KEMATANGAN SOSIAL DAN KEMAMPUAN MENGATASI KONFLIK

advertisement
KEMATANGAN SOSIAL DAN KEMAMPUAN MENGATASI KONFLIK
SOSIAL SISWA
Brimantoro Supriyadi, Evianawati
Sekolah Tinggi Psikologi Yogyakarta
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kematangan
sosial peserta didik SMA Negeri 1 Lendah dengan kemampuan peserta didik
dalam mengatasi konflik sosial mereka di sekolah. Hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah ada hubungan positif antara kematangan sosial siswa
dengan kemampuan mengatasi konflik sosial, dalam hal ini berarti semakin tinggi
kematangan sosial siswa maka semakin positif pula kemampuan mereka dalam
mengatsi konflik sosial.
Populasi dalam penelitian ini adalah 480 siswa SMA Negeri 1 Lendah
tahun pelajaran 2014/2015 dengan sampel sebanyak 96 siswa, yang ditentukan
dengan prosedur pengambilan sampel berstrata dengan pendekatan proporsional.
Metode pengumpulan data menggunakan instrumen berupa skala yang meliputi
skala kematangan sosial dan skala kemampuan mengatasi konflik. Metode
analisis data menggunakan statistik. Setelah datanya diuji terlebih dahulu dengan
uji normalitas dan uji linearitasnya kemudian diuji dengan menggunakan teknik
korelasi. Pengolahan data dikerjakan dengan bantuan program komputer SPSS
versi 20.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis yang mengemukakan ada
hubungan positif antara kematangan sosial dengan kemampuan siswa dalam
mengatasi konflik, dengan demikian hipotesis yang diajukan telah diterima. Hal
itu ditunjukkan dari nilai koefisien korelasi (r) sebesar = 0,767, dengan fakta
yang menunjukkan bahwa kematangan sosial cukup kuat untuk dijadikan salah
satu faktor yang mempengaruhi kemampuan mengatasi konflik siswa. Hal ini
didukung oleh besarnya sumbangan efektif yang diberikan variabel kematangan
sosial terhadap kemampuan mengatasi konflik sebesar 76,74 %.
Kata Kunci: Kematangan Sosial, Kemampuan Mengatasi Konflik Sosial
PENDAHULUAN
Perkembangan
psikologis
usia siswa SMA dapat dikategorikan
dalam periode usia remaja, yakni
berkisar antara 15 sampai 18 tahun.
Remaja adalah suatu periode antara
saat pertama memasuki masa
pubertas
dan
proses
menuju
kedewasaan, yakni pada usia yang
berkisar antara 13-19 tahun (Graham,
2014).
Menurut Desmita (2013),
remaja sering dikenal dengan masa
pencarian jati diri (ego identity),
ditandai
dengan
tugas-tugas
1
perkembangan sebagai berikut (1)
mencapai hubungan yang matang
dengan teman sebaya; (2) dapat
menerima dan belajar peran sosial
sebagai pria atau wanita dewasa yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat; (3)
menerima keadaan fisik dan mampu
menggunakannya secara efektif; (4)
mencapai kemandirian emosional
dari orangtua dan orang dewasa
lainnya;
(5)
memilih
dan
mempersiapkan karier di masa depan
sesuai
dengan
minat
dan
kemampuannya;
(6)
mengembangkan
sikap
positif
terhadap
pernikahan,
hidup
berkeluarga dan memiliki anak; (7)
mengembangkan
keterampilan
intelektual dan konsep-konsep yang
diperlukan sebagai warga negara; (8)
mencapai
tingkah
laku
yang
bertanggung jawab secara sosial; (9)
memperoleh seperangkat nilai dan
sistem etika sebagai pedoman dalam
bertingkah
laku;
dan
(10)
mengembangkan
wawasan
keagamaan
dan
meningkatkan
religiusitas.
Akibat dari tidak dipenuhinya
tugas perkembangan remaja, akan
terjadi ketidakmatangan sosial anak,
dengan ciri-ciri sebagai berikut (1)
terjadinya pembangkangan terhadap
norma-norma atau tata tertib; (2)
timbulnya agresi (aggression), yaitu
perilaku menyerang baik secara fisik
maupun dengan kata-kata atau
verbal; (3) mudah menimbulkan
perselisihan (quarreling), yakni
perasaan mudah tersinggung atau
terganggu oleh sikap dan perilaku
orang lain; (4) timbulnya perilaku
menggoda (teasing), merupakan
serangan mental terhadap orang lain
dalam bentuk kata-kata ejekan atau
cemoohan sehingga timbul reaksi
marah pada orang yang diserangnya;
(5) timbulnya persaingan yang
merusak (rivalry), yaitu keinginan
anak untuk melebihi orang lain
dengan cara menjatuhkan orang
terssebut; (6) timbulnya rasa
mementingkan
diri sendiri dan
kurangnya kemampuan bekerja sama
dengan pihak lain
(Hanurawan,
2012).
Secara umum, periode remaja
merupakan puncak dari periodeperiode perkembangan sebelumnya.
Dalam periode ini apa yang
diperoleh
dalam
masa-masa
sebelumnya diuji dan dibuktikan,
sehingga dalam periode selanjutnya
individu telah mempunyai suatu pola
pribadi yang lebih mantap. Ciri-ciri
perilaku yang menonjol pada usiausia ini terutama terlihat pada
perilaku sosialnya. Dalam masamasa ini teman sebaya punya arti
yang amat penting. Mereka ikut
dalam klub-klub sebaya yang
perilaku dan nilai-nilai kolektifnya
sangat mempengaruhi perilaku serta
nilai-nilai individu yang menjadi
anggotanya (Linda, 2013).
Periode
remaja
adalah
periode pemantapan identitas diri
atau pencarian identitas diri.
Pengertiannya akan "siapa aku" yang
dipengaruhi oleh pandangan orangorang sekitarnya serta pengalamanpengalaman
pribadinya
akan
menentukan
pola
perilakunya
sebagai orang dewasa. Pemantapan
identitas diri ini tidak selalu mulus,
tetapi seiring melalui proses yang
panjang dan bergejolak. Oleh karena
itu, banyak ahli menamakan periode
ini sebagai masa-masa storm and
stress (Desmita,2013).
Pada masa ini remaja mulai
dihadapkan pada harapan-harapan
2
kelompok dan dorongan yang makin
kuat untuk lebih mengenal dirinya. Ia
harus mulai memutuskan bagaimana
masa depannya. Konflik yang
dihadapinya
adalah
perasaan
menemukan identitas diri melawan
kekaburan peran. Bila berhasil
melalui tahap perkembangan ini
maka remaja akan menemukan
dirinya, bila kurang berhasil maka ia
akan mengalami kekaburan peran
(Linda, 2014).
Secara psikologis konflik
sosial dapat dimengerti sebagai efek
antagonistik dari berlangsungnya
proses sosial yang dinamis, yang
berisi pertentangan antar individu
atau individu dengan kelompok atau
kelompok
dengan
kelompok.
Keantagonisan tersebut terkadang
tidak bisa diserasikan karena kedua
belah
pihak
yang
berkonflik
memiliki tujuan, sikap, dan struktur
nilai yang berbeda, yang tercermin
dalam berbagai bentuk perilaku
perlawanan, baik yang halus,
terkontrol,
tersembunyi,
tidak
langsung, terkamuflase maupun yang
terbuka dalam bentuk tindakan
kekerasan (Waluya, 2011)
Secara sosial, konflik sosial
merupakan perseteruan danatau
benturan fisik dengan kekerasan
antara dua kelompok masyarakat
atau lebih yang berlangsung dalam
waktu tertentu dan berdampak luas
yang mengakibatkan ketidakamanan
dan disintegrasi sosial (UU Nomor 7,
2012)
Mengingat begitu krusial
masalah terjadinya konflik sosial
pada remaja, maka pemerintah
menggalakkan adanya pendidikan
karakter di sekolah-sekolah, antara
lain bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan mental yang
kuat untuk menghindari atau
menghilangkan
bibit-bibit
persemaian konflik sosial yang
merusak. Konflik yang biasa terjadi
pada remaja meliputi membolos,
penyalahgunaan narkoba, pergaulan
bebas, vandalisme, tawuran antar
pelajar dan lain sebagainya. (Diknas,
2010).
Namun pada kenyataannya,
tawuran antarpelajar masih sering
terjadi di berbagai kota, keadaan
tersebut sungguh berlawanan dengan
upaya pendidikan karakter yang
ditekankan di sekolah, yang antara
lain bertujuan agar anak memiliki
kematangan sosial dan terampil
menghindari atau mengatasi konflik
sosial di kalangan mereka (Diknas,
2010).
Dengan adanya fakta ini,
maka psikologi sosial membagi
konflik menjadi dua macam, yaitu:
Functional
Conflict
dan
Dysfunctional Conflict. Dijelaskan
bahwa Functional Conflict adalah
konflik yang mendukung pencapaian
tujuan kelompok, dan memperbaiki
kinerja
kelompok,
sedangkan
Dysfunctional
Conflict
adalah
konflik yang merintangi pencapaian
tujuan kelompok (Hendrastomo,
2011).
Dengan
demikian
dapat
dikatakan bahwa tidak semua konflik
menimbulkan
tindakan-tindakan
anarkis, bahkan
yang tergolong
Functional
Conflict
justru
memperbaiki kinerja kelompok.
Dengan demikian yang dibutuhkan
adalah upaya penguatan kemandirian
peserta didik dalam menjalin
hubungan sosial yang efektif,
sehingga
mampu
mengubah
Dysfunctional
Conflict
menjadi
Functional Conflict.
3
Menurut
asesmen
awal,
berdasarkan
observasi
dan
wawancara yang dilakukan oleh
peneliti terhadap tiga orang Guru BK
di SMA Negeri 1 Lendah, ditemukan
di lapangan, bahwa di antara siswa
yang pada mulanya sering dilanda
konflik sosial, justru mereka kini
lebih memiliki kematangan sosial
daripada yang lainnya.
Dengan
demikian
dapat
dikatakan bahwa terjadinya konflik
sosial di kalangan remaja, khususnya
peserta didik di sekolah, adalah suatu
keniscayaan, tinggal bagaimana
pembinaan
untuk
mewujudkan
kematangan sosial peserta didik
diberikan oleh pihak sekolah.
Sesuai dengan Permendiknas
No. 111 Tahun 2014, disebutkan
secara ideal (das sein) sekolah
mengharapkan
terwujudnya
kematangan sosial peserta didik
dalam menjalin hubungan sosial
yang efektif, sehingga terwujud kerja
sama positif di antara warga kelas/
sekolah dan antar warga kelas/
sekolah dengan sekolah lain secara
harmonis, efektif dan bersinergis.
Peserta didik sebagai anggota
organisasi sosial di sekolahnya,
adalah individu-individu yang saling
berinteraksi dan berkomunikasi,
seiring
dengan
berlangsungnya
proses bergaul, dengan sendirinya
terbentuk komunitas yang berlapis,
hal itu tentunya tidak menutup
kemungkinan terjadinya konflik
sosial. Apalagi bila dilihat dari sudut
pandang yang lebih luas, dalam
kaitan hubungan dengan komunitas
kelas lain atau komunitas sekolah
lain, terjadinya konflik yang
cenderung destruktif tentulah tak
dapat
dielakkan.Untuk
meminimalkan terjadinya konflik
maka perlu adanya kemampuan
dalam mengelola konflik yang akan
terjadi (Hendrastomo, 2011).
Dalam interaksi sosial di
sekolah, pada umumnya, nilai-nilai
yang dianut di sekolah sejalan
dengan nilai-nilai yang dianut dalam
masyarakat sekitarnya. Artinya,
sekolah dan masyarakat sudah
seharusnya ada hubungan dan
kesesuaian mengenai norma-norma
dan nilai-nilai. Untuk itulah tiap
sekolah mempunyai tradisi tersendiri
dan dapat mengeluarkan peraturan
menurut keperluan sekolah itu
sendiri, selama tidak melanggar
peraturan yang lebih tinggi. Namun
demikian ada pula nilai-nilai dan
norma-norma perilaku yang berlaku
di kalangan peserta didik sendiri
(Graham, 2014).
Mereka biasanya merasa
bangga dengan kesetiakawanan atau
solidaritas teman sekelas atau satu
sekolah. Perkelahian anggota suatu
kelas dan sekolah lain sering
ditengarai karena adanya rasa
kekompakan dan solidaritas ini.
Antara lain karena adanya seorang
peserta didik yang menurut persepsi
mereka dihina atau ditantang, maka
seluruh kelas atau sekolah berdiri di
belakangnya. Dengan demikian
mereka lebih dikuasai oleh emosi
subjektif daripada pikiran rasional
yang objektif (Hendrastomo, 2011).
Berdasar hasil pre-eliminary
study yang telah dilakukan peneliti
terhadap tiga orang Guru BK/
Konselor di SMA Negeri 1 Lendah,
secara
faktual
(das
solen)
diketemukan permasalahan adanya
konflik sosial di kalangan peserta
didik masih sering terjadi. Hal ini
dapat dibuktikan dengan adanya data
yang tertuang dalam Laporan
4
Pelaksanaan
Bimbingan
dan
Konseling tahun 2013/2014 yang
menginformasikan bahwa rata-rata
dalam satu bulan terjadi dua kali
perkelahian, baik antar individu di
dalam satu kelas, individu dengan
anggota kelas lain atau bahkan antar
kelompok peserta didik dengan
kelompok peserta didik di luar
sekolah. Hal in i jauh dari ciri-ciri
adanya kematangan sosial yang
diwujudkan
dengan
fenomena
pengendalian diri siswa dalam
menjaga keharmonisan hubungan
dengan teman-temannya.
Sesuai
hasil
wawancara
menunjukkan bahwa antara peneliti
dengan tiga orang guru BK dapat
dikatakan bahwa indikator terjadinya
konflik sosial tersebut adalah adanya
sikap dan tindakan kekerasan di
antara mereka. Gejalanya antara lain
melalui bahasa atau ucapan, sikap
dan
tindakan
yang
tidak
menyenangkan.
Juga
masih
didapatinya ucapan peserta didik
atau komentar
yang bernada
umpatan, cacian, atau makian, yang
sering digunakan dalam pergaulan
dengan teman di sekolah. Hal ini
tidak menepis kenyataan bahwa
sebagian mereka beranggapan katakata kasar tersebut sebenanya
dimaksudkan sebagai lambang atau
simbol keakraban karena sebagian
teman tidak tersinggung, namun hal
itu secara potensial dapat menjadi
pemicu terjadinya konflik dan
pertengkaran.
Pertanyaan
yang
timbul
sejauh ini adalah sampai sejauh mana
konflik sosial yang terjadi di
kalangan peserta didik, dan sejauh
mana kematangan sosial yang telah
dimiliki oleh peserta didik mampu
digunakan untuk mengatasi konflik
sosial yang mereka hadapi. Atau
lebih khusus lagi: Bagaimanakah
korelasi atau hubungan antara
kematangan sosial peserta didik
dengan kemampuan mereka dalam
mengatasi konfil sosial.
Konflik
sosial
menurut
Waluya (2011) adalah proses sosial
yang pasti akan terjadi di tengahtengah masyarakat yang dinamis.
Konflik terjadi karena adanya
perbedaan atau kesalahpahaman
antara individu atau kelompok
masyarakat yang satu dan individu
atau kelompok masyarakat yang
lainnya. Dalam konflik pasti ada
perselisihan dan pertentangan di
antara pihak-pihak yang berkonflik.
Konflik bisa dialami oleh siapa saja
pada
berbagai
lapisan
sosial
masyarakat. Konflik bisa dimulai
dari keluarga, masyarakat sekitar,
nasional, dan global
Definisi
konflik
sosial
menurut Hanurawan (2012) adalah
suatu proses sosial antara dua belah
pihak yang bersifat antagonistik dan
terkadang tidak bisa diserasikan
karena keduanya memiliki tujuan,
sikap, dan struktur nilai yang
berbeda, yang tercermin dalam
berbagai bentuk perilaku perlawanan,
baik
yang
halus,
terkontrol,
tersembunyi,
tidak
langsung,
terkamuflase maupun yang terbuka
dalam bentuk tindakan kekerasan.
Menurut Waluya (2011)
konflik
sosial
dapat
terjadi
antarindividu, misalnya konflik di
antara sesama teman di sekolah.
Konflik antara individu dengan
kelompok, misalnya konflik antara
seorang majikan dan buruhnya; atau
konflik antara kelompok dan
kelompok, misalnya para pedagang
kaki lima dengan para petugas
5
ketertiban. Bahkan, konflik dapat
melibatkan
antarnegara,
seperti
konflik antara Irak dan Amerika.
Menurut Hendrastomo (2011)
dikatakan bahwa Konflik dapat
menjadi masalah yang serius dalam
setiap organisasi (termasuk dio
dalamnya di sekolah), tanpa peduli
apapun
bentuk
dan
tingkat
kompleksitas organisasi tersebut.
Konflik tersebut mungkin tidak
membawa
“kamatian”
bagi
organisasi, tetapi pasti dapat
menurunkan kinerja organisasi yang
bersangkutan, jika konflik tersebut
dibiarkan
berlarut-larut
tanpa
penyelesaian. Karena itu keahlian
untuk mengelola konflik sangat
diperlukan bagi setiap pimpinan atau
manajer organisasi.
Menurut
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2012 konflik sosial
merupakan perseteruan dan/atau
benturan fisik dengan kekerasan
antara dua kelompok masyarakat
atau lebih yang berlangsung dalam
waktu tertentu dan berdampak luas
yang mengakibatkan ketidakamanan
dan disintegrasi sosial.
Dari berbagai pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa
konflik sosial merupakan efek dari
berlangsungnya proses sosial yang
dinamis namun bersifat antagonistik,
dalam
wujud
pertentangan
antarindividu atau individu dengan
kelompok atau kelompok dengan
kelompok. Keanatagonisan tersebut
terkadang tidak bisa diserasikan
karena dua belah pihak yang
berkonflik memiliki tujuan, sikap,
dan struktur nilai yang berbeda, yang
tercermin dalam berbagai bentuk
perilaku perlawanan, baik yang
halus, terkontrol, tersembunyi, tidak
langsung, terkamuflase maupun yang
terbuka dalam bentuk tindakan
kekerasan.
Menurut Zigler & Stevenson
(2013),
istilah
maturation
(kematangan), sering dilawankan
dengan immaturation, yang arlinya
tidak matang. Seperti pertumbuhan,
kematangan juga berasal dari istilah
yang sering digunakan dalam
biologi, yang menunjuk pada
keranuman
atau
kemasakan.
Kemudian istilah ini diambil untuk
digunakan dalam perkembangan
individu karena dipandang terdapat
beberapa persesuaian.
Edward
(2005)
mendiefinisikan
kematangan
(maturation) adalah "biological
growth processes that enable orderly
in behavior, relatively uninfluenced
by experience, artinya proses
pertumbuhan
biologis
yang
memungkinkan tertib dalam perilaku,
relatif
tak
terpengaruh
oleh
pengalaman.
Menurut
Zigler
(2013),
kematangan adalah "The orderly
physiological changes that occur in
all species over time and that appear
to unfold according to a genetic
blueprint."
Artinya
perubahan
fisiologis yang terjadi pada semua
spesies dari waktu ke waktu dan
yang muncul sesuai dengan aturanaturan genetik.
Menurut pendapat Desmita
(2012) dikatakan bahwa kematangan
mula-mula merupakan suatu hasil
dari adanya perubahan-perubahan
tertentu dan penyesuaian struktur
pada diri individu, seperti adanya
kematangan jaringan-jaringan tubuh,
saraf, dan kelenjar-kelenjar yang
disebut dengan kematangan biologis.
Kematangan terjadi pula pada aspekaspek psikis yang meliputi keadaan
6
berpikir, rasa, kemauan, dan lainlain, serta kematangan pada aspek
psikis ini yang memerlukan latihanlatihan tertentu. Misalnya, anak yang
baru berusia lima tahun dianggap
masih
belum
matang
untuk
menangkap masalah-masalah yang
bersifat abstrak, oleh karena itu, anak
yang bersangkutan belum bisa
diberikan matematika dan angkaangka. Pada usia sekitar empat.bulan,
seorang
anak
belum
matang
didudukkan, karena berdasartan
penelitian bahwa kemampuan leher
dan kepalanya belum mampu untuk
tegak. Usaha pemaksaan terhadap
kecepatan tibanya masa kematangan
yang
terlalu
awal
akan
mengakibatkan
kerusakan
atau
kegagalan dalam perkembangan
tingkah
laku
individu
yang
bersangkutan.
Linda (2013) menggunakan
istilah kematangan (maturation)
untuk menunjuk pada munculnya
pola
perilaku
tertentu
yang
bergantung
pada
pertumbuhan
jasmani dan kesiapan susunan saraf.
Proses kematangan ini juga sangat
bergantung pada gen, karena pada
saat terjadinya pembuahan, gen
sudah memprogramkan potensipotensi tertentu untuk perkembangan
makhluk tersebut di kemudian hari.
Banyak dari potensi tersebut yang
sudah lengkap ketika ia dilahirkan,
dan ini dapat terlihat dari perjalanan
perkembangan makhluk itu secara
perlahan-lahan di kemudian hari.
Khusus mengenai pengertian
kematangan sosial, antara lain
dikatakan oleh Yeniar (2008) bahwa
kematangan sosial merujuk pada
kemampuan mental dan tingkah laku
seseorang
untuk
melakukan
penyesuaian diri dalam situasi sosial.
Dikatakan lebih lanjut bahwa anak
akan terlihat matang secara sosial
apabila telah berbasil melakukan
tugas-tugas perkembangan tanpa
mengalami
hambatan
ataupun
kesulitan.
Menurut Hurlock (2010)
kematangan sosial didefinisikan
sebagai kemampuan anak dalam
menilai dan menyesuaikan diri
dengan cepat terhadap orang yang
berbeda dalam berbagai situasi
sosial. Dikatakan lebih lanjut bahwa
indikator
kematangan
sosial
tercermin
pada
kemampuan
menyesuaikan diri dengan normanorma kelompok, norma moral dan
norma tradisi, sekaligus kemampuan
meleburkan diri menjadi suatu
kesatuan dan saling berkomunikasi
serta bekerjasama.
Johnson & Medinnus (2008)
mengungkapkan bahwa kematangan
sosial
merupakan
kemampuan
seseorang dalam beradaptasi dengan
lingkungannya dari kanak-kanak
sampai dewasa yang menunjukkan
kompetensi kemandirian individu
dalam melakukan fungsi-fungsi
sosial secara sehat.
Berdasarkan uraian tersebut
peneliti menyimpulkan bahwa istilah
kematangan tidak terlepas dari proses
1) pertumbuhan yang merujuk pada
perubahan-perubahan yang bersifat
kuantitatif, antara lain peningkatan
dalam ukuran dan struktur, seperti
pertumbuhan badan, pertumbuhan
kaki, kepala, jantung, paru-paru, dan
sebagainya; 2) perkembangan yang
merujuk pada peningkatan fungsifungsi, antara lain peningkatan dalam
hal kemampuan berjalan, menulis,
penginderaan, ingatan, kecerdasan
dan
sebagainya;
3)
istilah
kematangan merujuk pada titik temu
7
antara
pertumbuhan
dan
perkembangan pada usia tertentu
individu sehingga fungsi-fungsi yang
seharusnya dapat dilakukan oleh
individu, baik secara biologis,
psikologis maupun sosial dapat
berjalan sebagaimana mestinya, 4)
kematangan
sosial
adalah
kemandirian peserta didik dalam
menjalin hubungan sosial yang
efektif, sehingga terwujud kerja sama
yang harmonis dan bersinergis, atau
dapat dikatakan sebagai kemandirian
peserta didik dalam berkelompok
secara harmonis.
HIPOTESIS
Hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah adanya
hubungan positif antara kematangan
sosial siswa SMA Negeri 1 Lendah
dengan kemampuan mereka dalam
mengatasi konflik sosial, dalam arti
bahwa semakin tinggi kematangan
sosial siswa SMA Negeri 1 Lendah
maka
semakin
tinggi
pula
kemampuan mereka dalam mengatsi
konflik sosial, dan semakin rendah
kematangan sosial siswa SMA
Negeri 1 Lendah maka semakin
rendah pula kemampuan mereka
dalam mengatasi konflik sosial.
METODE PENELITIAN
Variabel Independen atau
variabel bebas dalam penelitian ini
adalah kematangan sosial siswa,
sedang variabel dependen atau
variabel terpengaruh adalah konflik
sosial.
Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh siswa SMA Negeri 1
Lendah tahun pelajaran 2014/2015,
dengan jumlah populasi sebesar 482
siswa, kemudian diambil sampel
dengan dengan tingkat presisi yang
ditetapkan 20%, jumlah sampel
ditentukan
sebesar
96
siswa
responden.
Metode pengumpulan data
menggunakan obsevasi, wawancara,
skala kematangan sosial dan skala
konflik sosial.Skala yang dipakai
dalam penelitian ini adalah Skala
Likert. Menurut (Azwar, 2011),
Skala Likert digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat dan
persepsi seseorang atau sekelompok
orang tentang fenomena sosial.
Dalam penelitian fenomena sosial ini
telah ditetapkan secara spesifik oleh
peneliti, yang selanjutnya disebut
variabel kematangan sosial dan
variabel konflik sosial. Dengan skala
likert, maka variabel yang akan
diukur dijabarkan menjadi indikator
variabel.
Kemudian
indikator
variabel tersebut dijadikan sebagai
titik tolak untuk menyusun item-item
instrumen yang dapat berupa
pernyataan
atau
pertanyaan.
Instrumen
penelitian
yang
menggunakanskala
likert
dapat
dibuat dalam bentuk checklist
(Azwar, 2011).
Analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis
kuantitatif, dalam bentuk angkaangka hasil perhitungan. Dalam
penelitian ini alat analisis yang
digunakan adalah Product Moment
Pearson Correlation dengan tujuan
untuk mengetahui hubungan varibel
independen
terhadap
variabel
dependen,
dikerjakan
dengan
bantuan program komputer SPSS for
Windows Release 20.
8
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Dari hasil analisis statistik
menunjukkan
bahwa
terdapat
hubungan yang sangat signifikan
antara Kematangan Sosial dengan
Kemampuan Mengatasi Konflik. Hal
ini dapat ditunjukkan dari nilai
koefisien korelasi (r) sebesar =
0,767. Fakta tersebut menunjukkan
bahwa Kematangan Sosial cukup
kuat untuk dijadikan salah satu faktor
yang mempengaruhi Kemampuan
Mengatasi Konflik pada siswa. Hal
ini
didukung
oleh
besarnya
sumbangan efektif yang diberikan
oleh Kematangan Sosial terhadap
Kemampuan
Mengatasi Konflik
yaitu sebesar 76,7,4 %. Dari hasil
analisis data juga menunjukkan
bahwa tingkat Kematangan Sosial
subjek pada penelitian ini tergolong
dalam kategori sedang, hal ini dapat
besarnya frekuensi pada sekitar
kategori sedang.
Jika dilihat teorinya (Bagja
Waluya, 2011), konflik merupakan
proses
sosial
yang
bersifat
antagonistik dan terkadang tidak bisa
diserasikan karena dua belah pihak
yang berkonflik memiliki tujuan,
sikap, dan struktur nilai yang
berbeda, yang tercermin dalam
berbagai bentuk perilaku perlawanan,
baik
yang
halus,
terkontrol,
tersembunyi,
tidak
langsung,
terkamuflase maupun yang terbuka
dalam bentuk tindakan kekerasan.
Kemampuan
mengatasi
situasi kompleks yang terdapat pada
konflk sosial dalam penelitian ini,
dipengaruhi oleh kematangan sosial
subjek yang berkonflik. Hal ini
sejalan
dengan
pengertian
kematangan sosial menurut Hurlock
(2010), yang mengatakan bahwa
kematangan
sosial
adalah
kemampuan anak dalam menilai dan
menyesuaikan diri dengan cepat
terhadap orang yang berbeda dalam
berbagai situasi sosial. Indikator
kematangan sosial itu sendiri
tercermin pada kemampuan subjek
dalam menyesuaikan diri dengan
norma-norma kelompok, norma
moral dan norma tradisi, sekaligus
kemampuan meleburkan diri menjadi
suatu
kesatuan
dan
saling
berkomunikasi serta bekerjasama.
Dengan demikian kandungan paling
pokok dalam kematangan sosial
adalah kelenturan sosial psikologis
subjek dalam menghadapi atau
mengalkami situasi sosial yang tidak
menyenangkan, baik bagi dirinya
maupun bagi pihak lain.
Sebagaimana
data
yang
tersaji di muka, dikatakan bahwa
kematangan sosial dan kemampuan
mengatasi konflik para siswanya ada
posisi sedang, hal ini dapat
dijelaskan bahwa kondisi psikologis
dan kemampuan tersebut relatif
banyak didukung oleh letak geografis
dan sosiologi SMA Negeri 1 Lendah
beserta para siswanya ada pada
daerah pedesaan, relatif jauh dari
pusat kota Yogyakarta. Hal ini
tentunya
sangat
mempengaruhi
kebiasaan, gaya hidup dan cara
menggunakan waktu mereka.
Jika ditilik dari konflik dalam
diri individu (conflict within the
individual), yang mana hal ini
dialami ketika siswa harus memilih
tujuan yang saling bertentangan, atau
karena tuntutan tugas yang melebihi
batas kemampuannya, maka sesuau
dengan data yang terkumpul, hal ini
cukup sering dialami siswa. Ini
menandakan
bahwa
tingkatan
9
kemampuan sosial yang masih
kurang,
dengan indikator belum
siswa belum cukup memeiliki
ketenangan dan pemikiran dewasa
pada hal-hal yang biasanya disikapi
secara emosional. Akibatrnya ketika
menghadapi suasana conflict within
the individual dengan serta merta
pula para siswa SMA Negeri 1
Lendah secara tindak berpikir
panjang. Pada akhirnya terjadilah
jonflik jenis conflict within the
individual ini.
Konflik
antarindividu
(conflict among individuals) di SMA
Negeri 1 Lendah terjadi karena
perbedaan kepribadian (personality
differences) antara individu yang
satu dengan individu yang lain.
Itulah sebabnya mengaapa conflict
among individuals and groups sering
terjadi
jika
individu
gagal
menyesuaikan diri dengan norma norma kelompok tempat ia bekerja.
Dalam hal konflik antar
kelompok dalam organisasi yang
sama (conflict among groups in the
same organization), di SMA Negeri 1
Lendah hal ini didorong oleh jiwa
kesukaan mengelompok, karena
masing - masing kelompok memiliki
tujuan yang sama dan sekaligus
berbeda dengan kelompok yang lain,
maka masing-masing berupaya untuk
dengan leluasa namun sambil
merendahkan kelompok lain.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hasil
penelitian
dan
pembahasan yang telah diuraikan
pada bab terdahulu, menunjukkan
bahwa
hipotesis
yang
mengemukakan
ada
Hubungan
Positif antara Kematangan Sosial
dengan Kemampuan Siswa dalam
Mengatasi Konflik, telah terbukti.
B. Saran
Dengan
melihat
hasil
penelitian yang telah ditemukan,
peneliti mencoba untuk memberikan
beberapa saran sebagai berikut.
1. Saran Kepada Remaja
Dari data empirik yang
diperoleh menunjukkan bahwa
rata-rata kematangan sosial dalam
kategori sedang, meskipun begitu
perlu diperhatikan bahwa banyak
siswa yang sering terlibat dalam
berbagai konflik berupa sebuah
perkelahian tersembunyi maupun
terang-terangan, selain itu banyak
juga siswa yang sering membuat
kegaduhan sehingga mengganggu
ketertiban lingkungan sekitarnya.
Munculnya perilaku konflik
yang disebabkan oleh kurangnya
kematangan
sosial
mereka,
menunjukkan bahwa pembinaan
akan
sikap
toleransi
dan
kelenturan dalam menyesuaikan
diri secara sosial masih sangat
diperlukan.
2. Saran Kepada Orang tua
Informasi yang diperoleh
dari hasil penelitian ini, dapat
dijadikan masukan bagi orang
tua dan wali selaku pendidik dan
pembimbing utama dan pertama
bagi anak remajanya.
Agar tidak terjadi konflik
sosial
dan
mendorong
terwujudnya kematangan sosial
anak, disarankan agar orang tua
terbuka
untuk
mengkomunikasikan masalahmasalah yang terjadi pada anak
remajanya,
termasuk
juga
kecenderungan konflik yang
10
sering dilakukan oleh para
remaja.
Adanya sifat yang saling
terbuka dan saling menghormati
dengan lingkungan sekitarnya
akan menciptakan lingkungan
tempat tinggal yang tenang,
nyaman dan harmonis.
3. Saran Kepada Pihak Sekolah
Perlu
disadari
bahwa
perilaku konflik pada remaja
sudah menjadi masalah sosial
yang harus dihadapi bersama
antara pihak sekolah, orang tua
dan masyarakat luas. Pergeseran
norma
dan
moral
sosial
masyarakat pada saat ini, secara
langsung maupun tidak langsung
turut pula mendukung terjadinya
perilaku konflik tersebut.
Gaya hidup dan pergaulan
yang semakin bebas, kurang
tegasnya sanksi bagi para
pelanggar
peraturan
juga
menjadi penyebab munculnya
perilaku konflik dikalangan
remaja. Untuk itu hendaknya
pihak
sekolah
memelopori
kinerja yang bersinergis dengan
orang tua dan masyarakat dalam
membina dan menumbuhkan
kedisplinan kepada siswa.
4. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi
para
peneliti
selanjutnya yang tertarik dengan
tema yang serupa, hendaknya
mempertimbangkan
variabelvariabel
lain
yang
mempengaruhi
munculnya
perilaku konflik pada remaja,
baik sifatnya internal maupun
eksternal.
Misalnya
Hubungannya
dengan
religiusitas,
kontrol
diri,
lingkungan tempat tinggalnya,
budaya, dan masih banyak lagi
faktor lainnya di luar faktor
konformitas teman sebaya.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, Rita L. (2010). Pengantar
Psikologi. Jilid 2. Aliha
Bahasa Lyndon Saputra.
Batam: Interaksara.
Depdiknas,
(2010)
Pedoman
Pelaksanaan
Pendidikan
Karakter
di
Sekolah
Menengah. Jakarta: Puskur
Balitbang.
Desmita.
(2013).
Perkembangan.
Rineka Cipta.
Psikologi
Jakarta:
Dharma, Surya. (2008). Kreatvitas Modul
Pelatihan
bagi
Pengawas Sekolah. Jakarta Dirjen PMPTK Diknas
Dharmawan (2011) “Konflik-Sosial
dan
Resolusi
Konflik:
Analisis
Sosio-Budaya,
dengan Fokus Perhatian pada
penduduk Suku Dayak di
Kalimantan
Barat”.
Skripsi.Tidak
diterbitkan.
Pontianak: Universitas Negeri
Tanjungpura.
Edward, L & Monika. (2005).
Creative Problem Solving:
Thingking Skills for a
Changing World. New York :
McGraw-Hill Internasional
Editions
Fitriah,
Anisah.(2014). Psikologi
Sosial Terapan. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
11
Goleman,
Daniel.
(2007).
Kecerdasan
Emosional.
Jakarta: Gramedia.
Graham, Richard. (2014). Istilahistilah Psikologi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Hanurawan,
Fattah.
(2012).
Psikologi
Sosial,
Suatu
Pengantar. Jakarta: Rosda.
Linda L.D. (2014). Psikologi, Suatu
Pengantar. Jilid 1.
Alih
bahasa: Maru Junaiti. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Waluya, Bagja. (2011). Sosiologi,
Menyelami Fenomena Sosial
dalam Masyarakat. Jakarta:
Pusbuk Kemendiknas
Zigler & Stevenson (2013). Social
Maturity. New York :
McGraw-Hill Internasional
Editions.
Hurlock, E.B. (2010).
Psikologi
Perkembangan:
Suatu
Pendekatan
Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta:
Erlangga
Azwar.S. (1999). Metode Penelitian.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Johnson, R.C., and Medinnus, G.R.
(1976). Child Psychology
Behavior and Development.
Canada: John Willey & Sons.
Inc.
12
Download