BAB III TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka ini berisikan: 1

advertisement
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka ini berisikan:
1. Sektor Kesehatan dan Pendidikan
2. TataKelola Pendidikan Kedokteran: Situasi lembaga pendidikan kedokteran dan
RS pendidikan, stewardship, pendanaan, dosen.
3. Proses Pendidikan Kedokteran
4. Seleksi Peserta
5. Kompetensi dan Kurikulum
1. Sektor Kesehatan dan Pendidikan Kedokteran
Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia yang harus diwujudkan dalam bentuk
pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui pelayanan
kesehatan yang bermutu. Dokter sebagai salah satu komponen utama mempunyai peranan
yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan
mutu pelayanan yang diberikan. Pendidikan Kedokteran merupakan mata rantai utama
dalam upaya pelayanan kesehatan.
Sektor kesehatan di Indonesia saat ini mengalami fase menguatnya peran
pemerintah setelah pada masa orde baru yang mengurangi peran pemerintah.
Berkurangnya subsidi negara dan didorongnya “kemandirian” dan peran serta masyarakat
dalam membiayai pengobatan sehingga RS diperbolehkan memungut tariff dari
masyarakat langsung. Akibatnya sistem mekanisme pasar terbentuk di sektor kesehatan.
Pembentukan ini sebenarnya sudah lama, sejak jaman Belanda. Dampaknya adalah peran
swasta yang semakin meningkat.Dari tahun ke tahun, pembangunan RS swasta yang
berbentuk PT semakin meningkat. Antara tahun 2002 sampai dengan 2008, ada
penambahan 25 RS berbentuk PT yang tadinya berasal dari bentuk Yayasan. Sebaliknya
hanya 5 PT berubah bentuk menjadi Yayasan. Tidak mengherankan bahwa RS berbentuk
PT ini melayani kelompok pasar menengah atas.
Namun menarik untuk diamati bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini,
terjadi penguatan peran pemerintah yang mencerminkan
ideologi yang tidak
menyerahkan ke pasar. Sebagai contoh adalah program Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) yang dananya berasal dari pemerintah pusat dan berfungsi “membeli” premi
asuransi kesehatan bagi orang miskin. Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah
merasa perlu untuk lebih berperan dalam pembiayaan kesehatan. Program ini disusul
dengan adanya program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang bahkan membolehkan
mereka yang tidak miskin untuk digratiskan biaya persalinannya asal mau dirawat di
kelas 3 RS yang dikontrak.
Pada saat yang sama Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Kesehatan
menggulirkan 7 Reformasi Pembangunan Kesehatan yaitu: 1) revitalisasi pelayanan
kesehatan; 2) ketersediaan, distribusi, retensi dan mutu sumberdaya manusia; 3)
mengupayakan ketersediaan, distribusi, keamanan, mutu, efektifitas, keterjangkauan obat,
vaksin dan alkes, 4) Jaminan kesehatan, 5) keberpihakan kepada daerah tertinggal
perbatasan dan kepulauan (DTPK) dan daerah bermasalah kesehatan (DBK), 6) reformasi
birokrasi dan 7) world class health care.
Butir keperpihakan pada daerah tertinggal dan pemerataan mencerminkan
pemihakan ke kelompok yang terpinggirkan namun kebijakan “world class health care”
dapat merupakan intervensi pemerintah terhadap pasar dengan cara memberikan subsidi
agar mampu bersaing dalam pasar kesehatan Asia Tenggara yang semakin bebas
(globalisasi).
Globalisasi dapat berarti: (1) pasien Indonesia pergi ke luar negeri untuk berobat;
(2) pasien luarnegeri berobat ke Indonesia; (3) tenaga dokter Indonesia bekerja di
luarnegeri; (4) tenaga dokter luarnegeri bekerja di Indonesia.
Ancamannya adalah banyaknya lulusan luar negeri yang lebih unggul. Untuk itu
harus disiapkan lulusan yang unggul dengan menggerakan strategi diantaranya dengan
mempersiapkan mahasiswa untuk menghasilkan input yang sangat baik (Prof dr. Fasich,
Apt. Rektor Unair)
Menanggapi masalah banyaknya dokter asing yang berpraktek di Indonesia,
sehingga pihak pendidik harus bisa menyiapkan para lulusan dokter yang mampu
bersaing secara global. Selain mereka dibekali kurikulum berstandar global, juga disertai
dengan pembekalan soft skill yang cukup1. Perlu adanya sosialisasi secara global, baik
oleh staf maupun mahasiswa. Kemudian penyelenggaraan proses Pendidikan Kedokteran
yang unggul dan baik harus terus dilakukan.
Kedua sasaran strategi (untuk masyarakat global dan masyarakat lokal)
mempengaruhi pendidikan kedokteran. Dapat ditekankan bahwa pendidikan kedokteran
bertujuan untuk menghasilkan sarjana kedokteran, dokter, dan dokter spesialis yang
bermutu dan beretika, berdedikasi tinggi dan profesional, serta berorientasi pada
kebutuhan masyarakat yang pada akhirnya dapat membantu meningkatkan mutu
kesehatan bagi seluruh masyarakat.
Kebutuhan masyarakat akan tenaga dokter dan dokter spesialis saat ini
menghadapi dua jenis ekstrim pengguna: (1) yang berada dalam jalur persaingan
internasional/global dengan teknologi tinggi; dan (2) yang berada di jalur masyarakat
masih tertinggal dengan teknologi tepat guna yang efisien. Pengguna pertama berada di
kota-kota besar dengan menggunakan teknologi terbaru dan memberikan pendapatan
tinggi untuk para dokter. Pengguna kelompok kedua berada di daerah yang tidak atau
belum berkembang. Banyak masyarakat yang belum beruntung dan kurang memberi
insentif ekonomi untuk dokter. Dokter-dokter di Indonesia menghadapi pilihan tersebut.
Data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) per akhir Desember 2010 menunjukkan
bahwa jumlah saat ini ada 73.585 dokter umum dan 19.333 dokter spesialis.. Pada saat ini
masih terdapat ketimpangan penyebaran dokter, dimana sebagian besar berada di kota
besar khususnya di Pulau Jawa. Lebih rinci, berdasarkan data dari KKI, distribusi dokter
umum terbanyak adalah di Pulau Jawa dan Bali serta di Provinsi Sumatera Utara dan
Sulawesi Selatan.
1
DPR RI Upayakan Peningkatan Mutu Kedokteran Indonesia, disarikan dari http//dev.fk.unair.ac.id/id/hot
news. Diunduh pada tanggal 7 Juli 2008.
Grafik 1. Persebaran Dokter Umum per Provinsi pada Tahun 2010
(sumber: Konsil Kedokteran Indonesia 2010)
Memang secara perhitungan matematis, jumlah penduduk saat ini ada 238 juta
maka perlu dokter 95 ribu. Jadi masih ada kekurangan 23 ribu dokter. Bila produksi per
tahun 5000 maka kebutuhan baru akan tercukupi dalam 4 tahun. Dengan
mempertimbangkan hasil kelulusan uji kompetensi dokter dan penerbitan STR, rata-rata
produksi dokter per tahun 6100 sampai 6500 lulusan dokter. Dari jumlah lulusan tersebut,
yang dapat ditampung menjadi dokter pegawai tidak tetap (PTT) hanya sekitar 500 an
orang pertahun, dan formasi menjadi PNS sangat terbatas. Keterbatasan formasi, sumber
pembiayaan dan jumlah lembaga pelayanan kesehatan dapat membawa dampak berupa
berlebihnya jumlah dokter.
Dibanding dengan negara lain jumlah dokter di Indonesia masih kecil. Menurut
data WHO 2006, di Indonesia setiap 100.000 penduduk ada 13 dokter. Angka ini lebih
buruk dibanding dengan Kamboja yang berjumlah 15. Thailand mempunyai 37. Vietnam
53, Filipina 58, India 60, dan Malaysia 70.
Berdasarkan data HPEQ, pada tahun 2009, dokter umum yang bertugas di
Puskesmas sebanyak 13.701 orang. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan pada tahun
2008, yaitu 11.865 orang. Bila dibandingkan antara jumlah puskesmas yang terdata
tenaganya (8.509 puskesmas) dengan jumlah dokter, maka rasio dokter umum adalah
1,61 dokter umum per puskesmas.
Rasio ini masih kurang bila dibandingkan dengan rasio ideal berdasarkan SK
Menkes No 81 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa untuk setiap puskesmas disarankan
setidaknya terdapat 2 dokter umum. Rasio dokter umum per puskesmas penting untuk
menjadi acuan, untuk melihat sejauh mana fasilitas kesehatan yang menjadi ujung
tombak pembangunan kesehatan masyarakat dapat berfungsi dengan baik. Secara umum
dapat dilihat bahwa daerah dengan rasio lebih rendah dari satu menunjukkan jumlah
dokter lebih kecil dari jumlah puskesmas, artinya banyak puskesmas yang tidak memiliki
tenaga dokter umum. Saat ini diperkirakan 30% Puskesmas tidak memiliki tenaga dokter
terutama di daerah sulit.
Yang perlu menjadi perhatian adalah daerah-daerah dengan rasio dokter per
puskesmas yang kecil dan akses yang sulit, seperti di Maluku dan Papua. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat mengalami kesulitan untuk mengakses fasilitas
kesehatan. Kalaupun pada akhirnya masyarakat dapat mengakses fasilitas kesehatan,
dalam hal ini puskesmas, pelayanan yang diterima belum memuaskan karena ketiadaan
dokter umum.
Saat ini tidak ada peraturan perundang-undangan tentang wajib kerja bagi dokter
dan dokter spesialis.Namun menjadi pertanyaan kemana para dokter tersebut bekerja?
Mengapa mereka tidak mau pergi ke daerah sulit? Apakah masalah insentif yang tidak
menjadi domain RUU ini ataukah merupakan masalah kurikulum yang tidak menyiapkan
mereka untuk bekerja di daerah yang sulit. Di sisi Spesialis terjadi keadaan yang
jumlahnya kurang dan tidak merata penyebarannya (Lihat Tabel di bawah).
Tabel 1. Distribusi Dokter Spesialis di Indonesia (KKI 2008)
Province
DKI
Jakarta
Cumul
%
ative
Number
People
served
Ratio
2.890
23,92
%
23,92
%
8.814.000,
00
Jawa
Timur
1.980
16,39
%
40,30
%
35.843.200
,00
1 : 18102
Jawa Barat
1.881
15,57
%
55,87
%
40.445.400
,00
1 : 21502
Jawa
Tengah
1.231
10,19
%
66,06
%
32.119.400
,00
1 : 26092
Sumatera
Utara
617
5,11
%
71,17
%
12.760.700
,00
1 : 20681
D.I.Jogjak
arta
485
4,01
%
75,18
%
3.343.000,
00
1 : 6892
Sulawesi
Selatan
434
3,59
%
78,77
%
8.698.800,
00
1 : 20043
2,91
%
2,90
%
81,69
%
84,58
%
9.836.100,
00
1 : 27943
3.466.800,
1 : 9905
Banten
352
Bali
350
1 : 3049
00
Sumatera
Selatan
216
1,79
%
86,37
%
6.976.100,
00
1 : 32296
Kalimanta
n Timur
203
1,68
%
88,05
%
2.960.800,
00
1 : 14585
Sulawesi
Utara
173
1,43
%
89,48
%
2.196.700,
00
1 : 12697
167
1,38
%
90,86
%
4.453.700,
00
1 : 26668
1.104
9,14
%
100,00
%
52.990.200
,00
1 : 47998
Sumatera
Barat
Propinsi
Lainny
a
12083
100,
00%
224.904.90
0,00
1
: 18613
Maryam seorang pejabat di Kementerian Kesehatan menyimpulkan berbagai hal tentang
pengembangan spesialis sebagai berikut2: (1) lembaga pendidikan spesialis berada di kota-kota
besar di belahan barat Indonesia; (2) Hanya sedikit spesialis yang berasal dari daerah sulit; (3)
ada kesenjangan produksi dokter dalam hal jenis dan jumlah untuk daerah sulit; (4) manajemen
dokter spesialis yang buruk di pemerintah daerah; (5) insentif untuk spesialis yang sangat
bervariasi antar kabupaten; (6) kurangnya pendidikan berkelanjutan untuk spesialis di rumahsakit
rural; (7) pengembangan karir untuk dokter spesialis tidak jelas; (8) perpindahan dokter spesialis
di rumahsakit rural terbatas; (8) biaya hidup tinggi di daerah pedesaan; (9) minat rendah para
spesialis untuk bekerja di daerah sulit sehingga sering ada kekosongan; (10) variasi besar dalam
dukungan pemerintah daerah, misalnya peraturan, mutu kerja, remunerasi dan insentif,
pengembangan karir untuk spesialis; (11) biaya pendidikan spesialis sangat tinggi dan sebagian
besar membayar sendiri; (12) sebagian besar residen adalah bukan pegawai negeri sehingga tidak
ada kewajiban untuk bekerja untuk pemerintah setelah selesai pendidikan.
Oleh karena itu jumlah dan kualitas dokter spesialis harus ditingkatkan. Peningkatan jumlah
dokter spesialis dari segi kuantitas terutama ditujukan untuk mengatasi distribusinya yang tidak
merata, sedangkan peningkatan dari segi kualitas ditujukan untuk meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan di berbagai daerah3.
2
Maryam, Mary 2007. Indonesia’s Experience in Financing the Production and Retention of Physicians to
Improve Specialist Medical Services in Rural Hospitals. Center for Planning and Management of Human
Resources for Health (CPMHRH), Ministry of Health of the Republic of Indonesia.
3
Gi, Anggaran dan Jumlah Dokter Spesialis Ditingkatkan. Mediakom Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Edisi 05-April 2007, hal.9.
2. Tatakelola Pendidikan
Bab ini membahas mengenai tata kelola penddikan kedokteran dengan
menggunakan prinsip Good governance. Sebagaimana di sektor kesehatan. tata kelola di
pendidikan kedokteran dapat dibagi berbasis fungsi para pelaku. Pelaku pertama adalah
lembaga pendidikan kedokteran yang terdiri atas fakultas kedokteran termasuk
rumahsakit penddidikan. Pemilik lembaga ini dapat pemerintah atau swasta. RS
pendidikan saat ini masih RS pemerintah. Pelaku kedua adalah para aktor yang berperan
dalam regulasi pendidikan kedokteran yang terdiri atas Kementerian Pendidikan,
Kementerian Kesehatan yang meregulasi rumahsakit pendidikan, berbagai lembaga
independen yang quasi pemerintah seperti KKI, kolegium, organisasi profesi seperti IDI
dan Perhimpinan Ahli. Dalam sistem tata kelola ini terdapat pula kelompok aktor ke 3
yaitu para pemberi dana pendidikan kedokteran yang dapat berupa pemerintah,
masyarakat, dan lembaga swasta, serta donor. Terakhir adalah kelompok dosen perguruan
tinggi kedokteran.
Situasi lembaga pendidikan tinggi dan RS Pendidikan
Perguruan Tinggi Kedokteran merupakan satuan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi kedokteran berbentuk Universitas yang mencakup
Program Pendidikan Kedokteran Dasar (S-1) dan Pendidikan Profesi Dokter. Perguruan
tinggi yang memenuhi syarat dapat menjalankan Pendidikan Magister (S-2), Dokter
Spesialis, serta Pendidikan Doktor (S-3).
Saat ini ada 71 (tujuh puluh satu) institusi pendidikan kedokteran milik
pemerintah dan swasta yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran di Indonesia (data
ESBED 2011), sementara yang sudah meluluskan dokter sebanyak 45 (empat puluh lima)
institusi. Persebaran institusi pendidikan dokter dapat dilihat pada grafik 6.20 di bawah
ini
.
Grafik 2. Persebaran Institusi Pendidikan Dokter di Indonesia
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa institusi pendidikan dokter terbanyak terdapat di Pulau
Jawa dan diikuti oleh Pulau Sumatera. Sedangkan wilayah dengan jumlah institusi pendidikan
dokter terkecil adalah Maluku dan Papua sejumlah 2 IPD, serta Kalimantan sejumlah 4 IPD.
Akreditasi program studi kedokteran diklasifikasi berdasarkan jenjang pendidikan per pulau dan
akreditasi untuk tiap bidang ilmu.
Tabel 2. Akreditasi Prodi Kedokteran Jenjang S1
di Beberapa Wilayah di Indonesia
Tidak
Terakreditasi
9
5
Wilayah
A
B
C
4
3
4
Sumatera
11
13
4
Jawa
Bali, Nusa
1
0
2
2
Tenggara
0
1
0
2
Kalimantan
1
2
0
3
Sulawesi
0
0
0
2
Maluku, Papua
17
19
10
23
TOTAL
Sumber : Direktori SK Hasil Akreditasi Program Studi – 22/ 08/ 2010 (www.banpt.depdiknas.go.id)
Berdasarkan grafik di atas, akreditasi yang terbanyak adalah B di Pulau Jawa. Masih
banyak program studi yang belum terakreditasi, jumlah terbanyak yang belum diakreditasi
terdapat di Pulau Sumatera. Di Pulau Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi serta
Papua, jumlah program studi yang belum terakreditasi sama atau lebih besar dengan yang
sudah terakreditasi. Untuk program studi dengan akreditasi A terbanyak terdapat di Pulau
Jawa.
Dengan melihat data di atas maka kualitas 71 FK ini sangat bervariasi sehingga ada
sebutan FK Pembina dan ada yang disebut sebagai FK yang dibina. Untuk itu nama besar
Fakultas sebagai pembina dapat menjadi jaminan karena bila peminatnya banyak maka
akan mendapat mahasiswa yang berkualitas. Akibatnya jurang pemisah antara FK pembina
dengan yang baru menjadi semakin besar.
Dengan sebutan ini secara nyata diakui ada perbedaan mutu proses pendidikan antar
fakultas kedokteran di Indonesia. Hal ini merupakan hal buruk dalam konteks filosofi
pendidikan dimana diharapkan kesetaraan dalam mutu pendidikan. Dengan demikian di
berbagai daerah masyarakat mempunyai risiko ditangani tenaga kesehatan yang kurang
baik akibat mutu pendidikan yang dialaminya rendah.
Sebutan FK pembina dan yang dibina ini terjadi karena memang ada strategi
pengembangan yang dikembangkan di Indonesia antara FK Pembina dan yang dibina.
Model pengembangan ini dapat berisiko tinggi karena FK Pembinapun dapat kewalahan
dalam membina. Ada FK pembina yang harus membina lebih dari 2 fakultas kedokteran
di daerah yang sulit. Pertanyaan kritis adalah nilai tambah apa yang didapat oleh fakultas
kedokteran pembina dalam melakukan pembinaan. Apakah tidak menjadi suatu
bumerang? Kegiatan pembinaan akan melemahkan mutu pendidikan fakultas pembina
karena sumber daya manusia, waktu, dan sarana akan dipergunakan untuk membina.
Sebagaimana diketahui rangking perguruan tinggi Indonesia masih rendah dalam
urutan perguruan terbaik di dunia. Kegiatan pembinaan membutuhkan sumber daya yang
dapat mengganggu pengembangan FK pembina. Risikonya adalah penurunan
kemampuan internal.
Oleh karena itu perlu dicari terobosan baru antara lain mencari dosen-dosen asing
untuk membantu di FK pembina. Dalam hal ini diperlukan suatu terobosan untuk bekerja
sama dengan FK asing dalam meningkatkan mutu pendidikan kedokteran di Indonesia.
Skema kerjasama University to University atau Government to Government dalam
pendidikan tinggi kedokteran menjadi opsi kebijakan yang perlu dipikirkan. DI berbagai
belahan bumi sudah banyak dilakukan kerjasama antar perguruan tinggi kedokteran. Di
Indonesia diperlukan kerjasama antarfakultas kedokteran dengan fakultas kedokteran
asing untuk mendatangkan dosen-dosen4.
Pendidikan spesialis
Untuk pendidikan spesialis ada 33 (tiga puluh tiga) cabang spesialisasi dokter
yang dijalankan oleh 211 program studi dari 13 institusi penyelenggara pendidikan dokter
spesialis. Hal ini lebih banyak dari USA (23 spesialis).
Sistem pendidikan spesialis yang ada pada saat ini terbatas pada Fakultas
Kedokteran Negeri (FKN) di rumahsakit pendidikan pemerintah. Sampai saat ini belum
dapat dipahami mengapa tidak terjadi perluasan tempat pendidikan spesialis ke fakultas
kedokteran swasta yang mempunyai hak dan kualifikasi yang dibutuhkan. Diharapkan di
masa mendatang fakultas kedokteran swasta dapat mengembangkan pendidikan
spesialisasi.
Pendidikan spesialis menghasilkan 500 dokter spesialis setiap tahun di seluruh
Indonesia. Lulusan dokter spesialis diharapkan meningkat menjadi 1000 sampai 1400
orang pertahun. Jumlah ini hanya dapat dicapai apabila ada perubahan mendasar pada
sistem pendidikan dokter spesialis. Berbagai perubahan mendasar antara lain mengenai
perluasan jumlah rumahsakit sebagai tempat pendidikan spesialis, termasuk rumahsakit
swasta, rumahsakit militer dan kepolisian yang mampu, pengelolaan mahasiswa residen
tidak hanya sebagai peserta didik namun juga staf sementara rumahsakit pendidikan yang
mempunyai hak dan kewajiban. Sebagaimana diketahui di berbagai negara peserta
pendidikan residen mendapat insentif dari pekerjaannya, mempunyai perlindungan yang
cukup, dan diharapkan mengembangkan kepemimpinannya dalam kerja tim (teamwork)
bersama dengan profesi lain.
Rumahsakit Pendidikan
Jenjang Pendidikan Kedokteran yang meliputi pendidikan akademis dan
pendidikan profesi membutuhkan sarana rumah sakit dengan dengan standar persyaratan
tertentu yang dapat digunakan sebagai sarana praktek selama mengikuti pendidikan
kedokteran. Menurut dr. Pranawa5, idealnya rumah sakit pendidikan (teaching hospital)
harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
4
Ada banyak kegiatan antar perguruan tinggi di dunia antaralain Twinning for capacity development in Africa yang sudah
dilaporkan di berbagai jurnal.
5
Ketua IDI Jawa Timur, berdasarkan hasil wawancara pada hari Rabu, 3 Desember 2008.
a. high technology (hitech), artinya rumah sakit tersebut dilengkapi dengan sarana dan
prasarana modern yang menggunakan teknologi mutakhir dalam bidang kedokteran.
Misalnya mempunyai peralatan CT-Scan, MRI, Radioterapi, dan lain-lain;
b. mempunyai dokter spesialis yang jumlahnya cukup;
c. menjadi trend setter;
d. melakukan penelitian (doing research) secara berkala;
e. menjadi yang teratas (top reveal) dibandingkan dengan rumah sakit lainnya;
f. memberikan layanan rutin sehari-hari pada masyarakat.
Berbagai model rumahsakit pendidikan dalam hubungannya dengan fakultas
kedokteran: (1) FK tidak mempunyai rumahsakit sendiri. Pendidikan di RS dilakukan
dalam kerjasama dengan RS yang dimiliki lembaga lain. Contohnya adalah di Harvard
Medical School dan University of Melbourne; (2) FK dan RS Pendidikan merger menjadi
satu lembaga besar. Dekan dan direktur RS menjadi satu kesatuan. Contohnya adalah di
Groningen dan Naresuan University Thailand.
Faculty of Medicine, Dentistry and Health Seciences di University of Melbourne
termasuk kelompok Universitas yang tidak mempunyai rumahsakit sendiri. Pendidikan
kedokteran di University of Melbourne berada di bawah Faculty of Medicine, Dental, and
Health Sciences. Di dalam fakultas ini ada 4 School yang melakukan kegiatannya. School
terbesar adalah Medical School dengan sekitar 75% kegiatan. Setiap School dipimpin
oleh seorang Kepala yang bertanggung-jawab terhadap Dean Faculty of Medicine. Di
dalam Medical School ada 3 kelompok utama: Biosciences division, Clinical Clusters,
Psychological Sciences. Untuk Clinical Clusters ada berbagai Department Klinik di
berbagai rumahsakit pendidikan. Sebagai gambaran Department of Surgery ada di Royal
Melbourne Hospital (RMH) sebagai bagian dari Parkville Cluster, di Austin Cluster, dan
lain-lain.
University of Melbourne tidak mempunyai rumahsakit pendidikan. Rumahsakitrumahsakit pendidikan yang ada merupakan milik State (Negara Bagian).Sementara itu
UM merupakan lembaga milik pemerintah pusat (Federal). Dengan demikian sistem
pendanaan dan kegiatannya benar-benar berbeda. Hubungan antara FK dilakukan melalui
level Board dimana UM mempunyai wakil di setiap Board RS. Walaupun tidak ada
peraturan untuk adanya wakil UM dalam Board RS, namun diusahakan selalu ada. Di
Setiap Rumahsakit UM mempunyai semacam kantor untuk mendukung program
pendidikan. Hubungan dilakukan dengan model Partnership. Kegiatan ini didanai oleh
FK. Kantor ini dipimpin oleh Director of Clinical Teaching (dulu disebut Clinical Dean).
Kantor – kantor ini bertanggung jawab secara keuangan dan program ke Head of Medical
School. Sementara untuk mutu pendidikan bertanggung jawab ke Medical Education
Unit.
Dengan demikian bukti di berbagai negara menunjukkan bahwa fakultas
kedokteran tidak perlu memiliki rumahsakit pendidikan sendiri. Prinsip pentingnya
adalah bagaimana keeratan hubungan antara fakultas kedokteran dengan RS Pendidikan.
Oleh karena itu tidak dimungkinkan satu rumahsakit pendidikan bekerja dengan banyak
fakultas kedokteran. Hal ini akan menghambat perkembangan atmosfir akademik yang
baik. Oleh karena itu diperlukan suatu aturan untuk mengatur hubungan kerja antara
fakultas kedokteran dengan rumahsakit pendidikan di suatu wilayah.
Disamping RS Pendidikan, perlu dikembangkan pula pusat kesehatan masyarakat
(puskesmas) untuk pendidikan. Berdasarkan kompetensi dokter, maka calon dokter harus
melewati masa pendidikannya di puskesmas. Oleh karena itu perlu difikirkan bahwa
pemahaman mengenai rumahsakit pendidikan, terkait dengan jaringan pelayanan
kesehatan primer yang mencakup puskesmas. Dalam konteks dokter keluarga, ada pula
klinik dokter keluarya yang dapat menjadi tempat pendidikan bagi mahasiswa
kedokteran.
Standar Pendidikan Kedokteran
Standar pendidikan kedokteran merupakan kriteria baku yang harus dipenuhi oleh
suatu program Pendidikan Kedokteran, yang meliputi kriteria berbagai komponen
pendidikan (antara lain: standar isi, strategi, evaluasi staf pengajar, dan lain-lain) yang
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem
pendidikan nasional dan berlaku untuk seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia. Standar ini
tentunya mengacu ke Global Standards in Medical Education.
Penelitian oleh Trisnantoro dkk menemukan hasil bahwa sistem pendukung
proses pendidikan di fakultas kedokteran dan rumahsakit pendidikan masih kurang
diperhatikan6. Dengan menggunakan observasi berbasis value-chain, sebagian besar
fakultas kedokteran negeri yang diteliti mempunyai infrastruktur yang kurang memadai.
Dengan kondisi infrastruktur seperti ini dapat dipastikan bahwa mutu proses pendidikan
akan sulit mencapai standar yang baik. Selanjutnya hasil proses pendidikan dapat
terpengaruh.
Untuk selalu menjaga mutu mahasiswa dan lulusan pendidikan kedokteran maka
dilakukan evaluasi, pengawasan, dan akreditasi
secara periodik terhadap
penyelenggaraan pendidikan kedokteran dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas
publik berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu diperlukan berbagai
standar dalam lembaga pendidikan yang akan diatur dalam regulasi.
Regulasi pendidikan kedokteran
Di sebuah sektor selalu ada peran pemerintah yang berfungsi sebagai regulator.
Dalam konteks ini UU Sisdiknas menyatakan bahwa Kementerian Pendidikan Nasional
merupakan penanggung jawab sektor pendidikan di Indonesia. Ijin pembukaan fakultas
kedokteran dan pencabutannya berada di Kementerian Pendidikan.
Namun disamping pemerintah yang mengatur, sejak lima tahun belakangan ini
dipraktekkan pola pemikiran adanya lembaga quasi pemerintah yang “semi” independen
untuk membantu fungsi regulasi pemerintah. Organisasi “semi” independen ini adalah
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Disamping itu ada Ikatan Dokter Indonesia (IDI),
dan Asosiasi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI). Ketiga lembaga tersebut
6
Trisnantoro L, Sastrowijoto S, Ferry D. 2008. Kajian terhadap insfrastruktur pendukung FK dan RS Pendidikan:
Implikasinya terhadap kebijakan pendanaan. Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM.
memiliki fungsi dan peranan yang berbeda dalam mengatur regulasi di sektor pendidikan
kedokteran.
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI): Misi KKI yaitu:Menerapkan sistem
registrasi & monitoring dokter dan dokter gigi secara online diseluruh Indonesia;
Menegakkan profesionalisme dokter dan dokter gigi dalam praktik kedokteran;
Memastikan standar nasional pendidikan profesi dokter dan dokter gigi; Meningkatkan
kemitraan dengan organisasi profesi, instansi pemerintah dan non pemerintah untuk
menerapkan praktik kedokteran yang melindungi masyarakat. Dalam konteks pendidikan
KKI menetapkan standar kompetensi dokter Indonesia yang menjadi acuan kurikulum.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengemban misi sebagai berikut: Mengupayakan
peningkatan kemampuan profesional yang beretika; Mengembangkan peranan yang
bermakna dalam meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia; Menyuarakan
aspirasi, mengupayakan kesejahteraan dan memberikan perlindungan kepada segenap
anggota; Mengembangkan standar pelayanan profesi, standar etika dan memperjuangkan
kebebasan profesi yang mampu menyelaraskan perkembangan ilmu dan teknologi
kedokteran dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Tujuan dibentuknya IDI adalah
untuk memadukan segenap potensi dokter Indonesia, meningkatkan harkat, martabat dan
kehormatan diri dan profesi kedokteran. Selain itu tujuan lainnya adalah untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, serta pada akhirnya
meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia menuju masyarakat sehat dan sejahtera.
Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI). AIPKI berperan
dalam mengelola lembaga pendidikan profesi dokter. Hal ini tertuang dalam visi AIPKI
yakni menjadi organisasi yang menghimpun aspirasi seluruh institusi pendidikan
kedokteran. Untuk mencapai visinya, AIPKI memiliki misi sebagai berikut: Mendorong,
membina dan mengembangkan program pendidikan kedokteran yang bermutu tinggi dan
memenuhi standard regional dan internasional; Membina dan mengembangkan iptekdok
yang berkualitas dan bertaraf internasional. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan;
Berperan aktif membantu pemerintah dalam pengambilan keputusan tentang pendidikan
kedokteran dan pelayanan kesehatan (policy development); Meningkatkan dan membina
kerjasama seluruh institusi pendidikan kedokteran Indonesia; dan Membina dan menjadi
simpul kerjasama dengan lembaga lain (stakeholders) yang terkait dengan pendidikan
kedokteran dan pelayanan kesehatan.
Perhimpunan dan Kolegium.Profesi dokter tidak lepas dari peran rumah sakit
sebagai salah satu bentuk fasilitas kesehatan yang dibutuhkan masyarakat. Adapun
organisasi yang mengatur perumahsakitan Indonesia adalah Persatuan Rumah Sakit
Seluruh Indonesia (PERSI) dan khusus untuk Rumah Sakit Pendidikan terdapat pula
Asosiasi Rumah Sakit Seluruh Indonesia (ARSPI).
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghasilkan
pakar-pakar dalam bidangnya masing-masing, dalam bidang kedokteran hal ini tercermin
dari pesatnya perkembangan disiplin ilmu spesialistik sehingga hal ini pun ditanggapi
dengan bertambahnya jumlah departemen spesialisasi yang mandiri serta dibentuknya
perhimpunan-perhimpunan dokter spesialis. Dalam pendidikan ada kelompok kolegium.
Dalam pengamatan perkembangan KKI yang berada di bawah Presiden berjalan
cukup lancar. Namun untuk keuangan , KKI masih berada di bawah Kementerian
Kesehatan. Yang menarik dalam regulasi ini peranan Kementerian Pendidikan tidak
terlalu menonjol dalam pengawasan mutu pendidikan. Dalam konteks pembinaan, sampai
saat ini yang ada hanya pembukaan fakultas kedokteran, namun tidak ada penutupan. Hal
ini terjadi karena memang sulit untuk melakukan pencabutan ijin walaupun tidak
bermutu. Sementara itu perijinan terkesan mudah.
Ada beberapa pandangan mengapa peranan Kementerian Pendidikan dalam
regulasi belum maksimal. Pertama DitJen Dikti mengurus banyak hal sehingga tidak
mungkin fokus pada pendidikan kedokteran saja; belum terbentuknya suatu badan
standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan atau semacam Badan
Jaminan Mutu; dan adanya pendapat bahwa pemerintah tidak boleh terlalu banyak
campur tangan dalam proses pendidikan.
Belum baiknya sistem regulasi dapat dlihat dari peran pengawasan terhadap FK
saat ini belum maksimal. Kriteria minimal saat ini belum ada sehingga menyebabkan
pertambahan fakultas kedokteran secara tidak terkendali dengan mutu yang bervariasi
seperti yang sudah dibahas didepan. Salahsatu penyebab adalah karena saat ini belum ada
standar nasional pendidikan yang mengatur pendidikan kedokteran. Berdasarkan UU
Sisdiknas (pasal 35) Indonesia harus mempunyai standar nasional pendidikan yang
merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia7.
Standar Nasional pendidikan ini terdiri atas standar isi, proses, kompetensi
lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan
penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Standar
nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
Dalam konteks UU Sisdiknas, KKI mempunyai fungsi memastikan standar
pendidikan profesi dokter dan dokter spesialis seperti yang dinyatakan dalam UU Praktek
Kedokteran. KKI telah mengeluarkan Standar Pendidikan Profesi Dokter dan Dokter
Spesialis8. Namun isi standar pendidikan profesi dokter dan dokter spesialis bukan
kriteria minimal seperti yang dimaksud UU Sisdiknas. Lebih lanjut dapat ditegaskan
bahwa KKI bukan badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.
Bagian Kedua UUPK mengenai Fungsi, Tugas, dan Wewenang KKI
menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 6
Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan,
penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik
kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.
Pasal 7
(1) Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai tugas:
a. melakukan registrasi dokter dan dokter gigi;
b. mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi; dan
7
8
UU Sisdiknas .
KKI. 2006. Standar Pendidikan Dokter dan Standar Pendidikan Dokter Spesialis. Jakarta
c. melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang
dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masingmasing.
Wewenang KKI juga terbatas, seperti yang ada di UU Praktek Kedokteran Pasal
8 sebagai berikut:
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konsil Kedokteran
Indonesia mempunyai wewenang :
a. menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi;
b. menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi;
c. mengesahkan standar kompetensi dokter dan dokter gigi;
d. melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi;
e. mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi;
f. melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai
pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi; dan
g. melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi
oleh organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika
profesi.
Divisi-divisi dalam KKI juga tidak mempunyai fungsi pengembangan, pemantauan,
dan penilaian standar nasional pendidikan kedokteran. Di dalam UU Sisdiknas jelas
terdapat ayat mengenai pengembangan standar dan pemantauan dan pelaporan oleh badan
yang harus dibentuk (UU Sisdiknas Pasal 25). Oleh karena itu diharapkan ada
pengembangan standar nasional pendidikan kedokteran serta pemantauan dan pelaporan
pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh bagian pendidikan kedokteran dari
suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan
Namun sampai sekarang badan tersebut belum dibentuk. Akibatnya pendirian
fakultas kedokteran tidak menggunakan kriteria standar minimal yang jelas dan tidak ada
pemantauannya. Saat ini pemberian ijin ke lembaga pendidikan kedokteran diterbitkan
oleh Kementerian Pendidikan Nasional dengan rekomendasi KKI dan berbagai asosiasi
yang sebenarnya bukan wewenangnya. Di dalam pasal 8 UU Praktek Kedokteran yang
sudah dikuti di atas jelas bahwa KKI tidak berwenang melakukan rekomendasi perijinan
untuk lembaga pendidikan kedokteran.
Akreditasi saat ini dilakukan oleh BAN. Data menunjukkan bahwa akreditasi yang
terbanyak adalah B di Pulau Jawa9. Masih banyak program studi yang belum
terakreditasi, jumlah terbanyak yang belum diakreditasi terdapat di Pulau Sumatera. Di
Pulau Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi serta Papua, jumlah program studi
yang belum terakreditasi sama atau lebih besar dengan yang sudah terakreditasi. Untuk
program studi dengan akreditasi A terbanyak terdapat di Pulau Jawa (data HPEQ).
Data mengenai akreditasi lembaga pendidikan kedokteran menunjukkan bahwa
perijinan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Tinggi bersifat longgar. Hampir
9
Sumber : Direktori SK Hasil Akreditasi Program Studi – 22/ 08/ 2010 (www.banpt.depdiknas.go.id)
separuh dari nilai akreditasi masih berada di C atau belum diakreditas. Sementara itu
lembaga yang bersangkutan masih terus menerima mahasiswa baru.
Dapat ditegaskan bahwa urusan standar nasional ini masih merupakan ketidak
pastian hukum. Hal ini berdampak pada perijinan dan penutupan fakultas kedokteran
yang menjadi tidak jelas prosesnya. Hal ini menjadi salahsatu penyebab mengapa terjadi
peningkatan jumlah fakultas kedokteran secara cepat namun diragukan mutu proses
pendidikan dan infrastrukturnya, termasuk kualifikasi dan jumlah dosen seperti yang
tercermin dari hasil akreditasi.
Akibat berikutnya adalah dengan tidak adanya standar minimal maka sulit untuk
mempunyai unit-cost proses pendidikan untuk memenuhi kompetensi profesi dokter dan
dokter spesialis. Terjadi berbagai fakultas yang bervariasi mutunya, dengan gap yang
sangat besar. Hal ini merupakan kekurangan sistem regulasi pendidikan kedokteran
Indonesia sampai saat ini dan perlu diatasi dengan UU Pendidikan Kedokteran yang akan
disusun.
Sumber Pendanaan Pendidikan Tinggi Kedokteran
Secara konsepsual, pendanaan proses pendidikan tinggi dapat berasal dari
pemerintah pusat maupun propinsi/kabupaten, masyarakat, dan swasta. Berdasarkan
UUD, pendidikan merupakan public-goods yang sebaiknya didanai pemerintah. Namun
akibat keterbatasan kemampuan keuangan negara, dalam pelaksanaan pendidikan, bagi
sebagian masyarakat yang mampu dapat memberikan kontribusi berupa sumbangan
untuk pendidikan. Disamping itu pemerintah memberi kesempatan kepada lembaga
swasta untuk menyelenggarakan pendidikan kedokteran.
Akan tetapi di Indonesia terjadi situasi yang menjauhi amanah UUD. Pemerintah
relatif tidak banyak memberikan pembiayaan untuk pendidikan tinggi walaupun akhirakhir ini memang ada dana dari pemerintah, namun sebagian besar berasal dari pinjaman
asing yaitu World Bank untuk proyek HWS dan HPEQ serta IDRB untuk RS pendidikan
di berbagai fakultas kedokteran. Disamping itu ada pembangunan fisik dari JICA untuk
pendidikan kedokteran, dan APBN untuk pembangunan RS Pendidikan.
Selama ini tidak ada dana pemerintah untuk RS Pendidikan yang milik
Kementerian Kesehatan. Proses pendidikan dilakukan dalam konteks dana yang
seadanya. Berbagai seminar dan penelitian telah menyatakan keadaan ini sejak lama.
Demikian pula untuk pendidikan dokter spesialis. Kementerian Pendidikan tidak
menyediakan anggaran untuk pendidikan dokter spesialis. Pendidikan dokter spesialis
merupakan pendidikan yang menarik karena peran Kementerian Pendidikan dapat disebut
minimalis. Pendanaan dan pengelolaan diserahkan sepenuhnya ke lembaga masyarakat
dan swasta. Dalam pendidikan ini sudah terjadi situasi buruk dimana pendanaan yang
berasal dari swasta menjadikan pendidikan yang mempunyai mekanisme pasar kuat.
Akibatnya biaya untuk mengikuti pendidikan spesialis menjadi sangat tinggi. Pada tahun
2007 dilaporkan oleh Maryam (Pusrengun DepKes RI) bahwa sebagian besar residen
membiayai sendiri.
Intervensi pemerintah ke pendidikan tinggi spesialis dilakukan melalui
Pendidikan Dokter Spesialis berbasis Kompetensi yang diprakarsai oleh Kementerian
Kesehatan. Kebijakan ini berusaha meningkatkan mutu pendidikan dengan perbaikan
kurikulum dan pengiriman mahasiswa tugas belajar yang didanai oleh Kementerian
Kesehatan. Beasiswa yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan lebih untuk mendanai
biaya operasional dan biaya hidup mahasiswa. Tidak ada biaya untuk perbaikan investasi.
Di berbagai fakultas kedokteran swasta, pendidikan tinggi menjadi private goods
murni yang bahkan menjadi sumber subsidi silang untuk fakultas lainnya10. Hal ini dapat
dipahami karena demand untuk menjadi mahasiswa kedokteran sangat tinggi, dengan
jumlah mahasiswa yang diterima relatif sedikit. Akibatnya terjadi tarif SPP tinggi dengan
jumlah mahasiswa yang diterima semakin besar. Terjadi situasi dimana fakultas
kedokteran swasta menerima pendapatan besar namun ada kemungkinan tidak maksimal
dipergunakan untuk kepentingan mutu pendidikan.
Gejala mengutip uang masuk tinggi terjadi pula di pendidikan dokter dan dokter
spesialis di fakultas kedokteran pemerintah. DI pendidikan dokter terdapat berbagai
praktek pemberian uang sebagai jalanmasuk ke pendidikan. Praktek-praktek ini
melanggar hukum, dimana sebagian terbukti11 namun sebagian lainnya tidak terbukti di
pengadilan.
Pengamatan mengenai sumber pendanaan menunjukkan bahwa subsidi untuk
pendidikan kedokteran di Indonesia belum mempunyai sistem yang jelas, pihak mana
yang membayar biaya operasional dan pihak mana yang membayar biaya investasi12.
Selama ini terlihat bahwa Departemen Pendidikan memberikan subsidi untuk hal-hal
yang rutin dan investasi di fakultas kedokteran. Namun belum ada rencana jelas untuk
membiayai investasi yang saat ini sangat dibutuhkan di berbagai fakultas di daerah yang
termasuk kategori yang harus dibina, serta untuk rumahsakit pendidikan.
Pengamatan ini menyarankan perlu ada dana investasi segera untuk memperbaiki
infrastruktur pendidikan kedokteran. Kebutuhan dana untuk fakultas kedokteran dan
rumahsakit pendidikan ini sangat mendesak terutama bagi fakultas kedokteran baru yang
akan masuk ke tahap pendidikan residensi. Hal ini dikemukakan oleh Dekan FK
Universitas Nusa Cendana yang saat ini sedang mempersiapkan rumahakit pendidikan di
Kupang13.
Bagaimana kemungkinan sumber pendanaan di masa mendatang? Sumber
pendanaan penyelenggaraan pendidikan kedokteran pada prinsipnya berasal dari APBN
dan APBD, khususnya dari 20 % anggaran Negara yang dialokasikan untuk anggaran
pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Akan tetapi dana pemerintah diberikan besar untuk pendidikan
dengan tetap membuka peran serta masyarakat untuk membantu penyelenggaraan
pendidikan kedokteran melalui sumber pendanaan lain yang sah berdasarkan peraturan
perundang-undangan14.
Anggaran yang untuk pendidikan kedokteran dapat dibagi menjadi:
Sumber dari APBN.
10
Pernyataan ini berasal dari berbagai Dekan FK swasta yang memaparkan bahwa sebagian dana masuk yang
berasal dari calon dan mahasiswa FK dipergunakan oleh fakultas lain. Informasi ini termasuk sensitif. Perlu ada
cross-check ke catatan keuangan di tiap universitas. Hal ini dikemukakan pula oleh seorang anggota Panja RUU
Pendidikan Kedokteran DPR.
11
Kasus di sebuah daerah yang melibatkan pengelola pendidikan kedokteran
12
Ada berbagai penelitian tentang biaya pendidikan di rumahsakit pendidikan yang dilakukan oleh Chairul Umam
dan Trisnantoro antara tahun 2002 sampai 2010.
13
Heru Tjahyono 2011. Persiapan rumahsaki pendidikan untuk FK Nusa Cendana. Seminar di FK UGM.
14
Hal ini mencerminkan kenyataan bahwa tidak mungkin ada etatisme murni dalam pendidikan kedokteran.
Sumber ini meliputi dari pendanaan Kementerian Pendidikan untuk Fakultas
Kedokteran Negeri, dan/atau Fakultas Kedokteran Swasta. Dalam konteks
pemberian dana untuk fakultas kedokteran swasta, akan ditemui masalah hukum
berupa bentuk penyaluran. Dalam hal ini ada kemungkinan berupa model hibah
pemerintah untuk swasta. Namun model hibah ini tidak bisa dilakukan rutin.
Disamping untuk rumahsakit pendidikan dana APBN dari Kementerian
Pendidikan perlu diberikan untuk rumahsakit pendidikan. Dalam hal ini RS
pendidikan bervariasi pemiliknya; (1) RS Akademik milik Kemendiknas; RS
Pendidikan yang bukan menjadi milik Kementerian Pendidikan (milik Kemenkes,
dan swasta). Pertanyaan penting adalah bagaimana aturan untuk menyalurkan
anggaran Kementerian Pendidikan ke lembaga yang bukan UPT Kementerian
Pendidikan. Apakah dimungkinkan untuk memberikan dalam bentuk Dana Tugas
Pembantuan APBN ke rumahsakit pendidikan di berbagai kepemilikan. Khusus
untuk dana investasi peralatan yang digunakan untuk pelayanan kesehatan
diharapkan berasal dari pemerintah (cq. Departemen Kesehatan).
Pendanaan dari APBD.
Bagi pemerintah daerah yang mampu diharapkan ada bagian dari APBD untuk
investasi dan operasional. Daerah-daerah yang mampu tersebut antara lain: Aceh
(dana otonomi khusus), Riau (dana bagi hasil), DKI Jakarta (pendapatan asli
daerah), Kalimantan Timur (dana bagi hasil), Papua (dana otonomi khusus). Ada
beberapa kemungkinan dana APBD untuk FK yang merupakan UPT Kementerian
Pendidikan Nasional. Penyaluran dana ini tidak dimungkinkan oleh peraturan
keuangan15. Aturan keuangan ini menyebutkan tidak boleh ada dana pemerintah
daerah untuk ke fakultas kedokteran sebagai UPT pusat. Hal ini terjadi di
Universitas Mulawarman16. FK di daerah perlu dikecualikan dari aturan keuangan
ini.
Pendanaan dari masyarakat
Sumber dana dari Masyarakat dan lembaga swasta tetap merupakan hal yang
diharapkan terus terjadi. Tidak mungkin pemerintah akan mendanai semuanya.
Masyarakat dapat memberikan dana untuk mengikuti pendidikan kedokteran di
fakultas kedokteran negeri dan swasta. Disamping itu ada dana Charity yang dapat
diperoleh dari masyarakat mampu dan industry yang menyumbang untuk sosial
dan dapat memperoleh keringanan pajak. Juga dana Corporate Social
Responsibility dapat diusahakan.
Secara keseluruhan mekanisme pasar tetap ada dalam sektor pendidikan
kedokteran, namun dibatasi volumenya dengan memainkan instrumen subsidi
pemerintah dan pemberian beasiswa. Pemerintah memberikan subsidi berupa
biaya investasi dan operasional untuk fakultas kedokteran dan rumahsakit
pendidikan pemerintah, hibah, dan beasiswa yang dapat dipergunakan masyarakat
untuk belajar di fakultas kedokteran pemerintah atau swasta.
15
Peaturan Menteri Keuangan yang menyebutkan tidak boleh ada dana daerah untuk UPT pusat.
Diskusi dengan Dekan FK Mulawarman mengenai masalah dalam mengalirkan dana APBD ke FK Universitas
Mulawarman.
16
Satu hal penting dalam pendanaan ini adalah; Siapa mendanai apa, khususnya
untuk dua Kementerian: Pendidikan Nasional dan Kesehatan. Apakah akan ada
suatu penegasan bahwa dana Kementerian Pendidikan untuk fakultas kedokteran
dan rumahsakit pendidikan merupakan dana untuk proses pendidikan saja.
Sementara itu dana untuk pembelian peralatan untuk pelayanan kesehatan
diharapkan dari Kementerian Kesehatan sesuai dengan tugas nya.
Secara konkrit dapat disebutkan bahwa subsidi biaya investasi perlu diperjelas.
Apakah peralatan medik di rumahsakit pendidikan (termasuk milik Kementerian
Pendidikan) akan tetap didanai oleh Kementerian Kesehatan karena memberikan
pelayanan, ataukah didanai oleh Kementerian Pendidikan. Dalam hal ini
diharapkan ada semacam kerjasama antara Kementerian Kesehatan dan
Pendidikan Nasional untuk menetapkan tanggung jawab yang jelas dalam
pendanaan rumahsakit pendidikan. Hal ini
akan menjadi topik agenda
pernyusunan kebijakan anggaran dalam pendidikan kedokteran.
Untuk Fakultas Kedokteran dan rumahsakit pendidikan perlu untuk memperbaiki
perencanaan pendanaan (financial plan) dalam konteks rencana strategis masingmasing. Aspek pembiayaan ini sebenarnya masuk dalam standar nasional
pendidikan. Akan tetapi hal ini tidak pernah dijadikan bahan penilaian, dan
monitoring lembaga pendidikan. Akibatnya terjadi situasi dimana akuntabilitas
lembaga tidak dapat dipertanggung-jawabkan dan perbedaan fasilitas yang sangat
besar antar fakultas kedokteran17.
Dosen Pendidik
Dosen merupakan tulang punggung dan otak sebuah perguruan tinggi. Tanpa ada
dosen yang baik dengan pola regenerasi yang benar, masa depan sebuah universitas
menjadi sulit. Secara pengamatan di sebuah fakultas kedokteran yang mempunyai
predikat Pembina, dalam kurun waktu lima tahun (2003-2008) terjadi penurunan drastis
jumlah dosen dengan NIP 13, terutama di bagian-bagian klinik. Di sisi lain, terjadi
peningkatan jumlah dosen luar biasa(non NIP 13...) dan adanya istilah baru dosen
swadana. Struktur dosen ini berbeda dengan fakultas-fakultas lain. Secara kuantitas
jumlah dosen meningkat. Sebaliknya secara kualitas berdasarkan jenjang karir akademik
terjadi penurunan. Penurunan kualitas jenjang karir akademik terutama di bagian-bagian
klinik. Pada proyeksi 5 tahun ke depan, kelompok biomedik akan mengalami situasi
serupa dengan klinik.
Keadaan ini merupakan gejala ini yang juga terjadi serupa di berbagai fakultas
kedokteran. Oleh karena itu dapat dikatakan sebuah krisis sudah mulai terjadi. Di sisi
lain, jumlah dosen di luar Jawa sangat sedikit. Hal ini menunjukkan perkembangan yang
sangat jauh antara Jawa dan Luar Jawa. Kebijakan yang dapat disarankan adalah: (1)
Meningkatkan jumlah dosen non Kementerian Pendidikan, (2) Mencari dosen asing
dalam skema kerjasama dengan perguruan tinggi internasional; (3) merekrut dosendosen muda. Kesemua solusi ini membutuhkan dana untuk pengembangan SDM dosen.
Meningkatkan jumlah dosen non Kementerian Pendidikan Nasional.
17
Dewi Feri. 2011. Situasi fasilitas pendidikan kedokteran di 4 propinsi. Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
FK UGM.
Kebijakan ini memperkuat apa yang disebut sebagai dosen pendidik klinik,
terutama di rumahsakit pendidikan. Dosen-dosen dari Kementerian Pendidikan akan
menjadi minoritas dalam jumlah. Di luarnegeri gambaran serupa terjadi. Sebagai
gambaran di University of Melbourne terdapat sekitar 1900 dosen akademik18. Terdiri
dari Bagian Pra Klinik di Departemen-departemen di FK. Di Bagian Klinik terdapat 80
orang dosen pegawai universitas yang disebar ke RS-RS Pendidikan. Mereka
mempunyai gelar Professor dan Asisten Professor. Sementara itu jumlah yang jauh lebih
banyak, 1000 orang, berasal dari jaringan RS Pendidikan. Disebut sebagai Honorary
Medical Lecturers.
Bagaimana dengan pembayarannya? Ada tiga kelompok dosen di University of
Melbourne. Pertama adalah kelompok yang full-time merupakan tenaga pendidikan.
Digaji oleh universitas dan tidak mendapat tambahan apa-apa. Kelompok ini dapat pula
mempunyai double appointment dengan rumahsakit pendidikan dan mendapat
pendapatan dari rumahsakit jaringan. Kelompok kedua adalah dosen yang tidak dibayar
namun menjalankan tugas sebagai pendidikan. Motivasi mereka untuk mengajar adalah
untuk kemantapan profesi, akses ke fasilitas Universitas Melbourne, dan
mengembangkan karier akademik. Kelompok ketiga adalah dosen yang tidak
mempunyai hubungan tegas dengan universitas namun dikontrak per jam untuk
memberikan tugas fungsi pendidikan. Mereka dapat berupa para klinisi ataupun
mahasiswa S3 yang menjadi tutor/fasilitator untuk PBL. Pendidikan residensi dilakukan
oleh College. Kegiatan mengajar di residensi tidak merupakan pekerjaan yang dibayar.
Hanya sekali-kali. Jadi bersifat Unpaid/voluntarily.
Pola serupa dilakukan di Harvard University19. Dalam struktur organisasi yang
kompleks di Harvard ada suatu nilai yang dipegang dalam pendidikan tinggi
kedokteran. Nilai tersebut adalah rasa kebanggaan untuk mengajar para calon dokter.
Harvard University memberikan pula beberapa insentif keuangan untuk pemberian
pendidikan. Di luar insentif keuangan, sebagai dosen di Fakultas Kedokteran Harvard
mendapat berbagai manfaat, termasuk penggunaan perpustakaan dan berbagai sistem
pengembangan ilmu.
Apakah pola ini dapat dipergunakan di Indonesia. Motivasi apa yang dapat
membuat para dokter pendidik klinik di luar Kementerian Kesehatan melakukan
pendidikan. Saat ini Menpan telah mengeluarkan SK mengenai dokter yang pendidik
klinik20. Apakah hal ini cukup? Perbedaan utama adalah tidak adanya jabatan Professor
Klinik di Indonesia seperti yang ada di Harvard University. Hal ini menjadi isu penting
yang dikemukakan oleh berbagai tokoh pendidikan kedokteran dalam berbagai hearing.
Ada peluang pula untuk menerapkan Doktor dalam pendidikan profesi yang dapat
dipergunakan dokter pendidik klinik yang berasal dari luar Kementerian Pendidikan
untuk menjadi Profesor. Pengelolaan dokter pendidik klinik perlu untuk diperbaiki
sehingga dapat menjadi dosen yang mempunyai jabatan fungsional seperti yang tertera
di UU Guru dan Dosen.
18
Trisnantoro L. 2009. Pengelolaan RS Pendidikan di University of Melbourne. Studi banding dengan situasi di
Indonesia. Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM.
19
Observasi di Harvard University
20
SK Menteri PANmengenai dosen Pendidik.
Mencari dosen-dosen asing
Dalam jangka pendek perlu untuk mencari dosen-dosen asing untuk ditempatkan
di fakultas kedokteran Indonesia. Skema yang dilakukan dapat berupa twinning system
atau sister university (U to U atau G to G) dengan berbagai sumber dana. Diberbagai
negara sudah banyak kerjasama antar perguruan tinggi. Sebagai gambaran, ada laporan
di Lancet sebagai berikut:
Ibadan—possibly Nigeria’s premier medical school—was started in
collaboration with the University of London, UK. In Uganda, the prestigious
Makarere health sciences schools have had many twinning programmes,
including with Johns Hopkins, USA, in public health. In Kenya, Moi University
School of Medicine has pioneered a twinning arrangement with aconsortium of
north American universities led by Indiana21.
Dokter-dokter dosen ini sekaligus dapat menjalankan praktek kedokteran di
rumahsakit pendidikan untuk menarik para pasien. Hal ini sudah dimungkinkan secara
hukum oleh UU Rumahsakit22.
Proses di Pendidikan Tinggi Kedokteran.
Cara menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran.
Satu konsep penting adalah kriteria untuk menjadi mahasiswa kedokteran dan
pendidikan spesialisasi. DI berbagai negara memang terbukti bahwa komposisi
mahasiswa kedokteran lebih banyak yang mempunyai kemampuan ekonomi tinggi23.
Keadaan ini sangat terlihat di kampus-kampuspendidikan dokter terkemuka di Indonesia.
Hal ini dapat dimengerti karena sistem seleksi mahasiswa kedokteran yang mengacu pada
kemampuan akademik dan ditambah dengan syarat pembayaran dana menjadi
penghalang untuk lulusan SMA di daerah sulit yang tidak secemerlang rekannya dari
perkotaan.
Oleh karena itu dipikirkan adanya pola seleksi yang tidak berdasarkan persaingan
bebas dan kemampuan ekonomi. Hal ini merupakan kebijakan seleksi yang afirmatif.
Tahun 2009, Fakultas Kedokteran UGM pernah menerapkan model seleksi yang
memberikan jalur khusus kepada lulusan SMA dari pulau Nias untuk menjadi
dokter.Jalur khusus ini tidak harus bersaing dengan calon mahasiswa.Jatah sekitar 12
kursi telah dialokasi dan dikompetisikan untuk calon-calon mahasiswa dari Nias.Dana
pendidikan dibayar oleh pemerintah daerah Kabupaten Nias. Program ini berlaku pula
untuk dokter spesialis.
Ada beberapa faktor lain yang perlu dipikirkan dalam sistem seleksi. Isu Gender
menjadi hal penting. Saat ini terjadi feminisasi mahasiswa kedokteran yang tentunya akan
mempengaruhi pola kerja lulusan. Dokter wanita cenderung tidak bekerja secara fulltimer dan mempunyai kerumitan pribadi untuk bekerja di daerah sulit. Latar belakang
21
Frenk J, Chen K. Dkk. 2011. Health Professionals for a new century; transforming education to strengthen health
systems in an interdependent world. Lancet. Vol 376 December 4, 2010.
22
UU RS tahun 2009
23
WHO. 2006. The world health report: working together for health.Geneve: World HealthOrganization.
etnis untuk mempermudah bekerja di daerah sulit dengan budaya yang berbeda perlu
dijadikan pertimbangan dalam memberikan alokasi untuk pendidikan dokter.
Kompetensi dan Kurikulum
Berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional pengembangan kurikulum untuk
pendidikan tinggi dilakukan oleh perguruan tinggi yang berangkutan 24. Dengan mengacu
pada pasal ini kurikulum pendidikan kedokteran sebaiknya disusun oleh pendidikan
tinggi berdasarkan standar nasional pendidikan dan memperhatikan potensi daerah serta
tingkat satuan pendidikan. Di dalam UU Praktek Kedokteran tidak disebutkan mengenai
kurikulum secara tegas namun secara eksplisit disebutkan bahwa KKI menetapkan
standar pendidikan profesi dokter yang diacu oleh kurikulum.
Di dalam buku standar profesi dokter yang disahkan KKI disebutkan bahwa
kurikulum pendidikan kedokteran menggunakan kurikulum berbasis kompetensi. Di
berbagai negara kurikulum ini memang yang diacu25. Kurikulum berbasis kompetensi
disusun berdasarkan kebutuhan akan pelayanan dan sistem kesehatan.
Di dalam buku Standar Pendidikan Dokter Indonesia oleh KKI terdapat definisi
kurikulum sebagai berikut:
Kurikulum Pendidikan Kedokteran berbasis kompetensi yang dilakukan dengan
pendekatan terintegrasi baik horisontal maupun vertikal, serta berorientasi pada masalah
kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat.
Definisi ini belum begitu jelas sehingga menimbulkan perdebatan mengenai
kurikulum pendidikan kedokteran:Bagaimana pemahaman dan konsep dasarnya; Siapa
yang menyusun dan bagaimana prosesnya; Apakah akan kurikulum berbasis kompetensi
yang tunggal atau bisa lebih dari satu sesuai kondisi daerah setempat; dan Siapa yang
menetapkan untuk dipergunakan sebagai kurikulum nasional untuk pendidikan
kedokteran?
Pemahaman kurikulum saat ini perlu untuk melihat beberapa kata kunci sebagai
berikut:
Berbasis kompetensi. Dalam UU praktek kedokteran jelas bahwa kompetensi
dokter yang disahkan oleh KKI menjadi target pencapaian kurikulum. Standar
Kompetensi Dokter ini merupakan standar nasional keluaran program studi dokter dan
telah divalidasi oleh Perkumpulan Dokter Keluarga Indonesia, Kolegium Dokter
Indonesia, Kolegium-Kolegium Spesialis terkait serta seluruh Bagian atau Departemen
terkait dari seluruh institusi pendidikan kedokteran di Indonesia. Standar Kompetensi
Dokter ini merupakan satu kesatuan dengan Standar Pendidikan Profesi Dokter. Standar
Kompetensi Dokter adalah standar output atau keluaran dari program studi dokter.
Kurikulum dirancang agar dapat mencapai standar kompetensi dokter. Akan tetapi
masalah kurikulum ini masih menyisakan masalah penting yaitu tentang konsep dokter
keluarga dan dokter umum.
24
UU Sisdiknas 2003
Gruppen I.D. Mangrulkar RS, Kolars JC. Competence based education in the health professions: implication for
improving global health. Commission paper 2010. http://www.globalcommehp.com
25
Siapa penyusun kurikulum. Penyusun kurikulum adalah perguruan tinggi yang
dapat dikelompokkan menjadi berbagai tipe: berada di daerah yang mempunyai pengaruh
global yang kuat dan ada yang berada di daerah pedalaman. Kurikulum selalu terkait
dengan kebutuhan setempat, dan mengacu pada kompetensi profesi dokter yang
ditetapkan KKI. Dengan demikian ada kemungkinan kurikulum dapat lebih dari satu
versinya. Sebagai gambaran bagaimana memperoleh lulusan fakultas kedokteran yang
mampu bersaing dalam pelayanan kesehatan global, sementara itu di berbagai daerah
terjadi kekurangan dokter yang sangat akut. Pembedaan kurikulum dimungkinkan oleh
UU Sisdiknas. Namun saat ini yang ada baru 1 jenis kurikulum berbasis kompetensi.
Sebagai gambaran, berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi, kurikulum
fakultas kedokteran yang berencana meluluskan dokter dengan kompetensi di daerah sulit
mungkin perlu menyusun kurikulum yang berbeda. Ada kemungkinan kurikulum berbeda
dengan mengacu standar kompetensi yang sama. Hal ini penting mengingat lulusan
fakultas kedokteran di Indonesia berada di berbagai tempat yang berbeda situasinya 26.
Kurikulum ditetapkan/disusun oleh PT yang bersangkutan sesuai dengan filosofi
pendidikan yang dianut dan sesuai dengan kemampuannya. Prinsip penting adalah
kurikulumnya harus dapat memfasilitasi mahasiswa untuk menguasai standard
kompetensi minimal dengan cara yang efisien27.
Kurikulum yang mempunyai sifat diversifikasi. Di sisi lain ada kemungkinan
kurikulum berbeda dengan mengacu pada kompetensi yang lebih dibanding yang ada
sekarang. Sebagai gambaran Section Caesarian. Kompetensi sekarang berada pada Level
2. Karena kebutuhan di lapangan, untuk menyiapkan dokter di daerah sulit mungkin perlu
sampai Level 4 (lebih tinggi dari standar kompetensi). Sedangkan untuk menjawab
tuntutan perkembangan masyarakat global, kesesuaian antara kurikulum dengan
pendidikan kedokteran masih harus disesuaikan28.
Dalam konteks pelaksanaan kurikulum, belum ada kejelasan penetapannya
walaupun berdasarkan UU Sisdiknas, pemerintah merupakan penanggung-jawab sistem
pendidikan. Menjadi isu kebijakan adalah siapa yang berwenang menetapkan kurikulum
untuk dilaksanakan oleh perguruan tinggi termasuk dana pelaksanaannya. Oleh karena itu
diharapkan pemerintah dapat berperan untuk menetapkan kurikulum yang dikembangkan
oleh berbagai perguruan tinggi dengan mengacu pada standar kompetensi dokter dan
dokter spesialis yang ditetapkan oleh KKI.
26
Pendapat dari Prof Soenarto Sastrowijoto, mantan Dekan Fakultas Kedokteran UGM.
Pendapat dari Dr. Rossi Sanusi PhD, seorang pakar pendidikan kedokteran.
28
Berdasarkan hasil wawancara di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, tanggal 1 Desember 2008.
27
Download