Induksi Embrio Somatik Melon (Cucumis melo L

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Melon
Klasifikasi botani tanaman melon adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantarum
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Sub-kelas
: Sympetalae
Ordo
: Cucurbitales
Keluarga
: Cucurbitaceae
Genus
: Cucumis
Spesies
: Cucumis melo L.
Tanaman melon (Cucumis melo L.) merupakan famili cucurbitaceae.
Melon termasuk tanaman yang menghasilkan biji sehingga dimasukkan dalam
tumbuhan berbiji (Spermatophyta). Biji melon tertutup oleh bakal buah sehingga
dimasukkan ke dalam golongan tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae).
Tanaman melon terdiri dari dua daun lembaga sehingga dimasukkan dalam kelas
tumbuhan berbiji belah (dikotil) dan tergolong dalam genera Cucumis.
Tanaman melon bersifat polimorfik, spesiesnya ada yang berbunga jantan,
berbunga betina, dan berbunga hemafrodit atau sempurna. Melon yang berada di
Amerika biasanya berbunga andromonoecious, yaitu pada satu tanaman
menghasilkan bunga jantan dan hemafrodit. Bunga jantan muncul secara
berkelompok pada ketiak daun yang berjarak cukup jauh dari bunga hemafrodit.
Bunga melon membuka sesudah matahari terbit, yang sangat bergantung pada
temperatur serta kelembaban. Bila temperatur rendah, kelembaban tinggi, dan
berawan, biasanya membukanya daun akan tertunda. Bunga mekar pada siang hari
dan pada hari itu juga tertutup kembali (Ashari, 1995). Bunga jantan terdiri dari
mahkota bunga dan benang sari serta tidak memiliki bakal buah. Bunga jantan
ditopang oleh tangkai bunga yang pipih panjang. Bunga jantan akan gugur setelah
1-2 hari mekar. Bunga betina umumnya terdapat pada ketiak daun ke-1 atau ke-2
6 pada setiap ruas percabangan. Bunga betina memiliki putik, mahkota bunga, dan
bakal buah. Bakal buah yang berbentuk bulat lonjong ditopang oleh tangkai buah
yang pendek dan tebal. Bunga betina akan gugur apabila 2-3 hari setelah mekar
tidak diserbuki.
Biji melon terdapat di antara rongga buah dan terbalut oleh plasenta
berwarna putih. Biji melon pada umumnya berwarna cokelat muda, panjang ratarata 0.9 mm dan diameter 0.4 mm. Dalam satu buah melon terdapat sekitar 500600 biji. Buah melon memiliki bentuk yang bermacam-macam yaitu bulat, oval
dan lonjong. Bentuk buah melon bergantung pada varietasnya. Bentuk buah
melon yang bulat terdapat pada varietas Sky Rocket, Jade Dew, Action, Aroma,
Sweet Star dan Emerald Sweet. Melon dengan bentuk buah oval terdapat pada
varietas Ten Me. Buah melon yang berbentuk lonjong terdapat pada varietas New
Century dan Super Salmon. Buah melon memiliki warna kulit buah yang beragam
dan bergantung pada varietas. Umumnya melon yang dibudidayakan di Indonesia
berwarna hijau muda pada saat masih muda dan berubah menjadi hijau tua ketika
matang (Prajnanta, 2002).
Kultur Jaringan
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari
tanaman seperti protoplasma, sel, kelompok sel, jaringan dan organ serta
menumbuhkannya dalam lingkungan yang aseptik, sehingga bagian-bagian
tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman
yang utuh (Gunawan, 1992). Menurut Wattimena et al. (1992), teknik kultur
jaringan adalah teknik bagaimana mengisolasi bagian-bagian tanaman (sel,
protoplasma, tepung sari, ovari, dan sebagainya), ditumbuhkan secara tersendiri,
dipacu untuk untuk memperbanyak diri, akhirnya diregenerasikan kembali
menjadi tanaman lengkap dalam suatu lingkungan yang aseptik dan terkendali.
Salah satu penerapan kultur jaringan adalah perbanyakan mikro. Tujuan utama
penerapan perbanyakan dengan menggunakan teknik kultur jaringan adalah
produksi tanaman dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat terutama untuk
varietas-varietas unggulan serta memperoleh tanaman yang terbebas dari serangan
7 patogen. Torres (1989) menyatakan tujuan utama dari perbanyakan secara in vitro
tanaman sayuran meliputi produksi planlet dari tanaman yang sulit diperbanyak
dari biji, produksi bahan tanaman bebas virus dan perbaikan tanaman melalui
modifikasi genetika.
Werbrounds dan Debergh (1993) menyebutkan bahwa secara umum
terdapat lima tahapan dalam kultur jaringan yaitu: tahap persiapan, tahap inisiasi,
tahap kultur, tahap pemanjangan tunas, inisiasi akar, dan perkembangan akar serta
aklimatisasi. Tujuan utama dari penerapan metode kultur jaringan adalah produksi
bibit dalam jumlah besar dan waktu singkat, terutama untuk kultivar-kultivar
unggul yang baru dihasilkan.
Eksplan
Eksplan adalah bagian tanaman yang dijadikan bahan perbanyakan awal
yang ditanam dalam media, yang akan menunjukkan pertumbuhan dan
perkembangan tertentu. Arah pertumbuhan dan perkembangan atau regenerasi
ditentukan oleh komposisi media, zat pengatur tumbuh yang digunakan, bagian
tanaman yang dijadikan eksplan, genotipe, umur eksplan, letak pada cabang, serta
lingkungan tumbuh (Gunawan, 1992). Eksplan dapat berasal dari daun, peduncles,
bulb scales, petal, anther dan sisik umbi dari umbi-umbi yang tumbuh dalam
kultur (Conger, 1980). Gunawan (1992) menambahkan bahwa eksplan yang
diusahakan untuk kultur jaringan harus dalam keadaan aseptik, sehingga dapat
diperoleh kultur yang asenik yaitu kultur dengan hanya satu macam organisme
yang diinginkan. Pada umumnya semua bagian tanaman dapat dijadikan eksplan
tetapi sel-sel yang telah mengalami diferensiasi lebih lanjut sulit ditumbuhkan
dibandingkan sel-sel meristematik. Tidak semua jaringan tanaman memiliki
kemampuan yang sama untuk berdiferensiasi. Eksplan yang berukuran sangat
kecil memiliki daya tahan yang rendah untuk dikulturkan. Banyak sedikitnya
tunas yang dihasilkan dipengaruhi oleh ukuran dari suatu eksplan. Eksplan yang
berukuran 0.5-1.55 mm mampu memproduksi tunas yang lebih banyak (Conger,
1980).
8 Embrio somatik dapat diinisiasi dari jaringan juvenil atau jaringan
meristematik. Eksplan yang dapat digunakan dapat berupa daun muda, ujung
tunas, kotiledon, dan hipokotil, tetapi respon eksplan sangat bergantung dari
genotipe tanaman. Pada beberapa spesies tanaman hanya jaringan tertentu yang
dapat digunakan untuk inisiasi embrio somatik (Gray, 2000).
Penggunaan eksplan yang bersifat meristematik umumnya memberikan
keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi (Purnamaningsih,
2002). Oridate dan Oosawa (1986) melaporkan embrio somatik berhasil diinduksi
dari eksplan yang berasal dari kotiledon pada tanaman melon. Hal yang sama juga
dilaporkan oleh Tabei et al. (1991) yang berhasil menginduksi embrio somatik
melon dengan menggunakan eksplan yang berasal dari kotiledon biji tua,
kotiledon dan hipokotil dari biji yang dikecambahkan, dan daun serta petiol dari
planlet muda. Pada tanaman yang segenus yaitu mentimun (Cucumis sativus L.)
penelitian mengenai organogenesis dan embriogenesis telah berhasil dilakukan.
Sumber eksplan yang digunakan dalam menginduksi embrio somatik yaitu
kotiledon dan hipokotil dari biji yang dikecambahkan secara in vitro (Chee, 1990).
Hal yang sama juga dilaporkan oleh Ladyman dan Girard (1992), yang berhasil
menginduksi embrio somatik dengan menggunakan eksplan kotiledon dari biji
yang dikecambahkan secara in vitro. Hasil penelitian Kuijpers et al. (1996) di
Belanda, berhasil menginduksi embrio somatik pada tanaman mentimun dengan
menggunakan eksplan daun muda dari biji yang dikecambahkan secara in vitro.
Media Kultur
Pertumbuhan kultur dan laju pembentukan tunas dipengaruhi oleh keadaan
fisik dari media tanam. Komposisi media adalah salah satu faktor yang memiliki
peranan penting untuk pertumbuhan dan morfogenesis jaringan tanaman dalam
proses perbanyakan (Conger, 1980). Media yang memenuhi syarat adalah media
yang mengandung nutrisi makro dan mikro dalam kadar dan perbandingan
tertentu serta sumber energi yang pada umumnya menggunaakan sukrosa
(Wetherel,
1982).
Selanjutnya
Gunawan
(1992)
menambahkan
bahwa
penambahan sukrosa sebagai sumber energi pada media kultur dapat membantu
9 pertumbuhan eksplan.
Sukrosa yang pada umumya dalam media kultur berupa
gula merupakan sumber karbohidrat untuk menggantikan karbon yang biasanya
didapat dari atmosfer melalui proses fotosintesis.
Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung
pada media yang digunakan. (Gunawan, 1992). Menurut George dan Sherrington
(1984), jenis media kultur jaringan dibedakan berdasarkan bentuk fisiknya, yaitu
media padat dan media cair yang mempunyai kelebihan dan kekurangan masingmasing. Pemilihan jenis media disesuaikan dengan jenis eksplan dan tujuan yang
diinginkan. Keuntungan penggunaan media padat antara lain dapat menghasilkan
pertumbuhan tunas yang cepat, morfogenesis dari kalus lebih baik, tunas serta
akar dapat tumbuh dengan teratur. Kekurangannya yaitu kontak eksplan dengan
media sedikit karena potensial air yang rendah.
Media MS (Murashige dan Skoog) merupakan media yang umum
digunakan untuk perbanyakan sejumlah besar spesies tanaman. Media MS banyak
mengandung unsur nitrogen (KNO3 dan NH4NO3; Tabel Lampiran 1) yang
mampu menstimulasi terjadinya inisiasi embriogenesis (Torres, 1989).
Media B5 dikembangkan oleh Gamborg dan Grupnya pada tahun 1968
untuk kultur suspensi kedelai. Pada masa ini media B5 digunakan untuk kulturkultur lain. Media ini menggunakan konsentrasi NH4+ yang rendah (Tabel
Lampiran 2). Fosfat yang diberikan adalah 1 mM, Ca2+ antara 1 – 4 mM,
sedangkan Mg2+ antara 0,5 – 3 mM (Gunawan, 1992).
Media WPM (Woody Plant Medium) dikembangkan oleh Llyod dan Mc
Cown pada tahun 1981, merupakan media dengan konsentrasi ion yang rendah
pada jaman sesudah penemuan media MS. Media ini konsisten dengan media
untuk tanaman berkayu yang dikembangkan oleh ahli lain, tetapi sulfat yang
digunakan lebih tinggi dari sulfat pada media tanaman berkayu lain (Gunawan,
1992).
Embriogenesis Somatik
Embriogenesis somatik adalah proses pembentukan embrio yang berasal
dari sel atau jaringan vegetatif tanaman yang membentuk struktur embrioid karena
10 menyerupai embrio yang berasal dari sel zigot. Tahap pertama dalam
terbentuknya embrio somatik yaitu pembelahan sel tunggal secara terus-menerus
sehingga terbentuk kumpulan sel, kemudian kumpulan sel tersebut berkembang ke
tahap pembentukan proembrio globular lalu tahap jantung, dan terakhir tahap
torpedo. Embrio somatik pada tahap torpedo akan berkembang menjadi tanaman
muda (Dodds dan Roberts, 2002).
Embrio somatik dapat terbentuk secara langsung atau tidak langsung.
Embriogenesis somatik secara tidak langsung dimulai dengan pembelahan sel
secara terus-menerus menjadi kalus. Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous
yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah secara terus-menerus (Gunawan,
1992). Kalus biasanya terbentuk setelah eksplan dikulturkan dalam media yang
mengandung auksin. Banyak faktor yang mempengaruhi embriogenesis antara
lain auksin eksogen, sumber eksplan, komposisi nitrogen yang ditambahkan
dalam media dan korbohidrat (sukrosa). Selanjutnya sel membelah terus hingga
memasuki tahap globular. Pada tahap globular sel aktif membelah ke segala arah
dan membentuk lapisan terluar yang akan menjadi protoderm (bakal epidermis).
Kelompok sel yang merupakan prekursor jaringan dasar dan jaringan pembuluh
pun mulai terbentuk. Pembelahan sel ke segala arah akan terhenti ketika primordia
kotiledon terbentuk, yaitu pada saat embrio matang sudah autotrof. Embrio
matang akan berkecambah dan tumbuh menjadi tumbuhan baru pada kondisi yang
cocok (Bajaj, 1994; Dodeman et al., 1997; Litz, 1985). Proses pembentukan dan
perkembangan embrio (embriogenesis) menentukan pola pertumbuhan, yaitu
meristem pucuk ke atas, meristem akar ke bawah, dan pola-pola dasar jaringan
lainnya berkembang pada aksis pucuk akar ini, namun terdapat variasi proses
embriogenesis pada setiap tumbuhan.
Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik kompleks alami yang
disintesis oleh tanaman tingkat tinggi, yang berpengaruh pada pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Terdapat lima kelompok zat pengatur tumbuh yang
terdapat di dalam tanaman yaitu auksin, sitokinin, giberelin, asam absisik dan
11 etilen yang masing-masing memiliki ciri khas dan pengaruh yang berlainan
terhadap proses fisiologi (Abidin, 1983). Kelima zat pengatur tumbuh ini terdapat
di dalam tanaman dalam berbagai bentuk, sehingga sulit untuk mengerti cara kerja
masing-masing dengan baik (Wattimena, 1988).
Menurut Wattimena (1988), zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik
bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (10-6 – 10-5 mM) yang disintesis pada
bagian tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman
dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan
morfologis.
Dalam kultur jaringan, ada dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat
penting adalah sitokinin dan auksin. Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi
pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan
perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang
diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan arah perkembangan suatu kultur.
Penambahan auksin atau sitokinin eksogen mengubah level ZPT endogen sel
(Gunawan, 1992).
Zat pengatur tumbuh auksin banyak dipergunakan secara luas dalam kultur
jaringan tanaman, memiliki peran dalam mendorong perpanjangan sel,
pembelahan sel, menginduksi pembentukan kalus, differensiasi jaringan xilem dan
floem, pembentukan akar, pembungaan, pembentukan buah-buah paternokarpi,
pembentukan bunga betina pada tanaman dioecious, dominasi apikal, respon
tropisme serta menghambat pengguguran buah dan bunga (George dan
Sherington, 1984). Abidin (1983) dan Wattimena (1988) menyatakan bahwa
sitokinin adalah salah satu zat pengatur tumbuh yang memiliki peranan dalam
proses pembelahan sel. Selanjutnya Wattimena (1988) menambahkan bahwa
beberapa efek fisiologis dari sitokinin adalah mendorong pembelahan sel,
mempengaruhi perkembangan embrio, memperlambat proses penghancuran butirbutir klorofil, memperlambat proses senesen pada daun, buah dan organ-organ
lainnya. Menurut Hennen (1983), sitokinin yang biasanya digunakan dalam kultur
jaringan tanaman dalam konsentrasi yang bervariasi yaitu kinetin, zeatin,
BAP/BA, 2ip dan Thidiazuron.
Download