31 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi

advertisement
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian secara umum berada di Kabupaten Indramayu tepatnya
di Desa Brondong Kecamatan Pasekan. Wilayah pesisir di sepanjang pantai dan
muara sungai ditumbuhi oleh mangrove yang merupakan ekosistem mangrove
alami karena jarang dilakukan proses rehabilitasi maupun proses konservasi di
dalamnya. Luasan hutan mangrove di Desa Brondong tergolong sedang
dibandingkan dengan desa lain di Kecamatan Pasekan, yaitu sebesar 84 ha dari
total 567 ha. (Dishutbun Kabupaten Indramayu 2009).
Kondisi ekosistem mangrove di Kabupaten Indramayu sejak tahun 1999
mengalami penurunan yang cukup besar, yakni 45,34%. Hal ini dapat dilihat dari
intrusi air laut dan abrasi yang cukup tinggi. Areal yang terkena abrasi 2.153,12
ha, sedangkan areal yang terkena intrusi air laut sepanjang 17 km dari pantai
(OISCA 2004). Berdasarkan data yang dimuat oleh Gerakan Nasional Rehabilitasi
Hutan dan Lahan (GERHAN) dan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK)
luas lahan kritis yang berada di Kabupaten Indramayu tahun 2002 tercatat
33.486,54 ha, dan dari tahun 2003 hingga 2008 dilakukan penanganan seluas
15.553,29 ha (DEPHUT 2011)
Ekosistem mangrove pada lokasi penelitian berbatasan dengan tambak
penduduk, sehingga banyak lokasi hutan mangrove yang dijadikan lahan tambak
dan ekosistem mangrove pada tepi laut sudah mulai terkikis. Selain itu, beberapa
kerusakan yang terjadi juga diakibatkan oleh aktifitas penebangan hutan oleh
masyarakat sekitar.
4.2 Karakteristik Perairan
Parameter yang diukur adalah Parameter fisika dan kimia perairan serta
tekstur substrat. Parameter fisika dan kimia perairan yang diukur pada saat
pengamatan meliputi suhu, salinitas, pH. Hasil pengukuran menunjukkan nilai
yang bervariasi, namun tidak menunjukkan perbedaan yang besar antar stasiun.
31
32
1. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor pembatas bagi beberapa fungsi biologis
biota perairan. Effendi (2000) dalam Dewiyanti (2004) menyatakan bahwa suhu
berpengaruh dalam efisiensi metabolisme organisme dalam suatu ekosistem
perairan.
29
28,5
28
28 28
28
27,5
Ulangan 1
27 27
27
Ulangan 2
27
26,5
26
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Gambar 8. Nilai suhu di lokasi penelitian
Kisaran suhu di ekosistem mangrove di Desa Brondong adalah 27 0C
sampai 28 0C. Kisaran suhu untuk semua stasiun relatif sama dan dipengaruhi
oleh penetrasi cahaya ke dalam suatu perairan, cuaca, pasang surut yang terjadi
pada lokasi penelitian serta ada atau tidaknya penutupan oleh mangrove.
Perbedaan suhu antara stasiun 1 dengan stasiun yang lain disebabkan oleh
kondisi cuaca pada saat pengambilan sampel. Ulangan pertama dilakukan pada
pukul 11.00 WIB, ulangan ke-2 dilakukan pada pukul 10.00 WIB. Pada stasiun 1
tidak berbeda jauh karena adanya naungan pohon mangrove yang cukup.
Perubahan suhu oleh radiasi matahari, posisi matahari, letak geografis, musim,
kondisi awan, proses interaksi antara air, dan udara berpengaruh terhadap
perbedaan suhu pada lokasi penelitian. Pada suhu di lokasi penelitian, moluska
dapat hidup dan cocok untuk ekosistem mangrove. Eltringham (1971) dalam
Risawati (2002), menyatakan bahwa secara umum organisme moluska dapat
mentolelir suhu antara 00C hingga 48,60C.
33
2. Salinitas
Tinggi dan rendahnya nilai salinitas pada daerah pesisir sangat
dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai dan masukan air laut dari laut.
Pada daerah pesisir salinitas berfluktuasi, secara definisi suatu gradien salinitas
akan tampak pada saat tertentu, tetapi pola gradien bervariasi bergantung pada
musim, topografi estuaria, pasang surut, dan jumlah masukan air tawar (Nybakken
1992).
25
24 25
24
24 24
20
15
15
Ulangan 1
10
Ulangan 2
5
0
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Gambar 9. Nilai salinitas di lokasi penelitian
Perubahan salinitas pada setiap pengamatan berfluktuasi, pada stasiun 2
salinitas sebesar 15 0/00, hal ini dikarenakan pada saat pengambilan sampel kondisi
perairan dibawah kendali pasang surut, pada saat surut air tambak masih sedikit
menggenangi perairan pada ekosistem mangrove. Kisaran salinitas tersebut masih
dapat ditolerir oleh mangrove, hutan mangrove dapat tumbuh pada kisaran
salinitas 1,9 0/00–87,00 0/00 dan salinitas optimal sekitar 30 0/00–37 0/00 (Nybakken
1992). Salinitas sangat mempengaruhi pola penyebaran moluska di hutan
mangrove, moluska dapat hidup pada kisaran 50/00–7 0/00 . Oleh karena itu, kisaran
salinitas pada lokasi penelitian masih dapat ditolelir oleh moluska.
3. Derajat Keasaman (pH)
Nilai dari derajat keasaman (pH) perairan mencerminkan keseimbangan
antara asam dan basa dalam suatu perairan (Safitri 2000). Pengukuran derajat
34
keasaman dilakukan 2 kali ulangan, yaitu pada pukul 11.00 WIB dan pada pukul
10 WIB.
7,28
7,3
7,2
7,1
7
6,9
6,8
6,7
6,6
6,5
6,4
7,17
7,12
7,07
6,82
6,71
Stasiun 1
Stasiun 2
Ulangan 1
Ulangan 2
Stasiun 3
Gambar 10. Nilai derajat keasaman (pH) di lokasi penelitian
Pada pengukuran pH ulangan pertama didapatkan nilai yang hampir sama
pada semua stasiun pengamatan, hal ini menunjukkan bahwa semua stasiun
mendapat pengaruh dari air laut. Pada ulangan kedua didapatkan kisaran nilai
yang lebih lebar, yaitu antara 6,71 – 7,17 (Gambar 10). Hal tersebut dapat
disebabkan karena pada stasiun 2 dan 3 mendapat pengaruh dari aliran sungai.
Pada kisaran tersebut, mangrove dan moluska masih bisa hidup karena pH
mangrove berkisar antara 8.0 – 9.0 (Welch dalam Winarto 1996) dan moluska
menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5 (Effendi 2000).
4. Substrat
Hasil analisis substrat (Lampiran 8) yang diperoleh menunjukkan bahwa
pada stasiun 1 memiliki tipe substrat lempung berdebu, sedangkan pada stasiun 2
dan 3 memiliki tekstur substrat lempung berpasir. Desa Brondong memiliki
substrat dominan lempung berpasir karena daerah tersebut mendapat masukan air
laut akibat pasang surut dan juga saluran air yang mengalir pada muara sehingga
mengakibatkan pasir yang terbawa dari arah pantai dan laut mengendap pada
daerah tersebut. Pada stasiun 2 dan 3 memiliki presentase debu sedikit disebabkan
karena stasiun tersebut berada dekat dengan saluran air. Hal ini diperkuat oleh
Nybakken (1992), yaitu pengendapan partikel bergantung pada ukuran partikel.
35
Partikel yang lebih besar mengendap lebih cepat dibandingkan dengan partikel
yang lebih kecil dan arus yang kuat mempertahankan partikel dalam suspensi
lebih lama daripada arus yang lemah. Selain itu arus yang timbul akibat saluran
air dan arus pasang surut membawa substrat yang lebih halus ke daerah lain dan
diendapkan di daerah lain.
Kondisi substrat sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove dan
perkembangan moluska. Nontji (1986) menyatakan bahwa mangrove tidak
tumbuh pada pantai yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut
yang kuat karena hal ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan oleh
lumpur dan pasir yang merupakan substrat penting bagi ekosistem mangrove.
Rangan (1996) menyatakan bahwa kondisi substrat berpengaruh terhadap
perkembangan moluska. Substrat yang sesuai terdiri dari lumpur dan pasir dengan
sedikit liat. Jika melihat dari kondisi yang terdapat pada lokasi pengamatan
merupakan substrat yang cocok bagi ekosistem mangrove dan komunitas
moluska.
4.3 Analisis Vegetasi Mangrove
1. Komposisi jenis
Jenis vegetasi yang ditemukan di Desa Brondong Kecamatan Pasekan
Kabupaten Indramayu adalah jenis Rhizophora macronata, Rhizophora stilosa,
Avicennia alba, Avicennia marina, Acanthus ilicifolius, Sonneratia alba.
Mangrove di Desa Brondong merupakan hutan mangrove alami dan beragam,
masih jarang dilakukan penanaman oleh masyarakat atau pemerintah. Vegetasi
mangrove dibedakan antara pohon, anakan, dan semai.
Komposisi mangrove dilihat dari kerapatan dan penutupan jenis.
Kerapatan jenis mangrove ditujukan untuk mengetahui spesies yang ditemukan
pada lokasi penelitian. Kerapatan jenis merupakan jumlah individu mangrove
yang ditemukan dibagi dengan luas area pengamatan (English et al. 1994).
Kerapatan relatif dapat menggambarkan jenis dengan nilai kerapatan tertinggi
memiliki penyesuaian yang besar. Selain itu kerapatan relatif perlu diketahui
nilainya untuk dipakai dalam penghitungan INP (Indeks Nilai Penting).
36
Tabel 2. Nilai kerapatan dan penutupan mangrove di lokasi penelitian
Stasiun
1
2
3
Jenis Mangrove
Rhizophora mucronata
Rhizopora stilosa
Avicennia alba
Avicennia marina
Sonneratia caseolaris
Acanthus ilicifolius
Rhizophora mucronata
Rhizopora stilosa
Avicennia alba
Avicennia marina
Sonneratia caseolaris
Acanthus iliafoilus
Rhizophora mucronata
Rhizopora stilosa
Avicennia alba
Avicennia marina
Sonneratia caseolaris
Acanthus ilicifolius
Kerapatan mangrove
Pohon
Pancang Semai
(ind/m2) (ind/m2) (ind/m2)
0,12
0,12
0,07
–
–
–
–
0,04
0,07
0,08
0,05
–
–
0,09
–
0,11
0,07
–
0,24
0,19
0,09
–
–
–
–
0,11
0,16
0,28
0,11
–
–
0,24
–
0,32
0,12
–
0,83
0,58
0,42
–
–
–
–
0,58
1,17
0,92
1
2
–
2
–
0,83
0,25
3
Tutupan
Mangrove
(%)
33,95
36,73
29,31
–
–
–
–
18,25
25,74
37,58
18,42
–
37,43
–
36,54
26,02
Pada stasiun 1 memiliki nilai komposisi mangrove terendah karena pada
stasiun 1 terletak pada tepi laut sehingga mendapatkan hempasan ombak dan
pasang surut langsung. Kerapatan tertinggi pada stasiun 1 berada di tingkat semai,
karena para petambak sudah mulai menanam semai, namun karena letak stasiun 1
yang dihempas ombak sehingga benih semai yang ditanam oleh petambak terbawa
arus dan pada ukuran semai sangat rentan dengan faktor–faktor alam yang terjadi
maka jumlah semai di stasiun 1 tidak sebanyak di stasiun lain. Kerapatan tertinggi
adalah Rhizophora. Onrizal & Kusmana (2004), menyatakan bahwa Rhizophora
tumbuh pada tanah berlumpur halus. Sehingga lokasi penelitian yang substrat
lempung berdebu sangat cocok untuk ditumbuhi jenis tersebut.
Pada stasiun 2 yang terletak dititik awal muara, menyebabkan stasiun 2
memiliki pengaruh antara air laut dan air tawar. Kerapatan tertinggi dimiliki oleh
37
tingkat semai sebesar 5,67 ind/m2. Berbeda dengan stasiun 1 yang letaknya di tepi
pantai, stasiun 2 yang terletak di muara sungai memiliki tingkat kerapatan semai
yang cukup tinggi, hal ini dikarenakan letak stasiun 2 yang berada di titik awal
muara lebih memungkinkan ditumbuhi semai karena tidak mendapatkan arus
pasang surut yang dapat mengakibatkan terseretnya semai. Pada stasiun 2
kerapatan tertinggi adalah Avicennia. Onrizal & Kusmana (2004), menyatakan
bahwa Avicennia menyukai substrat lumpur dan pasir. Sehingga pada tingkat
pohon dan pancang di Desa Brondong di dominasi oleh kedua jenis tersebut
karena pada lokasi penelitian memiliki substrat yang cocok.
Lokasi stasiun 3 ±100 meter dari muara sungai. Hal ini memberikan
keuntungan bagi tingkat pohon, pancang dan semai untuk tumbuh pesat di stasiun
3 dibandingkan di stasiun lain. Dari ke tiga stasiun pengambilan sampel, stasiun 3
memiliki nilai kerapatan pohon tertinggi karena pada stasiun 3 memiliki vegetasi
yang alami dan lokasinya berada di muara sungai yang tidak berhadapan langsung
dengan ombak. Pada lokasi tersebut faktor lingkungan belum berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan mangrove. Tingginya nilai kerapatan tingkat pancang pada
stasiun 3 dapat mengindikasikan bahwa tingkat regenerasi mangrove baik dan
dapat bertahan pada kondisi lokal tempat tersebut. Tingginya nilai pancang juga
dapat disebabkan oleh petambak yang mulai menyadari pentingnya rehabilitasi
mangrove sehingga sudah mulai dilakukan penanaman pada stasiun tersebut.
Pada stasiun 3 memiliki nilai kerapatan yang tertinggi karena warga yang
memiliki tambak di sekitarnya sudah mulai mempunyai kesadaran akan
penanaman mangrove di sekitar tambaknya. Selain itu di stasiun 3 memiliki
kerapatan yang relatif tinggi sehingga buah mangrove yang jatuh berubah menjadi
semai dan karena letaknya yang berada pada muara sungai sehingga tidak terlalu
terkena ombak dan pasang surut yang tajam. Dan ditemukannya jenis Acanthus
ilicifolius. Menurut Bengen (2004) Acanthus ilicifolius melimpah pada stasiun
pengamatan karena merupakan tumbuhan berduri yang dapat tumbuh di substrat
lunak berlumpur. Pada stasiun 2 dan 3 biota tersebut terdapat di pinggiran
pembatas antara tepi mangrove dan areal tambak. Acanthus ilicifolius tidak
terdapat pada tingkat pohon dan pancang karena spesies tersebut memiliki tinggi
38
tidak lebih dari 1,5meter oleh karena itu spesies tersebut hanya masuk dalam
kategori semai.
Luas penutupan jenis mangrove pada stasiun 1 terbesar adalah Rhizophora
mucronata sebesar 33,95 %. Pada stasiun 2 luas penutupan jenis terbesar adalah
Avicennia marina sebesar 37,58% dan pada stasiun 3 penutupan jenis terbesar
adalah Rhizopora stilosa sebesar 37,53 %. Besarnya luas penutupan mangrove
dapat berpengaruh kepada biota yang ada di sekitar area mangrove.
Kondisi perairan yang sesuai dan kondisi substrat yang cocok bagi
ekosistem mangrove sehingga pada lokasi penelitian tingkat pohon dan pancang
dapat hidup dan tumbuh. Manun karena adanya faktor alam dan manusia yang
dapat menjadikan kerapatan mangrove semakin berkurang.
2. Komposisi mangrove per tingkat spesies
Stennis (1958) dalam Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa Rhizophora
dapat tumbuh dengan baik pada tipe substrat lumpur relatif tebal. Pada lokasi
penilitian didapatkan substrat dominan lumpur, sehingga substrat pada lokasi
penelian cocok untuk Rhizophora. Komposisi jenis Rhizophora terbesar adalah
tingkat semai dengan 46,60 % (Gambar 11). Hal ini dikarenakan tingkat semai
pada jenis Rhizophora mempunyai buah yang mudah untuk tumbuh dan
berkembang.
Semai;
46,60
Pohon;
45,53
Pancang;
41,73
Gambar 11. Komposisi (%) Rhizopora
39
Semai;
38,83
Pohon;
39,43
Pancang;
46,04
Gambar 12 . Komposisi (%) mangrove Avicennia
Noor et.al., (2006) yang menyatakan bahwa Avicennia hidup pada areal
yang selalu digenangi air walaupun saat surut terendah. Avicennia memiliki
kerapatan tertinggi pada stasiun 2 dan 3 yang terletak di muara sungai yang selalu
digenangi air meskipun surut terendah. Oleh karena itu Avicennia lebih banyak
dijumpai. Gambar 12 menunjukkan bahwa Avicennia memiliki komposisi tingkat
pancang tertinggi dengan 46,04%.
Semai;
14,56
Pohon;
15,04
Pancang;
12,23
Gambar 13. Komposisi (%) mangrove jenis Sonneratia
Sonneratia mempunyai komposisi terbesar pada tingkai pohon sebesar
15,04 %. Nybakken (2012) menyatakan bahwa Sonneratia merupakan pohon
yang tumbuh pada bagian yang menghadap ke laut dan tumbuh di daerah yang
senantiasa basah. Jenis ini merupakan jenis yang berasosiasi dengan Avicennia.
3. Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks Nilai Penting (INP) memberikan suatu gambaran mengenai
pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam suatu komunitas
40
mangrove (Bengen 2001). Oleh karena itu, peranan suatu jenis tumbuhan
mangrove sangat dipengaruhi oleh jumlah pohon, pancang dan semai pada lokasi
penelitian. Peranan dapat berupa penyedia unsur hara tanah dari dekomposisi
serasah mangrove, tempat tinggal serta tempat berlindung dan habitat biota.
Vegetasi yang ada pada suatu wilayah akan berpengaruh atau mempunyai
suatu peranan terhadap lingkungan sekitarnya. Besar pengaruh dan peranan suatu
jenis vegetasi pada suatu wilayah ditentukan oleh nilai INP. Semakin banyak
jumlah vegetasi yang ditemukan, semakin tinggi pula frekuensi ditemukannya,
serta semakin besar diameter batang yang dimilikinya, maka akan memperbesar
nilai INP. Nilai INP berkisar antara 0 – 300% (Damayanti 2004).
Tabel 3. Nilai INP (%) tingkat pohon, pancang dan semai.
Stasiun
1
2
3
Jenis Mangrove
Rhizophora mucronata
Rhizopora stilosa
Avicennia alba
Avicennia marina
Sonneratia caseolaris
Acanthus ilicifolius
Rhizophora mucronata
Rhizopora stilosa
Avicennia alba
Avicennia marina
Sonneratia caseolaris
Acanthus ilicifolius
Rhizophora mucronata
Rhizopora stilosa
Avicennia alba
Avicennia marina
Sonneratia caseolaris
Acanthus ilicifolius
Pohon
106,00
109,85
84,15
–
–
–
–
59,69
79,51
95,46
65,34
–
–
104,52
–
109,88
85,61
–
INP
Pancang Semai
83,65
73,40
42,95
–
–
–
–
41,33
49,49
67,86
41,33
–
–
72,79
–
84,56
42,65
–
82,95
69,32
47,73
–
–
–
–
31,72
42,02
37,61
31,93
56,72
–
62,88
–
43,70
14,11
79,32
Kisaran INP tingkat pohon pada stasiun 1,2 dan 3 adalah 59,69 –109,88%
(Tabel 3). INP terbesar adalah Avicennia marina, hal ini menunjukkan bahwa
jenis ini mempunyai peranan yang penting dan mempunyai pengaruh yang lebih
41
kuat dan hal tersebut menunjukkan bahwa jenis ini memiliki peranan yang penting
bagi ekosistem mangrove di kawasan Desa Brondong, Pasekan, Indramayu.
Pada tingkat pancang, nilai INP berkisar antara 41,33– 84,56%, dengan
nilai INP terbesar pada tingkat pancang adalah Avicennia marina. Jika
dijumlahkan pada semua stasiun, Rhizopora stilosa memiliki nilai INP sebesar
187,52 %, sehingga Rhizopora stilosa memiliki pengaruh dan peranan penting
pada ke tiga stasiun penelitian.
Pada tingkat semai didapatkan jumlah nilai INP terbesar yaitu Rhizophora
mucronata, namun tidak berbeda jauh dengan jenis Acanthus ilicifolius, yaitu
berturut–turut sebesar 82,95 dan 79,32. Acanthus ilicifolius merupakan tumbuhan
berduri yang dapat tumbuh di substrat lunak berlumpur, dan merupakan tumbuhan
yang dominan tumbuh di hutan mangrove yang rusak (Bengen 2001).
4.4 Analisis Struktur Komunitas Moluska
1. Komposisi dan kepadatan Moluska
Di lokasi penelitian, moluska yang ditemukan berada pada permukaan
substrat dan menempel pada akar dan pohon mnagrove. Moluska yang ditemukan
sejumlah 15 spesies, 10 spesies berasal dari Kelas Gastropoda dan 5 spesies dari
Kelas Bivalvia. Moluska yang ditemukan sebagian besar dari Kelas Gastropoda,
hal ini disebabkan karena Kelas Gastropoda mempunyai sifat mobile dan lebih
aktif dibandingkan Kelas Bivalvia.
Kelas Gastropoda dapat bergerak aktif turun dan naik mengikuti pasang
surut. Barnes (1987) menyatakan bahwa kelas Gastropoda mempunyai anggota
terbanyak dan merupakan moluska yang paling sukses karena mempunyai jenis
habitat yang bervariasi dan mempunyai pola adaptasi yang cukup besar dengan
perubahan faktor lingkungan yang disebabkan oleh pasang surut, suhu dan
salinitas.
Rata–rata spesies tertinggi adalah Telescopium telecopium (Tabel 4). Hal
tersebut disebabkan oleh kemampuannya untuk mentolelir kekeringan akibat
pasang surut dan memiliki pola adaptasi yang baik pada lokasi penelitian
(Dewiyanti 2004). Menurut Budiman (1991), spesies Telescopium telecopium
42
tergolong dalam kelompok asli yang banyak dijumpai di bagian tengah dan
belakang hutan mangrove dengan kelimpahan yang cukup tinggi.
Rata–rata
spesies terendah adalah Anomia sp. Hal ini disebabkan karena spesies ini
tergolong moluska pengunjung yang umumnya hidup di areal sempit di sekitar
perbatasan dengan ekosistem tempatnya hidup (Budiman 1991).
Pada stasiun 1 tidak ditemukan adanya Kelas Bivalvia karena hutan
mangrove tidak cukup tebal. Menurut Budiman (1991) moluska Kelas Bivalvia
banyak ditemukan pada substrat dengan kandungan liat rendah dan pasir yang
sedang. Pada stasiun 1 mempunyai kandungan pasir yang cukup tinggi, sehingga
hal tersebut dapat mempengaruhi keberadaan Kelas Bivalvia.
Tabel 4. Kepadatan moluska (ind/5m2) di ekosistem mangrove
No
Jenis Organisme
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
Kelas Gastropoda
Telescopium telecopium
Natica catena
Ceritrhium fasciatum
Calliostoma occidentale
Littorina littorea
Littorina scraba
Littorina undulata
Telebra dislocata
Hylocylis striata
Pyramidella sulcata
Kelas Bivalvia
Mytilus edulis
Musculus niger
Modiolus modiolus
Pedalion isognonum
Anomia sp.
Total
Stasiun
2
1
Rata rata
3
28
3
23
7
26
17
21
13
24
31
22
18
17
14
22
13
29
19
22
21
24
21
16
11
21
22
23
17
20
25
24,67
14,00
18,67
10,67
23,00
17,33
24,33
16,33
22,00
25,67
0
0
0
0
0
193
6
7
6
3
2
221
8
15
8
2
2
235
4,67
7,33
4,67
1,67
1,33
216,33
43
Pada stasiun 1 merupakan stasiun yang berada di tepi laut dan langsung
berbatasan dengan tambak. Hal ini menyebabkan stasiun 1 lebih banyak didiami
oleh kelas gastropoda karena gastropoda merupakan biota epifauna dan infauna
dan mempunyai daya adaptasi terhadap salinitas dan arus sehingga jika terjadi
pasang biota tersebut dapat menyesuaikan diri. Jika dikaitkan dengan kerapatan
dan luas penutupan mangrove di stasiun 1 yang memiliki nilai relatif rendah
dibandingkan dengan stasiun 2 dan 3, maka jumlah moluska yang ditemukan dan
jenis yang ditemukan lebih rendah dibanding ketiga stasiun.
Pada stasiun 1
komposisi individu terbanyak adalah jenis Pyramidella sulcata sebesar 16,06 %,
sedangkan komposisi terendah adalah Natica catena sebesar 1,55% (Gambar 14).
Pyramidella
sulcata; 16,06
Hylocylis striata;
12,44
Telebra
dislocata; 6,74
Telescopium
telecopium;
14,51
Natica catena;
1,55
Ceritrhium
fasciatum; 11,92
Littorina littorea;
Littorina
13,47
undulata;
10,88
Littorina
scraba; 8,81
Calliostoma
occidentale; 3,63
Gambar 14. Komposisi (%) moluska (Gastropoda dan Bivalvia) stasiun 1
Pada saat pengambilan sampel moluska dilakukan pada pukul 10.00 WIB
sehingga kondisi perairan saat itu masih pasang. Pada stasiun 2 merupakan stasiun
yang berada di muara sungai sehingga terdapat Kelas Bivalvia dan Gastopoda
namun jumlah dari Kelas Bivalvia tidak sebanyak Kelas Gastropoda karena
mereka hanya terbawa oleh arus laut menuju muara sehingga tidak ditemukan
jumlah yang terlalu besar dan tidak terlalu beragam. Pada stasiun 2 komposisi
44
moluska terbesar adalah jenis Littorina undulata 13,12%, dan komposisi terkecil
Pedalion isognonum sebesar 1,36 % (Gambar 14).
Pada stasiun 2 kondisi ekosistem mangrove masih tergolong sedang dan
kondisi substrat lempung berpasir juga berpengaruh terhadap perkembangan
moluska di tempat penelitian. Kondisi kerapatan mangrove dan penutupan
mangrove yang relatif tinggi menyebabkan ditemukannya moluska relatif banyak
dan memiliki komposisi terbesar yaitu jenis Littorina undulata karena jenis ini
melekat pada akar mangrove dan pada saat pengambilan sampel dengan kondisi
perairan yang masih pasang.
Modiolus
modiolus; 2,71
Mytilus edulis;
2,71
Pedalion
Musculus isognonum; 1,36
niger; 3,17
Anomia
sp.; 0,90
Telescopium
telecopium;
9,95
Pyramidella
sulcata; 9,50
Hylocylis striata;
9,95
Telebra
dislocata;
8,60
Natica
catena; 8,14
Ceritrhium
fasciatum; 7,69
Calliostoma
occidentale; 6,33
Littorina littorea;
9,95
Littorina undulata;
13,12
Littorina
scraba; 5,88
Gambar 15. Komposisi (%) moluska (Gastropoda dan Bivalvia) Stasiun 2
Pada stasiun 3 merupakan stasiun yang berjarak lebih dari 100 m dari
muara sungai dan ditemukan jumlah kelas bivalvia terbanyak dibandingkan
dengan stasiun 1 dan 2. Banyaknya jumlah individu yang ditemukan pada stasiun
3 juga dikarenakan kepadatan dan penutupan ekosistem mangrove yang tertinggi
di antara ketiga stasiun. Di stasiun 3 kondisi perairan sesuai dengan habitat yang
disukai oleh moluska yaitu memiliki kerapatan yang sedang, suhu optimal,
45
salinitas yang sesuai dan tekstur substrat yang cocok untuk berkembang biakan
moluska.
Pada stasiun 3 ditemukan 15 jenis dengan komposisi terbesar adalah
Pyramidella sulcata 10,64% dan terendah adalah Pedalion isognonum dan
Anomia sp. sebesar 0,85 %. Waktu pengambilan sampel pada stasiun 3 dilakukan
pada pukul 12.00 WIB dengan kondisi perairan sedang surut, substrat yang ada di
tempat pengambilan sampel sudah mulai mengering namun masih terdapat sedikit
air yang mengenanginya.
Modiolus
modiolus;
3,40
Pedalion
Anomia sp.; 0,85
isognonum; 0,85
Musculus
niger;
6,38
Mytilus
edulis; 3,40
Telescopium
telecopium;
10,21
Natica catena;
8,94
Pyramidella
sulcata; 10,64
Ceritrhium
fasciatum; 6,81
Hylocylis striata;
8,51
Telebra
dislocata;
7,23
Littorina littorea;
8,94
Calliostoma
occidentale;
4,68
Littorina
Littorina scraba;
undulata; 9,79
9,36
Gambar 16. Komposisi (%) moluska (Gastropoda dan Bivalvia) stasiun 3
Pengambilan data moluska pada stasiun 1, 2 dan 3 tertinggi adalah stasiun
3. Hal ini disebabkan karena pada stasiun 3 kondisi perairan relatif tenang dan
kondisi perairan yang sangat mendukung karena selama penelitian tidak terjadi
hujan dan tidak terjadi pasang yang sangat kuat.
46
2. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E)
a. Indeks Keanekaragaman
Nilai Indeks keanekaragaman Shannon–Wienner pada stasiun 1 adalah
2,179, stasiun 2 sebesar 2,539 dan pada stasiun 3 sebesar 2,565 (Gambar 17). Hal
ini menunjukkan bahwa pada stasiun 1, 2 dan 3 yang mempunyai nilai
keanekaragaman 1 < H’ < 3 yang berarti keanekaragaman sedang dan penyebaran
jumlah individu tiap spesies, kestabilan dan keadaan perairan tercemar sedang
(Brower dan Zar 1977). Hal tersebut dapat dilihat dari nilai kepadatan tiap spesies
yang tidak begitu merata, hal tersebut mengakibatkan keanekaragaman suatu
ekosistem rendah.
Jumlah spesies dan variasi jumlah individu yang relatif kecil menunjukkan
bahwa adanya ketidakseimbangan ekosistem akibat adanya faktor yang
menganggu ekosistem di lokasi penelitian. Hal ini juga menunjukkan bahwa
hanya spesies tertentu saja yang dapat hidup pada kondisi perairan. Tidak
meratanya jumlah spesies berhubungan juga dengan pola adaptasi dari jenis yang
ditemukan dan berhubungan pula dengan substrat, kondisi lingkungan serta
makanan yang diperoleh.
2,539
2,565
2,600
2,500
2,400
2,300
2,179
2,200
2,100
2,000
1,900
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Gambar 17. Indeks Keanekaragaman (H’) Moluska di Ekosistem Mangrove
47
b. Indeks Keseragaman
Nilai Indeks Keseragaman pada stasiun 1,2,3 berturut–turut adalah sebesar
0,946; 0,938; 0,947 (Gambar 18). Sesuai dengan kriteria Brower dan Zar (1977),
maka nilai indeks keseragaman pada stasiun 1, 2 dan 3 masuk dalam kriteria
keseragaman tinggi. Hal tersebut menyatakan bahwa pada lokasi penelitian,
komposisi individu mempunyai tingkat keseragaman yang tinggi dan kepadatan
individu tidak ada yang mendominansi sehingga kondisi komunitas dan
lingkungan pada lokasi penelitian dalam kestabilan tinggi.
0,947
0,946
0,9470
0,9420
0,938
0,9370
0,9320
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Gambar 18. Nilai Indeks Keseragaman (E) Moluska di Ekosistem Mangrove
Yuniarti (2012) melakukan penelitian di Pesisir Glayem Juntinyuat,
Indramayu, menyatakan bahwa Indeks keanekaragaman (H’) pada 3 stasiun
berkisar antara 1,41 sampai 1,17 yang dikategorikan keanekaragaman sedang.
Indeks Keseragaman (E) berkisar antara 0,43 hingga 0,52 yang dapat
dikategorikan dalam keseragaman rendah. Jika hal tersebut dibandingkan dengan
di Desa Brondong Kecamatan Pasekan Kabupaten Indramayu maka dapat
disimpulkan bahwa hasil pada lokasi penelitian yang memiliki Indeks
Keanekaragaman sedang dan Indeks Keseragaman tinggi, lokasi penelitian tidak
terdapat spesies yang dominan.
48
Mangrove
Moluska
1.
Mangrove
Moluska
2.
Moluska
Pancang
Semai
Ki Tertinggi (ind/m2)
Rhizophora mucronata
33,95
0,12
0,24
0,83
Rhizopora stilosa
36,73
0,12
Avicennia alba
29,31
Mangrove/Moluska
Kepadatan
Ter besar
(ind/5m2)
Pyramidella sulcata
31
Telescopium telecopium
28
Littorina littorea
26
Rhizopora stilosa
18,25
Avicennia alba
25,74
Avicennia marina
37,58
Sonneratia caseolaris
18,42
0,08
Littorina littorea
22
Littorina undulata
29
Hylocylis striata
22
37,43
Avicennia marina
36,54
Sonneratia caseolaris
26,02
E
2,18
0,946
2,54
0,938
2,57
0,947
0,28
22
Rhizopora stilosa
H’
1,17
Telescopium telecopium
Acanthus ilicifolius
3.
Kerapatan
(K)
terbesar
(%)
Pohon
Jenis
Mangrove
Stasiun
Tabel 5. Keterkaitan Moluska dengan Ekosistem mangrove
0,11
0,32
3
Pyramidella sulcata
25
Telescopium telecopium
24
Littorina undulata
23
Littorina scraba
22
Pada Tabel 5. Dapat dilihat bahwa pada stasiun 1 spesies mangrove yang
terbesar adalah jenis Rhizophora mucronata dengan jumlah spesies moluska
tertinggi dari kelas gastropoda yaitu Pyramidella sulcata dan Telescopium
telecopium. Telescopium telecopium merupakan jenis yang mencari perlindungan
49
dari kondisi fisik yang tidak sesuai, dengan cara mengumpul dibalik semak–
semak mangrove atau membenamkan diri dalam lumpur (Rangan 1996).
Pernyataan tersebut sesuai dengan kondisi di stasiun 1 yang mempunyai substrat
lumpur. Pada stasiun 2 spesies mangrove terbesar adalah jenis Avicennia marina
dengan jumlah spesies moluska tertinggi adalah Littorina undulata. Pada stasiun 3
spesies mangrove terbesar adalah jenis Avicennia marina dengan jumlah spesies
tertinggi dari kelas gastropoda genus Littorina. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pada jenis Avicennia didominasi oleh genus Littorina. Genus Littorina beradaptasi
dengan cara menempel pada batang ataupun akar dari mangrove jenis Avicennia.
Download