Hukum Kewarisan Islam Dan Tindakan

advertisement
1
2
HUKUM KEWARISAN ISLAM DAN TINDAKAN EUTHANASIA
oleh:
H. Abu Bakar, SH. MH.1
Abstract
This simple article is intended to provide for a consultation thorny issues in Islamic
inheritance law, particularly for judges the Religious and General Courts in dealing
with inheritance issues, mainly related to crime against human life. Then, referring to
what has been described in this paper, one can draw some conclusions as follows:
First, euthanasia means "the act of turning off people to lighten (the burden) the
suffering of the people who are going through agony." The term euthanasia has been
known since the days of Ancient Greece. Today, the practice of euthanasia already
exists in several countries in the world. In Indonesia allegedly occurred euthanasia
passive / negative, especially with consideration of economic factors. However, in the
face of people who somehow condition, physicians should make every effort to save the
lives of patients. Secondly, euthanasia can be referred to as active euthanasia /
positive, ie when the action in that direction. And so-called passive / negative if no
action at all in the direction of treatment, but let it alone until the patient dies slowly
by itself. Third, there is a doctor in the medical world that accelerates the death of a
patient who is an acute / chronic illness with no hope of recovery at the request of the
patient himself / her immediate family or without a request from any party. This case is
called active euthanasia / positive.
Key words: Islamic Inheritance Law,Action of euthanasia.
I.
Pendahuluan
ISLAM hadir untuk memperbaiki apa yang salah dan kurang dalam realitas
manusia, disesuaikan dengan nilai-nilai universal Islam, nilai-nilai yang sejalan
dengan fithrah(‫)فطرة‬2 kesejatian manusia.Setiap nilai yang bertentangan dengan
prinsip-prinsipfithrah, akan ditolak dan dijadikan momentum untuk memperbaruinilai
1
Penulis mahasiswa program doktor Ilmu Hukum Univwesitas Islam Asy-Syafiiyah Jakarta.
Prinsip fitrah atau kejadian asal manusia ini disimpulkan dari al-Qur‟an yang menegaskan,
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu hendak mengembangkan anak keturunan Adam, dari benih-benih
mereka (umat manusia), kemudian Tuhan meminta mereka bersaksi, „Benarkan Aku ini Tuhan
kalian?‟ Mereka menjawab, „Ya, benar, kami semua bersaksi (Engkau adalah Tuhan kami!).‟ Maka
janganlah kamu kelak berkata, „Sungguh, kami semua lupa dengan isi perjanjian ini‟.” (Qs. Al-`A‟râf
[7]: 172). Lihat juga penjelasan Qs. 91: 7-8; juga Qs. 30:30. Ayat ini sesuai dengan sabda Rasulullah
saw (riwayat Bukhari Muslim), “Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fithrah. …— ‫كل مولود يولد علي‬
‫ “الفطرة‬Penjelasan lebih menarik tentang makna fitrah ini, lihat Nurcholish Madjid, Islam,
Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1994), cet., ke-6, h. 53-54; Bandingkan juga
dengan, Muhammad Asad, The Message of the Qur’an (London, E.J. Brill, 1980), h. 230, catatan kaki
139).
2
3
tersebut agar sejalan dengan nilai-nilai asasi yang tertuang di dalam dua pedoman
pokokumat Islam:al-Qur‟an (al-Kitab), al-Hadits (al-Sunnah).3
Masyarakat Arab Jahiliyah,merupakan salah satu dari bangsa yang gemar
mengembara dan berperang. Kehidupan mereka, di samping mengandalkan hasil
perniagaan, juga bergantung pada hasil jarahan dan rampasan perang dari bangsabangsa lain yang mereka taklukkan, selebihnya adalah berharap pada harta warisan
keluarga. Interaksi sosial dalam bidang muamalat dan pembagian harta pusaka,
mereka berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang telah diwariskan oleh nenekmoyang mereka secara turun-temurun. Tradisi pembagian harta pusaka yang telah
diwarisi dari leluhur mereka itu, terdapat suatu ketentuan utama bahwa “anak-anak
yang belum dewasa dan kaum perempuan, masing-masing dilarang mempusakai harta
peninggalan dari ahli warisnya yang telah meninggal dunia.”4
Ketentuan ini berlaku sampai Islam hadir di tengah-tengah masyarakat Arab
musyrik, kemudian melalui Islam pula, prinsip-prinsip waris yang tidak sejalan
dengan prinsip Islam, diabrogasikan (dihapus, dilarat), tetapi yang masih sejalan
dengan prinsip-prinsip universal Islam, akan dipertahankan dan dipelihara sebagai
bagian dari prinsip-prinsip hukum Islam itu sendiri.5Bukankah kehadiran Islam
adalah menyempurnakan agama-agama yang telah lalu, yakni agama-agama yang
dibawa oleh para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad saw? Kontinuitas „ide
dasar‟ sebuah agama—seperti ide tauhid (mengesakan Allah)—merupakan warisan
3
Penggunaan istilah al-Kitab untuk menunjuk pada al-Qur‟an dan istilah al-Sunnah untuk
menunjuk pada al-Hadits. Hal ini dilakukan dengan merujuk pada pernyataan Muadz bin Jabal ketika
ia dan Abu Musa al-Asy‟ari diutus oleh Rasulullah saw ke Yaman sebagai hakim di sana, Muaz lalu
menjawab kepada Nabi saw tatkala beliau bertanya, “Dengan apa engkau hendak memutuskan suatu
perkara di kalangan umat Islam?” Muaz menjawab bahwa dia akan merujuk pada al-Kitab, jika tidak
ditemukan maka dia akan merujuk pada al-Sunnah, jika tidak ada juga maka dia akan ber-ijtihad
dengan menggunakan akalnya. Lihat, Al-Ihkam, Juz III, h. 77. Hadits Muadz ada-lah mursal
diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Tarmidzi.
4
Lihat, Prof. Dr. Fatchur-Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1981), Cet. ke-1, h.
11. Buku ini ditulis oleh seorang pakar Ilmu Waris Islam dan Gurubesar Fakultas Syari‟ah dan
Tarbiyah IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan diberikan Kata Pengantar oleh Prof. Dr.
Muchtar Yahya, seorang pakar Tafsir-Hadits dari Fakultas Syari‟ah dan tarbiyah IAIN (UIN) Sunan
Kalijaga, Yogyarakarta.
5
Dilihat dari perspektif filsafat hukum Islam, ada rumusan qaidah ushuliyah yang menegaskan bahwa, ‫( اَا ْلل َا َادةُة ُةم َا َّك َا ٌة‬Tradisi itu menjadi hukum). Tentu saja yang dimaksudkan dengan “tradisi”
dalam masyarakat di sini adalah tradisi yang positif, bukan tradisi yang negative. Ukuran positif dan
negatif dalam suatu ketentuan hukum adat, sudah pasti diukur dari nilai-nilai universal dalam Islam itu
sendiri, dalam hal ini adalah al-Qur‟an dan al-Hadits. Seperti diperkuat oleh qaidah berikut ini, ‫اَا ْلل َا ْل رُةوْل فُة‬
‫( عُةرْل فً َاك ْلل َا ْلشرُةوْل ِط ُةشرْل ًع‬Sesuatu yang baik yang telah ditetapkan oleh `urf (tradisi), sama dengan
disyariatkan oleh syara‟). Lihat, Hasbi Ash-Shidqiy, Pengantar Hukum Islam II, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981), Cet. ke-6, h. 114
4
langsung dari agama-agama sebelumnya yang telah diturunkan Allah ke muka bumi,
seperti agama Yahudi maupun Nashrani.6
Sebutlah misalnya, tradisi mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, misalnya, adalah fitrah manusia. Dan, Islam sangat menghormati orangorang yang bekerja keras dalam mencari nafkah. Bahkan Islam memberikan nilai
sangat tinggi atas orang-orang yang disebut sebagai „pekerja keras‟.7Namun, proses
mendapatkan nafkah atau harta, haruslah dengan cara yang benar, bukan dengan
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Benar bahwa manusia dalam
menjalani takdirnya tidak dapat melestarikan kehidupannya tanpa didukung oleh
materi (harta). Akan tetapi, materi bukanlah segala-galanya. Materi hanyalah alat
untuk mencapai tujuan mulia, yakni ridla Allah.8Bertolak dari perspektif inilah,
manusia harus bekerja keras—banting tulang, bila perlu,kaki jadi kepala kepala jadi
kaki—untuk mendapatkan harta. Memang, kata orang, banyak cara untuk mendapatkan harta. Termasuk dengan cara, menusuk teman seiring, menggunting dalam
lipatan, asal tujuan utama bisa tercapai, akan dilakukan juga. Karena itu, benar kata
orang, “Harta tidak mengenal saudara.”9
Bahkan Karl Max dalam sebuah ungkapannya yang sangat terkenal,dia
mengatakan, “Harta adalah akar dari segala kejahatan.”10Hipotesa Karl Max ini
bukan saja telah menemukan faktanya sepanjang sejarah kehidupan manusia, tetapi
juga menjadi ironi kemanusiaan itu sendiri.Sebab, menurut Karl Max, harta membuat umat manusia bertindak brutal melebihi binatang. Manusia dengan ganas bisa
saling membunuh dan menghancurkan tanpa belas kasihan, karena didorong oleh
nafsu untuk menguasai harta seseorang. Malahan hanya karena ingin memuaskan
nafsunya untuk mendapatkan buah khuldi—simbol dari harta benda duniawi—Adam
dan Hawa sebagai kakek-nenek manusia pun, tergelincir dari surga menujualam
dunia yang keras dan kejam ini.11
Bukankah dalam kehidupan nyata sehari-hari, acap kita saksikan kenyataan
pahit itu? Bukankah tidak jarang kita menyaksikan dengan pilu bahwa demi harta,
seorang anak tega membunuh orang tuanya? Demi harta pula, seorang suami berani
6
Lihat, Qs. Al-maidah [5]: 48
Lihat, Qs. Al-Najm [53]: 39-41; Lihat juga Qs. Al-Ankabut [29]: 6
8
Lihat, Qs. Qs. Al-Syu‟ara [26]: 88-90
9
Ungkapan yang sudah menjadi bahasa harian ini tentu sangat menyengat bila kaitkan dengan
proses pencarian nafkah dalam pergulatan hidup sehari-hari, sambil mengabaikan nilai-nilai moral
agama dan etika sosial. Lihat, Hasan M. Noer, Istri Sejati: Belajar dari Kisah dan fakta, (Jakarta:
Penamadani, 2013), Cet. ke-1, h. 245
10
Lihat, Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk
Generasi Mendatang,” Jurnal IlmiahUlumul Qur’an, No. 1, Vol. IV, Th. 1993, h. 5
11
Lihat, Qs. al-Thaha [20]: 120-121
7
5
membunuh istrinya, atau sebaliknya. Demi harta pula cucu terpaksa membunuh
kakeknya. Bahkan, demi harta pula satu keluarga yang semula utuh dan bahagia,
menjadi hancur berkeping-keping karena serakahkepada harta. Ternyata, dalam
praktik euthanasia, fakta-fakta seperti di atas, acap pula ditemukan.12
Istilaheuthanasiasendiri dipungut dari bahasa asing yang berarti “tindakan
mematikan orang untuk meringankan (beban) penderitaan orang tersebut yang sedang
mengalami sekaratulmaut.”13Sekilas tentang pengertianeuthanasiayang telah
dijelaskan di atas, agaknya kita sudah bisa memperoleh gambaran dari pertanyaan,
tentang apakah euthanasia itu? Konon, euthanasiaberasal dari bahasa Yunani. Terdiri
dari dua kata, yakni kataeuberartibaik, dan katathanasiaberartimaut. Dengan
demikian, maka kata euthanasia berarti “maut yang baik,” atau “mati sentosa” atau
“mati dengan tenang;” atau bisa juga diartikan sebagai “hal membuat mati dengan
tidak menderita atau supaya tidak menderita lagi.”14
Secara harfiah, istilaheuthanasiadiartikan sebagai“mati baik.”Secara generic
(umum) diartikan sebagai “kematian yang mudah atau beruntung.” Dewasa ini
euthanasia diartikan sebagai “pembunuhan tanpa penderitaan terhadap pasien yang
tipis harapannya untuk sembuh kembali.” Dalam bahasa Inggris lebih populer dengan
istilah mercy killing. Yaitu, suatu tindakan medis untuk mematikan orang secara
damai atas dasar kepentingan dan kebaikan si penderita itu sendiri.15Dalam
pengertian popular, euthanasia dipahami sebagai “tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk (orang atau hewan piraan) yang sakit berat atau luka parah
dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar kemanusiaan.16
Dapat dimengerti bahwa euthanasia adalah istilah yang didapati dalam dunia
kedokteran, terambil dari bahasa Yunani. Namun istilahmercy killing (Inggris), yang
berarti “tindakan dokter serta pembantu-pembantunya untuk mempercepat ke-matian
atau melenyapkan jiwa pasiennya yang dalam kondisi kritis (akut) atau menderita
penyakit menahun (chronic disease) tanpa merasa sakit, dengan per-timbangan untuk
12
Lihat, Med. Ahmad Ramali, Sumpah Dokter dan Susila Kedokteran, Jambatan:Jakarta,
1959, h. 35
13
Lihat, John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT.
Gramedia, 1996), Cet, ke-23, h. 219
14
P. Lorenzo Lini, Dizionario Italo Indonesiano, La Varesina Grafica, Grono (Svizzera),
1972.Demikian batasan menurutP. Lorenzo Lini dalam International Family Health Encyclopedia,
volume 10. Dalam buku ini disebutkan.istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani.
15
Lihat, Med. Ahmad Ramali, Sumpah Dokter dan Susila Kedokteran, Jambatan:Jakarta,
1959; Lihat juga Med. Ahmad Ramali, Kamus Kedokteran, Jambatan, Jakarta 1981
16
Lihat, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka, 1990), Cet.
ke-6, h. 237
6
menolong si penderita, agar tidak begitu lama menderita, seka-ligus untuk
meringankan beban keluarganya (moril, material, dan finansial).”17Nampaknya,
pengertiansemacam inilah yang digunakan penulis untuk membedah fenomena
euthanasia di kalangan umat Islam dalam perspektif hukum Islam, khususnya
berkenaan dengan hukum kewarisan Islam.
II. Euthanasia: Perspektif Sejarah
Istilah euthanasia berasal dari zaman Yunani Purba, dimana suporter pelaksananya yang terkenal adalah tokoh-tokoh besar dalam sejarah, seperti Pythagoras
(582-500SM), yang mempelopori pembunuhan terhadap orang-orang lemah mental
dan moralnya; bapak kedokteran, Hippocrates (460 -355 SM); Plato (427-347
SM),yang mendukung pelaksanaan euthanasia terhadap seseorang yang ingin bunuh
diri lantaran tidak sanggup menahan penyakit yang sedang dideritanya; dan
Aristoteles (384-322 SM) yang membenarkan membunuh anak yang berpenyakitan
semenjak lahir (infanticide).18
Sejatinya, dari Yunanilah euthanasia itu bergulir'dan berkembang ke beberapa
negara di dunia, baik di benua Eropa sendiri, Amerika, maupun Asia.Di berbagai
negara Barat, seperti di Swis, Jerman Barat, Uni Sovyet dan Polandia, euthanasia
sudah tidak dianggap sebagai suatu pembunuhan lagi. Euthanasia sudah dilega-lisasi
dan diatur dalam hukum pidana. Di Uruguai pemerintahnya juga sudah memberi
kebebasan untuk melakukan euthanasia sejak tahun 1933.19
Dalam Perang Dunia II (1939-1945), Hitler memerintahkan untuk membunuh
orang-orang sakit yang tidak mungkin disembuhkan dan bayi-bayi yang lahir dengan
cacat bawaan. Di London ada satu organisasi euthanasia yang bernama Exit. Jika
seseorang sudah mengetahui bahwa penyakit yang dideritanya tidak bisa
disembuhkan lagi, maka ia dapat menjadi anggota organisasi tersebut. Di negeri
Belanda ada kecenderungan bahwa sebagian besar rakyatnya sekarang menyetujui
17
Penjelasan lebih jauh tentang masalah ini, bisa ditelusuri melalaui berbagai buku yang
berkaitan dengan euthanasia, terutama antara lain buku-buku sebagai berikut, misalnya lihat, Ratna
Suprapti Samil, Kode Etik Kedokteran Indonesia, Spirit Internasional, Jakarta, 1980; Bandingkan
dengan Med. Ahmad Ramali, Kamus Kedokteran,Jambatan, Jakarta 1981; Bandingkan juga dengan
A.S. Homby, Oxford Advanced Learner's Dictionary,Oxford University Press, California, 1974, h. 78
18
Keterangan lebih jauh berkenaan dengan hal ini, lihat, Homy, Ibid. h. 103. Penjelasan ini,
secara sekilas Nampak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Akan tetapi, dalam
Islam, kondisi serupa ini diakomodir dalam sebuah qaidah: ‫( َال َال َال َالا َال َال ِض َال َالا‬tidak menyeng-sarakan diri
sendiri, juga tidak menyengsarakan orang lain). Lihat, Subhi Mahamassani, Falsafat al-Tasuri’ fi alIslam, Edisi Indonesia oleh Ahmad Sudjono dengan judul, Filsafat Hukum dalam Islam, (Bandung: alMa‟arif, 1981), Cet. ke-2, h. 172
19
Lihat, Homy, Ibid. h. 125
7
euthanasia. Disamping itu, euthanasia pernah dilaporkan terjadi di India dan
Sardinia.20
Bagaimanakah praktik euthanasia di Indonesia? Di tanahair kita ini, warga
negara yang berasaskan Pancasila yang sekaligus beragama, seharusnya tidak
menerima euthanasia, apalagi melakukannya. Tetapi kasus euthanasia itu disinyalir
sering terjadi di tanahair kita, yakni pada rumah-rumah sakit yang sudah memiliki
Intensive Care Unit (ICU).21
Euthanasia dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu:Pertama, euthanasia
positif/aktif, ialah tindakan terapi oleh dokter dengan tujuan dapat mempercepat
proses kematian pasiennya. Misalnya memberikan suntikan obat penenang seperti
opium dengan dosis lethal. Kedua,euthanasia negatif/pasif, ialah perbuatan yang yang
dilakuakn oleh seorang dokter atau pelaku untuk membiarkan si pasien meninggal
secara alami tanpa diberi pengobatan, atau upaya secara sengaja untuk penghentian
terapi yang memungkinkan bisa memperpanjang hidup si pasien. Misalnya
menghentikan pemberian infus, menunda operasi dan lain sebagainya.22
Menurut Fletcher, modus operandi euthanasia itu dapat dilakukan dalam
beberapa cara, yaitu:Pertama, langsung dan suka rela, yaitu memberi jalan kematian
dengan cara yang dipilih oleh pasien. Kedua, sukarela tetapi tak langsung, yaitu
kepada pasien diberitahukan harapan hidupnya tipis, dan pasien ini akan berusaha
supaya ada orang lain untuk mengakhiri hidupnya. Ketiga, langsung tetapi tidak
sukarela, tindakan dilakukan tanpa sepengetahuan pasien. Keempat, tidak langsung
dan tidak sukarela, yaitu tindakan euthanasia negatif.23
20
Lihat, Homy, Ibid. h. 139
Dalam sebuah pemberitaan disebutkan bahwa praktik euthanasia di rumah sakit-rumah sakit
Indonesia sering dilakukan oleh dokter tanpa sepengetahuan oleh pesien maupun keluarganya, agar
tidak menimbulkan akibat hukum yang berkepanjangan. Kasus yang pernah heboh dan diper-debatkan
secara terbuka adalah ketika mantan Presiden Soeharto koma berkali-kali di rumah sakit Pertamina,
lalu muncul wacana euthanasia, bahkan oleh Menteri Kesehatan RI waktu itu, Siti Fadlilah Sutari,
sempat menggunakan prinsip mashlahah mursalahsebagai jalan keluar. “Kasihan kalau dibiar-kan
begitu terus-menerus,” begitu katanya.
22
Dalam kasus mantan Presiden Soeharto, nampaknya pihak dokter Pertamina tidak ingin
mengambil risiko hokum apa pun, apalagi berkaitan dengan seorang tokoh besar dalam sejarah republic
ini. Maka, menurut beberapa kalangan, pihak dokter akhirnya menyerahkan prose situ pada keputusan
Allah, sambil melakukan tindakan medis seperlunya sesuai dengan Standar-operating-prosedur (SOP)
yang ditentukan oleh dunia kedokteran. Namun, berbeda dengan kasus Pak Harto, ada pihak juga
menduga bahwa, kasus seperti Pak Harto itu, terjadi juga di banyak pasein lain, dan dilakukan secara
diam-diam. Tindakan semacam ini sangat tercecla dalam pandangan Islam, bahkan oleh seluruh agamaagama besar dunia. Penjelasan lebih jauh tentang masalah ini, lihat Martin Heller (ed), International
Family Health Encyclopaedia, Volume 10, AFE Frees, California, 1971, h. 186
23
Lihat, Heller (ed), Ibid. h. 251
21
8
Cara ini pada beberapa negara dianggap sebagai cara yang paling mendekati
moral.Menyimak macam dan modus operandi euthanasia tersebut, maka dalam
praktik euthanasia, terselubung beberapa macamperbuatan:
Pertama, bunuh diri, disebabkan oleh: (a) adanya kebebasan yang diberikan
kepada pasien untuk memilih cara yang lebih baik dalam pelaksanaan kematiannya;
(b)pasiendiberitahukan terlebih dahulu bahwa harapan hidupnya tipis, lalu ia
berusaha supaya orang lain mengakhiri hidupnya.
Kedua, membunuh, disebabkan oleh: (a) tindakan pembunuhan dengan sengaja terhadap pasien atas permin-taannya ataupun tanpa sepengetahuannya; (b)
perbuatan yang membiarkan pasien meninggal dengan menghentikan terapi atau
fasilitas alat-alat mekanik kedokteran yang sedang dibutuhkannya, yang memungkinkan memperpanjang hidupnya.
Ketiga, dibunuh, karena tindakan dilakukan oleh dokter tanpa sepengetahu-an
pasien lebih dahulu. Inilah tindakan yang tidak bermoral, baik dari segi kema-nusiaan
maupun hukum yang berlaku di setiap bangsa.24
III. Euthanasia: Perspektif Etika Kedokteran
Akhir-akhir ini banyak sekali pertentangan hangat di seluruh dunia menge-nai
kemungkinan dilakukan euthanasia. Telah diungkapkan bahwa euthanasia pemah
terjadi di beberapa negara di dunia. Di Indonesia disinyalir bahwa
berkembangnyaeuthanasiaternyata berjalan secara negatif.25
Sepintas kelihatan bahwa euthanasia adalah baik, yakni untuk membebaskan
pasien dari suatu penderitaan yang berlarut-larut tanpa harapan sembuh, atas
permintaan dari pasien atau keluarganya, atau atas kehendak dokter sendiri. Karena
itulah muncul beberapa pendapat ahli-ahli kedokteran mengenai perlakuan
euthanasia, ada yang menerima semua macam euthanasia tersebut, ada yang setuju
dengan salah satu macam saja dan ada pula yang menyetujuinya dengan beberapa
pertimbangan tertentu.26
Bila euthanasia dihubungkan dengan sumpah Hippocrates yang antara lain
bunyinya: "Saya tidak akan memberikan racun kepada siapapun yang menghen24
Lihat, Heller (ed), Ibid. h. 289
Hal ini bisa terjadi karena beberapa sebab. Pertama, penduduk Indonesia adalah mayoritas
beragama Islam sehingga umat islam masih sangat hati-hati dalam melakukan tindakan euthanasia.
Meskipun dalam beberapa kasus, sering digunakan prinsip al-dlaruri untuk mengatasi kasus euthanasia
yang terjadi pada pasien beragama Islam.Kedua, boleh jadi para dokter Indonesia juga memegang
teguh etika kedokteran, di samping memahami dengan baik ajaran agama mereka masing-masing,
membuat tindakan euthanasia berjalan secara negative. Sungguhpun demikian, harus diantisipasi
bahwa tindakan euthanasia adalah “tindakan darurat” bukan pilihan medis.
26
Lihat, Ratna Suprapti Samil, Kode Etik Kedokteran Indonesia, Spirit Internasional, Jakarta,
1980, h. 47
25
9
dakinya, pun juga saya tidak akan menasehati untuk memperguna-kannya", maka
tampak bahwa sumpah Hippocrates ini merupakan acuan dasar bagi Declaration of
Geneva 1948 tentang lafal sumpah dokter dewasa ini, yang lafalnya ditetapkan oleh
Muktamar Ikatan Dokter Sedunia (The World Medical Association), yang antara lain
berbunyi: "I will maintain the utmost respect for human life, from the time of
conception" (Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat
pembuahan).27
Selanjutnya disebutkan: "Even under threat, I will not use my medical
knowledge contrary to the laws of humanity" (Sekalipun diancam, saya tidak akan
memperguna-kan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan
dengan hukum perikemanusiaan).28 Demikian lebih kurang maknanya. Ini berarti
praktek euthanasia konfrontatif dengan sumpah Hippocrates dan Declaration of
Geneva 1948.29
Kalau dikaitkan euthanasia dengan apa yang tercantum dalam Kode
Internasional Susila Kedokteran (International Code of Medical Ethics), ternyata
praktek euthanasia tidak diperkenankan, karena bukan merupakan kewajiban para
dokter. Sebagaimana tersebut dalam hal Kewajiban Para Dokter Terhadap Pasien,
berbunyi antara lain: "Seorang dokter wajib senantiasa menginsafi pentingnya
memelihara hidup insani dari saat pembuahannya sampai saat meninggalnya."30
Kemudian, bagaimana pula praktek euthanasia menurut stelsel Hukum Islam
(Islamic Law) dan Hukum Positif (strafrecht) ? Untuk mengacu kepada jawaban atas
pertanyaan ini, terlebih dahulu dikuak unsur implisit di dalam tindakan euthanasia
tersebut, yaitu ada tiga macam perbuatan: Bunuh diri; Membunuh; dan Dibunuh (mati
teraniaya).31
Pertama, Bunuh Diri. Masalah bunuh diri merupakan hal yang tragis bagi
suatu masyarakat, karena kasus tersebut terjadi hanyalah oleh tindakan pribadi
sikorban itu sendiri, dengan pengertian tanpa ada partisipan lain yang mela-kukannya.
Sebenarnya tindakan bunuh diri itu sampai terjadi, karena kehidupan sosial yang
diterpa oleh setumpuk problema hidup, terutama dalam masyarakat dinamis seperti
dewasa ini yang kehidupannya penuh dengan persaingan dalam mengejar kemajuan,
memburu pangkat, harta dan kedudukan. Kadang-kadang orang berhasil mencapai
apa yang diingininya, tetapi sering kali pula kandas dalam cita-cita dan kongkurensi
27
Lihat, Samil, Ibid. h. 69
Lihat, Samil, Ibid. h. 78
29
Lihat, Samil, Ibid. h. 120
30
Lihat, Samil, Ibid. h. 142
31
Lihat, Samil, Ibid. h. 138
28
10
itu, sehingga frustasi; sebagai kompensasi lantas melintasi jalur cepat dengan cara
bunuh diri.32
...janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar
hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkan ke dalam neraka.33
Ayat ini menunjukkan bahwa bunuh diri merupakan pekerjaan yang haram,
karena ayat tersebut mengandung larangan, sedangkan larangan menurut norma
Ushul Fiqh mengindikasikan haramnya sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh
seorang yang berkedudukan sebagai mukhallaf(Pelaksana hukum).
Kedua, Membunuh. Dinukilkan dalam al-Qur'an bahwa kriminal yang pertama kali terjadi dipermukaan bumi adalah pembunuhan, yaitu kasus pertumpahan
darah pada putra Nabi Adam As, dimana Qabil telah membunuh saudara kandungnya Habil.
Sampai kini kasus pembunuhan juga sering terjadi, hanya motifnyalah yang
diferensial, antara lain pembunuhan yang dilakukan dengan berencana atau sengaja
('amad). Pelaku pembunuhan dengan sengaja ini akan mendapat kutukan serta siksaan dari Allah kelak, dimana ia dikategorikan sebagai penghuni permanen nearka
jahannam.
Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya
ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan siksaan yang besar baginya.34
Ketiga, Dibunuh. Setiap terjadi aksi pembunuhan, akan adapihak yang menjadi korban (pihak yang dibunuh). Betapa banyak faktor yang menyebabkan seseorang mati karena dibunuh, mungkin akibat dari peperangan yang berkecamuk,
korban aksi penodongan atau perampokan, disebabkan perkelahian atau semata-mata
karena penganiayaan dan lain sebagainya.35
Seseorang yang dibunuh oleh orang lain adakalanya berpahala dan juga bisa
berdosa, sifat kasuistis atau tergantung pada yang melatarbelakangi kasus pembunuhan tersebut. Disini hanya diturunkan korban pembunuhan penganiayaan (mati
teraniaya), karena ada relevansinya dengan euthanasia.
32
Tindakan bunuh diri dengan berbagai argumentasinya, tetap tidak dibenarkan, baik dalam
perspektif agama maupun etika kehidupan. Akan tetapi angka bunuh diri di tengah masyarakat dari
tahun ke tahun, konon kian meningkat. Lihat misalnya, Samil, Ibid. h. 153
33
Lihat, Qs. An-Nisa: 29-30
34
Lihat, Qs. al-Nisa‟ : 93
35
Lihat, Samil, op. cit. h. 174
11
Dan barangsiapa dibunuh secara aniaya, sesungguhnya Kami telah
memberikan kekuasaan kepada ahliwarisnya, tetapi janganlah ahliwaris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan.36
Ayat tersebut menginformasikan bahwa seseorang yang dibunuh oleh orang
lain semata-mata karena teraniaya, maka Allah memberi hak bagi ahliwarisnya untuk
menuntut pembelaan dengan hukum balas (qishash) atau menerima ganti rugi berupa
diyat (uang duka), sedangkan diakhirat yang terbunuh mendapat perlin-dungan dari
Allah.37
IV. Euthanasia: Perspektif Hukum Islam
Telah diungkapkan bahwa euthanasia adalah istilah yang didapati dalam dunia
kedokteran, diartikan sebagai pembunuhan tanpa penderitaan terhadap pa-sien yang
sedang kritis (akut) atau menderita penyakit menahun (chronic disease) serta tipis
harapannya untuk sembuh kembali. Euthanasia dikenal sejak zaman Yunani purba,
tidak dijumpai sinonimnya dalam bahasa Arab, tetapi unsur pem-bunuhan yang
terselubung di dalam tindakan euthanasia sering terjadi dalam ma-syarakat, baik
bunuh diri maupun membunuh .
Seorang pasien yang sedang sakit parah dan tidak sanggup menderita lagi, lalu
bermohon agar dokter mengakhiri hayatnya, maka dikabulkannyalah permo-honan itu
atas pertimbangan pasien tersebut tipis harapannya untuk sembuh. Pasien yang
mengajukan permohonan itu tergolong kepada perbuatan bunuh diri, karena ia
melenyapkan penderitaan hidupnya dari suatu penyakit dengan mem-binasakan
dirinya sendiri (kematian). Peristiwa seperti ini pernah terjadi pada masa Rasulullah
saw sebagaimana diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa:
Dari Hasan, katanya: Pada zaman dahulu kala ada seseorang kena penyakit
bisul, tatkala bisul itu mengganggunya (menyakitinya) dikeluarkannya anak
panahnya dari tempatnya lalu dibedahnya bisul itu hingga darahnya
mencucur, lalu ia mati. Allah berkata : Kuha-ramkan syurga baginya.38
Bagaimana pula bagi dokter yang menyetujui permohonan pasiennya itu?
Walaupun dokter tersebut bermaksud baik, yakni untuk menghilangkan penderi-taan
berat yang sedang dialami pasiennya, namun tindakan dokter itu tetaplah ter-golong
pembunuhan tanpa hak dan melawan hukum. Rasulullah saw bersabda:
36
Lihat, Qs. Bani Israil: 33
Lihat, Abi Abdillah al-Anshary al-Qurthuby, Tafsir Al-Qurthuby Juz I, Dar al-Kutub
Mishiriyah, 1957
38
Lihat, Lihat, Al-Hafiz Ibn Hajar Al-Asqalany, Bulughul al-Maram, TerjemahanA. Hassan,
C.V. Diponegoro, Bandung, 1980
37
12
"Tidak boleh membunuh orang Islam, melainkan salah satu dari tiga hal:
Orang yang sudah pernah atau dalam keadaan menikah (muhshan) melakukan
perzinaan, maka ia dirajam. Laki-laki yang sengaja membunuh Muslim, maka
ia dibunuh. Laki-laki yang meninggalkan agamanya (Islam ) lalu ia
menentang Allah dan RasulNya, maka ia dibunuh ... "39
Dan seseorang yang membunuh karena mempertahankan harta dan jiwanya,
maka tergolong pembunuhan yang dapat dibenarkan dalam Islam. Demikian maksud
sebuah hadits Rasulullah saw yang diterima dari Abu Hurairah dan diriwa-yatkan
oleh Muslim.
Dengan demikian, tindakan dokter tersebut jelas termasuk pembunuhan dengan sengaja dan terencana, maka bertentangan dengan syari'at Islam, karena
melanggar hak-hak Allah. "Janganlah kamu membunuh manusia yang diharamkan
Allah kecuali dengan kebenaran."40
Selanjutnya, bagi seorang pasien yang dalam kondisi seperti tersebut di atas
diberi obat maut oleh dokter atau dilakukan penghentian terapi yang me-mung-kinkan
memperpanjang hidupnya tanpa sepengetahuannya, maka pasien tersebut
digolongkan kepada orang yang teraniaya dan dihukumkan sebagai orang yang mati
syahid. Rasulullah saw bersabda:
Orang-orang yang mati syahid itu ada tujuh selaindari orang mati terbunuh
dalam perang sabil, yaitu: yang kena penyakit tahunan, yang mati tenggelam,
mati akibat penyakit semacam TBC, yang mati akibat penyakit perut (kolera
dan lain-lain),terbakar, mati tertimbun reruntuhan dan perempuan yang mati
akibat melahirkan.41
Orang yang mati syahid menurut hadits di atas, selain mati terbunuh dalam
perang fisik membelaAgama Allah dan terhindar dari ancaman ada tujuh macam, tiga
di antaranya disebabkan penderitaan dari suatu penyakit.
Unsur lain yang terkandung dalam perbuatan euthanasia adalah adanya pihak
lain yang berpartisipasi demi terlaksananya perbuatan itu, yakni pembantu-pembantu
dokter seperti perawat dan lain sebagainya, serta anggota keluarga pasien (yang
tergolong ahliwaris) yang ikut bermohon agar dokter membunuh pasiennyadengan
dalih demi kebaikan pasien itu sendiri. Padahal tujuan yang sesungguhnya adalah
semata-mata karena melirik tumpukan harta yang akan ditinggalkan oleh pasien
39
HR Abu Daud, Nasa'i dan disahkan oleh Hakim. Lihat, Abu Daud, Sunan Abi Daud II,
Musthafa Al-Baby Al-Halaby, Mesir, 1952
40
Lihat, Qs. Bani Israil : 17
41
H.R. Malik. Lihat, Al-Hafiz Ibn Hajar Al-Asqalany, Bulughul al-Maram, TerjemahanA.
Hassan, C.V. Diponegoro, Bandung, 1980
13
tersebut. Mereka itu sudah barang tentu bersekongkol dan bekerja sama dalam
mentolerir perbuatan kejahatan atau dosa, bukan berpartisipasi dalam kebaikan.
Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.42
Setiap makhluk hidup tetap akan diterpa oleh kematian, akan tetapi tidak seorangpun yang mengetahui kedatangannya, karena kematian merupakan keten-tuan
dan ketetapan dari Allah swt. Dan mencampun hal mi seperti ketetapan dan ketentuan
yang digariskan oleh Yang Maha Kuasa, serta dilarang keras oleh Islam melalui
prinsip-prinsip kumunya.
Hampir datangperintah Allah (hari kiamat),sebab itu janganlah kamuminta
segerakan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari yang mereka persekutukan itu.43
Perintah Allah itu merupakan ketentuan dan ketetapan hari kiamat besar yaitu
dengan kehancuran alam semesta, juga mencakup kiamat kecil yang menimpa setiap
diri manusia dengan datangnya kematian. Karena itu, kehendak manusia untuk
mempercepat kematian dirinya dengan usaha orang lain atas permintaannya sendiri
atau atas permohonan dari anggota keluarganya dengan cara atau dengan dalih
apapun jelas tidak dibenarkan oleh syari'at Islam, karena melenyapkan ji wa manusia
yang seyogianya belum mati secara alami dan dilaksanakan secara ber-sama. Kita
sungguh menghargai kemajuan ilmu kedokteran kurun ini, tetapi kemajuannya
bukanlah menunjukkan kepastian dan kebenaran mutlak. Kebenaran hakiki adalah
datang dari Allah dan Rasul-Nya.
Kebenaran itu adalah datang dari Tuhanmu, sebab itu janganlah engkau termasuk orang-orang yang bimbang.44
Pembunuhan tidak hanya dilarang oleh agama, akan tetapi disangkal pula oleh
makhluk yang memiliki fitrah kemanusiaan. Bahkan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana terdapat satu bab khusus yang mengatur tentang kejahatan terhadap
jiwa orang lain (pembunuhan). Pasal 338 KUHP menegaskan, barangsiapa sengaja
merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun. Pasal-pasal lain dari KUHP menegaskan, barangsiapa
sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, karena
42
Lihat, Qs. Al-Maidah [5]: 2
43
Lihat, Qs. al-Nahl: 1
Lihat, Qs. al-Baqarah : 147:
44
14
pembunuhan dengan rencana (moord), diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.45
Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara
paling lama 12 tahun (Pasal 344). Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu
melakukan kejahatan yang tersebut dalam pasal 346, atau melakukan atau membantu
melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka
pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana keja-hatan dilakukan (Pasal
349).46
Bahwa euthanasia adalah tindakan merenggut jiwa pasien yang seyogianya
belum mati secara alami. Hal itu berarti identik dengan merampas nyawa orang lain,
dan tergolong kepada perbuatan melawan hukum (tindak pidana), maka terhadap
pelaku pelaksananya dapat diancam dengan hukuman seperti tersebut dalam pasal
dan atau pasal-pasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang telah disebutkan
di atas, serta disesuaikan dengan unsur-unsurnya.
V. Hak KewarisanPemohon Euthanasia
Bagaimanakah bila pasien yang telah nyata meninggal akibat dari tindakan
euthanasialalu meninggalkan harta warisan terhadap pelaku atau pemohon dilakukan
tindakan euthanasia? Apakah anggota keluarga (yang pada dasarnya ter-golong
ahliwaris)yang dengan sengaja bermohon kepada dokter agar melakukan
tindakaneuthanasia tersebut tidak terhalang hak kewarisannya?
Mayoritas para ahli hukum Islam berpendapat bahwa, para ahli warisbisa
berhak mendapatkan warisan dari pewaris bilamana terpenuhi hal-hal sebagai
berikut:Pertama, ahliwaris tersebut telah hidup atau masih hidup ketika pewaris
meninggal;Kedua, jika pewaris meninggal akibat korban pembunuhan, dan ahli waris
tersebut tidak sebagai pelaku pembunuhannya, tetapibila sebagai pembu-nuhnya,
maka ia tidak berhak atas warisan tersebut; Ketiga, antara pewaris dengan ahliwaris
tidak berbeda agama, baik dari asal maupun kemudian ternyata murtad;Keempat, ahli
waris tidak terhijab oleh ahliwaris prioritas.47
Berpedoman kepada uraian di atas, maka untuk menjawab pertanyaan yang
timbul, dapat mengacu pada keterangan sebagaimana tersebut pada angka dua, tanpa
45
Pasal 340 KUHP, Lihat, R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),
Bogor, Politeia, 1975
46
Keterangan lebih jauh tentang masalah ini, ada baiknya lihat misalnya,R. Soesilo, Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor, Politeia, 1975
47
Lihat,M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1976
15
memandang persyaratan atau terlepas dari halangan-halangan lain demi untuk
menyederhanakan penjelasan ini. Sekalipun anggota keluarga dari yang dibunuh
secara euthanasia tersebut pada mulanya tergolong ahliwaris, namun hak
kewarisannya menjadi terhalang disebabkan oleh ia telah bersekongkol melakukan
tindakan kejahatan atau dosa, yaitu membunuh pewaris secara sengaja walaupun
bukan sebagai pelaku langsung, akan tetapi ia adalah sebagai prima causa atau sebagai pemohon.48
Dengan adanya sebab, yaitu usaha ke arah pembunuhan tersebut (permohonan dari anggota keluarganya), maka timbullah suatu tindakan yang mengakibatkan pasien meninggal dunia. Disamping itu, permohonan tersebut diajukan
dengan motivasi yang terselubung, yaitu semata berambisi ingin mewarisi hartanya.
Hak kewarisan adalah nikmat yang diberikan Allah untuk manusia yang tergolong
ahliwaris atau mempunyai hubungan silaturrahmi dengan pewaris, sedangkan usaha
pembunuhan adalah suatu perbuatan maksiat. Pada prinsipnya, Islam mengatur
bahwa untuk mendapatkan nikmat Allah,seseorang tidak dibenarkan meniti jalan dosa
dan maksiat. Bersekongkol dalam melakukan dosa dan maksiat adalah tindakan
pidana,karena itu dilarang keras oleh Islam, sesuai dengan firman Allah dalam surat
al-Maidah ayat 2.49
Paraulama terdahulu telah merumuskan satu kaidah: "Siapa yang mempercepat untuk mendapatkan sesuatu sebelum sampai waktunya, balasannya ialah tidak
menda-pat sama sekali atas apa yang diharapnya itu."50Kaidah ini disusun atas dasar
apa yang dilaksanakan oleh Khalifah Umar Ibn Khattab. Waktu itu Khalifah Umat
tidak mem-berikan hak waris kepada pelaku pembunuhan atas si pewaris.
Karena itu, bagi anggota keluarga (yang pada dasarnya tergolong ahliwaris)
tersebut yang sengaja bermohon dilaksanakan euthanasia itu sudah jelas tidak
mendapat bagian dari tumpukan harta yang senantiasa diintainya yang berada dibalik
praktek euthanasia tersebut, karena usaha yang dilakukan untuk mendapat-kannya
adalah dengan jalan maksiat atau dosa. Atau, dengan mempercepat berlakunya proses
peralihan harta warisan tersebut, yaitu dengan bekerjasama dalam melenyapkan jiwa
pewaris yang seyogianya belum mati secara alami. Se-dangkan praktek euthanasia
tersebut (telah dikemukakan terdahulu) dikategori-kan sebagai pembunuhan tanpa
Bandingkan dengan sabda Nabi saw bersabda: ‫( َا َاو ِ َّك َا لِ َا اِ ٍلل‬tidak ada wasiat bagi si
pembunuh). Prof. Dr. Fatchur-Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1981), Cet. ke-1, h. 60
49
Lihat, Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushulal-Fiqh, Al-Majlisu al-A'la Indonesia li
adda'wati al- Islamiyah, Jakarta 1972, h. 236
50
Lihat, Khallaf, Ibid. h. 237
48
16
hak yang secara tegas dilarang oleh Allah, sesuai de-ngan prinsip yang tertuang
dalam surat Bani Israil ayat 33 di atas.
VI. Penutup
Inilah pokok-pokok pikiran tentang praktik euthanasia dilihat dari segi etika
kedokteran, hukum positif (strafrecht) dan hukum Islam dalam kaitannya dengan hak
kewarisan. Tulisan sederhana ini dimaksudkan untuk memberi urun rembuk bagi
sebuah masalah pelik dalam hukum kewarisan Islam, khususnya bagi para hakim
Peradilan Agama dan Peradilan Umum dalam menangani masalah kewa-risan,
terutamaberkaitan dengan kejahatan terhadap jiwa manusia. Maka, merujuk pada apa
yang sudah dijelaskan dalam makalah ini, dapatlah ditarik beberapa simpulan sebagai
berikut:
Pertama,euthanasia berarti “tindakan mematikan orang untuk meringankan
(beban) penderitaan orang tersebut yang sedang mengalami sekaratulmaut.” Istilah
euthanasia sudah dikenal sejak zaman Yunani Purba. Dewasa ini, praktik euthanasia
sudah ada di beberapa negara di dunia. Di Indonesia disinyalir terjadi euthanasia
pasif/negatif, terutama dengan pertimbangan faktor ekonomis. Akan tetapi, dalam
menghadapi penderita yang bagaimanapun juga kondisinya, dokter harus berusaha
semaksimal mungkin untuk menyelamatkan jiwa pasiennya.
Kedua, euthanasia dapat disebut juga dengan euthanasia aktif/positif, yaitu
apabila dilakukan tindakan ke arah itu. Dan disebut pasif/negatif apabila tidak
dilakukan tindakan sama sekali ke arah pengobatan,melainkan dibiarkan begitu saja
sampai si pasien secara perlahan-lahan mati dengan sendirinya.
Ketiga, dalam dunia kedokteran terdapat dokter yang mempercepat proses
kematian pasiennya yang sedang akut/menderita penyakit kronis tanpa harapan
sembuh atas permintaan dari penderita sendiri/keluarga dekatnya atau tanpa
permintaan dari pihak manapun. Kasus ini disebut euthanasia aktif/positif.
Keempat, diitinjau dari hukum Islam, melakukan euthanasia hukumnya
haram. Bila dilakukan tanpa setahu penderita, maka penderita tergolong kepada orang
yang mati syahid (teraniaya). Sedangkan dalam perspektifhukum positif (strafrecht),
melakukan euthanasia termasuk tindak pidana. Adapun dalam perspektif etika
kedokteran, dokter yang melakukan tindakaneuthanasia berarti melanggar sumpah
jabatannya dan sekaligus melanggar ajaran agama (Islam),demikianjugapembantupembantu dokter dan pihak lain yang ikut melakukannya.
Kelima, bagi anggota keluarga penderita yang tergiur dengan tumpukkan harta
warisan si calon mayit, kemudian bersekongkol dengan dokter untuk melaku-kan
euthanasia, maka hal itu dikategorikan sebagai pelaku pembunuhan berencana
17
('amad).Oleh karena itu, haknya untuk mendapatkan warisan yang ditinggalkan oleh
sikorban (pewaris) tersebut menjadi terhalang atau gugur.
Wallahu a’lam.
DAFTAR BACAAN
Al-Qur'an al-Karim
Al-Qurthuby, Abi Abdillah Al-Anshary, Tafsir Al-Qurthuby I, Darul Kutub
Mishiriyah, 1957
Al-Asqalany, Al-Hafiz Ibn Hajar, Bulughul al-Maram,TerjemahanA.Hassan, C.V.
Diponegoro, Bandung, 1980
Amir Syarifuddin, Dr,Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam LingkunganAdat
Minangkabau, Gunung Agung, Jakarta, 1984
Ash-Shidqiy, Hasbi, Pengantar Hukum Islam II, Jakarta: Bulan Bintang, 1981
Ash-Shabuny, Muhammad, Tafsiru al-Ayati al-Ahkam I, Al-Ghazaly, Mesir,1391
Daud, Abu, Sunan Abi Daud II, Musthafa Al-Baby Al-Halaby, Mesir, 1952
Hanafi. A. M.A, Pengantar Hukum Islam, Wijaya, Jakarta, 1980
Hasan, M. Ali, Hukum Warisan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1976
Heller, Martin (ed), International Family Health Encyclopaedia, Volume 10, AFE
Frees, California, 1971
Homby, A.S., Oxford Advanced Learner's Dictionary, Oxford University Press, California, 1974
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushulal-Fiqh, Al-Majlisu al-A'la Indonesia li adda'wati
al- Islamiyah, Jakarta 1972
Lini, P. Lorenzo, Dizionario Italo Indonesiano, La Varesina Grafica, Grono
(Svizzera), 1972
Mahamassani, Subhi, Falsafat al-Tasuri’ fi al-Islam, Edisi Indonesia oleh
AhmadSudjono dengan judul, Filsafat Hukum dalam Islam, (Bandung: alMa‟arif, 1981
Muslim, Imam, Shahihu al-Muslim III, Terjemah H. A. Razak dan H. Rais Latief,
Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1980
18
Ismail, Muhammad bin,Subuluas-SalamIII, Musthafa al-Baby al-Halaby, Mesir,
1349H
Rahman, Fatchur, Prof. Dr., Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma‟arif, 1981
Ramali, Med. Ahmad, Dr, Sumpah Dokter dan Susila Kedokteran, Jambatan, Jakarta,
1959
—————, Kamus Kedokteran, Jambatan, Jakarta 1981
Samil, Ratna Suprapti, Kode Etik Kedokteran Indonesia, Spirit Internasional, Jakarta,
1980
Syayuti, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar, Al-Jami'u ash-Shagir, Dar alKutubi al-'Arabi li ith-Thiba'ati wa an-Nasyari, Qahirah, 1967
Sabiq, Sayid, Fiqhu as-Sunnah II, Dar al-Fikri, Beirut, 1977
Syaltout, Syaikh Mahmoud, Prof. Dr, Al-Fatawa, Terjemahan Prof.H. Bustami A.
Gani, Zaini Dahlan, M.A, Jilid II, Bulan Bintang, Jakarta, 1973
Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1975.
19
Download