1 DESKRIPSI HISTOPATOLOGIK KANKER SERVIKS

advertisement
DESKRIPSI HISTOPATOLOGIK KANKER SERVIKS: ASPEK KLINIK
Ketut Suwiyoga, I Nyoman Gede Budiana, Gde Sastra Winata
Divisi Onkologi Ginekologi, Departemen Obstetri dan Ginekologi
FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
ABSTRAK
Di Indonesia, sampai saat ini belum ada standar nasional tentang deskripsi
histopatologik pada kanker serviks. Hal ini terutama disebabkan oleh karena belum ada
pertemuan antara onko-ginekologist dengan patologist. Selain itu, juga disebabkan oleh
adanya perbedaan sarana dan prasarana masing-masing, serta adanya perbedaan penerapan
kemajuan tentang mekanisme patogenesis, dan sumber daya manusia serta strategi di setiap
senter/RS Pendidikan.
Standar nasional ini bertujuan untuk menyamakan deskripsi histopatologik terkait
dengan penanganan dan pasient safety dengan kendali mutu dan biaya. Deskripsi
histopatologik pada kanker serviks diharapkan memenuhi kebutuhan aspek klinis yang
berkaitan dengan penanganan pasien, sehingga diperlukan suatu konsensus antara onkoginekologist dengan patologist.
Konsensus standar nasional deskripsi histopatologik yang ideal berdasarkan
mekanisme invasi dan metastasis kanker serviks. Deskripsi histopatologik kanker serviks
meliputi deksripsi umum, dan deskripsi diagnostik. Deskripsi umum meliputi identitas,
kondisi, jumlah, jenis prosedur, topografi, deskripsi jaringan yang singkat dan jelas, dan
keterkaitannya dengan struktur disekitarnya. Sedangkan deskripsi diagnostik meliputi jenis
histopatologis, derajat diferensiasi tumor, perluasan tumor, invasi, lymphatic vascular
space invasion, status kelenjar getah bening, dan status batas/tepi reseksi.
Kata kunci: kanker serviks, invasi, metastasis, deskripsi histopatologik
1
HISTOPATHOLOGIC DESCRIPTION OF CERVICAL CANCER:
CLINICAL ASPECT
Ketut Suwiyoga, I Nyoman Gede Budiana, Gde Sastra Winata
Oncology Gynecology Division, Obstetric and Gynecology Department, Medical Faculty
Of Udayana University/Sanglah Hospital
ABSTRACT
In Indonesia, at recent time there is no national standard regarding of
histopathologic description of cervical cancer. The cause of this circumstance mainly
because there is no meeting between oncologist-gynecologist and pathologist. On the other
hand, the difference in facilities and infrastructure, difference in application of latest
progress in pathogenesis mechanism, and human resource and strategy in each
center/university hospital.
The goal of national standard is to synchronize the histopathologic description
related with the management and patient safety with quality control and cost.
Histopathologic description in cervical cancer, is expected to fulfill the needs in clinical
aspect which is related to patient care, which is why the consensus between the oncologist
gynecologist and pathologist required.
The ideal national standard consensus in histopathologic description are based on
invasion mechanism and cervical cancer metastatic. Histopathologic description of cervical
cancer consist of general description and diagnostic description. General description
consist of identity, condition, number, type of procedure, topography, concise and clear
tissue description, the relationship with the surrounding tissue. The diagnostic description
consist of type of histopathologic, degree of tumor differentiation, tumor expansion,
lymphatic vascular space invasion, lymp node status, and margin/resection edge status.
Key word : cervical cancer, invasion, metastasis, histopathologic description
2
PENDAHULUAN
Kanker serviks merupakan kanker ginekologi tersering pada wanita dan merupakan
penyebab kematian nomor satu di negara berkembang.1 Di Amerika Serikat, setiap tahun
sekitar 11.000 wanita menderita kanker serviks invasif, dan sekitar 4.000 di antaranya
meninggal dunia.2 Di Indonesia, kanker serviks menempati urutan pertama yaitu sebanyak
16% dari jenis kanker yang banyak menyerang perempuan. Dalam tiga dasawarsa terakhir,
setiap satu jam perempuan Indonesia meninggal dunia karena kanker serviks. Tingginya
angka kematian kanker serviks akibat terlambatnya penanganan, di mana sekitar 70%
pasien datang dengan kondisi stadium lanjut.3 Stadium kanker serviks yang saat ini
ditentukan secara klinis berkaitan kuat dengan penanganan dan prognosis. Sementara itu,
stadium kanker serviks berkaitan dengan potensi invasi dan metastasis dimana baku
emasnya adalah pemeriksaan histopatologik.
Peran pemeriksaan histopatologi dalam penanganan kanker serviks tidak banyak
berbeda dengan pemeriksaan histopatologi pada kanker secara umum, yaitu untuk
diagnosis definitif yang diperlukan dalam menentukan penanganan penderita. Namun,
belakangan ini hubungan onko-ginekologist dengan patologist menjadi bertambah
kompleks
oleh
karena
makin
berkembanganya
teknik
molekuler
dan
panel
imunohistokimia dalam klasifikasi tumor yang berhubungan dengan prognosis dan respon
terapi. Permintaan onko-ginekologist tidak hanya untuk memastikan jenis tumor, tetapi
juga menilai berbagai indikator prognosis seperti derajat differensiasi sel, luas/penyebaran,
batas sayatan, dan penyebaran ke kelenjar getah bening atau pembuluh darah.4
Kendatipun penyebab, patogenesis, dan karsinogensis molekuler kanker serviks
telah diketahui akan tetapi belum terdapat konsensus onko-ginekologist dan patoligist yang
lege-artis tentang deskripsi histopatologik. Sinergi kedua ahli ini dibutuhkan untuk
penyamakan persepsi dan peningkatan pemahaman tentang kanker serviks dalam rangka
peningkatan kualitas pelayanan.
Tujuan penulisan ini adalah untuk mencari dan menemukan konsensus deskripsi
histopatologik antara patologist dengan onko-ginekologist yang pada akhirnya dapat dibuat
suatu kesepakatan standard terkait dengan diagnosis, terapi, dan kualitas penanganan pada
kanker serviks.
3
STADIUM KANKER SERVIKS
Stadium kanker servik ditentukan dengan pemeriksaan klinis. Pemeriksaan tersebut
meliputi inspeksi, palpasi, kolposkopi, sistoskopi, ultrasonografi, CT-scan, kolonoskopi,
dan lain sebagainya.5 Adapun stadium kanker serviks menurut American Joint Committee
on Cancer (AJCC) dan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO)
tahun 2008 berdasarkan pada hasil evaluasi pemeriksaan klinis dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1
Stadium Kanker Serviks Menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC)
Berdasarkan Sistem Tumor-Node-Metastases dan Menurut FIGO Tahun 20086
Sistem
TNM
Stadium
FIGO
Tx
T0
Tis
T1
T1a
Tumor primer tidak bisa dinilai
Tidak ada bukti tumor primer
Karsinoma serviks insitu
I
IA
T1a1
T1a2
T1b
IA1
IA2
IB
T1b1
T1b2
T2
T2a
T2a1
T2a2
T2b
Deskripsi
IB1
IB2
Karsinoma masih terbatas pada serviks.
Invasi hanya dapat dikenali secara mikroskopis.
Kedalaman invasi ke stroma tidak lebih dari 5 mm dan lebar
lesi tidak lebih 7 mm.
Invasi stroma dengan kedalaman ≤ 3 mm dan lebar ≤ 7 mm.
Invasi stroma dengan kedalaman > 3 mm sampai dengan < 5
mm dengan lebar > 7 mm.
Lesi terlihat secara klinis terbatas pada serviks atau secara
mikroskopis lebih dari stadium T1a/IA2.
Besar lesi secara klinis ≤ 4 cm.
Besar lesi secara klinis > 4 cm.
II
Karsinoma serviks sudah menginvasi sekitar uterus tetapi tidak
sampai mencapai dinding panggul dan 1/3 distal vagina
IIA
Tanpa invasi ke parametrium.
IIA1 Besar lesi secara klinis ≤ 4 cm.
IIA2 Besar lesi secara klinis > 4 cm.
IIb
Infiltrasi ke parametrium namun belum mencapai dinding
panggul.
T3
III
T3a
IIIA
Infiltrasi telah melibatkan 1/3 bawah vagina atau adanya
perluasan ke dinding panggul. Hidronefrosis atau gangguan
fungsi ginjal termasuk dalam stadium ini, kecuali kelainan
ginjal tersebut dapat dibuktikan oleh sebab lainnya.
Infiltrasi telah melibatkan 1/3 bawah vagina dan infiltrasi
parametrium belum mencapai dinding panggul.
4
T3b
IIIB
Infiltrasi telah sampai ke dinding panggul atau adanya
hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal.
T4
IV
IVA
IVB
Perluasan ke luar organ reproduktif.
Melibatkan mukosa kandung kemih dan rektum.
Metastasis jauh atau telah keluar dari organ panggul.
MEKANISME KARSINOGENESIS, INVASI, DAN METASTASIS KANKER
SERVIKS
Karsinogenesis kanker serviks
Penyebab kanker serviks adalah infeksi Human Papillomavirus (HPV). Infeksi HPV
kelompok risiko tinggi pada sel epitel serviks pada daerah sambungan skuamo-kolumner,
di mana yang bertindak sebagai ligand adalah L1 HPV dan sebagai reseptor adalah α-2
epitel lapisan basal. Perakitan virus mengikuti proses proliferasi dan diferensiasi/maturasi
serta apoptosis sel inang sehingga mekanisme respon imun kurang efektif. Kondisi ini
diperparah oleh adanya sedikit virus yang beredar di dalam sirkulasi darah, komponen E1
dan E2 HPV bersifat kamuflase antigen, E5 HPV menghancurkan struktur sel yang sudah
rapuh akibat aktivitas E4-keratin sehingga virion tumpah ke dalam lendir mukosa serviks
dan vagina. Hal ini mengakibatkan terjadinya re-infeksi dan infeksi persisten serta viral
load titik kritis yang pada akhirnya mendorong integrasi DNA HPV pejamu. Integrasi ini
menyebabkan terbentuknya gen mutan yang dapat terus bertahan akibat kegagalan fungsi
protein 53 (p53) sebagai guardian of genome dan protein retinoblastoma (pRb). Ketika
kedua protein ini gagal melakukan fungsinya sebagai akibat terbentuknya kompleks p53E6 dan pRb-E7 maka gen mutan yang berupa gen kanker terus tumbuh dan berkembang
sehingga terbentuk sel kanker dengan sifat serta prilaku khusus. Selain itu, untuk tetap
dapat mempertahankan gen mutan maka E6 juga berasosiasi dengan lebih 20 jenis protein
yang dikelompokkan ke dalam associated proteins (APs).7,8
Ukuran tumor
Secara alamiah, proliferasi sel epitel mukosa serviks oleh aktivitas protein
proliferasi E2F akibat tidak berfungsinya pRb. Ketika terbentuk kompleks pRb-E6 maka
E2F bekerja bebas tanpa kendali yang mengakibatkan mitosis sel secara berlebihan.7
Secara klinis, mitosis sel yang berlebihan kerkaitan dengan ukuran tumor dengan segala
5
akibatnya, baik pada tipe eksofitik, endofitik, maupun ulseratif.9 Sementara itu, agar
kelangsungan proses mitosis ini dapat dijamin maka diperlukan suplai berbagai kebutuhan
siklus sel terutama darah, melalui aktivitas vascular endothelial growth factor (VEGF).10
Ukuran tumor ini berkaitan dengan aktivitas sel kanker berupa invasi dan
metastasis, yang secara klinis berupa progresifitas. Beberapa peneliti mendapatkan bahwa
ukuran tumor berkaitan dengan peningkatan risiko invasi dan metastasis. Pada kanker
serviks ukuran massa tumor pada serviks memiliki nilai prognosis penting di dalam
menentukan keberadaaan invasi dan metastasis dari kanker serviks, oleh karena terdapat
perbedaan yang bermakna terkait kemungkinan infiltrasi pada kelenjar getah bening,
jaringan parametrium, limfovaskular, dan invasi stromal.11 Ukuran tumor 4 cm adalah cut
of point klinis yang menunjukkan perbedaan signifikan berkaitan dengan invasi dan
metastasis. Pada kanker serviks stadium IB1 dengan massa tumor kurang dari 4 cm,
kecenderungan memiliki infiltrasi pada kelenjar getah bening pelvis sebesar 16%, infiltrasi
parametrium sebesar 6%, infiltrasi limfovaskular sebesar 36%, dan invasi stromal lebih
dari 15 mm sebesar 19%. Pada kanker serviks stadium IB2 dengan massa tumor lebih dari
4 cm atau bulky tumor tipe eksofitik memiliki kecenderungan infiltrasi pada kelenjar getah
bening pelvis sebesar 23%, infiltrasi parametrium sebesar 13%, infiltrasi limfovaskular
sebesar 38%, dan invasi stromal lebih dari 15 mm sebesar 48%. Sedangkan Pada kanker
serviks stadium IB2 dengan massa tumor lebih dari 4 cm atau bulky tumor dengan tipe
barrel shaped memiliki kecenderungan infiltrasi pada kelenjar getah bening pelvis sebesar
47%, infiltrasi parametrium sebesar 39%, infiltrasi limfovaskular sebesar 64%, dan invasi
stromal lebih dari 15 mm sebesar 64%.12
Invasi pada Kanker Serviks
Invasi pada kanker serviks merupakan suatu proses transportasi sel dari tumor
primer ke jaringan sekitar. Adanya invasi memungkinkan sel mengalami migrasi menuju
pembuluh darah dan getah bening sehingga dapat beredar ke seluruh tubuh. Invasi pada
matriks ekstraseluler merupakan suatu proses yang aktif, yang terdiri dari beberapa tahap,
yaitu lepas atau renggangnya hubungan antar sel kanker, perlekatan pada komponen
matriks, degradasi matriks ekstraseluler, dan migrasi sel kanker. Untuk menembus matriks
ekstraseluler disekitarnya maka sel kanker harus melekat pada komponen matriks. Sel
6
epitel dari kanker terpisah dari stroma melalui membran basalis, dan kemudian membran
mengalami degradasi. Pada saat proses ini berlangsung, komponen dari membran basalis
mengirimkan sinyal pada sel kanker. Reseptor yang diperantarai sel kanker, laminin dan
fibronectin mempunyai peranan yang penting pada invasi sel. Setelah melekat pada
komponen membran basalis atau matriks intertitial ekstraseluler, sel kanker harus membuat
jalan untuk migrasi. Invasi pada matriks ekstraseluler membutuhkan aktivitas degradasi
ensimatik pada komponen matriks ekstraseluler. Sel kanker menghasilkan ensim proteolitik
untuk menguraikan protease (serine, cystein dan matrix metalloproteinase (MMP)). MMP2 dan MMP-9 merupakan kolagenase yang dapat memecah kolagen tipe IV pada epitel dan
membran basalis pembuluh darah. Efek dari destruksi matriks ektraseluler adalah sebagai
jalan invasi sel kanker, memecah produk komponen matriks (derivat dari kolagen dan
proteoglikan) yang kesemuanya ini bertujuan untuk migrasi sel kanker ke jaringan matriks
ekstraseluler yang longgar.10,13,14
Gambar 1. Invasi Sel Kanker pada Membran Basalis dan Matriks Ekstraseluler10
Pertumbuhan lanjut dari tumor menyebabkan perluasan ke atas yaitu korpus uteri
dan ke bawah yaitu ke vagina. Penyebaran kanker serviks ke arah lateral parametrium
mengikuti alur tahanan terendah pada dasar ligamentum kardinale dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi pada ureter, terutama pada ureter sepertiga distal. Kurang lebih
sepertiga kasus kanker serviks stadium IIIB mengalami obstruksi ureter dan bahkan sekitar
7
5% mengalami obstruksi ureter secara bilateral. Kemudian lebih lanjut sel tumor akan
menyebar ke arah belakang sepanjang ligamentum sakrouterina. Penyebaran vesika
urinaria dan/atau rektum seringkali baru dapat terjadi setelah didahului dengan adanya
penyebaran ke arah lateral. Walaupun demikian penyebaran pada vesika urinaria dan atau
rektum juga dapat langsung terjadi tanpa didahului oleh penyebaran ke arah lateral, yaitu
melalui fascia puboservikalis dan rektovaginalis, hanya saja proses infiltrasi tumor telah
mencapai 1/3 proksimal vagina.15
Metastasis Limfogen pada Kanker Serviks
Pada saat terjadinya pertumbuhan tumor serviks, maka pembesaran tumor juga
diikuti oleh adanya sekresi berbagai sitokin limfangiogenik yang dapat merangsang
pertumbuhan aliran limfatik yang melalui tumor sehingga terjadi suatu limfangiogenesis
intratumoral. Sel tumor selanjutnya akan menginvasi matriks ekstraseluler dan masuk ke
dalam pembuluh darah kapiler limfa. Sel kanker selanjutnya akan mengikuti aliran limfatik
baik tunggal atau multipel ke seluruh tubuh dan bahkan sampai ke otak (Gambar 2).13,16
Penyebaran kanker serviks invasif primer kebanyakan terjadi secara langsung dan
limfogen. Penyebaran secara limfogen terjadi sebesar 5%. Hal ini menunjukkan bahwa
progresifitas penyakit sudah berada pada stadium lanjut. Pada kanker serviks penyebaran
secara limfogen mengikuti aliran limfatik regional pelvis. Kelenjar getah bening primer,
meliputi kelenjar getah bening paraservikal, obturatoria, hipogastrika, dan iliaka eksterna.
Kemudian berlanjut ke kelenjar getah bening sekunder, meliputi kelenjar getah bening
inguinal, illiaka komunis, dan paraaorta.15
8
Gambar 2. Metastasis pada Jalur Limfogen16
Ruang limfatik berjarak kurang lebih 1 sampai 2 mm di sebelah dalam dari
membran basalis. Apabila sel kanker masuk ke dalam ruangan ini maka akan terjadi
embolisasi limfatik sel kanker ke kelenjar getah bening regional. Aliran limfatik utama
serviks adalah melalui saluran lateral serviks menuju ke kelenjar getah bening iliaka
eksterna, hipogastrika, obturator, dan iliaka communis. Selain aliran limfatik lateral
serviks, juga terdapat aliran limfatik pada daerah anterior dan posterior serviks, dengan
kuantitias yang lebih kecil namun konsisten. Saluran limfatik anterior berjalan di belakang
vesika urinaria dan berakhir terutama pada kelenjar getah bening iliaka eksterna. Saluran
limfatik posterior berada disebelah posteroinferior dari ligamentum sakrouterina sebelum
berbalik ke atas dan berakhir pada kelenjar getah bening iliaka communis, subaorta, paraaorta, dan rektal superior. Ketiga kelenjar getah bening para-aorta diilustrasikan sebagai
kelenjar getah bening aorta kiri terletak di sebelah kiri aorta, kelenjar getah bening
aortokaval terletak diantara aorta dan vena cava, serta kelenjar getah bening kaval terletak
di sebelah kanan vena cava (Gambar 3).15,16
9
Gambar 3. Aliran Limfatik pada Serviks15
Menyebar terutama ke lateral (B), posterior (A), dan anterior (C). Kelenjar getah bening
paraaorta dibagi menjadi kelenjar getah bening aorta kiri terletak di sebelah kiri aorta (I),
kelenjar getah bening aortokaval terletak diantara aorta dan vena cava (II), serta kelenjar
getah bening kaval terletak di sebelah kanan vena cava (III).
Aliran getah bening eferen dari kelenjar getah bening para-aorta adalah chyli
cisterna dan selanjutnya menuju ke duktus thoraksikus. Aliran limfe dari duktus
thoraksikus akan bermuara ke dalam sistem vena tepat pada persimpangan subklavia kiri
dan vena jugularis interna. Sebelum mengosongkan ke dalam sistem vena, duktus
thoraksikus akan bercabang di atas klavikula dan menggabungkan kelenjar getah bening
scalene ke dalam aliran getah bening eferen (Gambar 4).15,16 Apabila kanker serviks telah
melibatkan parametrium, minimal stadium IIB, maka sel kanker telah menginfiltrasi pada
kelenjar getah bening pelvis sebesar 27 sampai 45% dan kelenjar getah bening paraaorta
sebesar 13 sampai 33%. Sedangkan pada kanker serviks stadium III terjadi infiltrasi pada
kelenjar getah bening paraaorta sebesar 46%.15
10
Gambar 4. Metastasis Limfogen pada Kanker Serviks15
Metastasis Hematogen pada Kanker Serviks
Secara umum mekanisme metastatis hematogenik pada kanker serviks sesuai
dengan mekanisme metastasis hematogenik kanker lainnya. Kanker primer pada serviks
akan mengalami proliferasi dan menginvasi daerah sekitarnya. Apabila dalam proses invasi
tersebut mampu menembus membran basalis, sel kanker akan memproduksi berbagai
faktor angiogenik yang mengakibatkan terjadinya proses angiogenesis. Angiogenesis
mengakibatkan terbentuknya pembuluh darah baru yang akan dapat memberikan
kesempatan bagi sel tumor untuk beredar sampai mereka mati atau mengalami adhesi pada
sel endotel pembuluh, biasanya venula, pada organ hilir. Sel-sel kanker akan mengalami
ekstravasasi melalui dinding pembuluh darah dan kemudian bermigrasi ke situs proksimal
arteriol. Adanya mikrometastasis akan kembali mengaktivasi proses angiogenesis di tempat
tersebut, sehingga memungkinkan pertumbuhan sel tumor yang cepat pada tempat yang
baru (Gambar 5).14,17
11
Gambar 5. Metastasis Hematogen pada Kanker Serviks17
Angiogenesis merupakan salah satu faktor yang mempermudah terjadinya
metastasis hematogen. Pada mekanisme pembentukan vaskuler atau pembuluh darah
tersebut, tumor mengeluarkan berbagai protein yang menginduksi proses angiogenesis atau
proangiogenik. Faktor proangiogenik yang bekerja secara langsung (direct acting) antara
lain vascular endothelial growth factor (VEGF), angiopoetin, angiogenin, platelet derived
growth factor (PDGF). Faktor proangiogenik yang bekerja secara tidak langsung (indirect
acting)
merupakan
protein
proangiogenik
yang
bekerja
merangsang
beberapa
proangiogenik direct acting. Beberapa protein yang termasuk proangiogenik indirect acting
antara lain transforming growth factor-â, hepatocytes growth factor, inflammatory
cytokines seperti interleukin-6 dan interleukin-8, granulocyte-colony stimulating factor,
estrogen dan androgen. Tumor yang membesar mengalami hipoksia dan hipoksia
merangsang tumor untuk mensekresi hypoxia inducing factor (HIF), ekskresi HIF akan
merangsang tumor mensekresi VEGF. VEGF bekerja merangsang protease endotel,
merangsang proliferasi dan migrasi endotel dan mempromosikan terbentuknya jaringan
mikrovaskuler. VEGF juga meningkatkan survival endotel, serta menghambat aktivitas
apoptosis.14,17
Pembuluh darah baru yang terjadi akibat proses angiogenesis kanker mempunyai
struktur dan morfologi yang abnormal, dimana pembuluh darahnya mempunyai membran
12
basalis yang abnormal, cenderung berdilatasi, berkelok-kelok dan seringkali seperti jalur
yang kusut, dan mempunyai permeabilitas yang abnormal sehingga mudah terjadi
ekstravasasi. Selanjutnya terjadi proses intravasasi pada vaskular yang terbentuk oleh
proses angiogenesis tersebut. Sel kanker akan masuk ke dalam pembuluh darah dan ikut
dalam sirkulasi sistemik. Sel kanker tetap hidup di dalam sirkulasi dan mampu menghindar
dari serangan sistem imun tubuh.14,17
Selanjutnya sel kanker akan menghadapi berbagai mekanisme tubuh yang bertujuan
untuk menghancurkan sel kanker tersebut. Sel akan tertambat pada sistem kapiler organ
target, kemudian mengalami ekstravasasi keluar dari pembuluh darah menuju parenkim
organ target metastasis. Sel kanker di dalam pembuluh kapiler akan tetap hidup dan
tumbuh, sehingga pembesaran massa sel kanker secara mekanik menyebabkan kerusakan
pembuluh kapiler tersebut. Sel kanker pasca ekstravasasi akan masuk ke dalam lingkungan
yang baru dan akan terus tumbuh bila sel mampu beradaptasi dengan baik (homing), yang
selanjutnya berkembang sehingga menjadi massa metastasis.14,17
Kanker serviks dengan derajat diferensiasi sel yang buruk, jenis sel yang agresif,
dan stadium yang lanjut sering mengalami metastasis melalui jalur hematogen. Penyebaran
secara hematogen pada kanker serviks kurang lebih terjadi pada 5% kasus, dimana
melibatkan pleksus venosus dan vena paraservikal. Adapun tempat penyebaran atau
metastasis jauh yang sering antara lain, pada paru-paru, sebesar 26,5%, hati sebesar 15,8%,
tulang sebesar 14,2%, gastrointestinal sebesar 8,2%, adrenal sebesar 3,8%, dan otak
sebesar 1,4%.15
USULAN KONSENSUS DESKRIPSI HISTOPATOLOGIK KANKER SERVIKS
Berdasarkan karsinogenesis, ukuran tumor, mekanisme invasi dan metastasis,
deskripsi histopatologik kanker serviks yang ideal meliputi hal-hal sebagai berikut:
Deskripsi Umum
Adapun yang termasuk dalam deksripsi umum dari sebuah deskripsi histopatologis
antara lain adalah:18,19
1. Identitas spesimen
13
Spesimen harus memiliki identitas kelengkapan spesimen, meliputi identitas pasien,
nomer rekam medis, jaringan atau organ yang dilakukan pemeriksaan, tanggal
dikirim, nama operator, dan diagnosis atau stadium klinis dari kanker serviks.
2. Kondisi spesimen
Kondisi spesimen saat dikirim ke patologi anatomi harus dijelaskan apakah dalam
kondisi segar, terfiksasi dalam larutan tertentu, seperti formalin, bouin, dan lain
sebagainya, dibekukan dalam es, telah dibuka (oleh pemeriksa patologi atau dokter
bedah) atau belum terbuka.
3. Jumlah spesimen
Jumlah spesimen mencakup kuantitas spesimen yang dikirim ke patologi anatomi.
4. Jenis prosedur
Jenis prosedur pembedahan yang dikerjakan harus dicantumkan, seperti supra
vaginal histerektomi (SVH), total abdominal histerektomi (TAH), radikal
histerektomi, limfadenektomi, omentektomi, dan lain sebagainya.
5. Topografi
Topografi spesimen merupakan pemaparan jenis spesimen yang diambil secara
lebih spesifik, seperti bahan diambil dari uterus, biopsi potong beku pada serviks,
prosedur eksisi pada omentum, kelenjar getah bening hipogastrika, iliaka, dan
paraaorta.
6. Deskripsi jaringan yang singkat dan jelas sesuai dengan lokasi, luasnya lesi, dan
keterkaitannya dengan struktur disekitarnya, meliputi:
a. Dimensi dan ukuran spesimen yang akurat.
b. Lokasi anatomis dari tumor pada serviks yang detail dan tepat (tepi anterior
atau posterior, kanalis endoserviks atau portio, lokasi atau arah jam berapa.
c. Besar tumor meliputi panjang, lebar, dan tinggi dalam ukuran centimeter
(cm).
d. Estimasi dari dalamnya infiltrasi atau invasi ke jaringan. Apabila ada
dijelaskan apakah mencapai dinding panggul atau tidak.
e. Perluasan ke organ sekitar dan jaringan yang terlihat durante operasi,
misalnya parametrium, vagina bagian atas, korpus uteri, kandung kemih
atau usus (dari spesimen yang dieksenterasi).
14
f. Deskripsikan mengenai seberapa jauh jarak lesi atau tumor ke batas
reseksinya.
Deskripsi khusus atau diagnostik19,20,21,22
1. Jenis histopatologis
Jenis histopatologis tumor harus dijelaskan dengan menggunakan terminologi yang
telah direvisi dan ditentukan oleh International Society of Gynecologic Patologist
(ISPG) di bawah pengawasan World Health Organization (WHO). Sehingga
direkomendasi jenis histopatologi pada kanker serviks adalah sebagai berikut:
a. Lesi squamous
i. Squamous Intraepithelial Lesions (SIL)
1. Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN)
2. CIN 1: displasia ringan, Low-grade SIL (L-SIL)
3. CIN 2: displasia sedang, High-grade SIL (H-SIL)
4. CIN 3: displasia berat atau carcinoma in situ (H-SIL)
Catatan: Pada sistem klasifikasi Bethesda untuk klasifikasi sitologi, SIL
dibedakan menjadi derajat ringan dan derajat berat. CIN I (displasia ringan)
dan lesi yang menunjukkan bukti jelas dari efek papiloma virus
diklasifikasikan lesi derajat ringan. CIN 2 (displasia sedang) dan CIN 3
(displasia berat dan carcinoma in situ) dikalsifikasikan lesi derajat berat.
b. Squamosa cell carcinoma
i. Keratinizing
ii. Nonkeratinizing: large cell (opsional), small cell (opsional)
iii. Verrucous carcinoma
iv. Condylomatous carcinoma
v. Papillary squamous cell (transisional) carcinoma
vi. Limphoepithelioma-like carcinoma
Catatan: Tumor dengan keratin membutuhkan adanya biji keratin. Spektrum
morfologisnya luas untuk tomur nonkeratin, sel tumor dengan sitoplasma
jernih, dan sel tumor dengan eosinofilik sitoplasma dan batas sel yang jelas.
Small
cell
dengan
derajat
15
diferensiasinya
buruk
yang
secara
imunohistokimia dan kondisi ultrastruktur berasal dari diferensiasi
neuroendokrin
diketegorikan
sebagai
small
cell
(neuroendocrine)
carcinoma.
c. Glandular lesions
i. Adenocarcinoma in situ
ii. Adenocarcinoma
1. Muscinous adenocarcinoma (tipe endoserviks dan intestinal)
2. Endometrioid adenocarcinoma
3. Clear cell adenocarcinoma
4. Adenoma maligna (tipe endoservikal dan endometrioid)
5. Villoglandular adenocarcinoma yang berdiferensiasi baik
6. Serous carcinoma
7. Mesonephric carcinoma
d. Tumor epitelial lainnya
i. Adenosquamous carcinoma
ii. Glassy cell carcinoma
iii. Adenoid cyctic carcinoma
iv. Adenoid basal carcinoma
Catatan: beberapa peneliti menganggap adenoid basal carcinoma bukan
suatu keganasan dan dimasukkan ke definisi epitelioma sel basal.
e. Tumor neuroendokrin
i. Tumor carcinoid
ii. Tumor carcinoid atipikal
iii. Neuroendokrin carcinoma high-grade
f. Undifferentiated carcinoma
g. Tumor mesenkim
i. Leiomyosarcoma
ii. Endoserviks stroma sarcoma
iii. Sarcoma botryoides (rhabdomyosarcoma embrional)
iv. Alveolar soft-part sarcoma
h. Tumor campuran (mixed) mesenkim dan epithelial
16
i. Adenosarcoma
ii. Malignant Mixed Mesodermal Tumor (MMMT)
iii. Wilms tumor
i. Miscellaneous tumor
i. Melanoma maligna
ii. Lymphoma dan leukemia
iii. Tumor jenis germ sel
iv. Tumor yolk sac
2. Derajat diferensiasi tumor
Pada jenis squamous cell carcinoma dalam berbagai penelitian telah menunjukkan
bahwa sistem pengelompokan secara histopatologis saja termasuk modifikasi dari
sistem penentuan batas tumor, seringkali gagal dalam menentukan prognosis dari
kanker serviks. Sehingga diperlukan tambahan suatu penentuan derajat diferensiasi
histopatologi kanker serviks untuk melengkapi kekurangan tersebut. Pada jenis
adenocarcinoma derajat diferensiasi histopatologis sel dapat dikelompokkan
menjadi tiga berdasarkan atas struktur penyusunnya, seperti persentasi dari
pertumbuhan bagian padat atau solid, namun bukan jenis squamous, dan kriteria
sitologi (inti sel). Adapun kriteria dari derajat diferensiasi tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Derajat 1; berdiferensiasi baik (10% atau kurang pertumbuhan yang solid),
tumor mengandung kelenjar regular yang bentuknya baik dengan papilla.
Sel memanjang dan berbentuk kolumnar dengan nukleus oval yang seragam,
terdapat stratifikasi minimal (kurang dari ketebalan 3 lapisan sel).
Penampakan mitosis jarang terjadi.
b. Derajat 2; berdiferensiasi sedang (11-50% pertumbuhan solid). Tumor
mengandung kelenjar komplek dengan formasi cribriformis. Area padat
lebih sering, namun hal ini menyusun kurang dari setengah bagian tumor.
Nukleus lebih bulat dan irregular, terdapat mikronukleus. Penampakan
mitosis sering terjadi.
c. Derajat 3; berdiferensiasi buruk (lebih dari 50% pertumbuhan solid). Tumor
mengandung lapisan sel malignan, beberapa kelanjar penampakannya rusak
17
atau kacau. Sel tampak besar dan irregular dengan inti sel pleomorfik. Sel
signet sering ditemukan. Mitosis sangat banyak terjadi dengan bentuk
abnormal. Sering terjadi desmoplasia dan nekrosis.
3. Derajat invasi tumor
Derajat invasi tumor yang harus dilaporkan meliputi kedalaman maksimal dari
invasi tumor ke stroma serviks dalam millimeter atau proporsi dinding yang
terkena. Untuk tujuan pengelompokan stadium, International Federation of
Gynecology and Obstetrics (FIGO) dan Society of Gynecologic Oncologist (SGO)
membagi kanker sel skuamosa menjadi jenis karsinoma mikroinvasi dan invasi:
a. Pada squamous cell carcinoma tahap dini dengan invasi 3 mm atau kurang
dari titik awalnya diklasifikasikan sebagai squamous cell carcinoma
mikroinvasif oleh kriteria SGO.
b. Pada squamous cell carcinoma tahap dini dengan invasi 5 mm atau kurang
dari titik awalnya dan tidak lebih dari 7 mm pada pengukuran terpanjang
secara horizontal diklasifikasikan sebagai squamous cell carcinoma
mikroinvasif oleh kriteria FIGO.
c. Hanya karsinoma invasi yang seharusnya dilaporkan pada pengukuran.
Adanya invasi limfovaskular harus dicatat, apabila ada, hal itu tidak
mengeksklusi tumor untuk ditepatkan pada kategori mikroinvasif.
d. Konsensus kriteria histopatologi pada adenokarsinoma mikroinvasi sampai
saat ini masih belum ditemukan. Dimensi perluasan dari tumor baik secara
vertikal atau kedalaman dan lateral, serta ada tidaknya invasi limfovaskular
harus dilaporkan secara jelas.
4. Perluasan tumor
Adanya perluasan invasi tumor ke jaringan ekstraservikal dan metastase baik ke
organ pelvis dan atau ekstrapelvis harus dilaporkan.
5. Invasi limfovaskular (lymphatic vascular space invasion)
Adanya tumor di dalam pembuluh darah dan/atau pembuluh limfa harus dilaporkan.
Selain itu, harus dibedakan apakah tumor berada di dalam pembuluh darah atau
pembuluh limfa.
6. Status limfenode/kelenjar getah bening
18
Adanya metastasis pada kelompok limfenode tertentu, jumlah limfenode yang
terlibat, dan keterkaitannya dengan jumlah total limfenodi yang teridentifikasi harus
dilaporkan secara jelas.
7. Status batas reseksi
Batas dari jaringan yang dieksisi harus dinilai dengan hati-hati dan bahkan jika
perlu diperiksa batas reseksinya dengan menggunakan tinta. Jarak dari titik
terdalam dari invasi stroma dengan batas atau margin terdekat dari reseksi juga
harus dilaporankan.
Berdasarkan uraian di atas, diusulkan konsensus kriteria histopatologik yang
mungkin dapat diterapkan universal di senter/RS Pendidikan di Indonesia adalah sebagai
berikut:
19
FORMULIR LAPORAN HISTOPATOLOGIK KANKER SERVIKS: BIOPSI/EKSISI
Nama: .......................................................................... …… Tanggal lahir: ……………………………………………...
Alamat:………………………………………………………………………………………………………………………...
No. Rekam Medis: ........................................................ …… Rumah Sakit:.............................. ………………………….
Diisi oleh ahli bedah/operator
Tanggal:............................................
Ahli bedah/operator:.........................................
Penampakan serviks:
Licin 
Diagnosis klinis:
Erosi 
Tanda Tangan:...........................
Tumor 
.............................
ICD X
Biopsi  arah jam: ……………… ECC 
Tindakan yang dilakukan:
LEEP/LEETZ 
Konisasi 
ICD IX
1
Jumlah spesimen:
2
3
4
>4 
Diisi oleh ahli patologi
Tanggal diterima:…………………..….
Tanggal dilaporkan: ……………………….
Nomor PA:………………
MAKROSKOPIS
fresh 
Kondisi spesimen:
Irisan 
Bentuk spesimen:
Fiksasi 
Alkohol 
Formalin buffer 
Kerucut 
Melingkar 
Ukuran spesimen::………...mm x …………mm x………….. mm
MIKROSKOPIS
Tipe keganasan infasif:
Diferensiasi sel:
Squamous carcinoma 
Adenosquamous carcinoma 
Adenocarcinoma 
Neuroendocrine carcinoma 
Lain-lain  (spesifik………………….................................................)
Baik 
Distribusi komponen invasif:
Ukuran tumor:
Sedang 
Buruk 
Unifokal 
Multifokal 
≤ 7 mm 
< 3 mm 
Ukuran horisontal maksimum:
Kedalaman invasi maksimum:
Tak dapat dinilai 
> 7 mm 
3 – 5 mm 
> 5 mm 
Jarak terhadap tepi reseksi terdekat: ..........................mm.
Temuan lain:
Lesi intraepitelial serviks:
Ada 
L-SIL 
Tidak Ada 
H-SIL 
Cervical glandular intraepithelial neoplasia (CGIN):
Invasi ruang limfovaskular:
Kesimpulan:
Ada 
Ada 
Derajat rendah 
Tidak Ada 
Derajat tinggi 
Tidak Ada 
L-SIL 
IA1 
IB1 
H-SIL 
IA2 
IB2 
Lainnya: (spesifik…………………………………………………………………………………….)
Ahli Patologi:……………………………………………….
20
Tanda tangan ahli Patologi: ……………………….....……
FORMULIR LAPORAN HISTOPATOLOGIK KANKER SERVIKS: RADIKAL HISTEREKTOMI
Nama: .......................................................................... …… Tanggal lahir: ……………………………………………...
Alamat:………………………………………………………………………………………………………………………...
No. Rekam Medis: ........................................................ …… Rumah Sakit:.............................. ………………………….
Diisi oleh ahli bedah/operator
Tanggal:............................................
Penampakan serviks:
Tindakan yang dilakukan:
Ahli bedah/operator:.........................................
Licin 
Radikal histerektomi 
Erosi 
BSO 
Tanda Tangan:...........................
Tumor 
Limfadenektomi 
Iliaka eksterna  Obturator  Communis  Paraaorta 
1
Jumlah spesimen:
Diisi oleh ahli patologi
Tanggal diterima:…………………..….
2
3
4
Tanggal dilaporkan: ……………………….
>4 
Nomor PA:………………
MAKROSKOPIS
Kondisi spesimen:
Fresh 
Fiksasi 
Vaginal cuff:
Ukuran uterus:
Adneksa:
Ada  panjang:…..…mm
diameter:……….mm
Tidak ada 
Panjang:……….mm
Lebar:…………mm
Anteroposterior:…..…....mm
Ada 
Tidak ada 
Alkohol 
Normal 
Ada 
<4 cm 
Anterior 
Ectocervix 
Keterlibatan makroskopik dari vagina:
Keterlibatan makroskopik dari parametrium:
Keterlibatan makroskopik dari paraservikal:
Tumor:
Ukuran diameter terbesar:
Posisi dari tumor serviks:
Formalin buffer 
Abnormal  (spesifik:………………………………)
Tidak ada 
4-6 cm 
>6 cm 
Posterior 
Kanan 
Kiri 
Endocervix 
Ya 
Tidak 
Ya 
Tidak 
Ya 
Tidak 
Circumferential 
MIKROSKOPIS
Squamous carcinoma 
Adenosquamous carcinoma 
Adenocarcinoma 
Neuroendocrine carcinoma 
Lain-lain  (spesifik………………….................................................)
Diferensiasi sel:
Baik 
Sedang 
Buruk 
Tak dapat dinilai 
Distribusi komponen invasif:
Unifokal 
Multifokal 
Ukuran tumor:
Ukuran horisontal maksimum: ≤ 7 mm 
>7 mm – 4 cm 
4 – 6 cm 
> 6 cm 
Kedalaman invasi maksimum: < 3 mm 
3 – 5 mm 
> 5 mm 
Jarak terhadap tepi reseksi terdekat: ..........................mm.
Keterlibatan vagina:
Ya 
Tidak 
Jarak dari tepi epitel vagina distal:…..……….mm
Keterlibatan paraservikal:
Ya 
Tidak 
Jika terlibat:
Kiri 
Kanan 
Keterlibatan parametrial:
Ya 
Tidak 
Jika terlibat:
Kiri 
Kanan 
Invasi limfovaskular:
Ya 
Tidak 
Tipe keganasan infasif:
CIN:
CGIN:
Ada 
Ada 
Tidak Ada 
Tidak Ada 
Grade 1/2/3
Grade: low/high
KGB Pelvis: (kelompok pelvis termasuk KGB iliaka komunis, eksterna, interna dan obturator)
Kanan
Kiri
Total Jumlah
Jumlah keterlibatan
Penyebaran extranodal: Ya 
KGB para-aortic:
Positif 
Total jumlah KGB 
Penyebaran extranodal:
Ya 
Tidak 
Negatif 
Jumlah KGB positif 
Tidak 
21
Tak ada sampel 
Organ dan jaringan lain
Endometrium
Myometrium
Adnexa kanan
Adnexa kiri
Normal




Abnormal (deskripsi)




Staging patologik FIGO sementara * ....................………………
* Korelasi dengan spesimen kerucut/melingkar sebelumnya – Staging akhir setelah tinjauan
Tanda tangan ahli Patologi: ………………….........................……….tanggal……………………..
KESIMPULAN
Deskripsi histopatologik kanker serviks sangat besar peranannya dalam menentukan
penatalaksanaan pasien berkaitan dengan terapi dan prognosis. Deskripsi histopatologik
idealnya memenuhi harapan onkoginekologist. Untuk memenuhi harapan tersebut
onkoginekologist dan patologist hendaknya memiliki konsensus deskrispsi histopatologik
yang secara ideal berdasarkan mekanisme invasi dan metastasis kanker serviks meliputi
deksripsi umum, dan deskripsi diagnostik. Deskripsi umum meliputi identitas, kondisi,
jumlah, jenis prosedur, topografi, deskripsi jaringan yang singkat dan jelas, dan
keterkaitannya dengan struktur disekitarnya. Sedangkan deskripsi diagnostik meliputi jenis
histopatologis, derajat diferensiasi tumor, perluasan tumor, invasi, lymphatic vascular
space invasion, status kelenjar getah bening, dan status batas/tepi reseksi.
22
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Ferlay J, Shin HR, Bray F, Forman D, Mathers C, Parkin DM. Estimates of worldwide
burden of cancer in 2008: GLOBOCAN 2008. International Journal of Cancer.
2010;127:2893-917.
Jemal A, Bray F, Center MM, Ferlay J, Ward E, Forman,D. Global cancer statistics.
CA Cancer J Clin. 2011;61(2):69-90.
Aziz, M.,F. Gynecological cancer in Indonesia. J Gynecol Oncol. 2009;20(1-8):8-10.
Deen S. Pathology for Gynaecologic Oncologist in: Ayhan A, Reed N, Gultekin M,
Dursun P. eds. Textbook of Gynaecological Oncology. Gunes Publishing. Turkey.
2012: 293-6.
European Society of Gynaecological Oncology. Algorithms for management of
cervical cancer. ESGO Educational Committee. 2010: 2-3.
NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology. Cervical Cancer. Version 1.2011.
Available at NCCN.org.
Hebner CM, Laimins LA. Human papillomavirus: basic mechanisms of pathogenesis
and oncogenicity. Rev.Med.Virol 2006; 16: 83-97.
Burd EM. Human papillomavirus and cervical cancer. Clinical Microbiology Reviews
2003; 16(1): 1-17.
Kong CS, Longacre CS, Hendrickson MR. Pathology in: Berek JS, Hacker NF, eds.
Berek and Hacker’s Gynecologic Oncology. 5th ed. Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelphia. 2010: 122-210.
Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., Aster. Molecular Basic of Cancer in: Robbin and
Cotran Pathologic Basis of Disease. 8th ed. Saunders Elsevier. Philadelphia. 2010:
309-13.
Hacker NF, Friedlander ML. Cervical cancer. In: Berek JS, Hacker NF, eds. Berek &
Hacker’s Gynecologic Gynecology, 5th edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelphia. 2010: 342-88.
Gaurilcikas A, Vaitkiene D, Cizauskas A, Inciura A, Svedas E, Maciuleviciene R, Di
Legge A, Ferrandina G, Testa AC, Valentin L. Early-stage cervical cancer: agreement
between ultrasound and histopathological finding with regard to tumor size and extent
of local disease. Ultrasound Obstet Gynecol 2011; 38: 707-15.
Stacker SA, Achen MG, Jussila L, Baldwin ME, Alitalo K. Lymphangiogenesis and
cancer metastasis. Cancer 2002; 2: 573-81.
Minn, A.J., Massagna, J. Invasion and Metastasis in: DeVita, V.T., Lawrence, T.S.,
Rosenberg, S.A. eds. DeVita, Hellman, and Rosenberg’s Cancer: Principles and
Practice of Oncology, 8th ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2008: 11829.
Moore, D.H. 2006. Cervical Cancer. Obstet Gynecol. 107(5):1152–61
Nathanson SD. Insight into the mechanisms of lymphnode metastasis. Cancer 2003;
98: 413-23.
Zetter BR. Angiogenesis and tumor metastasis. Annu. Rev. Med. 1998; 49: 407-24.
The Royal College of Pathologists. 2011. Standards and datasets for reporting cancers
Dataset for histological reporting of cervical neoplasia (3rd edition). (serial online)
23
19.
20.
21.
22.
[cited
2014
Mar.
19].
Available
from:https://www.rcpath.org/Resources/RCPath/Migrated%20Resources/Documents/
G/G071CervicalDatasetApril11.pdf
Rosai, J. Cervical Cancer. In Rosai and Ackerman’s Surgical Paathology. 11th ed.
Edinburg: Mosby. 2004. p. 1763-876.
The Royal College of Pathologists. 2011. Dataset for histological reporting of cervical
neoplasia (3rd edition). (serial online) [cited 2014 Mar. 23]. Available from:
http://www.rcpath.org/resources/pdf/g070_vulvadataset_jun08.pdf
NHS Cancer Screening Programmes. 2012. Histopathology Reporting in Cervical
Screening – an Integrated Approach. (serial online) [cited 2014 Mar. 21]. Available
from: http://www.cancerscreening.nhs.uk/cervical/publications/nhscsp10.pdf
Canadian Partnership Against Cancer.2013.Pan-Canadian Cervical Screening
Initiative Reporting on Histopathology Specimens from the Cervix and Vagina –
Consensus Statements. (serial online) [cited 2014
Mar. 19]. Available
from:http://www.cancerview.ca/idc/groups/public/documents/webcontent/cccic_report
_histopathology.pdf
24
Download