HUKUM PEMBUKTIAN PADA MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH (Wacana Pembentukkan Hukum Pembuktian Islam) Oleh: Misran, S.Ag, M.Ag ABSTRAK Generally, evidences used by Mahkamah Syar’iyyah and Religion court (peradilan agama) in Indonesia are the evidences which derive from BW and HIR/RBg of colonial’s legacy and also from special legislation. To attain a substantial truth, the first step taken by a judge is by looking for the formal truth, because with this kind of truth he could attain substantial truth as the real truth. Kata Kunci: Hukum Pembuktian, Mahkamah Syar’iyah A. Pendahuluan Lembaga peradilan merupakan lembaga penegakan hukum yang menjadi tempat bagi pencari keadilan. Manakala lembaga ini tidak lagi dapat memberi keadilan kemana lagi tempat mengadu. Lembaga peradilan berbeda dengan lembaga fatwa (arbitrase). Keputusan yang diberikan lembaga fatwa tidak mengikat bagi pencari penyelesaian sengketa. Sedang keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan bersifat memaksa dan mengikat para pihak sehingga harus dilakukan, ditaati dan tidak boleh dibantah. Dengan demikian tidak dapat mengajukan perkara yang sama ke pengadilan yang lain. Di Indonesia terdapat empat jenis lembaga peradilan dengan kewenangan yang berbeda pula, yaitu Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Agama (PA) – khusus di Aceh dewasa ini namanya dirubah menjadi Mahkamah Syar’iyah – dan Mahkamah Militer (MAHMIL). 1 Masing-masing badan peradilan tersebut memiliki tiga tingkat, yaitu peradilan tingkat pertama, banding dan kasasi pada Mahkamah Agung (MA). Bagi para pihak yang tidak puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan banding, dan bila tidak puas juga bisa mengajukan kasasi. Khusus Pengadilan Agama, ia diberi kewenangan memutuskan perkara di kalangan umat Islam pada kasus-kasus perdata terbatas, yang meliputi: pertama: perkara perkawinan, kedua: kewarisan, wasiat dan hibah, dan ketiga: perkara wakaf dan shadaqah1. Namun setelah keluarnya Undang-undang No. 31 Tahun 2006 Tentang Amandemen dari Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kewenangannya bertambah satu lagi yakni bidang mu’amalah atau ekonomi Syari’ah.2 Meskipun hukum materil dari perkara-perkara ini berdasarkan hukum Islam, namun hukum formilnya masih menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata peradilan umum yang berlaku di Indonesia, yang notabene adalah peninggalan Belanda (HIR/RBg/BW). Ketentuan ini dengan tegas dimuat dalam Undang-undang No. 31 Tahun 2006 sebagaimana disebutkan di atas. Di sini memang terdapat keanehan, karena tidak dilakukan kodifikasi hukum acara Islam, meskipun tentu saja harus dilakukan penyesuaian dengan konteks Indonesia. Di antara permasalahan yang urgen dalam hukum acara adalah masalah pembuktian3. Pembuktian memegang peran penting yang sangat besar dalam penegakan keadilan kepada masyarakat. Bagi hakim sendiri dilarang memutuskan perkara sekiranya belum ada bukti-bukti yang meyakinkan. Bukti-bukti yang 2 meyakinkan di sini adalah bukti yang memastikan siapa sebenarnya pemilik hak atau paling tidak membawa kepada dugaan kuat siapa sebenarnya pemilik hak. Jadi bukti itu bukan sesuatu yang hanya mencapai tingkat syak (ragu-ragu) atau tidak yakin. Membahas tentang pembuktian dalam hukum acara, terdapat beberapa hal yang menjadi perhatian, di antaranya adalah: apa saja yang menjadi alat bukti dan apa asas kebenaran yang ingin diperoleh dari pembuktian, di samping berbagai masalah lainnya. Hal ini saling terkait sangat erat, artinya tidak boleh diabaikan salah satunya dengan tujuan untuk dapat memberi keadilan kepada masyarakat, ketika terjadi sengketa, dan terhindar dari segala bentuk ketidakadilan. Dari pengamatan sementara diketahui bahwa dalam perkara perdata di Aceh, banyak yang melakukan banding ke tingkat Mahkamah Syar’iyah Provinsi, bahkan sampai ke Mahkamah Agung. Fakta ini menunjukkan bahwa para pihak tidak merasa puas dengan keputusan hakim Mahkamah Syar’iyah karena dianggap tidak mampu memberi keadilan kepada pihak-pihak yang merasa hakhaknya tidak diberikan, terjadi. Hal seperti ini perlu pembuktian. Semua ini tidak terlepas dari asas pembuktian yang dipakai adalah asas kebenaran formil, tidak sampai kepada kebenaran materil.4 Maksud dari kebenaran formil adalah hakim yang memeriksa dan mengadili perkara perdata terikat secara mutlak kepada caracara tertentu yang diatur dalam HIR/RBg/BW. Apabila hal ini terus dipegangi secara teguh oleh Mahkamah Syar’iyah, maka tidak mengherankan apabila lembaga peradilan ini tidak dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat secara optimal. Sebagai contoh, menurut Hukum Acara 3 Perdata Umum, akta otentik dikatakan sah apabila dibuat di depan pejabat umum yang berwenang untuk itu, sebagaimana disebutkan dalam pasal 165 HIR/285 RBg/1870 BW. Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah tidak akan terjadi kemungkinan lain (secara materil) yang menyebabkan akta otentik (sebagai salah satu bukti yang kuat) itu lemah, seperti adanya kena pengaruh dalam akta jual beli tanah yang dibuat oleh seseorang PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) atas permintaan seorang pejabat berkuasa terkemuka yang mewilayahi PPAT tersebut sehingga jual beli dimaksud bersifat pemaksaan. Sebagai contoh adanya kasus kepemilikan sertifikat tanah lebih dari satu terhadap satu objek tanah. Jika hakim terikat secara formal, bagaimana sikap hakim dalam menilai, adilkah yang demikian? Contoh lain ialah wasiat yang dibuat di hadapan notaris oleh seseorang yang isinya memberikan semua hartanya kepada seseorang setelah ia wafat. Lalu bagaimanakah status surat wasiat itu di hadapan pembuktian, padahal menurut hukum materil Islam, wasiat dianggap sah dan dapat dilaksanakan kalau tidak lebih dari sepertiga dari jumlah harta si pemberi wasiat5 Berdasarkan contoh-contoh di atas, cukuplah menjadi alasan bahwa kebenaran formil dalam menilai pembuktian sudah selayaknya ditukar dengan kebenaran materil. Pergeseran dari kebenaran formil menuju kebenaran materil ini, sejalan pula dengan pergeseran hukum pasif menurut HIR/RBg kepada hakim aktif menurut UU Nomor 14 Tahun 1970. Pergeseran sistem kebenaran menuju kepada kebenaran materil ini, pernah juga ditegaskan oleh Mahkamah Agung 4 dalam Rapat Kerja di Jakarta tanggal 28-29 Mei 1981. Hal ini tentu sangat dimungkinkan berlaku di Aceh, meskipun kenyataannya belum ada. Meskipun asas pembuktian sudah memungkinkan untuk diterangkannya asas kebenaran materil, namun Mahkamah Syar’iyah di Aceh masih menganut asas kebenaran formil. Padahal dengan asas kebenaran formil, kemungkinan besar banyak kasus-kasus tidak dapat diselesaikan secara adil yang dapat diterima banyak pihak. Dewasa ini Aceh telah berhak merumuskan qanun hukum acara, termasuk di dalamnya pembuktian, yang dapat diberlakukan di daerah ini. Namun wacana pemerintah untuk itu belum ada. B. Pembahasan a. Pengertian dan Tujuan Pembuktian Pembuktian secara etimologi berasal dari kata “bukti” yang berarti sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata “bukti” jika mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” maka berarti “proses”, “perbuatan”, “cara membuktikan”, secara terminologi pembuktian berarti usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.6 Subekti menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.7 Menurut Subhi Mahmasani, yang dimaksud dengan membuktikan suatu perkara adalah: mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai kepada batas yang meyakinkan. Maksud meyakinkan di sini adalah apa yang menjadi ketetapan atau keputusan atas dasar penelitian dan dalil-dalil itu.8 Dari beberapa defenisi di atas, dapat dipahami bahwa pembukti adalah suatu proses yang terjadi di depan peradilan yang dilakukan oleh masing-masing pihak untuk memberikan dalil-dalil dan berbagai alat bukti untuk meyakinkan 5 hakim atas kebenaran yang disengketakan antara penggugat dan tergugat atau mematahkan dakwaan/gugatan. Berdasarkan hal ini dapat pula diketahui tujuan pembuktian itu sediri, yaitu untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya, kebenaran dari hubungan terhadap pihak-pihak yang berpekara. Dengan pembuktian dapat diketahui siapa sebenarnya yang salah dan siapa sebenarnya yang benar. Jadi dengan pembuktian ini dapat dijamin adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi pihak yang berperkara secara seimbang.9 Dalam ilmu hukum, disadari bahwa pembuktian tidak dapat dipastikan secara mutlak dan logis, melainkan pembutian yang bersifat kemasyarakatan. Jadi kebenaran yang dicapai boleh jadi merupakan kebenaran yang relatif. Hal ini berbeda dengan pembuktian dalam ilmu pasti yang bersifat mutlak dan logis. Contoh kebenaran dalam ilmu pasti yang bersifat mutlak adalah: 4 x 4 = 16; 42 = 16; 24 = 16, dan lain sebagainya. Pembuktian dalam ilmu hukum diharapkan dapat memberikan keyakinan terdapat fakta-fakta yang dikemukakan, yaitu apa yang dikemukakan dengan fakta itu harus selaras dengan kebenaran. Keyakinan bahwa sesuatu hal benar-benar terjadi harus dapat diciptakan dan dapat diterima oleh pihak-pihak lainnya, karena apabila hanya dapat diciptakan tanpa diikuti dengan diterimanya oleh pihak lain, akan tidak punya arti.10 Oleh karena melalui pembuktian dapat diperoleh gambaran tentang siapa pihak yang benar dan yang salah, maka pembuktian harus dilakukan melalui prosedur yang benar menurut hukum. Prosedur pembuktian biasanya dilakukan melalui pemeriksaan alat-alat bukti yang tersedia di depan persidangan, sehingga eksistensi alat-alat bukti menjadi urgen. Pemeriksaan alat-alat bukti secara 6 prosedural akan memberikan jaminan bahwa hakim dalam melakukan pembuktian tidak mengada-ada, sehingga hasil putusan yang diberikan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Dengan demikian tugas pengadilan memberikan hak kepada pemiliknya dapat diwujudkan.11 Dalam Islam, tuntutan bagi hakim dan siapa pun juga untuk memberikan keputusan secara adil sangat tinggi. Banyak nash-nash yang memerintahkan untuk berbuat adil. Untuk itu sebelum hakim menjatuhkan putusannya, maka hakim perlu memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian. Oleh karena itu, dalam Islam keberadaan pembuktian yang dapat mengantarkan hakim kepada keyakinan akan suatu kebenaran sangat diperhatikan. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa hakim tidak boleh menetapkan hukum kecuali apabila telah ada bukti-bukti yang dapat mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya. 12 Dengan demikian jelaslah bahwa pembuktian memegang peranan penting dalam pemeriksaan perkara dalam persidangan di pengadilan. Dengan adanya pembuktian, hakim akan dapat memberikan gambaran yang jelas terhadap peristiwa yang sedang menjadi sengketa di pengadilan. b. Alat-alat bukti yang digunakan para Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Pembuktian sebagaimana penjelasan sebelumnya adalah suatu proses yang terjadi di depan pengadilan yang dilakukan oleh masing-masing pihak untuk memberikan dalil-dalil dan berbagai alat bukti untuk meyakinkan hakim atas kebenaran dakwaan/gugatan atau mematahkan dakwaan/gugatan. 7 Telah dimaklumi bahwa sistem pembuktian di Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah adalah menganut sistem hukum acara perdata menurut HIR/RBg. Sistem yang dianut pada HIR/RBg ini berdasarkan kepada kebenaran formal. Namun karena sudah ada perubahan, maka hukum acara perdata bukan hanya bersumber dari HIR/RBg tetapi juga dari BW, dari kebiasaan-kebiasaan praktek penyelenggaraan peradilan, termasuk dari surat-surat edaran dan petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung. Suatu persengketaan atau perkara tidak bisa diselesaikan tanpa adanya alat bukti, artinya kalau gugatan penggugat tidak berdasarkan bukti maka perkara tersebut akan diputuskan juga oleh hakim tetapi dengan menolak gugatan karena tidak didukung oleh alat bukti. Pada kasus perdata sudah pasti ada dua pihak yang berperkara yakni penggugat dan tergugat. Dalam proses persidangan terdapat proses pembuktian. Pada tahap ini, baik penggugat maupun tergugat diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan alat bukti. Dari hasil wawancara dengan hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, alat bukti yang digunakan oleh para hakim dalam menyelesaikan perkara perdata masih berpedoman kepada Het Hirziene Inlandsche Reglement (HIR), Rechts Reglement Buitenguwesten (RBg) dan BW, yaitu: 1. Alat bukti tertulis/surat-surat 2. Alat bukti saksi 3. Alat bukti persangkaan 4. Alat bukti pengakuan 8 5. Alat bukti sumpah 6. Alat bukti pemeriksaan di tempat 7. Alat bukti keterangan ahli 8. Pembukuan dan 9. Pengetahuan hakim.13 Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas akan diuraikan satu persatu alat bukti tersebut. 1. Alat bukti tertulis/surat-surat (HIR pasal 164) Alat bukti surat atau tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa tidak dianggap surat atau tulisan sebagai alat bukti jika bukan hasil pikiran seseorang dan bukan dimaksudkan sebagai pembuktian di muka persidangan. Bentuk dari bukti tertulis atau surat dapat juga berupa akta otentik. Yang dimaksud dengan akta otentik sebagaimana termaktub dalam HIR pasal 165/RBg pasal 285/ BW pasal 1868 yaitu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, menurut ketentuan tertentu yang telah ditetapkan. Alat bukti tertulis ini termaktub dalam HIR pasal 138, 164, 165, 167; RBg pasal 285 s/d 305 dan BW pasal 1867 s/d 1894. Surat-surat atau tulisan adalah produk manusia yang bersumber dari akal dan pikiran dan terkadang dituangkan ke dalam sebuah tulisan atau surat yang dapat dijadikan sebagai alat bukti. Disebutkan dalam HIR pasal 165/RBg pasal 285/BW pasal 1870 bahwa akta otentik mempunyai kekuatan alat bukti yang sempurna atau mengikat, baik 9 bagi pihak-pihak maupun bagi ahli warisnya atau bagi orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, artinya hakim harus menganggapnya benar serta tidak memerlukan pembuktian lain, kecuali memang dapat dibuktikan tentang ketidakbenarannya. Selain akta otentik ada juga akta di bawah tangan (bukan otentik), yaitu segala tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang berwenang, seperti surat jual beli tanah yang dibuat oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Meskipun di atas kertas yang bermaterai dan ditanda tangani oleh kepala desa surat tersebut tidak dapat disebut sebagai akta otentik karena yang berwenang untuk membuat surat/akta tanah adalah PPAT. Namun apabila terjadi perkara dan kedua belah pihak mengakui surat itu benar adanya, maka kekuatannya sama dengan akta otentik.14 2. Alat bukti saksi (HIR pasal 164) Alat bukti saksi dalam Islam adalah saksi laki-laki dan perempuan yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, dengan demikian saksi yang dimaksudkan adalah orang yang masih hidup. Dasar alat bukti saksi dalam Islam terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 282 yang artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki maka boleh seorang lelaki bersama dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu sukai, supaya jika yang seorang lupa maka seorang lagi akan mengingatkannya, dan janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan bila mereka dimintai keterangannya…” Ayat di atas adalah dalil umum tentang alat bukti saksi, yaitu saksi dari dua kaum lelaki atau seorang lelaki bersama dua perempuan, yang semuanya 10 beragama Islam. Dengan demikian masih ada alat bukti secara khusus sesuai dengan kasus yang terjadi. Dasar alat bukti saksi terdapat dalam HIR pasal 139 s/d 152 dan pasal 168 s/d 172, RBg pasal 165 s/d 179 dan BW pasal 1902 s/d 1912. 3. Alat bukti persangkaan (HIR pasal 164) Alat bukti persangkaan dalam acara peradilan disebut vernoeden (bahasa Belanda), dan dalam acara peradilan Islam disebut qarinah yang berarti “petunjuk-petunjuk”. Dalam HIR pasal 173, RBg pasal 310 dan BW pasal 1922 , vernoeden atau persangkaan-persangkaan di bagi dua, yaitu persangkaan hakim dan persangkaan undang-undang. Persangkaan hakim adalah adalah kesimpulan hakim yang ditarik atau sebagai hasil dari pemeriksaan sidang dan persangkaan undang-undang adalah kesimpulan yang ditarik oleh hakim berdasarkan karena sudah demikian ditentukan oleh dan di dalam undang-undang. 4. Alat bukti pengakuan (HIR pasal 164) Alat bukti pengakuan dalam bahasa Belanda disebut bekentenis dalam hukum acara peradilan Islam disebut iqrar. Dasar pengakuan sebagai alat bukti untuk peradilan perdata umum terdapat dalam HIR pasal 174 s/d 176, RBg pasal 311 s/d 313 dan BW pasal 1923 s/d 1928. Pengakuan di depan sidang menurut BW pasal 1925 dan 1927 adalah merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat, jadi pihak lawan atau hakim tidak perlu membuktikan lain lagi melainkan telah cukup untuk memutus dalam bidang persengketaan yang telah diakui tersebut. 11 5. Alat bukti sumpah (HIR pasal 164) Menurut hukum perdata umum sumpah adalah sebagai alat bukti tambahan atau sumpah tambahan, yaitu sumpah yang diucapkan oleh salah satu pihak atas perintah hakim karena alat bukti minimal untuk dapatnya hakim memutus belum mencukupi, misalnya hanya ada satu saksi saja (BW pasal 1940 s/d 1941). Oleh karena sumpah tambahan ini menggantikan suatu alat bukti lainnya maka kalau di kemudian hari dapat dibuktikan bahwa sumpah tersebut palsu, sedang putusan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, masih bisa dilakukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh menjelaskan bahwa menurut peradilan umum sumpah sebagai alat bukti ada dua; sumpah tambahan (Supletoire) sebagaimana telah disebutkan tadi, dan sumpah pemutus (decissoire eed).15 Sumpah pemutus (decissoire eed) yaitu sumpah yang diucapkan oleh salah satu pihak atas permintaan pihak lainnya karena pihak lainnya di sini telah tidak ada alat bukti sama sekali yang mendukung tuntutannya (Hir pasal 156, RBg pasal 183 dan BW pasal 1930 s/d 1939). Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sumpah menurut hukum acara peradilan umum hanya ada dua, yakni sumpah tambahan dan sumpah pemutus. Dalam hukum acara peradilan umum tidak dikenal adanya sumpah pengingkaran sebagaimana dalam hukum acara peradilan dalam Islam. Dalam hukum perdata sumpah pengingkaran maksudnya adalah sumpah seseorang untuk melindungi haknya supaya tidak jatuh kepada pihak atau ke tangan orang lain. Dalam hukum pidana sumpah maksudnya adalah untuk 12 mengingkari suatu tuduhan yang ditujukan kepada, dengan demikian apabila sumpah diucapkan, maka si tertuduh terlepas dari tuduhannya telah melakukan suatu kejahatan.16 6. Alat bukti pemeriksaan di tempat (Discente) (HIR pasal 153) Pada dasarnya persidangan pengadilan selalu dilaksanakan di gedungnya, kecuali kalau apa yang akan diperiksa itu tidak mungkin dibawa atau dijelaskan di depan sidang seperti terhadap beberapa kasus benda tetap. Pemeriksaan setempat dimaksudkan sebenarnya adalah sidang pengadilan (majelis lengkap) yang dipindahkan ke suatu tempat tertentu, yang lengkap berita acara sidangnya seperti biasa dan masih termasuk wilayah pengadilan tersebut. Dengan demikian pemeriksaan setempat berfungsi agar hakim dapat memberi keyakinan tentang peristiwa sengketa.17 Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pemeriksaan setempat sebagai alat bukti bukanlah hakim hanya sekedar melihat objek bukti lalu kemudian kembali ke majelis persidangan, namun yang dimaksud dengan alat bukti pemeriksaan setempat ini sebenarnya adalah proses persidangan langsung di tempat di mana alat bukti tersebut berada. Alasan persidangan di tempat alat bukti tersebut berada karena alat bukti tersebut tidak bisa dan tidak mungkin dibawa ke tempat persidangan yang sesungguhnya, seperti rumah, batas tanah, tanah sawah atau kebun dan seumpamanya. 7. Alat bukti keterangan ahli (Expertise) (HIR pasal 154) 13 Untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan hakim dalam memutuskan perkara perlu kepada keterangan ahli atau saksi ahli sebagai alat bukti. Saksi ahli berbeda dengan saksi biasa, kalau saksi biasa hanya boleh menerangkan kepada majelis hakim tentang apa yang dia lihat, didengar dan dialami tidak boleh mengambil kesimpulan atau penilaian. Sedangkan saksi ahli dapat menilai dan mengambil kesimpulan yang obyektif dari apa yang dia lihat dan teliti. Apabila hakim setuju dengan pendapat ahli, maka dianggap sebagai pendapat hakim sendiri dan dapat dijadikan dasar pemutus. Oleh karena itulah keterangan ahli atau saksi ahli termasuk salah satu alat bukti. 8. Pembukuan ( HIR pasal 167) Dalam HIR pasal 167, RBg pasal 296 menyatakan bahwa hakim bebas memberikan kekuatan pembuktian untuk keuntungan seseorang kepada pembukuannya yang dalam hal khusus dipandang patut. Dalam pasal ini juga dikatakan bahwa hakim bebas untuk menerima dan memberi kekuatan bukti yang menguntungkan bagi si pembuat pembukuan. Contoh seorang penggugat menggugat kepada lawannya untuk melunasi hutangnya, kemudian tergugat menyatakan bahwa hutangnya sudah lunas, lalu penggugat menunjukkan pembukuan debit kredit terhadap tergugat di mana ada pengeluaran pinjaman. Dalam hal ini hakim dapat menerima pembukuan itu sebagai alat bukti yang menguntungkan penggugat.18 9. Pengetahuan Hakim (HIR pasal 178, UU-MA No. 14/1985) HIR pasal 178 (1) mewajibkan hakim karena jabatannya waktu bermusyawarah mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh 14 kedua belah pihak. Posisi pengetahuan hakim sebagai alat bukti dalam HIR pasal 178 (1) ini tidak menggambarkan adanya kebebasan hakim secara utuh dalam bertindak. Pengetahuan hakim di sini adalah sebagai pelengkap saja dari alat bukti yang sudah diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara.19 Namun dengan adanya pasal 14 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 dan penjelasannya sedikit tidaknya telah memberikan kebebasan kepada hakim untuk menggunakan pengetahuannya. Bunyi pasal tersebut serta penjelasannya adalah: “Hakim sebagai organ Pengadilan dianggap mengetahui hukum, pencari keadilan datang kepadanya untuk memohon keadilan, andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan Negara” Dari perbandingan tersebut dapat dipahami bahwa memang peraturan yang ada pada HIR dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 dan penjelasannya tersebut terjadi perbedaan yang sangat signifikan. Oleh karena itu, dengan adanya undang-undang ini telah memberikan peluang bagi hakim menggunakan pengetahuannya untuk menentukan putusan dalam sidang perkara perdata. Pengetahuan hakim yang diperoleh dalam persidangan, yakni apa yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan merupakan bukti bagi peristiwa yang disengketakan. Akan tetapi pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam memutuskan perkara. 15 Alat-alat bukti di atas adalah alat bukti yang terdapat dalam hukum acara peradilan umum yang notabene bersumber dari hukum peninggalan kolonial Belanda, yakni HIR, RBg dan BW yang kemudian dijadikan dan diamalkan oleh para hakim dalam memutuskan perkara perdata. Namun, menurut ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, bahwa para hakim selain berpedoman kepada hukum acara peradilan umum tersebut para hakim juga boleh berpedoman kepada peraturan yang diatur secara khusus. Hal tersebut memang ada pengecualian dalam hukum acara peradilan umum itu. Misalnya saksi keluarga dalam perselisihan rumah tangga. Disebutkan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989 pasal 22 bahwa keluarga sedarah atau semenda, buruh/karyawan dan pembantu rumah tangga dapat didengar sebagai saksi di bawah sumpah dalam perkara tentang perselisihan keadaan menurut hukum perdata dan tentang perjanjian pekerjaan, serta tentang perkara perceraian karena alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus. Di samping itu, alasan perceraian dalam perkawinan tidak diatur secara spesifik dalam RBg, tetapi diatur khusus dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan ketentuan ini digunakan dalam praktek persidangan di Mahkamah Syar’iyah.20 Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa meskipun pada dasarnya para hakim dalam memutuskan perkara perdata harus menggunakan hukum acara yang yang ada di peradilan umum, namun tidak tertutup kemungkinan adanya peraturan lain yang mengatur secara khusus tentang sesuatu perkara, maka para hakim dibolehkan menggunakan peraturan khusus tersebut. 16 B. Penerapan Asas Kebenaran Formil dalam Pembuktian Kasus Perdata di Mahkamah Syar’iyah. Peradilan Agama di Indonesia (Mahkamah Syar’iyah di Aceh) sebagaimana telah diuraikan di atas masih tetap secara mutlak menganut asas pembuktian yang ada pada Hukum Acara Perdata Umum, yang menganut asas kebenaran formal. Asas pembuktian dalam hukum acara perdata dijumpai dalam Burgerlijke Wetboek (BW) pasal 1865, RBg pasal 283 dan HIR Pasal 163. Bunyi pasal-pasal tersebut adalah: Barangsiapa yang mempunyai satu hak atau guna membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa tersebut.21 Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa orang yang merasa haknya dirugikan wajib menghadirkan alat bukti ketika dimintai oleh hakim di depan persidangan. Dan begitu juga bagi orang yang membantah adanya hak orang lain pada dirinya harus menghadirkan alat bukti untuk menyanggah hak orang lain tersebut. Dengan demikian pihak penggugat maupun pihak tergugat harus menghadirkan alat bukti sebagai dalil pendukung keadilan putusan majelis hakim dalam persidangan. Dalam kasus perdata ini, para pihak harus aktif menghadirkan alat bukti, tidak sebagaimana kasus pidana. Dalam kasus pidana berdasarkan hadits yang terjemahannya: “Pembuktian dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada orang yang mengingkarinya. Namun bila dibandingkan dengan uraian Roihan Rasyid dalam bukunya bahwa pemahaman hadits tersebut tidak bisa dikatakan bahwa bukti itu hanya dibebankan kepada penggugat.22 Ia menerjemahkan hadits tersebut dengan: Jika gugatan seseorang dikabulkan 17 begitu saja, niscaya akan banyaklah orang yang menggugat hak atau hartanya terhadap orang lain tetapi (ada cara pembuktiannya) kepada yang menuntut hak (termasuk yang membantah hak orang lain dan menunjuk suatu peristiwa tertentu) dibebankan untuk membuktikan dan (bagi mereka yang tidak mempunyai bukti lain) dapat mengingkarinya dengan sumpahnya.(HR. Bukhari dan Muslim dengan sanadnya yang shahih”)23 Berdasarkan terjemahan tersebut, Roihan Rasyid berprinsip bahwa alat bukti dalam kasus perdata bukan dibebankan kepada penggugat semata tetapi juga kepada tergugat demi untuk mencari hakikat kebenaran masing-masing pihak dalam berperkara di depan persidangan. Sumpah pengingkaran dalam kasus perdata menurut hadits tersebut dapat diterima atau dikabulkan meskipun tidak ada bukti awal untuk mendukung sumpah tersebut, namun menurut asas HIR, RBg dan BW sumpah pengingkar tersebut tidak dapat dikabulkan oleh hakim, jika tidak didukung oleh bukti lain, sumpah pengingkaran tidak dianggap sebagai alat bukti. Pada dasarnya para hakim dalam memutuskan perkara perdata yang pertama sekali harus menganut asas kebenaran formil, dengan asas inilah dicari kebenaran secara hakiki yakni kebenaran materil. Untuk mengetahui hakikat kebenaran sesuatu harus beranjak dari kebenaran formil, yakni dari hal-hal yang nampak terlebih dahulu, hal ini sesuai dengan ungkapan hadits: umirtu an ahkumu bizzawahir wallahu yatawalla sara’ir, karena hakikat kebenaran itu sendiri akan terwujud setelah kebenaran formil terpenuhi.24 Dari pernyataan tersebut bahwa asas kebenaran formil itu sangat penting, karena asas tersebut sebagai jalan atau langkah awal untuk mendapatkan 18 kebenaran meteril atau kebenaran sesungguhnya dari suatu peristiwa atau sengketa yang diajukan ke pengadilan. Dalam azas kebenaran formil saksi harus ada dua orang, untuk mengetahui apakah dua orang ini layak untuk menjadi saksi atau tidak, hal ini menjadi kewenangan hakim untuk menilai dan menentukannya apakah layak sebagai saksi dan dapat diterima kesaksiannya oleh majelis hakim di muka persidangan. Pada kenyataan ada pihak yang menghadirkan empat orang saksi, padahal secara formil kwantitas dua orang saksi sudah mencukupi sebagai saksi.25 Oleh karena itu peran hakim dalam menilai kadar atau keabsahan suatu alat bukti sangat penting. Dengan demikian hakim diharapkan sangat berhati-hati dan teliti dalam melakukan penilaian terhadap suatu alat bukti, sehingga terhindar dari kesalahan. Memang di dalam hukum Islam sebagaimana disebutkan dalam hadits yang maknaya apabila hakim benar dalam memutuskan suatu perkara, maka ia dapat dua pahala, dan jika salah ia mendapat satu pahala. Dari ungkapan hadits ini menunjukkan bahwa hakim telah berusaha sekuat tenaga dan sangat berhati-hati, namun begitu, hakim tetap memutuskan perkara tidak berdasarkan hakikat kebenaran sesungguhnya, atas usahanya yang keras itu Allah memberinya satu pahala. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hukum formil artinya mencari kebenaran hukum metaril, jika hukum formilnya tidak benar, maka hasil atau hukum materilnya juga tidak benar. Mempertahankan hukum materil di depan persidangan itu termasuk hukum acara. Hukum formil tanpa hukum acara tidak bermakna, demikian juga hukum formil tanpa materil juga tidak ada artinya, jadi 19 diibaratkan bagaikan pisau bermata dua, kedua-duanya penting. Sebagai contoh secara formil kesaksian harus dua orang saksi, tetapi nilai kesaksian adalah materil dan ini tidak dapat diketahui nilai kebenarannya secara hakiki sebelum diselidiki secara teliti oleh hakim terlebih dahulu.26 Dengan demikian asas kebenaran formil tidak dapat diabaikan untuk meraih kebenaran materil, tetapi berpijak hanya kepada kebenaran formil saja bukan suatu jalan yang tepat untuk mencapai keadilan dalam menyelesaikan perkara antara orang Islam. Karena belum ada hukum acara tersendiri untuk Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah sebagai produk dari ahli hukum Islam Indonesia, maka digunakan hukum acara yang ada pada peradilan umum meskipun masih terdapat kekurangan-kekurangannya. Namun kekurangan-kekurangan itu diminimalisir dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khusus untuk Peradilan Agama di Indonesia atau Mahkamah Syar’iyah di Aceh. C. Kesimpulan dan Saran Beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam penelitian ini adalah bahwa asas hukum pembuktian yang digunakan dalam hukum acara perdata Peradilan Agama adalah asas kebenaran formil, yakni masih mengacu atau berpedoman kepada hukum acara peradilan umum. Alat-alat bukti yang digunakan oleh para hakim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh atau peradilan agama seluruh Indonesia mengacu atau berpedoman kepada Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata Peradilan Umum yang bersumber dari HIR/RBg. 20 Namun setelah mengalami perubahan juga bersumber dari BW, dari kebiasaan-kebiasaan praktek penyelenggaraan peradilan, termasuk dari surat-surat edaran dan petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung. Di samping itu juga berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku khusus, seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama di Indonesia. Dengan demikian peraturan yang tidak ada di dalam HIR/RBg/BW dapat digunakan peraturan (legeslasi hukum) yang diserap dari surat-surat edaran, petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung tersebut, praktek peradilan setempat jika ada, dan dari undang-undang yang berlaku khusus tersebut. Alat bukti yang berlaku khusus tersebut umpamanya adalah saksi keluarga sebagai alasan perceraian dalam perkawinan, ini tidak diatur dalam RBg, tetapi diatur khusus dalam undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama dan ketentuan ini digunakan dalam praktek persidangan di Mahkamah Syar’iyah kota Banda Aceh. Alat bukti yang dipegang oleh Mahkamah Syar’iyah berpedoman kepada hukum Acara Peradilan Umum. Alat bukti tersebut adalah alat bukti saksi, alat bukti persangkaan, alat bukti pengakuan, alat bukti sumpah, alat bukti pemeriksaan di tempat, alat bukti keterangan ahli, pembukuan dan pengetahuan hakim. Alat-alat butki tersebut digunakan di Peradilan Agama seluruh Indoneisa (Mahkamah Syar’iyah di Aceh). Alat bukti yang terakhir, yakni pengetahuan hakim menurut HIR tidak mempunyai kebebasan secara utuh. Pengetahuan hakim 21 tersebut adalah sebagai pelengkap dari alat bukti yang ada. Dengan adanya aturan khusus yaitu Undang-undang No. 14 Tahun 1970, maka hakim telah mempunyai kebebasan penuh menggunakan pengetahuannya tanpa ada alat bukti lain terlebih dahulu. Berarti hakim di seluruh Peradilan Agama dapat menggunakan momen Undang-undang yang berlaku khusus ini selain yang terdapat di dalam HIR tersebut. Asas kebenaran formil sangat penting kedudukannya untuk mencari kebenaran materil. Itulah yang menjadi sebab atau faktor Mahkamah Syar’iyah atau peradilan Agama di Indonesia tidak boleh mengabaikan asas kebenaran formil tersebut. Meskipun asasnya masih bersumber dari hukum peninggalan Belanda, namun dapat digunakan di Mahkamah Syar’iyah dengan didukung atau dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khusus. Dengan demikian kelemahan atau aturan yang tidak ada pada HIR/RBg/BW dapat diminimalisir. Sebagai saran untuk perbaikan mutu Mahkamah Syar’iyah pada masa yang akan datang, pemerintah perlu kiranya memikirkan dan menyusun hukum acara tersendiri yang diberlakukan di Peradilan Agama Atau Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Dengan adanya peraturan tersendiri diharapkan akan membawa prubahan yang positif di lembaga Peradilan Agama dan membawa rasa keadilan dan kepuasan di kalangan para pencari keadilan, sehingga tidak ada lagi para pihak yang berperkara melakukan banding ke tingkat peradilan yang lebih tinggi atau bahkan melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. 22 Kitab-kitab atau buku-buku tentang acara peradilan sedikit banyaknya memang sudah ditulis oleh fuqaha-fuqaha’ terdahulu, bahkan ada yang sudah diterjemahkan seperti kitabnya Muhammad Salam Madkur (terj. Hukum Acara Peradilan Islam). Dengan adanya dokumen-dokumen ini pihak yang berwenang untuk membuat hukum acara Islam di Indoneisa dan di Aceh khususnya dapat menginventarisasi dan memilah-milah mana yang dianggap penting dan dapat digunakan sebagai aturan beracara di pengadilan secara Islami (Islam Kaffah) dan tidak lagi menggunakan aturan-aturan hukum acara peninggalan penjajah Belanda. End Not: 1 Lihat Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 29-37. 2 Lihat Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam, hal. 19. lihat juga Ahmad Qarib, ReformasiundangUndang Peradilan Agama dan Implikasinya Terhadap Kompetensi, (Makalah disampaikan pada Konferensi Internasional di Hermes Palace tanggal, 2007. 3 Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku. Dalam pembuktian itu, maka para pihak memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukannya. Lihat Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 135. 4 Wawancara dengan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, tanggal 8 Juni 2008. 5 Roihan A. Rasyid, Hukum…, hal. 145. 6 Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal. 151. 7 Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradya Paramita, 1995), hlm. 7. 8 Subhi Mahmasani, Falsafah al-Tasyri’ fil Islam, (Beirut: Al-Kasyaf, 1949), hal. 220. 9 Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 2004), hlm. 8. 10 Ibid., hlm. 11. 23 11 Muhammad bin Farhun al-Yakmari, Tabsirat al-Hukkam fi Usul al-Aqdiyyah wa manahij al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003 M./1423 H.), hal. 9. 12 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA; Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), hal. 5. 13 Wawancara dengan hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh tanggal 8 September 2008. 14 Roihan A. Rasyid, Hukum…, hal. 145. 15 Wawancara dengan ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, tanggal 8 September 2008. 16 Wawancara dengan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Tanggal 13 September 2008. 17 Roihan A Rasyid Hukum…, hal. 195. 18 Mukti Arto, Praktek … hal. 197. 19 Wawancara dengan hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, tanggal 12 September 2008. 20 Wawancara dengan Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh tanggal 8 September 2008. 21 Mukti Arto, Praktek … hal. 142. 22 Roihan Rasyid, Hukum…, hal. 143. 23 Al-Shan’any, Subul al-Salam, (Bandung: tt.), hal. 132. Wawancara dengan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh tanggal 10 September 2008. 25 Wawancara dengan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh tanggal 10 September 2008. 26 Wawancara dengan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh tanggal 10 September 2008. 24 DAFTAR PUSTAKA Al-Shan’any, Subul al-Salam, jilid IV,(Bandung: Dahlan, tt. Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995. Lihat Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000. M. Harahap, Pembuktian, Medan: Pustaka Sri, t.t. Muhammad bin Farhun al-Yakmari, Tabsirat al-Hukkam fi Usul al-Aqdiyyah wa manahij al-Ahkam, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003 M./1423 H. 24 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradya Paramita, 1995. Subhi Mahmasani, Falsafah al-Tasyri’ fil Islam, Beirut: Al-Kasyaf, 1949. Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung: Alumni, 2004. 25