DESKRIPSI HISTOPATOLOGIK KANKER SERVIKS: ASPEK KLINIK Ketut Suwiyoga, I Nyoman Gede Budiana, Gde Sastra Winata Divisi Onkologi Ginekologi, Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar ABSTRAK Di Indonesia, sampai saat ini belum ada standar nasional tentang deskripsi histopatologik pada kanker serviks. Hal ini terutama disebabkan oleh karena belum ada pertemuan antara onko-ginekologist dengan patologist. Selain itu, juga disebabkan oleh adanya perbedaan sarana dan prasarana masing-masing, serta adanya perbedaan penerapan kemajuan tentang mekanisme patogenesis, dan sumber daya manusia serta strategi di setiap senter/RS Pendidikan. Standar nasional ini bertujuan untuk menyamakan deskripsi histopatologik terkait dengan penanganan dan pasient safety dengan kendali mutu dan biaya. Deskripsi histopatologik pada kanker serviks diharapkan memenuhi kebutuhan aspek klinis yang berkaitan dengan penanganan pasien, sehingga diperlukan suatu konsensus antara onkoginekologist dengan patologist. Konsensus standar nasional deskripsi histopatologik yang ideal berdasarkan mekanisme invasi dan metastasis kanker serviks. Deskripsi histopatologik kanker serviks meliputi deksripsi umum, dan deskripsi diagnostik. Deskripsi umum meliputi identitas, kondisi, jumlah, jenis prosedur, topografi, deskripsi jaringan yang singkat dan jelas, dan keterkaitannya dengan struktur disekitarnya. Sedangkan deskripsi diagnostik meliputi jenis histopatologis, derajat diferensiasi tumor, perluasan tumor, invasi, lymphatic vascular space invasion, status kelenjar getah bening, dan status batas/tepi reseksi. Kata kunci: kanker serviks, invasi, metastasis, deskripsi histopatologik 1 HISTOPATHOLOGIC DESCRIPTION OF CERVICAL CANCER: CLINICAL ASPECT Ketut Suwiyoga, I Nyoman Gede Budiana, Gde Sastra Winata Oncology Gynecology Division, Obstetric and Gynecology Department, Medical Faculty Of Udayana University/Sanglah Hospital ABSTRACT In Indonesia, at recent time there is no national standard regarding of histopathologic description of cervical cancer. The cause of this circumstance mainly because there is no meeting between oncologist-gynecologist and pathologist. On the other hand, the difference in facilities and infrastructure, difference in application of latest progress in pathogenesis mechanism, and human resource and strategy in each center/university hospital. The goal of national standard is to synchronize the histopathologic description related with the management and patient safety with quality control and cost. Histopathologic description in cervical cancer, is expected to fulfill the needs in clinical aspect which is related to patient care, which is why the consensus between the oncologist gynecologist and pathologist required. The ideal national standard consensus in histopathologic description are based on invasion mechanism and cervical cancer metastatic. Histopathologic description of cervical cancer consist of general description and diagnostic description. General description consist of identity, condition, number, type of procedure, topography, concise and clear tissue description, the relationship with the surrounding tissue. The diagnostic description consist of type of histopathologic, degree of tumor differentiation, tumor expansion, lymphatic vascular space invasion, lymp node status, and margin/resection edge status. Key word : cervical cancer, invasion, metastasis, histopathologic description 2 PENDAHULUAN Kanker serviks merupakan kanker ginekologi tersering pada wanita dan merupakan penyebab kematian nomor satu di negara berkembang.1 Di Amerika Serikat, setiap tahun sekitar 11.000 wanita menderita kanker serviks invasif, dan sekitar 4.000 di antaranya meninggal dunia.2 Di Indonesia, kanker serviks menempati urutan pertama yaitu sebanyak 16% dari jenis kanker yang banyak menyerang perempuan. Dalam tiga dasawarsa terakhir, setiap satu jam perempuan Indonesia meninggal dunia karena kanker serviks. Tingginya angka kematian kanker serviks akibat terlambatnya penanganan, di mana sekitar 70% pasien datang dengan kondisi stadium lanjut.3 Stadium kanker serviks yang saat ini ditentukan secara klinis berkaitan kuat dengan penanganan dan prognosis. Sementara itu, stadium kanker serviks berkaitan dengan potensi invasi dan metastasis dimana baku emasnya adalah pemeriksaan histopatologik. Peran pemeriksaan histopatologi dalam penanganan kanker serviks tidak banyak berbeda dengan pemeriksaan histopatologi pada kanker secara umum, yaitu untuk diagnosis definitif yang diperlukan dalam menentukan penanganan penderita. Namun, belakangan ini hubungan onko-ginekologist dengan patologist menjadi bertambah kompleks oleh karena makin berkembanganya teknik molekuler dan panel imunohistokimia dalam klasifikasi tumor yang berhubungan dengan prognosis dan respon terapi. Permintaan onko-ginekologist tidak hanya untuk memastikan jenis tumor, tetapi juga menilai berbagai indikator prognosis seperti derajat differensiasi sel, luas/penyebaran, batas sayatan, dan penyebaran ke kelenjar getah bening atau pembuluh darah.4 Kendatipun penyebab, patogenesis, dan karsinogensis molekuler kanker serviks telah diketahui akan tetapi belum terdapat konsensus onko-ginekologist dan patoligist yang lege-artis tentang deskripsi histopatologik. Sinergi kedua ahli ini dibutuhkan untuk penyamakan persepsi dan peningkatan pemahaman tentang kanker serviks dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan. Tujuan penulisan ini adalah untuk mencari dan menemukan konsensus deskripsi histopatologik antara patologist dengan onko-ginekologist yang pada akhirnya dapat dibuat suatu kesepakatan standard terkait dengan diagnosis, terapi, dan kualitas penanganan pada kanker serviks. 3 STADIUM KANKER SERVIKS Stadium kanker servik ditentukan dengan pemeriksaan klinis. Pemeriksaan tersebut meliputi inspeksi, palpasi, kolposkopi, sistoskopi, ultrasonografi, CT-scan, kolonoskopi, dan lain sebagainya.5 Adapun stadium kanker serviks menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) dan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) tahun 2008 berdasarkan pada hasil evaluasi pemeriksaan klinis dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Stadium Kanker Serviks Menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) Berdasarkan Sistem Tumor-Node-Metastases dan Menurut FIGO Tahun 20086 Sistem TNM Stadium FIGO Tx T0 Tis T1 T1a Tumor primer tidak bisa dinilai Tidak ada bukti tumor primer Karsinoma serviks insitu I IA T1a1 T1a2 T1b IA1 IA2 IB T1b1 T1b2 T2 T2a T2a1 T2a2 T2b Deskripsi IB1 IB2 Karsinoma masih terbatas pada serviks. Invasi hanya dapat dikenali secara mikroskopis. Kedalaman invasi ke stroma tidak lebih dari 5 mm dan lebar lesi tidak lebih 7 mm. Invasi stroma dengan kedalaman ≤ 3 mm dan lebar ≤ 7 mm. Invasi stroma dengan kedalaman > 3 mm sampai dengan < 5 mm dengan lebar > 7 mm. Lesi terlihat secara klinis terbatas pada serviks atau secara mikroskopis lebih dari stadium T1a/IA2. Besar lesi secara klinis ≤ 4 cm. Besar lesi secara klinis > 4 cm. II Karsinoma serviks sudah menginvasi sekitar uterus tetapi tidak sampai mencapai dinding panggul dan 1/3 distal vagina IIA Tanpa invasi ke parametrium. IIA1 Besar lesi secara klinis ≤ 4 cm. IIA2 Besar lesi secara klinis > 4 cm. IIb Infiltrasi ke parametrium namun belum mencapai dinding panggul. T3 III T3a IIIA Infiltrasi telah melibatkan 1/3 bawah vagina atau adanya perluasan ke dinding panggul. Hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal termasuk dalam stadium ini, kecuali kelainan ginjal tersebut dapat dibuktikan oleh sebab lainnya. Infiltrasi telah melibatkan 1/3 bawah vagina dan infiltrasi parametrium belum mencapai dinding panggul. 4 T3b IIIB Infiltrasi telah sampai ke dinding panggul atau adanya hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal. T4 IV IVA IVB Perluasan ke luar organ reproduktif. Melibatkan mukosa kandung kemih dan rektum. Metastasis jauh atau telah keluar dari organ panggul. MEKANISME KARSINOGENESIS, INVASI, DAN METASTASIS KANKER SERVIKS Karsinogenesis kanker serviks Penyebab kanker serviks adalah infeksi Human Papillomavirus (HPV). Infeksi HPV kelompok risiko tinggi pada sel epitel serviks pada daerah sambungan skuamo-kolumner, di mana yang bertindak sebagai ligand adalah L1 HPV dan sebagai reseptor adalah α-2 epitel lapisan basal. Perakitan virus mengikuti proses proliferasi dan diferensiasi/maturasi serta apoptosis sel inang sehingga mekanisme respon imun kurang efektif. Kondisi ini diperparah oleh adanya sedikit virus yang beredar di dalam sirkulasi darah, komponen E1 dan E2 HPV bersifat kamuflase antigen, E5 HPV menghancurkan struktur sel yang sudah rapuh akibat aktivitas E4-keratin sehingga virion tumpah ke dalam lendir mukosa serviks dan vagina. Hal ini mengakibatkan terjadinya re-infeksi dan infeksi persisten serta viral load titik kritis yang pada akhirnya mendorong integrasi DNA HPV pejamu. Integrasi ini menyebabkan terbentuknya gen mutan yang dapat terus bertahan akibat kegagalan fungsi protein 53 (p53) sebagai guardian of genome dan protein retinoblastoma (pRb). Ketika kedua protein ini gagal melakukan fungsinya sebagai akibat terbentuknya kompleks p53E6 dan pRb-E7 maka gen mutan yang berupa gen kanker terus tumbuh dan berkembang sehingga terbentuk sel kanker dengan sifat serta prilaku khusus. Selain itu, untuk tetap dapat mempertahankan gen mutan maka E6 juga berasosiasi dengan lebih 20 jenis protein yang dikelompokkan ke dalam associated proteins (APs).7,8 Ukuran tumor Secara alamiah, proliferasi sel epitel mukosa serviks oleh aktivitas protein proliferasi E2F akibat tidak berfungsinya pRb. Ketika terbentuk kompleks pRb-E6 maka E2F bekerja bebas tanpa kendali yang mengakibatkan mitosis sel secara berlebihan.7 Secara klinis, mitosis sel yang berlebihan kerkaitan dengan ukuran tumor dengan segala 5 akibatnya, baik pada tipe eksofitik, endofitik, maupun ulseratif.9 Sementara itu, agar kelangsungan proses mitosis ini dapat dijamin maka diperlukan suplai berbagai kebutuhan siklus sel terutama darah, melalui aktivitas vascular endothelial growth factor (VEGF).10 Ukuran tumor ini berkaitan dengan aktivitas sel kanker berupa invasi dan metastasis, yang secara klinis berupa progresifitas. Beberapa peneliti mendapatkan bahwa ukuran tumor berkaitan dengan peningkatan risiko invasi dan metastasis. Pada kanker serviks ukuran massa tumor pada serviks memiliki nilai prognosis penting di dalam menentukan keberadaaan invasi dan metastasis dari kanker serviks, oleh karena terdapat perbedaan yang bermakna terkait kemungkinan infiltrasi pada kelenjar getah bening, jaringan parametrium, limfovaskular, dan invasi stromal.11 Ukuran tumor 4 cm adalah cut of point klinis yang menunjukkan perbedaan signifikan berkaitan dengan invasi dan metastasis. Pada kanker serviks stadium IB1 dengan massa tumor kurang dari 4 cm, kecenderungan memiliki infiltrasi pada kelenjar getah bening pelvis sebesar 16%, infiltrasi parametrium sebesar 6%, infiltrasi limfovaskular sebesar 36%, dan invasi stromal lebih dari 15 mm sebesar 19%. Pada kanker serviks stadium IB2 dengan massa tumor lebih dari 4 cm atau bulky tumor tipe eksofitik memiliki kecenderungan infiltrasi pada kelenjar getah bening pelvis sebesar 23%, infiltrasi parametrium sebesar 13%, infiltrasi limfovaskular sebesar 38%, dan invasi stromal lebih dari 15 mm sebesar 48%. Sedangkan Pada kanker serviks stadium IB2 dengan massa tumor lebih dari 4 cm atau bulky tumor dengan tipe barrel shaped memiliki kecenderungan infiltrasi pada kelenjar getah bening pelvis sebesar 47%, infiltrasi parametrium sebesar 39%, infiltrasi limfovaskular sebesar 64%, dan invasi stromal lebih dari 15 mm sebesar 64%.12 Invasi pada Kanker Serviks Invasi pada kanker serviks merupakan suatu proses transportasi sel dari tumor primer ke jaringan sekitar. Adanya invasi memungkinkan sel mengalami migrasi menuju pembuluh darah dan getah bening sehingga dapat beredar ke seluruh tubuh. Invasi pada matriks ekstraseluler merupakan suatu proses yang aktif, yang terdiri dari beberapa tahap, yaitu lepas atau renggangnya hubungan antar sel kanker, perlekatan pada komponen matriks, degradasi matriks ekstraseluler, dan migrasi sel kanker. Untuk menembus matriks ekstraseluler disekitarnya maka sel kanker harus melekat pada komponen matriks. Sel 6 epitel dari kanker terpisah dari stroma melalui membran basalis, dan kemudian membran mengalami degradasi. Pada saat proses ini berlangsung, komponen dari membran basalis mengirimkan sinyal pada sel kanker. Reseptor yang diperantarai sel kanker, laminin dan fibronectin mempunyai peranan yang penting pada invasi sel. Setelah melekat pada komponen membran basalis atau matriks intertitial ekstraseluler, sel kanker harus membuat jalan untuk migrasi. Invasi pada matriks ekstraseluler membutuhkan aktivitas degradasi ensimatik pada komponen matriks ekstraseluler. Sel kanker menghasilkan ensim proteolitik untuk menguraikan protease (serine, cystein dan matrix metalloproteinase (MMP)). MMP2 dan MMP-9 merupakan kolagenase yang dapat memecah kolagen tipe IV pada epitel dan membran basalis pembuluh darah. Efek dari destruksi matriks ektraseluler adalah sebagai jalan invasi sel kanker, memecah produk komponen matriks (derivat dari kolagen dan proteoglikan) yang kesemuanya ini bertujuan untuk migrasi sel kanker ke jaringan matriks ekstraseluler yang longgar.10,13,14 Gambar 1. Invasi Sel Kanker pada Membran Basalis dan Matriks Ekstraseluler10 Pertumbuhan lanjut dari tumor menyebabkan perluasan ke atas yaitu korpus uteri dan ke bawah yaitu ke vagina. Penyebaran kanker serviks ke arah lateral parametrium mengikuti alur tahanan terendah pada dasar ligamentum kardinale dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi pada ureter, terutama pada ureter sepertiga distal. Kurang lebih sepertiga kasus kanker serviks stadium IIIB mengalami obstruksi ureter dan bahkan sekitar 7 5% mengalami obstruksi ureter secara bilateral. Kemudian lebih lanjut sel tumor akan menyebar ke arah belakang sepanjang ligamentum sakrouterina. Penyebaran vesika urinaria dan/atau rektum seringkali baru dapat terjadi setelah didahului dengan adanya penyebaran ke arah lateral. Walaupun demikian penyebaran pada vesika urinaria dan atau rektum juga dapat langsung terjadi tanpa didahului oleh penyebaran ke arah lateral, yaitu melalui fascia puboservikalis dan rektovaginalis, hanya saja proses infiltrasi tumor telah mencapai 1/3 proksimal vagina.15 Metastasis Limfogen pada Kanker Serviks Pada saat terjadinya pertumbuhan tumor serviks, maka pembesaran tumor juga diikuti oleh adanya sekresi berbagai sitokin limfangiogenik yang dapat merangsang pertumbuhan aliran limfatik yang melalui tumor sehingga terjadi suatu limfangiogenesis intratumoral. Sel tumor selanjutnya akan menginvasi matriks ekstraseluler dan masuk ke dalam pembuluh darah kapiler limfa. Sel kanker selanjutnya akan mengikuti aliran limfatik baik tunggal atau multipel ke seluruh tubuh dan bahkan sampai ke otak (Gambar 2).13,16 Penyebaran kanker serviks invasif primer kebanyakan terjadi secara langsung dan limfogen. Penyebaran secara limfogen terjadi sebesar 5%. Hal ini menunjukkan bahwa progresifitas penyakit sudah berada pada stadium lanjut. Pada kanker serviks penyebaran secara limfogen mengikuti aliran limfatik regional pelvis. Kelenjar getah bening primer, meliputi kelenjar getah bening paraservikal, obturatoria, hipogastrika, dan iliaka eksterna. Kemudian berlanjut ke kelenjar getah bening sekunder, meliputi kelenjar getah bening inguinal, illiaka komunis, dan paraaorta.15 8 Gambar 2. Metastasis pada Jalur Limfogen16 Ruang limfatik berjarak kurang lebih 1 sampai 2 mm di sebelah dalam dari membran basalis. Apabila sel kanker masuk ke dalam ruangan ini maka akan terjadi embolisasi limfatik sel kanker ke kelenjar getah bening regional. Aliran limfatik utama serviks adalah melalui saluran lateral serviks menuju ke kelenjar getah bening iliaka eksterna, hipogastrika, obturator, dan iliaka communis. Selain aliran limfatik lateral serviks, juga terdapat aliran limfatik pada daerah anterior dan posterior serviks, dengan kuantitias yang lebih kecil namun konsisten. Saluran limfatik anterior berjalan di belakang vesika urinaria dan berakhir terutama pada kelenjar getah bening iliaka eksterna. Saluran limfatik posterior berada disebelah posteroinferior dari ligamentum sakrouterina sebelum berbalik ke atas dan berakhir pada kelenjar getah bening iliaka communis, subaorta, paraaorta, dan rektal superior. Ketiga kelenjar getah bening para-aorta diilustrasikan sebagai kelenjar getah bening aorta kiri terletak di sebelah kiri aorta, kelenjar getah bening aortokaval terletak diantara aorta dan vena cava, serta kelenjar getah bening kaval terletak di sebelah kanan vena cava (Gambar 3).15,16 9 Gambar 3. Aliran Limfatik pada Serviks15 Menyebar terutama ke lateral (B), posterior (A), dan anterior (C). Kelenjar getah bening paraaorta dibagi menjadi kelenjar getah bening aorta kiri terletak di sebelah kiri aorta (I), kelenjar getah bening aortokaval terletak diantara aorta dan vena cava (II), serta kelenjar getah bening kaval terletak di sebelah kanan vena cava (III). Aliran getah bening eferen dari kelenjar getah bening para-aorta adalah chyli cisterna dan selanjutnya menuju ke duktus thoraksikus. Aliran limfe dari duktus thoraksikus akan bermuara ke dalam sistem vena tepat pada persimpangan subklavia kiri dan vena jugularis interna. Sebelum mengosongkan ke dalam sistem vena, duktus thoraksikus akan bercabang di atas klavikula dan menggabungkan kelenjar getah bening scalene ke dalam aliran getah bening eferen (Gambar 4).15,16 Apabila kanker serviks telah melibatkan parametrium, minimal stadium IIB, maka sel kanker telah menginfiltrasi pada kelenjar getah bening pelvis sebesar 27 sampai 45% dan kelenjar getah bening paraaorta sebesar 13 sampai 33%. Sedangkan pada kanker serviks stadium III terjadi infiltrasi pada kelenjar getah bening paraaorta sebesar 46%.15 10 Gambar 4. Metastasis Limfogen pada Kanker Serviks15 Metastasis Hematogen pada Kanker Serviks Secara umum mekanisme metastatis hematogenik pada kanker serviks sesuai dengan mekanisme metastasis hematogenik kanker lainnya. Kanker primer pada serviks akan mengalami proliferasi dan menginvasi daerah sekitarnya. Apabila dalam proses invasi tersebut mampu menembus membran basalis, sel kanker akan memproduksi berbagai faktor angiogenik yang mengakibatkan terjadinya proses angiogenesis. Angiogenesis mengakibatkan terbentuknya pembuluh darah baru yang akan dapat memberikan kesempatan bagi sel tumor untuk beredar sampai mereka mati atau mengalami adhesi pada sel endotel pembuluh, biasanya venula, pada organ hilir. Sel-sel kanker akan mengalami ekstravasasi melalui dinding pembuluh darah dan kemudian bermigrasi ke situs proksimal arteriol. Adanya mikrometastasis akan kembali mengaktivasi proses angiogenesis di tempat tersebut, sehingga memungkinkan pertumbuhan sel tumor yang cepat pada tempat yang baru (Gambar 5).14,17 11 Gambar 5. Metastasis Hematogen pada Kanker Serviks17 Angiogenesis merupakan salah satu faktor yang mempermudah terjadinya metastasis hematogen. Pada mekanisme pembentukan vaskuler atau pembuluh darah tersebut, tumor mengeluarkan berbagai protein yang menginduksi proses angiogenesis atau proangiogenik. Faktor proangiogenik yang bekerja secara langsung (direct acting) antara lain vascular endothelial growth factor (VEGF), angiopoetin, angiogenin, platelet derived growth factor (PDGF). Faktor proangiogenik yang bekerja secara tidak langsung (indirect acting) merupakan protein proangiogenik yang bekerja merangsang beberapa proangiogenik direct acting. Beberapa protein yang termasuk proangiogenik indirect acting antara lain transforming growth factor-â, hepatocytes growth factor, inflammatory cytokines seperti interleukin-6 dan interleukin-8, granulocyte-colony stimulating factor, estrogen dan androgen. Tumor yang membesar mengalami hipoksia dan hipoksia merangsang tumor untuk mensekresi hypoxia inducing factor (HIF), ekskresi HIF akan merangsang tumor mensekresi VEGF. VEGF bekerja merangsang protease endotel, merangsang proliferasi dan migrasi endotel dan mempromosikan terbentuknya jaringan mikrovaskuler. VEGF juga meningkatkan survival endotel, serta menghambat aktivitas apoptosis.14,17 Pembuluh darah baru yang terjadi akibat proses angiogenesis kanker mempunyai struktur dan morfologi yang abnormal, dimana pembuluh darahnya mempunyai membran 12 basalis yang abnormal, cenderung berdilatasi, berkelok-kelok dan seringkali seperti jalur yang kusut, dan mempunyai permeabilitas yang abnormal sehingga mudah terjadi ekstravasasi. Selanjutnya terjadi proses intravasasi pada vaskular yang terbentuk oleh proses angiogenesis tersebut. Sel kanker akan masuk ke dalam pembuluh darah dan ikut dalam sirkulasi sistemik. Sel kanker tetap hidup di dalam sirkulasi dan mampu menghindar dari serangan sistem imun tubuh.14,17 Selanjutnya sel kanker akan menghadapi berbagai mekanisme tubuh yang bertujuan untuk menghancurkan sel kanker tersebut. Sel akan tertambat pada sistem kapiler organ target, kemudian mengalami ekstravasasi keluar dari pembuluh darah menuju parenkim organ target metastasis. Sel kanker di dalam pembuluh kapiler akan tetap hidup dan tumbuh, sehingga pembesaran massa sel kanker secara mekanik menyebabkan kerusakan pembuluh kapiler tersebut. Sel kanker pasca ekstravasasi akan masuk ke dalam lingkungan yang baru dan akan terus tumbuh bila sel mampu beradaptasi dengan baik (homing), yang selanjutnya berkembang sehingga menjadi massa metastasis.14,17 Kanker serviks dengan derajat diferensiasi sel yang buruk, jenis sel yang agresif, dan stadium yang lanjut sering mengalami metastasis melalui jalur hematogen. Penyebaran secara hematogen pada kanker serviks kurang lebih terjadi pada 5% kasus, dimana melibatkan pleksus venosus dan vena paraservikal. Adapun tempat penyebaran atau metastasis jauh yang sering antara lain, pada paru-paru, sebesar 26,5%, hati sebesar 15,8%, tulang sebesar 14,2%, gastrointestinal sebesar 8,2%, adrenal sebesar 3,8%, dan otak sebesar 1,4%.15 USULAN KONSENSUS DESKRIPSI HISTOPATOLOGIK KANKER SERVIKS Berdasarkan karsinogenesis, ukuran tumor, mekanisme invasi dan metastasis, deskripsi histopatologik kanker serviks yang ideal meliputi hal-hal sebagai berikut: Deskripsi Umum Adapun yang termasuk dalam deksripsi umum dari sebuah deskripsi histopatologis antara lain adalah:18,19 1. Identitas spesimen 13 Spesimen harus memiliki identitas kelengkapan spesimen, meliputi identitas pasien, nomer rekam medis, jaringan atau organ yang dilakukan pemeriksaan, tanggal dikirim, nama operator, dan diagnosis atau stadium klinis dari kanker serviks. 2. Kondisi spesimen Kondisi spesimen saat dikirim ke patologi anatomi harus dijelaskan apakah dalam kondisi segar, terfiksasi dalam larutan tertentu, seperti formalin, bouin, dan lain sebagainya, dibekukan dalam es, telah dibuka (oleh pemeriksa patologi atau dokter bedah) atau belum terbuka. 3. Jumlah spesimen Jumlah spesimen mencakup kuantitas spesimen yang dikirim ke patologi anatomi. 4. Jenis prosedur Jenis prosedur pembedahan yang dikerjakan harus dicantumkan, seperti supra vaginal histerektomi (SVH), total abdominal histerektomi (TAH), radikal histerektomi, limfadenektomi, omentektomi, dan lain sebagainya. 5. Topografi Topografi spesimen merupakan pemaparan jenis spesimen yang diambil secara lebih spesifik, seperti bahan diambil dari uterus, biopsi potong beku pada serviks, prosedur eksisi pada omentum, kelenjar getah bening hipogastrika, iliaka, dan paraaorta. 6. Deskripsi jaringan yang singkat dan jelas sesuai dengan lokasi, luasnya lesi, dan keterkaitannya dengan struktur disekitarnya, meliputi: a. Dimensi dan ukuran spesimen yang akurat. b. Lokasi anatomis dari tumor pada serviks yang detail dan tepat (tepi anterior atau posterior, kanalis endoserviks atau portio, lokasi atau arah jam berapa. c. Besar tumor meliputi panjang, lebar, dan tinggi dalam ukuran centimeter (cm). d. Estimasi dari dalamnya infiltrasi atau invasi ke jaringan. Apabila ada dijelaskan apakah mencapai dinding panggul atau tidak. e. Perluasan ke organ sekitar dan jaringan yang terlihat durante operasi, misalnya parametrium, vagina bagian atas, korpus uteri, kandung kemih atau usus (dari spesimen yang dieksenterasi). 14 f. Deskripsikan mengenai seberapa jauh jarak lesi atau tumor ke batas reseksinya. Deskripsi khusus atau diagnostik19,20,21,22 1. Jenis histopatologis Jenis histopatologis tumor harus dijelaskan dengan menggunakan terminologi yang telah direvisi dan ditentukan oleh International Society of Gynecologic Patologist (ISPG) di bawah pengawasan World Health Organization (WHO). Sehingga direkomendasi jenis histopatologi pada kanker serviks adalah sebagai berikut: a. Lesi squamous i. Squamous Intraepithelial Lesions (SIL) 1. Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) 2. CIN 1: displasia ringan, Low-grade SIL (L-SIL) 3. CIN 2: displasia sedang, High-grade SIL (H-SIL) 4. CIN 3: displasia berat atau carcinoma in situ (H-SIL) Catatan: Pada sistem klasifikasi Bethesda untuk klasifikasi sitologi, SIL dibedakan menjadi derajat ringan dan derajat berat. CIN I (displasia ringan) dan lesi yang menunjukkan bukti jelas dari efek papiloma virus diklasifikasikan lesi derajat ringan. CIN 2 (displasia sedang) dan CIN 3 (displasia berat dan carcinoma in situ) dikalsifikasikan lesi derajat berat. b. Squamosa cell carcinoma i. Keratinizing ii. Nonkeratinizing: large cell (opsional), small cell (opsional) iii. Verrucous carcinoma iv. Condylomatous carcinoma v. Papillary squamous cell (transisional) carcinoma vi. Limphoepithelioma-like carcinoma Catatan: Tumor dengan keratin membutuhkan adanya biji keratin. Spektrum morfologisnya luas untuk tomur nonkeratin, sel tumor dengan sitoplasma jernih, dan sel tumor dengan eosinofilik sitoplasma dan batas sel yang jelas. Small cell dengan derajat 15 diferensiasinya buruk yang secara imunohistokimia dan kondisi ultrastruktur berasal dari diferensiasi neuroendokrin diketegorikan sebagai small cell (neuroendocrine) carcinoma. c. Glandular lesions i. Adenocarcinoma in situ ii. Adenocarcinoma 1. Muscinous adenocarcinoma (tipe endoserviks dan intestinal) 2. Endometrioid adenocarcinoma 3. Clear cell adenocarcinoma 4. Adenoma maligna (tipe endoservikal dan endometrioid) 5. Villoglandular adenocarcinoma yang berdiferensiasi baik 6. Serous carcinoma 7. Mesonephric carcinoma d. Tumor epitelial lainnya i. Adenosquamous carcinoma ii. Glassy cell carcinoma iii. Adenoid cyctic carcinoma iv. Adenoid basal carcinoma Catatan: beberapa peneliti menganggap adenoid basal carcinoma bukan suatu keganasan dan dimasukkan ke definisi epitelioma sel basal. e. Tumor neuroendokrin i. Tumor carcinoid ii. Tumor carcinoid atipikal iii. Neuroendokrin carcinoma high-grade f. Undifferentiated carcinoma g. Tumor mesenkim i. Leiomyosarcoma ii. Endoserviks stroma sarcoma iii. Sarcoma botryoides (rhabdomyosarcoma embrional) iv. Alveolar soft-part sarcoma h. Tumor campuran (mixed) mesenkim dan epithelial 16 i. Adenosarcoma ii. Malignant Mixed Mesodermal Tumor (MMMT) iii. Wilms tumor i. Miscellaneous tumor i. Melanoma maligna ii. Lymphoma dan leukemia iii. Tumor jenis germ sel iv. Tumor yolk sac 2. Derajat diferensiasi tumor Pada jenis squamous cell carcinoma dalam berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa sistem pengelompokan secara histopatologis saja termasuk modifikasi dari sistem penentuan batas tumor, seringkali gagal dalam menentukan prognosis dari kanker serviks. Sehingga diperlukan tambahan suatu penentuan derajat diferensiasi histopatologi kanker serviks untuk melengkapi kekurangan tersebut. Pada jenis adenocarcinoma derajat diferensiasi histopatologis sel dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan atas struktur penyusunnya, seperti persentasi dari pertumbuhan bagian padat atau solid, namun bukan jenis squamous, dan kriteria sitologi (inti sel). Adapun kriteria dari derajat diferensiasi tersebut adalah sebagai berikut: a. Derajat 1; berdiferensiasi baik (10% atau kurang pertumbuhan yang solid), tumor mengandung kelenjar regular yang bentuknya baik dengan papilla. Sel memanjang dan berbentuk kolumnar dengan nukleus oval yang seragam, terdapat stratifikasi minimal (kurang dari ketebalan 3 lapisan sel). Penampakan mitosis jarang terjadi. b. Derajat 2; berdiferensiasi sedang (11-50% pertumbuhan solid). Tumor mengandung kelenjar komplek dengan formasi cribriformis. Area padat lebih sering, namun hal ini menyusun kurang dari setengah bagian tumor. Nukleus lebih bulat dan irregular, terdapat mikronukleus. Penampakan mitosis sering terjadi. c. Derajat 3; berdiferensiasi buruk (lebih dari 50% pertumbuhan solid). Tumor mengandung lapisan sel malignan, beberapa kelanjar penampakannya rusak 17 atau kacau. Sel tampak besar dan irregular dengan inti sel pleomorfik. Sel signet sering ditemukan. Mitosis sangat banyak terjadi dengan bentuk abnormal. Sering terjadi desmoplasia dan nekrosis. 3. Derajat invasi tumor Derajat invasi tumor yang harus dilaporkan meliputi kedalaman maksimal dari invasi tumor ke stroma serviks dalam millimeter atau proporsi dinding yang terkena. Untuk tujuan pengelompokan stadium, International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) dan Society of Gynecologic Oncologist (SGO) membagi kanker sel skuamosa menjadi jenis karsinoma mikroinvasi dan invasi: a. Pada squamous cell carcinoma tahap dini dengan invasi 3 mm atau kurang dari titik awalnya diklasifikasikan sebagai squamous cell carcinoma mikroinvasif oleh kriteria SGO. b. Pada squamous cell carcinoma tahap dini dengan invasi 5 mm atau kurang dari titik awalnya dan tidak lebih dari 7 mm pada pengukuran terpanjang secara horizontal diklasifikasikan sebagai squamous cell carcinoma mikroinvasif oleh kriteria FIGO. c. Hanya karsinoma invasi yang seharusnya dilaporkan pada pengukuran. Adanya invasi limfovaskular harus dicatat, apabila ada, hal itu tidak mengeksklusi tumor untuk ditepatkan pada kategori mikroinvasif. d. Konsensus kriteria histopatologi pada adenokarsinoma mikroinvasi sampai saat ini masih belum ditemukan. Dimensi perluasan dari tumor baik secara vertikal atau kedalaman dan lateral, serta ada tidaknya invasi limfovaskular harus dilaporkan secara jelas. 4. Perluasan tumor Adanya perluasan invasi tumor ke jaringan ekstraservikal dan metastase baik ke organ pelvis dan atau ekstrapelvis harus dilaporkan. 5. Invasi limfovaskular (lymphatic vascular space invasion) Adanya tumor di dalam pembuluh darah dan/atau pembuluh limfa harus dilaporkan. Selain itu, harus dibedakan apakah tumor berada di dalam pembuluh darah atau pembuluh limfa. 6. Status limfenode/kelenjar getah bening 18 Adanya metastasis pada kelompok limfenode tertentu, jumlah limfenode yang terlibat, dan keterkaitannya dengan jumlah total limfenodi yang teridentifikasi harus dilaporkan secara jelas. 7. Status batas reseksi Batas dari jaringan yang dieksisi harus dinilai dengan hati-hati dan bahkan jika perlu diperiksa batas reseksinya dengan menggunakan tinta. Jarak dari titik terdalam dari invasi stroma dengan batas atau margin terdekat dari reseksi juga harus dilaporankan. Berdasarkan uraian di atas, diusulkan konsensus kriteria histopatologik yang mungkin dapat diterapkan universal di senter/RS Pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut: 19 FORMULIR LAPORAN HISTOPATOLOGIK KANKER SERVIKS: BIOPSI/EKSISI Nama: .......................................................................... …… Tanggal lahir: ……………………………………………... Alamat:………………………………………………………………………………………………………………………... No. Rekam Medis: ........................................................ …… Rumah Sakit:.............................. …………………………. Diisi oleh ahli bedah/operator Tanggal:............................................ Ahli bedah/operator:......................................... Penampakan serviks: Licin Diagnosis klinis: Erosi Tanda Tangan:........................... Tumor ............................. ICD X Biopsi arah jam: ……………… ECC Tindakan yang dilakukan: LEEP/LEETZ Konisasi ICD IX 1 Jumlah spesimen: 2 3 4 >4 Diisi oleh ahli patologi Tanggal diterima:…………………..…. Tanggal dilaporkan: ………………………. Nomor PA:……………… MAKROSKOPIS fresh Kondisi spesimen: Irisan Bentuk spesimen: Fiksasi Alkohol Formalin buffer Kerucut Melingkar Ukuran spesimen::………...mm x …………mm x………….. mm MIKROSKOPIS Tipe keganasan infasif: Diferensiasi sel: Squamous carcinoma Adenosquamous carcinoma Adenocarcinoma Neuroendocrine carcinoma Lain-lain (spesifik………………….................................................) Baik Distribusi komponen invasif: Ukuran tumor: Sedang Buruk Unifokal Multifokal ≤ 7 mm < 3 mm Ukuran horisontal maksimum: Kedalaman invasi maksimum: Tak dapat dinilai > 7 mm 3 – 5 mm > 5 mm Jarak terhadap tepi reseksi terdekat: ..........................mm. Temuan lain: Lesi intraepitelial serviks: Ada L-SIL Tidak Ada H-SIL Cervical glandular intraepithelial neoplasia (CGIN): Invasi ruang limfovaskular: Kesimpulan: Ada Ada Derajat rendah Tidak Ada Derajat tinggi Tidak Ada L-SIL IA1 IB1 H-SIL IA2 IB2 Lainnya: (spesifik…………………………………………………………………………………….) Ahli Patologi:………………………………………………. 20 Tanda tangan ahli Patologi: ……………………….....…… FORMULIR LAPORAN HISTOPATOLOGIK KANKER SERVIKS: RADIKAL HISTEREKTOMI Nama: .......................................................................... …… Tanggal lahir: ……………………………………………... Alamat:………………………………………………………………………………………………………………………... No. Rekam Medis: ........................................................ …… Rumah Sakit:.............................. …………………………. Diisi oleh ahli bedah/operator Tanggal:............................................ Penampakan serviks: Tindakan yang dilakukan: Ahli bedah/operator:......................................... Licin Radikal histerektomi Erosi BSO Tanda Tangan:........................... Tumor Limfadenektomi Iliaka eksterna Obturator Communis Paraaorta 1 Jumlah spesimen: Diisi oleh ahli patologi Tanggal diterima:…………………..…. 2 3 4 Tanggal dilaporkan: ………………………. >4 Nomor PA:……………… MAKROSKOPIS Kondisi spesimen: Fresh Fiksasi Vaginal cuff: Ukuran uterus: Adneksa: Ada panjang:…..…mm diameter:……….mm Tidak ada Panjang:……….mm Lebar:…………mm Anteroposterior:…..…....mm Ada Tidak ada Alkohol Normal Ada <4 cm Anterior Ectocervix Keterlibatan makroskopik dari vagina: Keterlibatan makroskopik dari parametrium: Keterlibatan makroskopik dari paraservikal: Tumor: Ukuran diameter terbesar: Posisi dari tumor serviks: Formalin buffer Abnormal (spesifik:………………………………) Tidak ada 4-6 cm >6 cm Posterior Kanan Kiri Endocervix Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Circumferential MIKROSKOPIS Squamous carcinoma Adenosquamous carcinoma Adenocarcinoma Neuroendocrine carcinoma Lain-lain (spesifik………………….................................................) Diferensiasi sel: Baik Sedang Buruk Tak dapat dinilai Distribusi komponen invasif: Unifokal Multifokal Ukuran tumor: Ukuran horisontal maksimum: ≤ 7 mm >7 mm – 4 cm 4 – 6 cm > 6 cm Kedalaman invasi maksimum: < 3 mm 3 – 5 mm > 5 mm Jarak terhadap tepi reseksi terdekat: ..........................mm. Keterlibatan vagina: Ya Tidak Jarak dari tepi epitel vagina distal:…..……….mm Keterlibatan paraservikal: Ya Tidak Jika terlibat: Kiri Kanan Keterlibatan parametrial: Ya Tidak Jika terlibat: Kiri Kanan Invasi limfovaskular: Ya Tidak Tipe keganasan infasif: CIN: CGIN: Ada Ada Tidak Ada Tidak Ada Grade 1/2/3 Grade: low/high KGB Pelvis: (kelompok pelvis termasuk KGB iliaka komunis, eksterna, interna dan obturator) Kanan Kiri Total Jumlah Jumlah keterlibatan Penyebaran extranodal: Ya KGB para-aortic: Positif Total jumlah KGB Penyebaran extranodal: Ya Tidak Negatif Jumlah KGB positif Tidak 21 Tak ada sampel Organ dan jaringan lain Endometrium Myometrium Adnexa kanan Adnexa kiri Normal Abnormal (deskripsi) Staging patologik FIGO sementara * ....................……………… * Korelasi dengan spesimen kerucut/melingkar sebelumnya – Staging akhir setelah tinjauan Tanda tangan ahli Patologi: ………………….........................……….tanggal…………………….. KESIMPULAN Deskripsi histopatologik kanker serviks sangat besar peranannya dalam menentukan penatalaksanaan pasien berkaitan dengan terapi dan prognosis. Deskripsi histopatologik idealnya memenuhi harapan onkoginekologist. Untuk memenuhi harapan tersebut onkoginekologist dan patologist hendaknya memiliki konsensus deskrispsi histopatologik yang secara ideal berdasarkan mekanisme invasi dan metastasis kanker serviks meliputi deksripsi umum, dan deskripsi diagnostik. Deskripsi umum meliputi identitas, kondisi, jumlah, jenis prosedur, topografi, deskripsi jaringan yang singkat dan jelas, dan keterkaitannya dengan struktur disekitarnya. Sedangkan deskripsi diagnostik meliputi jenis histopatologis, derajat diferensiasi tumor, perluasan tumor, invasi, lymphatic vascular space invasion, status kelenjar getah bening, dan status batas/tepi reseksi. 22 DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Ferlay J, Shin HR, Bray F, Forman D, Mathers C, Parkin DM. Estimates of worldwide burden of cancer in 2008: GLOBOCAN 2008. International Journal of Cancer. 2010;127:2893-917. Jemal A, Bray F, Center MM, Ferlay J, Ward E, Forman,D. Global cancer statistics. CA Cancer J Clin. 2011;61(2):69-90. Aziz, M.,F. Gynecological cancer in Indonesia. J Gynecol Oncol. 2009;20(1-8):8-10. Deen S. Pathology for Gynaecologic Oncologist in: Ayhan A, Reed N, Gultekin M, Dursun P. eds. Textbook of Gynaecological Oncology. Gunes Publishing. Turkey. 2012: 293-6. European Society of Gynaecological Oncology. Algorithms for management of cervical cancer. ESGO Educational Committee. 2010: 2-3. NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology. Cervical Cancer. Version 1.2011. Available at NCCN.org. Hebner CM, Laimins LA. Human papillomavirus: basic mechanisms of pathogenesis and oncogenicity. Rev.Med.Virol 2006; 16: 83-97. Burd EM. Human papillomavirus and cervical cancer. Clinical Microbiology Reviews 2003; 16(1): 1-17. Kong CS, Longacre CS, Hendrickson MR. Pathology in: Berek JS, Hacker NF, eds. Berek and Hacker’s Gynecologic Oncology. 5th ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2010: 122-210. Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., Aster. Molecular Basic of Cancer in: Robbin and Cotran Pathologic Basis of Disease. 8th ed. Saunders Elsevier. Philadelphia. 2010: 309-13. Hacker NF, Friedlander ML. Cervical cancer. In: Berek JS, Hacker NF, eds. Berek & Hacker’s Gynecologic Gynecology, 5th edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2010: 342-88. Gaurilcikas A, Vaitkiene D, Cizauskas A, Inciura A, Svedas E, Maciuleviciene R, Di Legge A, Ferrandina G, Testa AC, Valentin L. Early-stage cervical cancer: agreement between ultrasound and histopathological finding with regard to tumor size and extent of local disease. Ultrasound Obstet Gynecol 2011; 38: 707-15. Stacker SA, Achen MG, Jussila L, Baldwin ME, Alitalo K. Lymphangiogenesis and cancer metastasis. Cancer 2002; 2: 573-81. Minn, A.J., Massagna, J. Invasion and Metastasis in: DeVita, V.T., Lawrence, T.S., Rosenberg, S.A. eds. DeVita, Hellman, and Rosenberg’s Cancer: Principles and Practice of Oncology, 8th ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2008: 11829. Moore, D.H. 2006. Cervical Cancer. Obstet Gynecol. 107(5):1152–61 Nathanson SD. Insight into the mechanisms of lymphnode metastasis. Cancer 2003; 98: 413-23. Zetter BR. Angiogenesis and tumor metastasis. Annu. Rev. Med. 1998; 49: 407-24. The Royal College of Pathologists. 2011. Standards and datasets for reporting cancers Dataset for histological reporting of cervical neoplasia (3rd edition). (serial online) 23 19. 20. 21. 22. [cited 2014 Mar. 19]. Available from:https://www.rcpath.org/Resources/RCPath/Migrated%20Resources/Documents/ G/G071CervicalDatasetApril11.pdf Rosai, J. Cervical Cancer. In Rosai and Ackerman’s Surgical Paathology. 11th ed. Edinburg: Mosby. 2004. p. 1763-876. The Royal College of Pathologists. 2011. Dataset for histological reporting of cervical neoplasia (3rd edition). (serial online) [cited 2014 Mar. 23]. Available from: http://www.rcpath.org/resources/pdf/g070_vulvadataset_jun08.pdf NHS Cancer Screening Programmes. 2012. Histopathology Reporting in Cervical Screening – an Integrated Approach. (serial online) [cited 2014 Mar. 21]. Available from: http://www.cancerscreening.nhs.uk/cervical/publications/nhscsp10.pdf Canadian Partnership Against Cancer.2013.Pan-Canadian Cervical Screening Initiative Reporting on Histopathology Specimens from the Cervix and Vagina – Consensus Statements. (serial online) [cited 2014 Mar. 19]. Available from:http://www.cancerview.ca/idc/groups/public/documents/webcontent/cccic_report _histopathology.pdf 24