BAB 2 POLITIK LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT MASA OBAMA Amerika Serikat dikenal sebagai bangsa yang menganut paham Liberalisme yang mencakup prinsip demokrasi dalam sistem politik, kapitalisme sebagai sistem ekonomi dan hak asasi manusia. Memiliki ekonomi industri yang maju, jumlah kelas menengah yang cukup besar dan tingkat pendidikan yang tinggi merupakan bentuk kesuksesan demokrasi yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Liberalisme memberikan tempat terhormat pada hak asasi manusia sebab Liberalisme mengedepankan kebebasan individu untuk mengekspresikan dirinya. Negara yang tidak hanya merupakan tempat bagi pemerintahan berdasarkan hukum, tapi juga tempat perlindungan kebebasan individual. Berdasarkan pemahaman ini Liberalisme membentuk masyarakat yang individualistis (Pareanom, 2005). Proses pembentukan ideologi Amerika Serikat ini melalui proses yang tidak mudah, pembentukan ideologi tersebut dipengaruhi oleh faktor historis Amerika Serikat yang sangat panjang. Pemikiran liberalisme ini bersumber pada motivasi kedatangan bangsa Eropa khususnya Inggris ke Benua Eropa. Sebelumnya telah bermukim bangsa yang lain seperti bangsa India dan bangsa Eropa yaitu Portugis dan Spanyol. Kedatangan bangsa Eropa ini dilandasi oleh kebebasan demi kesejahteraan dan kebahagiaan serta melepaskan diri dari belanggu dan tekanan di bidang politik, ekonomi, dan agama (Minderop, 2006). 19 Sebelum memahami tentang Politik Luar Negeri Amerika Serikat pada Masa Obama, penulis akan terlebih dahulu menyampaikan dasar Politik Luar Negeri Amerika Serikat sebagai pengantar agar lebih memahami mendalam tentang Politik Luar Negeri Amerika Serikat masa Presiden Barack Obama. 2.1 Dasar Politik Luar Negeri Amerika Serikat Dalam sistem internasional, pola interaksi yang terjadi antara negaranegara pada umumnya dilandasi oleh adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang ingin dicapai oleh setiap negara. Masing-masing negara dalam dunia internasional wajib memberikan tanggapan atas setiap situasi internasional yang sedang terjadi. Dalam hal ini Amerika Serikat mempunyai pandangan, cara, dan konsep tersendiri terhadap politik internasionalnya. Pada dasarnya politik luar negeri Amerika Serikat membentuk pola siklus antara intervensionis dan isolasionis (Klingberg, 1983). Sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu apa itu Isolasionis dan Intervensionis. Isolasionis merupakan suatu bentuk kecenderungan dalam arah politik luar negeri (khususnya arah politik luar negeri Amerika Serikat) yang cenderung menutup diri dari kerjasama dengan negara lain. Ini kemudian dikenal pula dengan sebutan Unilateralisme. Contohnya Amerika Serikat pada waktu sebelum Perang Dunia II. Isolasionis mengajarkan bahwa Amerika Serikat harus lebih mementingkan perkembangan dan tenaga konsepsinya sendiri mengenai kemerdekaan dan kemajuan, pembangunan sosial dan ekonomi yang lebih bermanfaat (Perkins, 1956). 20 Perkembangan politik luar negeri Amerika Serikat pada akhir tahun 1941 berubah drastis dari isolasionisme berganti kepada sifat Intervensionisme. Intervensionisme merupakan kecenderungan untuk membuka diri dengan negara lain dalam hal kerjasama dan hubungan luar negerinya. Dengan intervensionis yang mereka yakini dapat menjadi penggerak perdamaian dan keamanan global, memasyarakatkan demokrasi ke luar negeri, harus menghasilkan kesejahteraan bagi umat manusia. Tapi tentunya tetap mengacu kepada kepentingan yang ingin dicapai oleh Amerika Serikat (Perkins, 1956). Prinsip ini juga dilandasi oleh idealisme Amerika Serikat yang sudah tercetus sejak tahun 1620, ketika para pendatang ke Amerika Serikat mengusung konsep City Upon A Hill yang senantiasa bercita-cita untuk menjadi model dan pemimpin dunia. Demokratisasi dan perdamaian merupakan idealisme bangsa Amerika. Mereka yakin kebahagiaan dan perdamaian akan terwujud jika demokrasi diterapkan di seluruh penjuru dunia (Minderop, 2006). Kedua kecenderungan ini jelas memiliki perbedaan dalam menentukan arah politik luar negeri masing-masing. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari instrumen kebijakan yang digunakan, tools/power yang dipakai, sifat yang dominan dari masing-masing kecenderungan tersebut, isu-isu yang ada di dalamnya, serta adanya unsur dari partai yang sedang berkuasa. Dewan Keamanan Nasinoal Amerika Serikat, Samuel Bergr mengatakan bahwa setelah Perang Dingin usai Amerika Serikat menununjukkan tekad ingin menguasai dunia, hal-hal yang mendorong sikap Amerika Serikat tersebut adalah: 21 1. Rubuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin menyebabkan Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adidaya yang tersisa. Tidak ada lagi negara yang mampu mengimbangi kekuasaan Amerika Serikat sehingga tidak ada penghalang bagi Amerika Serikat untuk menguasai dunia. 2. Kekuatan Ekonomi Amerika Serikat melebihi Uni Eropa dan Jepang. Ada asumsi yang mengatakan bahwa globalisasi ekonomi semakin meningkat ketergantungan antara negara-negara di dunia. Namun pada kenyataanya asumsi tersebut tidak selamanya benar karena negara-negara berkembang lebih bergantung pada negara maju. 3. Kemampuan militer yang dimiliki Amerika Serikat merupakan kekuatan militer terbesar di dunia dan cenderung mengalami perkembangan yang signifikan. Selama perang dingin politik internasional lebih condong ke arah militerisme dimana kemampuan militer menjadi penentu utama hubungan Amerika Serikat dan Uni Soviet. Setelah perang berakhir, sebagian besar negara yang terlibat konflik sudah mengurangi anggaran militer. Namun Amerika Serikat tetap mempertahankan anggaran militer nya seperti anggaran pada Perang Dunia (Suryohadiprojo, 2009). Ciri utama politik luar negeri Amerika Serikat sejak tahun 1940-an hingga kini dibentuk oleh dua tradisi besar dalam hubungan internasional yaitu asumsi dasar pemikiran realis politik dan idealisme politik. Realisme politik berkembang pada masa Perang Dingin, dimana tujuan utama politik luar negeri Amerika Serikat adalah untuk melakukan pembendungan politik terhadap Uni Soviet yang 22 dinilai mengancam supremasi kekuasaan Amerika Serikat dalam kancah internasional. Sedangkan idealisme politik muncul dan berkembang seiring dengan runtuhnya Uni Soviet yaitu pasca perang dingin, dan yang menjadi tujuan utama politiknya saat itu ialah untuk melakukan ekspansi kebebasan atau menyebarkan idelologi demokrasi ke seluruh dunia (White, 1984). Amerika Serikat mempunyai empat kerangka kerja utama dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Kerangka kerja politik luar negeri tersebut meliputi power, peace, prosperity, dan principle: 1. Power, merupakan sebuah keharusan yang dimiliki oleh Amerika Serikat dalam merumuskan dan mempertimbangkan setiap kebijakan yang dikeluarkannya. Tanpa Power kepentingan Amerika Serikat di seluruh dunia tidak akan pernah terwujud adanya. Dengan Power seriap aktor negara dapat mengontrol segala hal agar sesuai dengan kepentingan yang dimiliki oleh negaranya. 2. Peace, secara makna perdamaian diartikan sebagai sebuah kondisi dimana tidak ada perang. Dalam konteks politik luar negeri Amerika Serikat, sebagai sebuah negara superpower Amerika Serikat memposisikan dirinya sebagai polisi dunia yang berhak melakukan apa saja demi terwudunya perdamaian dunia dan yang paling utama seluruh kepentingan nya di dunia berada dalam kondisi yang aman. Apabila Amerika Serikat merasa terancam maka ia akan mengeluarkan seluruh power-nyademi menyelamatkan kepentingannya tersebut. 23 3. Prosperity, setiap negara dalam kepentingan nasionalnya pasti mempunyai salah satu tujuan terpenting bagi bangsanya, yaitu kemakmuran. Dalam konteks Amerika Serikat, politik luar negerinya ditujukan untuk mencapai keuntungan dalam hal ekonomi. 4. Priciples, dalam poin keempat ini, tujuan dari Politik Luar Negeri Amerika Serikat adalah menyebarkan dan menanamkan prinsipprinsipnya ke seluruh penjuru dunia. Konteks prinsip dalam hal ini adalah nilai-nilai yang dianut oleh Amerika Serikat sendiri. Nilai-nilai itu tidak lain adalah demokrasi yang selalu dikumandangkan oleh Amerika Serikat ke seluruh dunia. Hal ini dilakukan agar kepentinganya di wilayah-wilayah yang ditargetkan dapat tercapai semaksimal mungkin dengan adanya penyebaran nilai-nilai demokrasi (John, 2007) Keempat prinsip ini menjadi pedoman sekaligus koridor bagi pemimpin Amerika Serikat dalam menjalankan politik luar negeri. Walaupun kebijakan setiap pemimpin berbeda-beda namun tetap tidak akan lepas dari keempat prinsip diatas. Secara umum berbagai arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat adalah harus menjaga posisi primacy Amerika Serikat yang tak terganggu untuk memastikan global order dan balance of power di berbagai dunia. Amerika Serikat juga ingin memantapkan diri dalam hal keamanan dunia, dominasi sumber daya alam, orientasi ekonomi, penyebaran ideology liberalisme dan demokrasi, keamanan nasional dan pemberantasan terorisme, dan mewujudkan tatanan dunia 24 baru. Dalam format politik internasional Amerika Serikat terdapat dua pilar yang paling mengemuka yang dijadikan pokok negara adidaya tersebut adalah politik dan liberalisme ekonomi dunia. Dalam bidang politik bersumber dari ideologi kapitalisme yang sudah dibuat dan diinternasionalisasikan (White, 1984). Dalam bidang ekonomi, internasionalisasi kepentingan Amerika Serikat tertuang dalam seperangkat organisasinya seperti IMF, World Bank, dan WTO. Organisasi ini menawarkan bantuan pinjaman kepada negara-negara dunia ketiga dengan syarat-syarat tertentu. Langkah paling penting yang dilakukan Amerika Serikat ialah mengubah sistem mata uang dunia dengan mengubah dollar menjadi standar mata uang dunia. Perdagangan bebas juga menjadi program utama WTO, tujuannya untuk membuka pasar seluruh negara-negara di dunia bagi produk unggul dan investasi negara-negara kapitalis. Dengan demikian negara berkembang akan selalu berada di bawah hegemoni Amerika Serikat (White, 1984). World Bank, International Monetary Fund, dan World Trade Organization merupakan alat bagi AS untuk mencapai kepentingan nasionalnya, tidak hanya dalam segi ekonomi, bahkan juga dalam segi politik dan ideologinya. Sehingga, jika dilihat dari kacamata ini, dapat dikatakan bahwa peran pemerintah tidak lagi menjadi central state actor dalam pengatur dan pengontrol interaksi dalam perdagangan antar negara. Kemunculan non-state actor justru dilihat sebagai pemain baru yang memainkan peran central-actor, dengan demikian hanya negara-negara yang memiliki kapasitas dan kapabilitas serta power yang kuatlah 25 yang memiliki peran dan mampu bersaing dalam perekonomian dan perdagangan internasional (Perwira, 2005). Politik luar negeri suatu negara selalu mengarah kepada promosi kepentingan nasional negara tersebut, termasuk Amerika Serikat. Tindakantindakan Amerika Serikat ini tercermin dari serangkaian kebijakan luar negeri Amerika Serikat terkait kompetisi ekonomi, memperkuat pertahanan, mewujudkan perdamaian dan kebebasan, serta upaya perluasan ideologi demokrasi. Namun pada dasarnya politik luar negeri tidak pernah bersifat tetap, politik luar negeri harus merespon dan merumuskan kebijakan sesuai dengan kepentingan nasional dan peluang dalam hubungan internasional (Perwira, 2005). 2.2 Politik Luar Negeri Amerika Serikat dibawah Pemerintahan Barack Obama Dalam masa seratus hari pertamanya, dunia melihat penampilan seorang presiden Amerika yang jauh berbeda dari presiden sebelumnya, George Walker Bush, yang mengkhayalkan dirinya sebagai pemimpin ―Perang Salib‖ modern saat menggaungkan perang melawan terorisme. Bush mengesankan dirinya sebagai orang yang hanya mau tahu apa yang ada dalam benaknya sendiri, apa yang ia inginkan, dan bagaimana itu diwujudkan apa pun alasannya, bahkan ketika alasan itu pun terbukti ketidak benarannya. Dan Bush bukan satu-satunya presiden Amerika yang seperti itu. Kita mengenal nama Lyndon B. Johnson yang membuat alasan palsu untuk menggempur Vietnam dan Laos, Nixon untuk Cile dan Kamboja, Reagan untuk Nikaragua dan El Salvador, dan sebagainya. Ada puluhan 26 manuver dan intervensi Amerika dan itu sering melibatkan alasan palsu oleh pemerintahan yang sedang berkuasa (Laksana, 2009). Sampai berakhirnya abad kedua puluh, Amerika tercatat telah mengirimkan lebih dari 250 juta serdadunya untuk berperang di negara-negara lain; dan dalam rentang waktu setelah PD II hingga saat ini, AS adalah negara yang paling banyak mengobarkan peperangan di negara lain. Jumlah itu tentunya telah bertambah lagi dengan perang yang dikobarkan George Walker Bush di Afghanistan dan Irak di awal abad ke-21 (Laksana, 2009). Semenjak terpilih menjadi presiden, Barack Obama mengubah arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Obama terlihat mulai menggeser arah kebijakan politik luar negerinya dari unsurunsur militeristik ke arah isu-isu multilateralisme dalam menjalin hubungan luar negeri AS dengan negara-negara lainnya di dunia. Obama menekankan pada kerjasama bilateral maupun multilateral serta mengedepankan diplomasi untuk menjaga dan mengamankan kepentingan Amerika Serikat di wilayah-wilayah tertentu. Obama lebih mengedepankan untuk kembali membangun aliansi, persekutuan, dan institusi yang dibutuhkan untuk mengatasi ancaman serta memperketat keamanan. Terkait masalah aliansi Amerika Serikat membutuhkan kerjasama yang tetap atau konstan dan diperlukan revisi jika persekutuan tersebut ingin tetap efektif dan relevan. Sebagai contoh yaitu NATO yang telah membuat langkah hebat dengan melakukan transformasi dirinya sendiri dari awal yaitu sebagai struktur keamanan pada masa Perang Dingin menjadi sebuah persekutuan 27 yang memperjuangkan perdamaian. Amerika Serikat juga memperkuat hubungan nya dengan negara-negara lain seperti negara di Asia (Rogak, 2008). Cenderung menggeser arah kebijakan dari militer ke isu multilateralisme bukan berarti Obama mengabaikan kekuatan militer. Obama tetap menghidupkan militer Amerika Serikat karena militer yang kuat diperlukan untuk mempertahankan perdamaian dunia. Sementara itu, Angkatan Darat Amerika Serikat dan Kesatuan Angkatan Laut menurut pemimpin militer Amerika Serikat sedang mengalami krisis. Dengan pergantian kepemimpinan, nantinya momentum ini akan digunakan untuk memperbaiki kemiliteran dan mempersiapkannya untuk misi di masa depan. Obama memiliki rencana akan menambah kekuatan darat sebanyak 65.000 tentara bagian angkatan darat dan 27.000 pelaut ke bagian angkatan laut. Namun penambahan anggota kemiliteran saja tidak cukup. Sebagai pemimpin Obama berjanji akan menggunakan kekuatan bersenjata dengan bijaksan (Edrian, 2016). Presiden Obama memiliki visi untuk menyeimbangkan kembali situasi Amerika Serikat terhadap kebijkan War On Teror dengan cara menggeser atau merubah ideologi, ia lebih mengedepankan soft power daripada menggunakan hard power. Obama banyak melakukan berbagai upaya, diantaranya ia membuat tindakan pendekatan secara personal kepada dunia muslim, berjanji akan menarik pasukan Amerika Serikat dari Irak, memperbarui pakta perdagangan bebas dengan lebih menekankan pada perlindungan kaum buruh dan keselamatan lingkungan, selain itu yang terpenting adalah Amerika Serikat mulai berdialog tidak hanya 28 dengan negara-negara sekutunya namun juga dengan negara-negara yang dianggap sebagai musuh Amerika Serikat (Sidik, 2008). Obama memiliki kemampuan luar biasa untuk membangun kedekatan dengan siapa pun ia berbicara; ia memiliki kecakapan sebagai seorang komunikator ulung yang mampu mengubah perilaku orang lain. Jika kita melihat bagaimana Presiden Venezuela, Hugo Chavez, menyodorkan jabat tangan kepadanya, maka di sana kita melihat bagaimana Presiden Obama telah membuat dirinya bisa diterima oleh pihak yang semula menegaskan sikap kerasnya kepada Amerika. Obama mencoba menyebarkan nilai-nilai dan kepentingan Amerika Serikat di berbagai negara sehingga diharapkan Amerika Serikat memiliki jiwa pemimpin diantara negara-negara lain, terlebih antara negara-negara yang menjadi aliansi Amerika Serikat. Pada masa pemerintahan ini Obama lebih mengedepankan “soft power”dimana negosiasi lebih dikedepankan dalam menyelesaikan permasalahan apapun, ia sendiri mengakui bahwa sebelumnya Amerika Serikat menggunakan negosiasi yang sangat terbatas dalam penyelesaian permasalahan (Rudolf, 2016). Amerika Serikat menyatakan lebih terbuka pada masa pemerintahan Obama, ia mengizinkan kepada negara-negara lain untuk berkontribusi kepada Amerika Serikat dalam perwujudan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Disini juga sudah dikatakan bahwa multilateral lebih dikedepankan, berarti penggunaan institusi-institusi internasional dimaksimalkan untuk mengatur hubungan antara negara satu dengan yang lain dalam penyelesaian berbagai persoalan. Obama sendiri banyak mendirikan organisasi regional yang bertujuan untuk merekatkan 29 hubungan antar kawasan dengan negara lain, maupun organisasi-organisasi yang memiliki kepentingan yang sama dengan Amerika Serikat (Rudolf, 2016). Setelah terpilih menjadi presiden, Obama perlahan-lahan mulai melakukan pencitraan AS terhadap dunia internasional dengan menjalinan hubungan baik dengan negara-negara di dunia, misalnya: Pada bulan Februari dan Maret, Wakil Presiden Joe Biden dan Menteri Luar Negeri Hillary Rodham Clinton melakukan serangkaian perjalanan terpisah ke luar negeri untuk mengumumkan era baru dalam hubungan luar negeri AS dengan Rusia dan Eropa. Mereka memakai kata break dan reset untuk menyebut perubahan besar dari kebijakan era pemerintahan sebelumnya. (Ghattas, 2009) Obama berusaha berkomunikasi dengan para pemimpin Arab dengan mengadakan wawancara pertamanya dengan jaringan televisi Arab, Al Arabiya. Usaha Obama dalam memperbaiki hubungan AS terhadap negara-negara timur tengah tidak hanya sampai disitu, Obama mengawali kepemimpinannya dengan menutup penjara Guantanamo, simbol pengabaian hak asasi manusia dalam perang anti terorisme yang digerakkan Bush. Langkah ini menjadi awal yang positif untuk mengembalikan kepercayaan dunia Islam kepada AS. Saat berkunjung ke Turki pada bulan April, Obama menyampaikan pesan kepada dunia Islam bahwa AS tidak akan dan tidak pernah akan berperang dengan umat Islam, Obama berpidato di Ankara, Turki, dan disambut hangat oleh sejumlah pemerintah di kawasan Arab, pada tanggal 4 Juni 2009 Obama menyampaikan pidato di Universitas Kairo, Mesir, yang berisi tentang dimulainya awal baru 30 dalam hubungan antara dunia Islam dan Amerika Serikat dan mempromosikan perdamaian di Timur Tengah (Rogak, 2008). Seluruh prinsip dasar kebijakan yang dikeluarkan oleh Obama tidak terlepas dari orang-orang penting yang selalu berada di sekelilingnya untuk meminta nasehat terkait dengan apa yang harus dilakukannya dalam menghadapi fenomena politik internasional pada saat itu. Penasehat-penasehat yang berada di lingkaran utama Obama tersebut disebut-sebut orang yang lebih mengedepankan diplomasi dan tidak menyukai atau menolak terjadinya perang. Hal ini tentu berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dimana politik luar negeri lebih mengedepankan siasat militer. Kampanye global Amerika Serikat dalam memerangi terorisme melahirkan banyak pro dan kontra, terutama dengan melancarkan invasi ke negara timur tengah dan berujung kepada penangkapan begitu banyak orang-orang yang dianggap pelaku teror, hingga akhirnya menuai banyak kritik didalam negeri Amerika Serikat sendiri, walaupun Bush menuai banyak pendukung namun tidak sedikit yang menolak kebijakan luar negeri Amerika Serikat tersebut. Di dunia internasional dukungan datang dari sekutu-sekutu Amerika Serikat yang loyal, namun banyak pihak kemudian melihat betapa buruknya dampak yang dihasilkan dari kebijakan tersebut. seperti perang memberantas terorisme hingga melancarkan invasi di Timur Tengah. Hal ini tentu saja banyak merugikan warga sipil, banyak warga sipil menjadi korban. Melihat kenyataan ini dunia menilai bahwa ide hak asasi manusia yang selama ini dikumandangkan Amerika Serikat seakan-akan hanya sebuah alat politik untuk mencapai 31 kepentingannya di negara lain. Amerika Serikat pun mendapat citra buruk dimata dunia akibat ketidak-konsistenannnya dalam menjaga nilai-nilai HAM dan kemanusiaan (Sofyan, 2015). Pada tahun 2004 Human Rights Committee telah mencatat dengan keprihatinan kekuarangan-kekurangan menyangkut kemerdekaan, ketidak- berpihakan, dan efektivitas investigasi menjadi tuduhan penyiksaan dan kekejian, perlakukan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan yang ditimpakan oleh militer dan personel non militer Amerika Serikat atau pekerja kontrak, di fasilitas penahanan di Guantanmo, Afghanistan, Irak, dan lokasi di luar negeri lainnya, dan pada kasus-kasus kematian yang dicurigai di tempat tahanan di salah satu lokasi-lokasi ini. The Committee menyesal Amerika Serikat tidak memberikan informasi cukup menyangkut penuntutan yang dilontarkan, hukuman-hukuman dan reparasi yang dijamin buat korban (Muhaimin, 2016). The Committee Against Torture (CAT) menyuarakan keprihatinannya atas laporan-laporan yang bisa dipercaya mengenai tindakan penyiksaan atau kekejian, tidak manusiawi dan perlakukan yang menghina atau hukuman yang dilakukan oleh anggota militer dan sipil tertentu di dan Irak. Juga menjadi keprihatinan bahwa investigasi dan penuntutan banyak kasus-kasus ini, termasuk suatu hasil dalam kematian tahanan, telah membawa pada hukuman yang lembut, termasuk sifat administratif atau kurang dari satu tahun penjara. Dalam hal ini, Amerika Serikat harus mengambil tindakan cepat untuk menghapus semua bentuk penyiksaan dan perlakukan buruk terhadap tahanan oleh personel militer dan sipil, di teritori mana saja dibawah juridiksinya, dan 32 harus segera serta melakukan tidakan investigasi secara mendalam, menuntut semua yang bertanggung jawab bagi tindakan semacam itu, dan menjamin mereka dihukum secara wajar, menurut keseriusan kejahatan. Jelas, Amerika Serikat telah secara eksplisit dan sistematik melanggar standar internastional menyangkut perlakukan manusiawi terhadap tahanan yang membawa pada keberatan yang dimunculkan oleh organisasi internasional inter alia Human Rights Commission and Committee Against Torture (Muhaimin, 2016). Berdasarkan atas pengalaman-pengalaman sebelumnya dan citra buruk yang telah diterima oleh Amerika Serikat. Pada pemerintahan Obama, Amerika Serikat mulai mengembangkan upaya kerjasama di segala bidang dalam menjalin hubungan luar negerinya dengan negara-negara lain untuk memperbaiki citra buruk Amerika Serikat di mata dunia. Obama juga ingin mengembalikan citra Amerika Serikat sebagai penjunjung tinggi HAM dan Demokrasi yang sebelumnya hancur. 2.3 Kebijakan HAM Amerika Serikat di Berbagai Negara Perlindungan hak asasi manusia (HAM) adalah batu fondasi dalam pembentukan negara bersatu lebih dari 200 tahun yang lalu. sejak saat itu, tujuan utama dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat adalah promosi untuk menghormati hak asasi manusia, sebagaimana yang termaktub dalam deklarasi universal hak asasi manusia. Amerika Serikat memahami bahwa keberadaan hak asasi manusia membantu mengamankan perdamaian, menghalangi agresi, mempromosikan aturan hukum, memerangi kejahatan dan korupsi, memperkuat 33 demokrasi, dan mencegah krisis kemanusiaan. Amerika Serikat memprioritaskan isu yang berpengaruh pada populasi yang rentan, terutama yang cenderung memiliki kesulitan untuk mendapatkan hak mereka melalui proses politik atau di pengadilan, seperti orang miskin, ras, etnis dan agama minoritas, tahanan, imigran, dan anak-anak (Sinder, 2006). Selain itu Amerika Serikat pada masa pemerintahan Obama juga menjunjung tinggi nilai kebebasan. Khususnya kebebasan individu, dimana kebebasan individu merupakan hak-hak yang terpatri dalam diri sejak lahir dan tidak dapat diambil oleh siapapun, penerapannya bersifat universal yang tidak memandang ras, gender, atau status apapun. Tugas Amerika Serikat sebagai negara Liberal adalah mempromosikan dan mengembangkan standar moral universal yang mengacu pada kebebasan individu. Untuk memperbaharui kepemimpinan Amerika Serikat di dunia, Obama akan memperkuat keamanan umum dengan menginvestasikan dana pada bidang kemanusiaan. Demi menciptakan dunia yang lebih baik Obama berpikir harus berperilaku yang mencerminkan kelakuan baik dan menjadi aspirasi masyarakat Amerika. Masyarakat dimanapun harus bisa dan diberi kesempatan untuk dapat memilih pemimpin mereka sendiri dalam suasana bebas rasa takut. Amerika Serikat juga berkomitmen untuk memperkuat pilar dari masyarakat dunia yang adil (Cohen, 2008). Dikarenakan promosi hak asasi manusia adalah kepentingan nasional yang terbilang menjadi prioritas, maka Amerika Serikat berusaha melakukan berbagai upaya yaitu: 34 mempromosikan penghormatan yang lebih besar terhadap hak asasi manusia, termasuk kebebasan berekspresi, kebebasan pers, hak-hak perempuan, dan perlindungan minoritas. mempromosikan aturan hukum, mencari akuntabilitas, dan mengubah budaya impunitas (memberikan pembebasan atau pengecualian dari tuntutan atau hukuman atau kerugian kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran HAM). membantu upaya reformasi dan memperkuat kapasitas kelembagaan kantor komisi tinggi PBB tentang hak asasi manusia. mengkoordinasikan kegiatan hak asasi manusia dengan sekutu penting, termasuk Uni Eropa, dan organisasi regional (US Department of State, 2016). Promosi HAM dan demokrasi tidak hanya di dalam negeri, namun juga dipromosikan di berbagai negara oleh karena nya HAM selalu memainkan peran dalam kebijakan luar negeri sepanjang sejarah Amerika Serikat. Pada abad ke-20 Amerika Serikat memegang peran utama dalam pendirian Perserikatan bangsabangsa dan penyusunan pernyataan Umum Tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Sebagian besar pernyataan umum tentang HAM mengambil model sebagian dari U.S Bill of Right. Pada era Clinton Amerika Serikat berusaha memajukan HAM dengan cara yang cukup efektif, yaitu dengan cara menawarkan langkah-langkah kepada Uni Eropa agar menetapkan standar Hak Asasi Manusia sebagai persyaratan keanggotaan untuk negara-negara yang ingin bergabung dengan NATO dan Uni Eropa (Sinder, 2006). 35 Hak Asasi Manusia menjadi salah satu kunci politik luar negari Amerika Serikat, selain itu tujuan Politik Luar Negeri Amerika Serikat dan juga menjadi tantangan bagi Amerika Serikat adalah bagaimana menangani Hak Asasi Manusia dan demokrasi tanpa membuat hubungan terlalu tegang antara pemerintah Amerika Serikat dengan pemerintah negara lain. Tantangan kedua bagi Amerika Serikat adalah menerapkan kebijakan hak asasi manusia di tengah-tengah kebijakan prioritas yang lain seperti kepentingan politik, militer, dan ekonomi yang bertentangan dengan tindakan pada hak asasi manusia (Cohen, 2008). Serangan terorisme 11 September 2001 membuat promosi demokrasi menjadi elemen penting dalam pembuatan kebijakan luar negeri AS di Timur tengah. Tak lama setelah serangan tersebut muncul berbagai pandangan bahwa terorisme Islamis adalah ancaman utama AS. Hal tersebut disebabkan oleh defisit demokrasi yang terjadi di Timur Tengah dan AS merasa bertanggung jawab atas hal tersebut. AS merasa harus melakukan demokratisasi di Timur Tengah. Represi dan autoritarianisme membuat para Islamis frustasi dan akhirnya bertindak nekat. AS dan sekutunya menganggap demokrasi adalah satu-satunya solusi bagi masalah terorisme (Dale, 2011). Amerika Serikat banyak memainkan peran didalam perbaikan hak asasi manusia di berbagai negara. Seperti contohnya di Afrika Selatan di bawah rezim apartheid, ketika di Afrika Selatan kebijakan ekonomi dan bisnis lebih diutamakan sedangkan kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan rasial bagi kaum atau kelompok minoritas diabaikan maka Amerika Serikat mencoba menyelesaikan permasalahan ini, bukan dengan cara memberikan sangsi ekonomi 36 langsung namun Amerika Serikat mencoba menyelesaikan dengan cara membatasi perdagangan dan investasi swasta dengan Afrika Selatan (Cohen, 2008). Pemerintahan Bush juga cukup terus terang dalam permasalahan HAM di Darfur. Amerika Serikat menaruh tekanan pada kebijakan pemerintah Sudan dalam penanganan kasus tindak pidana di Sudan. Secara historis, Darfur yang merupakan bagian dari Negara Sudan, merupakan wilayah jajahan yang terbentuk berdasarkan pembagian paksa Kolonial kepada wilayah-wilayah di Afrika termasuk Sudan yang dipecah menjadi Sudan Utara dan Selatan. Akibat dekoloniasasi dengan system Westphalia, batasan ideology wilayah jajahan menjadi tidak jelas sehingga wilayahnya tidak stabil dan sarat akan konflik etnis, kepentingan, agama sehingga terjadi konflik Darfur yakni, kelompok minoritas Kristen di Darfur selatan melakukan perlawanan untuk memperjuangkan hak mereka di bawah pemerintahan Islam pimpinan Al-Bashir (Buzan, 2005). Sejak tahun 1990-an, Amerika Serikat memberikan bantuan kepada Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SLPA) sebuah milisi Kristen yang dipimpin John Garang. John Garang sempat dilatih dalam sekolah Pasukan Khusus AS di Fort Benning, Georgia. Darfur juga pernah bekerjasama dengan Kaum Yahudi selama beberapa waktu, melalui suplai senjata dan pelatihan militer. Hingga kemudian konflik Darfur pada tahun 2003 terjadi lagi dan lebih menjadi sorotan internasional. Pada peristiwa yang sama pada tahun 2005 Amerika Serikat juga terlibat dalam perjanjian damai antara Sudan utara dan Sudan Selatan setelah perang sipil yang lama terjadi. Setelah peristiwa 9/11 hubungan kedua negara ini 37 mulai berkembang, dan Amerika Serikat mengidentifikasi dirinya sebagai pemilik tanggung jawab komando atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Darfur (Cohen, 2008). Peran yang dimainkan Amerika Serikat dalam konflik Darfur merupakan bagian dari gabungan kedua visi polugri Amerika Serikat Visi pertama Primacy yaitu bagaimana mewujudkan kepentingan nasional Amerika Serikat melalui unjuk kekuatan ekonimi politik dan militer serta menyebarkan nilai-nilai ideology Amerika Serikat kepada seluruh dunia agar Amerika Serikat bisa tetap eksis dalam politik internasional dan visi kedua yaitu kemanan kooperatif (Schmidt, 1999). Hal ini tercermin dalam peran Amerika Serikat dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di mana secara ekonomi Amerika Serikat termsuk penyumbang dan terbesar bagi dana operasional PBB dan badan-badannya, termasuk badan UNHCR, WHO, serta badan-badan lain yang menangani konflik Sudan seperti UNAMID, dan UNMIS.. Secara politis Amerika Serikat bermain dengan hak veto sebagai tamengya menjalankan keputusan, jika nantinya ada keputusan yang memberatkan Amerika Serikat dalam PBB terkait konflik Darfur (Schmidt, 1999). Obama juga mengambil peran terkait konflik yang sedang terjadi di Suriah, pemerintah Amerika Serikat menyatakan bahwa 10 ribu warga Suriah yang baru tiba di AS merupakan bagian dari 85 ribu pengungsi yang ingin ditampung tahun ini. Obama telah berkomitmen untuk menyambut sampai 100 ribu pengungsi hingga 2017. Namun kelompok-kelompok hak asasi manusia ingin 38 AS menampung lebih banyak lagi, bukan hanya pengungsi dari Suriah tetapi juga negara yang tengah dilanda perang lainnya (Pitarakis, 2016). Amerika Serikat juga membuat daftar negara atau pemerintahan yang tergolong pelanggar berat hak asasi manusia. Suriah dikritik tajam akibat menggunakan aksi pembantaian, pemboman warga sipil dan pemerkosaan massal sebagai alat perang. "Suriah bukan hanya mengerahkan tentara reguler tapi juga kelompok milisi yang berafiliasi dengan rezim untuk melancarkan aksi kekerasan", tulis laporan tahunan yang disusun berdasar mandat Kongres AS itu (Pitarakis, 2016). Selain itu laporan mengkategorikan Korea Utara, Rusia, Arab Saudi dan Iran sebagai negara dengan pemerintahan otoriter yang menggunakan hukum yang represif atau kekerasan untuk mengintimidasi warganya. Rusia terutama dikritik terkait invasi ke Ukraina. Arab Saudi dikecam karena tidak melakukan represi kebebasan beragama dan tidak menghormati hak perempuan. Sementara Iran dikecam karena melakukan eksekusi mati sewenang-wenang. Sejumlah negara juga dikecam karena melanggar hak mengeluarkan pendapat dan berekspresi dengan membolokir akses ke situs internet atau media sosial. Laporan itu menempatkan Cina, Turki, Arab Saudi, Kuwait, Vietnam, Belarusia, Tajikistan, dan Ekuador sebagai pelaku utama represi media dan akses ke internet (Alvin, 2016). Tidak hanya mengecam negara lain sebagai pelanggar HAM, laporan itu juga mengkritik beragam pelanggaran hak asasi manusia berat yang masih terus berlangsung di Amerika Serikat sendiri. Yang paling menonjol adalah aksi 39 pembunuhan berlatar kebencian ras terhadap warga kulit hitam di negara itu. Kasus pembunuhan warga sipil kulit hitam oleh polisi kulit putih, memicu aksi protes dan kerusuhan sepanjang tahun 2014 silam. Kasus teranyar pada 2015 adalah penembakan membabi buta oleh seorang remaja kulit putih yang menewaskan 9 warga kulit hitam di sebuah gereja di Charleston, South Carolina. Menlu Kerry menegaskan, dengan laporan ini, hendak ditegaskan tidak ada arogansi AS dalam mencatat kasus pelanggaran HAM di seluruh dunia (Edrian, 2016). Komitmen Obama untuk mengembalikan citra baik Amerika Serikat di mata dunia perlu diberikan apresiasi sebesar-besarnya. Karena butuh usaha yang besar dalam mengembalikan kepercayaan dunia terhadap Amerika Serikat. 2.4 Kebijakan HAM Amerika Serikat di Kuba Adalah hal yang menarik dalam mengkaji bagaimana pasang-surut hubungan Amerika Serikat dengan Kuba. Pasca kemenangan atas Spanyol, Amerika Serikat mengendalikan politik Kuba baik politik dalam negeri maupun politik luar negeri. Selain itu, Amerika Serikat juga mendominasi perekonomian negara tersebut. Tahun 1934 sampai 1958 Kuba menjadi tempat strategis bagi para investor dan turis Amerika Serikat. Hubungan baik yang terkesan spesial tersebut membawa keuntungan besar bagi pemerintahan Amerika Serikat. Pada tahun 1958 tercatat bahwa Kuba merupakan lahan investasi terbesar kedua bagi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat khusus kawasan Amerika Latin. 40 Hubungan baik dan saling menguntungkan ini ini hancur pasca revolusi penggulingan rezim Fulgencio Batista yang kebijakan politiknya terlalu memihak Amerika Serikat. Keretakan hubungan yang terjadi antar kedua negara tidak terjadi begitu saja tanpa adanya satu penyebab. Pada awalnya, pemerintahan revolusi Kuba yang dipimpin oleh sosok kharismatik Fidel Castro ingin menunjukkan kepada dunia internasional bahwa dia bukanlah seorang pemimpin yang anti kapitalisme, tetapi respon negatif yang didapatnya saat melakukan kunjungan luar negeri pertamanya sebagai presiden Kuba ke Amerika Serikat membuat dirinya bersikap tegas dan berpaling ke Uni Soviet yang pada saat itu juga merupakan salah satu kekuatan dunia selain Amerika Serikat. Kebijakan Kuba untuk menjalin hubungan dengan Uni Soviet inilah yang kemudian memicu keretakan hubungan kedua negara. Sepanjang tahun 1959 sampai dengan 2009, Amerika Serikat telah mengalami pergantian Presiden sebanyak 10 kali dan sepanjang itulah situasi tidak banyak merubah kebijakan terhadap negara salah satu penghasil gula terbesar di benua Amerika Selatan. Kebanyakan dari pemimpin Amerika Serikat tetap meneruskan apa yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Kemudian mengalami perubahan yang signifikan ketika terpilihnya Barack Husein Obama sebagai Presiden Amerika Serikat yang ke-44 (dilantik 20 Januari 2009) (Burhan, 1984). Banyak yang menanti perubahan-perubahan yang akan di bawa Obama melalui kebijakan-kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang selalu dia suarakan selama periode kampanyenya,terutama kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Kuba. 41 Pada kasus hubungan Amerika Serikat – Kuba, presiden terpilih Barack Obama menyatakan keinginannya untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan negara tetangga yang menganut sistem pemerintahan Komunis tersebut. Di bawah kepemimpinannya, pemerintah Amerika Serikat mencabut pembatasan larangan kunjungan dan pengiriman uang ke Kuba bagi warga KubaAmerika.Rakyat Kuba menyambut baik kebijakan tersebut. Timbul harapan bahwa kebijakan tersebut merupakan langkah awal untuk bisa menjembatani keretakan hubungan diplomatik kedua Negara (Burhan, 1984). Politik luar negeri tidak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional. Karena hal itulah yang mendorong terciptanya sebuah kebijakan luar negeri. kebijakan luar negeri merupakan sebuahkeputusan yang didahuli oleh sebuah proses dimana ada tuntutan dari domestic politics, serta dengan melihat kemampuan dari kekuatan ekonomi dan militer. Faktor-faktor tersebut kemudian mempengaruhi para pembuat kebijakan, yang kemudian meramunya sehingga menjadi sebuah kebijakan luar negeri. Pada kasus hubungan Amerika Serikat – Kuba salah satu kebijakan yang timbul akibat dari tekanan dalam negeri Amerika Serikat adalah mengenai pembatasan kunjungan dan larangan pengiriman uang yang merupakan rangkaian dari sanksi embargo Amerika Serikat terhadap Kuba. Kebijakan baru Amerika Serikat mengenai penghapusan larangan berkunjung serta pembatasan pengiriman uang ke Kuba tersebut merupakan efek dari tekanan rakyat Amerika Serikat pada khususnya yang menganggap bahwa larangan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Tekanan yang diberikan oleh mayoritas 42 rakyat Amerika Serikat megenai penghapusan larangan berkunjung serta pembatasan pengiriman uang ke Kuba masuk sebagai input politik dalam negeri Amerika Serikat. Input ini kemudian diproses oleh pemerintahan Barack Obama yang semasa Kampanyenya selalu menyuarakan perubahan hubungan Amerika Serikat – Kuba menuju kearah yang lebih baik. Bersamaan dengan kebijakan penghapusan larangan bepergian dan pembatasan pengiriman uang ke Kuba tersebut, pemerintah Amerika Serikat juga mencoba untuk membuka kembali hubungan kerjasama pada bidang telekomunikasi. Kedua kebijakan digabungkan dalam satu rangkaian kebijakan Reaching Out Cuban People (August, 1990). Dengan penggabungan kedua kebijakan ini, selain dapat memenuhi tuntutan dalam negeri dari rakyat Amerika Serikat megenai penghapusan larangan bepergian dan pembatasan pengiriman uang ke Kuba, pemerintah Amerika Serikat memandang bahwa dengan terjalinnya kerjasama telekomunikasi tersebut maka mereka dapat lebih mudah untuk memantau perkembangan pemerintahan Kuba yang sampai saat ini belum juga bersedia untuk menegakkan demokrasi di negara tersebut. Kepentingan penegakan demokrasi di Kuba merupakan upaya yang sudah sejak lama diusahakan oleh pemerintahan Amerika Serikat dan selalu mendapat penolakan dari rezim revolusi Kuba. Selain itu, dengan penggabungan kedua kebijakan tersebut, dari segi ekonomi Amerika Serikat berkepentingan untuk menambah pemasukan devisa negara mereka dengan beroperasinya jaringan telekomunikasi yang mereka bangun (Black, 1991). Mengenai kepentingan penegakan demokrasi di Kuba, sejak awal abad ke19 sasaran utama dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Amerika 43 Latin bertumpu pada upaya untuk tetap memelihara belahan bumi bagian barat tersebut agar tetap menjadi wilayah dominasi Amerika Serikat dan mewujudkan demokratisasi di kawasan tersebut. Upaya dominasi terhadap Amerika Latin tidak hanya karena motivasi imperialisme atau eksploitasi ekonomi, akan tetapi lebih jauh karena keyakinan yang kuat, ketentuan dari para pendiri bangsa, mitos kritis yang masih tersisa dari politik Amerika Serikat bahwa keamanan dan kemakmuran Amerika Serikat sangat tergantung pada kebijakan ideologi politik luar negeri dan pergerakan dari belahan bumi bagian barat tersebut (Slater & Knippers, 1991). Langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintahan Barack Obama tersebut diatas merupakan langkah awal bagi perbaikan hubungan kedua negara. Perubahan orientasi kebijakanan politik luar negeri Pemerintah Obama dalam HAM, juga berpengaruh terhadap sikap Amerika Serikat dibawah kekuasaan Obama terhadap Kuba. Tidak sebatas perubahan sikap, tetapi juga ditindak-lanjuti dengan kebijakan normalisasi diplomatik Amerika dengan Kuba dalam bentuk kunjungan Presiden Obama ke Kuba, 20 Maret 2016. Presiden AS yang mengunjungi Kuba paling terakhir adalah Calvin Coolidge. Itu terjadi di tahun 1928. Saat itu Calvin mengunjungi negara berhaluan komunis itu dengan menumpang kala perang. Kunjungan Obama ini terjadi setelah Amerika Serikat secara resmi menormalisasi hubungan diplomatik dengan Kuba. Terkait dengan ini intelektual progressif Amerika Noam Chomsky (2016) mengatakan, alasan utama Washington mengubah kebijakan lamanya mengisolasi komunis Kuba terjadi setelah opini publik dan sektor bisnis di 44 Amerika Serikat mendukung diakhirinya kebijakan tersebut. Namun, kata Chomsky, opini publik AS itu diabaikan. Yang menarik, sektor yang berpengaruh di AS, yakni kaum pemodal, mendukung ide normalisasi itu. Terutama sektor farmasi, energi, agro-industri, dan sektor lainnya. Pengamat Amerika Latin dari Sorbonne Paris Jeanette Habel dan ilmuwan politik dari McGill University Kanada Arnold August (Habel & August, 2016) menjelaskan 5 faktor yang menyebabkan Obama mengubah secara radikal kebijakannya terhadap Kuba. Pertama, pudarnya pengaruh AS di Amerika Latin. Baik Habel maupun Arnold sepakat, bahwa faktor utama yang memaksa Obama mengubah kebijakannya terhadap Kuba adalah menurunnya pengaruh AS terhadap Amerika latin. Sebelumnya, Amerika latin selalu dianggap ―halaman belakang‖ AS oleh doktrin Monroe. Habel mengingat, keputusan Obama memulai normalisasi pada Desember 2014 hanya berselang empat bulan menjelang penyelenggaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke VII negara-negara Amerika. Saat itu mayoritas pemimpin Amerika Latin mengancam akan memboikot KTT itu jika Kuba tidak diperbolehkan ikut serta. Takut dengan kegagalan diplomasi yang lebih besar, tim Obama akhirnya mengajak Kuba untuk negosiasi dan memastikan hadir di KTT itu. Inilah langkah awal normalisasi diplomatik. Professor William M. LeoGrande dari American University dan analis senior dokumen luar negeri Peter Kornbluh (LeoGrande & Kornbluh, 2015) juga menekankan sejak awal revolusi Kuba, ada banyak Presiden AS yang berusaha menormalisasi hubungan diplomatik dengan Kuba, seperti John F Kennedy (19611963) dan Henry Kissinger, Menteri Luar Negeri pada masa Richard Nixon 45 (1969-1974). Sekarang, dengan merosotnya hegemoni AS di kawasan Amerika latin, isu Kuba seperti ―hamil tua‖. Dan seperti dikatakan Arnold, bahwa Obama sendiri akhirnya mengakui di bulan Desember 2014 bahwa kebijakan blokade terhadap Kuba terbukti gagal dan kegagalan itu butuh perubahan taktik (August, 1990). Namun, dia mengingatkan, strategi jangka panjang AS masih tetap menghendaki perubahan rezim di Kuba. Kedua, mengincar pasar Kuba. Tak bisa dipungkiri, pasar Kuba—yang mewakili 11 juta orang—menggiurkan bagi sektor bisnis AS. Apalagi, Eropa, Tiongkok, Brazil dan Venezuela sudah lebih dulu berinvestasi di Kuba melalui sektor infrastruktur, kilang, dan lainnya. Karena itu, sektor bisnis Kuba rajin melobi pemerintah untuk mengubah kebijakan tradisional mereka. Washington juga menyadari, kebijakan dua jalur mereka, yakni tongkat dan wortel (stick and carrot), tidak efektif. Akhirnya, pendekatan ―tongkat‖ dihentikan, tetapi ―wortel‖ diteruskan—kebijakan lunak dengan mengalirkan dollar, investasi, barang-barang konsumsi, pariwisata dan budaya (Habel & August, 2016). Ketiga, AS lebih terbuka dengan Raul Castro. Kedua negara, AS dan Kuba, mengalami siklus politik yang relatif beriringan. Raul Castro mulai berkuasa di tahun 2008, sedangkan Obama mulai menjabat di tahun 2009. Meskipun Fidel Castro, pemimpin paling bersejarah di Kuba, selalu mengatakan siap melakukan negosiasi asalkan AS menghormati kedaulatan Kuba, tetapi AS merasa lebih fleksibel dengan Raul Castro. Pergeseran politik luar negeri ini juga terjadi ketika investasi asing mulai mewarnai ekonomi Kuba, seperti inisiatif negeri ini memulai babak baru privatisasi ekonomi. 46 Keempat, peranan Paus Fransiskus. Menurut Habel, gereja juga memainkan peran besar dalam mendorong normalisasi diplomatik AS-Kuba. Terutama gereja Katolik Kuba. Kardinal Kuba Ortega menganjurkan rekonsiliasi nasional sejak lama dan mempersiapkan kunjungan Paus Fransiskus ke Amerika Latin di tahun 2013. Paus Fransiskus, paus pertama dari benua Amerika Latin, langsung bertindak sebagai mediator. Pembicaraan awal soal normalisasi diplomatik berlangsung pertamakali di Vatikan (Habel & August, 2016). Kelima, berubahnya cara pandang orang Kuba dan AS. Faktor penting yang juga mempengaruhi bagi normalisasi diplomatik AS dan Kuba adalah evolusi kaum diaspora Kuba yang tinggal di AS, khususnya di negara bagian Florida. Gelombang pertama emigran Kuba adalah kaum intelijensia dan orangorang dekat diktator Batista. Setelah jatuhnya Soviet, imigran Kuba didorong oleh faktor ekonomi ketimbang politik. Mereka ingin mencari hidup yang lebih baik. Mereka lebih terbuka dengan normalisasi dengan Kuba sekalipun masih diperintah rezim komunis. Generasi muda Kuba yang tinggal di AS, yang lahir di AS, mereka punya keluarga di Kuba. Mereka mendukung pergeseran kebijakan Obama karena mereka ingin mengunjungi keluarga mereka di Kuba dan mengirim uang ke sana. Terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi di Kuba, Amerika Serikat juga memainkan perannya untuk menyelesaikan permasalahan HAM di Kuba. Amerika Serikat mengecam pelanggaran hak asasi manusia yang ada di Kuba. Amerika Serikat menjadikan persoalan ini sebagai prioritas Politik Luar Negeri Amerika Serikat, oleh karenanya pemerintah Obama belum juga bersedia 47 mencabut embargo ekonomi terhadap Kuba meskipun normalisasi sudah terjalin diantara kedua negara. Hal tersebut merupakan bagian dari sangsi Kuba jika pemerintahannya belum menyelesaikan permasalahan HAM di negaranya. Berdasarkan atas keterangan-keterangan ini dapat dilihat bahwa sikap Amerika Serikat yang sangat mendukung hak asasi manusia di dunia internasional tidak luput diwarnai dengan kesalahan-kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Amerika Serikat sendiri. Namun, dengan kesalahan yang dibuat pemerintah Obama tidak tinggal diam, ia berusaha keras untuk memperbaiki citra nya di mata dunia dan menerapkan HAM dalam Politik Luar Negeri Amerika Serikat. Oleh sebab itu ia akan terus berusaha berkontribusi dalam penyelesaian permasalahan HAM di berbagai negara dan mengecam negara-negara yang tak kunjung menyelesaikan permasalahan HAM nya. 48