BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin mengakhiri sistem dunia yang bipolar. Hal ini juga diiringi oleh beralihnya isu-isu dalam hubungan internasional dari yang high politics (isu politik dan keamanan) menjadi low politics (isu HAM, ekonomi, lingkungan, terorisme,dsb) yang kemudian dianggap sama pentingnya dengan isu high politics. Namun, hal ini tidak serta merta menghilangkan persaingan yang ada mengenai perebutan pengaruh seperti saat perang dingin. Meskipun saat ini persaingan tersebut lebih bersifat implisit, tidak sejelas dulu. Sistem internasional yang cenderung multipolar menimbulkan persaingan-persaingan baru, salah satu contohnya adalah persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Asia-Pasifik saat ini merupakan kawasan yang diprediksi akan menjadi 1 bagian terbesar bagi sejarah politik dan ekonomi dunia abad ke-21. Dinamika geopolitik dan ekonomi global mulai terarah pada kawasan Asia-Pasifik, terlihat dari semakin banyak New Emerging Countries (NEC) yang bermunculan dari kawasan ini. Sebagai contoh dari negara-negara yang termasuk NEC adalah Jepang, Korea Selatan, India, dan Tiongkok khususnya. Meningkatnya pengaruh Aisa dan, khususnya, meroketnya kekuatan politik dan ekonomi Tiongkok, merupakan pergeseran global yang luar biasa. Kebangkitan tersebut pasti akan mendatangkan suatu kekhawatiran bagi negara-negara 1 yang merasa terancam dan tersaingi kepentingannya, termasuk Amerika Serikat, yang banyak dikritisi mulai berkurang pengaruhnya di dunia saat ini. Semakin besarnya pengaruh Tiongkok di Asia dapat terlihat dari peran penting dan keterlibatan negara tersebut yang semakin menguat di kawasan Asia Tenggara. Hampir semua pertumbuhan ekonomi negara di Asia Tenggara terkait dengan Tiongkok. Adanya kerjasama strategis antara negara-negara di kawasan dengan Tiongkok menyebabkan pengaruh Tiongkok semakin signifikan di kawasan Asia Tenggara, misal dengan disepakatinya CAFTA (Tiongkok-ASEAN Free Trade Area). Kerjasama bilateral antara negara-negara ASEAN yang semakin kuat dengan Tiongkok, serta keterlibatannya pada konflik Laut Tiongkok Selatan, membuat posisi Tiongkok semakin signifikan di Asia Tenggara. Padahal sebagian besar negara yang ada di Asia Tenggara pada dasarnya lebih condong berada di bawah pengaruh Amerika Serikat, seperti Singapura, Thailand, Indonesia, Malaysia, Bruneai Darussalam, terlebih lagi Filipina yang merupakan aliansi terdekatnya. Kepentingan Amerika di kawasan ini cukup jelas. Asia Tenggara merupakan kawasan strategis di sekitar bagian selatan Tiongkok dan mencakup Laut Tiongkok Selatan yang termasuk jalur perekonomian paling signifikan di dunia. Asia Tenggara juga merupakan rumah bagi 600 juta orang yang apabila digabung merupakan kekuatan ekonomi terbesar ketiga di Asia.2 Nilai-nilai strategis ini, apabila berhasil didominasi oleh Tiongkok, tentu akan mengancam posisi Amerika Serikat sebagai hegemon di kawasan tersebut.3 2 Pada tahun 2011, dalam pidato pada kunjungan di Australia, Presiden Barrack Obama mengumumkan grand strategi baru terhadap Asia-Pasifik yang dikenal dengan strategi pivot atau rebalance dimana kebijakan luar negerinya akan difokuskan pada kawasan Asia-Pasifik.4 Langkah ini diambil untuk memperkuat posisi Amerika Serikat sebagai salah satu bagian yang tidak akan terlepas dari kawasan. Oleh sebab itu, pada tahun 2012 perjalanan pertama Presiden Barrack Obama setelah memenangkan pemilu kedua adalah ke Asia Tenggara, yaitu dengan mengunjungi Thailand dan Myanmar.5 Ini merupakan hal yang pertama kali dilakukan oleh seorang Presiden Amerika Serikat dan menunjukkan keseriusan Obama dalam memandang kawasan ini. Adanya perubahan pandangan serta kebijakan Amerika Serikat terhadap kawasan Asia-Pasifik tersebut menimbulkan ketertarikan peneliti untuk mengetahui bagaimana implementasi dari strategi rebalance yang dicetuskan Obama tersebut terhadap negara-negara di Asia-Pasifik. Implementasi suatu kebijakan berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk mengorganisir, meginterpretasikan, dan menerapkan kebijakan yang telah dirumuskan.6 Implementasi merupakan interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan dalam pembuatan suatu kebijakan.7 Oleh sebab itu, mempelajari implementasi dari strategi rebalance ini penting untuk mendapatkan gambaran, analisis, dan penjelasan dari berbagai sebab dan akibat dari tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah, terutama untuk menilai dampak dan menganalisa 3 akibat dari penerapan kebijakan tersebut. Mempelajari implementasi juga dapat menjabarkan proses-proses politik yang berlangsung serta meneliti akibat dari kebijakan tersebut terhadap sistem politik internasional maupun dampak kebijakan terhadap negara tujuan pengimplementasian kebijakan tersebut. Peneliti akan fokus terhadap satu negara saja, yaitu Filipina. Filipina merupakan aliansi terdekat AS di Asia Tenggara. Berdasarkan latar belakang sejarah kedua negara, Filipina adalah bekas koloni Amerika Serikat. Selain itu, kedua negara memiliki kerjasama militer yang erat. Di bawah Military Bases Agreement (MBA) 1947, Amerika Serikat pernah memiliki pangkalan militer terbesar di Asia yang terletak di Filipina, yaitu Pangkalan Udara Clark di Pampanga dan Pangkalan Laut Subic di Zambales.8 Selain itu, pada tahun 1951 disepakati juga Mutual Defense Treaty (MDT) antara kedua negara. Dapat dikatakan bahwa saat ini Filipina merupakan satu-satunya pintu gerbang bagi Amerika Serikat ke Asia Tenggara. Terlebih lagi, pertentangan antara Tiongkok dan Filipina serta beberapa negara Asia Tenggara lainnya dalam kasus Laut Tiongkok Selatan dapat menjadi celah bagi Amerika Serikat untuk mengambil peran. Mengingat Filipina membutuhkan dukungan untuk melawan dan mendapatkan pembelaan dalam kasus Laut Tiongkok Selatan. Oleh karena itu, dengan berlatar belakang masalah diatas, peneliti mengangkat penelitian yang berjudul IMPLEMENTASI STRATEGI REBALANCE TOWARD ASIA-PACIFIC AMERIKA SERIKAT TERHADAP FILIPINA PADA TAHUN 2011-2016. 4 B. Batasan dan Rumusan Masalah Agar penelitian ini lebih fokus dan pembahasan tidak terlalu melebar, peneliti membatasi permasalahan pada implementasi strategi rebalance terhadap negara Filipina dimulai tahun 2011 hingga Maret 2016. Jangka waktu tersebut disesuaikan dengan waktu dirilisnya strategi rebalance hingga saat penelitian ini dilakukan. Peneliti hanya akan memaparkan bentuk-bentuk implementasi strategi rebalance dalam kurun waktu tersebut, meskipun pemberlakuan strategi mungkin masih akan berlangsung selama masa pemerintahan Obama yang belum berakhir ini. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana implementasi strategi rebalance toward Asia-Pacific Amerika Serikat terhadap Filipina pada tahun 2011-2016? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berkaitan dengan rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya maka tujuan dan manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan penelitian Untuk mengetahui bagaimana implementasi strategi rebalance toward Asia-Pacific Amerika Serikat terhadap Filipina pada tahun 2011-2016 selaku negara aliansi yang paling dekat dengan Amerika Serikat di Asia Tenggara. 2. Manfaat Penelitian 5 a. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan tambahan informasi dan pembelajaran bagi para penstudi dan pemerhati masalah-masalah internasional di masa mendatang, khususnya yang terkait dengan topik yang dibahas, serta dapat berguna juga bagi peneliti sendiri dalam menambah wawasan dan pengetahun dalam Hubungan Internasional. b. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber tambahan data-data empiris bagi para peneliti Hubungan Internasional serta bagi masyarakat yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai topik yang dibahas disini. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan atau pembanding dalam perumusan suatu kebijakan oleh pemerintah dan menjadi bahan rujukan untuk menganalisa peluang, tantangan, maupun ancaman dari adanya strategi rebalance yang diterapkan Amerika Serikat di Asia ini. 6 D. Tinjauan Pustaka Dalam sub bab ini akan dibahas penelitian terdahulu yang terkait dengan apa yang peneliti bahas, yaitu tentang implementasi strategi rebalance di Filipina. Peneliti meninjau dari beberapa tulisan berikut : 1. US Foreign Policy in Southeast Asia Under Obama Administration : Explaining US Return to Asia and Its Strategic Implication oleh Hung Ming-Te dan Tony Tai-Ting Liu Tulisan tersebut dimuat dalam jurnal USAK YEARBOOK Vol.5, tahun 2012. Isi dari penelitian tersebut berusaha untuk memetakan perubahan kebijakan Amerika Serikat di Asia Tenggara dan mengidentifikasi faktor-faktor penting yang mempengaruhi transformasi kebijakan Amerika Serikat. Penelitian tersebut menguji perbedaan kebijakan transisi antara pemerintahan Presiden Bush dan Presiden Obama. Disebutkan bahwa di bawah pengaruh neo-konservatif, pemerintahan Bush secara perlahan mulai merubah strategi Amerika Serikat untuk perlahan kembali ke kawasan regional Asia Tenggara tersebut, yang mana Asia Tenggara menjadi front kedua dalam perang 9 melawan terorisme. Di bawah pemerintahan Obama, Amerika Serikat mengadopsi strategi smart power terhadap Asia Tenggara dengan 10 “complete return to Southeast Asia”. Obama dengan strategi tersebut 7 berusaha untuk menyeimbangkan pertumbuhan pengaruh Tiongkok di kawasan regional Asia Tenggara yang semakin menguat. Perbedaan mencolok antara dua kepemerintahan ini adalah Obama mengadopsi pendekatan yang berusaha untuk berteman dengan negara-negara di Asia dalam rangka penyeimbangkan peningkatan pengaruh oleh Tiongkok, sedangkan diketahui juga bagaimana kebijakan Bush cukup merusak kredibilitas kepemimpinan global Amerika Serikat akibat kampanye di Afganistan dan Irak pada saat itu. Salah satu faktor adanya transformasi kebijakan Amerika Serikat adalah meningkatnya kekuatan Tiongkok itu sendiri ketika kekuatan Amerika Serikat dirasa semakin berkurang. Oleh sebab itu, karena Obama menyadari akan tren yang terjadi ini, maka ia berusaha untuk memperbaiki hal tersebut dengan cara menarik diri dari kekacauan ekonomi domestik dan mulai fokus keluar untuk mengisolasi 11 kebangkitan Tiongkok. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana Amerika Serikat mengambil peran dalam urusan di Asia Tenggara. Salah satunya adalah dengan melukiskan Tiongkok sebagai ancaman potensial bagi Asia Tenggara itu sendiri, terutama terkait konflik laut Tiongkok Selatan, dan Amerika Serikat menawarkan demokrasi, kebebasan, dan ekonomi pasar kepada Asia Tenggara. Dari hasil penelitian Hu Ming-Te dan Tony diatas telah sedikit menggambarkan bagaimana transformasi kebijakan yang dilakukan 8 Amerika dengan membandingkan administrasi Bush dan Obama. Meskipun, penelitian ini baru sebatas menjelaskan kenapa bisa terjadi transformasi kebijakan yang diambil oleh Amerika Serikat tersebut. 2. Balancing Acts: The US Rebalance and Asia Pacific Stability oleh Robert G.Shutter, Michael E.Brown, dkk. Di dalam buku yang diterbitkan oleh Sigure Center for Asian Studies The George Washington University pada tahun 2013 ini terdapat pembahasan mengenai pemikiran strategis Amerika Serikat atas perubahan kebijakan, unsur-unsur kebijakan Amerika Serikat yang baru, respon regional untuk inisiatif baru, serta prospek kebijakan Amerika Serikat tersebut terhadap kawasan Asia-Pasifik itu sendiri. 12 Seperti penelitian yang dibahas sebelumnya, penelitian kali ini juga menekankan bahwa kebijakan baru Amerika Serikat terhadap Asia didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan atas jaminan strategis dalam menghadapi kebangkitan Tiongkok. Kebijakan tersebut juga didorong oleh keinginan untuk meyakinkan sekutu Amerika Serikat, aliansi, serta negara-negara lainnya di kawasan bahwa Amerika Serikat belum melemah dan tidak akan melepaskan diri dari kawasan Asia-Pasifik. Penelitian George dkk mengungkapkan bahwa hampir setiap kekuatan regional di Asia Timur Laut, Asia Tenggara, dan Asia Selatan memegang dua posisi. 13 Pertama adalah bahwa sebagian besar kekuatan regional secara umum atau pribadi senang melihat komitmen 9 Amerika Serikat yang kuat di kawasan Asia-Pasifik. Kedua, disisi lain, kekuatan regional juga berusaha untuk menghindari memilih antara Amerika Serikat atau Tiongkok dan cenderung untuk memiliki hubungan yang baik dengan kedua negara tersebut. Sebagai contoh adalah Indonesia dan Thailand yang berusaha untuk menghindari diri dari adanya tanda-tanda yang menunjukkan kecondongan baik ke Amerika Serikat ataupun ke Tiongkok, mereka berusaha bersikap netral. Namun, berbeda dengan Indonesia dan Thailand, beberapa negara di kawasan Asia-Pasifik secara cukup eksplisit menunjukkan dukungan 14 yang besar terhadap kehadiran Amerika Serikat di kawasan. Sebagai contoh adalah negara Filipina, Jepang, dan Korea Selatan yang secara kebetulan negara-negara ini sedang terlibat dalam sengketa teritorial dan keamanan dengan Tiongkok. Pemerintah Filipina secara terbuka menyambut Amerika Serikat dalam upayanya menyeimbangkan kekuatan Tiongkok dan sengketa pulau yang berkelanjutan dengan Negara Filipina di Laut Tiongkok Selatan. Presiden Aquino menyataka bahwa Amerika Serikat dan 15 Filipina memiliki sejarah dan nilai-nilai bersama , oleh karena itu Amerika Serikat merupakan salah satu mitra strategis utama Filipina selain dengan Jepang. 10 Dari penelitian yang dijelaskan diatas terlihat bagaimana antusiasme respon dari Filipina atas kebijakan baru Amerika Serikat. Filipina sangat menyambut baik masuknya Amerika Serikat dalam urusan yang terjadi di kawasan Asia Tenggara, terutama yang berkaitan dengan kepentingan Filipina sendiri. Namun, dalam penelitian diatas belum dibahas secara lebih detail tentang bagaimana implementasi strategi rebalance terhadap Filipina. Hal inilah yang akan diteliti lebih lanjut oleh peneliti dalam skripsi ini. 3. The US Rebalancing Strategy: Responses from Southeast Asia oleh Rahul Mishra Literatur ketiga dimuat dalam buku Asian Strategic Review 2014 : US Pivot and Asian Security yang diterbitkan oleh Institute for Defence Studies & Analyses pada tahun 2014. Tulisan ini berisi tentang bagaimana respon negara-negara di Asia Tenggara terhadap strategi rebalance Amerika Serikat. Rahul Mishra membahas aspek politik, keamanan, dan ekonomi dari strategi rebalance yang ditujukan ke Asia Tenggara secara keseluruhan. Kesimpulan dari tulisan tersebut adalah bahwa untuk keadaan saat ini, negara-negara di kawasan Asia Tenggara, khususnya ASEAN sebagai sebuah kelompok, cenderung untuk membatasi keberpihakan yang begitu nyata baik kepada 16 Amerika Serikat atau kepada Tiongkok. 11 Pertumbuhan kekuatan dan ketegasan Tiongkok telah memberikan stimulus penting bagi pemberbaharuan aktifitas Amerika Serikat di kawasan. memanfaatkan hal Negara-negara tersebut di untuk Asia Tenggara membendung bisa kebangkitan Tiongkok, namun sebagian besar dari mereka memilih untuk tetap terbuka dan netral. 17 Sebagian besar negara ASEAN menerima kehadiran Amerika Serikat yang lebih besar di kawasan, sambil menjaga hubungan dengan Tiongkok dan menjaga keuntungan atas peningkatan ekonomi Tiongkok tersebut. Rahul menyebutkan bahwa strategi rebalance terhadap Asia berkaitan erat dengan hubungan Amerika Serikat-Tiongkok, dan akan membentuk perilaku negara-negara di kawasan Asia Tenggara. 18 Strategi rebalance bisa datang sebagai contoh bagaimana sistem internasional dan kekuatan besar dari sistem membentuk kebijakan negara-negara yang lebih kecil, bahkan kebijakan mereka sebagai kekuatan regional. Ketiga tulisan diatas baru sekedar menjabarkan tentang bagaimana Amerika Serikat bisa merubah arah kebijakannya untuk berporos pada kawasan Asia-Pasifik, serta bagaimana tanggapan negara- negara di AsiaPasifik terhadap adanya strategi rebalance tersebut. Namun, belum terdapat penjelasan yang lebih komprehensif dan mendalam mengenai implementasi 12 dari strategi rebalance itu sendiri. Sehingga, pada bagian itulah peneliti akan mengambil bagaian dalam tulisan ini, dengan berfokus pada salah satu negara yaitu Filipina. E. Kerangka Konseptual Landasan teori yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah secara ilmiah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Teori Stabilitas Hegemoni Munculnya Amerika Serikat ke panggung dunia sebagai negara adi daya yang memiliki kemampuan politik, ekonomi, dan militer yang terkemuka telah membawa para analis kepada pembahasan mengenai “hegemoni” yang merujuk pada adanya kekuatan dominan yang dimiliki oleh suatu negara. Menurut Gramsci, setidaknya terdapat dua makna dari hegemoni, yaitu dominasi dan kepemimpinan. 19 Hegemoni sebagai dominasi berarti menggunakan kekerasan atau paksaan untuk menempatkan suatu negara atau lebih dibawah kontrol politik langsung maupu tidak langsung yang bertujuan untuk mengerahkan, memerintah, dan mencari ketaatan. Sedangkan hegemoni sebagai bentuk kepemimpinan atau pengaruh merupakan kemampuan untuk mengubah perilaku negara-negara lain sesuai dengan apa yang diharapkan hegemon, namun dilaksanakan dengan suka rela oleh negaranegara tersebut, sehingga tidak didasarkan pada penggunaan kekuatan 13 atau paksaaan, melainkan memalui penyebaran sistemik dari nilai-nilai dan pandangan hegemon-nya. 20 Selain Gramsci, konsep hegemoni juga diartikan oleh tokoh lain, yaitu Strinati dalam bukunya yang berjudul An Introduction to Theories of Popular Culture, sebagai: "...Dominant groups in society, including fundamentally but not exclusively the ruling class, maintain their dominance by securing the 'spontaneous consent' of subordinate groups, including the working class, through the negotiated construction of a political and ideological 21 consensus which incorporates both dominant and dominated groups." Strinati mengartikan hegemoni sebagai kelompok dalam masyarakat yang menjaga dominasi mereka dengan mengamankan ‘persetujuan spontan’ dari kelompok bawahan, termasuk kelas pekerja, melalui pembangunan konsensus politis dan ideologis yang menggabungkan dominan dengan kelompok yang didominasi. Dari pengertian yang diungkapkan oleh kedua tokoh tersebut dapat disimpulkan bahwa hegemoni merupakan merupakan dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya dengan ataupun tanpa ancaman kekerasan, sehingga apa yang diinginkan oleh kelompok dominan tersebut terhadap kelompok yang didominasi akan diterima sebagai sesuatu yang wajar dan dengan suka rela, ataupun terpaksa. Teori stabilitas hegemoni sendiri pertama kali diusulkan oleh Charles P.Kindleberger setelah melakukan pengamatan terhadap Great Depression yang terjadi pada tahun 1929-1939 di Eropa. Ia berpendapat bahwa 14 kekacauan ekonomi yang terjadi pada saat itu adalah akibat dari tidak adanya pemimpin dunia yang dominan. 22 Kindleberger menunjukkan bahwa untuk menjaga stabilitas di arena internasinal harus ada negara dominan yang mampu menyediakan barang publik. Disebutkan bahwa pemeliharaan tatanan ekonomi internasional liberal membutuhkan dukungan jangka panjang dan kepemimpinan dari kekuasaan hegemonik yang memiliki kemampuan ekonomi, politik, dan militer untuk mengontrol pengaturan norma-norma politik dan ekonomi internasional. 23 Berdasarkan perspektif neorealis, faktor struktural dalam sistem internasional mendominasi. Hegemon akan fokus pada empat kepentingan dasar, yaitu kekuatan politik, pendapatan agregat nasonal, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas sosial. 24 Di mana, jika tidak ada hegemon, negara-negara besar akan bersaing untuk mendapatkan keuntungan dari keterbukaan yang menyebabkan ketidakstabilan sosial di negara-negara yang kurang berkembang dan menyebabkan kerentanan politik mereka. Teori stabilitas hegemoni ini akhirnya berkembang dan mulai digunakan untuk menganalisa masalah bukan hanya dalam bidang ekonomi, namun juga ke bidang-bidang lainnya seperti politik dan keamanan. Asumsi utama dari teori ini adalah bahwa sistem internasional akan stabil ketika hanya terdapat satu negara tunggal dalam sistem internasional yang berperan sebagai hegemon. 15 25 Dengan asumsi dasar yang demikian, peneliti menganalisis tindakan yang diambil Amerika Serikat menggunakan teori stabilitas hegemonik tersebut. Teori ini akan menjelaskan rasionalitas yang diambil Amerika Serikat dalam strategi rebalance-nya tersebut. Sejauh ini Amerika Serikat masih merupakan hegemon di dunia, di kawasan Asia Tenggara khususnya. Namun, kebangkitan dari banyak negara di dunia, terutama meningkatnya pengaruh Tiongkok, sedikitbanyak mengurangi kekuatan dominasi Amerika Serikat itu sendiri. Amerika Serikat memandang dirinya sebagai negara adi daya, negara yang menjadi poros dunia, dan merupakan polisi dunia. Dengan demikian, Amerika Serikat percaya bahwa stabilitas internasional hanya akan terjaga apabila Amerika Serikat merupakan satu-satunya kekuatan hegemon yang dapat mengontrol dunia. Dengan bangkitnya Tiongkok, Amerika Serikat tentu akan merasa bahwa kestabilan internasional akan mulai terganggu, sehingga perlu suatu kebijakan yang dapat mengatasi atau mengembalikan kestabilan dunia yang hanya dipimpin oleh satu kekuatan hegemon tunggal. Oleh sebab itu, mulai dirumuskan starategi rebalance toward Asia-Pacific. Makna rebalance yang dimaksudkan disini pun bukan berarti mengimbangi kekuatan Tiongkok dalam keadaan setara atau sejajar, melainkan upaya untuk tetap mempertahankan keadaan dimana kekuasaan Amerika Serikat lebih besar daripada Tiongkok sehingga tetap dalam keadaan balance, yaitu dengan adanya satu negara hegemon. 16 2. Teori Balance of Threat Balance of Threat merupakan sebuah teori yang pertama sekali diusulkan oleh Stephen Walt dalam artikel yang berjudul Alliance Formation and the Balance of World Power yang diterbitkan di jurnal International Security pada tahun 1987.26 Teori ini menekankan bahwa perilaku negara dalam membentuk aliansi bukanlah untuk mengimbangi kekuatan lawan, melainkan untuk mengatasi ancaman yang ada. Walt berpendapat “Although power is an important factor in their calculation, it is not only one. Rather than allying in response to power alone, it is more accurate to say that atates will ally with or against the most threatening power”.27 Hal ini berbeda dengan teori balance of power yang berargumen bahwa “untuk mencegah timbulnya kekuatan hegemoni, negara-negara cenderung membentuk koalisi dan kontra-koalisi, dan bahwa suatu aktor penyeimbang akan ikut campur tangan dengan memihak pada yang lebih lemah demi memulihkan perimbangan kekuatan”. 28 Walt menjelaskan terdapat 4 hal yang menjadi daya ukur suatu negara untuk menilai ancaman yang dimiliki negara lain, yaitu total kekuatan negara (agregate power), kedekatan geografis (geographic proximity), kemampuan menyerang (offensive power), dan niat menyerang (perceived 29 aggressiveness). Menurut Walt, negara memutuskan melakukan upaya aliansi dalam merespon ancaman dapat dilakukan 17 dengan 2 (dua) strategi utama, yaitu balancing dan bandwagoning yang dilakukan ketika negara mendapat ancaman eksternal. 30 Dalam balancing, negara melakukan aliansi dengan pihak lain untuk menghadapi negara yang memberikan ancaman, aliansi biasanya dilakukan dengan negara yang lebih lemah. Sedangkan bandwagoning, negara melakukan pendekatan dengan negara yang memberikan ancaman atau dengan negara yang lebih kuat. Morgenthau mendefinisikan balancing sebagai “the attempt on the part of one nation to counteract the power of another by increasing its strength to a point where it is at least equal, if not superior, to the other nation’s strength”. 31 Menurut Schweller, balancing merupakan “the creation or aggregation of military power through internal mobilization or the forging of alliances to prevent or deter the territorial occupation or the political and military domination of the state by a foreign power or 32 coalition”. Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa balancing merupakan strategi suatu bangsa untuk mengurangi ancaman dan menjaga keamanan dari ancaman eksternal baik militer maupun nonmiliter melalui penempaan aliansi dan pembentukan kekuatan militer. Berdasarkan penjabaran teori diatas, maka teori balance of threat relevan digunakan dalam menganalisa permasalahan dalam penelitian ini. Teori balance of threat dapat memberikan penjelasan atas kebijakan yang diambil Amerika Serikat terhadap Filipina. 18 3. Konsep Geopolitik Geografi politik pada mulanya dikembangkan sebagai cabang dari disiplin geografi hingga adanya penemuan geopolitics pada tahun 1999. Geografi politik berargumentasi bahwa politik suatu negara terpancar dari geografi mereka. Sebagaimana wilayah merupakan salah satu elemen konstitusi negara, geografi menjadi sangat penting untuk politik antar negara. Menurut Dictionary of Human Geography, geografi politik adalah : The study of the effect of political action on human geography, involving the spatial analysis of human phenomena. Traditionally political geography must concern with the study of state- their groupings and global relations (geopolitics) and their morphological characteristic, i.e. their frontiers and bounderies. In the last twenty years increasing interest has been shown in smaller political definition, i.e. those within states, involving an appretiation of the interaction between political processes and spatial organization, e.g. the nature and consequances of decision making by urban government, the relationship between public policy and resource development, the geography of public finance and electoral geography.33 Kamus tersebut menyebutkan bahwa geografi politik merupakan studi tenang tindakan politik terhadap geografi manusia yang secara tradisional fokus pada studi tentang pengelompokan negara, hubungan globalnya, dan karakteristik morfologi mereka, seperti perbatasan dan teritori. Menurut Encyclopedia Britannica, geopolitik adalah “analysis of the 34 geographic influences on power relationships in international relations”. Pengertian lain menurut Longman Dictionary on Contemporary English 19 mengartikan geopolitik sebagai “study of the effect of country’s position, population, ect on its politics.”35 Geopolitik berkaitan dengan konsep-konsep seperti kekuasaan, politik, kebijakan, ruang, tempat, dan wilayah, yang merangkul berbagai bentuk interaksi didalamnya. Kjellen, sebagai penemu istilah geopolitik tersebut mendefinisikannya sebagai “the theory of states as a geographical organism or phenomenon in space”.36 Kjellen berpendapat bahwa negara harus menerapkan lima jenis perlengkapan kebijakan untuk menjadi kuat. Kebijakan tersebut adalah, Econopolitik, Demopolitik, Sociopolitik, Kratopolitik, dan Geopolitik.37 Kjellen menyebarkan gagasan bahwa negara adalah entitas dinamis yang secara natural tumbuh dengan kekuatan yang lebih besar dan mesin untuk pertumbuhan tersebut adalah budaya. Semakin berkembang bdaya dan menyebar budaya tersebut, maka akan semakin memperluas wilayah kekuasaan. Ilmuan lainnya yang membrikan gagasan mengenai geopolitik adalah Karl Haushofer, seorang perwira Jerman. Elemen utama dari teori Haushofer adala mengenai Lebensraum. Houshofer mendefinisikan Lebenraum sebagai hak dan tugas bangsa untuk memberikan ruang dan sumberdaya yang diperlukan untuk rakyatnya. Ia menegaskan bahwa untuk mendapatkan Lebensraum, negara memiliki hak untuk menggunakan perang. Elemen kedua adalah autarki, yang berarti pemenuhan kebutuhan secara mandiri yang berhak diatur oleh negara. 20 Unsur ketiga adalah Panregionalisme, yang meramalkan kebutuhan negara untuk memperluas ruang mereka agar memasukkan orang-orang dari budaya yang sama dan tekait. Dengan panregionalisme, ia berpendapat untuk menggabungkan dan menganeksasi tanah pemukiman yang mirip atau berkaitan dnegan budaya Jerman pada masanya. Mengenai pengembangan konsep 38 geopolitik, houshofer mendefinisikan geopolitik sebagai alat dan panduan dalam menentukan aksi politik. Geopolitik dipandang sebagai sebuah teori dari peristiwa politik yang diintegrasikan kedalam pengaturan geografis suatu negara untuk mengembnagkan strategi kebijakan luar negeri dan memperluas atau memperkuat negara, atau setidaknya mencegah melemahnya negara. 39 Geopolitik juga dapat dianggap sebagai kombinasi dari sejarah (proses politik) dan geografi. Saul Bernard Cohen beranggapan sebagai berikut : Geopolitics is the analysis of the interaction between, on the one hand, geographical setting and prespective and, on the other hand, political processes. (…) Both geographical setting and political processes are dynamic and each influences and is influenced by the other. Geopolitics addresses the consequences of this intraction.40 Cohen membagi perkembangan geopoliik kedalam lima tahap. Tahap pertama adalah tahap dimana para pemikir geopolitik berfokus pada permasalahan nasionalisme, ekspansi negara, dan pembangunan imperium.41 Geopolitik pada masa tersebut cenderung digunakan sebagai 21 ilmu yang mempelajari bagaimana negara-nega besar menaklukan negara lain. Tahap kedua adalah geopolitik Jerman, yang mana Haushofer sebagai salah satu tokoh yang berpengaruh pada masa itu. Tahap ketiga adalah geopolitik di Amerika Serikat. Pada tahap ini pemeikiran mengenai geografi didalam pengaturan strategi pertahanan dan kemananan amerika serikat menjadi hal yang penting. Seperti, penguasaan terhadap udara, darat, dan laut dalam peperangan menjadi mutlak bagi negara. 42 Tahap keempat adalah geopolitik pada era perang dingin. Pada era ini terdapat dua perseteruan konsiderasi antara state centered geopolitics and universalistic geopolitics. Dimana geopolitic state centris masih berpijak pada pemahaman geografi dipakai sebagai instrument strategis dalam kebijakan politik, sedangkan geopolitik universalistic menggunakan kekuatan politik, ekonomi, serta pendekatan environmental dan sosial 43 sebagai penggerak geopolitik dunia. Tahap kelima adalah periode pasca perang dingin, dimana transformasi bentuk perang saat ini lebih pada penyebaran pengaruh dan paham-paham. Setelah berakhirnya perang dingin, studi geopolitik kembali berkembang dan memiliki pergeseran dalam fokusnya. Samuel Huntington membawa gagasan yang menyatakan bahwa sumber utama konflik pada politik era baru peradaban manusia adalah permasalahan budaya, daripada ideology atau ekonomi. Dengan kata lain, benturan peradaban akan menentukan politik global, da garis-garis patahan antara peradaban akan 22 menjadi garis pertempuran era mendatang. Fase ini ditentukan oleh interaksi antara peradaban barat dan non barat.44 Huntington berpendapat bahwa peradaban merupakan hal tertingi yang merupakan pengelompok identitas terluas yang menentukan batasbatas kelompok, baik klompok besar maupun kelompok kecil. Peradabandikatakan sebagai faktor penentu utama sejarah utama mansia yang membentuk politik dimasa depan. Ha tersebut disebabkan, pertama, peradaban tidak hanya nyata, namun juga merupakan hal dasar. Peradaban tersebut dibedakan berdasarkan sejarah, budaya, bahasa, tradisi, dan agama. Menurutnya, agama merpakan salah satu yang paling penting. Agama erupakan perbedaan yang menurutnya akan menghasilkan dan terus menghasilkan politik dan konflik. Kedua, karena kesadaran orang tentang peradaban semakin meningkan menyebabkan adanya perbedaan tersebut menjadi lebih jelas dan lebih central. Ketiga, sebagai akibat dari krisi identitas yang dibawa oleh globalisasi, ada muncul celah yang kemudian diisi oleh identitas keagamaan dalam bentuk fundamentalis. Keempat, peradaban barat mencapai puncak kekuasaannya pada akhir perang dingin, tapi non barat juga mulai memiliki kehendak untuk menentang peradaban barat dengan cara sendiri.45 Peneliti menggunakan konsep geopolitik ini untuk menjelaskan motif atau hal-hal yang menjadi pertimbangan amerika serikat dalam mengimplementasikan strategi rebalance di Filipina. 23 F. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan salah satu faktor paling penting dalam sebuah penelitian yang akan mempermudah peneliti dalam menjawab pertanyaan dalam penelitian ilmiahnya. Menurut Sugiyono “metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.” 46 Cara ilmiah yang dimaksudkan disini berarti kegiatan penelitian tersebut didasarkan pada ciri-ciri keilmuan yang rasional, empiris, dan sistematis. Sedangkan menurut I Made Wirartha, metode penelitian merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang membicarakan atau mempersoalkan cara-cara melaksanakan peneltian (yaitu meliputi kegiatan-kegiatan mencari, mencatat, merumuskan, menganalisis sampai menyusun laporannya) berdasarkan fakta-fakta atau gejala-gejala secara 47 ilmiah. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa metode penelitian adalah suatu teknik atau cara mencari, memperoleh, mengumpulkan data yang digunakan untuk keperluan menyusun suatu karya ilmiah dan kemudian menganalisa faktor-faktor yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan sehingga jawaban atas rumusan masalah dalam pertanyaan akan terjawab secara ilmiah. 24 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptifanalitis. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.48 Sedangkan deskriptif-analitis adalah metode yang digunakan untuk memberikan gambaran mengenai fakta yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dan meliputi analisis serta interpretasi mengenai arti data yang dikumpulkan tersebut.49 Tujuannya adalah agar dapat menggambarkan dan menelaah serta menganalisa fenomena yang ada untuk dituangkan ke dalam pembahasan yang bersifat alamiah. Bentuk penelitian kualitatif deskriptif ini akan mampu menangkap berbagai informasi kualitatif untuk mempelajari gejala-gejala sosial melalui analisis. Penelitian deskriptif akan memusatkan perhatian kepada masalahmasalah sebagaimana adanya saat penelitian dilaksanakan. Tujuannnya adalah memperoleh pemaparan yang objektif dari permasalahan yang diteliti. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan untuk menghimpun data, informasi, atau fakta yang berhubungan dengan 25 masalah yang ingin diteliti. Menurut Prof. Burhan Bungin, dalam penelitian kualitatif, peneliti dapat memilih beberapa teknik pengumpulan data, antara lain: (1) Observasi Partisipasi; (2) Wawancara Mendalam; (3) Life History; (4) Analisis Dokumen; (5) Catatan harian peneliti; dan (6) Analisis isi media. 50 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data analisis dokumen dan analisis isi media, atau dalam bahasa lain dikenal dengan Library Research (penelitian kepustakaan). Library research merupakan teknik pengumpulan data dari berbagai sumber bacaan seperti literatur, buku, surat kabar, artikel, jurnal, dan lain sebagainya. Jenis data yang dikumpulkan adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif merupakan kumpulan data yang berwujud kata-kata. Sedangkan data kuantitatif adalah kumpulan data yang berwujud angkaangka. Sumber data terdiri dari sumber data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang bisa diperoleh langsung dari subjek penelitian. Sedangkan data sekunder adalah data-data yang sudah tersedia, yang diperoleh peneliti tidak langsung dari subjek penelitiannya. Sumber data primer penelitian ini diantaranya adalah : a. Naskah perjanjian Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) 26 b. Blueprint PFG Join Country Action Plan, Philippines – United States 2012-2016 c. Pidato Presiden Obama di hadapan parlemen Australia, 17 November 2011. d. Pidato Penasehat Keamanan Nasional Amerika Serikat, Tom Donilon, yang berjudu “Presedent Obama’s Asia Policy & Upcoming Trip to Asia”, 15 November 2012. e. Dokumen Strategi Keamanan Nasional Ameri Serikat yang dirilis Gedung Putih pada Fbruari 2015. f. Pidato Penasehat Keamanan Nasional Amerika Serikat, Susan Rice, 6 Februari 2015. g. Pernyataan Presiden Obama dan Presiden Aquino setelah pertemuan bilateral di Filipina, 17 November 2015. h. dan lain-lain. Sedangkan sumber data sekunder didapat dari berbagai buku, literatur ilmiah, jurnal ilmiah, berita online, artikel internet, lembar fakta yang dirilis pemerintah, serta bahan tertulis lainnya. 3. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan peneliti adalah analisa kualitatif. Teknik analisa kualitatif adalah aktifitas analisa yang memerlukan pengertian yang mendalam, kecerdikan, kreatifitas, dan kepekaan konseptual yang tinggi dalam menganalisa data. 27 51 Dalam teknik ini, analisa dilakukan sejak awal dilakukannya penelitian dan selama penelitian tersebut berlangsung. Menurut Prof. Burhan Bungin, analisis-analisis kualitatif cenderung menggunakan pendekatan logika induktif, di mana silogisme dibangun berdasarkan pada hal-hal khusus atau data di lapangan yang kemudian bermuara pada kesimpulan52 kesimpulan umum. Sehingga, dalam penelitian ini, peneliti menganalisa data sesuai tahapan analisis induktif. Pertama-tama peneliti melakukan pengamatan terhadap fenomena sosial, melakukan identifikasi, dan pengecekan ulang terhadap data-data yang telah dikumpulkan. Kemudian, data-data tersebut diorganisasikan dan dipilah-pilah menjadi satuan yang dapat dikelola. Lalu, mulai membuat data-data tersebut mempunyai makna, mencari dan menemukan pola serta hubungan-hubungan, yang akan berakhir pada suatu kesimpulan yang menjawab rumusan masalah. 28 Catatan Akhir 1 Ebbighausen, Rodion, “US puts more emphasis on Southeast Asia”, http://www.dw.de/usputs-more-emphasis-on-southeast-asia/a-16395882, 15-06-2015, 13.00 WIB, Surakarta. 2 Ibid. 3 Engdahl, F William, “Obama’s Geopolitical China ‘Pivot’: The Pentagon Targets China” http://www.globalresearch.ca/obama-s-geopolitical-china-pivot-the-pentagon-targetschina/32474, 13-06-2015, 13.00 WIB, Surakarta. 4 Purba, Vijai Indoputra, “Strategi Containment : Geostrategi Amerika Serikat Terhadap Cina”, http://vijai-indo-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-78399-GEOGEOStrategi%20Containment%20:%20Geostrategi%20Amerika%20Serikat%20Terhada p%20Cina.html, 13-06-2015, 13.00 WIB, Surakarta 5 BBC, “Obama memulai kunjungan ke Asia Tenggara”, http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2012/11/121118_obamavisits.shtml, 13-06-2015, 13.00 WIB, Surakarta. 6 Implementasi Patton dan Sawicki (1993) 7 Implementasi, Tangkilisan, 2003:17) 8 Esteria, Primo, “Today in Philippine History, March 14, 1947, the Military Bases Agreement was signed”, http://kahimyang.info/kauswagan/articles/1007/today-in-philippine-historymarch-14-1947-the-military-bases-agreement-was-signed, 13-06-2015, 13.00 WIB, Surakarta. 9 Ming-Te, Hung dan Tony Tai-Ting Liu, “U.S. Foreign Policy in Southeast Asia Under The Obama Administration: Explaining U.S. Return to Asia and Its Strategic Implication”, USAK YEARBOOK, Vol.5, 2012. 10 Ibid. 11 Ibid. 12 Shutter, Robbert Dkk, Balancing Acts: The U.S Rebalance and Asia Pacific Stability, The George Washington University, Washington, 2013. 13 Ibid. 14 Ibid. 15 Ibid. 16 Mishra, Rahul, “The US Rebalancing Strategy: Responses from Southeast Asia” dalam buku Strategic Review 2014: US Pivot and Asian Security, IDSA, 2014, Editors : S D Muni dan Viviek Chadha. Hal 168. 17 Ibid. Hal 169 18 Ibid. 19 Gramsci, A, Selections from the Prison Notebooks, Lawrence and Wishart, London, 1971, dalam http://www.academia.edu/3378898/Pemikiran_Antonio_Gramsci, 14-06-2015, 14.30 WIB, Surakarta. 20 Ibid. 21 Strinati, Dominic, An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge, London, 1995, Hal 166. 22 Kindleberger,Charles, The World in Depression 1929-1939, 1973, dalam http://www.people .fas.harvard.edu/~plam/irnotes07/Kindleberger1981.pdf, 13-06-2015, 14.30 WIB, Surakarta. 23 Ibid. 24 Stephen Krasner, “State Power and the Structure of International Trade,” World Politics, 28 (1976), Hal 319. 25 S. Goldstein, Joshua, International Relations, Pearson-Longman, New York, 2005, hal 107. 26 Walt, Stephen M, “Alliance Formation and The Balance of World Power”, volume 9.no.4, International Security, 1985, http://www.christoph-rohde.de/waltallianceformationandbop1 985.pdf, Hal 4. 27 Stephen Walt, Op.Cit. Hal 8. 28 Mas’oed, Mochtar, Ilmu Hubungan Internasional, edisi revisi, LP3ES, Jakarta, 1994, Hal 43. 29 29 Walt, Op. Cit. Hal 9. Walt, Loc. Cit. Hal 4. 31 Morgenthau, Hans. J and Kenneth Thompson, Politics Among Nations, Edisi ke-6, McGrawHill, New York, 1985. Hal 103. 32 Schweller, Randall L, Unanswerd Threats: Political Constraints on the Balance of Power, Princeton University Press, Princeton, 2006, Hal 166. 33 Goodall, Dictionary of Human Geography, Hal 362. 34 Encyclopedia Britannica Online, “Geopolitics,”, http://www.britannica.com/EBchecked/topic/229932/geopolitics. 28-05-2016, pukul 15.30 WIB. 35 Lonman Dictionary of Contemporary English, Assex: Lngman, p. 433 36 Warner J Cahnman, -Conceptsof Geopolitics, American Sociological Review, Vol.8, No.1, 1943, Hal.57 37 Bruno de Almeida Ferarri, -Some Consideration About. Hal.1 38 Herwig, -Geopolitik:Haushofer, Hitler and Lebensraum, hal 221. 39 Hagan, -Geopolitics, Hal 486. 40 Cohen, “Geopolitics of The World System,” http://www.exploringgeopolitcs.org/PublicationEffernk_Van_Leonheardt_The Definition_of_Gepolitics_Classical_French_Critical.html 41 Cohen, Saul Bernard, Geopolitics of The World System, London, Bowman and Uttz Publisher, 2013, Hal.12 42 Cohen 2013, Hal 23-24. 43 Cohen 2013, Hal 26-27. 44 Huntington, Samuel.P “The clash of Civilization”, in Toal; Delby;Rautledge (eds.), The Geopolitics Reader, Hal.159-169. 45 Gokmen, Semra Rana, Geopolitics and the Study of International Relation, Middle East Technical University,2010. 46 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D , Cetakan ke-19, Alfabeta, Bandung, 2013. Hal 2. 47 Wirartha, I Made, Metode Penelitian Sosial Ekonomi, Andi Offset, Yogyakarta, 2006. Hal 68. 48 Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi revisi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, Hal 6. 49 Bimbingan, “Pengertian pendekatan Deskriptif-Analitis”, http://www.bimbingan.org/ pengertian-pendekatan-deskriptif-analitis.htm, 13-06-2015, 14.30 WIB, Surakarta. 50 Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif, Edisi kedua, Kencana, Jakarta, 2011. Hal 143. 51 Ivanovich,Agusta, “Teknik pengumpulan dan analisa Data Kualitatif”, https://www.academia.edu/4055918/Teknik_Analisa_Data_Kualitatif, 13-06-2015, 14.30 WIB, Surakarta. 52 Burhan, Op.Cit., hal 147. 30 30