29 TEKNIK IN-SITU PCR (ISPCR) UNTUK MENDETEKSI EKSPRESI TRANSGEN PADA JARINGAN TANAMAN Oleh : Teguh Wijayanto 1) ABSTRACT In-situ PCR (ISPCR) is a technique that allows specific nuleic acid sequences to be detected in individual cells and tissues. The technique is based on PCR (Polymerase Chain Reaction) performed on fixed whole cells or sections. The objective of this research was to apply this technique to detect the gus gene expression in lupin tissue sections. The research results showed that some amplified ISPCR signals were detected in lupin stem sections, and indicated that the in situ PCR technique has potential to be applied for gene localisation studies. However, the ISPCR reaction conditions and protocol still need to be improve to be able to determine precisely the sub-cellular location of transgene expression and to conclusively interpret the in situ PCR results. Key words : In-situ PCR, gene expression, tissue section, lupin PENDAHULUAN Salah satu metode untuk mendeteksi dan melokalisasi ekspresi gen pada jaringan tanaman transgenik adalah dengan menggunakan teknik in-situ PCR. Teknik ini memungkinkan sel-sel atau jaringan-jaringan transgenik untuk dideteksi (Johansen, 1997). In-situ polymerase chain reaction (ISPCR) adalah suatu teknik yang canggih untuk mengamplifikasi dan mendeteksi produk DNA yang spesifik langsung pada jaringan tanaman. Proses dari teknik ini akan mengamplifikasi gene langsung pada sel (Skipper et al., Gbr. 1). Proses ini, yang merupakan kombinasi dari keampuhan teknologi PCR yang digunakan secara luas oleh para ahli biologi molekuler dan metode in-situ hybridization yang umum digunakan oleh para ahli morfologi, adalah suatu pendekatan mikroskopik yang relatif baru dikembangkan dan sangat sensitif untuk mendeteksi DNA atau RNA, walaupun dalam jumlah yang sangat terbatas, pada irisan melintang (sections) jaringan atau sel-sel tanaman utuh. Teknik PCR sendiri mampu mengamplifikasi sekuens DNA atau RNA dalam jumlah sedikit menjadi jutaan kopi yang identik untuk deteksi atau analisa lebih lanjut; namun teknik ini secara umum tidak digunakan untuk melokalisasi sekuens DNA dalam sel atau irisan jaringan. Di lain pihak, in-situ hybridization dapat digunakan untuk memfisualisasi sekuens nukleotida dalam irisan jaringan atau sel-sel utuh. Namun teknik ini sendiri membutuhkan DNA atau RNA dalam jumlah yang relatif besar. Kombinasi dari kedua metode ini memungkinkan untuk mendeteksi secara sensitif DNA dalam individuindividu sel dalam irisan jaringan (Yin et al., 1998). Sampai saat ini hanya Johansen (1997) dan Cordova et al. (2003) yang telah melaporkan in situ PCR pada material tanaman. Kelompok-kelompok lain (Woo et al., 1995; Deeken and Kaldenhoff, 1997) telah melaporkan hasil aplikasi in situ RT-PCR pada material-material tanaman. Dalam tulisan ini, teknik ISPCR dicobakan untuk mendeteksi ekspresi gen gus pada irisan jaringan tanaman lupin (Lupinus angustifolius) yang telah ditransform dengan konstruksi gen gus. ) Staf Pengajar Pada Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Kendari. AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 01Universitas Januari Haluoleo, 2010, ISSN 0854-0128 1 29 30 Gambar 1. Overview dari langkah-langkap teknik in-situ PCR pada irisan jaringan tanaman (Skipper et al. and Muro-cacho, 1997) MATERI DAN METODE PENELITIAN Materi tanaman Materi tunas/tanaman transgenik berasal dari hasil eksperimen transformasi tanaman lupin dengan menggunakan konstruksi Aglo/pCAMBIA 3301 atau Aglo/pCAMBIA 3201 yang mengandung gen gus dan bar (Wijayanto, 2006). Kedua konstruksi gen ini mempunyai sebuah sekuens non-coding (intron) pada sekuens gen gus yang menjamin bahwa gen gus tersebut tidak akan terekspresi pada bakteri (Ohta et al., 1990), tetapi hanya terekspresi pada jaringan tanaman setelah transformasi. In situ PCR Metode embedding dengan Paraffin Prosedur untuk embedding mengikuti metode Shu et al. (2000). Sampel (potongan tunas) difiksasi dalam solusi fiksasi 4% formaldehyde yang dibuat dalam 1x bufer PBS pH 7.2 (0.13 M NaCl, 7.7 mM Na2HPO4.2H2O, and 2.3 mM NaH2PO4.2H2O). Pompa vakum diaplikasikan sampai gelembung-gelembung udara mulai muncul, ditahan 15 menit kemudian pompa vakum dilepas perlahan. Ini dilakukan berulang-ulang sampai sampel tenggelam. Larutan kemudian diganti dengan cairan fiksasi yang baru dan dibiarkan pada 4oC selama satu malam. Larutan fiksasi kemudian diganti dengan 30%, 40%, 50%, 70%, 85%, 95% ethanol selama masing-masing 60 menit, dan dengan 100% ethanol selama 2 x 30 menit. Tissue kemudian dipindahkan kedalam campuran 25% tert-butyl alcohol (TBA) : 75% ethanol selama 60 menit pada suhu ruang, kemudian kedalam campuran 50% TBA : 50% ethanol selama 60 menit pada 60oC oven, dan kedalam 100% TBA selama 60 menit pada 60oC oven. Tissue kemudian diinfiltrasikan dalam campuran 50% paraplast yang dicairkan : 50% TBA pada 60oC selama satu malam. Larutan kemudian diganti dengan 100% paraplast pada 60oC. Larutan ini kemudian diganti dengan 100% paraplast setiap 12 jam selama 2-3 hari. Tissue dan paraplast kemudian dituangkan kedalam sebuah cetakan (mould) (pada 60oC hot plate). Tweezers (dipanaskan dulu untuk mencegah lilin membeku) digunakan untuk mengorientasi tissue, sebelum cetakan diapungkan pada air es untuk memadatkan. Blok lilin ini disimpan pada 4oC. AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 01 Januari 2010, ISSN 0854-0128 31 Pengirisan (Sectioning) Blok paraffin (lilin) dipotong menjadi irisan-irisan setebal 5-10 µm dengan potongan kaca (glass knife). Irisan-irisan diletakkan di atas tetesan air pada kaca preparat berlapis silane (silane-coated slides). Slide-slide ini kemudian diletakan diatas pemanas slide pada 42oC. Slideslide kemudian dikeringkan antara 24 jam sampai 3 hari pada 40oC oven, sebelum menyimpannya dalam desikator pada 4oC. Pra-perlakuan irisan tanaman Sebelum digunakan untuk percobaan in situ PCR, irisan tanaman diperlakukan sebagai berikut: irisan diberi xylene 2 kali (masingmasing selama 15 menit), kemudian direhidrasi dalam in 100%, 90%, 85%, 75%, 50% dan 30% ethanol (masing-masing selama 1.5 menit). Irisan kemudian dibilas selama 5 menit dalam 1x buffer PBS (pH 7.2), diinkubasikan dalam larutan proteinase-K (5 µg mL-1 in 0.1 M TrisHCl pH 7.5; 5 mM EDTA) selama 30 menit pada Untuk menghentikan reaksi, irisan 37oC. direndam dalam 0.1 M glycine selama 5 menit. Irisan kemudian diletakkan dalam larutan 4% paraformaldehyde selama 15 min untuk membangun kembali cross-linkage, sebelum dicuci dengan 1x PBS sebanyak 2 kali (masingmasing 5 menit), kemudian sekali dengan air distil steril (selama 2 menit), dan dihidrasi dalam 30%, 50%, 75%, 85%, dan 90% ethanol (masing-masing 1.5 menit), kemudian dikeringanginkan selama 2 jam pada 25oC. Reaksi In-situ PCR Slide yang mengandung irisan tunas/tanaman lupin yang ditransformasi dengan pCAMBIA 3301 digunakan untuk in-situ PCR. Selain mengamplifikasi gen gus, slide-slide yang lain juga digunakan sebagai kontrol: amplifikasi r-DNA (control positif) dengan menggunakan primer universal untuk r-DNA yaitu primer NS1/NS21 (Simon et al., 1992), dan amplifikasi gen gus menggunakan primer gus (lihat dibawah) tetapi tanpa Taq polymerase atau digoxigenin-11-deoxy-UTP (DIG) (kontrol negatif). Reaksi dipersiapkan mengikuti metode Johansen (1997) dan Muro-Cacho (1997), yang diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Prosedur untuk in situ PCR Komponen larutan reaksi (per-reaksi untuk 1 slide) : 22 µL H2O : 3.5 µL 25 mM MgCl2 10x PCR Buffer : 4 µL 2 mM tiap dNTP : 4 µL Digoxigenin-11-deoxy-UTP (DIG) High Prime : 4 µL 10 pmol tiap primer : 2 µL Panaskan larutan sampai 70oC selama 10 min, : 0.5 µL Dan tambahkan 5 U µL-1 Taq DNA polymerase Hangatkan slide yang berisi irisan pada 70oC selama 10 min Tambahkan 40 µL larutan reaksi pada permukaan irisan Tutup campuran reaksi dengan penutup slide (coverslip), dan direkatkan dengan cat kuku Lakukan PCR (sebanyak 35 siklus) dalam Omnislide thermocycler (Hybaid). Kondisi siklus seperti reaksi PCR biasa, sebagai berikut: 94oC for 3 menit (sebelum amplifikasi). DNA diamplifikasi sebanyak 35 siklus dengan kondisi sbb: 30 detik pada 94oC, 30 detik pada 45oC dan 1 menit pada 72oC. Setelah siklus selesai, kondisi suhu dipertahankan pada 72oC selama 10 menit dan kemudian pada 4oC. Kedua oligonucleotida (primer) yang digunakan untuk amplifikasi gen gus adalah GUS1 primer (5’GGGTCAATAATCAGG AAG3’) dan GUS2 primer (5’ACCAATG CCTAAAGAGAG3’) (Jefferson et al., 1986). AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 01 Januari 2010, ISSN 0854-0128 32 Immuno deteksi produk PCR Metode pewarnaan untuk mendeteksi hasil ISPCR berdasarkan metode Johansen (1997). Untuk melepas ikatan nukleotida, slide (irisan jaringan) dicuci 2 kali (masing-masing 15 menit) dalam bufer TBS (100 mM Tris-HCl, 150 mM NaCl, pH 7.5), dan kemudian Selanjutnya dikeringanginkan pada 15oC. diinkubasi 2 kali (masing-masing 50 menit) pada larutan baru 1% blocking buffer (Roche) dalam bufer TBS, sebelum dikeringanginkan lagi pada 15oC. Irisan jaringan dilingkari dengan pulpen hydrophobic. Irisan jaringan kemudian diinkubasi dalam 100 µL anti-digoxigenin alkphosphatase-conjugated monoclonal antibody (antidig-AP-Mab) (Roche) yang diencerkan 1:500 dengan blocking buffer selama 1.5 jam dalam wadah yang lembab, kemudian dicuci 2 kali (masing-masing 10 menit) dengan bufer magnesium (100 mM Tris-HCl, 100 mM NaCl, 50 mM MgCl2, pH 9.5). Seratus µL NBT/BCIP larutan substrat (Roche) ditambahkan pada irisan jaringan, setelah itu slide diletakkan pada wadah lembab di dalam ruangan/tempat gelap. Pemunculan warna diamati dengan mikroskop cahaya dengan interval waktu 10 menit. Reaksi dihentikan dengan merendam slide/irisan jaringan dalam air distil dari 25 sampai 60 menit setelah penambahan substrat. Reaksi positif diindikasikan dengan adanya presipitasi berwarna biru-hijau atau ungu tua pada permukaan irisan jaringan. Irisan ini kemudian ditutup/dipatenkan menggunakan Eukitt mounting media, diamati dengan mikroskop cahaya (Zeiss) dan di foto. HASIL DAN PEMBAHASAN Beberapa percobaan in situ PCR telah dilakukan. Sinyal amplifikasi (warna muncul) terdeteksi pada irisan-irisan jaringan (Gbr. 2A) dan pada sample kontrol positif (Gbr. 2B). Namun ada juga background warna yang kadang terlihat pada sample kontrol negatif (Gbr. 2D). Percobaan in situ PCR dilakukan sebagai satu pendekatan untuk melokalisasi ekspresi dari gen gus pada jaringan tanaman lupin. In situ PCR dipilih karena simpel (Muro-Cacho, 1997). Secara teori, teknik ini mampu mengamplifikasi dan mendeteksi target DNA pada spesifik lokasi pada jaringan tanaman, atau memfisualisasi ekspresi gen pada tempat mereka disintesis (Johansen, 1997). Selain itu, jika siklus PCRnya cukup, ini dapat mencegah kemungkinan variasi dalam aktivitas promoter dari tipe-tipe sel yang berbeda. AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 01 Januari 2010, ISSN 0854-0128 33 A B C D Gambar 2. In situ PCR gen gus pada irisan melintang batang/tunas Lupinus angustifolius yang ditransformasi dengan gen gus. Pengamatan warna / sinyal positif (ditunjukkan dengan tanda panah) terhadap gen gus (A) atau DNA ribosomal (B). Sampel negatif diamplifikasi tanpa menggunakan DIG (C) atau Taq DNA polymerase (D). Skala : 100 µm Sinyal positif terdeteksi pada irisan jaringan tunas lupin transgenik (Gbr. 2). Namun, masalah-masalah teknis seperti menentukan kondisi reaksi in-situ yang optimum, recovery irisan jaringan dan background warna yang tidak spesifik (yang tidak seharusnya ada) merupakan kendala-kendala utama. Nuovo (1996) menemukan bahwa dalam percobaan in situ hybridisation menggunakan probe yang dilabel, sinyal background yang non-spesifik sering muncul jika probe terikat pada protein atau asam nukleat sel. Hasil optimum bisa diperoleh dengan pencucian yang intensif (a highstringency wash) untuk menghilangkan warna background ini. Tantangan lain adalah untuk mendapatkan irisan yang utuh; sering bagian- bagian dari irisan terkelupas setelah reaksi. Praperlakuan dengan protease memegang peranan penting dalam in situ RT PCR, khususnya untuk jaringan yang di embedded dengan paraffin (Muro-Cacho, 1997; Urbanczyk-Wochniak et al., 2002), untuk memungkinkan masuknya probe/primer/Taq polymerase kedalam target sekuens (tissue permeation). Namun hal ini mungkin dapat menyebabkan rusaknya morfologi dari irisan dan hilangnya sinyal positif. Kurangnya permeasi membuat reagen sulit masuk ke asam nukleat. Beberapa kelompok peneliti menunjukkan bahwa digesti yang berlebihan (over-digestion) dengan protease dapat menyebabkan luntur/hilangnya produk amplifikasi dari jaringan, hilangnya arsitektur jaringan (poorly visualised nuclei and AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 01 Januari 2010, ISSN 0854-0128 34 cytoplasm) dan hilangnya sinyal (Nuovo, 1996; Muro-Cacho, 1997; Urbanczyk-Wochniak et al., 2002). Pemilihan protease dan waktu digesti yang optimal juga merupakan faktor penting. Proteinase-K lebih mungkin, dibanding pepsin atau trypsin, menyebabkan over digestion terhadap jaringan (Nuovo, 1996). UrbanczykWochniak et al. (2002) menemukan bahwa waktu optimum untuk digesti dengan ProteinaseK adalah 5 menit. Selain itu, mereka juga mengemukakan pentingnya penggunaan pectinase dalam pra-perlakuan jaringan untuk in situ RT-PCR. Suhu siklus PCR yang tinggi juga dapat menyebabkan hilangnya morfologi jaringan, karena dapat menyebabkan penguapan (evaporation) larutan reaksi selama PCR. Penggunaan frame in-situ yang dirancang khusus, dibanding coverslip biasa yang direkatkan dengan cat kuku, harus dipertimbangkan untuk percobaan dimasa datang. Terlepas dari berbagai keterbatasan dan hambatan diatas, sinyal-sinyal positif (warna ungu-hitam yang muncul dari aktivitas alkaline phosphatase) terlihat pada sample irisan jaringan. Sinyal ini umumnya terdeteksi disekitar sel-sel vascular bundle dari sampel transgenik (Fig. 2 A), dan juga terlihat walau jarang atau tidak terlihat sama sekali pada sampel kontrol (Fig. 2 C and D). Sebelumnya, Johansen (1997) berhasil mengaplikasikan teknik in situ PCR untuk mengamplifikasi (sampai ke tingkat subseluler) gen rbcL pada tanaman tebu. Dia menemukan bahwa produk PCR terkonsentrasi pada plastida dari sel-sel bundle sheath. Namun dari penelitian ini, dia juga sulit untuk menentukan secara tepat lokasi sub-seluler dari sinyal, dan untuk memferifikasi genetik dari tunas/tanaman transgenik, karena integritas sel dan background warna menjadi masalah. KESIMPULAN Secara umum, hasil-hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa teknik in situ PCR berpotensi untuk diterapkan pada studi-studi lokalisasi ekspresi gen. Hasil dari lokalisasi seluler pada irisan jaringan tanaman lupin ini telah memberikan bukti struktural yang penting bahwa transgen terekspresi pada bagian-bagian tertentu pada jaringan/tunas lupin. Ekspresi transgen umumnya terjadi disekitar epidermis (L1) dan sub-epidermis (i.e. cortex or vascular bundle) (L2 layer) dari tunas T0 lupin. Hampir diseluruh kejadian, gen gus terekspresi didalam sitoplasma. Namun, kondisi reaksi dan protokol yang ada masih belum benarbenar optimal. Oleh sebab itu, kedepan perbaikan protokol sangat diperlukan agar dapat secara tepat menentukan lokasi sub-seluler dari ekspresi gen dan menginterpretasikan secara tepat hasil-hasil in situ PCR. DAFTAR PUSTAKA Cordova, I., P. Jones, N.A. Harrison and C. Oropeza, 2003. In situ PCR detection of phytoplasma DNA in embryos from coconut palms with lethal yellowing disease. Mol. Plant Pathol. 4(2): 99-108. Deeken, R. and R. Kaldenhoff, 1997. Lightrepressible receptor protein kinase: a novel photo-regulated gene from Arabidopsis thaliana. Planta 202: 479-486. Erlich, H.A., 1989. PCR Technology: Principles and Applications for DNA Amplification. Stockton Press, New York, USA. Jefferson, R.A., S.M. Burgess and D. Hirsh, 1986. βglucuronidase from Escherichia coli as a gene-fusion marker. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 83: 8447-8451. Johansen, B., 1997. In situ PCR on plant material with sub-cellular resolution. Ann. Bot. 80: 697-700. Muro-Cacho, C.A., 1997. In situ PCR: Overview of procedures and applications. Frontiers in Bioscience 2: c15-29. Nuovo, G.J., 1996. The foundation of successful RT in situ PCR. Frontiers in Bioscience 1: c415. AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 01 Januari 2010, ISSN 0854-0128 35 Ohta, S., S. Mita, T Hattori and K. Nakamura, 1990. Construction and expression in tobacco of a β-glucuronidase (GUS) reporter gene containing an intron within the coding sequence. Plant Cell Physiol. 31(6): 805813. Shu, G., W. Amaral., L.C. Hileman and D.A Baum, 2000. LEAFY and the evolution of rosette flowering in violet cress (Jonopsidium acaule, Brassicaceae). Amer. J. Bot. 87(5): 634-641. Simon, L., M. Lalonde and T. Bruns, 1992. Specific amplification of 18S fungal ribosomal genes from Vesicular-Arbuscular Endomycorrhizal fungi colonizing roots. Applied Environ. Microb. 58 (1): 291-295. Skipper, M., S. Frederiksen, B. Johansen, .... In situ PCR A tool for studying plant molecular development. Poster at Botanical Institute, University of Copenhagen. Urbanczyk-Wochniak, E., M. Filipecki and Z. Przybecki, 2002. A useful protocol for in situ RT-PCR on plant tissues. Cell. Mol. Biol. Lett. 7: 7-18. Wijayanto, T., 2006. Genetic Manipulation of Programmed Cell Death (PCD) for Reduced Susceptibility to Necrotrophic Fungi in Narrow-Leafed Lupin (Lupinus angustifolius). PhD Thesis. School of Plant Biology, Faculty of Natural and Agricultural Sciences, The University of Western Australia. Woo, H.H., L.A. Brigham and M.C. Hawes, 1995. In-cell RT-PCR in a single, detached plant cell. Plant Mol. Biol. Rep. 13(4): 355-362. Yin, J., M.G. Kaplitt, A.D. Kwong, D.W. Pfaff, 1998. In situ PCR for invivo detection of foreign genes transferred into rat brain. Brain Research 783: 347–354. AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 01 Januari 2010, ISSN 0854-0128