSR.3 4. Pemeriksaan Penunjang Central Serous Retinopathy (CSR) Untuk menunjang diagnosis CSR, dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang, di antaranya: Tes Amsler grid. Tes ini digunakan untuk mengevaluasi fungsi makula, yaitu dengan cara pasien melihat dengan satu mata ke titik sentral dari suatu gambaran dengan kisi-kisi yang tersusun atas garis horizontal dan vertikal, umumnya dengan warna putih dan latar belakang hitam. Saat pemeriksaan, ditanyakan pada pasien apakah dengan satu mata keempat sudut terlihat, apakah terdapat garis yang berbentuk iregular, atau tidak terlihat dengan acuan suatu titik tengah. Bentuk iregular ini dapat dilaporkan adanya gambaran bergelombang (metamorfopsia), terlihat kelabu, kabur, maupun tidak terlihat / skotoma.2 Pada CSR, biasanya ditemukan metamorfopsia yang bersesuaian dengan daerah yang terkena defek.3 Gambar 4. Tes Amsler Grid: Normal, Skotoma dan Metamorfopsia. Sumber: www.amslergrid.org 15 OCT, dapat menunjukkan adanya elevasi bagian neurosensoris dari retina serta ablasi, maupun defisit dari RPE.3 Gambar 5. OCT pada CSR.3 FA (Fluorescein Angiography), umumnya menunjukkan gambaran smokestack ataupun ink blot. Gambaran smokestack diperlihatkan sebagai titik yang mengalami hiperfluoresensi kemudian dilanjutkan dengan difusi melalui area yang mengalami elevasi / ablasi. Gambaran ink blot adalah temuan yang cukup sering diperoleh, yaitu titik dengan hiperfluoresensi yang kemudian membesar.3 Gambar 6. FA pada CSR.3 ICGA (Indo Cyanine Green Angiography). Pada pemeriksaan ini, terdapat fase arterial, dimana ditemukan angiogram normal, fase pengisian vena awal / fase awal, fase pengisian vena akhir / fase tengah, dan fase akhir.6 Fase awal menunjukkan hipoflouresensi dengan pembuluh darah koroid yang terdilatasi pada kutub posterior dan lokasi kebocoran mulai dapat ditemukan. Fase tengah menunjukkan area dengan hiperfloresensi karena hiperpermeabilitas koroid serta tipe kebocoran yang terjadi.3 Fase akhir umumnya masih ditandai dengan hiperfloresensi karena adanya pengumpulan cairan pada ruang subretinal. 16 5. Diagnosis Banding CSR Untuk mata tenang visus turun perlahan, perlu dipikirkan beberapa etiologi, di antaranya katarak, retinopati diabetik maupun hipertensif, glaukoma kronik, kelainan refraksi, retinitis pigmentosa, degenerasi makula, maupun kelainan makula lainnya. Di samping CSR, kebocoran dari RPE dapat pula disebabkan oleh penyebab lain misalnya neovaskularisasi koroid, inflamasi, maupun tumor. Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik serta ditunjang oleh pemeriksaan penunjang, diagnosis banding tersebut satu per satu dapat disingkirkan. 6. Tatalaksana Central Serous Retinopathy (CSR) Prinsip penatalaksanaan kasus CSR adalah observasi selama 3 - 6 bulan pada kebanyakan kasus karena perjalanannya yang menunjukkan resolusi spontan.3,4,7 Di samping itu, dilakukan pula modifikasi pada beberapa faktor risiko yang dapat diubah, terutama pemakaian steroid jangka panjang ataupun gaya hidup, terutama terkait dengan stres, misalnya berupa terapi meditasi / yoga.4,5 Tatalaksana secara medikamentosa umumnya jarang dilakukan, akan tetapi apabila muncul komplikasi misalnya neurovaskularisasi koroid, berdasarkan penelitian, diperoleh bahwa administasi agen intravitreal, misalnya bevicizumab dapat digunakan.5 Tatalaksana lain yang perlu dipertimbangkan adalah fokoagulasi laser pada RPE yang mengalami kebocoran apabila setelah observasi tidak ditemukan regresi spontan.3,4 Indikasi umum untuk terapi ini adalah:4,7 Persistensi CSR lebih dari 4 bulan. Munculnya rekurensi. Keberadaan defek lapang pandang pada mata yang awalnya sehat. Permintaan pasien dengan alasan tuntutan pekerjaan untuk visus baik. Di samping itu, dapat pula dilakukan Photo Dynamic Therapy (PDT), terutama pada kasus CSR kronik. Tatalaksana ini dapat berefek langsung pada sirkulasi koroid melalui 17 percepatan resorpsi cairan, akan tetapi berisiko untuk menimbulkan iskemia pada makula, sehingga seringkali tidak dikerjakan.4 7. Prognosis Central Serous Retinopathy (CSR) Pada umumnya, penyakit ini akan mengalami resolusi spontan pada mayoritas pasien dalam waktu 3-6 bulan diikuti dengan perbaikan visus pada 80% pasien, walaupun dapat pula ditemukan kasus tanpa perbaikan tajam penglihatan. Akan tetapi, rekurensi seringkali terjadi (50% kasus). Kasus ini dapat pula berlangsung secara kronik, yaitu lebih dari 12 bulan, namun umumnya hanya terjadi pada minoritas pasien maupun usia yang lebih tua.3 18 BAB IV PEMBAHASAN Pasien adalah pasien baru dari poli vitreoretina, laki – laki, usia 31 tahun, dengan keluhan utama mata tenang visus turun perlahan sejak 1 tahun sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan anamnesis, diperoleh keluhan penglihatan kabur terutama saat membaca, yang termasuk ke dalam salah satu jenis kegiatan dengan kebutuhan fokus / penglihatan yang detail. Terdapat keluhan penyerta berupa metamorfopsia, yaitu garis lurus seringkali terlihat menjadi bengkok. Hal ini cukup khas untuk adanya kelainan pada makula. Oleh karena itu, dicari keluhan lain yang berkaitan, namun pasien tidak mengeluhkan adanya bayangan hitam (skotoma) pada daerah tertentu ataupun tidak terdapat penurunan penglihatan untuk warna tertentu. Untuk menyingkirkan diagnosis banding lain untuk keluhan utama pasien, ditanyakan beberapa pertanyaan lain. Pasien tidak memiliki riwayat trauma sebelumnya. Pasien mengaku tidak pernah merasakan adanya kondisi dimana mata terasa nyeri, maupun kelainan lapang pandang perifer yang menyebabkannya menabrak saat berjalan, terjatuh, maupun kesulitan saat naik tangga, sehingga diagnosis glaukoma kronik dapat disingkirkan. Pasien tidak memiliki keluhan penglihatan berkabut, riwayat konsumsi alkohol, penglihatan membaik pada malam hari, paparan sinar matahari berlebih, maupun hipertensi, diabetes melitus, dan riwayat penyakit mata pada keluarga. Dalam hal ini, diagnosis banding untuk katarak juga dapat disingkirkan. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi maupun diabetes melitus yang menjadi faktor risiko utama retinopati, sehingga diagnosis banding ini juga dapat disingkirkan. Pasien tidak memiliki riwayat penggunaan kacamata ataupun penglihatan membaik dengan kacamata. Pada kejadian CSR, sebenarnya penglihatan dapat membaik dengan kacamata plus sebagai akibat dari kondisi hipermetrop yang diakibatkan oleh elevasi makula. Akan tetapi, fenomena ini seringkali tidak ditemukan pada beberapa kasus. 19 Pasien masih berusia 31 tahun dan tidak banyak terpapar sinar matahari, sehingga dugaan degenerasi makula dapat disingkirkan walaupun sebenarnya terdapat faktor risiko lainnya, yaitu rokok. Dari sebagian anamnesis tersebut, kelainan dapat diarahkan pada kelainan makula. Dari hasil anamnesis lainnya, diperoleh data bahwa pasien dalam waktu sekitar 2-3 tahun terakhir ini mengonsumsi steroid, yaitu Dexamethasone, setiap kali terdapat keluhan nyeri yang didiagnosis peradangan saluran cerna kronik dengan obat terakhir diminum sekitar dua bulan lalu. Steroid dikatakan dapat meningkatkan kadar cAMP dan karenanya mengganggu fungsi pompa ionik pada RPE. Kondisi ini dapat mengganggu fungsi sawar darah retina sehingga dapat terjadi kebocoran dari khoriokapiler. Pasien memiliki profesi sebagai seorang buruh dan mengaku belakangan ini sedang memiliki banyak sekali hal yang sedang dipikirkan dan dicemaskan. Dalam hal ini, stres juga menjadi salah satu faktor risiko lain yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan kortisol dan epinefrin sehingga mengubah autoregulasi dari sirkulasi koroid. Ditambah dengan gangguan fungsi pompa ionik tadi, dapat terjadi kebocoran yang lebih berat. Faktor risiko lain, misalnya OSA, kepribadian tipe A, penyakit sistemik lain tidak dialami oleh pasien. Dengan hasil anamnesis tersebut, terdapat kecurigaan kuat terjadinya CSR. Karena terdapat kecurigaan CSR dan dapat terjadi ablasi karenanya, ditanyakan apakah pasien merasakan adanya sensasi benda yang melayang-layang di mata (floater) atau rasa terfoto dengan lampu blits kamera (fotopsia). Tidak ditemukannya keluhan ini menjukkan diagnosis banding untuk ablasi retina juga disingkirkan. Dilihat dari perjalanan penyakitnya, CSR diperkirakan berada pada tahap 3 (kronik) karena telah terdapat keterlibatan dari kedua mata dan telah berlangsung lebih dari 4 bulan, yaitu waktu dimana diperkirakan telah terjadi regresi spontan. Melalui pemeriksaan fisik, diketahui bahwa status oftalmologis di luar pemeriksaan funduskopi berada di batas normal. Oleh karena itu, beberapa penyingkiran diagnosis banding dapat lebih diperkuat. Pemeriksaan tajam penglihatan menunjukkan visus 6/30 untuk kedua mata yang tidak membaik dengan pinhole, sehingga diagnosis kelainan refraksi dapat disingkirkan. Adapun 20 temuan visus tersebut berada dalam rentang yang bersesuaian dengan CSR. Dengan TIO normal, glaukoma kronik dapat disingkirkan. Demikian pula dengan katarak karena diperoleh lensa yang jernih. Gambaran retina normal dan tidak ditemukan drusen yang umumnya ditemukan pada degenerasi makula sehingga diagnosis untuk degenerasi makula dapat disingkirkan. Pada funduskopi, ditemukan penurunan refleks makula dan kesan edema makula, ditandai dengan elevasi / terangkatnya makula sehingga terlihat lebih dekat dengan pemeriksa. Untuk menunjang diagnosis CSR, dilakukan foto fundus dan OCT. Hasil foto fundus sama dengan temuan pada funduskopi. Hasil OCT juga menunjukkan bahwa pada bagian makula kedua mata pasien terdapat edema dan elevasi yang diduga diakibatkan oleh adanya cairan serosa subretinal. Dilihat dari hasil OCT, CSR yang terjadi adalah tipe tipikal pada dua lokasi kebocoran dengan edema terjadi hanya pada subretinal (tipe 1) yang dominan terjadi, yaitu pada 93% kasus. Belum terdapat gambaran komplikasi seperti pada tahap 5 atau 6, yang ditandai dengan kelainan pada RPE dan neovaskularisasi. Oleh karenanya, diagnosis kerja yang ditegakkan adalah CSR. Terdapat beberapa rencana diagnosis untuk menilai fungsi makula, yaitu Amsler Grid, untuk menentukan lokasi metamorfopsia atau mendeteksi bila sebenarnya terdapat kelainan lain pada makula. Di samping itu, dapat pula dipertimbangkan dilakukannya Fluorescens Angiography untuk melihat secara lebih objektif lokasi dan tipe kebocoran. Umumnya, penyakit ini akan mengalami regresi spontan dalam 4 bulan terhitung dari onset keluhan. Akan tetapi, keluhan pada pasien telah dialami pada kedua mata dan berlangsung selama 1 tahun. Oleh karenanya, telah terdapat indikasi dilakukannya fotokoagulasi laser. Faktor risiko pada pasien, terutama stres dan steroid, dalam hal ini juga perlu untuk dikontrol melalui menghindari stres dan juga terminasi penggunaan steroid ataupun penggunaan obat obatan lain. Melihat kondisi pasien ini, dapat dinilai prognosis ad vitam bonam karena penyakit ini umumnya tidak mengancam nyawa, prognosis ad fungsionam dubia ad bonam karena visus masih belum begitu rendah, tetapi dapat saja menjadi dubia ad malam bila kondisi ini dibiarkan dan terjadi komplikasi. Oleh karenanya, fokoagulasi laser harus dilakukan. Prognosis ad sanactionam dubia ad malam karena kecenderungan rekurensi pada kasus ini cukup besar, yaitu 50% kasus. 21 BAB V KESIMPULAN Pasien laki – laki, usia 31 tahun, datang dengan keluhan utama mata tenang visus turun perlahan sejak 1 tahun lalu. Keluhan penyerta lain yang ditemukan adalah metamorfopsia. Terdapat faktor risiko usia, jenis kelamin, penggunaan steroid jangka panjang, dan stres fisiologis. Berdasarkan pemeriksaan fisik, ditemukan refleks makula menurun dan edema makula. Hasil foto fundus dan OCT menunjukkan adanya elevasi bagian neurosensoris retina dan edema. Berdasarkan temuan tersebut, ditegakkan diagnosis Central Serous Retinopathy dengan rencana diagnosis tambahan tes Amsler Grid dan FA, serta rencana tatalaksana terminasi terapi steroid, edukasi menghindari stres, serta fotokoagulasi laser. 22 DAFTAR PUSTAKA 1. Jusuf AA. Diktat Kuliah; Tinjauan Histologi Bola Mata, Alat Keseimbangan dan Pendengaran. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta: 2012. 2. Artini W, Hutauruk JA, Yudisianil. Pemeriksaan Dasar Mata. Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011. 3. Kanski JJ. Clinical Ophtalmology: A Systematic Approach. 7th ed; Philadelphia: Saunders Elsevier. 2011. 4. Theng K, Roy H. Central Serous Chorioretionopathy. Available from: emedicine.medscape.com/article/1227025-overview#showall. Accessed March 26, 19.00 WIB. 5. Shah SP, Desai CK, Desai MK, Dikshit Rk. Steroid-induced Central Serous Retionpathy. Indian J Pharmacol. 2011 Sep-Oct; 43(5): 607-8. 6. Agarwal A. Fundus Fluorescein and Indocyanine Green Angiography. Thorofare: SLACK Inc; 2008. 7. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. 4th ed. New Delhi: New Age International; 2007. 23