PENGARUH TOPOGRAFI DAN LUAS DARATAN MODEL WRF TERHADAP HASIL PREDIKSI TEMPERATUR PERMUKAAN DI WILAYAH KEPULAUAN INDONESIA THE EFFECT OF TOPOGRAPHY AND LAND AREA OF WRF MODEL ON THE SURFACE TEMPERATURE FORECASTS RESULTS IN INDONESIA ISLANDS * Thahir Daniel F. Hutapea , Roni Kurniawan, Wido Hanggoro Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Jln. Angkasa I No.2, Kemayoran, Jakarta Pusat *E-mail: [email protected] Naskah masuk: 11 Maret 2015; Naskah diperbaiki: 8 Desember 2015; Naskah diterima: 22 Desember 2015 ABSTRAK Model Weather Research and Forecasting (WRF) telah digunakan dalam simulasi dan prediksi cuaca dengan cara melakukan downscaling dari resolusi rendah (global) ke resolusi yang lebih tinggi. Karena pengaruh dari topografi Indonesia, banyak proses atmosfer terjadi dalam skala yang lebih kecil dibandingkan dengan resolusi horizontal model atmosfer, sehingga diperlukan pendekatan fisik dalam melakukan down scaling. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan topografi pada model WRF terhadap hasil prediksi temperatur permukaan di Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Verifikasi terhadap performa model WRF dilakukan dalam perioda monsunal. Verifikasi variabel Temperatur dilakukan berdasarkan nilai mean error atau bias, korelasi, standart deviasi dan bias relatif. Hasil dari analisis mean error menunjukkan nilai yang bervariasi di setiap daerah dan di setiap musimnya. Pada daerah yang terletak wilayah pegunungan menunjukkan nilai mean error yang besar, untuk wilayah yang lainnya pada umumnya menunjukkan nilai mean error yang kecil. Stasiun-stasiun dengan nilai mean error yang besar disebabkan karena perbedaan antara elevasi pada model dan elevasi stasiun observasi. Hasil analisis korelasi secara umum menunjukkan nilai korelasi yang cukup baik disetiap daerah dan musimnya. Perbedaan hasil luaran antara model dengan data obervasi disebabkan karena perbedaan ketinggian topografi antara model dan stasiun observasi yang cukup besar. Sedangkan hasil verifikasi prediksi model WRF untuk pulau pulau kecil diperoleh nilai korelasi yang sangat rendah dengan nilai standart deviasi dan bias relatif yang besar, kondisi ini disebabkan resolusi 25 km yang digunakan model WRF dalam penelitian ini masih terlalu kasar, sehingga luas daratan tidak tergambarkan dengan baik oleh model. Kata kunci : WRF-EMS, Verifikasi, Prediksi Temperatur ABSTRACT Weather Research and Forecasting (WRF) model has been applied to weather simulation and prediction by performing downscaling of global resolution to high resolution. The impact of Indonesian topography,caused many atmospheric processes occur on smaller scales than the horizontal resolution of atmospheric models, some physical component approach is needed in downscaling process. The purpose of this study is to know the effect of WRF models topography and land area to the surface temperature parameter in Indonesia. Verification on WRF model performance has been conducted in monsoonal period. Temperature variable verification is done based on the value of the mean error and correlation. The analyses indicate that the mean error values were varying in each regions and in each seasons. In areas which located on mountainous area showed a high mean error values. At other areas, it generally showed a low mean error values. Stations with high mean error valuewere caused by the difference between model elevation and station elevation. Model and observation data differences were caused by the large difference of topographic height between model and observation. While the verification result of model prediction for small islands shows very low corelation value, with big value in the standard deviation and relative bias; this condition is caused by 25 km resolutions used by the model in this study was too rough, hence the land area is notwell represented by the model. Keywords: WRF-EMS, Verification, Temperature Prediction PENGARUH TOPOGRAFI DAN LUAS DARATAN MODEL WRF.................................................... Thahir Daniel F. Hutapea, dkk 179 1. Pendahuluan Indonesia adalah benua maritim, terdiri dari banyak pulau dengan beragam bentuk ukuran dan variasi topografinya. Lebih dari 70% wilayah Indonesia merupakan lautan, terletak diantara samudera hindia dan samudera pasifik dan berada di antara benua Asia dan Australia. Selain itu, Benua maritim memegang peranan yang unik dalam rangkaian proses cuaca dan iklim regional dan dunia. Kondisi atmosfer di Indonesia adalah tidak stabil dan ditandai oleh proses konveksi kuat, menyebabkan kondisi cuaca di Indonesia sulit untuk diprediksi [1]. Karena pengaruh dari topografi tersebut, banyak proses atmosfer terjadi dalam skala yang lebih kecil dibandingkan dengan resolusi horizontal model atmospher atau iklim. Weather Research and Forecasting (WRF) adalah model regional yang banyak di kembangkan oleh kalangan peneliti di bidang meteorologi. Pilihan model yang di gunakan pada penelitian ini adalah model WRF-EMS (Weather Research and Forecasting – Environment Modeling System). Simulasi dan prediksi cuaca menggunakan model NWP dengan cara melakukan downscaling dari resolusi global (kasar) ke resolusi yang lebih halus (resolusi tinggi), memerlukan pendekatan berbagai komponen fisik. Beberapa pendekatan komponen fisik (parameterisasi ) yang di gunakan antara lain : radiasi, boundary layer, difusi eddy, konvektif dan, mikrofisik [2]. Pendekatan tersebut bertujuan untuk memperkirakan efek yang mempunyai pengaruh cukup besar dari suatu kejadian di atmosfer, namun terlalu kecil atau terlalu rumit untuk di rumuskan secara eksplisit. Resolusi spasial pada model NWP mencerminkan nilai yang sama pada luasan tertentu. Sehingga perubahan pada resolusi spasial ini sangat penting untuk diperhatikan terkait dengan karakteristik lokal wilayah Indonesia yang memiliki topografi yang sangat kompleks seperti pegunungan dan pulau-pulau kecil. Penelitian sebelumnya tentang verifikasi model WRF-EMS di wilayah Indonesia dilakukan oleh Puslitbang BMKG [3], dimana evaluasi dilakukan terhadap prakiraan Temperatur, kelembaban udara, hujan dan angin pada lapisan 1000mb, 850mb, 500mb dan 250mb di stasiun meteorologi Cengkareng dan Juanda, untuk prediksi hujan kategori (dichotomus) hujan/tidak hujan. Tiga skema parameterisasi digunakan yaitu; Betts Miller Janjic, Kain-Fritch dan Grell 3D ensemble, dan diperoleh skema Betts Miller Janjic (WRF-BMJ) menunjukkan hasil yang paling baik diantara 3 skema parameterisasi yang diuji. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada kondisi topografi wilayah Indonesia yang kompleks dan bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan topografi dan luas daratan model WRF terhadap parameter temperatur permukaan di wilayah Indonesia. Model WRF-EMS merupakan model yang di kembangkan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) bekerjasama dengan National Weather Service (NWS), Forecast Decision Training Branch (FDTB), dan Science Operations Officer and Training Resource Center (SOO/STCR). Untuk keperluan prakiraan cuaca model WRF-EMS dinilai sebagai model yang lengkap dan merupakan state-ofthe-science dari produk NWP serta merupakan gabungan dari dua model dinamis yang umum digunakan di dunia pemodelan yaitu Advanced Research WRF (ARW) yang dikembangkan oleh National Center for Atmospheric Research (NCAR) dan non-Hydrostatic Mesoscale Model (NMM) yang dikembangkan oleh National Center for Environmental Prediction (NCEP). Di dalam WRFEMS, hampir semua sistem operasional NWP sudah di-integrasikan termasuk proses pengambilan dan pengolahan data, eksekusi model, pengolahan data output serta migrasi hasil output dan penyimpanan, perangkat lunak untuk menampilkan hasil prakiraan juga terdapat dalam model WRF-EMS tersebut. Sistem operasional WRF-EMS dapat dilihat pada Gambar 1. Skema konvektif Betts-Miller Janjic (BMJ) dibuat untuk mewakili kondisi quasi-equilibrium (Awan konvektif yang menjaga struktur temperatur dan kelembaban di dalam atmosfer) yang terjadi pada konvektif dalam, dan menghindari ketidakpastian yang timbul akibat penentuan parameter-parameter secara tidak langsung yang menggunakan persamaan model awan yang rumit. Konsep quasi-equilibrium antara deep-convection serta large-scale forcing untuk konvektif dangkal diperkenalkan pertama kali oleh Betts [5], sedangkan untuk konvektif dalam diperkenalkan oleh Arakawa dan Schubert [6]. Pada skala yang luas serta rentang waktu yang lama konsep quasi-equilibrium sudah sangat baik diterapkan[7]. Beberapa kelebihan pada skema ini antara lain adalah (a) Baik digunakan pada lingkungan yang lembab, (b) Memperlakukan elevated-convection lebih baik daripada skema-skema lainnya, (c) merupakan skema konvektif yang paling efektif dalam mencegah skema mikrofisik membentuk proses konveksi, dan (d) Tidak memerlukan perhitungan yang banyak. JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 16 NO. 3 TAHUN 2015 : 179-187 180 Gambar 1. Sistem Operasional WRF-EMS [4] 2. Metode Penelitian (1) Data yang di gunakan untuk melakukan verifikasi terhadap output model WRF-EMS adalah data observasi (synop) 70 stasiun terpilih di seluruh wilayah indonesia, pada periode juni 2012 - mei 2013 (Gambar 2). Data di decode dari koleksi bulanan sandi synop yang tersedia pada WEB data base BMKG [8]. Pemilihan data synop dari stasiun dilakukan berdasarkan ketersediaan data setiap bulannya, data synop akan digunakan dalam penelitian ini jika frekuensi data pada jam observasi mencapai rata-rata lebih dari 27 hari perbulan selama periode Juni 2012Mei 2013, kontrol kualitas data juga dilakukan terhadap stasiun-stasiun terpilih, dimana data yang tidak masuk akal dianggap tidak ada (missing data). Input untuk initial condition yang digunakan dalam pengoperasian model WRF adalah luaran Global Forecasting System (GFS) pada jam 12 UTC, yang secara rutin di download dari NCEP-NOAA [9]. Resolusi spasial luaran model ini adalah 25 km, dan resolusi temporal 1 jam. Input lain yang adalah data topografi dari USGS. Running model dilakukan dengan resolusi 25km yang mencakup wilayah Indonesia (Gambar 2). Two way nesting dengan domain global GFS untuk prakiraan per jam hingga jangka waktu 72 jam ke depan. Ringkasan skema fisika dari WRF-Default (WRF-EXP) dan WRF-BMJ diberikan pada Tabel 1. Skema parameterisasi yang digunakan adalah skema Betts Miller Janjic (WRFBMJ) berdasarkan hasil penelitian sebelumnya [3]. Variabel prediksi WRF yang dievaluasi adalah temperatur (T) per 3 jam. Nilai variable yang di prediksi pada lokasi stasiun meteorologi Fo, diperoleh dengan interpolasi Krigging berikut: Wi adalah nilai bobot fungsi jarak yang diperoleh dengan menyelesaikan persamaan matrix (2), Fi merupakan nilai variabel prakiraan pada grid i, dan Cij adalah fungsi kovarian jarak i ke j. (2) Jumlah grid yang digunakan diseleksi berdasarkan nilai bobot beberapa grid dalam radius 1.5x jarak diagonal kotak grid WRF dari posisi stasiun. Jika bobot negatif, titik grid dieliminasi dan nilai bobot untuk titik lainnya dihitung kembali. Perhitungan dilakukan berulang sampai semua titik grid tersisa mempunyai nilai bobot positif, sehingga bisa didapatkan 4 atau 6 titik stasiun yang berbeda tergantung posisi stasiun dalam grid WRF. Variabel Temperature hasil luaran model WRF dievaluasi dalam perioda musim yaitu perioda DJF, MAM, JJA dan SON untuk prediksi hari pertama dan prediksi hari kedua. Karena dalam menjalankan WRF, prakiraan dibuat mulai jam 12 UTC, maka prediksi hari pertama mencakup prediksi: 12, 15, 18, 21, 24, 27, 30, 33 jam dan prediksi hari kedua mencakup prediksi: 36, 39, 42, 45, 48, 51, 54, 57 jam. Variabel Temperature dievaluasi berdasarkan nilai korelasi, bias (mean error), standart deviasi, dan bias relatif model. PENGARUH TOPOGRAFI DAN LUAS DARATAN MODEL WRF.................................................... Thahir Daniel F. Hutapea, dkk 181 Gambar 2. Sebaran 70 stasiun meteorologi terpilih Tabel 1. 70 Stasiun Observasi Terpilih JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 16 NO. 3 TAHUN 2015 : 179-187 182 Tabel 2. Skema Fisika pengoperasian WRF Parameter Dynamics Cumulus Scheme Microphysic Scheme PBL Scheme Land Surface Scheme Surface Layer Physic WRF-BMJ Non-Hydrostatic Betts-Miller-Janjic[1994] [10]. Lin, et al[1983] [11] Yonsei University[2006] [12] Noah 4-Layer LSM[2001] [13] Monin-Obukov[1954] [14] Gambar 3. Domain Indonesia dan sekitarnya untuk running WRF 3. Hasil dan Pembahasan Hasil Verifikasi menunjukkan bahwa Model WRF dengan skema BMJ untuk Temperatur menunjukkan mean error yang bervariasi pada setiap stasiun dan musimnya (Gambar 4). Nilai mean error cenderung menurun pada prediksi hari kedua. Pada musim DJF, nilai korelasi terkecil ditunjukkan oleh stasiun Sumbawa Besar dan Bau-bau dengan nilai mean error 0.05 dan nilai mean error terbesar ditunjukkan oleh stasiun Masamba dengan nilai -4.05. Pada musim MAM nilai mean error terkecil ditunjukkan oleh stasiun Cilacap dan Banjarmasin dengan nilai 0.01 dan 0.02, nilai mean error terbesar ditunjukkan oleh stasiun Citeko dan Masamba dengan nilai -4.37 dan 2.37. Pada musim JJA nilai mean error terkecil ditunjukkan oleh stasiun Tarakan dan Bau-bau dengan nilai 0.04 dan 0.05, sedangkan nilai mean error terbesar ditunjukkan oleh stasiun Masamba dengan mean error -4.82. Pada musim SON nilai mean error terkecil ditunjukkan oleh stasiun Sintang dan Medan dengan nilai -0.01 dan 0.04 dan nilai terbesar di tunjukkan oleh stasiun Masamba dan Citeko dengan nilai -5.42 dan 2.62. Nilai ini turun pada prediksi hari kedua pada stasiun dan musim yang sama pada prediksi hari pertama. Untuk prediksi hari pertama nilai mean error besar pada tiap-tiap musim ditunjukkan oleh 5 stasiun yaitu Stasiun Masamba, Citeko, Bima, Banyuwangi dan Luwuk, dengan nilai mean error yang tertinggi di tunjukkan oleh stasiun Masamba dengan nilai mean error -5.42 dan Citeko dengan nilai mean error 3.0. Stasiun-stasiun dengan bias yang besar berada pada daerah pegunungan, hal ini disebabkan perbedaan elevasi model dengan elevasi sebenarnya pada stasiun observasi. Gambar 4. Mean error Temperatur Permukaan WRF dengan Observasi, Prediksi Hari Pertama dan Hari Ke Dua PENGARUH TOPOGRAFI DAN LUAS DARATAN MODEL WRF.................................................... Thahir Daniel F. Hutapea, dkk 183 Gambar 5. Nilai Mean error Temperatur WRF dan nilai selisih elevasi stasiun, Prediksi Hari Pertama dan Kedua Grafik pada gambar 5 menjelaskan bahwa pola selisih ketinggan antara model dan stasiun observasi dan pola rata-rata mean error adalah sama, hal ini menjelaskan bahwa perbedaan ketinggian antara model dan stasiun observasi menyebabkan perbedaan karakteristik data yang dihasilkan oleh model dengan data obervasi. Hasil Verifikasi menunjukkan bahwa Model WRF dengan skema BMJ untuk Temperatur pada umumnya koefisien korelasi cukup bervariasi pada setiap stasiun dan pada setiap musimnya(Gambar 6). Untuk prediksi hari pertama nilai korelasi rendah pada tiap-tiap musim ditunjukkan oleh 5 stasiun yaitu stasiun Singkep, Bawean, Maumere, Tahuna, dan Tual dengan nilai korelasi -0.15 sampai 0.37. Nilai koefisien korelasi ini cenderung menurun pada prediksi hari kedua. Hal ini disebabkan karena posisi stasiun-stasiun tersebut berada di pulau-pulau kecil yang menyebabkan model kurang tepat dalam penentuan referensi grid antara titik stasiun dan model serta antara wilayah daratan dan lautan.Resolusi 25 km yang digunakan pada model menyebabkan titik stasiun didefenisikan sebagai wilayah lautan oleh model, hal ini dapat menyebabkan karakteristik data yang berbeda antara data observasi dan data yang di hasilkan oleh model. Sirkulasi lokal seperti angin darat dan angin laut yang kuat memengaruhi wilayah stasiun yang belum dapat di representasikan oleh model secara tepat [15].Nilai koefisien korelasi pada stasiun-stasiun yang lainnya menunjukkan nilai yang cukup baik. Pada musim DJF nilai korelasi tertinggi ditunjukkan oleh stasiun Banda Aceh dengan nilai 0.85 dan nilai terendah ditunjukkan oleh stasiun Amahai dengan korelasi 0.18. Pada musim MAM nilai koefisien korelasi tertinggi ditunjukkan oleh stasiun Pekanbaru dengan nilai korelasi 0.80 dan terendah ditunjukkan oleh stasiun tarakan dengan nilai korelasi 0.29. Pada musim JJA nilai koefisien korelasi tertinggi ditunjukkan oleh stasiun Palembang, Serang, Sumbawa Besar, dan Bima dengan nilai korelasi 0.85 dan nilai korelasi terendah ditunjukkan oleh stasiun Denpasar dengan nilai 0.35. Pada musim SON nilai koefisien korelasi tertinggi ditunjukkan oleh stasiun Kupang dengan nilai korelasi 0.86 dan nilai terendah di tunjukkan oleh stasiun Tarakan dengan nilai korelasi 0.37. Nilai koefisien korelasi ini cenderung menurun pada prediksi hari kedua pada stasiun dan musim yang sama pada prediksi hari pertama. JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 16 NO. 3 TAHUN 2015 : 179-187 184 Gambar 6. Koefisien Korelasi Temperatur WRF dengan Observasi, Prediksi Hari Pertama dan Kedua Gambar 7. Scatter Plots Temperatur (oC) Model WRF vs Stasiun Observasi (a) Lhokseumawe, (b) Cengkareng, (c) Pontianak, (d) Bawean, dan (e) Singkep Bulan Juni 2012 - Mei 2013 PENGARUH TOPOGRAFI DAN LUAS DARATAN MODEL WRF.................................................... Thahir Daniel F. Hutapea, dkk 185 Gambar 7 menunjukkan scatter plots dari prediksi temperatur model WRF dengan data pengamatan dari beberapa stasiun-stasiun observasi yang mewakili stasiun yang berada pada pulau kecil yaitu stasiun Bawean dan Singkep, dan mewakili pulau besar di wilayah Indonesia yaitu stasiun Lhokseumawe, Cengkareng dan Pontianak. Hasil analisis statistik di tampilkan pada tabel 3, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa model WRF lebih baik dalam melakukan prediksi temperatur pada Pulau-pulau besar (mainland) dibandingkan dengan prediksi pada pulau-pulau kecil. Nilai korelasi pada stasiun yang berada pada pulaupulau besar (mainland) menunjukkan nilai korelasi yang baik dengan nilai standart deviasi yang kecil dibandingkan dengan stasiun yang berada pada pulaupulau kecil di Indonesia, seperti di Pulau Singkep dan Pulau Bawean (Gambar 8). Model WRF menunjukan performa yang cukup baik dalam prediksi temperatur pada pulau-pulau besar (mainland) hal ini ditunjukkan dari nilai bias relatif 4%-5%, sedangkan pada pulaupulau kecil nilai bias relatif berkisar 6%-9%, hal ini menunjukkan bahwa model memiliki bias yang cukup besar dalam prediksi temperatur. Tabel 3. Analisis statistik Temperatur Stasiun Observasi vs Output Model WRF Lhokseumawe 0.72 Standart Deviasi 1.51 Cengkareng 0.75 1.52 4% Pontianak 0.70 1.45 4% Bawean 0.01 2.02 6% Singkep 0.02 2.53 9% Stasiun Korelasi Bias Relatif 5% Gambar 8. Peta Pulau Singkep dan Pulau Bawean 4. Kesimpulan Hasil verifikasi antara data model dan observasi menunjukkan nilai mean error yang sangat besar pada wilayah pegunungan dengan nilai -5.42 dan 3.0. Perbedaan hasil luaran antara model dengan data obervasi disebabkan karena perbedaan ketinggian topografi antara model dan stasiun observasi yang cukup besar. Hasil verifikasi output prediksi model WRF terhadap observasi memiliki nilai korelasi yang sangat rendah dengan nilai standart deviasi dan bias relatif yang besar untuk wilayah pulau-pulau kecil di bandingkan dengan wilayah paulau-pulau besar (maindland). Kondisi ini disebabkan resolusi 25 km yang digunakan model WRF dalam penelitian ini masih terlalu besar, sehingga luas daratan tidak tergambarkan dengan baik oleh model. Ucapan Terima Kasih. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Prof. Eddy Hermawan yang telah membimbing dalam penulisan karya tulis ilmiah ini. Daftar Pustaka [1] Bayong Tjasyono HK dan Sri Woro B. Harijono, 2012 : Atmosfir Ekuatorial. Jakarta:Pusat Penelitian dan pengembangan BMKG. [2] http://www.meted.ucar.edu/nwp/model_preci pandclouds/navmenu.php?tab=1&page=3.1.0, diakses tanggal 10 April 2014. [3] Puslitbang BMKG. (2012). Pengembangan Model Bidang Meteorologi Weather research and forecasting (WRF) Tahap II. Laporan Penelitian. Puslitbang BMKG, Jakarta. [4] National Center for Atmospheric Research. (2011). User's Guide describes the Advanced Research WRF (ARW) Version 3.3 modeling. . USA. [5] Betts, A.K., 1973b: Non-precipitating cumulus convection and its parametrization. Quart. J. R. [6] Arakawa, A., and W.H. Schubert, 1974: Interaction of a cumulus cloud ensemble with the largescale environment, Part I. J. Atmos. Sci., 31, 674-701 [7] Lord, S. J., 1982: Interaction of a cumulus cloud ensemble with the large-scale environment. Part III: Semi-prognostic test of the ArakawaSchubert cumulus arameterization. J. Atmos. Sci., 39, 88-103. [8] BMKG. (2012). Database Synop. Pusat Data Base BMKG. Jakarta. [9] National Center for Environmental Prediction (NCEP), NOAA. (2011). NCEP Operational Data (WRF inputs): 1-degree FNLs. http://dss.ucar.edu. USA. [10] Janjic', Z.I., 1994: The step-mountain eta JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 16 NO. 3 TAHUN 2015 : 179-187 186 coordinate model: Further developments of the convection, viscous sublayer, and turbulence closure schemes. Mon. Wea. Rev., 122, 927945. [11] Lin, Y.-L., R. D. Farley, and H. D. Orville, 1983: Bulk parame-terization of the snow field in a cloud model. J. Climate Appl.Meteor., 22,1065–1092. [12] Chen, Fei, Jimy Dudhia, 2001: Coupling an Advanced Land Surface–Hydrology Model with the Penn State–NCAR MM5 Modeling System. Part II: Preliminary Model Validation. Mon. Wea. Rev., 129, 587–604. doi: http://dx.doi.org/10.1175/15200493(2001)129<0587:CAALSH>2.0.CO;2 [13] Hong, S. Y., Y. Noh, and J. Dudhia (2006), A new vertical diffusion package with an explicit treatment of entrainment processes, Mon Weather Rev, 134(9), 2318-2341, DOI: 10.1175/Mwr3199.1. [14] Monin, A.S. and A.M. Obukhov, 1954: Basic laws of turbulent mixing in the surface layer of the atmosfer. Contrib. Geophys. Inst. Acad. Sci., USSR,(151), 163–187 [15] Cohen, C., 2002: A Comparison of Cumulus Parameterizations in Idealized Sea-Breeze Simulations. Mon. Wea. Rev., 130, 2554–2571 PENGARUH TOPOGRAFI DAN LUAS DARATAN MODEL WRF.................................................... Thahir Daniel F. Hutapea, dkk 187