BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Runtuhnya Uni Soviet

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin mengakhiri
sistem dunia yang bipolar. Hal ini juga diiringi oleh beralihnya isu-isu dalam
hubungan internasional dari yang high politics (isu politik dan keamanan)
menjadi low politics (isu HAM, ekonomi, lingkungan, terorisme,dsb) yang
kemudian dianggap sama pentingnya dengan isu high politics. Namun, hal ini
tidak serta merta menghilangkan persaingan yang ada mengenai perebutan
pengaruh seperti saat perang dingin. Meskipun saat ini persaingan tersebut
lebih bersifat implisit, tidak sejelas dulu. Sistem internasional yang cenderung
multipolar menimbulkan persaingan-persaingan baru, salah satu contohnya
adalah persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Asia-Pasifik saat ini merupakan kawasan yang diprediksi akan menjadi
1
bagian terbesar bagi sejarah politik dan ekonomi dunia abad ke-21. Dinamika
geopolitik dan ekonomi global mulai terarah pada kawasan Asia-Pasifik,
terlihat dari semakin banyak New Emerging Countries (NEC) yang bermunculan
dari kawasan ini. Sebagai contoh dari negara-negara yang termasuk NEC
adalah Jepang, Korea Selatan, India, dan Tiongkok khususnya. Meningkatnya
pengaruh Aisa dan, khususnya, meroketnya kekuatan politik dan ekonomi
Tiongkok, merupakan pergeseran global yang luar biasa. Kebangkitan
tersebut pasti akan mendatangkan suatu kekhawatiran bagi negara-negara
1
yang merasa terancam dan tersaingi kepentingannya, termasuk Amerika
Serikat, yang banyak dikritisi mulai berkurang pengaruhnya di dunia saat ini.
Semakin besarnya pengaruh Tiongkok di Asia dapat terlihat dari peran
penting dan keterlibatan negara tersebut yang semakin menguat di kawasan
Asia Tenggara. Hampir semua pertumbuhan ekonomi negara di Asia Tenggara
terkait dengan Tiongkok. Adanya kerjasama strategis antara negara-negara di
kawasan
dengan Tiongkok menyebabkan pengaruh Tiongkok semakin
signifikan di kawasan Asia Tenggara, misal dengan disepakatinya CAFTA
(Tiongkok-ASEAN Free Trade Area). Kerjasama bilateral antara negara-negara
ASEAN yang semakin kuat dengan Tiongkok, serta keterlibatannya pada
konflik Laut Tiongkok Selatan, membuat posisi Tiongkok semakin signifikan di
Asia Tenggara. Padahal sebagian besar negara yang ada di Asia Tenggara pada
dasarnya lebih condong berada di bawah pengaruh Amerika Serikat, seperti
Singapura, Thailand, Indonesia, Malaysia, Bruneai Darussalam, terlebih lagi
Filipina yang merupakan aliansi terdekatnya.
Kepentingan Amerika di kawasan ini cukup jelas. Asia Tenggara
merupakan kawasan strategis di sekitar bagian selatan Tiongkok dan
mencakup Laut Tiongkok Selatan yang termasuk jalur perekonomian paling
signifikan di dunia. Asia Tenggara juga merupakan rumah bagi 600 juta orang
yang apabila digabung merupakan kekuatan ekonomi terbesar ketiga di Asia.2
Nilai-nilai strategis ini, apabila berhasil didominasi oleh Tiongkok, tentu akan
mengancam posisi Amerika Serikat sebagai hegemon di kawasan tersebut.3
2
Pada tahun 2011, dalam pidato pada kunjungan di Australia, Presiden
Barrack Obama mengumumkan grand strategi baru terhadap Asia-Pasifik yang
dikenal dengan strategi pivot atau rebalance dimana kebijakan luar negerinya
akan difokuskan pada kawasan Asia-Pasifik.4 Langkah ini diambil untuk
memperkuat posisi Amerika Serikat sebagai salah satu bagian yang tidak akan
terlepas dari kawasan. Oleh sebab itu, pada tahun 2012 perjalanan pertama
Presiden Barrack Obama setelah memenangkan pemilu kedua adalah ke Asia
Tenggara, yaitu dengan mengunjungi Thailand dan Myanmar.5 Ini merupakan
hal yang pertama kali dilakukan oleh seorang Presiden Amerika Serikat dan
menunjukkan keseriusan Obama dalam memandang kawasan ini. Adanya
perubahan pandangan serta kebijakan Amerika Serikat terhadap kawasan
Asia-Pasifik tersebut menimbulkan ketertarikan peneliti untuk mengetahui
bagaimana implementasi dari strategi rebalance yang dicetuskan Obama
tersebut terhadap negara-negara di Asia-Pasifik.
Implementasi suatu kebijakan berkaitan dengan berbagai kegiatan
yang diarahkan untuk mengorganisir, meginterpretasikan, dan menerapkan
kebijakan yang telah dirumuskan.6 Implementasi merupakan interaksi antara
penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan
dalam pembuatan suatu kebijakan.7 Oleh sebab itu, mempelajari implementasi
dari strategi rebalance ini penting untuk mendapatkan gambaran, analisis, dan
penjelasan dari berbagai sebab dan akibat dari tindakan-tindakan yang
dilakukan pemerintah, terutama untuk menilai dampak dan menganalisa
3
akibat dari penerapan kebijakan tersebut. Mempelajari implementasi juga
dapat menjabarkan proses-proses politik yang berlangsung serta meneliti
akibat dari kebijakan tersebut terhadap sistem politik internasional maupun
dampak kebijakan terhadap negara tujuan pengimplementasian kebijakan
tersebut.
Peneliti akan fokus terhadap satu negara saja, yaitu Filipina. Filipina
merupakan aliansi terdekat AS di Asia Tenggara. Berdasarkan latar belakang
sejarah kedua negara, Filipina adalah bekas koloni Amerika Serikat. Selain itu,
kedua negara memiliki kerjasama militer yang erat. Di bawah Military Bases
Agreement (MBA) 1947, Amerika Serikat pernah memiliki pangkalan militer
terbesar di Asia yang terletak di Filipina, yaitu Pangkalan Udara Clark di
Pampanga dan Pangkalan Laut Subic di Zambales.8 Selain itu, pada tahun 1951
disepakati juga Mutual Defense Treaty (MDT) antara kedua negara. Dapat
dikatakan bahwa saat ini Filipina merupakan satu-satunya pintu gerbang bagi
Amerika Serikat ke Asia Tenggara. Terlebih lagi, pertentangan antara Tiongkok
dan Filipina serta beberapa negara Asia Tenggara lainnya dalam kasus Laut
Tiongkok Selatan dapat menjadi celah bagi Amerika Serikat untuk mengambil
peran. Mengingat Filipina membutuhkan dukungan untuk melawan dan
mendapatkan pembelaan dalam kasus Laut Tiongkok Selatan. Oleh karena itu,
dengan berlatar belakang masalah diatas, peneliti mengangkat penelitian yang
berjudul IMPLEMENTASI STRATEGI REBALANCE TOWARD ASIA-PACIFIC
AMERIKA SERIKAT TERHADAP FILIPINA PADA TAHUN 2011-2016.
4
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih fokus dan pembahasan tidak terlalu melebar,
peneliti membatasi permasalahan pada implementasi strategi rebalance
terhadap negara Filipina dimulai tahun 2011 hingga Maret 2016. Jangka waktu
tersebut disesuaikan dengan waktu dirilisnya strategi rebalance hingga saat
penelitian ini dilakukan. Peneliti hanya akan memaparkan bentuk-bentuk
implementasi strategi rebalance dalam kurun waktu tersebut, meskipun
pemberlakuan strategi mungkin masih akan berlangsung selama masa
pemerintahan Obama yang belum berakhir ini. Oleh karena itu, rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana implementasi strategi rebalance toward Asia-Pacific Amerika
Serikat terhadap Filipina pada tahun 2011-2016?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berkaitan dengan rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya
maka tujuan dan manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Tujuan penelitian
Untuk mengetahui bagaimana implementasi strategi rebalance toward
Asia-Pacific Amerika Serikat terhadap Filipina pada tahun 2011-2016
selaku negara aliansi yang paling dekat dengan Amerika Serikat di Asia
Tenggara.
2. Manfaat Penelitian
5
a. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan
tambahan informasi dan pembelajaran bagi para penstudi
dan
pemerhati masalah-masalah internasional di masa mendatang,
khususnya yang terkait dengan topik yang dibahas, serta dapat
berguna juga bagi peneliti sendiri dalam menambah wawasan dan
pengetahun dalam Hubungan Internasional.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber tambahan data-data
empiris bagi para peneliti Hubungan Internasional serta bagi
masyarakat yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai topik yang
dibahas disini. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat sebagai bahan pertimbangan atau pembanding dalam
perumusan suatu kebijakan oleh pemerintah dan menjadi bahan
rujukan untuk menganalisa peluang, tantangan, maupun ancaman
dari adanya strategi rebalance yang diterapkan Amerika Serikat di
Asia ini.
6
D. Tinjauan Pustaka
Dalam sub bab ini akan dibahas penelitian terdahulu yang terkait
dengan apa yang peneliti bahas, yaitu tentang implementasi strategi rebalance
di Filipina. Peneliti meninjau dari beberapa tulisan berikut :
1. US Foreign Policy in Southeast Asia Under Obama Administration :
Explaining US Return to Asia and Its Strategic Implication oleh Hung
Ming-Te dan Tony Tai-Ting Liu
Tulisan tersebut dimuat dalam jurnal USAK YEARBOOK Vol.5, tahun
2012. Isi dari penelitian tersebut berusaha untuk memetakan
perubahan kebijakan Amerika Serikat di Asia Tenggara dan
mengidentifikasi
faktor-faktor
penting
yang
mempengaruhi
transformasi kebijakan Amerika Serikat. Penelitian tersebut menguji
perbedaan kebijakan transisi antara pemerintahan Presiden Bush dan
Presiden Obama.
Disebutkan
bahwa
di
bawah
pengaruh
neo-konservatif,
pemerintahan Bush secara perlahan mulai merubah strategi Amerika
Serikat untuk perlahan kembali ke kawasan regional Asia Tenggara
tersebut, yang mana Asia Tenggara menjadi front kedua dalam perang
9
melawan terorisme. Di bawah pemerintahan Obama, Amerika Serikat
mengadopsi strategi smart power terhadap Asia Tenggara dengan
10
“complete return to Southeast Asia”. Obama dengan strategi tersebut
7
berusaha untuk menyeimbangkan pertumbuhan pengaruh Tiongkok di
kawasan regional Asia Tenggara yang semakin menguat.
Perbedaan mencolok antara dua kepemerintahan ini adalah Obama
mengadopsi pendekatan yang berusaha untuk berteman dengan
negara-negara di Asia dalam rangka penyeimbangkan peningkatan
pengaruh oleh Tiongkok, sedangkan diketahui juga bagaimana
kebijakan Bush cukup merusak kredibilitas kepemimpinan global
Amerika Serikat akibat kampanye di Afganistan dan Irak pada saat itu.
Salah satu faktor adanya transformasi kebijakan Amerika Serikat
adalah meningkatnya kekuatan Tiongkok itu sendiri ketika kekuatan
Amerika Serikat dirasa semakin berkurang. Oleh sebab itu, karena
Obama menyadari akan tren yang terjadi ini, maka ia berusaha untuk
memperbaiki hal tersebut dengan cara menarik diri dari kekacauan
ekonomi domestik dan mulai fokus keluar untuk mengisolasi
11
kebangkitan Tiongkok. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana Amerika
Serikat mengambil peran dalam urusan di Asia Tenggara. Salah satunya
adalah dengan melukiskan Tiongkok sebagai ancaman potensial bagi
Asia Tenggara itu sendiri, terutama terkait konflik laut Tiongkok
Selatan, dan Amerika Serikat menawarkan demokrasi, kebebasan, dan
ekonomi pasar kepada Asia Tenggara.
Dari hasil penelitian Hu Ming-Te dan Tony diatas telah sedikit
menggambarkan bagaimana transformasi kebijakan yang dilakukan
8
Amerika dengan membandingkan administrasi Bush dan Obama.
Meskipun, penelitian ini baru sebatas menjelaskan kenapa bisa terjadi
transformasi kebijakan yang diambil oleh Amerika Serikat tersebut.
2. Balancing Acts: The US Rebalance and Asia Pacific Stability oleh Robert
G.Shutter, Michael E.Brown, dkk.
Di dalam buku yang diterbitkan oleh Sigure Center for Asian
Studies The George Washington University pada tahun 2013 ini
terdapat pembahasan mengenai pemikiran strategis Amerika Serikat
atas perubahan kebijakan, unsur-unsur kebijakan Amerika Serikat yang
baru, respon regional untuk inisiatif baru, serta prospek kebijakan
Amerika Serikat tersebut terhadap kawasan Asia-Pasifik itu sendiri.
12
Seperti penelitian yang dibahas sebelumnya, penelitian kali ini juga
menekankan bahwa kebijakan baru Amerika Serikat terhadap Asia
didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan atas jaminan strategis dalam
menghadapi kebangkitan Tiongkok. Kebijakan tersebut juga didorong
oleh keinginan untuk meyakinkan sekutu Amerika Serikat, aliansi, serta
negara-negara lainnya di kawasan bahwa Amerika Serikat belum
melemah dan tidak akan melepaskan diri dari kawasan Asia-Pasifik.
Penelitian George dkk mengungkapkan bahwa hampir setiap
kekuatan regional di Asia Timur Laut, Asia Tenggara, dan Asia Selatan
memegang dua posisi.
13
Pertama adalah bahwa sebagian besar
kekuatan regional secara umum atau pribadi senang melihat komitmen
9
Amerika Serikat yang kuat di kawasan Asia-Pasifik. Kedua, disisi lain,
kekuatan regional juga berusaha untuk menghindari memilih antara
Amerika Serikat atau Tiongkok dan cenderung untuk memiliki
hubungan yang baik dengan kedua negara tersebut. Sebagai contoh
adalah Indonesia dan Thailand yang berusaha untuk menghindari diri
dari adanya tanda-tanda yang menunjukkan kecondongan baik ke
Amerika Serikat ataupun ke Tiongkok, mereka berusaha bersikap
netral.
Namun, berbeda dengan Indonesia dan Thailand, beberapa negara
di kawasan Asia-Pasifik secara cukup eksplisit menunjukkan dukungan
14
yang besar terhadap kehadiran Amerika Serikat di kawasan. Sebagai
contoh adalah negara Filipina, Jepang, dan Korea Selatan yang secara
kebetulan negara-negara ini sedang terlibat dalam sengketa teritorial
dan keamanan dengan Tiongkok.
Pemerintah Filipina secara terbuka menyambut Amerika Serikat
dalam upayanya menyeimbangkan kekuatan Tiongkok dan sengketa
pulau yang berkelanjutan dengan Negara Filipina di Laut Tiongkok
Selatan. Presiden Aquino menyataka bahwa Amerika Serikat dan
15
Filipina memiliki sejarah dan nilai-nilai bersama , oleh karena itu
Amerika Serikat merupakan salah satu mitra strategis utama Filipina
selain dengan Jepang.
10
Dari
penelitian
yang
dijelaskan
diatas
terlihat
bagaimana
antusiasme respon dari Filipina atas kebijakan baru Amerika Serikat.
Filipina sangat menyambut baik masuknya Amerika Serikat dalam
urusan yang terjadi di kawasan Asia Tenggara, terutama yang berkaitan
dengan kepentingan Filipina sendiri. Namun, dalam penelitian diatas
belum dibahas secara lebih detail tentang bagaimana implementasi
strategi rebalance terhadap Filipina. Hal inilah yang akan diteliti lebih
lanjut oleh peneliti dalam skripsi ini.
3. The US Rebalancing Strategy: Responses from Southeast Asia oleh
Rahul Mishra
Literatur ketiga dimuat dalam buku Asian Strategic Review 2014 : US
Pivot and Asian Security yang diterbitkan oleh Institute for Defence
Studies & Analyses pada tahun 2014. Tulisan ini berisi tentang
bagaimana respon negara-negara di Asia Tenggara terhadap strategi
rebalance Amerika Serikat. Rahul Mishra membahas aspek politik,
keamanan, dan ekonomi dari strategi rebalance yang ditujukan ke Asia
Tenggara secara keseluruhan. Kesimpulan dari tulisan tersebut adalah
bahwa untuk keadaan saat ini, negara-negara di kawasan Asia
Tenggara, khususnya ASEAN sebagai sebuah kelompok, cenderung
untuk membatasi keberpihakan yang begitu nyata baik kepada
16
Amerika Serikat atau kepada Tiongkok.
11
Pertumbuhan
kekuatan
dan
ketegasan
Tiongkok
telah
memberikan stimulus penting bagi pemberbaharuan aktifitas Amerika
Serikat
di
kawasan.
memanfaatkan
hal
Negara-negara
tersebut
di
untuk
Asia
Tenggara
membendung
bisa
kebangkitan
Tiongkok, namun sebagian besar dari mereka memilih untuk tetap
terbuka dan netral.
17
Sebagian besar negara ASEAN menerima
kehadiran Amerika Serikat yang lebih besar di kawasan, sambil menjaga
hubungan
dengan
Tiongkok
dan
menjaga
keuntungan
atas
peningkatan ekonomi Tiongkok tersebut.
Rahul menyebutkan bahwa strategi rebalance terhadap Asia
berkaitan erat dengan hubungan Amerika Serikat-Tiongkok, dan akan
membentuk perilaku negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
18
Strategi rebalance bisa datang sebagai contoh bagaimana sistem
internasional dan kekuatan besar dari sistem membentuk kebijakan
negara-negara yang lebih kecil, bahkan kebijakan mereka sebagai
kekuatan regional.
Ketiga tulisan diatas baru sekedar menjabarkan tentang bagaimana
Amerika Serikat bisa merubah arah kebijakannya untuk berporos pada
kawasan Asia-Pasifik, serta bagaimana tanggapan negara- negara di AsiaPasifik terhadap adanya strategi rebalance tersebut. Namun, belum terdapat
penjelasan yang lebih komprehensif dan mendalam mengenai implementasi
12
dari strategi rebalance itu sendiri. Sehingga, pada bagian itulah peneliti akan
mengambil bagaian dalam tulisan ini, dengan berfokus pada salah satu negara
yaitu Filipina.
E. Kerangka Konseptual
Landasan teori yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah
secara ilmiah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Teori Stabilitas Hegemoni
Munculnya Amerika Serikat ke panggung dunia sebagai negara adi
daya yang memiliki kemampuan politik, ekonomi, dan militer yang
terkemuka telah membawa para analis kepada pembahasan mengenai
“hegemoni” yang merujuk pada adanya kekuatan dominan yang dimiliki
oleh suatu negara. Menurut Gramsci, setidaknya terdapat dua makna dari
hegemoni, yaitu dominasi dan kepemimpinan.
19
Hegemoni sebagai dominasi berarti menggunakan kekerasan atau
paksaan untuk menempatkan suatu negara atau lebih dibawah kontrol
politik
langsung
maupu
tidak
langsung
yang
bertujuan
untuk
mengerahkan, memerintah, dan mencari ketaatan. Sedangkan hegemoni
sebagai bentuk kepemimpinan atau pengaruh merupakan kemampuan
untuk mengubah perilaku negara-negara lain sesuai dengan apa yang
diharapkan hegemon, namun dilaksanakan dengan suka rela oleh negaranegara tersebut, sehingga tidak didasarkan pada penggunaan kekuatan
13
atau paksaaan, melainkan memalui penyebaran sistemik dari nilai-nilai dan
pandangan hegemon-nya.
20
Selain Gramsci, konsep hegemoni juga diartikan oleh tokoh lain, yaitu
Strinati dalam bukunya yang berjudul An Introduction to Theories of
Popular Culture, sebagai:
"...Dominant groups in society, including fundamentally but not
exclusively the ruling class, maintain their dominance by securing the
'spontaneous consent' of subordinate groups, including the working
class, through the negotiated construction of a political and ideological
21
consensus which incorporates both dominant and dominated groups."
Strinati mengartikan hegemoni sebagai kelompok dalam masyarakat
yang menjaga dominasi mereka dengan mengamankan ‘persetujuan
spontan’ dari kelompok bawahan, termasuk kelas pekerja, melalui
pembangunan konsensus politis dan ideologis yang menggabungkan
dominan dengan kelompok yang didominasi.
Dari pengertian yang
diungkapkan oleh kedua tokoh tersebut dapat disimpulkan bahwa
hegemoni merupakan merupakan dominasi satu kelompok terhadap
kelompok lainnya dengan ataupun tanpa ancaman kekerasan, sehingga
apa yang diinginkan oleh kelompok dominan tersebut terhadap kelompok
yang didominasi akan diterima sebagai sesuatu yang wajar dan dengan
suka rela, ataupun terpaksa.
Teori stabilitas hegemoni sendiri pertama kali diusulkan oleh Charles
P.Kindleberger setelah melakukan pengamatan terhadap Great Depression
yang terjadi pada tahun 1929-1939 di Eropa. Ia berpendapat bahwa
14
kekacauan ekonomi yang terjadi pada saat itu adalah akibat dari tidak
adanya pemimpin dunia yang dominan.
22
Kindleberger menunjukkan
bahwa untuk menjaga stabilitas di arena internasinal harus ada negara
dominan yang mampu menyediakan barang publik. Disebutkan bahwa
pemeliharaan tatanan ekonomi internasional liberal membutuhkan
dukungan jangka panjang dan kepemimpinan dari kekuasaan hegemonik
yang memiliki kemampuan ekonomi, politik, dan militer untuk mengontrol
pengaturan norma-norma politik dan ekonomi internasional.
23
Berdasarkan perspektif neorealis, faktor struktural dalam sistem
internasional
mendominasi.
Hegemon
akan
fokus
pada
empat
kepentingan dasar, yaitu kekuatan politik, pendapatan agregat nasonal,
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas sosial.
24
Di mana, jika tidak ada
hegemon, negara-negara besar akan bersaing untuk mendapatkan
keuntungan dari keterbukaan yang menyebabkan ketidakstabilan sosial di
negara-negara yang kurang berkembang dan menyebabkan kerentanan
politik mereka.
Teori stabilitas hegemoni ini akhirnya berkembang dan mulai
digunakan untuk menganalisa masalah bukan hanya dalam bidang
ekonomi, namun juga ke bidang-bidang lainnya seperti politik dan
keamanan. Asumsi utama dari teori ini adalah bahwa sistem internasional
akan stabil ketika hanya terdapat satu negara tunggal dalam sistem
internasional yang berperan sebagai hegemon.
15
25
Dengan asumsi dasar yang demikian, peneliti menganalisis tindakan
yang diambil Amerika Serikat menggunakan teori stabilitas hegemonik
tersebut. Teori ini akan menjelaskan rasionalitas yang diambil Amerika
Serikat dalam strategi rebalance-nya tersebut.
Sejauh ini Amerika Serikat masih merupakan hegemon di dunia, di
kawasan Asia Tenggara khususnya. Namun, kebangkitan dari banyak
negara di dunia, terutama meningkatnya pengaruh Tiongkok, sedikitbanyak mengurangi kekuatan dominasi Amerika Serikat itu sendiri.
Amerika Serikat memandang dirinya sebagai negara adi daya, negara
yang menjadi poros dunia, dan merupakan polisi dunia. Dengan demikian,
Amerika Serikat percaya bahwa stabilitas internasional hanya akan terjaga
apabila Amerika Serikat merupakan satu-satunya kekuatan hegemon yang
dapat mengontrol dunia. Dengan bangkitnya Tiongkok, Amerika Serikat
tentu akan merasa bahwa kestabilan internasional akan mulai terganggu,
sehingga
perlu
suatu
kebijakan
yang
dapat
mengatasi
atau
mengembalikan kestabilan dunia yang hanya dipimpin oleh satu kekuatan
hegemon tunggal. Oleh sebab itu, mulai dirumuskan starategi rebalance
toward Asia-Pacific. Makna rebalance yang dimaksudkan disini pun bukan
berarti mengimbangi kekuatan Tiongkok dalam keadaan setara atau
sejajar, melainkan upaya untuk tetap mempertahankan keadaan dimana
kekuasaan Amerika Serikat lebih besar daripada Tiongkok sehingga tetap
dalam keadaan balance, yaitu dengan adanya satu negara hegemon.
16
2. Teori Balance of Threat
Balance of Threat merupakan sebuah teori yang pertama sekali
diusulkan oleh Stephen Walt dalam artikel yang berjudul Alliance
Formation and the Balance of World Power yang diterbitkan di jurnal
International Security pada tahun 1987.26 Teori ini menekankan bahwa
perilaku negara dalam membentuk aliansi bukanlah untuk mengimbangi
kekuatan lawan, melainkan untuk mengatasi ancaman yang ada. Walt
berpendapat “Although power is an important factor in their calculation, it
is not only one. Rather than allying in response to power alone, it is more
accurate to say that atates will ally with or against the most threatening
power”.27
Hal ini berbeda dengan teori
balance of power yang berargumen
bahwa “untuk mencegah timbulnya kekuatan hegemoni, negara-negara
cenderung membentuk koalisi dan kontra-koalisi, dan bahwa suatu aktor
penyeimbang akan ikut campur tangan dengan memihak pada yang lebih
lemah demi memulihkan perimbangan kekuatan”.
28
Walt menjelaskan terdapat 4 hal yang menjadi daya ukur suatu negara
untuk menilai ancaman yang dimiliki negara lain, yaitu total kekuatan
negara (agregate power), kedekatan geografis (geographic proximity),
kemampuan menyerang (offensive power), dan niat menyerang
(perceived
29
aggressiveness).
Menurut
Walt,
negara
memutuskan
melakukan upaya aliansi dalam merespon ancaman dapat dilakukan
17
dengan 2 (dua) strategi utama, yaitu balancing dan bandwagoning yang
dilakukan ketika negara mendapat ancaman eksternal.
30
Dalam balancing,
negara melakukan aliansi dengan pihak lain untuk menghadapi negara
yang memberikan ancaman, aliansi biasanya dilakukan dengan negara
yang lebih lemah. Sedangkan bandwagoning, negara melakukan
pendekatan dengan negara yang memberikan ancaman atau dengan
negara yang lebih kuat.
Morgenthau mendefinisikan balancing sebagai “the attempt on the
part of one nation to counteract the power of another by increasing its
strength to a point where it is at least equal, if not superior, to the other
nation’s strength”.
31
Menurut Schweller, balancing merupakan “the
creation or aggregation of military power through internal mobilization or
the forging of alliances to prevent or deter the territorial occupation or the
political and military domination of the state by a foreign power or
32
coalition”.
Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
balancing merupakan strategi suatu bangsa untuk mengurangi ancaman
dan menjaga keamanan dari ancaman eksternal baik militer maupun
nonmiliter melalui penempaan aliansi dan pembentukan kekuatan militer.
Berdasarkan penjabaran teori diatas, maka teori balance of threat
relevan digunakan dalam menganalisa permasalahan dalam penelitian ini.
Teori balance of threat dapat memberikan penjelasan atas kebijakan yang
diambil Amerika Serikat terhadap Filipina.
18
3. Konsep Geopolitik
Geografi politik pada mulanya dikembangkan sebagai cabang dari
disiplin geografi hingga adanya penemuan geopolitics pada tahun 1999.
Geografi politik berargumentasi bahwa politik suatu negara terpancar dari
geografi mereka. Sebagaimana wilayah merupakan salah satu elemen
konstitusi negara, geografi menjadi sangat penting untuk politik antar
negara. Menurut Dictionary of Human Geography, geografi politik adalah :
The study of the effect of political action on human geography,
involving the spatial analysis of human phenomena. Traditionally
political geography must concern with the study of state- their
groupings and global relations (geopolitics) and their morphological
characteristic, i.e. their frontiers and bounderies. In the last twenty
years increasing interest has been shown in smaller political definition,
i.e. those within states, involving an appretiation of the interaction
between political processes and spatial organization, e.g. the nature
and consequances of decision making by urban government, the
relationship between public policy and resource development, the
geography of public finance and electoral geography.33
Kamus tersebut menyebutkan bahwa geografi politik merupakan
studi tenang tindakan politik terhadap geografi manusia yang secara
tradisional fokus pada studi tentang pengelompokan negara, hubungan
globalnya, dan karakteristik morfologi mereka, seperti perbatasan dan
teritori.
Menurut Encyclopedia Britannica, geopolitik adalah “analysis of the
34
geographic influences on power relationships in international relations”.
Pengertian lain menurut Longman Dictionary on Contemporary English
19
mengartikan geopolitik sebagai “study of the effect of country’s position,
population, ect on its politics.”35
Geopolitik berkaitan dengan konsep-konsep seperti kekuasaan,
politik, kebijakan, ruang, tempat, dan wilayah, yang merangkul berbagai
bentuk interaksi didalamnya. Kjellen, sebagai penemu istilah geopolitik
tersebut mendefinisikannya sebagai “the theory of states as a geographical
organism or phenomenon in space”.36 Kjellen berpendapat bahwa negara
harus menerapkan lima jenis perlengkapan kebijakan untuk menjadi kuat.
Kebijakan tersebut adalah, Econopolitik, Demopolitik, Sociopolitik,
Kratopolitik, dan Geopolitik.37 Kjellen menyebarkan gagasan bahwa negara
adalah entitas dinamis yang secara natural tumbuh dengan kekuatan yang
lebih besar dan mesin untuk pertumbuhan tersebut adalah budaya.
Semakin berkembang bdaya dan menyebar budaya tersebut, maka akan
semakin memperluas wilayah kekuasaan.
Ilmuan lainnya yang membrikan gagasan mengenai geopolitik adalah
Karl Haushofer, seorang perwira Jerman. Elemen utama dari teori
Haushofer adala mengenai Lebensraum. Houshofer mendefinisikan
Lebenraum sebagai hak dan tugas bangsa untuk memberikan ruang dan
sumberdaya yang diperlukan untuk rakyatnya. Ia menegaskan bahwa
untuk
mendapatkan
Lebensraum,
negara
memiliki
hak
untuk
menggunakan perang. Elemen kedua adalah autarki, yang berarti
pemenuhan kebutuhan secara mandiri yang berhak diatur oleh negara.
20
Unsur ketiga adalah Panregionalisme, yang meramalkan kebutuhan negara
untuk memperluas ruang mereka agar memasukkan orang-orang dari
budaya yang sama dan tekait. Dengan panregionalisme, ia berpendapat
untuk menggabungkan dan menganeksasi tanah pemukiman yang mirip
atau berkaitan dnegan budaya Jerman pada masanya.
Mengenai
pengembangan
konsep
38
geopolitik,
houshofer
mendefinisikan geopolitik sebagai alat dan panduan dalam menentukan
aksi politik. Geopolitik dipandang sebagai sebuah teori dari peristiwa
politik yang diintegrasikan kedalam pengaturan geografis suatu negara
untuk mengembnagkan strategi kebijakan luar negeri dan memperluas
atau memperkuat negara, atau setidaknya mencegah melemahnya
negara.
39
Geopolitik juga dapat dianggap sebagai kombinasi dari sejarah
(proses politik) dan geografi. Saul Bernard Cohen beranggapan sebagai
berikut :
Geopolitics is the analysis of the interaction between, on the one
hand, geographical setting and prespective and, on the other hand,
political processes. (…) Both geographical setting and political
processes are dynamic and each influences and is influenced by the
other. Geopolitics addresses the consequences of this intraction.40
Cohen membagi perkembangan geopoliik kedalam lima tahap. Tahap
pertama adalah tahap dimana para pemikir geopolitik berfokus pada
permasalahan
nasionalisme,
ekspansi
negara,
dan
pembangunan
imperium.41 Geopolitik pada masa tersebut cenderung digunakan sebagai
21
ilmu yang mempelajari bagaimana negara-nega besar menaklukan negara
lain. Tahap kedua adalah geopolitik Jerman, yang mana Haushofer sebagai
salah satu tokoh yang berpengaruh pada masa itu. Tahap ketiga adalah
geopolitik di Amerika Serikat. Pada tahap ini pemeikiran mengenai
geografi didalam pengaturan strategi pertahanan dan kemananan amerika
serikat menjadi hal yang penting. Seperti, penguasaan terhadap udara,
darat, dan laut dalam peperangan menjadi mutlak bagi negara.
42
Tahap
keempat adalah geopolitik pada era perang dingin. Pada era ini terdapat
dua perseteruan konsiderasi antara state centered geopolitics and
universalistic geopolitics. Dimana geopolitic state centris masih berpijak
pada pemahaman geografi dipakai sebagai instrument strategis dalam
kebijakan politik, sedangkan geopolitik universalistic menggunakan
kekuatan politik, ekonomi, serta pendekatan environmental dan sosial
43
sebagai penggerak geopolitik dunia.
Tahap kelima adalah periode pasca
perang dingin, dimana transformasi bentuk perang saat ini lebih pada
penyebaran pengaruh dan paham-paham.
Setelah berakhirnya perang dingin, studi geopolitik kembali
berkembang dan memiliki pergeseran dalam fokusnya. Samuel Huntington
membawa gagasan yang menyatakan bahwa sumber utama konflik pada
politik era baru peradaban manusia adalah permasalahan budaya, daripada
ideology atau ekonomi. Dengan kata lain, benturan peradaban akan
menentukan politik global, da garis-garis patahan antara peradaban akan
22
menjadi garis pertempuran era mendatang. Fase ini ditentukan oleh
interaksi antara peradaban barat dan non barat.44
Huntington berpendapat bahwa peradaban merupakan hal tertingi
yang merupakan pengelompok identitas terluas yang menentukan batasbatas
kelompok,
baik
klompok
besar
maupun
kelompok
kecil.
Peradabandikatakan sebagai faktor penentu utama sejarah utama mansia
yang membentuk politik dimasa depan. Ha tersebut disebabkan, pertama,
peradaban tidak hanya nyata, namun juga merupakan hal dasar.
Peradaban tersebut dibedakan berdasarkan sejarah, budaya, bahasa,
tradisi, dan agama. Menurutnya, agama merpakan salah satu yang paling
penting. Agama erupakan perbedaan yang menurutnya akan menghasilkan
dan terus menghasilkan politik dan konflik. Kedua, karena kesadaran orang
tentang peradaban semakin meningkan menyebabkan adanya perbedaan
tersebut menjadi lebih jelas dan lebih central. Ketiga, sebagai akibat dari
krisi identitas yang dibawa oleh globalisasi, ada muncul celah yang
kemudian diisi oleh identitas keagamaan dalam bentuk fundamentalis.
Keempat, peradaban barat mencapai puncak kekuasaannya pada akhir
perang dingin, tapi non barat juga mulai memiliki kehendak untuk
menentang peradaban barat dengan cara sendiri.45
Peneliti menggunakan konsep geopolitik ini untuk menjelaskan motif
atau hal-hal yang menjadi pertimbangan amerika serikat dalam
mengimplementasikan strategi rebalance di Filipina.
23
F.
Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan salah satu faktor paling penting dalam
sebuah penelitian yang akan mempermudah peneliti dalam menjawab
pertanyaan dalam penelitian ilmiahnya. Menurut Sugiyono “metode penelitian
pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan
dan kegunaan tertentu.”
46
Cara ilmiah yang dimaksudkan disini berarti
kegiatan penelitian tersebut didasarkan pada ciri-ciri keilmuan yang rasional,
empiris, dan sistematis. Sedangkan menurut I Made Wirartha, metode
penelitian merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang membicarakan
atau mempersoalkan cara-cara melaksanakan peneltian (yaitu meliputi
kegiatan-kegiatan mencari, mencatat, merumuskan, menganalisis sampai
menyusun laporannya) berdasarkan fakta-fakta atau gejala-gejala secara
47
ilmiah.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa metode penelitian adalah suatu
teknik atau cara mencari, memperoleh, mengumpulkan data yang digunakan
untuk keperluan menyusun suatu karya ilmiah dan kemudian menganalisa
faktor-faktor yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan sehingga
jawaban atas rumusan masalah dalam pertanyaan akan terjawab secara ilmiah.
24
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptifanalitis. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.48
Sedangkan deskriptif-analitis adalah metode yang digunakan untuk
memberikan gambaran mengenai fakta yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti dan meliputi analisis serta interpretasi mengenai arti
data yang dikumpulkan tersebut.49 Tujuannya adalah agar dapat
menggambarkan dan menelaah serta menganalisa fenomena yang ada
untuk dituangkan ke dalam pembahasan yang bersifat alamiah.
Bentuk penelitian kualitatif deskriptif ini akan mampu menangkap
berbagai informasi kualitatif untuk mempelajari gejala-gejala sosial melalui
analisis. Penelitian deskriptif akan memusatkan perhatian kepada masalahmasalah sebagaimana adanya saat penelitian dilaksanakan. Tujuannnya
adalah memperoleh pemaparan yang objektif dari permasalahan yang
diteliti.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan untuk
menghimpun data, informasi, atau fakta yang berhubungan dengan
25
masalah yang ingin diteliti. Menurut Prof. Burhan Bungin, dalam penelitian
kualitatif, peneliti dapat memilih beberapa teknik pengumpulan data,
antara lain: (1) Observasi Partisipasi; (2) Wawancara Mendalam; (3) Life
History; (4) Analisis Dokumen; (5) Catatan harian peneliti; dan (6) Analisis
isi
media.
50
Dalam
penelitian
ini,
peneliti
menggunakan
teknik
pengumpulan data analisis dokumen dan analisis isi media, atau dalam
bahasa lain dikenal dengan Library Research (penelitian kepustakaan).
Library research merupakan teknik pengumpulan data dari berbagai
sumber bacaan seperti literatur, buku, surat kabar, artikel, jurnal, dan lain
sebagainya.
Jenis data yang dikumpulkan adalah data kualitatif dan data kuantitatif.
Data kualitatif merupakan kumpulan data yang berwujud kata-kata.
Sedangkan data kuantitatif adalah kumpulan data yang berwujud angkaangka.
Sumber data terdiri dari sumber data primer dan sekunder. Data primer
adalah data yang bisa diperoleh langsung dari subjek penelitian.
Sedangkan data sekunder adalah data-data yang sudah tersedia, yang
diperoleh peneliti tidak langsung dari subjek penelitiannya. Sumber data
primer penelitian ini diantaranya adalah :
a. Naskah perjanjian Enhanced Defense Cooperation Agreement
(EDCA)
26
b. Blueprint PFG Join Country Action Plan, Philippines – United
States 2012-2016
c. Pidato Presiden Obama di hadapan parlemen Australia, 17
November 2011.
d. Pidato Penasehat Keamanan Nasional Amerika Serikat, Tom
Donilon, yang berjudu “Presedent Obama’s Asia Policy &
Upcoming Trip to Asia”, 15 November 2012.
e. Dokumen Strategi Keamanan Nasional Ameri Serikat yang dirilis
Gedung Putih pada Fbruari 2015.
f. Pidato Penasehat Keamanan Nasional Amerika Serikat, Susan
Rice, 6 Februari 2015.
g. Pernyataan Presiden Obama dan Presiden Aquino setelah
pertemuan bilateral di Filipina, 17 November 2015.
h. dan lain-lain.
Sedangkan sumber data sekunder didapat dari berbagai buku, literatur
ilmiah, jurnal ilmiah, berita online, artikel internet, lembar fakta yang dirilis
pemerintah, serta bahan tertulis lainnya.
3. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan peneliti adalah analisa kualitatif.
Teknik analisa kualitatif adalah aktifitas analisa yang memerlukan
pengertian yang mendalam, kecerdikan, kreatifitas, dan kepekaan
konseptual yang tinggi dalam menganalisa data.
27
51
Dalam teknik ini, analisa dilakukan sejak awal dilakukannya penelitian
dan selama penelitian tersebut berlangsung. Menurut Prof. Burhan
Bungin, analisis-analisis kualitatif cenderung menggunakan pendekatan
logika induktif, di mana silogisme dibangun berdasarkan pada hal-hal
khusus atau data di lapangan yang kemudian bermuara pada kesimpulan52
kesimpulan umum.
Sehingga, dalam penelitian ini, peneliti menganalisa data sesuai
tahapan analisis induktif. Pertama-tama peneliti melakukan pengamatan
terhadap fenomena sosial, melakukan identifikasi, dan pengecekan ulang
terhadap data-data yang telah dikumpulkan. Kemudian, data-data tersebut
diorganisasikan dan dipilah-pilah menjadi satuan yang dapat dikelola. Lalu,
mulai membuat data-data tersebut mempunyai makna, mencari dan
menemukan pola serta hubungan-hubungan, yang akan berakhir pada
suatu kesimpulan yang menjawab rumusan masalah.
28
Catatan Akhir
1
Ebbighausen, Rodion, “US puts more emphasis on Southeast Asia”, http://www.dw.de/usputs-more-emphasis-on-southeast-asia/a-16395882, 15-06-2015, 13.00 WIB, Surakarta.
2
Ibid.
3
Engdahl, F William, “Obama’s Geopolitical China ‘Pivot’: The Pentagon Targets China”
http://www.globalresearch.ca/obama-s-geopolitical-china-pivot-the-pentagon-targetschina/32474, 13-06-2015, 13.00 WIB, Surakarta.
4
Purba, Vijai Indoputra, “Strategi Containment : Geostrategi Amerika Serikat Terhadap
Cina”, http://vijai-indo-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-78399-GEOGEOStrategi%20Containment%20:%20Geostrategi%20Amerika%20Serikat%20Terhada p%20Cina.html,
13-06-2015, 13.00 WIB, Surakarta
5
BBC, “Obama memulai kunjungan ke Asia Tenggara”,
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2012/11/121118_obamavisits.shtml, 13-06-2015, 13.00 WIB,
Surakarta.
6
Implementasi Patton dan Sawicki (1993)
7
Implementasi, Tangkilisan, 2003:17)
8
Esteria, Primo, “Today in Philippine History, March 14, 1947, the Military Bases Agreement
was signed”, http://kahimyang.info/kauswagan/articles/1007/today-in-philippine-historymarch-14-1947-the-military-bases-agreement-was-signed, 13-06-2015, 13.00 WIB, Surakarta.
9
Ming-Te, Hung dan Tony Tai-Ting Liu, “U.S. Foreign Policy in Southeast Asia Under The
Obama Administration: Explaining U.S. Return to Asia and Its Strategic Implication”, USAK
YEARBOOK, Vol.5, 2012.
10
Ibid.
11
Ibid.
12
Shutter, Robbert Dkk, Balancing Acts: The U.S Rebalance and Asia Pacific Stability, The
George Washington University, Washington, 2013.
13
Ibid.
14
Ibid.
15
Ibid.
16
Mishra, Rahul, “The US Rebalancing Strategy: Responses from Southeast Asia” dalam
buku Strategic Review 2014: US Pivot and Asian Security, IDSA, 2014, Editors : S D Muni dan
Viviek Chadha. Hal 168.
17
Ibid. Hal 169
18
Ibid.
19
Gramsci, A, Selections from the Prison Notebooks, Lawrence and Wishart, London, 1971,
dalam http://www.academia.edu/3378898/Pemikiran_Antonio_Gramsci, 14-06-2015, 14.30 WIB,
Surakarta.
20
Ibid.
21
Strinati, Dominic, An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge, London, 1995,
Hal 166.
22
Kindleberger,Charles, The World in Depression 1929-1939, 1973, dalam http://www.people
.fas.harvard.edu/~plam/irnotes07/Kindleberger1981.pdf, 13-06-2015, 14.30 WIB, Surakarta.
23
Ibid.
24
Stephen Krasner, “State Power and the Structure of International Trade,” World Politics,
28 (1976), Hal 319.
25
S. Goldstein, Joshua, International Relations, Pearson-Longman, New York, 2005, hal 107.
26
Walt, Stephen M, “Alliance Formation and The Balance of World Power”, volume 9.no.4,
International Security, 1985, http://www.christoph-rohde.de/waltallianceformationandbop1
985.pdf, Hal 4.
27
Stephen Walt, Op.Cit. Hal 8.
28
Mas’oed, Mochtar, Ilmu Hubungan Internasional, edisi revisi, LP3ES, Jakarta, 1994, Hal 43.
29
29
Walt, Op. Cit. Hal 9.
Walt, Loc. Cit. Hal 4.
31
Morgenthau, Hans. J and Kenneth Thompson, Politics Among Nations, Edisi ke-6, McGrawHill, New York, 1985. Hal 103.
32
Schweller, Randall L, Unanswerd Threats: Political Constraints on the Balance of Power,
Princeton University Press, Princeton, 2006, Hal 166.
33
Goodall, Dictionary of Human Geography, Hal 362.
34
Encyclopedia Britannica Online, “Geopolitics,”,
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/229932/geopolitics. 28-05-2016, pukul 15.30 WIB.
35
Lonman Dictionary of Contemporary English, Assex: Lngman, p. 433
36
Warner J Cahnman, -Conceptsof Geopolitics, American Sociological Review, Vol.8, No.1,
1943, Hal.57
37
Bruno de Almeida Ferarri, -Some Consideration About. Hal.1
38
Herwig, -Geopolitik:Haushofer, Hitler and Lebensraum, hal 221.
39
Hagan, -Geopolitics, Hal 486.
40
Cohen, “Geopolitics of The World System,”
http://www.exploringgeopolitcs.org/PublicationEffernk_Van_Leonheardt_The
Definition_of_Gepolitics_Classical_French_Critical.html
41
Cohen, Saul Bernard, Geopolitics of The World System, London, Bowman and Uttz
Publisher, 2013, Hal.12
42
Cohen 2013, Hal 23-24.
43
Cohen 2013, Hal 26-27.
44
Huntington, Samuel.P “The clash of Civilization”, in Toal; Delby;Rautledge (eds.), The
Geopolitics Reader, Hal.159-169.
45
Gokmen, Semra Rana, Geopolitics and the Study of International Relation, Middle East
Technical University,2010.
46
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D , Cetakan ke-19, Alfabeta,
Bandung, 2013. Hal 2.
47
Wirartha, I Made, Metode Penelitian Sosial Ekonomi, Andi Offset, Yogyakarta, 2006. Hal
68.
48
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi revisi, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2006, Hal 6.
49
Bimbingan, “Pengertian pendekatan Deskriptif-Analitis”, http://www.bimbingan.org/
pengertian-pendekatan-deskriptif-analitis.htm, 13-06-2015, 14.30 WIB, Surakarta.
50
Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif, Edisi kedua, Kencana, Jakarta, 2011. Hal 143.
51
Ivanovich,Agusta, “Teknik pengumpulan dan analisa Data Kualitatif”,
https://www.academia.edu/4055918/Teknik_Analisa_Data_Kualitatif, 13-06-2015, 14.30 WIB,
Surakarta.
52
Burhan, Op.Cit., hal 147.
30
30
Download