UPACARA NGERASAKIN DI DESA BANYUATIS (Kajian Bentuk Fungsi dan Makna) Gede Mahardika Tenaga Pengajar Jurusan Brahma Widya STAHN Gde Pudja Mataram Email : [email protected] Abstrac. Ajaran agama Hindu meliputi tiga kerangka yaitu tattwa, Etika dan upacara. Dalam pelaksanaannya diimplementasikan umat Hindu secara terpadu dan utuh. Namun pada kenyataanya yang lebih sering tampak menonjol adalah bagian upacaranya. Hal ini disebabkan karena bagian inilah yang merupakan wujud pelaksanaan dengan segala kelengkapannya. Upacara Ngerasakin merupakan upacara yadnya yang bertujuan untuk mengucapkan rasa syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan manifestasi sebagai Jero Sedahan Abian dan Jero Sedahan Sawah atas apa yang telah dinikmati selama ini dari hasil bumi. Pelaksanaan Upacara Ngerasakin di Desa Banyuatis dilaksanakan setiap satu tahun sekali, dan sudah menjadi tradisi turun-temurun oleh masyarakat setempat. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bentuk Upacara Ngerasakin di Desa Banyuastis dapat dilihat dari : struktur banten Upacara Ngerasakin, prosesi upacara ngerasakin, mantra dan saa Upacara Ngerasakin, dan tempat dan waktu pelaksanaan Upacara Ngerasakin. Sedangkan fungsi Upacara Ngerasakin antara lain : fungsi pelayanan kepada Tuhan, fungsi sosial ekonomi, fungsi budaya dan seni, dan fungsi edukatif. Makna Upacara Ngerasakin adalah : makna religius, makna ungkapan rasa syukur, makna sosial kemasyarakatan, dan makna budaya dan seni. PENDAHULUAN Tata kehidupan beragama Hindu di Bali mempunyai ciri tersendiri, dibandingkan dengan umat Hindu di Manca Negara. Pola kehidupan di Bali dilandasi oleh konsep Tri Hita Karana yakni tiga unsur yang menyebabkan kebahagiaan yaitu Tuhan, manusia dan alam. Menjaga kehidupan yang harmonis dengan Tuhan, antara manusia dengan manusia, dan keharmonisan hidup antara manusia dengan lingkungan hidup. Alam merupakan yang takterpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan sebagai tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara mahluk hidup dan faktor alam, antara mahluk hidup yang satu dan yang lainnya. Lingkungan hidup sebagai media timbal balik mahluk hidup dengan faktor alam yang terdiri dari berbagai macam keadaan dan hubungan yang secara bersama mewujudkan struktur dasar ekosistem sebagai suatu kesatuan yang mantap. Hubungan timbal balik tersebut merupakan mata rantai atau siklus penting yang menentukan daya dukung lingkungan hidup sebagai pembangunan. Ajaran agama Hindu yang disebut dengan Tri Hita Karana merupakan filsafat hidup umat Hindu dalam membangun sikap hidup yang benar menurut ajaran agama Hindu. Sikap hidup yang benar menurut ajaran Hindu adalah bersikap yang seimbang antara percaya dan bhakti pada Tuhan dengan mengabdi pada sesama manusia dan menyayangi alam berdasarkan Yajna. Yang membutuhkan telaksana ajaran Tri Hita Karana adalah manusia. Manusia secara hakiki adalah identik dengan alam. Manusia adalah bagian dari ekosistem alam juga. Alam semesta disebut sebagai “bhuana agung” (makrokosmos) dan manusia sendiri disebutnya sebagai “bhuana alit” (mikrokosmos). Manusia dalam hidupnya selalu menyatukan diri dengan alam, yang berarti manusia hendaknya mempergunakan alam sebagai paradigma dalam bertindak (Wiana : 2007 : 24). Upacara Ngerasakin memiliki maksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terimakasih para petani di Desa Banyuatis kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Yang Maha Esa karena hasil kebun mereka berproduksi dengan baik. Ritual ini biasanya dilaksanakan setiap satu tahun sekali atau enam bulan sekali tergantung kemampuan dari masyarakat setempat. Secara umum masyarakat Banyuatis memiliki pedewasaan di dalam melaksanakan upacara, seperti halnya Upacara Ngerasakin. Umat Hindu menyadari bahwa dalam menjalani hidupnya di dunia ini tidak bisa berdiri sendiri (individu) tetapi selalu membutuhkan orang lain sebagai teman untuk mengarungi hidupnya sampai pada tujuannya yang terakhir, maka itu manusia disebut sebagai makhluk sosial (Purnomohadi, 1993:25). Secara umum dipahami bahwa Upacara Ngerasakin merupakan salah satu pemujaan Sang Hyang Sangkara, yaitu manifestasi Tuhan sebagai Dewanya tumbuh-tumbuhan atau sebagai penunggu lahan pertanian atau disebut dengan Jero Sedahan. Melalui Upacara Ngerasakin merupakan bentuk ekspresi masyarakat Desa Banyuatis kehadapan Tuhan Yang Maha Esa sebagai ucapan terima kasih atau rasa bersukur hasil pertanian yang melimpah ruah. Upacara yang dilaksanakan oleh petani di Desa Banyuatis sangat intens karena dalam keyakinan mereka dengan pelaksanaan ritual kehadapan sang pencipta maka mereka merasa selalu dilindungi dan tanaman mereka akan memperoleh hasil yang maksimal. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana bentuk Upacara Ngerasakin di Desa Banyuatis Kec. Banjar Kab Buleleng? 2. Apa Fungsi Upacara Ngerasakin di Desa Banyuatis Kec. Banjar Kab. Buleleng? 3. Makna apakah yang terkandung dalam Upacara Ngerasakin di Desa Banyuatis Kec. Banjar Kab. Buleleng? TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk Mengetahui bentuk Upacara Ngerasakin di Desa Banyuatis. 2. Untuk mengetahui fungsi Upacara Ngerasakin di Desa Banyuatis. 3. Untuk Mengetahui makna Upacara Ngerasakin di Desa Banyuatis. MANFAAT 1. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi lembaga Kemasyarakatan Hindu tentang Upacara Ngerasakin. 2. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang fungsi, makna dan bentuk Upacara Ngerasakin bagi umat Hindu yang berada di Desa Banyuatis. 3. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi umat Hindu pada umumnya dan Desa Banyuatis pada khususnya dalam melaksanakan Upacara Ngerasakin. METODE PENELITIAN Sebagaimana judul penelitian ini adalah “Upacara Ngerasakin di Desa Banyuatis (Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna)”, lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Desa Banyuatis Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng Singaraja Bali. Desa Banyuatis terdiri dari empat Dusun yaitu Dusun Kaja, Dusun Kelod, Dusun Tengah dan Dusun Kuwum, sedangkan luas wilayah Desa Banyuatis adalah 184,55 Ha yang terdiri dari Tanah Sawah 90, 092 Ha, Tanah Pekarangan 46, 058 Ha, Tanah Tegalan 10, 400 Ha, Tanah Kering 38,000 Ha dan Tanah Kuburan 600 M2. Potensi Desa yang dikembangkan adalah bidang pertanian yaitu : Cengkeh, Kopi, Coklat, Padi dan Tanaman keras lainnya sedangkan di bidang pertenakan adalah sapi, itik dan ayam. Jumlah penduduk Desa Banyuatis adalah 4.224 Jiwa yang terdiri dari laki-laki 2.027 Jiwa dan Perempuan 2.197 Jiwa, dan mayoritas beragama Hindu. Dilihat dari luas wilayah yang ada maka mayoritas penduduk Desa Banyuatis adalah sebagai petani Cengkeh, Padi, Kopi dan Coklat. Pendekatan teologi digunakan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui atau mengungkapkan sejauh mana tingkat hubungan antara manusia dengan Tuhan sebagai penciptaan-Nya yang di wujudkan dalam bentuk simbol-simbol dalam upakara (banten) Ngerasakin dan doa atau matra dalam pelaksanaan Upacara Ngerasakin. Serta untuk mengetahui sejauh mana norma agama yang telah terwahyukan dalam kitab suci diberlakukan atau dipedomani dalam pelaksanaan Upacara Ngerasakin. Penelitian tentang Upacara Ngerasakin ini merupakan jenis penelitian kualitatif, dikatakan demikian karena hasil-hasil temuanya tidak diperoleh melaui prosedur statistik atau hitungan lainnya. Penelitian Upacara Ngerasakin ini lebih banyak membutuhkan jenis data yang berbentuk rangkaian kata-kata, bukan angka-angka. Prosedur penelitia kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa paparan, lisan dan prilaku orang-orang yang diamati (Bogdan & Taylor dalam Maleong). Penelitian kuantitatif digunakan untuk mengungkapkan dan memahami suatu bentuk, fungsi dan makna di balik tata cara pelaksanaan upacara yang belum atau yang baru sedikit diketahui (Stauss & Corbin, 2003 :4-6). Strategi analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif-kualitatif. Analisis deskriptif-kualitatif adalah telaah pada suatu gejala obyek sesuai dengan data kepustakaan maupun data lapangan yang menjadi obyek penelitian. Selanjutnya hasil telaah tersebut diwujudkan menjadi sebuah bentuk tulisan untuk melukiskan sebuah rincian dari obyek yang diteliti. Teknik yang digunakan untuk membantu analisis data adalah perpaduan antara teknik indukatif (khusus ke umum) dan deduktif (umum ke khusus) serta dilengkapi dengan argumentasi. PEMBAHASAN I. Bentuk Upacara Ngerasakin a. Struktur Banten Upacara Ngerasakin Kelompok banten yang digunakan dalam Upacara Ngerasakin di Desa Banyuatis menggunakan kosnsep Triangga yang terdiri dari banten Canang Raka, Banten Ajuman dan Banten Daksina merupakan banten hulu (kepala) yang dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Siwaraditya dan Pertiwi sebagai Pesaksi. Dan banten yang di persembahkan ke pelinggih atau pemujaan kepada Dewa Sangkara menggunakan banten Tipat Kelanan Misi taluh Abungkul (ada telur satu). Banten yang termasuk dalam posisi badan atau disebut dengan banten ayaban, yang terdiri dari Banten Pengambean Pengulapan, Banten Sorohan Alit dan banten Guling di atas Kapar/Nampan yang berisi : (tumpeng pitu, cacahan, dan Guling Babi yang dihiasi dengan hati yang di potong-potong dan urutan). Banten ayaban merupakan persembahan kepada Jero Sedahan Abian dan atau Jero Sedahan Carik. Dan banten yang digolongkan sebagai kaki dalam upacara ngerasakin adalah menggunakan banten Segehan Panca Warna (lima warna) yang merupakan persembahan kepada Bhuta Kala. Dengan demikian bentuk Upacara Ngerasakin yang dilaksankan oleh umat Hindu di Desa Banyuatis, dilihat dari aspek upakara (banten) yang digunakan dan tatacara atau prosesi pelaksanaanya, merupakan sebuah simbul yang mengandung nilai sosial relegius. Menurut teori interaksi simbol, banten merupakan perwujudan dari hasil interaksi manusia. Sebagaimana dikatakan oleh Bodgan dan Taylor bahwa manusia (orang) senantiasa berada dalam suatu proses interprestasi dan difinisi karena mereka secara terus menerus bergerak dari suatu situasi ke situasi lainnya. Pelaksanaan Upacara Ngerasakin dengan segaala prangkat pendukungnya sebagai perwujudan atau simbolis yang harus dimaknai sebagai sikap dan prilaku hidup bersama dalam proses peningkatan prilaku keagamaan. Setiap orang yang beragama Hindu akan selalu melakukannya, oleh karena tiu harus dimaknai sebagai hasil bersama umat pendukungnya sebagai proses pendekatan hubungan kepada Tuhan, kepada sesama manusia, dan lingkungannya. Banten sebagaimana dikatakan dalam Teori Simiotik merupakan sebuah sistem tanda atau simbol yang dibangun atau dibentuk oleh beberapa simbol atau tanda lainnya. Banten Daksina yang berfungsi sebagai stana Tuhan di Bumi dibuat dari berbagai simbol seperti kelapa yang berbentuk bundar sebagai simbol Bumi, tapak (tapak dara) sebagai simbol keharmonisan atau keseimbangan sebagai dasar Bumi, telor itik sebagai simbol dari krida (kerja) Tuhan di Bumi, gegantusan simbul dari isi Bumi. Keseluruhan dari unsur yang membangun Banten Daksina dapat mendukung fungsi dan perwujudan dari Daksina itu sendiri. Salah satu unsur tidak ada, dapat mengurangi makna dari yang disimbolkan oleh Banten Daksina itu. Hal ini sejalan dengan Teori Fungsional Struktual bahwa Upacara Ngerasakin baik bantenya maupun prilaku orangnya sebagai suatu simbol yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Salah satu tidak berfungsi akan mengganggu fungsi lainnya, oleh karena itu seseorang harus memaknai dan melaksanakan fungsinya masing-masing. b. Prosesi Upacara Ngerasakin Dalam proses Upacara Ngerasakin ada beberapa tahap yang dilaksanakan. Sebelum proses intinya maka terlebih dahulu Nunas Tirta Pengelukatan dengan cara Nyonteng atau dengan menggunakan mantram. Dilanjutkan dengan Ngelukat Banten dan Pelinggih Ida Betare termasuk pemimpin upacara dan juga yang melaksanakan upacara dengan tujuan agar bersih atau suci. Setelah semuanya sudah bersih maka selanjutnya Nuur atau mendak atau memanggil Ida Betara agar berkenan hadir dengan cara memohon atau Ngajum agar beliau berkenan kontak dengan manusia melalui manifestasi-Nya sesuai dengan fungsinya, untuk menyaksikan persembahyangan atau sebagai Pesaksi. Dalam prosesi Upacara Ngerasakin disebut dengan Ngaturang Piuning ke pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Raditya dan Pertiwi. Banten yang di gunakan adalah banten Canang Raka, banten Ajuman dan banten Daksina misi segehan. (Rangkuman Hasil Wawancara Dengan Jero Gde Putu Nata tgl. 09 Oktober 2014). Kedua, Ngadegang (Stiti) yang dimaksud dengan Ngadegang adalah mestanakan Beliau, dalam imajinasi seolah-olah beliau telah duduk pada stananya, dan telah siap menyaksikan dan menerima persembahan upacara yang di suguhkan. Dalam proses menstanakan ini banten yang dipakai dapat di bagi menjadi dua yaitu banten untuk di Pelinggih terdiri dari Canang Raka Tipat Kelanan Misi Taluh Abungkul yang merupakan suguhan unruk Dewa Sangkara. Dan yang kedua adalah banten yang utama atau yang disuguhkan kepada Jero Sedahan Abian atau Jero Sedahan Carik yang terdiri dari banten Pengambean Pengulapan, Banten Sorohan Alit dan Banten Guling alasnya memakai kapar yang terdiri dari : Cacahan, Tumpeng Pitu dan Babi Guling yang di hiasi dengan potongan-potongan hati. Dalam proses Upacara Ngerasakin ada proses Ngayabang, dalam proses Ngayabang yang di pakai adalah Sesontengan yang di ikuti dengan Murak atau memotong kepala guling dan memotong keempat kakinya sebagai simbol bahwa persersembahan sudah disuguhkan atau diaturkan. Dalam Sesontengan dikatakan bahwasanya aturan atau persembahan yang disuguhkan katur atau diterima sehingga untuk kedepannya harapannya agar hasil bumi lebih meningkat lagi dan terhindar dari gangguan manusia, binatang dan penyakit. Ketiga, Ngamantukang (Pralina) merupakan proses menghaturkan persembahan untuk memohon agar Beliau berkenan untuk kembali ke Kahyangan (ke sumbernya) karena proses upacara sudah selesai. Dalam hal ini menggunakan sarana sarana (simbol) arak, berem, maka dalam melakukan tetabuhan dengan tujuan prelina dalam hal ini yang dituangkan terlebih dahulu adalah araknya kemudian baru beremnya dengan puja Sesontengan. Dilanjutkan dengan proses Ngeluarang dengan memakai Segehan Panca Warna, perlu diingat bahwasanya dalam proses Ngelarang ini merupakan memberikan suguhan kepada Bhuta Kala. Bhuta Kala supaya ikut juga menikmati persembahan Guling ini maka telubih, kuping, layah, kuku kaki dan ekornya di potong untuk di persembahkan ke pada bhuta kala yang di taruh di segehan dan di ayabang/di manterai atau bisa juga memakai Sesontengan. Dengan tujuan supaya tidak mengganggu atau merusak abian secara niskala. Sehingga apa yang menjadi tujuan dari pelaksanaan Upacara Ngerasakin bisa terwujud, hidup tentram damai dan hasil yang dicapai bisa menjadi maksimal. (Rangkuman Hasil Wawancara dengan Jero Gde Putu Nata Tgl. 09 Oktober 2014). c. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Dalam pelaksanaan Upacara Ngerasakin perlu diungkapakan dimana dan kapan upacara itu dilaksanakan. Proses Upacara Ngerasakin di laksanakan di Tagal/Abian atau ladang dan juga di Carik atau Sawah. Di Desa Banyuatis setiap warga yang memiliki ladang/abian maupun carik/sawah selalu memiliki penunggu berupa pelinggih yang disebut dengan Jero Sedahan Abian untuk di Ladang/abian atau Jero Sedahan Carik untuk di Sawah. Jero Sedahan Abian dan Jero Sedahan Sawah merupakan manifestasi Tuhan dengan fungsi menjaga/melindungi atau Ngeraksa Abian dan Carik. Karena tugasnya menjaga dan melindungi abian atau carik yang menjadi sumber penghasilan petani, maka masyrakat Desa Banyuatis wajib melaksanakan Upacara Ngerasakin dengan maksud untuk mengucapkan rasa syukur atau terima kasih kepada Tuhan dalam manifestasi sebagai Jero Sedahan abian maupun carik yang dikenal dengan membayar upeti atau disebut dengan Ngaturang Tiga Sana Suku Empat yang menjadi persembahan utamanya adalah Guling Babi. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ir Made Mangku Jasaratha pada tanggal 8 Oktober 2015 dikatakan bahwasanya pelaksanaan Upacara Ngerasakin di Desa Banyuatis lebih banyak dilaksanakan tiga hari menjelang Galungan dengan dasar agar daging Guling Babi hasil dari persembahan Upacara Ngerasakin dapat digunakan pada saat hari Raya Galungan. Sedangkan menurut Jero Gde Natha dalam hasil wawancara, mengatakan bahwasanya dalam pelaksanaan Upacara Ngerasakin sebaiknya dilaksanakan bertepatan dengan Tumpek Wariga yang dilaksanakan dua puluh lima hari menjelang Galungan yang jatuh pada Sabtu Kliwon Wuku Wariga. Berdasarkan hasil wawancara di atas dan hasil observasi bahwa pelaksanaan Upacara Ngerasakin di Desa Banyuatis dilaksanakan menjelang hari raya Galungan, untuk padewasaan sesuai dengan hala ayuning dewasa menurut kalender Bali dalam melaksanakan Upacara Ngerasakin menghindari Pasah dalam Tri Waranya dan yang sering disarankan untuk dilaksanakan adalah beteng maupun kajeng. ANALISIS FUNGSI UPACARA NGERASAKIN a. Fungsi Pelayanan Kepada Tuhan Upakara sebagai alat kosentrasi pikiran untuk menuju Sang Hyang Widhi atau manifestasinya misalnya saja bagi orang yang sedang membuat banten, maka dengan tidak sengaja dia sudah membayangkan kehadapan siapa yang akan di persembahkan. Demikian juga bagi orang yang sedang melakukan piodalan atau persembahyangan menganggap bahwa Dewa yang dipuja berada pada Daksina Pelinggih atau Tapakan yang telah dibuat. Upakara mempunyai fungsi sebagai alat kosentrasi, persembahan/korban suci, sarana pendidikan menuju Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sarana penyucian, sarana perwujudan menuju Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasi dan sarana meningkatkan estetika (Arwati 1992 :2). Berkenaan dengan diatas bahwa Upacara Ngerasaki merupakan fungsi pelayanan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa, dapat dilihat dari proses pembuatan dan menyiapkan sarana prasarana upakara yang di gunakan dalam pelaksanaan uapacara. Seperti halnya dalam proses pembuatan Babi Guling, banten daksina, Canang Raka, Ajuman, Pengambean Pengulapan, Cacahan dan Segehan Panca Lima. Semua yang di persiapkan merupakan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasi-Nya. Karena apa yang kita lakukan merupakan bentuk pelayanan kepada Tuhan, begitu juga dalam pelaksanaan Upacara Ngerasakin melalui kitab suci Weda. b. Fungsi Sosial Ekonomi Pelaksanaan Upacara Ngerasakin yang merupakan sebagai kegiatan keagamaan umat Hindu, mempunyai tujuan religius dalam meningkatkan kehidupan sosial. Hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan Upacara Ngerasakin, dimana dalam mempersiapkan segala pelaksanaanya sudah terjadi interaksi antara pelaksana Yadnya dengan Pinandita dan serati banten. Begitu juga hubungan diatara umat akan menjadi sangat baik dan haormonis karena selalu terjadi interaksi sosial, ketika dalam proses perencanaan, mempersiapkan sarana dan prasarana upacara sampai dengan puncak acara dan akhir upacara, akan selalu terjadinya interaksi satu dengan yang lainnya. Dengan demikian Upacara Ngerasakin berfungsi sebagai wadah komunikasi di antara warga sekitarnya khususnya bertetangga di Desa Banyuatis. Secara ekonomis Upacara Ngerasakin berfungsi untuk menciptakan keseimbangan ekonomi, ini dapat dilihat dari besar kecilnya tingkatan upacara (nista, madya dan utama) yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Desa Banyuatis dapat dilihat dari bentuk upakara (banten) yang dipersiapkan. Semakin tinggi tingkatan upacara yang dilakukan, semakin banyak upakara (banten) yang dibuatnya, dan tentu pula semakin banyak tenaga yang diperlukan dalam pembuatannya. Semakin besar Babi Guling yang digunakan dalam Upacara Ngerasakin semakin besar biaya yang diperlukan atau dikeluarkan dalam mempersiapkan pelaksanaanya, sehingga semakin besar peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh para pedagang, peternak babi untuk mendapatkan rejeki dalam proses upacara yang dilakukan. Karena bahan dari pada upacara yang diperlukan dalam membuat upakara (banten) berasal dari perternakan, pertanian dan perdagangan yang kesemuanya itu akan berdampak pada penambahan dan peningkatan pendapatan masyarakat, atau pemerataan ekonomi masyarakat Desa Banyuatis akan terujud. Dengan demikian pelaksanaan Upacara Ngerasakin disamping berfungsi sebagai peningkatan dan pemerataan perekonomian umat, juga dapat memperluas lapangan pekerjaan buruh, petani, peternak dan juga pedagang. c. Fungsi Budaya dan Seni (Estetika) Pada aspek budaya dan seni (estetika), pelaksanaan Upacara Ngerasakin di Desa Banyuatis merupakan suatu kegiatan budaya, karena semua kegiatan prilaku yang dilakukan oleh manusia adalah budaya. Upacara Ngerasakin sebagai perilaku beragama Hindu lahir dari pemikiran manusia sebagai usaha untuk menyelamatkan hidupnya. Upacara Ngerasakin merupakan sebagai salah satu usaha manusia dalam menyelamatkan diri dari sifat buruk yang dialami pada proses perpindahan tingkat kehidupan menuju tingkatan hidup lainya. Menurut Van Gennep, manusia dari banyak kebudayaan selalu terdapat saat yang penting, yang mengikat hidupnya dari masa lalu ke masa yang akan dihadapinya. Kebutuhan pokok hidup manusia menurut ajaran agama Hindu adalah kebahagiaan lahir dan batin. Upacara Ngerasakin yang berfungsi sebagai penyucian lahir batin manusia yang bertujuan untuk kebahagian hidup manusia secara lahir dan batin. Di lihat dari bentuk upakara (banten) yang digunakan dalam pelaksanaan Upacara Ngerasakin memiliki fungsi estetika (seni) dan budaya. Disamping memiliki fungsi budaya, banten juga sebagai pengembangan seni dan estetis. Dengan demikian dari uraian di atas, fungsi Upacara Ngerasakin yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Banyuatis, baik dilihat dari proses pelaksanaanya dan juga upakara (banten) dan sarana lainya yang digunakan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari sub -sub sistem lain sebagai pendukungnya. Sebagaimana diungkapkan dalam Teori Fungsionalisme Struktural yang menekankan pada tercapainya keseimbangan dan keharmonisan hidup sebagai individu dan kelompok (masyarakat). Manusia atau masyarakat adalah sebagai sesuatu sistem perimbangan dan keharmonisan. Sebagaimana dikatakan oleh Talchott Parsons, masyarakat merupakan sebagai suatu sistem perimbangan seperti halnya tubuh manusia yang terdiri dari berbagai bagian yang memiliki fungsi masing-masing yang mendukung sistem tubuh secara keseluruhan. Satu dengan bagian lainya mempunyai hubunga yang saling ketergantungan. Salah satu tidak berfungsi akan berpengaruh terhadap fungsi lainya. Demikian juga dalam masyarakat, setiap orang atau kelompok dapat memberikan sumbangan-sumbangan yang khas melalui peranannya masing-masing yang telah ditentukan demi lestarinnya sistem perimbangan secara keseluruhan. Upacara Ngerasakin sebagai sebuah sistem dapat berfungsi untuk memelihara eksetensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan. Prilaku masyarakat agama dalam pelaksanaan Upacara Ngerasakin sebagai aktifitas masyarakat yang dapat mengarahkan keadaan masyarakat yang harmonis, stabil dan seimbang. Upacara Ngerasakin dapat mengharmoniskan struktur dalam diri manusia (jasmani dan rohani) sebagai mahluk individu dan dan mengharmoniskan struktur masyarakat sebagai mahluk sosial melalui prilaku hidupnya yang selalu menjunjung tinggi nilainilai kebenaran. Melalui dogma-dogma dan mitos-mitos keagamaan yang tidak terikat oleh tempat dan waktu dapat mendorong dan menjadi dasar dari prilaku hidup keagamaan. Upacara Ngerasakin yang berfungsi sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan yang diyakini oleh seseorang dapat menghantarkan hidup manusia mencapai kebahagiaan lahir dan batin dan tercapainya tujuan hidup beragama. Atas dasar inilah yang mendorong manusia untuk melaksanakan upacara termasuk Upacara Ngerasakin. Berbagai jenis upakara (banten) dalam Upacara Ngerasakin, merupakan sub-sub sistem yang mendukung sebuah sistem pemujaan kepada Tuhan dalam bentuk Upacara Ngerasakin. Kalau salah satu sub sistem banten ini tidak berfungsi akan menjadi berpengaruh terhadap fungsi banten yang lainya dan berdampak pada kualitas nilai yang ada didalam pelaksanaan Upacara Ngerasakin. Demikian halnya dengan masyarakat pendukungnya, antara tukang banten (sarati), pimpinan upacara (Pandita/Pinandita) dan Sang Yajaman (Pelaksana Uapacara) adalah merupakan bagaian dari sub sistem dalam sistem Upacara Ngerasakin. d. Fungsi Edukatif Pendidikan semestinya merupakan proses perkembangan kepribadian manusia secara menyeluruh, dengan kata lain mekarnya nilai kemanusiaan yang luhur menuju kesempurnaan dan terwujudlah nilai-nilai yang baik. Pendidikan itu mengajarkan manusia bahasa dan pengetahuan tetapi tidak ada pelajaran tentang bagaimana kita hidup tenang, bahagia atau dalam kedamaian diantara kita sendiri maupun dengan orang lain. Pendidikan haruslah mengembangkan karakter kearah yang lebih baik. Upacara Ngerasakin yang dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Banyuatis merupakan salah satu proses sistem pembelajaran yang alami non formal guna memberikan nilai tambah bagi generasi penerus. Dalam hal ini fungsi pendidikan dalam Upacara Ngerasakin sangat menonjol seperti halnya dalam pembuatan sarana upacara seperti halnya pembuatan banten/upakara yang jarang dipraktekan sehari-harinya, disana masyarakat saling isi mengisi saling memberikan, tetntunya peranan/tuntunan Pinandita dan Sarati Banten tidak bisa diabaikan. Tugas dari Pinandita atau Pandita dalam hal ini Jero Mangku /Jero Mangku Gede yang ada di Desa Banyuatis selalu memberikan tuntunan dalam pembuatan upacara sesuai dengan petunjuk sastra. Mengenali banten yang begitu rumitnya bagi masyarakat awam dengan adanya upacara itu maka sastra agama tidak boleh diabaikan. Semua berasal dari aksara seperti bebanten yang di pakai dalam Upacara Ngerasakin, semuanya dilalui dari sistem pembelajaran sebelum upacara maupun saat berlangsungnya upacara. Demikian pula dengan hidup manusia, selalu terdapat saat yang sangat penting yang akan mengikat hidupnya dari masa lalu kemasa yang dihadapinya. Orang akan selalu meninggalkan suatu tingkatan dan kemudian segera akan memasuki tingkatan yang laian. Menurut teori karma, hal ini disebabkan oleh hubungan sebab akibat dari perbuatan (karmaphala) yaitu : Sancita Karmaphala adalah : apa yang dihadapi sekarang merupakan hasil dari apa yang telah dilakukan pada kehidupan yang lalu. Prabda Karmaphala adalah : Apa yang dihadapi pada kehidupan sekarang juga merupakan hasil dari pada perbuatan sekarang juga. Kriamana Karmaphala adalah : Apa yang dilakukan sekarang merupakan rintisan untuk kehidupan yang akan datang (Jendra, 2004 :61). MAKNA UPACARA NGERASAKIN a. Makna Religius Upacara Ngerasakin juga merupakan pelaksanaan Panca Maha Yadnya yaitu : Dewa Yadnya ini dapat kita lihat dalam persembahan kepada Ida Hyang Widhi Wasa sebagai rasa bhakti kepada Tuhan, yang diwujudkan dalam persembahan upakara (banten) kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Surya (Siwaraditya). Persembahan dengan Segehan merupakan perujudan rasa bakti dan hormat kepada para bhuta kala merupakan pelaksanaan Bhuta Yadnya. Secara religius Upacara Ngerasakin bermakna sebagai wujud rasa terima kasih kepada yang memiliki dan menjaga Abian (perkebunan) dan Carik (sawah) secara niskala yang merupakan manisfestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam bentuk Jero Sedahan Abian dan Jero Sedahan Carik. Secara religius pelaksanaan Upacara Ngerasakin mengandung makna untuk menyerap nilai etis dan religius yang disimbolkan berbagai jenis banten yang digunakan dalam Upacara Ngerasakin. Bentuk banten yang di gunakan dalam Upacara Ngerasakin yaitu Daksina sebagai simbol Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pada daksina misalnya terdapat kelapa, telor, pisang kayu, tingkih, beras, bija ratus rampak, dan peselan. Banten daksina menggambarkan badan alam makroskosmos, dalam mithologi bahwa kelapa itu tidak lain wujud makrokosmos atau alam jagad raga karena berasal dari kepala Dewa Brahma. Telor sebagai jantung atau papusuh karena bentunknya menyerupai jantung, tingkih sebagai ungsilan, pangi simbolik sebagai hati karena bentuknya menyerupai hati dan warnanya. Pisang kayu sebagai tulang karena bentuknya seperti tulang. Bija ratus sebagai jeroan (usus). Kemudian tampak sebagai simbol cakra berputar yang melambangkan hukum alam selalu bergerak. Peselan melambangkan Panca Dewata. Penyerapan nilai-nilai etis dan riligius ini bertujuan untuk membangun atau meningkatkan sifat-sifat ketuhananyang ada dalam diri manusia. Secara hakekat manusia bersumber pada Tuhan, memiliki sifat-sifat ketuhanan. Dengan demikian pelaksanaan Upacara Ngerasakin sebagai salah satu cara umat Hindu untuk membangun manusia seutuhnya. b. Makna Ungkapan Rasa Syukur Nilai keseimbangan dan keharmonisan secara horizontal dan vertikal terefleksi dalam konsep Tri Hita Karana yakni keseimbangan secara horizontal dengan alam (Palemahan) dan sesama manusia (Pawongan), serta keseimbangan secara vertikal dengan Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Parhyangan). Konsep Tri Hita Karana mengajarkan kepada umat Hindu untuk menjaga keseimbangan dan hubungan yang harmonis dengan Tuhan Yang Maha Esa. Pelaksanaan Upacara Ngerasakin mengandung makna ungkapan rasa syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa melalui manifestasinya sebagai Jero Sedahan Abian atau Carik atas segala karunianya, berupa hasil bumi yang melimpah ruah. Sehingga dengan hasil bumi ini masyarakat di Desa Banyuatis bisa hidup tentram nyaman tanpa ada masalah. c. Makna Sosial Kemasyarakatan Manusia sebagai individu, menjadi milik atas dirinya sendiri dan menjadi objek atas dirinya. Semua reaksi yang diekspresikan terhadap tanggapan luar dirinya, merupakan hasil dari pada interkasi antara jasmani dan rohani dalam dirinnya. Tindakan manusia menghasilkan karakter yang berbeda sebagai hasil dari bentukan proses interaksi dalam dirinya. Bila dikaitkan dengan pelaksanaan Upacara Ngerasakin, yang berfungsi sebagai rasa ucapan syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala hasil dari pertanian. Menurut Mead, intearksi sosial ada dua yaitu interaksi non simbolis dan interaksi simbolis. Interaksi non simbolis berarti bahwa manusia merespon secara langsung tindakan atau isyarat orang lain, sedangkan interaksi simbolis berarti bahwa manusia menginterpretasikan masing-masing tindakan dan isyarat orang lain tersebut berdasarkan arti yang dihasilkan dari interaksi yang ia lakukan (Riyadi Soeprapto, 2001 : 163). Hal ini juga dapat dimaknai bahwa interkasi simbolik adalah interpretasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap tindakan dan isyarat dari orang lain berdasarkan arti yang dihasilkan dari interprestasi yang dilakukan terhadap simbol yang digunakan sebagai media iteraksi. Hal ini dihubungkan dengan upakara (banten), yang digunkan dalam Upacara Ngerasakin sebagai simbol yang harus diinterprestasikan maknanya dalam memberikan respon terhadap pelaksanaan uapacaranya. Dengan demikian Upacara Ngerasakin dan juga upakaranya mengadung makna sosial kepada manusia sebagai individu dan juga sebagai mahluk yang hidup bermasyakat. Menurut Van Gennep ritual dan upacara relegi (agama) secara universal pada dasarnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan atau meningkatkan semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat. Ia menyatakan bahwa kehidupan sosial dalam setiap masyarakat didunia secara berulang dengan interval waktu tertentu memerlukan apa yang di sebut dengan ”regenerasi” yang mengadung makna peremajaan atau penyegaran kembali. Semangat kehidupan sosial selalu mengalami pasang surut hal ini disebabkan selalu adannya saat-saat dimana semangat kehidupan sosial itu menurun dan sebagai akibatnya akan timbul kelesuan hidup bermasyarakat (Koentjaraningrat,1993:32). Hal inilah selalu perlu disegarkan sehingga melahirkan kehidupan yang harmonis diantara sesama manusia. Upacara Yadnya (Panca Yadnya) sebagai salah satu media dalam meningkatkan atau mempererat hubungan diantara sesamanya. Pelaksanaan Upacara Ngerasakin disamping memiliki nilai religius (keagamaan), juga memiliki nilai sosial. Nilai religius yang terlihat dari tujuan pelaksanaanya juga untuk membangun kepekaan sosial manusia. Sebagaimana tujuan pelaksanaanya Upacara Ngerasakin dilaksanakan dengan dasar iklas dan bhakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga dibutuhkan kesucian pikiran manusia, dengan kesucian pikirannya manusia dapat berprilaku secara baik di dalam masyarakat. Semua bentuk perubahan yang dialami manusia baik secara lahir maupun batin sebagai sebuah tanda yang ditangkap atau dimaknai oleh masyarakat akan adanya suatu perubahan sikap hidup dari seseorang di dalam bermasyarakat. Hal inilah yang dianggap sebagai suatu perubahan setatus yang berpengaruh pada kehidupan sosial. Made Mangku Jasaratha dalam wawancara mengatakan bahwa manusia sebagai mahluk sosial tidak bisa hidup sendiri atau menyendiri, oleh karena itu dia selalu memerlukan orang lain untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan hidupnya. Upacara keagamaan atau Panca Yadnya, termasuk Upacara Ngerasakin disamping sebagai kegiatan keagamaan yang megandung nilai spiritual, juga merupakan kegian yang megandung aspek sosial, karena dalam proses pelaksanaan upacaranya dari muali mempersiapkan puncak acaranya sampai akhir acara selalu melibatkan orang lain baik secara individu (perseorangan) atau secara kelompok. Menurut Ketut Denda dalam wawancara, dalam pelaksanaan Upacara Ngerasakin dapat dijadikan tempat untuk berinteraksi antar sesama umat. Dengan semakin seringnya melaksanakan kegiatan Yadnya atau upacara, maka semakin sering pula terjadi interaksi antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian akan terjadi jalinan yang kuat dan harmonis antara sesama manusia, sehingga dapat tercipta atau terjalin kerukunan hidup antara umat Hindu. d. Makna Budaya dan Seni Pelaksanaan Upacara Ngerasakin, dilihat dari tindakan atau prilakunya sebagai suatu tradisi budaya yang memiliki nilai budaya sangat tinggi, karena dihasilkan dari sebuah pemikiran yang halus dan temotivasi oleh nilai-nilai agama. Dilihat dari upakaara (banten) yang digunakan, merupakan suatu hasil budaya yang bersipat relegius dan mengandung nilai seni atau estetika yang sangat tinggi. Agama dan budaya merupakan dua hal yang berbeda namun merupakan satu kesatuan yang utuh. Budaya sebagai penampakan tradisi keagamaan sehingga agama menjadi sangat kuat dalam kehidupan manusia. Agama merupakan roh atau jiwa dari suatu budaya sehingga dapat hidup bertahan dalam prilaku hidup manusia. Upacara Ngerasakin adalah suatu kegiatan keagamaan yang dihasilkan dari daya budi manusia untuk mendapatkan ketenangan lahir dan batin manusia. Dengan demikian Upacara Rajaswala baik prosesnya maupun upakaranya adalah merupakan wahana dalam meningkatkan dan memelihara seni dan budaya sauatu daerah. Pelaksanaan keagamaan termasuk Upacar Ngerasakin tidak dapat dipisahkan dari seni dan budaya masyarakat, oleh karena itu prilaku keagamaan harus tetap memperhatikan seni dan budaya setempat dimana agama itu berkembang. Agama dan seni budaya bagaikan uang logam yang memilki dua sisi satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Agama tanpa seni dan budaya akan sulit berkembang, begitu juga budaya tanpa agama tidak berjiwa. Upakara (banten) yang dipergunakan dalam pelaksanaan Upacara Ngerasakin merupakan wujud budaya manusia yang sangat tinggi. Pembuatan banten atau upakara (sarana upakara), merupakan suatu hasil budaya dan seni yang sangat tinggi nilainya karena dalam proses pembuatannya dilakukan dengan kesadaran yang sangat tinggi yang lahir dari hati nurani yang dimotivassi atau digerakkan oleh sifat keagamaan yang tinggi dan suci. Di dalam pelaksanaanya pun diatur atau diikat oleh suatu tatakrama tertentu, memelihara nilai-nilai yang terdapat di dalam pelaksanaanya. Jadi dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa pelaksanaan Upacara Ngerasakin tidak saja sebagai bagian dari kegiatan keagamaan yang memiliki tujuan sebagai ungkapan rasa syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena karunia yang di berikan berupa hasil perkebunan maupun pertanian, tetapi juga merupakan bagian dari kegiatan seni dan budaya. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data di atas, maka dapat disimpulkan sesuai dengan rumusan permasalahan dari kajian bentuk, fungsi dan makna Upacara Ngerasakin di Desa Banyuatis sebagai berikut : 1. Bentuk Upacara Ngerasakin di Desa Banyuatis Dilihat dari struktur banten Upacara Ngerasakin mengikuti konsep Triangga yaitu bagian kepala atau hulu terdiri dari banten Canang Raka, banten Ajuman, dan banten Daksina. Sedangkan yang termasuk banten badan atau banten ayaban terdiri dari banten : banten Pengambean Pengulapa, banten Sorohan Alit, banten Guling (cacahan, tumpeng lima dan Guling Babi yang dihiasi dengan urutan dan hati) dan yang termasuk banten kaki adalah Segehan Panca Warna. Prosesi Upacara Ngerasakin di mulai Nguling (Babi Guling), pembuatan upakara/banten dan prasarana lainnya, memohon Tirtha Pengelukatan, Ngaturang Piuning, Ngadegang, Ngelinggihang atau menstanakan dan memberikan suguhan sesuai dengan tujuan upacara ngerasakin di tandai dengan murak atau motong kepala guling, dan ngemantukang atau mengembalikan kembali keasalnya dan yang terakhir Ngeluarang memakai Segehan Panca Warna. Mantra atau Saa yang digunakan dalam upacara ngerasakin terdiri dari mantram atau Sesontengan Nguripang Lis, Nirtain Lis, Ngemargiang Lis, Pengastawa ke Sanggar Surya, Ke Pertiwi, Sesontengan pemujaan ke Jero Sedahan, dan Sesontengan mempersembahkan Segehan. Tempat dan waktu pelaksanaan Upacara Ngerasakin di Abian atau kebun yang disebut dengan Jero Sedahan Abian dan di carik atau sawah yang di sebut dengan Jero Sedahan Carik. Waktu pelaksanaan upacara dalam tri waranya menghindari beteng di Desa Banyuatis dilaksanakan 3 hari menjelang hari Raya Galungan 2. Fungsi Upacara Ngerasakin di Desa Banyuatis Fungsi Pelayanan Kepada Tuhan, Upacara Ngerasakin berfungsi sebagai bentuk pelayanan kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dapat dilihat dari proses pembuatan banten dan menyiapkan sarana dan prasarana yang di gunakan dalam upacara. Sebenarnya apa yang kita lakukan merupakan perintah Tuhan melalui kitab suci Weda begitu juga dalam melaksanakan Upacara Ngerasakin. Fungsi Sosial Ekonomi, untuk menciptakan keseimbangan ekonomi, ini dapat dilihat dari besar kecilnya tingkatan upacara (nista, madya dan utama) yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Desa Banyuatis dapat dilihat dari bentuk upakara (banten) yang dipersiapkan. Semakin besar Babi Guling yang digunakan dalam Upacara Ngerasakin semakin besar biaya yang diperlukan atau dikeluarkan dalam mempersiapkan pelaksanaanya, sehingga semakin besar peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh para pedagang, peternak babi untuk mendapatkan rejeki dalam proses upacara yang dilakukan Fungsi Budaya dan Seni, banten yang digunakan dalam Upacara Ngerasakin memberika nilai estetis kepada seseorang yang membuatnya. Pembuatan banten oleh seseorang bukan saja termotivasi oleh pelaksanaan dari pada upacara Yadnya semata akan tetapi digerakkan oleh nilai estetis yang ada dalam diri seseorang Fungsi Edukatif, sebagai sistem pembelajaran yang alami non formal guna memberikan nilai tambah bagi generasi penerus. Seperti halnya dalam pembuatan banten yang jarang dipraktekan dalam sehari-hari tentunya peranan tuntunan pinandita atau serati banten yang tidak bisa diabaikan. 3. Makna Upacara Ngerasakin di Desa Banyuatis Makna Religius, untuk menyerap nilai etis dan religius yang disimbolkan berbagai jenis banten yang digunakan dalam upacara ngerasakin seperti halnya penggunaan banten Daksina yang merupakan simbul Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Banten tataban merupakan simbol persembahan kepada Jero Sedahan Abian dan segehan Panca Warna merupakan persembahan kepada Bhuta Kala. Makna Ungkapan Rasa Syukur, pelaksanaan Upacara Ngerasakin mengandung nilai ungkapan rasa syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan manifestasi Jero Sedahan Abian atau Jero Sedahan Sawah, karena apa yang diterima selama ini merupakan pemberian Tuhan. Makna Sosial Kemasyarakatan, Upacara Ngerasakin disamping sebagai kegiatan keagamaan yang megandung nilai spiritual, juga merupakan kegian yang megandung aspek sosial, karena dalam proses pelaksanaan upacaranya dari muali mempersiapkan puncak acaranya sampai akhir acara selalu melibatkan orang lain baik secara individu (perseorangan) atau secara kelompok. Pelaksanaan Upacara Ngerasakin dapat dijadikan tempat untuk berinteraksi antar sesama umat. Dengan semakin seringnya melaksannakan kegiatan Yadnya atau upacara, maka semakin sering pula terjadi interaksi antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian akan terjadi jalinan yang kuat dan harmonis antara sesama manusia, sehingga dapat tercipta atau terjalin kerukunan hidup antara umat Makna Budaya dan Seni, Pelaksanaan Upacara Ngerasakin, dilihat dari tindakan atau prilakunya sebagai suatu tradisi budaya yang memiliki nilai budaya sangat tinggi, karena dihasilkan dari sebuah pemikiran yang halus dan temotivasi oleh nilai-nilai agama. Dilihat dari upakaara (banten) yang digunakan, merupakan suatu hasil budaya yang bersipat relegius dan mengandung nilai seni atau estetika yang sangat tinggi. SARAN 1) Pelaksanaan Upacara Ngerasakin perlu disebar luaskan kepada semua masyarakat di Desa Banyuatis khususnya yang belum mengerti mengenai, bentuk, fungsi maupun makna Upacara Ngerasakin sehingga dikemudian hari tidak ada masyarakat yang tidak melaksanakan. 2) Perlu perhatian tokoh-tokoh agama dalam mengkampayekan Upacara Ngerasakin tehadap umat yang tidak mengerti makna yang terkandung dalam Pelaksanaan Upacara Ngerasakin melalui media dharmawacana dan dharmatula disetiap-tiap Pura atau disetiap Dusun yang ada sehingga tidak ada lagi pelaksanaan upacara yang mengandung konsep anak mule keto. 3) Perlu adanya sosialisasi bahwa pelaksanaan Upacara Ngerasakin merupakan bentuk ucapan rasa syukur kita kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Jero Sedahan Abian yang telah menjaga abian atau kebun dari gangguan pihak luar. 4) Sangat di perlukan lagi para generasi penurus khususnya generasi muda untuk menggali lagi nilai-nilai yang terdapat dalam upacara agama. DAFTAR PUSTAKA Adnyana I Nyoman Minder. 2012. Arti dan Fungsi Banten Sebagai Sarana Persembahyangan. Denpasar : Pustaka Bali Post Ali Sayuti. 2002. Metodelogi Penelitian Agama Pendekatan Teori & Praktek. Jakarta : Raja Grafindo Persada Ananda I Nyoman. 2004. Wraspatitattwa, Kajian Bentuk Fungsi dan Makna, Tesis Magister Brahma Widya, Program Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Bagus Lorens. 2005. Kamus Filsafat. (Cetakan Keempat). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Bandana I Gde Wayan Soken, Dkk. 2012. Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali dalam Wacana Seremonial Kematian. Denpasar : Cakra Press. Bogdan & Taylor. 1992. Metode Penelitian Kualitatif Suatu Pendekatan Fenomenologis Terhadap Ilmu-Ilmu Sosial. Surabaya : Usaha Nasional. Bugin Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta : Raja Grafindo Persada Bugin Burhan. 2001. Metodelogi Penelitian Sosial. Surabaya : Airlangga University Press Campbell Tom. 2001. Tujuh Teori Sosial. Yogyakarta : Kanisius Coulson J. 1978. Oxford Illustrated Dictiona. Oxford : Oxford University Press Djaja Sudarman. 1999. Semantik Dua Pemahaman Ilmu Makna. Bandung : Rafika Aditama Endraswara Suardi, 2003. Metodelogi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta : Gajah MadaUniversitas Press Gie The Liang. 1996. Garis Besar Esatetika (Filsafat Keindahan) Yogyakarta : Karya Gulo W. 2002. Metodelogi Penelitian, Cetakan Ketiga). Jakarta : PT GramediaWidiasarana Indonesia Hadi Sutrisno. 2000. Metodelogi Researc. Yogyakarta : Andi Iqbal Hasan. 2002. Pokok-Pokok Penelitian dan Aplikasinya. Indonesia : Ghalia Kartono. 1986. Metodelogi Penelitian. Yogyakarta. Universitas Gajah Mada Kleden Ignas. 1996. Pergeseran Nilai Moral Perkembangan Seni dan Perubahan Nilai Moral Dalam Kalam, No VIII. Jakarta : Pustaka Grafindo Koenjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi, Jakarta : Universitas Indonesia Koenjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi. Jakarta : PT Bineka Cipta Liputo Yuliani. 1995, Kamus Filsafat. Bandung : Remaja Rosdakarya Mikkelsen Britha. 1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Moleong Lexy J. 2001. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosda Karya Piliang Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotik Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta : Jalasutra. Polama Margaret. 2003. Sosiologi Konteporer. Jakarta : Raja Grafindo Persada Purwita Ida Bagus Putu. 1984. Desa Adat dan Banjar di Bali. Denpasar : Kawi Sastra Raho Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prestasi Pustakarya Ritiaksa I Wayan. 2012. Upacara Nyentuk. Surabaya : Paramita Strauss & Corbin. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Suprayogo. 2001. Metodelogi Penelitian Sosial-Agama. Bandung : PT Rosdakarya Suarjaya I Wayan. 2010. Analisis Upacara Wana Kertih di Pura Batu Karu Desa Wongaya Gede. Surabaya : Paramita Titib I Made. 2009. Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita _________. 2003. Veda Sabda Suci (Pedoman Praktis Kehidupan). Surabaya : Paramita Triguna Yudha Ida Bagus Gde. 2000. Teori Tentang Simbol. Denpasar : Widya Dharma Universitas Hindu Indonesia Udayana I Dewa Gede Alit. 2009. Tumpek Wariga Kearifan Lokal Bali Untuk Pelestarian Sumber Daya Tumbuh-Tumbuhan. Surabaya : Paramita Wiana I Ketut. 2009. Suksmaning Banten. Surabaya : Paramita ___________. 2007. Tri Hita Karana Menurut KonsepHindu. Surabaya : Paramita