pengaruh topografi dan luas daratan model wrf

advertisement
PENGARUH TOPOGRAFI DAN LUAS DARATAN MODEL WRF
TERHADAP HASIL PREDIKSI TEMPERATUR PERMUKAAN DI
WILAYAH KEPULAUAN INDONESIA
THE EFFECT OF TOPOGRAPHY AND LAND AREA OF WRF MODEL ON THE SURFACE
TEMPERATURE FORECASTS RESULTS IN INDONESIA ISLANDS
*
Thahir Daniel F. Hutapea , Roni Kurniawan, Wido Hanggoro
Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
Jln. Angkasa I No.2, Kemayoran, Jakarta Pusat
*E-mail: [email protected]
Naskah masuk: 11 Maret 2015; Naskah diperbaiki: 8 Desember 2015; Naskah diterima: 22 Desember 2015
ABSTRAK
Model Weather Research and Forecasting (WRF) telah digunakan dalam simulasi dan prediksi cuaca dengan cara
melakukan downscaling dari resolusi rendah (global) ke resolusi yang lebih tinggi. Karena pengaruh dari topografi
Indonesia, banyak proses atmosfer terjadi dalam skala yang lebih kecil dibandingkan dengan resolusi horizontal model
atmosfer, sehingga diperlukan pendekatan fisik dalam melakukan down scaling. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh perbedaan topografi pada model WRF terhadap hasil prediksi temperatur permukaan di Indonesia
yang merupakan negara kepulauan. Verifikasi terhadap performa model WRF dilakukan dalam perioda monsunal.
Verifikasi variabel Temperatur dilakukan berdasarkan nilai mean error atau bias, korelasi, standart deviasi dan bias
relatif. Hasil dari analisis mean error menunjukkan nilai yang bervariasi di setiap daerah dan di setiap musimnya. Pada
daerah yang terletak wilayah pegunungan menunjukkan nilai mean error yang besar, untuk wilayah yang lainnya pada
umumnya menunjukkan nilai mean error yang kecil. Stasiun-stasiun dengan nilai mean error yang besar disebabkan
karena perbedaan antara elevasi pada model dan elevasi stasiun observasi. Hasil analisis korelasi secara umum
menunjukkan nilai korelasi yang cukup baik disetiap daerah dan musimnya. Perbedaan hasil luaran antara model
dengan data obervasi disebabkan karena perbedaan ketinggian topografi antara model dan stasiun observasi yang cukup
besar. Sedangkan hasil verifikasi prediksi model WRF untuk pulau pulau kecil diperoleh nilai korelasi yang sangat
rendah dengan nilai standart deviasi dan bias relatif yang besar, kondisi ini disebabkan resolusi 25 km yang digunakan
model WRF dalam penelitian ini masih terlalu kasar, sehingga luas daratan tidak tergambarkan dengan baik oleh model.
Kata kunci : WRF-EMS, Verifikasi, Prediksi Temperatur
ABSTRACT
Weather Research and Forecasting (WRF) model has been applied to weather simulation and prediction by performing
downscaling of global resolution to high resolution. The impact of Indonesian topography,caused many atmospheric
processes occur on smaller scales than the horizontal resolution of atmospheric models, some physical component
approach is needed in downscaling process. The purpose of this study is to know the effect of WRF models topography
and land area to the surface temperature parameter in Indonesia. Verification on WRF model performance has been
conducted in monsoonal period. Temperature variable verification is done based on the value of the mean error and
correlation. The analyses indicate that the mean error values were varying in each regions and in each seasons. In areas
which located on mountainous area showed a high mean error values. At other areas, it generally showed a low mean
error values. Stations with high mean error valuewere caused by the difference between model elevation and station
elevation. Model and observation data differences were caused by the large difference of topographic height between
model and observation. While the verification result of model prediction for small islands shows very low corelation
value, with big value in the standard deviation and relative bias; this condition is caused by 25 km resolutions used by the
model in this study was too rough, hence the land area is notwell represented by the model.
Keywords: WRF-EMS, Verification, Temperature Prediction
PENGARUH TOPOGRAFI DAN LUAS DARATAN MODEL WRF.................................................... Thahir Daniel F. Hutapea, dkk
179
1. Pendahuluan
Indonesia adalah benua maritim, terdiri dari banyak
pulau dengan beragam bentuk ukuran dan variasi
topografinya. Lebih dari 70% wilayah Indonesia
merupakan lautan, terletak diantara samudera hindia
dan samudera pasifik dan berada di antara benua Asia
dan Australia. Selain itu, Benua maritim memegang
peranan yang unik dalam rangkaian proses cuaca dan
iklim regional dan dunia. Kondisi atmosfer di
Indonesia adalah tidak stabil dan ditandai oleh proses
konveksi kuat, menyebabkan kondisi cuaca di
Indonesia sulit untuk diprediksi [1]. Karena pengaruh
dari topografi tersebut, banyak proses atmosfer
terjadi dalam skala yang lebih kecil dibandingkan
dengan resolusi horizontal model atmospher atau
iklim.
Weather Research and Forecasting (WRF) adalah
model regional yang banyak di kembangkan oleh
kalangan peneliti di bidang meteorologi. Pilihan
model yang di gunakan pada penelitian ini adalah
model WRF-EMS (Weather Research and Forecasting
– Environment Modeling System).
Simulasi dan prediksi cuaca menggunakan model
NWP dengan cara melakukan downscaling dari
resolusi global (kasar) ke resolusi yang lebih halus
(resolusi tinggi), memerlukan pendekatan berbagai
komponen fisik. Beberapa pendekatan komponen fisik
(parameterisasi ) yang di gunakan antara lain : radiasi,
boundary layer, difusi eddy, konvektif dan, mikrofisik
[2].
Pendekatan tersebut bertujuan untuk memperkirakan
efek yang mempunyai pengaruh cukup besar dari suatu
kejadian di atmosfer, namun terlalu kecil atau terlalu
rumit untuk di rumuskan secara eksplisit. Resolusi
spasial pada model NWP mencerminkan nilai yang
sama pada luasan tertentu. Sehingga perubahan pada
resolusi spasial ini sangat penting untuk diperhatikan
terkait dengan karakteristik lokal wilayah Indonesia
yang memiliki topografi yang sangat kompleks seperti
pegunungan dan pulau-pulau kecil.
Penelitian sebelumnya tentang verifikasi model
WRF-EMS di wilayah Indonesia dilakukan oleh
Puslitbang BMKG [3], dimana evaluasi dilakukan
terhadap prakiraan Temperatur, kelembaban udara,
hujan dan angin pada lapisan 1000mb, 850mb,
500mb dan 250mb di stasiun meteorologi
Cengkareng dan Juanda, untuk prediksi hujan
kategori (dichotomus) hujan/tidak hujan. Tiga skema
parameterisasi digunakan yaitu; Betts Miller Janjic,
Kain-Fritch dan Grell 3D ensemble, dan diperoleh
skema Betts Miller Janjic (WRF-BMJ) menunjukkan
hasil yang paling baik diantara 3 skema
parameterisasi yang diuji.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada kondisi
topografi wilayah Indonesia yang kompleks dan
bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan
topografi dan luas daratan model WRF terhadap
parameter temperatur permukaan di wilayah
Indonesia.
Model WRF-EMS merupakan model yang di
kembangkan oleh National Oceanic and Atmospheric
Administration (NOAA) bekerjasama dengan National
Weather Service (NWS), Forecast Decision Training
Branch (FDTB), dan Science Operations Officer and
Training Resource Center (SOO/STCR). Untuk
keperluan prakiraan cuaca model WRF-EMS dinilai
sebagai model yang lengkap dan merupakan state-ofthe-science dari produk NWP serta merupakan
gabungan dari dua model dinamis yang umum
digunakan di dunia pemodelan yaitu Advanced
Research WRF (ARW) yang dikembangkan oleh
National Center for Atmospheric Research (NCAR)
dan non-Hydrostatic Mesoscale Model (NMM) yang
dikembangkan oleh National Center for
Environmental Prediction (NCEP). Di dalam WRFEMS, hampir semua sistem operasional NWP sudah
di-integrasikan termasuk proses pengambilan dan
pengolahan data, eksekusi model, pengolahan data
output serta migrasi hasil output dan penyimpanan,
perangkat lunak untuk menampilkan hasil prakiraan
juga terdapat dalam model WRF-EMS tersebut.
Sistem operasional WRF-EMS dapat dilihat pada
Gambar 1.
Skema konvektif Betts-Miller Janjic (BMJ) dibuat
untuk mewakili kondisi quasi-equilibrium (Awan
konvektif yang menjaga struktur temperatur dan
kelembaban di dalam atmosfer) yang terjadi pada
konvektif dalam, dan menghindari ketidakpastian
yang timbul akibat penentuan parameter-parameter
secara tidak langsung yang menggunakan persamaan
model awan yang rumit. Konsep quasi-equilibrium
antara deep-convection serta large-scale forcing untuk
konvektif dangkal diperkenalkan pertama kali oleh
Betts [5], sedangkan untuk konvektif dalam
diperkenalkan oleh Arakawa dan Schubert [6]. Pada
skala yang luas serta rentang waktu yang lama konsep
quasi-equilibrium sudah sangat baik diterapkan[7].
Beberapa kelebihan pada skema ini antara lain adalah
(a) Baik digunakan pada lingkungan yang lembab, (b)
Memperlakukan elevated-convection lebih baik
daripada skema-skema lainnya, (c) merupakan skema
konvektif yang paling efektif dalam mencegah skema
mikrofisik membentuk proses konveksi, dan (d) Tidak
memerlukan perhitungan yang banyak.
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 16 NO. 3 TAHUN 2015 : 179-187
180
Gambar 1. Sistem Operasional WRF-EMS [4]
2. Metode Penelitian
(1)
Data yang di gunakan untuk melakukan verifikasi
terhadap output model WRF-EMS adalah data
observasi (synop) 70 stasiun terpilih di seluruh
wilayah indonesia, pada periode juni 2012 - mei 2013
(Gambar 2). Data di decode dari koleksi bulanan sandi
synop yang tersedia pada WEB data base BMKG [8].
Pemilihan data synop dari stasiun dilakukan
berdasarkan ketersediaan data setiap bulannya, data
synop akan digunakan dalam penelitian ini jika
frekuensi data pada jam observasi mencapai rata-rata
lebih dari 27 hari perbulan selama periode Juni 2012Mei 2013, kontrol kualitas data juga dilakukan
terhadap stasiun-stasiun terpilih, dimana data yang
tidak masuk akal dianggap tidak ada (missing data).
Input untuk initial condition yang digunakan dalam
pengoperasian model WRF adalah luaran Global
Forecasting System (GFS) pada jam 12 UTC, yang
secara rutin di download dari NCEP-NOAA [9].
Resolusi spasial luaran model ini adalah 25 km, dan
resolusi temporal 1 jam. Input lain yang adalah data
topografi dari USGS. Running model dilakukan
dengan resolusi 25km yang mencakup wilayah
Indonesia (Gambar 2). Two way nesting dengan
domain global GFS untuk prakiraan per jam hingga
jangka waktu 72 jam ke depan. Ringkasan skema fisika
dari WRF-Default (WRF-EXP) dan WRF-BMJ
diberikan pada Tabel 1. Skema parameterisasi yang
digunakan adalah skema Betts Miller Janjic (WRFBMJ) berdasarkan hasil penelitian sebelumnya [3].
Variabel prediksi WRF yang dievaluasi adalah
temperatur (T) per 3 jam. Nilai variable yang di
prediksi pada lokasi stasiun meteorologi Fo, diperoleh
dengan interpolasi Krigging berikut:
Wi adalah nilai bobot fungsi jarak yang diperoleh
dengan menyelesaikan persamaan matrix (2), Fi
merupakan nilai variabel prakiraan pada grid i, dan Cij
adalah fungsi kovarian jarak i ke j.
(2)
Jumlah grid yang digunakan diseleksi berdasarkan
nilai bobot beberapa grid dalam radius 1.5x jarak
diagonal kotak grid WRF dari posisi stasiun. Jika
bobot negatif, titik grid dieliminasi dan nilai bobot
untuk titik lainnya dihitung kembali. Perhitungan
dilakukan berulang sampai semua titik grid tersisa
mempunyai nilai bobot positif, sehingga bisa
didapatkan 4 atau 6 titik stasiun yang berbeda
tergantung posisi stasiun dalam grid WRF.
Variabel Temperature hasil luaran model WRF
dievaluasi dalam perioda musim yaitu perioda DJF,
MAM, JJA dan SON untuk prediksi hari pertama dan
prediksi hari kedua. Karena dalam menjalankan WRF,
prakiraan dibuat mulai jam 12 UTC, maka prediksi
hari pertama mencakup prediksi: 12, 15, 18, 21, 24, 27,
30, 33 jam dan prediksi hari kedua mencakup prediksi:
36, 39, 42, 45, 48, 51, 54, 57 jam. Variabel Temperature
dievaluasi berdasarkan nilai korelasi, bias (mean
error), standart deviasi, dan bias relatif model.
PENGARUH TOPOGRAFI DAN LUAS DARATAN MODEL WRF.................................................... Thahir Daniel F. Hutapea, dkk
181
Gambar 2. Sebaran 70 stasiun meteorologi terpilih
Tabel 1. 70 Stasiun Observasi Terpilih
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 16 NO. 3 TAHUN 2015 : 179-187
182
Tabel 2. Skema Fisika pengoperasian WRF
Parameter
Dynamics
Cumulus Scheme
Microphysic Scheme
PBL Scheme
Land Surface Scheme
Surface Layer Physic
WRF-BMJ
Non-Hydrostatic
Betts-Miller-Janjic[1994] [10].
Lin, et al[1983] [11]
Yonsei University[2006] [12]
Noah 4-Layer LSM[2001] [13]
Monin-Obukov[1954] [14]
Gambar 3. Domain Indonesia dan sekitarnya untuk
running WRF
3. Hasil dan Pembahasan
Hasil Verifikasi menunjukkan bahwa Model WRF
dengan skema BMJ untuk Temperatur menunjukkan
mean error yang bervariasi pada setiap stasiun dan
musimnya (Gambar 4). Nilai mean error cenderung
menurun pada prediksi hari kedua.
Pada musim DJF, nilai korelasi terkecil ditunjukkan
oleh stasiun Sumbawa Besar dan Bau-bau dengan nilai
mean error 0.05 dan nilai mean error terbesar
ditunjukkan oleh stasiun Masamba dengan nilai -4.05.
Pada musim MAM nilai mean error terkecil
ditunjukkan oleh stasiun Cilacap dan Banjarmasin
dengan nilai 0.01 dan 0.02, nilai mean error terbesar
ditunjukkan oleh stasiun Citeko dan Masamba dengan
nilai -4.37 dan 2.37. Pada musim JJA nilai mean error
terkecil ditunjukkan oleh stasiun Tarakan dan Bau-bau
dengan nilai 0.04 dan 0.05, sedangkan nilai mean error
terbesar ditunjukkan oleh stasiun Masamba dengan
mean error -4.82. Pada musim SON nilai mean error
terkecil ditunjukkan oleh stasiun Sintang dan Medan
dengan nilai -0.01 dan 0.04 dan nilai terbesar di
tunjukkan oleh stasiun Masamba dan Citeko dengan
nilai -5.42 dan 2.62. Nilai ini turun pada prediksi hari
kedua pada stasiun dan musim yang sama pada
prediksi hari pertama.
Untuk prediksi hari pertama nilai mean error besar
pada tiap-tiap musim ditunjukkan oleh 5 stasiun yaitu
Stasiun Masamba, Citeko, Bima, Banyuwangi dan
Luwuk, dengan nilai mean error yang tertinggi di
tunjukkan oleh stasiun Masamba dengan nilai mean
error -5.42 dan Citeko dengan nilai mean error 3.0.
Stasiun-stasiun dengan bias yang besar berada pada
daerah pegunungan, hal ini disebabkan perbedaan
elevasi model dengan elevasi sebenarnya pada stasiun
observasi.
Gambar 4. Mean error Temperatur Permukaan WRF dengan Observasi, Prediksi Hari Pertama dan Hari Ke Dua
PENGARUH TOPOGRAFI DAN LUAS DARATAN MODEL WRF.................................................... Thahir Daniel F. Hutapea, dkk
183
Gambar 5. Nilai Mean error Temperatur WRF dan nilai selisih elevasi stasiun, Prediksi Hari Pertama dan Kedua
Grafik pada gambar 5 menjelaskan bahwa pola selisih
ketinggan antara model dan stasiun observasi dan pola
rata-rata mean error adalah sama, hal ini menjelaskan
bahwa perbedaan ketinggian antara model dan stasiun
observasi menyebabkan perbedaan karakteristik data
yang dihasilkan oleh model dengan data obervasi.
Hasil Verifikasi menunjukkan bahwa Model WRF
dengan skema BMJ untuk Temperatur pada umumnya
koefisien korelasi cukup bervariasi pada setiap stasiun
dan pada setiap musimnya(Gambar 6). Untuk prediksi
hari pertama nilai korelasi rendah pada tiap-tiap
musim ditunjukkan oleh 5 stasiun yaitu stasiun
Singkep, Bawean, Maumere, Tahuna, dan Tual dengan
nilai korelasi -0.15 sampai 0.37. Nilai koefisien
korelasi ini cenderung menurun pada prediksi hari
kedua.
Hal ini disebabkan karena posisi stasiun-stasiun
tersebut berada di pulau-pulau kecil yang
menyebabkan model kurang tepat dalam penentuan
referensi grid antara titik stasiun dan model serta
antara wilayah daratan dan lautan.Resolusi 25 km
yang digunakan pada model menyebabkan titik stasiun
didefenisikan sebagai wilayah lautan oleh model, hal
ini dapat menyebabkan karakteristik data yang
berbeda antara data observasi dan data yang di
hasilkan oleh model. Sirkulasi lokal seperti angin darat
dan angin laut yang kuat memengaruhi wilayah stasiun
yang belum dapat di representasikan oleh model secara
tepat [15].Nilai koefisien korelasi pada stasiun-stasiun
yang lainnya menunjukkan nilai yang cukup baik.
Pada musim DJF nilai korelasi tertinggi ditunjukkan
oleh stasiun Banda Aceh dengan nilai 0.85 dan nilai
terendah ditunjukkan oleh stasiun Amahai dengan
korelasi 0.18. Pada musim MAM nilai koefisien
korelasi tertinggi ditunjukkan oleh stasiun Pekanbaru
dengan nilai korelasi 0.80 dan terendah ditunjukkan
oleh stasiun tarakan dengan nilai korelasi 0.29. Pada
musim JJA nilai koefisien korelasi tertinggi
ditunjukkan oleh stasiun Palembang, Serang,
Sumbawa Besar, dan Bima dengan nilai korelasi 0.85
dan nilai korelasi terendah ditunjukkan oleh stasiun
Denpasar dengan nilai 0.35. Pada musim SON nilai
koefisien korelasi tertinggi ditunjukkan oleh stasiun
Kupang dengan nilai korelasi 0.86 dan nilai terendah di
tunjukkan oleh stasiun Tarakan dengan nilai korelasi
0.37. Nilai koefisien korelasi ini cenderung menurun
pada prediksi hari kedua pada stasiun dan musim yang
sama pada prediksi hari pertama.
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 16 NO. 3 TAHUN 2015 : 179-187
184
Gambar 6. Koefisien Korelasi Temperatur WRF dengan Observasi, Prediksi Hari Pertama dan Kedua
Gambar 7. Scatter Plots Temperatur (oC) Model WRF vs Stasiun Observasi (a) Lhokseumawe, (b) Cengkareng, (c) Pontianak,
(d) Bawean, dan (e) Singkep Bulan Juni 2012 - Mei 2013
PENGARUH TOPOGRAFI DAN LUAS DARATAN MODEL WRF.................................................... Thahir Daniel F. Hutapea, dkk
185
Gambar 7 menunjukkan scatter plots dari prediksi
temperatur model WRF dengan data pengamatan dari
beberapa stasiun-stasiun observasi yang mewakili
stasiun yang berada pada pulau kecil yaitu stasiun
Bawean dan Singkep, dan mewakili pulau besar di
wilayah Indonesia yaitu stasiun Lhokseumawe,
Cengkareng dan Pontianak. Hasil analisis statistik di
tampilkan pada tabel 3,
hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa model WRF lebih baik dalam
melakukan prediksi temperatur pada Pulau-pulau
besar (mainland) dibandingkan dengan prediksi pada
pulau-pulau kecil.
Nilai korelasi pada stasiun yang berada pada pulaupulau besar (mainland) menunjukkan nilai korelasi
yang baik dengan nilai standart deviasi yang kecil
dibandingkan dengan stasiun yang berada pada pulaupulau kecil di Indonesia, seperti di Pulau Singkep dan
Pulau Bawean (Gambar 8). Model WRF menunjukan
performa yang cukup baik dalam prediksi temperatur
pada pulau-pulau besar (mainland) hal ini ditunjukkan
dari nilai bias relatif 4%-5%, sedangkan pada pulaupulau kecil nilai bias relatif berkisar 6%-9%, hal ini
menunjukkan bahwa model memiliki bias yang cukup
besar dalam prediksi temperatur.
Tabel 3. Analisis statistik Temperatur Stasiun Observasi
vs Output Model WRF
Lhokseumawe
0.72
Standart
Deviasi
1.51
Cengkareng
0.75
1.52
4%
Pontianak
0.70
1.45
4%
Bawean
0.01
2.02
6%
Singkep
0.02
2.53
9%
Stasiun
Korelasi
Bias
Relatif
5%
Gambar 8. Peta Pulau Singkep dan Pulau Bawean
4. Kesimpulan
Hasil verifikasi antara data model dan observasi
menunjukkan nilai mean error yang sangat besar pada
wilayah pegunungan dengan nilai -5.42 dan 3.0.
Perbedaan hasil luaran antara model dengan data
obervasi disebabkan karena perbedaan ketinggian
topografi antara model dan stasiun observasi yang
cukup besar.
Hasil verifikasi output prediksi model WRF terhadap
observasi memiliki nilai korelasi yang sangat rendah
dengan nilai standart deviasi dan bias relatif yang besar
untuk wilayah pulau-pulau kecil di bandingkan dengan
wilayah paulau-pulau besar (maindland). Kondisi ini
disebabkan resolusi 25 km yang digunakan model
WRF dalam penelitian ini masih terlalu besar,
sehingga luas daratan tidak tergambarkan dengan baik
oleh model.
Ucapan Terima Kasih. Ucapan terima kasih
disampaikan kepada Bapak Prof. Eddy Hermawan
yang telah membimbing dalam penulisan karya tulis
ilmiah ini.
Daftar Pustaka
[1] Bayong Tjasyono HK dan Sri Woro B. Harijono,
2012 : Atmosfir Ekuatorial. Jakarta:Pusat
Penelitian dan pengembangan BMKG.
[2] http://www.meted.ucar.edu/nwp/model_preci
pandclouds/navmenu.php?tab=1&page=3.1.0,
diakses tanggal 10 April 2014.
[3] Puslitbang BMKG. (2012). Pengembangan Model
Bidang Meteorologi Weather research and
forecasting (WRF) Tahap II. Laporan
Penelitian. Puslitbang BMKG, Jakarta.
[4] National Center for Atmospheric Research. (2011).
User's Guide describes the Advanced Research
WRF (ARW) Version 3.3 modeling. . USA.
[5] Betts, A.K., 1973b: Non-precipitating cumulus
convection and its parametrization. Quart. J. R.
[6] Arakawa, A., and W.H. Schubert, 1974: Interaction
of a cumulus cloud ensemble with the
largescale environment, Part I. J. Atmos. Sci.,
31, 674-701
[7] Lord, S. J., 1982: Interaction of a cumulus cloud
ensemble with the large-scale environment.
Part III: Semi-prognostic test of the ArakawaSchubert cumulus arameterization. J. Atmos.
Sci., 39, 88-103.
[8] BMKG. (2012). Database Synop. Pusat Data Base
BMKG. Jakarta.
[9] National Center for Environmental Prediction
(NCEP), NOAA. (2011). NCEP Operational
Data (WRF inputs): 1-degree FNLs.
http://dss.ucar.edu. USA.
[10] Janjic', Z.I., 1994: The step-mountain eta
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 16 NO. 3 TAHUN 2015 : 179-187
186
coordinate model: Further developments of the
convection, viscous sublayer, and turbulence
closure schemes. Mon. Wea. Rev., 122, 927945.
[11] Lin, Y.-L., R. D. Farley, and H. D. Orville, 1983:
Bulk parame-terization of the snow field in a
cloud model. J. Climate Appl.Meteor.,
22,1065–1092.
[12] Chen, Fei, Jimy Dudhia, 2001: Coupling an
Advanced Land Surface–Hydrology Model
with the Penn State–NCAR MM5 Modeling
System. Part II: Preliminary Model Validation.
Mon. Wea. Rev., 129, 587–604. doi:
http://dx.doi.org/10.1175/15200493(2001)129<0587:CAALSH>2.0.CO;2
[13] Hong, S. Y., Y. Noh, and J. Dudhia (2006), A new
vertical diffusion package with an explicit
treatment of entrainment processes, Mon
Weather Rev, 134(9), 2318-2341, DOI:
10.1175/Mwr3199.1.
[14] Monin, A.S. and A.M. Obukhov, 1954: Basic laws
of turbulent mixing in the surface layer of the
atmosfer. Contrib. Geophys. Inst. Acad. Sci.,
USSR,(151), 163–187
[15] Cohen, C., 2002: A Comparison of Cumulus
Parameterizations in Idealized Sea-Breeze
Simulations. Mon. Wea. Rev., 130, 2554–2571
PENGARUH TOPOGRAFI DAN LUAS DARATAN MODEL WRF.................................................... Thahir Daniel F. Hutapea, dkk
187
Download