AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 01 Januari 2010, ISSN 0854-0128

advertisement
29
TEKNIK IN-SITU PCR (ISPCR) UNTUK MENDETEKSI EKSPRESI TRANSGEN
PADA JARINGAN TANAMAN
Oleh : Teguh Wijayanto 1)
ABSTRACT
In-situ PCR (ISPCR) is a technique that allows specific nuleic acid sequences to be detected in individual
cells and tissues. The technique is based on PCR (Polymerase Chain Reaction) performed on fixed whole cells or
sections. The objective of this research was to apply this technique to detect the gus gene expression in lupin tissue
sections. The research results showed that some amplified ISPCR signals were detected in lupin stem sections, and
indicated that the in situ PCR technique has potential to be applied for gene localisation studies. However, the
ISPCR reaction conditions and protocol still need to be improve to be able to determine precisely the sub-cellular
location of transgene expression and to conclusively interpret the in situ PCR results.
Key words : In-situ PCR, gene expression, tissue section, lupin
PENDAHULUAN
Salah satu metode untuk mendeteksi
dan melokalisasi ekspresi gen pada jaringan
tanaman
transgenik
adalah
dengan
menggunakan teknik in-situ PCR. Teknik ini
memungkinkan sel-sel atau jaringan-jaringan
transgenik untuk dideteksi (Johansen, 1997).
In-situ polymerase chain reaction
(ISPCR) adalah suatu teknik yang canggih
untuk mengamplifikasi dan mendeteksi produk
DNA yang spesifik langsung pada jaringan
tanaman.
Proses dari teknik ini akan
mengamplifikasi gene langsung pada sel
(Skipper et al., Gbr. 1). Proses ini, yang
merupakan
kombinasi
dari
keampuhan
teknologi PCR yang digunakan secara luas oleh
para ahli biologi molekuler dan metode in-situ
hybridization yang umum digunakan oleh para
ahli morfologi, adalah suatu pendekatan
mikroskopik yang relatif baru dikembangkan
dan sangat sensitif untuk mendeteksi DNA atau
RNA, walaupun dalam jumlah yang sangat
terbatas, pada irisan melintang (sections)
jaringan atau sel-sel tanaman utuh. Teknik PCR
sendiri mampu mengamplifikasi sekuens DNA
atau RNA dalam jumlah sedikit menjadi jutaan
kopi yang identik untuk deteksi atau analisa
lebih lanjut; namun teknik ini secara umum
tidak digunakan untuk melokalisasi sekuens
DNA dalam sel atau irisan jaringan. Di lain
pihak, in-situ hybridization dapat digunakan
untuk memfisualisasi sekuens nukleotida dalam
irisan jaringan atau sel-sel utuh. Namun teknik
ini sendiri membutuhkan DNA atau RNA dalam
jumlah yang relatif besar. Kombinasi dari
kedua metode ini memungkinkan untuk
mendeteksi secara sensitif DNA dalam individuindividu sel dalam irisan jaringan (Yin et al.,
1998).
Sampai saat ini hanya Johansen (1997)
dan Cordova et al. (2003) yang telah
melaporkan in situ PCR pada material tanaman.
Kelompok-kelompok lain (Woo et al., 1995;
Deeken and Kaldenhoff, 1997) telah
melaporkan hasil aplikasi in situ RT-PCR pada
material-material tanaman.
Dalam tulisan ini, teknik ISPCR
dicobakan untuk mendeteksi ekspresi gen gus
pada irisan jaringan tanaman lupin (Lupinus
angustifolius) yang telah ditransform dengan
konstruksi gen gus.
) Staf Pengajar Pada
Jurusan Agroteknologi
Fakultas
Pertanian
Kendari.
AGRIPLUS,
Volume 20
Nomor
: 01Universitas
Januari Haluoleo,
2010, ISSN
0854-0128
1
29
30
Gambar 1. Overview dari langkah-langkap teknik in-situ PCR pada irisan jaringan tanaman (Skipper et
al. and Muro-cacho, 1997)
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Materi tanaman
Materi tunas/tanaman transgenik berasal
dari hasil eksperimen transformasi tanaman lupin
dengan menggunakan konstruksi Aglo/pCAMBIA
3301 atau Aglo/pCAMBIA 3201 yang
mengandung gen gus dan bar (Wijayanto, 2006).
Kedua konstruksi gen ini mempunyai sebuah
sekuens non-coding (intron) pada sekuens gen
gus yang menjamin bahwa gen gus tersebut tidak
akan terekspresi pada bakteri (Ohta et al., 1990),
tetapi hanya terekspresi pada jaringan tanaman
setelah transformasi.
In situ PCR
Metode embedding dengan Paraffin
Prosedur untuk embedding mengikuti
metode Shu et al. (2000). Sampel (potongan
tunas) difiksasi dalam solusi fiksasi 4%
formaldehyde yang dibuat dalam 1x bufer PBS
pH 7.2 (0.13 M NaCl, 7.7 mM Na2HPO4.2H2O,
and 2.3 mM NaH2PO4.2H2O). Pompa vakum
diaplikasikan sampai gelembung-gelembung
udara mulai muncul, ditahan 15 menit kemudian
pompa vakum dilepas perlahan. Ini dilakukan
berulang-ulang sampai sampel tenggelam.
Larutan kemudian diganti dengan cairan fiksasi
yang baru dan dibiarkan pada 4oC selama satu
malam. Larutan fiksasi kemudian diganti dengan
30%, 40%, 50%, 70%, 85%, 95% ethanol
selama masing-masing 60 menit, dan dengan
100% ethanol selama 2 x 30 menit. Tissue
kemudian dipindahkan kedalam campuran 25%
tert-butyl alcohol (TBA) : 75% ethanol selama
60 menit pada suhu ruang, kemudian kedalam
campuran 50% TBA : 50% ethanol selama 60
menit pada 60oC oven, dan kedalam 100% TBA
selama 60 menit pada 60oC oven. Tissue
kemudian diinfiltrasikan dalam campuran 50%
paraplast yang dicairkan : 50% TBA pada 60oC
selama satu malam. Larutan kemudian diganti
dengan 100% paraplast pada 60oC. Larutan ini
kemudian diganti dengan 100% paraplast setiap
12 jam selama 2-3 hari. Tissue dan paraplast
kemudian dituangkan kedalam sebuah cetakan
(mould) (pada 60oC hot plate). Tweezers
(dipanaskan dulu untuk mencegah lilin
membeku) digunakan untuk mengorientasi
tissue, sebelum cetakan diapungkan pada air es
untuk memadatkan. Blok lilin ini disimpan pada
4oC.
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 01 Januari 2010, ISSN 0854-0128
31
Pengirisan (Sectioning)
Blok paraffin (lilin) dipotong menjadi
irisan-irisan setebal 5-10 µm dengan potongan
kaca (glass knife). Irisan-irisan diletakkan di atas
tetesan air pada kaca preparat berlapis silane
(silane-coated slides). Slide-slide ini kemudian
diletakan diatas pemanas slide pada 42oC. Slideslide kemudian dikeringkan antara 24 jam
sampai 3 hari pada
40oC oven, sebelum
menyimpannya dalam desikator pada 4oC.
Pra-perlakuan irisan tanaman
Sebelum digunakan untuk percobaan in
situ PCR, irisan tanaman diperlakukan sebagai
berikut: irisan diberi xylene 2 kali (masingmasing selama 15 menit), kemudian direhidrasi
dalam in 100%, 90%, 85%, 75%, 50% dan 30%
ethanol (masing-masing selama 1.5 menit).
Irisan kemudian dibilas selama 5 menit dalam 1x
buffer PBS (pH 7.2), diinkubasikan dalam
larutan proteinase-K (5 µg mL-1 in 0.1 M TrisHCl pH 7.5; 5 mM EDTA) selama 30 menit pada
Untuk menghentikan reaksi, irisan
37oC.
direndam dalam 0.1 M glycine selama 5 menit.
Irisan kemudian diletakkan dalam larutan 4%
paraformaldehyde selama 15 min untuk
membangun kembali cross-linkage, sebelum
dicuci dengan 1x PBS sebanyak 2 kali (masingmasing 5 menit), kemudian sekali dengan air
distil steril (selama 2 menit), dan dihidrasi dalam
30%, 50%, 75%, 85%, dan 90% ethanol
(masing-masing
1.5
menit),
kemudian
dikeringanginkan selama 2 jam pada 25oC.
Reaksi In-situ PCR
Slide
yang
mengandung
irisan
tunas/tanaman lupin yang ditransformasi dengan
pCAMBIA 3301 digunakan untuk in-situ PCR.
Selain mengamplifikasi gen gus, slide-slide yang
lain juga digunakan sebagai kontrol: amplifikasi
r-DNA (control positif) dengan menggunakan
primer universal untuk r-DNA yaitu primer
NS1/NS21 (Simon et al., 1992), dan amplifikasi
gen gus menggunakan primer gus (lihat
dibawah) tetapi tanpa Taq polymerase atau
digoxigenin-11-deoxy-UTP
(DIG)
(kontrol
negatif). Reaksi dipersiapkan mengikuti metode
Johansen (1997) dan Muro-Cacho (1997), yang
diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Prosedur untuk in situ PCR
Komponen larutan reaksi (per-reaksi untuk 1 slide)
: 22 µL
H2O
: 3.5 µL
25 mM MgCl2
10x PCR Buffer
: 4 µL
2 mM tiap dNTP
: 4 µL
Digoxigenin-11-deoxy-UTP (DIG) High Prime
: 4 µL
10 pmol tiap primer
: 2 µL
Panaskan larutan sampai 70oC selama 10 min,
: 0.5 µL
Dan tambahkan 5 U µL-1 Taq DNA polymerase
Hangatkan slide yang berisi irisan pada 70oC selama 10 min
Tambahkan 40 µL larutan reaksi pada permukaan irisan
Tutup campuran reaksi dengan penutup slide (coverslip), dan direkatkan dengan cat kuku
Lakukan PCR (sebanyak 35 siklus) dalam Omnislide thermocycler (Hybaid).
Kondisi siklus seperti reaksi PCR biasa,
sebagai berikut: 94oC for 3 menit (sebelum
amplifikasi). DNA diamplifikasi sebanyak 35
siklus dengan kondisi sbb: 30 detik pada 94oC,
30 detik pada 45oC dan 1 menit pada 72oC.
Setelah
siklus
selesai,
kondisi
suhu
dipertahankan pada 72oC selama 10 menit dan
kemudian pada 4oC.
Kedua oligonucleotida (primer) yang
digunakan untuk amplifikasi gen gus adalah
GUS1
primer
(5’GGGTCAATAATCAGG
AAG3’) dan GUS2 primer (5’ACCAATG
CCTAAAGAGAG3’) (Jefferson et al., 1986).
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 01 Januari 2010, ISSN 0854-0128
32
Immuno deteksi produk PCR
Metode pewarnaan untuk mendeteksi
hasil ISPCR berdasarkan metode Johansen
(1997). Untuk melepas ikatan nukleotida, slide
(irisan jaringan) dicuci 2 kali (masing-masing 15
menit) dalam bufer TBS (100 mM Tris-HCl, 150
mM NaCl, pH 7.5), dan kemudian
Selanjutnya
dikeringanginkan pada 15oC.
diinkubasi 2 kali (masing-masing 50 menit) pada
larutan baru 1% blocking buffer (Roche) dalam
bufer TBS, sebelum dikeringanginkan lagi pada
15oC. Irisan jaringan dilingkari dengan pulpen
hydrophobic.
Irisan
jaringan
kemudian
diinkubasi dalam 100 µL anti-digoxigenin alkphosphatase-conjugated monoclonal antibody
(antidig-AP-Mab) (Roche) yang diencerkan
1:500 dengan blocking buffer selama 1.5 jam
dalam wadah yang lembab, kemudian dicuci 2
kali (masing-masing 10 menit) dengan bufer
magnesium (100 mM Tris-HCl, 100 mM NaCl,
50 mM MgCl2, pH 9.5). Seratus µL NBT/BCIP
larutan substrat (Roche) ditambahkan pada irisan
jaringan, setelah itu slide diletakkan pada wadah
lembab di dalam ruangan/tempat gelap.
Pemunculan warna diamati dengan mikroskop
cahaya dengan interval waktu 10 menit. Reaksi
dihentikan dengan merendam slide/irisan
jaringan dalam air distil dari 25 sampai 60 menit
setelah penambahan substrat. Reaksi positif
diindikasikan
dengan
adanya
presipitasi
berwarna biru-hijau atau ungu tua pada
permukaan irisan jaringan. Irisan ini kemudian
ditutup/dipatenkan
menggunakan
Eukitt
mounting media, diamati dengan mikroskop
cahaya (Zeiss) dan di foto.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Beberapa percobaan in situ PCR telah
dilakukan. Sinyal amplifikasi (warna muncul)
terdeteksi pada irisan-irisan jaringan (Gbr. 2A)
dan pada sample kontrol positif (Gbr. 2B).
Namun ada juga background warna yang kadang
terlihat pada sample kontrol negatif (Gbr. 2D).
Percobaan in situ PCR dilakukan sebagai
satu pendekatan untuk melokalisasi ekspresi dari
gen gus pada jaringan tanaman lupin. In situ
PCR dipilih karena simpel (Muro-Cacho, 1997).
Secara teori, teknik ini mampu mengamplifikasi
dan mendeteksi target DNA pada spesifik lokasi
pada jaringan tanaman, atau memfisualisasi
ekspresi gen pada tempat mereka disintesis
(Johansen, 1997). Selain itu, jika siklus PCRnya
cukup, ini dapat mencegah kemungkinan variasi
dalam aktivitas promoter dari tipe-tipe sel yang
berbeda.
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 01 Januari 2010, ISSN 0854-0128
33
A
B
C
D
Gambar 2. In situ PCR gen gus pada irisan melintang batang/tunas Lupinus angustifolius yang
ditransformasi dengan gen gus. Pengamatan warna / sinyal positif (ditunjukkan dengan tanda
panah) terhadap gen gus (A) atau DNA ribosomal (B). Sampel negatif diamplifikasi tanpa
menggunakan DIG (C) atau Taq DNA polymerase (D). Skala : 100 µm
Sinyal positif terdeteksi pada irisan
jaringan tunas lupin transgenik (Gbr. 2). Namun,
masalah-masalah teknis seperti menentukan
kondisi reaksi in-situ yang optimum, recovery
irisan jaringan dan background warna yang tidak
spesifik (yang tidak seharusnya ada) merupakan
kendala-kendala
utama.
Nuovo
(1996)
menemukan bahwa dalam percobaan in situ
hybridisation menggunakan probe yang dilabel,
sinyal background yang non-spesifik sering
muncul jika probe terikat pada protein atau asam
nukleat sel. Hasil optimum bisa diperoleh
dengan pencucian yang intensif (a highstringency wash) untuk menghilangkan warna
background ini.
Tantangan
lain
adalah
untuk
mendapatkan irisan yang utuh; sering bagian-
bagian dari irisan terkelupas setelah reaksi. Praperlakuan dengan protease memegang peranan
penting dalam in situ RT PCR, khususnya untuk
jaringan yang di embedded dengan paraffin
(Muro-Cacho, 1997; Urbanczyk-Wochniak et al.,
2002),
untuk
memungkinkan
masuknya
probe/primer/Taq polymerase kedalam target
sekuens (tissue permeation). Namun hal ini
mungkin
dapat
menyebabkan
rusaknya
morfologi dari irisan dan hilangnya sinyal
positif. Kurangnya permeasi membuat reagen
sulit masuk ke asam nukleat.
Beberapa
kelompok peneliti menunjukkan bahwa digesti
yang berlebihan (over-digestion) dengan
protease dapat menyebabkan luntur/hilangnya
produk amplifikasi dari jaringan, hilangnya
arsitektur jaringan (poorly visualised nuclei and
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 01 Januari 2010, ISSN 0854-0128
34
cytoplasm) dan hilangnya sinyal (Nuovo, 1996;
Muro-Cacho, 1997; Urbanczyk-Wochniak et al.,
2002).
Pemilihan protease dan waktu digesti
yang optimal juga merupakan faktor penting.
Proteinase-K lebih mungkin, dibanding pepsin
atau trypsin,
menyebabkan over digestion
terhadap jaringan (Nuovo, 1996). UrbanczykWochniak et al. (2002) menemukan bahwa
waktu optimum untuk digesti dengan ProteinaseK adalah 5 menit. Selain itu, mereka juga
mengemukakan
pentingnya
penggunaan
pectinase dalam pra-perlakuan jaringan untuk in
situ RT-PCR.
Suhu siklus PCR yang tinggi juga dapat
menyebabkan hilangnya morfologi jaringan,
karena
dapat
menyebabkan
penguapan
(evaporation) larutan reaksi selama PCR.
Penggunaan frame in-situ yang dirancang
khusus, dibanding coverslip biasa yang
direkatkan
dengan
cat
kuku,
harus
dipertimbangkan untuk percobaan dimasa
datang.
Terlepas dari berbagai keterbatasan dan
hambatan diatas, sinyal-sinyal positif (warna
ungu-hitam yang muncul dari aktivitas alkaline
phosphatase) terlihat pada sample irisan jaringan.
Sinyal ini umumnya terdeteksi disekitar sel-sel
vascular bundle dari sampel transgenik (Fig. 2
A), dan juga terlihat walau jarang atau tidak
terlihat sama sekali pada sampel kontrol (Fig. 2
C and D).
Sebelumnya, Johansen (1997)
berhasil mengaplikasikan teknik in situ PCR
untuk mengamplifikasi (sampai ke tingkat subseluler) gen rbcL pada tanaman tebu. Dia
menemukan bahwa produk PCR terkonsentrasi
pada plastida dari sel-sel bundle sheath. Namun
dari penelitian ini, dia juga sulit untuk
menentukan secara tepat lokasi sub-seluler dari
sinyal, dan untuk memferifikasi genetik dari
tunas/tanaman transgenik, karena integritas sel
dan background warna menjadi masalah.
KESIMPULAN
Secara umum, hasil-hasil penelitian ini
mengindikasikan bahwa teknik in situ PCR
berpotensi untuk diterapkan pada studi-studi
lokalisasi ekspresi gen. Hasil dari lokalisasi
seluler pada irisan jaringan tanaman lupin ini
telah memberikan bukti struktural yang penting
bahwa transgen terekspresi pada bagian-bagian
tertentu pada jaringan/tunas lupin.
Ekspresi transgen umumnya terjadi
disekitar epidermis (L1) dan sub-epidermis (i.e.
cortex or vascular bundle) (L2 layer) dari tunas
T0 lupin. Hampir diseluruh kejadian, gen gus
terekspresi didalam sitoplasma. Namun, kondisi
reaksi dan protokol yang ada masih belum benarbenar optimal.
Oleh sebab itu, kedepan
perbaikan protokol sangat diperlukan agar dapat
secara tepat menentukan lokasi sub-seluler dari
ekspresi gen dan menginterpretasikan secara
tepat hasil-hasil in situ PCR.
DAFTAR PUSTAKA
Cordova, I., P. Jones, N.A. Harrison and C. Oropeza,
2003. In situ PCR detection of phytoplasma
DNA in embryos from coconut palms with
lethal yellowing disease. Mol. Plant Pathol.
4(2): 99-108.
Deeken, R. and R. Kaldenhoff, 1997.
Lightrepressible receptor protein kinase: a novel
photo-regulated gene from Arabidopsis
thaliana. Planta 202: 479-486.
Erlich, H.A., 1989. PCR Technology: Principles and
Applications for DNA Amplification.
Stockton Press, New York, USA.
Jefferson, R.A., S.M. Burgess and D. Hirsh, 1986. βglucuronidase from Escherichia coli as a
gene-fusion marker. Proc. Natl. Acad. Sci.
USA 83: 8447-8451.
Johansen, B., 1997. In situ PCR on plant material
with sub-cellular resolution. Ann. Bot. 80:
697-700.
Muro-Cacho, C.A., 1997. In situ PCR: Overview of
procedures and applications. Frontiers in
Bioscience 2: c15-29.
Nuovo, G.J., 1996. The foundation of successful RT
in situ PCR. Frontiers in Bioscience 1: c415.
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 01 Januari 2010, ISSN 0854-0128
35
Ohta, S., S. Mita, T Hattori and K. Nakamura, 1990.
Construction and expression in tobacco of a
β-glucuronidase (GUS) reporter gene
containing an intron within the coding
sequence. Plant Cell Physiol. 31(6): 805813.
Shu, G., W. Amaral., L.C. Hileman and D.A Baum,
2000. LEAFY and the evolution of rosette
flowering in violet cress (Jonopsidium
acaule, Brassicaceae). Amer. J. Bot. 87(5):
634-641.
Simon, L., M. Lalonde and T. Bruns, 1992. Specific
amplification of 18S fungal ribosomal genes
from Vesicular-Arbuscular Endomycorrhizal
fungi colonizing roots. Applied Environ.
Microb. 58 (1): 291-295.
Skipper, M., S. Frederiksen, B. Johansen, .... In situ
PCR A tool for studying plant molecular
development. Poster at Botanical Institute,
University of Copenhagen.
Urbanczyk-Wochniak, E., M. Filipecki and Z.
Przybecki, 2002. A useful protocol for in
situ RT-PCR on plant tissues. Cell. Mol.
Biol. Lett. 7: 7-18.
Wijayanto, T., 2006.
Genetic Manipulation of
Programmed Cell Death (PCD) for Reduced
Susceptibility to Necrotrophic Fungi in
Narrow-Leafed
Lupin
(Lupinus
angustifolius). PhD Thesis. School of Plant
Biology, Faculty of Natural and Agricultural
Sciences, The University of Western
Australia.
Woo, H.H., L.A. Brigham and M.C. Hawes, 1995.
In-cell RT-PCR in a single, detached plant
cell. Plant Mol. Biol. Rep. 13(4): 355-362.
Yin, J., M.G. Kaplitt, A.D. Kwong, D.W. Pfaff, 1998.
In situ PCR for invivo detection of foreign
genes transferred into rat brain. Brain
Research 783: 347–354.
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 01 Januari 2010, ISSN 0854-0128
Download