10 BAB II TINJAUAN DAN LANDASAN TEORI II. 1. Tinjauan Umum

advertisement
BAB II
TINJAUAN DAN LANDASAN TEORI
II. 1. Tinjauan Umum
II. 1. 1. Tinjauan Terhadap Gereja Kristen Protestan Oikumene
Menurut Danang Priatmojo, kata gereja berasal dari bahasa
Portugis “igreja” yang diambil dari bahasa latin “ekklesia” yang berarti
kumpulan. Selanjutnya gereja memiliki 2 arti, yaitu :
1. Perkumpulan semua orang yang dipanggil untuk percaya lepada
Tuhan Yesus Kristus.
2. Bangunan Ibadah atau wadah untuk menerima sakramen bagi Orang
Kristen.
Menurut Wikipedia (19 September 2007, 21.00), kata gereja
dalam Bahasa Indonesia memiliki beberapa arti:
1. Arti pertama ialah “umat” atau lebih tepat persekutuan orang Kristen.
Arti ini diterima sebagai arti pertama bagi orang Kristen. Jadi, gereja
pertama-tama bukan sebuah gedung.
2. Arti kedua adalah sebuah perhimpunan atau pertemuan ibadah umat
Kristen. Bisa bertempat di rumah kediaman, lapangan, ruangan di
hotel, atau pun tempat rekreasi. Jadi, tidak melulu mesti di sebuah
gedung khusus ibadah.
10
3. Arti ketiga ialah mazhab (aliran) atau denominasi dalam agama
Kristen. Misalkan Gereja Katolik, Gereja Protestan, dll.
4. Arti keempat ialah lembaga (administratif) daripada sebuah mazhab
Kristen.
5. Arti terakhir dan juga arti umum adalah sebuah “rumah ibadah” umat
Kristen, di mana umat bisa berdoa atau bersembahyang.
Menurut Poerwadarminta, gereja adalah gedung tempat berdoa
dan melakukan upacara agama Kristen. Menurut Dictionary of
Architecture, gereja merupakan wujud fisik bangunan peribadatan dan
tempat orang Kristen melakukan ritualnya.
Kristen sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
nama agama yang disampaikan oleh Kristus (nabi Isa). Kata Kristen, atau
Christian dalam bahasa Inggris awalnya diberikan oleh para penghujat
yang memusuhi para pengikut Yesus sebagai hinaan untuk menunjuk
orang-orang buronan. Kata ini menjadi resmi pada abad ke IV setelah
Kristen menjadi agama Negara Romawi pada saat itu.
Kata Protestan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003)
berarti penganut Protestantisme dimana arti Protestantisme itu sendiri
adalah aliran dalam agama Kristen yang terpisah dari Gereja Katolik
Roma pada zaman reformasi (abad ke 16), yang dipelopori oleh Martin
Luther.
11
Kata Protestan menurut Wikipedia (19 September 2007, 21.00),
diartikan sebagai sebuah Mazhab dalam agama Kristen. Mazhab atau
denominasi ini muncul setelah protes Martin Luther pada tahun 1517.
Martin Luther sendiri sebelumnya adalah seorang Pastur Jerman dan ahli
teologia Kristen. Dia menjadi tokoh pendiri gereja-gereja Protestan dan
juga tokoh besar dalam reformasi Kristen.
Kata Oikumene atau Ekumenis diartikan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2003) sebagai sesuatu yang bersifat mewakili seluruh dunia
Kristen. Menurut Wikipedia (19 September 2007, 21.00), kata
ekumenisme (kadang-kadang dieja oikoumenisme, oikumenisme) berasal
dari bahasa Yunani oikos (rumah) dan menein (tinggal), sehingga
oikoumene berarti “dunia yang ditinggali” atau “didiami”. Dalam
pengertiannya yang paling luas ekumenisme berarti inisiatif keagamaan
menuju keesaan di seluruh dunia. Tujuan yang lebih terbatas dari
ekumenisme adalah peningkatan kerja sama dan saling pemahaman yang
lebih baik antara kelompok-kelompok agama atau denominasi di dalam
agama yang sama.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Gereja
Kristen Protestan Oikumene berarti bangunan ibadah bagi para
pengikut Kristus beraliran Protestan yang terpisah dari otoritas
gereja Katolik setelah reformasi gereja yang dipelopori oleh Martin
12
Luther yang bersifat mewakili seluruh denominasi dalam tubuh
Protestantisme itu sendiri.
II. 1. 2. Inti Ajaran Kristen
Agama Kristen pada dasarnya adalah suatu agama sejarah.
Artinya, landasan utama berdirinya agama ini bukanlah terletak pada asasasas yang bersifat umum, tetapi didasarkan pada kejadian-kejadian nyata,
yaitu pada peristiwa-peristiwa yang sesunguhnya terjadi dalam sejarah.
Kristen diajarkan Yesus Kristus di Palestina pada awal masehi.
Penganut agama Kristen percaya bahwa Allah mengutus putera-Nya yang
tunggal, Yesus Kristus Turín ke dunia untuk menyelamatkan manusia.
Inti pengajaran agama Kristen didasari oleh kasih. Kasih
seharusnya
mendasari
setiap
tindakan
manusia
Kristen.
Dalam
kehidupannya, orang Kristen seharusnya dapat menunjukan jati diri
mereka sebagai umat Kristen yang saling mengasihi dan melakukan
perintah-perintah Tuhan yang diajarkan dan diteladani dari Yesus Kristus
sendiri. Kasih pula yang mendasari pengorbanan Yesus di kayu saib,
mulai dari penderitaan, kematian, hingga pada kebangkitan-Nya untuk
menyelamatkan umat manusia yang percaya kepada-Nya. Karena kasihNya, maka manusia Kristen harus mempunyai visi dan misi yang jelas
untuk mewartakan kasih-Nya tersebut kepada seluruh dunia.
13
Dalam perkembangannya kemudian, agama Kristen terbagi
menjadi 3 aliran utama, yaitu:
1. Gereja Katolik Roma yang berpusat di Vatikan Roma dan dari sana
menyebar ke seluruh dunia, menjadi aliran yang paling menonjol
secara keseluruhan, melewati Eropa Tengah, dan Selatan, Irlandia, dan
Amerika Selatan.
2. Gereja Kristen Ortodoks Timur yang mempunyai pengaruh besar di
Yunani, negara-negara berbahasa Slavia dan Uni Soviet.
3. Gereja Kristen Protestan yang menguasai Eropa, Inggris, Skotlandia
dan Amerika Utara.
II. 1. 3. Sejarah Perkembangan Arsitektur Gereja
a. Masa Pengejaran (abad 1 sampai abad 4)
Ajaran Kristen yang dilahirkan di tengah-tengah bangsa
Yahudi ternyata tidak dapat diterima oleh bangsa tersebut. Maka para
rasul bergerak meninggalkan Yerusalem dan menyebar untuk
mewartakan injil ke segala penjuru. Petrus pergi ke Roma dan
menemukan
banyak
pengikut.
akan
tetapi
Kaisar
Roma
memerintahkan pengejaran terhadap mereka, sehingga banyak di
antaranya yang gugur sebagai martir.
Pada masa ini kebaktian dan ekaristi mereka lakukan di
rumah-rumah penduduk dan di katakombe, yaitu pemakaman di
14
bawah tanah. Pengaruh arsitektur rumah tingal Romawi akan terasa
pada bangunan-bangunan gereja sesudahnya, dengan adanya atrium,
yaitu semacam inner court dengan bak permandian di tengahnya.
Katakombe bagi orang Kristen sangat bersejarah, sebab para
martir mereka dimakamkan di situ. Penggunaan katakombe sebagai
tempat kebaktian masih dipertentangkan, tapi dari peninggalan serta
pengaruh yang masih terasa, menunjukan bahwa orang Kristen pernah
melakukan ibadah di katakombe.
Gambar 2.1.3.1
b. Arsitektur Kristen Awal (awal abad 4 sampai akhir abad 5)
Pada tahun 313 Kaisar Konstantin mengumumkan deklarasi
Milan, yang berisi pengakuan terhadap agama Kristen. Sejak saat itu
15
agama Kristen dijadikan sebagai agama resmi Negara, dan dibuatkan
gedung-gedung untuk beribadah.
Bangunan gereja pada waktu itu mengambil bentuk basilica,
yaitu gedung pertemuan dan gedung pengadilan Romawi. Beberapa
perubahan
dilakukan
untuk
menyesuaikan
dengan
kegiatan
peribadatan mereka, misalnya pengurangan apsis dan pemindahan
pintu masuk utama, kemudian juga ditambahkan atrium dan bak
permandian yang merupakan pengaruh arsitektur rumah tinggal
Romawi.
Contoh bangunan gereja pada masa Kristen awal adalah
Basilika Santo Petrus di Roma, yang merupakan modifikasi atas
Basilika Romawi.
Arsitektur Kristen awal mengalami kemunduran sejak
kekaisaran Romawi terpecah menjadi Romawi Barat dan Romawi
Timur pada akhir abad 4. Pada tahun 476, Romawi Barat jatuh oleh
serbuan bangsa Barbar. Sejak itu sampai 4 abad sesudahnya, Romawi
Barat mengalami zaman kegelapan (dark ages), dan perkembangan
peradaban termasuk arsitektur beralih ke wilayah Romawi Timur yang
berpusat di Konstantinopel.
c. Arsitektur Byzantium (abad 4 sampai abad 15)
Pada
masa
pemerintahannya,
Konstantin
memindahkan
ibukota kekaisaran ke Byzantium, sebuah kota di wilayah Romawi
16
Timur. Ibukota baru ini kemudian dinamakan Konstantinopel
(sekarang Istambul).
Di wilayah Romawi Timur ini kemudian dibangun gerejagereja dengan cirri khas : denah memusat, dan atap kubah. Ketika
Romawi Barat mengalami abad gelap, sebaliknya Romawi Timur
justru sedang dalam masa kejayaan.
Puncak keberhasilan arsitektur Byzantium terjadi dengan
dibangunnya Hagia Sophia di Konstantinopel pada tahun 532-537.
bangunan ini masih berdiri megah hingga saat ini.
Gambar 2.1.3.2
Sampai
berabad-abad
kemudian,
arsitektur
Byzantium
berkembang dan membawa pengaruhnya ke bagian dunia lain.
Pengaruh ini sampai juga ke Rusia, dengan dibangunnya beberapa
gereja bergaya Byzantium di Moskwa.
17
Pada tahun 1453, Turki merebut Konstantinopel. Kejayaan
Romawi Timur telah berakhir, dan berakhir pula dominasi arsitektur
Byzantium selama lebih dari 10 abad telah memberikan sumbangan
terhadap arsitektur di Eropa dan Asia.
d. Arsitektur Romanesk (abad 8 sampai abad 12)
Setelah mengalami zaman kegelapan selama beberapa ratus
tahun, maka pada sekitar abad pertengahan arsitektur Romawi
muncul lagi dan berkembang dengan corak baru, yang disebut gaya
romanesk.
Ciri
khas
arsitektur
Romanesk
adalah
penggunaan
busur/lengkung sebagai penghubung kolom-kolom yang berjajar
rapat. Pada masa ini diperkenalkan pula skala shock pada bangunan
gereja, yaitu ketinggian ruangan yang menyolok dibandingkan
dengan lebarnya, serta dibandingkan dengan ukuran tinggi
manusia.bentuk denah salib untuk bangunan gereja juga dimulai oleh
arsitektur Romanesk.
Arsitektur Romanesk yang berpengaruh pada beberapa
negara di Eropa Barat disebut juga arsitektur pra-Gotik, karena
merupakan peralihan atau perantara kea rah perkembangan arsitektur
Gotik, yang kelak akan menjadi puncak arsitektur Gereja.
Salah satu peninggalan arsitektur Romanesk yang tidak
mudah dilupakan adalah Katedral Pisa di kota Tuscany, Italia, yang
dibangun pada tahun 1063-1118. bangunan ini sangat terkenal,
18
karena sesaat setelah berdiri, terjadi penurunan tanah yang
mengakibatkan menaranya miring sampai sekarang.
e. Arsitektur Gotik (abad 12 sampai 16)
Gaya Gotik mulai berkembang di perancis, merupakan
kelanjutan gaya Romanesk dengan mengubah busur melengkung
menjadi busur meruncing. Kalau gaya Romanesk yang berkesan
kokoh disebut “benteng Allah”, maka gaya Gotik yang ringan,
runcing, tinggi, dan cantik disebut “istana surga”.
Pengaruh Gotik ini kemudian melanda negara-negara Eropa
lain seperti Spanyol, Inggris Jerman, dan Italia Utara. Kemudian
selama 400 tahun, gaya Gotik berkembang sebagai puncak
keberhasilan kesenian arsitektur gereja. Hal ini dimungkinkan karena
pada saat itu gereja sedang mendapat tempat terbaik di hati rakyat,
sehingga seluruh pekerjaan kesenian, yaitu seni pahat, lukis,
arsitektur, semata-mata dipusatkan untuk membangun rumah Allah.
Arsitektur Gotik juga menjadi saksi atas persatuan umat,
sebab gereja-gereja Gotik dibangun atas hasil kerjasama seluruh
lapisan masyarakat. Kerjasama ini berbentuk sumbangan sukarela
berupa uang, benda, dan tenaga kerja dari penduduk kota dan desa.
Ketika terjadi krisis kewibawaan gereja pada abad 15,
perkembangan arsitektur Gotik mulai memudar. Paham humanisme
yang melanda Eropa melahirkan Renaisans, yang membawa arah
baru, yang lebih bersifat duniawi.
19
f. Arsitektur Renaisans (abad 15 sampai abad 19)
Gambar 2.1.3.3
Lahirnya Renaisans pada abad 15 merupakan babak baru bagi
arsitektur Eropa. Khususnya arsitektur gereja. kesenian telah
memisahkan diri dari gereja, dan menempuh jalannya sendiri
berdasarkan paham humanisme. Dengan demikian tidak tampak
perkembangan arsitektur gereja, sebab perhatian arsitektur sudah
beralih ke bidang lain seperti gedung kesenian, istana bangsawan,
monumen, dan sebagainya.
Bangunan gereja yang paling menonjol pada zaman ini
adalah Gereja santo Petrus di Roma, Italia. Gereja raksasa ini
dibangun pada tahun 1506-1626, sebagai hasil merombak Basilika
santo Petrus, yang telah ada sejak tahun 330. pembangunan gereja
tersebut dilakukan dalam beberapa tahap yang memakan waktu lebih
dari seabad, dan melibatkan beberapa arsitek besar, yaitu Bramante,
Michelangelo Buonarroti dan Bernini.
20
Gereja santo Petrus yang saat ini menjadi kediaman Paus,
yang merupakan pusat “pemerintahan” untuk umat Katolik di
seluruh dunia, yang disebut negara Vatikan.
Akhir arsitektur Renaisans ditandai oleh gaya Barok dan
Rokoko, dengan cirri khas berupa ornamen/ukiran yang rumit dan
memnuhi semua bidang yang ada.
g. Arsitektur Eklektik
Setelah jenuh oleh gaya Barok dan Rokoko, yang ruwet,
maka muncul kecenderungan baru dalam dunia arsitektur yang
disebut arsitektur Eklektik
Aliran
Eklektik
ini
merupakan
pengulangan
dan
penyempurnaan berbagai gaya yang telah ada sebelumnya, yaitu
gaya Renaisans, Gotik, Romanesk, dan seterusnya.
Demikian juga gereja-gereja yang dibangun pada abad 19,
banyak yang menganut aliran Eklektik dengan segala variasinya.
Aliran ini antara lain melahirkan gaya Neo-Gotik yang sempat
menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, pada sekitar
pergantian abad 19 ke 20.
Arsitektur Eklektik tidak bisa bertahan lama, sebab segera
terdesak oleh kemajuan teknologi, yang akhirnya melahirkan aliran
modern. Tidak terkecuali arsitektur gereja, bersamaan dengan
timbulnya gerakan pembaruan gereja, ikut terdorong membangun
gereja-gereja baru yang mengikuti gaya arsitektur modern.
21
h. Arsitektur Modern (abad 20)
Abad 20 adalah abad yang membawa pembaruan di segala
bidang. Revolusi Industri telah menampakan buah, dengan dibuatnya
berbagai mesin yang dapat menghasilkan berbagai macam barang.
Dalam bidang bangunan, telah ditemukan beraneka jenis
bahan serta system konstruksi baru, yang memungkinkan manusia
membangun berbagai ragam bangunan sesuai dengan yang
dikehendaki.
Maka lahirlah arsitektur modern, yang dilandasi oleh
pemikiran modern dan ditunjang oleh kemamuan teknologi modern
pula. Hasilnya berupa bangunan-bangunan dengan konsep ruang,
bahan, struktur, dan system konstruksi yang serba baru.
Secara kebetulan pada awal abad 20, gereja mulai
menghembuskan semangat pembaruan, sehingga lahirnya aliran baru
dalam bidang arsitektur segera pula dapat diterima gereja. maka
tidaklah mengherankan apabila banyak gereja baru yang dibangun
pada abad 20 ini mempunyai gaya yang sama sekali berbeda dengan
gaya-gaya yang ada sebelumnya.
22
i. Perkembangan Arsitektur Gereja di Indonesia
Gereja yang mula-mula dibangun di Indonesia menggunakan
gaya Eklektik, sesuai dengan langgam yang sedang digemari di
Eropa pada saat yang sama. Namun demikian, pada daerah-daerah
terpencil, pada misionaris justru berusaha mengadaptasi unsureunsur tradisional setempat, sehingga lahirlah bangunan-bangunan
gereja yang menggunakan bentuk arsitektur tradisional.
Gereja di kota-kota besar kebanyakan adalah gereja-gereja
yang dibangun orang-orang Kristen berkebangsaan Eropa yang pada
waktu itu banyak tingal di ibukota propinsi dan kota-kota besar
lainnya, terutama di Jawa.
Gambar 2.1.3.4
Sekarang ini masih dapat kita saksikan berupa katedralkatedral yang terdapat di Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya, dan
lain-lain, yang dibangun antara tahun 1900-1930. kebanyakan
katedral (gereja) tersebut menggunakan gaya Neo-Gotik atau cabang
gaya Eklektik lainnya yang sedang melanda Eropa papa waktu itu.
23
Gambar 2.1.3.5
Gereja di daerah kebanyakan adalah gereja-gereja yang
dibangun di pelosok-pelosok, di tengah jamaah pribumi yang telah
berhasil dipermandikan oleh para misionaris pada awal abad 20.
Gereja-gereja ini kebanyakan menggunakan arsitektur tradisional
setempat.
Sampai sekarang jenis gereja seperti ini banyak di jumpai di
wilayah-wilayah gereja di Indonesia Timur atau di pelosok-pelosok
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Gereja-gereja baru yang dibangun saat ini mempunyai
perbedaan yang cukup mencolok dibandingkan dengan gereja-gereja
yang telah ada sebelumnya. Selain menggunakan bahan bangunan
dan sistem struktur modern, juga dilakukan penyederhanaan tata
ruang sesuai dengan semangat pembaruan gereja. Gereja baru seperti
ini jumlahnya belum begitu banyak, hanya terdapat di kota-kota
besar, yang dibangun pada tahun 70-an.
24
II. 2. Tinjauan Khusus
II. 2. 1. Tinjauan Khusus Terhadap Topik dan Tema
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Arsitektur adalah
metode dan gaya rancangan sebuah konstruksi bangunan, dan Tropis
adalah daerah sekitar khatulistiwa. Jadi Arsutektur Tropis diartikan
sebagai metode dan gaya rancangan sebuah konstruksi bangunan di
wilayah sekitar khatulistiwa.
Dalam bukunya Arsitektur Kota Tropis Dunia Ketiga, Tri Harso
Karyono (2005) memaparkan kembali mengenai definisi arsitektur tropis.
Dalam uraian yang dipaparkannya, ia menjelaskan asal-muasal timbulnya
wacana arsitektur tropis. Menurutnya, salah satu alasan mengapa manusia
membuat bangunan adalah karena kondisi alam iklim tempat manusia
berada tidak selalu baik menunjang aktivitas yang dilakukannya. Aktivitas
manusia yang bervariasi memerlukan kondisi iklim sekitar tertentu yang
bervariasi pula. Untuk melangsungkan aktivitas kantor, misalnya,
diperlukan ruang dengan kondisi visual yang baik dengan intensitas
cahaya yang cukup; kondisi termis yang mendukung dengan suhu udara
pada rentang-nyaman tertentu; dan kondisi audial dengan intensitas
gangguan bunyi rendah yang tidak mengganggu pengguna bangunan.
Karena cukup banyak aktivitas manusia yang tidak dapat
diselenggarakan akibat ketidaksesuaian kondisi iklim luar, manusia
membuat bangunan. Dengan bangunan, diharapkan iklim luar yang tidak
25
menunjang aktivitas manusia dapat dimodifikasidiubah menjadi iklim
dalam (bangunan) yang lebih sesuai.
Usaha manusia untuk mengubah kondisi iklim luar yang tidak
sesuai menjadi iklim dalam (bangunan) yang sesuai seringkali tidak
seluruhnya tercapai. Dalam banyak kasus, manusia di daerah tropis
seringkali gagal menciptakan kondisi termis yang nyaman di dalam
bangunan. Ketika berada di dalam bangunan, pengguna bangunan justru
seringkali merasakan udara ruang yang panas, sehingga kerap mereka
lebih memilih berada di luar bangunan.
Pada saat arsitek melakukan tindakan untuk menanggulangi
persoalan iklim dalam bangunan yang dirancangnya, ia secara benar
mengartikan bahwa bangunan adalah alat untuk memodifikasi iklim.
Iklim luar yang tidak sesuai dengan tuntutan penyelenggaraan aktivitas
manusia dicoba untuk diubah menjadi iklim dalam (bangunan) yang
sesuai. Para arsitek yang kebetulan hidup, belajar dan berprofesi di negara
beriklim sub-tropis, secara sadar atau tidakatau karena aturan membangun
setempatkerap melakukan tindakan yang benar. Karya arsitektur yang
mereka rancang selalu didasari pertimbangan untuk memecahkan
permasalahan iklim setempat yang bersuhu rendah. Bangunan dibuat
dengan dinding rangkap yang tebal, dengan penambahan bahan isolasi
panas di antara kedua lapisan dinding sehingga panas di dalam bangunan
tidak mudah dirambatkan ke udara luar.
26
Meskipun mereka melakukan tindakan perancangan guna
mengatasi iklim sub-tropis setempat, karya mereka tidak pernah disebut
sebagai karya arsitektur sub-tropis, melainkan sebagai arsitektur
Victorian, Georgian dan Tudor; sementara sebagian karya yang lain
diklasifikasikan
sebagai arsitektur
modern (modern architecture),
arsitektur pasca-modern (post-modern architecture), arsitektur modern
baru (new modern architecture), arsitektur teknologi tinggi (high-tech
architecture), dan arsitektur dekonstruksi (deconstruction architecture).
Di sini terlihat bahwa arsitektur yang dirancang guna mengatasi
masalah iklim setempat tidak selalu diberi sebutan arsitektur iklim
tersebut, karena pemecahan problematik iklim merupakan suatu tuntutan
mendasar yang “wajib” dipenuhi oleh suatu karya arsitektur di manapun
dia dibangun. Sebutan tertentu pada suatu karya arsitektur hanya
diberikan terhadap ciri tertentu karya tersebut yang kehadirannya 'tidak
wajib', serta yang kemudian memberi warna atau corak pada arsitektur
tersebut. Sebut saja arsitektur yang “bersih” tanpa embel-embel dekorasi,
yang bentuknya tercipta akibat fungsi (form follows function) disebut
arsitektur modern. Arsitektur dengan penyelesaian estetika tertentuyang
antara lain menyangkut bentuk, ritme dan aksentuasidiklasifikasikan
(terutama oleh Charles Jencks) ke dalam berbagai nama, seperti halnya
arsitektur pasca-modern, modern baru dan dekonstruksi. Semua karya
arsitektur tersebut tidak pernah diberi julukan 'arsitektur sub-tropis'
27
meskipun karya tersebut dirancang di daerah iklim sub-tropis guna
mengantisipasi masalah iklim tersebut.
Kemudian mengapa muncul sebutan arsitektur tropis? Seolaholah jenis arsitektur ini sepadan dengan julukan bagi arsitektur modern,
modern baru dan dekonstruksi. Jenis yang disebut belakangan lebih
mengarah pada pemecahan estetika seperti bentuk, ritme dan hirarki
ruang. Sementara arsitektur tropis, sebagaimana arsitektur sub-tropis,
adalah karya arsitektur yang mencoba memecahkan problematik iklim
setempat.
Bagaimana problematik iklim tropis tersebut dipecahkan secara
desain atau rancangan arsitektur? Jawabannya dapat seribu satu macam.
Seperti halnya yang terjadi pada arsitektur sub-tropis, arsitek dapat
menjawab dengan warna pasca-modern, dekonstruksi ataupun High-Tech,
sehingga pemahaman tentang arsitektur tropis yang selalu beratap lebar
ataupun berteras menjadi tidak mutlak lagi. Yang penting apakah
rancangan tersebut sanggup mengatasi problematik iklim tropishujan
deras, terik radiasi matahari, suhu udara yang relatif tinggi, kelembapan
yang tinggi (untuk tropis basah) ataupun kecepatan angin yang relatif
rendahsehingga manusia yang semula tidak nyaman berada di alam
terbuka, menjadi nyaman ketika berada di dalam bangunan tropis itu.
Bangunan dengan atap lebar mungkin hanya mampu mencegah air hujan
untuk tidak masuk bangunan, namun belum tentu mampu menurunkan
28
suhu udara yang tinggi dalam bangunan tanpa disertai pemecahan
rancangan lain yang tepat.
Dengan
pemahaman
semacam
ini,
kemungkinan
bentuk
arsitektur tropis, sebagaimana arsitektur sub-tropis, menjadi sangat
terbuka. Ia dapat bercorak atau berwarna apa saja sepanjang bangunan
tersebut dapat mengubah kondisi iklim luar yang tidak nyaman, menjadi
kondisi yang nyaman bagi manusia yang berada di dalam bangunan itu.
Dengan pemahaman semacam ini pula, kriteria arsitektur tropis tidak
perlu lagi hanya dilihat dari sekedar “bentuk” atau estetika bangunan
beserta elemen-elemennya, namun lebih kepada kualitas fisik ruang yang
ada di dalamnya: suhu ruang rendah, kelembapan relatif tidak terlalu
tinggi, pencahayaan alam cukup, pergerakan udara (angin) memadai,
terhindar dari hujan, dan terhindar dari terik matahari. Penilaian terhadap
baik atau buruknya sebuah karya arsitektur tropis harus diukur secara
kuantitatif menurut kriteria-kriteria fluktuasi suhu ruang (dalam unit
derajat Celcius); fluktuasi kelembapan (dalam unit persen); intensitas
cahaya (dalam unit lux); aliran atau kecepatan udara (dalam unit meter per
detik); adakah air hujan masuk bangunan; serta adakah terik matahari
mengganggu penghuni dalam bangunan. Dalam bangunan yang dirancang
menurut kriteria seperti ini, pengguna bangunan dapat merasakan kondisi
yang lebih nyaman dibanding ketika mereka berada di alam luar.
Penulis menganggap bahwa definisi atau pemahaman tentang
arsitektur tropis di Indonesia hingga saat ini cenderung keliru. Arsitektur
29
tropis sering sekali dibicarakan, didiskusikan, diseminarkan dan
diperdebatkan oleh mereka yang memiliki keahlian dalam bidang sejarah
atau teori arsitektur. Arsitektur tropis seringkali dilihat dari konteks
“budaya”. Padahal kata “tropis” tidak ada kaitannya dengan budaya atau
kebudayaan, melainkan berkaitan dengan “iklim”. Pembahasan arsitektur
tropis harus didekati dari aspek iklim. Mereka yang mendalami persoalan
iklim dalam arsitekturpersoalan yang cenderung dipelajari oleh disiplin
ilmu sains bangunan (fisika bangunan) akan dapat memberikan jawaban
yang lebih tepat dan terukur secara kuantitatif. Mereka yang dianggap ahli
dalam bidang arsitektur tropis Koenigsberger, Givoni, Kukreja, Sodha,
Lippsmeier dan Nick Bakermemiliki spesialisasi keilmuan yang berkaitan
dengan sains bangunan, bukan ilmu sejarah atau teori arsitektur.
Kekeliruan pemahaman mengenai arsitektur tropis di Indonesia
nampaknya dapat dipahami, karena pengertian arsitektur tropis sering
dicampuradukkan dengan pengertian “arsitektur tradisional” di Indonesia,
yang memang secara menonjol selalu dipecahkan secara tropis. Pada
masyarakat tradisional, iklim sebagai bagian dari alam begitu dihormati
bahkan dikeramatkan, sehingga pertimbangan iklim amat menonjol pada
karya
arsitektur
tersebut.
Manusia
Indonesia
cenderung
akan
membayangkan bentuk-bentuk arsitektur tradisional Indonesia ketika
mendengar istilah arsitektur tropis. Dengan bayangan iniyang sebetulnya
tidak seluruhnya benarpembicaraan mengenai arsitektur tropis akan selalu
diawali. Dari sini pula pemahaman mengenai arsitektur tropis lalu
30
memiliki konteks dengan budaya, yakni kebudayaan tradisional
Indonesia. Hanya mereka yang mendalami ilmu sejarah dan teori
arsitektur yang mampu berbicara banyak mengenai budaya dalam
kaitannya dengan arsitektur, sementara arsitektur tropis (basah) tidak
hanya terdapat di Indonesia, akan tetapi di seluruh negara yang beriklim
tropis (basah) dengan budaya yang berbeda-beda, sehingga pendekatan
arsitektur tropis dari aspek budaya menjadi tidak relevan.
Dari uraian di atas, perlu ditekankan kembali bahwa pemecahan
rancangan arsitektur tropis (basah) pada akhirnya sangatlah terbuka.
Arsitektur tropis dapat berbentuk apa sajatidak harus serupa dengan
bentuk-bentuk arsitektur tradisional yang banyak dijumpai di wilayah
Indonesia, sepanjang rancangan bangunan tersebut mengarah pada
pemecahan persoalan yang ditimbulkan oleh iklim tropis seperti terik
matahari, suhu tinggi, hujan dan kelembaban tinggi.
Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwasanya Arsitektur tropis adalah rancangan arsitektur yang
dibuat untuk mengatasi problematika yang di timbulkan oleh iklim
tropis, suatu rancangan yang dibuat untuk memodifikasi iklim luar
yang berkarakter tropis basah (yang tidak di kehendaki) menjadi
iklim dalam bangunan yang dikehendaki.
Menurut Paul Gut dan Dieter Ackerknecht (2003), dalam
bukunya Climate Responsive Bulding, faktor-faktor utama yang
mempengaruhi kenyaman manusia adalah:
31
1. Temperatur udara
2. Curah hujan dan kelembaban
3. Radiasi sinar matahari
4. Pergerakan udara / angin
Adapun menurutnya, daerah yang termasuk beriklim tropis basah
adalah daerah yang terletak di sekitar garis khatulistiwa pada kisaran 150
lintang utara hingga 150 lintang selatan. Kota Jakarta sendiri, menurut
data Badan Pusat Statistik / BPS terletak pada posisi 6° lintang selatan
dan 106° bujur timur sehingga Jakarta termasuk dalam kawasan daeran
beriklim tropis basah.
Menurut Gut dan Ackerknecht (2003), temperature udara di
daerah tropis basah berubah dalam kisaran yang sangat sedikit dalam satu
tahun atau pun antara siang maupun malam. Pada siang hari suhunya
berkisar antara 30 °C hingga 32 °C dan pada malam hari antara 21 °C
hingga 27 °C. dalam data yang dipaparkan BPS, Keadaan iklim kota
Jakarta secara umum beriklim panas dengan suhu maksimum 30,8 °C
pada siang hari dan suhu minimum udara berkisar 26,1 °C pada malam
hari. Data dari BPS tersebut membuktikan bahwa benar kota Jakarta
termasuk dalam wilayah beriklim tropis basah.
Pada iklim tropis basah, menurut Gut dan Ackerknecht (2003)
kelembaban udara berkisar antara 55% hingga 100% disertai curah hujan
yang tinggi sepanjang tahun dan sering terjadi dalam bentuk hujan lokal
dengan angin kencang dan petir.
32
Langit di daerah beriklim tropis cenderung selalu berawan
sepanjang tahun biarpun di wilayah pantai seringkali langitnya cerah.
Dengan demikian, radiasi matahari terpancarkan terus menerus dan
sebagian lainnya tereduksi oleh asap. Jadi pada malam hari, panas
matahari yang terkumulasi tetap ada dan tidak begitu saja menghilang.
Kecepatan angin umumnya rendah terkecuali ketika hujan turun
dan ketika ada angin berhembus kencang ke salah satu arah. Dengan
demikian, di kawasan pantai, angin yang bertiup membawa panas dan
kelembaban tinggi. Di kawasan ini, badai seringkali terjadi.
Menurut Lippsmeier (1994), ciri-ciri daerah beriklim tropis
adalah :
1. Daerah hutan hujan di pantai dan di dataran rendah katulistiwa
2. Landsekap hijau, tanah biasanya merah atau coklat
3. Vegetasi lebat, dengan pohon-pohon tinggi, tanah sangat lembab,
muka air tanah tinggi.
4. Perbedaan musim kecil, bulan terpanas (panas dan lembab sampai
sampai basah), bulan terdingin, panas sedang dan lembab sampai
basah.
5. Berawan dan berkabut sepanjang tahun, terang, bila awan sedikit, dan
abu-abu suram bila awan tebal, lapisan awan 60 – 90 %
33
Adapun menurut Lippsmeier (1994), ciri-ciri iklim tropis basah
adalah :
1. Radiasi matahari relatif tinggi 1500-2500 kwh/m²/tahun. (Jakarta ±
1800 kwh/m²/tahun)
2. Curah hujan (dan tidak merata sepanjang tahun) Sekitar 2000-3000
mm/tahun, Jakarta ± 2000 mm/tahun atau ±160 mm/bulan
3. Suhu udara relatif tinggi 23º c-33º c dengan perbedaan suhu harian,
bulanan dan tahunan relatif kecil ≤ 10º c
4. Kelembaban udara tinggi (Jakarta 60-95%)
5. Kecepatan angin relatif rendah (Jakarta 5m/s)
Dalam bukunya, Bangunan Tropis, Georg Lippsmeier (1994)
juga memaparkan beberapa teknik yang dapat diaplikasikan dalam
membuat sebuah bangunan tropis, yaitu :
1. Sebaiknya fasade terbuka menghadap ke selatan atau utara, agar
meniadakan radiasi langsung dari cahaya matahari rendah dan
konsentrasi tertentu uang menimbulkan pertambahan panas
2. Di daerah iklim tropika basah diperlukan pelindung untuk semua
lobang bangunan terhadap cahaya langsung dan tidak langsung,
bahkan bila perlu untuk seluruh bidang bangunan, karena bila langit
tertutup awan, seluruh bidang langit merupakan sumber cahaya
3. Dinding-dinding luar sebah bangunan terbuka untuk sirkulasi udara
lebih besar daripada yang dibutuhkan untuk pencahayaan
34
4. Mempunyai sudut-sudut kemiringan, sudut-sudut ini akan membantu
dalam masuknya sinar matahari, turunnya air hujan, dan lain-lain
5. Pemakaian tirai horizontal, yang cocok untuk posisi matahari tinggi,
untuk fasade utara dan selatan, sedangkan untuk fasade barat daya,
tenggara, barat laut dan timur laut kurang efektif. Bentuk yang paling
sederhana adalah tritisan atap, lantai yang menjorok keluar, balkon
6. Pemakaian tirai vertikal, yang cocok untuk posisi matahari rendah,
untuk fasade barat, barat daya atau barat laut dan timur, tenggara dan
timur laut. Bentuk yang paling sederhana adalah dinding silang yang
menjorok keluar, kolom struktural yang rapat berbentuk lamela, dan
panel kayu yang dapat dilipat atau kain kanvas. Yang paling sering
digunakan adalah panel atau profil logam yang dipasang vertikal pada
fasade.
7. Kombinasi tirai vertikal dan horizontal, dalam bentuk kisi-kisi.
Bentuk yang paling sederhana adalah loggia dan balkon yang sisinya
tertutup, tetapi pada umumnya dalam bentuk tirai dari lamela atau
balok pracetak horizontal dan vertikal dengan jarak yang rapat.
Tri Harso Karyono (2004), dalam bukunya Kenyamanan Suhu
dalam Arsitektur Tropis memaparkan bahwa menurut hasil penelitiannya,
kondisi nyaman untuk manusia di daerah tropis basah terutama yang
tinggal di kota Jakarta adalah :
1. Suhu nyaman antara 240C - 300C
2. Kecepatan angin antara 0.6 m/s – 1.5 m/s
35
3. Kelembaban sekitar 50 % - 70 % (manusia akan nyaman tanpa merasa
kulitnya terlalu kering atau basah)
Menurutnya, Masalah yang harus dipecahkan pada iklim tropis
sebagaimana halnya Indonesia adalah bagaimana menciptakan suhu udara
ruang agar berada di bawah 28.30C (batas atas suhu hangat nyaman)
sementara suhu udara luar berkisar pada 320C (siang hari). Ada beberapa
strategi pencapaian suhu nyaman.
a. Pengkondisian Udara secara Mekanis
Dengan cara ini pencapaian suhu ruang di bawah 28.30C akan mudah
dilakukan. Meskipun demikian peran arsitek dalam hal ini sangat
kecil. Modifikasi iklim luar yang tidak nyaman menjadi nyaman
(melalui cara mekanis) lebih merupakan tugas para engineer
dibanding arsitek.
b. Pengkondisian Udara secara Alamiah
Dalam pengkondisian udara secara alamiah, arsitek banyak memegang
peran. Bagaimana arsitek mampu memodifikasi udara luar yang tidak
nyaman (dengan suhu sekitar 320C) menjadi nyaman (dengan suhu di
bawah 28.30C) melalui karya arsitektur.
Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam kaitannya
dengan modifikasi iklim secara alamiah adalah sebagai berikut :
1. Penanaman pohon pelindung
Penanaman pohon lindung di sekitar bangunan sebagai upaya
menghalangi radiasi matahari langsung pada material keras seperti
36
halnya atap, dinding, halaman parkir atau halaman yang ditutup
dengan material keras (beton, aspal) akan sangat membantu untuk
menurunkan suhu lingkungan. Dari berbagai penelitian yang
dilakukan, diantaranya oleh Akbari dan Parker memperlihatkan bahwa
penurunan suhu hingga 30C bukan merupakan suatu hal mustahil
dapat dicapai dengan cara penanaman pohon lindung di sekitar
bangunan.
2. Pendinginan malam hari
Simulasi komputer terhadap efek pendinginan malam hari (night
passive cooling) yang dilakukan oleh Cambridge Architectural
Research Limited memperlihatkan bahwa penurunan suhu hingga 30C
(pada siang hari) dapat dicapai pada bangunan yang menggunakan
material dengan massa berat (beton, bata) apabila perbedaan suhu
antara siang dan malam tidak kurang dari 80C (perbedaan suhu siang
dan malam di kota – kota di Indonesia umumnya berkisar sekitar
100C)
3. Meminimalkan perolehan panas
Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, pertama, menghalangi
radiasi matahari langsung pada dinding transparan yang dapat
mengakibatkan terjadinya efek rumah kaca, yang berarti akan
menaikkan suhu dalam bangunan. Kedua, mengurangi transmisi panas
dari dinding – dinding masif yang terkena radiasi matahari langsung,
dengan melakukan penyelesaian rancangan tertentu misalnya :
37
-
Membuat dinding lapis (berongga) yang diberi ventilasi pada
rongganya.
-
Menempatkan ruang – ruang service (tangga, toilet, pantry,
gudang, dsb.) pada sisi – sisi jatuhnya radiasi matahari langsung
(sisi timur dan barat)
-
Memberi ventilasi pada ruang antara atap dan langit – langit (pada
bangunan rendah) agar tidak terjadi akumulasi panas pada ruang
tersebut. Seandainya tidak, panas yang terkumpul pada ruang ini
akan ditransmisikan ke bawah, ke dalam ruang di bawahnya.
Ventilasi atap ini sangat berarti untuk pencapaian suhu ruang yang
rendah.
4. Memaksimalkan pelepasan panas dalam bangunan
Hal ini dapat dilakukan dengan pemecahan rancangan arsitektur yang
memungkinkan terjadinya aliran udara silang secara maksimum di
dalam bangunan. Aliran udara sangat berpengaruh dalam menciptakan
”efek dingin” pada tubuh manusia, sehingga sangat membantu dalam
pencapaian kenyamanan suhu.
5. Rancangan Kota Tropis
Dalam karakter iklim yang berbeda, setiap tempat di dunia seharusnya
memiliki rancangan kota yang berbeda, yang disesuaikan dengan
kondisi iklim setempat. Kota tropis memerlukan banyak ruang terbuka
yang hijau untuk menurunkan suhu kota dan sekaligus meningkatkan
aliran udara (umumnya kecepatan angin di wilayah kota tropis basah
38
adalah rendah). Bangunan perlu diletakkan sedemikian rupa antara
yang satu dengan lainnya agar udara dapat bergerak (untuk
menciptakan angin) di sekitar bangunan. Penempatan massa – massa
bangunan secara rapat tidak mencirikan pemecahan problematik iklim
tropis karena pada akhirnya akan memperkecil terjadinya aliran
(sirkulasi) udara secara silang di dalam bangunan. Ruas – ruas jalan,
halaman parkiran perlu dilindungi dari radiasi matahari langsung
yakni dengan penanaman pohon sepanjang tepi jalan yang
memungkinkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya
pemanasan udara di sekitar.
II. 2. 2. Tinjauan Khusus Terhadap Peraturan Bangunan
Berdasarkan
Undang-Undang
No.28
tahun
2002
tentang
Bangunan Gedung, ada beberapa persyaratan teknis yang harus dipenuhi
dalam hal perencanaan dan perancangan sebuah gedung. Persyaratan
tersebut antara lain :
•
Bangunan gedung yang dibangun di atas, dan/atau di bawah tanah, air,
dan/atau prasarana dan sarana umum tidak boleh mengganggu
keseimbangan lingkungan, fungsi lindung kawasan, dan/atau fungsi
prasarana dan sarana umum yang bersangkutan.
•
Persyaratan jumlah lantai maksimum bangunan gedung atau bagian
bangunan gedung yang dibangun di bawah permukaan tanah harus
39
mempertimbangkan
keamanan,
kesehatan,
dan
daya
dukung
lingkungan yang dipersyaratkan.
•
Persyaratan jarak bebas bangunan gedung atau bagian bangunan
gedung
yang
dibangun
mempertimbangkan
di
bawah
batas-batas
lokasi,
permukaan
keamanan,
tanah
harus
dan
tidak
mengganggu fungsi utilitas kota, serta pelaksanaan pembangunannya.
•
Persyaratan tata ruang dalam bangunan harus memperhatikan fungsi
ruang, arsitektur bangunan gedung, dan keandalan bangunan gedung.
•
Persyaratan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan
gedung dengan lingkungannya harus mempertimbangkan terciptanya
ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang,
serasi, dan selaras dengan lingkungannya.
•
Bangunan gedung tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan,
dan bangunan pelayanan umum lainnya harus mempunyai bukaan
untuk ventilasi dan pencahayaan alami.
•
Penggunaan bahan bangunan gedung harus aman bagi kesehatan
pengguna bangunan gedung dan tidak menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan.
•
Bangunan gedung yang bertingkat harus menyediakan tangga yang
menghubungkan lantai yang satu dengan yang lainnya dengan
mempertimbangkan
kemudahan,
keamanan,
keselamatan,
dan
kesehatan pengguna.
40
•
Bangunan gedung untuk parkir harus menyediakan ram dengan
kemiringan tertentu dan/atau sarana akses vertikal lainnya dengan
mempertimbangkan kemudahan dan keamanan pengguna sesuai
standar teknis yang berlaku.
•
Penyediaan akses evakuasi harus dapat dicapai dengan mudah dan
dilengkapi dengan petunjuk arah yang jelas.
•
Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan
lanjut usia termasuk penyediaan fasilitas aksesibilitas dan fasilitas
lainnya dalam bangunan gedung dan lingkungannya merupakan
keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali rumah tinggal.
Peraturan dan ketentuan tata bangunan yang lebih rinci diatur
dalam Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1991
tentang Bangunan dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta akan
dilampirkan dalam tulisan ini.
II. 2. 3. Tinjauan Khusus Terhadap Proyek Sejenis
1. Re-Design Gereja Bethel Indonesia / GBI di Citra Garden II
Re-Design Gereja Bethel Indonesia atau biasa disebut GBI
Citra Garden II merupakan proyek pengembangan Gereja yang
sebelumnya telah berdiri. Saat ini, proyek pengembangan Gereja
tersebut masih menunggu keluarnya IMB dari Kelurahan Pegadungan.
41
Namun demikian rancangan lengkap proyek pengembangan Gereja ini
sudah rampung diselesaikan oleh tim perencananya.
Gambar 2.2.3.1
Gereja ini didesain untuk menampung sekitar 300 orang
jemaat. Dengan pengolahan lantai dengan sistem mezzanine,
keleluasaan jemaat untuk melihat ke atas panggung lebih terasa.
42
Gambar 2.2.3.2
Sedianya ruang-ruang yang akhirnya hadir pada gereja ini
antara lain:
1. Ruang Ibadah Utama
43
2. Ruang Ibadah Mezanine
3. Ruang Ibadah Anak
4. Ruang Ibu dan Anak
5. Ruang Kelas Kecil
6. Ruang Perpustakaan
7. Ruang Penerima sekaligus Ruang Redam Suara
8. Ruang Tidur Pengerja
9. Ruang Sekertariat dan Ruang Kantor
10. Ruang Serba Guna
11. Ruang Konseling
12. Ruang Pantry
13. Ruang Kamar Pengerja
14. Ruang Bermain Anak
15. Gudang
16. Kafetaria
17. Janitor
Dari desain baru GBI Citra Garden II, tidak ditemukan ruang
multimedia dan sound system, padahal, bagi Gereja Bethel Indonesia,
keberadaan ruang multimedia dan sound system sangat penting.
44
2. Gereja Bethel Indonesia / GBI di Duta Garden
Gambar 2.2.3.3
Gereja Bethel Indonesia atau biasa disebut GBI Duta Garden
merupakan tipikal gereja-gereja Kristen beraliran pantekosta yang
tumbuh di kawasan pemukiman-pemukiman padat. Gereja ini
mengambil lokasi di blok C9/7 perumahan Duta Garden, Jl. Jurumudi
baru, Tangerang.
Gereja ini dalam sekali ibadah mampu menampung sekitar
400 orang jemaat dan pada hari minggu, Gereja ini mengadakan 3 kali
ibadah raya. Jemaat GBI Duta Garden merupakan warga yang
berdomisili di perumahan Duta Garden dan sekitarnya.
Sebagai gereja yang berlokasi di daerah perumahan,
konsentrasi perancangan yang dipilih tim perencananya adalah
bagaimana menciptakan sebuah rumah ibadah yang mampu mewadahi
seluruh aktifitas ibadah yang berlangsung di dalamnya, namun tidak
mengganggu rumah-rumah yang berdekatan dengan gereja.
45
Gambar 2.2.3.4
Untuk kebutuhan itu, maka ruang Ibadah yang ada sekarang
dilengkapi dengan material-material peredam suara seperti ceiling
gypsum board perforated dan Wood Fiber Board di beberapa bagian
dinding yang diharapkan dapat mengurangi suara bising dalam rumah
ibadah keluar dan mengganggu lingkungan sekitar.
Gambar 2.2.3.5
46
Dalam ibadahnya GBI Duta Garden menggunakan 1 set alat
musik bersuara kencang. Jemaat yang hadir dalam ibadah tersebut
diajak untuk juga ikut hanyut dalam suasana hubungan yangintim
dengan Tuhan melalui alunan lagu yang keluar dari alat-alat musik
tersebut.
Adapun ruangan-ruangan yang akhirnya hadir pada gereja ini
antara lain:
1. Ruang Ibadah Utama
2. Ruang Ibadah pendamping
3. Ruang Perpustakaan
4. Ruang Penerima sekaligus Ruang Redam Suara
5. Ruang Tidur Pengerja
6. Ruang Sekertariat dan Ruang Konseling
7. Ruang Rapat
8. Gudang
47
3. Gereja Kristen Jawa / GKJ Tangerang
Gambar 2.2.3.6
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Tangerang terletak di jalan raya
Cikokol. Keberadaan gedung Gereja ini menjadi cukup mencolok
ditengah-tengah himpitan bangunan komersil di sekitarnya. Kondisi
jalan raya Cikokol yang pada saat survey dilakukan tengah
merampungkan pembuatan fly-over membuat kemacetan berlangsung
sepanjang hari tidak terkecuali di hari minggu, karenanya tantangan
terbesar kekhusukan gereja ini tertantang oleh kebisingan dari jalan
raya. Beruntung bangunan Gereja memiliki set back yang cukup jauh
dari jalan raya.
Gereja ini didirikan pada tahun 1983. Pengembangan ruangan
Gereja ini berlangsung bertahap dan hanya dimulai dengan sebuah
ruang ibadah kecil. Saat ini, gedung Gereja dapat menampung hingga
240 jemaat pada sekali ibadah.
48
Sebagai salah satu gereja etnik yang bernaung dibawah
sinode Gereja Kristen Jawa, jemaat gereja ini ternyata tidak hanya
terpaku pada satu suku saja. Selain jemaat dari suku Jawa, masih ada
lagi jemaat yang berasal dari Sumatera, Kalimantan, bahkan Sulawesi.
Gambar 2.2.3.7
Secara hubungan ruang, Gereja ini terbagi menjadi 2 lantai.
Ruang-ruang yang hadir di lantai pertama merupakan Ruang-ruang
dengan fungsi utama seperti ruang ibadah utama, ruang kantor /
persiapan Pendeta, ruang skretariat gereja, dan lain-lain sedangkan di
lantai 2, lebih ke ruang-ruang ibadah penunjang untuk keperluan
ibadah sekolah minggu.
49
Gambar 2.2.3.8
Ada yang menarik dari ruang-ruang sekolah minggu, di setiap
ruangan, terdapat graffiti yang sesuai dengan nama ruangan tersebut.
Graffiti tersebut membuat anak merasa ruangnan tersebut tidak asing
bagi mereka.
Adapun ruangan-ruangan yang akhirnya hadir pada gereja ini
antara lain:
1. Ruang Ibadah Utama (240 orang)
2. Ruang Ibadah Pendamping
3. Ruang Ibadah Anak
4. Ruang Konseling
5. Ruang Ibu dan Anak
6. Ruang Koor
7. Pantry
8. Gudang
9. Ruang Sekretariat
50
10. Ruang Kantor Pendeta
11. Ruang Serba Guna
12. Ruang Perpustakaan
13. Toilet
4. Gereja Pantekosta Kharismatika di Indonesia / GPKDI Jelambar
Gambar 2.2.3.8
Gereja Pantekosta Kharismatika di Indonesia / GPKdI
jelambar awalnya bernaung pada sinode Gereja Pantekosta di
Indonesia / GPdI. Gereja ini didirikan pada tahun 1976, sebelum
akhirnya memisahkan diri dari GPdI pada Tahun 1989.
GPKdI
berada
satu
kompleks
dengan
satu
institusi
pendidikan bernama sekolah Imanuel. Sehari-hari Gereja ini sangat
ramai dengan keberadaan murid-murid dari sekolah Imanuel.
Gereja yang diarsiteki oleh Idawati Baskoro ini memiliki
sebuah ruang ibadah besar yang mampu menampung 1200 jemaat
51
sekali ibadah. Pada prakteknya, setiap Ibadah raya di hari Minggu,
jamaat yang datang ke Gereja ini tidak lebih dari 400 jemaat.
Gambar 2.2.3.9
Adapun ruangan-ruangan yang akhirnya hadir pada gereja ini
antara lain:
1. Ruang Ibadah Utama
2. Ruang Ibadah Anak
3. Ruang Konseling
4. Ruang Sound system
5. Ruang Ibu dan Anak
6. Ruang Pemusik
7. Ruang Tidur Pengerja
8. Ruang Pantry
9. Gudang
10. Ruang Sekretariat
11. Ruang Kantor / Persiapan Pendeta
52
12. Ruang Serba Guna
13. Ruang Perpustakaan
14. Kamar Mandi / Toilet
15. Janitor
Gambar 2.2.3.10
53
Gambar 2.2.3.11
Dari beberapa survey lapangan terhadap proyek sejenis di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Perancangan sebuah Gereja bertitik berat pada bagaimana melayani
aktivitas umat pada ibadah raya setiap hari Minggu.
2. Secara Tipologi, setiap Gereja berfilosofi sebagai sebuah ruang
penghubung antara umat manusia dengan Tuhan yang tresenden,
dengan alasan tersebut, mimbar selalu dibuat lebih tinggi dari ruang
duduk jemaat.
3. Sirkulasi jemaat diarahkan pada ruang penerima untuk kemudian
diarahkan pada kursi-kursi kosong oleh tim penyambut Gereja.
4. Pada Gereja-gereja beraliran Pantekosta seperti di Gereja Bethel
Indonesia, Gereja Bethany, Gereja Pantekosta Kharismatika di
Indonesia, ruang ibadah berbentuk ruang serba guna dimana kursikursi yang digunakan berupa kursi portable yang mudah di bongkar
pasang. Hal ini berbeda dengan Gereja-gereja beraliran Protestan
Calvinis seperti GKI, GKY, atau GKJMB. Kursi-kursi di Gereja ini
54
kebanyakan berupa Gereja Kayu. Pada Gereja Oikumene, segala
kebutuhan tersebut harus dapat diakomodasi.
5. Tata cara ibadah pada Gereja-Gereja Protestan Calvinis lebih teratur
jika dibandingkan dengan Gereja-Gereja Protestan.
6. Komposisi ruang-ruang yang hadir di dalam Gereja terlihat pada table
di bawah ini
Tabel 2.2.3.1
Nama Ruang
Nama Gereja
GBI Duta
Garden
GBI Citra
Garden 2
GKJ Tangerang
GPKDI
Jelambar
Ruang Ibadah Utama
Ruang Ibadah
Pendamping
Ada
Ada
Ada
Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Ada
Tidak Ada
Ruang Ibadah Anak
Tidak Ada
Ada
Ada
Ada
Ruang Konseling
Ada
Ada
Ada
Ada
Ruang Multimedia
Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Ada
Ruang Sound System
Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Ada
Ruang Ibu dan Anak
Tidak Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Tidak Ada
Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Ada
Tidak Ada
Ruang Tidur Pengerja
Ada
Ada
Tidak Ada
Ada
Pantry
Ada
Ada
Ada
Ada
Gudang
Ada
Ada
Ada
Ada
Ruang Sekretariat
Ruang Kantor
Pendeta
Ada
Ada
Ada
Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Ada
Ada
Ruang Serba Guna
Tidak Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Tidak Ada
Ada
Ada
Ada
Tidak Ada
Ada
Ada
Ruang Pemusik
Ruang Koor
Ruang Perpustakaan
Toilet
Janitor
55
Gereja Kristen Protestan Oikumene, sebagai sebuah Gereja yang
mewakili berbagai denominasi dalam Protestantisme, sesuai berdasarkan
tabel di atas wajib memiliki ruang-ruang berikut ini :
1. Ruang Ibadah Utama
2. Ruang Ibadah Pendamping
3. Ruang Ibadah Anak
4. Ruang Konseling
5. Ruang Sound system
6. Ruang Ibu dan Anak
7. Ruang Pemusik
8. Ruang Koor
9. Ruang Tidur Pengerja
10. Ruang Pantry
11. Gudang
12. Ruang Sekretariat
13. Ruang Kantor / Persiapan Pendeta
14. Ruang Serba Guna
15. Ruang Perpustakaan
16. Kamar Mandi / Toilet
17. Janitor
56
II. 2. 4. Tinjauan Khusus Terhadap Kondisi Tapak
1. Lokasi Tapak
: Jalan Kebon Jeruk, Jakarta Barat
2. Luas Lahan
: 15.782,5 m2
3. KDB
: 60 %
4. KLB
:3
5. GSB
:
- Sebelah Timur
:6m
- Sebelah Barat
: 10 m
- Sebelah Utara
:6m
- Sebelah Selatan
: 10 m
6. Ketinggian Maksimum
: 8 Lantai
7. Lebar Jalan Raya
:
- Sebelah Timur
: 26 m
- Sebelah Barat
: 12 m (eksisting 3m)
- Sebelah Utara
: 12 m (eksisting 3m)
- Sebelah Selatan
: 15 m
8. Batas tapak
- Sebelah Timur
:
: Berbatasan dengan Jalan Raya Rawa
Belong.
- Sebelah Barat
: Berbatasan dengan
pertokoan, tempat
makan dan permukiman penduduk.
- Sebelah Utara
: Berbatasan dengan
pertokoan dan
pemukiman penduduk.
57
- Sebelah Selatan
: Berbatasan dengan Jalan Raya Kebon
Jeruk.
9. Peta Lokasi
:
Lokasi Tapak
Gambar 2.2.4.1
Gambar 2.2.4.2
58
10. Deskripsi Tapak
:
Proyek sedianya dibangun di atas tapak seluas 15.782 m2
berlokasi di salah satu sisi pertigaan yang menghubungkan Jalan
Batusari dan Jalan Kebon Jeruk. Dari hasil pengamatan, tapak ini
memiliki potensi kebisingan yang sangat besar akibat dari lalu lalang
kendaraan yang melintas yang kemudian diperparah dengan angkutan
umum yang kerap kali berhenti menunggu penumpang secara
sembarangan. Keadaan ini tentunya mengganggu kenyamanan setiap
aktivitas yang berlangsung di dalam tapak.
Gambar 2.2.4.3
59
Kedekatan tapak dengan pemukiman padat penduduk di
Kelurahan Kebon Jeruk-pun berpotensi menimbulkan keresahan
warga masyarakat yang terganggu oleh kebisingan yang timbul pada
saat aktivitas di dalam tapak berlangsung. Namun demikian, tapak ini
bukannya tanpa potensi positif. Letak tapak yang berada di sebuah
pertigaan memudahkan orang untuk melihat keberadaan bangunan,
dan menikmati estetika fasade bangunannya. Hal ini sangat penting
agar pejalan kaki, maupun pengendara kendaraan bermotor tertarik
untuk datang ke tempat ini.
Tapak juga berada di kawasan pendidikan dimana tercatat
paling tidak terdapat 2 buah institusi pendidikan yang menetap di
sekitar tapak. 2 institusi pendidikan tersebut adalah Universitas Bina
Nusantara yang memiliki 3 kampus di kawasan ini. Keberadaan
institusi pendidikan ini merupakan potensi-potensi pengguna tapak
yang nantinya harus terlayani oleh gedung yang berdiri di atas tapak.
Selain itu, pada tahun 2006, ketika kota Jakarta dilanda oleh
bencana banjir besar, tapak inipun luput dari kebanjiran. Hal ini terjadi
akibat kontur tanah yang cukup tinggi dari permukaan tanah di
sekitarnya.
Sebagai data tambahan, tapak berada di kota Jakarta yang
menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007 secara geografis
terletak di posisi 6°12' Lintang Selatan dan 106°48' Bujur Timur. Kota
ini meliputi dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ± 7 meter di
60
atas permukaan laut. Sebagai sebuah kota yang terletak dekat dengan
garis ekuator, dan berada di dataran rendah pinggir pantai, Jakarta
memiliki iklim tropis basah.
Menurut data yang dihimpun dari Badan Metreologi dan
Geofisika (BMG) tanggal 21 September 2007, suhu rata-rata tapak
berkisar antara 24 0C hingga 33 0C, dengan Kelembaban antara 50 %
hingga 80%. Adapun kecepatan angin fluktuatif pada kisaran 0,6 m/s
sampai 1,5 m/s.
61
Download