12 BAB II SENI MUSIK, ETNOMUSIKOLOGI DAN KRITIK SOSIAL A

advertisement
BAB II
SENI MUSIK, ETNOMUSIKOLOGI
DAN KRITIK SOSIAL
A. SENI MUSIK
1. Pengertian Seni
Seni berasal dari bahasa Latin Ars artinya memiliki keahlian,
sedangkan secara istilah seni merupakan keahlian mengekspresikan ideide dan pemikiran estetika, termasuk mewujudkan kemampuan
imajinasi penciptaan benda, suasana, atau karya yang mampu
menimbulkan rasa indah.1
Seni merupakan bagian kebudayaan manusia, ruang lingkupnya
amat luas, istilah seni sering digunakan orang dengan cara yang lebih
khusus untuk berbagai aktifitas, seperti: melukis atau menggambar,
mengkomposisi musik atau membuat sajak.
Aktifitas-aktifitas seperti itu, yang direncanakan hanya untuk
menghasilkan sebuah karya seni lebih sering disebut sebagai seni murni,
disamping seni murni adapula seni budaya.2
Karya-karya seni seperti musik, berpartisipasi pada proses
penyadaran manusia, sehingga bila dikatakan bahwa “memahami musik
ini atau itu”, sebenarnya menuju pada esensi pengalaman mental.3
Karena melihat keberadaan seni bagi manusia adalah sangat penting ia
(seni) memiliki pengaruh besar bagi manusia.4
Dennis Husman dalam bukunya ”Esthethica” menyatakan:
bahwa berbicara seni dapat dilakukan secara Filosofis, Psikologi, dan
1
Balai Pustaka, Ensiklopedi Nasional, Jilid VII., PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1994,
hlm. 525
2
Seni murni, hasil terjemahan dari kata Prancis beaux-arts, lebih merujuk pada estetika
atau keindahan, sedangkan seni budaya adalah berkenaan dengan keahlian untuk menghasilkan
sesuatu dalam bentuk tulisan, percakapan dan benda bermanfaat yang diperindah. Berbagai bentuk
obyek merupakan hasil kombinasi estetika dengan kegunaan yang berfaedah, seperti benda-benda
dan tembikar, hasil kerajinan logam, arsitektur, dan rancangan periklanan Ensiklopedia Nasional
Indonesia, Ibid.,
3
Dieter Mack, Mengapa ’New Age’ dan ‘World Music’ Musik dari Sudut Pandang
Multikultural, Kalam 7, Jurnal Kebudayaan, 1996, hlm. 83
4
Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 52
12
13
sosiologi. Yang pertama berasaskan pada perangai dasar, tolok ukur dan
nilai seni (yaitu karya seni). Yang kedua adalah mengambil sasaran
aktivitas menghayati dan menciptakan serta telaah seni, yang ketiga
menyoroti masalah yang berkaitan publik, peran sosial seni, dan
lingkungan sekitar.5
Jadi, istilah seni tidak hanya menunjukan hal-hal yang
mengungkapkan
keindahan
saja.
Sebagian
seniman
ada
yang
mengatakan bahwa seni merupakan bahasa suatu bahasa perasaan.
Kesenian selalu melukiskan suatu unsur atau aspek kodrat ditambah
tanggapan atau pengalaman manusia. Keindahan membawa serta
ekspansi rasa hidup dan kesadaran diri sebagai bagian dari keseluruhan,
sifat sosial, dari kesenian meratakan pengalaman dan perasaan dari
seorang seniman kepada orang lain yang berkat kesenian memanusiakan
fitrah diri dan mengasah fitrahnya lebih dengan sempurna.6
Titik tolak berkesenian adalah (salah satu) ekspresi proses
kebudayaan manusia dan kebudayaan disalah satu pihak adalah proses
pemerdekaan diri. Dilain pihak kebudayaan juga berciri “fungsional”
untuk melangsungkan hidup. Maka ukuran atau nilai kebudayaan tidak
hanya manfaat, guna, fungsional, efesien tetapi juga pemerdekaan,
membuat orang lebih manusiawi. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kesenian mempunyai dua dimensi yaitu dimensi budayannya
(pemerdekaan) pemanusiawian dan dimensi fungsional, guna, efesien,
teknis.
Seni atau kesenian bagaimanapun adanya sangatlah menarik
untuk diperhatikan dan diteliti. Sebagai makhluk yang sempurna
manusia diberi naluri dan perasaan yang halus sehingga dapat
merasakan keindahan, melihat, meraba, atau mendengar sesuatu yang
5
Drs. Human Sahman, Mengenali Dunia Seni Rupa, IKIP Semarang Press, Semarang,
1993, hlm. 11
6
Ketika manusia berbicara tentang fitrah maka tidak akan lepas dari ”kebenaran,
kebaikan, dan keindahan”. Epistimologi bersangkutan dengan teori mengenai kebaikan.
Sedangkan bagi penyelidikan mengenai hakekat keindahan dinamakan estetikaLouis O Kattsof,
Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1987, hlm. 379
14
selaras dan simetris, disinilah letak pentingnya seni atau kesenian,
karena ia (seni) langsung berhubungan dengan perasaan manusia.
Berbicara tentang seni secara holistic adalah berbicara tentang
semua itu, seni perlu dilihat sebagai kesatuan organik internal, dimana
unsur-unsurnya seperti: karya seni dan berbagai aktifitas terkait tidak
boleh dilihat terpisah yang satu dengan yang lainnya.7
Dari keterkaitan antara yang satu (misalnya: seni musik dan
sebaginya) dengan yang lainnya (kebudayaan yang terdapat dalam
masyarakat dan seniman) dalam kesenian, reaksi aliran itu adalah I’art
engage. Seni tercipta untuk sesuatu, yang dimaksud sesuatu disini
adalah masyarakat, jadi bukan untuk si seniman itu sendiri. Selanjutnya
macam-macamnya dapat diisikan pada masyarakat, seni untuk bangsa,
untuk mendidik, untuk menunjuk-mengajari, untuk propaganda, untuk
agama dan sebagainya.
Dari keterangan diatas, selain seni memiliki manfaat bagi
manusia, seni juga mempunyai daya besar yang harmoni, kedamaian
dan pelepasan. Maka tidak heran kalau seni ternyata juga dapat
meregangkan ketegangan-ketegangan social, yang akhirnya mendorong
manusia kepada kedamaian dan kemauan baik.
2. Macam-Macam Seni
Salah satu unsur kebudayaan adalah seni.8 Berdasarkan sifatnya
seni dapat di bagi menjadi tiga jenis, meliputi:
a) Seni
rupa
yakni
penciptaan
keindahan
yang
mampu
berkomunikasi dengan penikmatnya terutama melalui mata.
Termasuk di dalamnya seni rupa adalah seni lukis, seni patung,
arsitektur, dan kerajinan.
b) Seni gerak meliputi seni tari dan seni teater
c) Sedangkan seni suara meliputi seni vokal dan seni musik.
7
Drs. Humar Sahman, Telaah Sistematik Dan Historik, IKIP Semarang Press, Semarang,
1993, hlm.189
8
Drs. H. Hartomo, Ilmu Sosial Dasar, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hlm. 40
15
Untuk menghindari kesalahpahaman pembaca, perlu ditegaskan
bahwa kajian dalam skripsi ini adalah fokus pada seni musik. Makna
musik dalam kajian ini meliputi pengertian yang luas. Hal itu karena
secara etimologis, kata musik berasal dari bahasa Yunani mousike
(diambil dari nama dewa mitologi Yunani kuno mousa, yang
memimpin seni dan ilmu) yang memiliki beberapa arti, yaitu:
a) seni dan ilmu pengetahuan yang membahas cara meramu vokal
atau suara alat-alat musik dalam berbagai lagu, yang dapat
menyentuh perasaan;
b) susunan dari suara atau nada;
c) pergantian ritme dari suara yang indah, seperti suara burung dan
air;
d) kemampuan untuk merespon atau menikmati musik;
e) sebuah group pemain musik dan lain sebaginya.
Dalam bahasa Yunani, musik tidak sekedar seni, tetapi
memiliki cakupan yang sangat luas, seperti pendidikan, ilmu, tingkah
laku yang baik, bahkan dipercaya sebagai sesuatu yang memiliki
dimensi ritual, magis, dan etik.9 Selain itu, musik dapat pula
didefinisikan sebagai sebuah cetusan ekspresi pikiran atau perasaan
yang dikeluarkan secara teratur dalam bentuk bunyi.10
Berangkat dari pengertian di atas secara garis besar musik
dalam masyarakat memiliki perjalanan yang sangat panjang. Dan
kemampuan manusia untuk menciptakan musik merupakan fitrah,
sebagaimana kemampuan untuk melihat, mencium, mendengar, dan
berjalan. Pendapat ini dapat dilihat, misalnya, pada pemikiran al-
9
Dan diceritakan bahwa melalui kebersihan jiwa dan ketajaman pikirannya, Phythagoras
telah mampu mendengarkan musik samawi dan dari sinilah, ia mulai membahas dan menciptakan
musik duniawi. Oleh karena itu, ia disebut sebagai orang pertama yang kali membicarakan musik
secara filosofis di dunia ini. Lihat Dr. Abdul Muhaya, M.A, Bersufi Melalui Musik Sebuah
Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad al-Ghazali, Gama Media, Yogyakarta, 2003 hlm. 24
10
Ensiklopedi Nasional Indonesia, op.cit.,hlm. 413.
16
Farabi. Menurutnya, musik itu muncul dari tabiat manusia dalam
menangkap suara yang indah yang ada di sekelilingnya (musik).11
Takjuah berbeda dengan teori ding-dong dalam sejarah bahasa
yang dikenalkan oleh Max Muller, musik muncul secara spontan
ketika manusia mendengarkan suara-suara yang ada di alam raya ini,
seperti suara guntur, hujan, air terjun, ombak laut ranting pohon yang
putus, pasir yang berhamburan, gesekan antara pohon dan dedaunan,
suara anjing, ayam, kambing dan lain sebagainya. Dalam tabiatnya,
manusia membuang suara yang tidak disukainya (suara yang tidak
menangandung musik) dan menerima suara yang indah musik.
Manusia pun lalu meniru suara-suara yang disenanginya itu. Melalui
daya kreatifnya, manusia kemudian memadukan antara satu suara
dengan suara yang lainnya dalam susunan yang harmonis, yang
akhirnya melahirkan musik yang dapat menyebabkan kegembiraan
atau kepedihan pendengarnya. Untuk keperluan kegembiraan tersebut
diciptakanlah alat musik.12
Pada perkembangan selanjutnya, musik berkembang bersamaan
dengan berkembangnya budaya bangsa. Karena itu kualitas musik
dapat dijadikan salah satu indikator bagi kualitas kebudayaan suatu
bangsa.13 Dikatakan demikian karena musik memiliki arti sebagai
perilaku sosial yang kompleks dan universal. Musik dimiliki oleh
setiap masyarakat, dan setiap anggota masyarakat adalah “musikal”.14
Dari keterangan diatas, dapat dikatakan bahwa musik adalah
sebagai produk masyarakat dan merupakan salah satu seni tertua.
Dalam sejarah peradaban manusia, belum ditemukan suatu kaum yang
11
Selain secara fitrah (naturlaisme), musik juga dapat dilihat secara revalationisme yakni
alirann yang mempercayai bahwa musik berasal dari sumber dari alam metafisika melalui
tersibaknya tabir atau pewahyuan. Dr. Abdul Muhaya, M. A, Bersufi…op. cit., Hlm. 22
12
Ibid, hlm. 27
13
Ibid,..
14
Djohan, Psikologi Musik, Buku Baik , Yogyakarta, 2003, hlm. 7-8
17
meninggalkan seni, khususnya musik.15 Musik berkembang sejalan
dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia.
Sebab, musik bukanlah bidang yang berdiri sendiri. Ia ada
dalam waktu gerak langkah sejarah. Berbagai kaitan dan pengaruh
membentuk ‘roh’-nya, diterima secara turun-temurun, dan tiap-tiap
zaman masyarakat mempunyai musiknya sendiri-sendiri. Bahkan
ditiap-tiap kebudayaan selalu mengembangkan jenis musik tertentu.
Seorang antropolog kenamaan dari Amerikat Serikat, William A.
Havilland, dalam bukunya Antropology menulis…. its is rare that a
culture has been reported to be without any kind of music”. ”Setiap
kebudayaan, “kata Sussane K Langer, selalu mengembangkan jenis
seni (termasuk musik) seperti mengembangkan bahasa” kekhasan dari
tiap-tiap zaman merupakan kedinamisan manusia. Ia ada dalam gerak
langkah menuju kedepan.
Berbagai jenis musik telah dilahirkan dari tangan-tangan
terampil manusia. Ada jenis-jenis musik: sakral ataupun sekuler,
absolute ataupun programa, vokal ataupun instrumental, dan juga
hiburan atau serius. Semuanya hidup dan mengalir bagaikan air sungai
dari hulu kemuara. Musik, seperti halnya dalam bidang keilmuan,
adalah netral, ia independent.
Jadi, musik adalah bagian dari budaya manusia karena tumbuh
dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan
manusia.
3. Manfaat Seni Musik
Menurut Phythagoras, kebahagiaan adalah jenis dari musik
yang tertinggi. Ia (musik samawi) mengatur gerakan planet
sebagaimana musik dunia mengatur mengatur kehidupan manusia.
Musik dunia juga dapat membersihkan jiwa manusia. Karena itulah,
Phythagoras dan Nichomachus serta filsuf-filsuf lainnya memiliki
kebiasaan mendendangkan nya-nyian yang dapat melunakan jiwa dan
15
Ensiklopedi Nasional Indonesia, op.cit.,hlm. 413.
18
membangkitkan roh kelalainya atas kebahagiaan yang bersifat spiritual
dengan iringan tabuh-tabuhan yang indah.16
Jangkauan jelajah musik begitu luas, dan dapat menembus
lapisan–lapisan budaya manusia dipermukaan bumi ini. Seperti halnya
Beethoven, menganggap bahwa musik mampu menembus dimensi
humanis filosofis, yang merekat dalam lintasan sejarah politik.
Beethoven telah menyadari musik itu “apa” dan “untuk apa”.
Secara ontologis, musik merupakan perpaduan antara unsur
matrial dan immaterial. Karenanya, musik mempunyai kekuatan untuk
menspritualkan hal yang materi dan sebaliknya mematerikan hal yang
spiritual. Sedangkan esensi musik itu berupa substansi ruhaniyah: yaitu
jiwa pendengar.17
Musik, mempunyai peranan di dalam aktifitas masyarakat,
seperti dalam pekerjaan, dalam bidang tari atau bidang permainan.
Musik, seperti juga bahasa, merupakan aktivitas manusia yang
menggunakan elemen dasar suara.
Sebagai satu kesatuan dengan eksistensi manusia, musik
merupakan pengungkapan ekspresi ataupun maksud dari penciptaanya,
manusia. Pemanfaatan musik sepenuhnya ada di tangan manusia.
Musik bisa sebagai biomedis,18 pembentuk intelegensi19 (kecerdasan).
16
Abdul Muhaya, op. cit., hlm. 31
Adapun menurut psikologis, musik dunia melalui harmonitas dapat mengantarkan jiwa
pendengar untuk berpulang kedalam ide Universal (alam al nafs) yaitu tempat kenikmatan yang
bersifat ruhani. Alam ini adalah alam yang sejati bagi para suf. Karena senantiasa dirindukan oleh
jiwa yang ada didunia, Ibid,.
18
Orang tidak pernah mengira bahwa beberapa tabib Muslim pada abad ke-9 dan ke-10
telah menggunakan musik sebagai sarana penyembuh penyakit, baik rohani maupun jasmani.
Berbagai risalah tentang pengobatan melalui musik telah ditulis oleh para tabib tersebut. Seorang
filsuf, Al-Farabi. Dalam kehidupannya Beetoven, musik pun (tanpa disadari oleh komposernya
sendiri) telah menjadi alat penyembuh penyakit jiwa dari composer yang kesepian dengan
ketuliannya ini. “Kedudukan musik pada peristiwa kehidupan musikus (composer) Beetiven
menunjukan kita dengan jelas, pengaruh terhadap jiwa raga manusia, baik ia sehat maupun dalam
keadaan memerlukan penyembuhan penyakityang diderita termasuk cacat-cacat mental. Suhardjo
Parto, op. cit., hlm xvi
19
Otak manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu Righ Hemisphere (otak kanan) dan Left
Hemisphere (otak kiri). Demikian hasil penemuan Dr. Roger W. Sperry yang memenangkan
hadiah Nobel atas jasanya tahun 1981. Keseimbangan 2 bagian otak tersebut dapat mempengaruhi
kecerdasan manusia. “Otak kiri merupakan pusat pengendali intlektual seperti daya ingat, bahasa,
17
19
Dilihat dari segi manfaatnya, disamping musik sebagai biomedis dan
intelegensi, musik juga sebagai seni dan ilmu, bahkan sebagai hiburan.
Musik sebagai seni adalah memaklumi bahwa, musik
merupakan bidang seni yang bermateri suara (sound). Ditinjau dari
sinilah,
musik
merupakan
kaidah-kaidah
estetis
yang
dapat
diapresiasikan. Musik bersangkut paut dengan rasa, yang kadang
irasional. Keterkaitan musik sebagai seni yang berelasi seni-seni yang
lainnya adalah sebagai kegaliban; dimana musik hadir dalam waktu
bukanya ruang, ia abstrak, yang sering melukiskan imajinasi yang
sama sekali tidak mutlak.
Musik sebagai ilmu. Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa
‘sesuatu’ dibelakang musik tidak hanya unsur seni saja. Tetapi ia
masih ada satu lagi yang selalu memberikan keseimbangan, yaitu
unsur keilmuan. Keduanya saling bertautan, atau terkesan dwi-tunggal.
Sekalipun yang lebih dikenal adalah unsur seninya. Namun unsur
keilmuannya pun tidak bisa lepas dari deretan nada-nada, interval dan
juga segi akustiknya.20
Disamping sebagai hiburan, musik juga sebagai bahan
renungan, hal itulah yang perlu kita perhatikan secara detail
(mendalam). Musik tidak hanya mencakup aspek motorik dan afeksi
tetapi juga kognisi, terutama pada dialektika antara elemen-elemen
musik dalam prilaku manusia dalam proses psikologis yang terkait
dalam lingkungan sosialnya. Dan hal itu tentu tidak dapat lepas dari
komunikasi di dalam musik, yang meliputi: intensitas penyaji,
pementasan dan pengalaman pendengar, musik sering dikatakan
memiliki kekuatan dalam komunikasi emosi, dalam bukunya Djohan, I
Ching menyatakan bahwa: “Musik memiliki kekuatan untuk
logika, perhitungan, daya analsis, dan pemikiran konvergen. Otak kanan berdasarkan kepada
spontanitas, pengendalian fungsi mental melibatkan intuisi, sikap, emosi, hubungan ruang, dan
dimensi, gambar musik dan irama, gerak dan tari serta pikiran devergen”. Jadi pada dasarnya,
musik dapat dijadikan sebagai alat penyeimbang otak kiri. Daya estetis musik dapat dimanfaatkan
sebagai penambah IQ. Ibid., hlm xvii
20
Ibid., hlm. xii
20
mengurangi kekerasan dalam hati dan menghilangkan cengkraman
emosi yang tak dikenal. Antusiasme ekspresi suara hati tanpa disadari
dapat dicapai dalam sebuah lagu, tarian dan irama gerakan tubuh. Dari
jaman dahulu, pengaruh semangat dari suara yang tidak nampak dapat
menggerakan suara hati dan secara bersama membawa kebijakan
misterius”. Dan Plato menambahkan “musik adalah hukum moral”.
Pengaruh dalam seni disamping memberikan latar belakang
sosial
yang
umum,
juga
membentuk
jiwa
seniman
dengan
mengilhaminya sikap-sikap dan kebajikan yang berasal dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah.21
Dari keterangan itu, diketahui bahwa musik memiliki fungsi
yang bermacam-macam: tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi
juga memiliki fungsi imajinatif, psikoterapi religius, mistis, dan kritik.
Karena itu tidaklah mengherankan jika para seniman sendiri banyak
yang memanfatkan musik sebagai kritik sosial atau
medium untuk
membangkitkan dan menertibkan tatanan yang terdapat dalam
masyarakat.
B. Pengertian Etnomusikologi
Istilah etnomusikologi berasal dari Etnomusicology (Bahasa Inggris).
Etnomusikologi di bentuk dari tiga kata, yaitu: “etnos”, “mausike”, dan
“logos” (bahasa Yunani): Etnos berarti hidup bersama, yang kemudian
berkembang menjadi bangsa atau etnis; Mausike artinya musik, sedangkan
Logos artinya bahasa atau ilmu. Tiga kata tersebut digabungkan menjadi
etnomusikologi (dalam bahasa Indonesia) ilmu musik bangsa-bangsa.22
Dalam bahasa Eropa, pada umumnya etnomusikologi disinonimkan
dengan bahasa Jerman Musikhetnologie, bahasa Polandia Ethnografia
Muszyezna, bahasa Rusia (Juga Bulgaria dan Ukrania) ethnografiya
muzikal’naya, dan musikal’naya fol’kloristika. Kata etnomusikologi
21
Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas Dan Seni Islam, Terj. Drs. Sutejo, Mizan, Bandung,
1993, hlm. 16
22
Prof. Shin Nagakawa, Musik Dan Kosmos Sebuah Pengantar Etnomusikologi, Yayasan
Obor Bentang Budaya, Jakarta, 2000, hlm. 1
21
kemudian diadopsi oleh pakar ahli di Cekoslowakia, Perancis, Itali, Belanda,
Rumania, dan negeri-negeri yang lain.23
Sangat
sulit
sebenarnya
untuk
mengidentifikiasi
pengertian
etnomusikologi secara pasti. Mungkin karena bidang ilmu ini merupakan
cabang dari musikologi dan antropologi, maka tidak satu pun definisi
etnomusikologi secara mulus dapat disetujui. Juru bicara yang mewakili
antropolog, Merriam; mengartikan ilmu ini sebagai studi musik di dalam
kebudayaan. Karenanya data yang dikumpulkan sebanyak-banyaknya itu
selalu berkaitan dengan aspek-aspek dari tata tingkah laku manusia,
kemudian pembuktian digunakan untuk menjelaskan mengapa musik seperti
demikian adanya, dan digunakan sedemikian rupa. Musik itu sendiri
dikumpulkan, ditranskripkan, dan dianalisis, tetapi tekanan pendekatannya
didasari oleh peran musik itu sebagai tata tingkah laku manusia.
Juru
bicara
yang
mewakili
musikolog,
List
mengartikan
etnomusikologi sebagai studi musik tradisional, yaitu musik yang
diajarkan/diwariskan secara lisan, tidak melalui tulisan, dan selalu
mengalami perubahan. Kerja lapangan dilakukan oleh si peneliti dan datadata kontekstual maupun materi musiknya dikumpulkan; tetapi (menurut
List) ini bukan merupakan suatu ketentuan bahwa musik itu harus dipelajari
dengan melihatnya sebagai produk atau hasil dari tata tingkah laku
manusia.24
Apabila diperhatikan mengenai tujuan utama musikologi dan
antropologi, maka terlihat adanya perbedaan yang menyolok. Bagi
musikolog obyek studinya adalah musik, sedangkan antropolog, apabila
meneliti musik, yang diteliti adalah tata tingkah laku manusia dan studi
tentang musik sebagai aspek budaya.25
23
Rahayu Supanggah, Etnomusikologi, Yayasan Obor Bentang Budaya, Yogyakarta,
1995, hlm. 1
24
Ibid., hlm. 2-3
25
Faiz Ahsoul (editor), Alat Musik Jawa Kuno, Yayasan Mahardhika, Yogyakarta, 2003,
hlm. 9
22
C. Marcel Dubois, seorang etnomusikolog terkemuka bangsa
Perancis, merangkum dengan ringkas sejumlah sasaran etnomusikologi
dengan menyatakan:
Etnomusikologi mempunyai persamaan yang dekat dengan etnologi,
selain ciri-cirinya yang jelas, yaitu memiliki spesialisasi di bidang
musikologis. Ilmu ini mempelajari musik-musik yang masih hidup;
ia meneliti praktik-praktik musikal dalam wawasan yang paling luas;
kriterianya yang pertama ialah dengan menempatkannya ke dalam
fenomena tradisi lisan. Etnomusikologi mencoba meletakkan
kembali kenyataan-kenyataan dari musik dari konteks sosiokulturalnya, menempatkan musik-musik itu ke dalam pikiran,
kegiatan-kegiatan dan struktur-struktur dari sebuah kelompok
manusia dan memperjelas pengaruh timbal balik antara satu dengan
yang lain; dan etnomusikologi membandingkan fakta-fakta ini satu
dengan yang lain melalui sejumlah kelompok dari individu-individu
yang mempunyai kesamaan atau perbedaan tingkat kultural dan
lingkungan teknisnya.26
Dengan kata lain, C. Marcel Dubois berpendapat bahwa sasaran
etnomusikologi mempelajari musik yang masih hidup.
Sementara Chenowet menyatakan bahwa “Etnomusikmologi adalah
studi tentang praktik-praktik musik dari kelompok bangsa tertentu” Blaking
juga menulis bahwa “Etnomusikologi adalah istilah baru yang digunakan
untuk menunjukkan kegiatan studi dari bermacam-macam sistem musik di
dunia”; dan baru-baru ini Nettl mengemukakan definisi kerja secara luas
yang dianggap bersifat deskristip untuk melukiskan sebagian besar studi
yang saat ini dikerjakan, bahwa:
Etnomusikologi adalah studi komparatif tentang budaya-budaya
musik, khususnya sebagai sistem yang berlaku secara menyeluruh
termasuk suara dan tingkah laku manusia dengan menggunakan
penelitian lapangan.27
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa etnomusikologi
adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari seni musik dalam konteks
kebudayaan suatu masyarakat, Dalam hal ini seni musik tidak hanya
26
27
Rahayu Supanggah, op. cit., hlm. 2-3
Ibid., hlm. 54
23
dipandang dari segi etikanya saja, melainkan lebih pada latar belakang
budaya masyarakat pendukung.28
B. Sejarah Etnomukologi
Etnomusikologi merupakan disiplin ilmu yang baru muncul sesudah
perang dunia II, yaitu dari sisa-sisa musikologi komparatif. Namun hal yang
baru dari kemunculannya ini adalah perkembanganya yang dinamis, yang
memungkinkannya untuk memegang peranan besar atas pengulangan
kelahiran.29
Sejarah ilmu ini belum lama, kira-kira seratus tahun yang lalu. Di
Jerman etnomukologi muncul pada abad XIX, akan tetapi ilmu ini berasal
dari tradisi ilmu pengetahuan Barat atau Eropa. Setelah perkembangan di
Barat etnomusikologi kemudian menyebar ke seluruh pelosok dunia,
termasuk di dalamnya ke Indonesia.
Etnomusikologi merupakan nama baru yang diberikan oleh JaapKunts, yang digunakan dalam bukunya yang berjudul Musicologica a Study
of the Nature of Ethnomukologi, its Problem, Methods, and Representative
Personalities,
dalam
edisi-edisi
selanjutnya
buku
itu
disebut
etnomusikology. Pada edisi yang pertama dia menggunakan tanda baca
hubung [Ethno (-) musicology], sedangkan yang kedua tanda baca
penghubung itu tidak dipergunakan lagi. Jaap Kunst berpandangan bahwa
istilah ini lebih tepat bagi “comparativ musicology,” oleh karena “ilmu ini
menggunakan metode ‘Pembandingan’ melebihi [metode] ilmu lain.30
Studi musik secara ilmiah, di tempat mana etnomusikologi
menempatkan
eksistensinya,
(dan
hampir
disebut
sebagai
‘musik
komparatif’), dimulai pada tahun 1880-an. Ini dapat ditelusuri melalui karya
Guido Adler yang menulis outline tentang studi musik secara ilmiah pada
tahun 1885. Di dalam outline itu disebutkan bahwa studi ilmiah musikal
dapat dibagi ke dalam dua divisi utama, yaitu studi kesejarahan serta studi
28
H. H Arius Swamin Taryanto dan Laz Wiwiek W, “Etnomusikologi” Ensiklopedi
Nasional Indonesia, PT. Adi Cipta Pustaka, Jakarta, 1990, Jilid IV, hlm. 217-218
29
Rahayu Supangah, op. cit., Hlm. 8
30
Ibid.
24
tentang sistematikannya. Pada bagian kedua, setelah menguraikan tiga
percabangan dasar (yaitu teori, estetika, dan pendadogis), ia memunculkan
pilihan keempat yang diberinya label ‘musikologi’, yaitu musikologi
komparatif, yang tugasnya melakukan studi perbandingan terhadap produk.
Etnomusikologi merupakan bagian dari musikologi. Etnomusikologi
terpisah dari musikologi pada abad ke XIX. Pada awalnya ilmu ini tidak
disebut etnomusikologi, akan tetapi “Vergleichende Musikwissenschaft” atau
musik perbandingan.31
Makin lama “Vergleichende Musikwissenschaft” kurang popular dan
musikethnologie makin sering digunakan. Pada saat itu abad ke-19 musik
perbandingan masih terasa kuat di Eropa, namun pada paruh kedua abad
XX, sekitar tahun 1960 an, “Musikethnologie” berkembang juga di Amerika
Serikat dengan nama “Ethnomusikology”, yaitu nama baru yang diberikan
oleh
orang
Belanda,
Jaap
Kunst.
Ethnomusikology
disebut
juga
“anthropology of music” di Amerika Serikat dan termasuk dalam bidang
antropologi. Dalam hal ini musik dianggap sebagai bagian dari kebudayaan,
musik diteliti dalam konteks kebudayaan, ilmu ini dipopulerkan oleh Alan P.
Merriam, Bruno Nettle, dan Mantle Hood.
Di Barat melalui jurnal Ethnomusicology, Konferensi yang diadakan
setiap tahun, serta Journal of the International Folk Music Countil (yang
didirikan tahun 1949) dan Masyarakat Etnomusikologi (The Society for
Ethnomusikologi) yang didirikan pada tahun 1955, merupakan forum
penting, khususnya bagi para ahli musik rakyat dan etnomusikolog (seperti:
Heorge Herzog, Miezyslaw Kolinski, dan (belakangan) P. Wachmann.
Charles Seeger berkebangsaan Amerika) yang bekerja dengan subyek lain,
31
Disebut demikian karena para peneliti pada saat itu benar-benar membandingkan musik
yang ada di dunia ini. Dalam analisisnya para peneliti pada saat itu selalu menggunakan teori
musik Barat. Sehingga pengaruh musik Barat tidak dapat dielakkan lagi. Hal ini membawa
dampak sangat luas, misalnya karena mereka sudah terbiasa mendengarkan musik diatonic yang
menggunakan 12 nada maka mereka merasa aneh apabila mendengar tangga nada slendro atau
pelog gamelan Jawa. Bagi mereka tangga nada atau laras gamelan jawa itu salah. Namun demikian
tidak semua peneliti berbuat demikian, ada peneliti yang berusaha menghindari pengaruh Barat
tersebut. Shin Nagakawa, op.cit., hlm. 2
25
mempunyai peranan penting terhadap perkembangan etnomusikologi, di
belahan Barat.32
Sementara
di
belahan
Timur,
khususnya
di
Indonesia
Etnomusikologi memiliki nilai yang sama dengan studi musik Barat. Logika
Maslow memberikan indikasi dan pengertian, bahwa musik Timur bukanlah
obyek penelitian musikologistik semata, tetapi sebuah pengetahuan, betapa
pun sempitnya yang bisa dihormati kehadirannya, karena prinsip-prinsip
formalnya yang dapat dijabarkan ke dalam struktur logika secara rasional.
Sementara Hugo Riemann, misalnya mewakili pandangan klasik tentang
etnomusikologi yaitu, katanya adalah etnologi tentang musik bangsa-bangsa
di luar bangsa Eropa.33
Bentuk musik yang ditawarkan oleh musikolog Indonesia dalam
disiplin etnomusikologi tentunya terdapat kesamaan dengan musikolog
Barat yang melakukan penelitian musik dilapangan dengan latar belakang
budaya yang terdapat di masyarakat tersebut. Indonesia dalam hal tersebut
merupakan obyek wisata penelitian bagi musikolog bangsa Eropa atau
Barat.
Di abad ke-20, terjadi pertuamuan antara dua tradisi, yaitu tradisi
budaya Indonesia dengan subkulturnya dan budaya Eropa, dari itu
muncullah yang namanya nusik kontemporer. Pertemuan tersebut telah
merangsang masyarakat Indonesia untuk menggunakan musik sebagai
bahasa ekspresi yang personal. Sekaligus merupakan cermin dari pandangan
hidup komunitas, dan sebagai pandangan hidup seorang individu dengan
segala uniknya.34
Sumbangan etnomusikologi di belahan bumi Indonesia, yakni
Etnomusikologi dapat menerangkan dari kerajaan kalingga lah musikolog
dapat berbicara tentang budaya tradisional dan seni-seni pertunjukan di
Indonesia Barat Daya. Keterangan diatas menyebutkan bahwa lahirnya
32
Rahayui Supanggah, op. cit., hlm. 3-9
Suka Hardjana, op.cit., hlm. 288
34
Franki Raden, "Dinamika Pertemuan Dua Tradisi, di abad ke 20", Kalam "Jurnal
Kebudayaan", edisi 2, (September, 1994), hlm. 6
33
26
kerajaan Kalingga di Jawa Tengah pada abad ke-5 M, yang memerlukan
antara lain, sejumlah pusaka kerajaan dibidang musik, yang di dalamnya
mungkin terdapat kendang India: mridamga dan gong besar telah memaksa
kerajaan Hindu di Jawa yang pertama guna mengetrapkan watak sinkretik
agama Hindu untuk mentransmutasi instrument musik Asitik, sheng atau
intrumen tiup bamboo menjadi instrument Jawa, gender.35
C. Kritik Sosial
a. Kritik Sosial
Kritik sosial terdiri dari dua istilah yakni dari kata kritik dan
sosial. Kritik, dalam kamus besar Bahasa Indonesia di jelaskan bahwa
kritik berarti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian
dan pertimbangan baik buruk suatu hasil karya, pendapat dan
sebagainya.36
Sedangkan sosial asal mulanya adalah dari istilah sosiologi
bahasa Latinnya socius artinya teman atau kawan, kata socius menjadi
social yang memiliki arti berteman, bersama, berserikat, bermaksud
untuk mengerti kejadian-kejadian dalam masyarakat yaitu persekutuan
manusia, untuk dapat berusaha mendatangkan perbaikan dalam
kehidupan bersama.37
Dalam kehidupan bersama terdapat ilmu masyarakat atau ilmu
kemasyarakatan yang mempelajari manusia sebagai anggota golongan
atau masyarakat (tidak sebagai individu yang terlepas dari golongan
dan masyarakat), dengan ikatan adat, kebiasaan, kepercayaan atau
agamanya, tingkah laku serta keseniannya atau yang disebut sebagai
kebudayaan yang meliputi segala segi kehidupannya, istilah ini sering
juga disebut sebagai sosiologi.38
35
DR. F.X. Suhardjo Parto, Musik Seni Barat dan Sumber Daya Manusia, Puataka
Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 5
36
Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pemgembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 466
37
Hassan Shadliy, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta,
1983, hlm. 1
38
Ibid., 2
27
Sifat sosial dulunya hanya terkenal sebagai sifat perseorangan,
namun, sosial sekarang berkembang lebih sebagai sifat golongan
dalam usaha untuk kepentingan masyarakat atas jalan kebenaran.39
Namun, usaha untuk kepentingan masyarakat atas jalan
kebenaran itu, sering kali terhalangi oleh pertikaian, pertikaian yang
muncul karena adanya persaingan, baik pertikaian yang sifatnya antar
individu maupun pertikaian yang bersifat kelompok, atau pertikaian
yang muncul karena adanya perbedaan emosi antara orang-orang
dalam suatu proses interaksi sosial, dan perbedaan emosi boleh jadi
timbul karena adanya kepentingan sosial.
Dalam hal ini menurut pendapat Soejono Dirdjosisworo dalam
bukunya sosiologi hukum, yang dikutip oleh Abdulsyani dalam
bukunya yang berjudul sosiologi kelompok dan masalah sosial,
Soejono mengatakan bahwa suatu masalah timbul karena kepentingan
sosial yang berbeda pada setiap bentuk masyarakat (maksud
masyarakat disini adalah masyarakat Indonesia), keadaan ini terasa
adanya pada masyarakat modern, masyarakat massa, masyarakat
berlapis, maka penafsiran tentang “keadilan” relative lebih bersifat
subyektif, bahwa apa yang menurut kelompok sosial itu adil, bisa
merupakan perkosaan kepentingan mutlak kepentingan lain atau pihak
lain. Dikataan pula hal ini terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan
kepentingan yang sangat erat hubungannya dengan hajat hidup
manusia.40
Pendapat
tersebut
menggambarkan
bahwa
perbedaan
kepentingan, baik bersifat perorangan atau kelompok manusia
merupakan sumber timbulnya pertikaian.
Faktor lain yang menyebabkan pertikaian adalah: 1) Pokok
persoalan yang dipertentangkan; 2) Perbandingan antara struktur sosial
dan tujuan; 3) Nilai-nilai atau kepentingan.
39
Ibid., 207
DRS. Abdulsyani, Sosiologi Kelompok Dan Masalah Sosial, Fajar Agung, Jakarta,
1987, hlm. 34
40
28
Dari konflik diatas, muncullah bentuk pertentangan secara
khusus dalam masyarakat adalah sebagai berikut: 1) Pertentangan
individu; 2) Pertentangan kesukuan; 3) Pertentangan sosial.41
Bentuk-bentuk seperti itulah, yang merupakan masalah sosial,
yang pada dasarnya disebabkan oleh adanya gangguan atau goncangan
yang menyangkut ketidak seimbangan antara interpretasi-interpretasi
tentang nilai-nilai social dan moral.42
Beberapa faktor dan bentuk pertikaian sebagai masalah sosial
menjadi gangguan di masyarakat, sehingga gangguan lainpun muncul,
seperti: Kejahatan, kejahatan muncul karena tidak adanya keadilan
atau aturan yang jelas dalam masyarakat baik dalam bidang
pembangunan,
ekonomi,
maupun
pendidikan
dan
sebagainya,
kejahatan muncul karena tidak tegaknya hak asasi manusia, karena
kemiskinan akibat sulitnya mencari lapangan pekerjaan dan angka
pengangguranpun semakin bertambah), kejahatan dapat berupa
pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, dan sebagainya.43
Berbagai penyelidikan telah dijalankan untuk mengetahui
kejahatan ini, dan bermacam-macam pendapat telah dikemukakan.
Dalam bukunya Hassan Shadly diterangkan Wines dalam “Punishment
and Reformation” Mengadakan dua macam pembagian tentang sebabsebab kejahatan yaitu: Yang subyektif, ialah yang terdapat dalam
perseorangan itu sendiri, dalam riwayat hidupnya, kesehatan, watak
dan pikirannya; yang obyektif, ialah yang terdapat diluar perseorangan
penjahat itu: pendidikan, keadaan rumah tangga, dan alam sekitarnya
dari lahir hingga meninggalnya.44
Uraian di atas merupakan gambaran masyarakat, paling tidak
dapat mewakili seperti apa masyarakat saat ini dan sebelumnya,
Karena menurut Melvil Le Y. Herskovit unsur kebudayaan terdiri dari;
41
Ibid., hlm. 35
Abdulsyani, op.cit., hlm. 116
43
Hassan Shadliy, op. cit., hlm. 365
44
Ibid., hlm. 366
42
29
alat-alat teknologi, sistem ekonomi, masyarakat (keluarga), kekuasaan
politik. C Klok Hohn menambahkan Bahasa (lisan maupun tulisan),
sistem pengetahuan, religi, dan kesenian.45
Kebudayan sendiri menurut KPAA (Konferensi Pengarang
Asia Afrika), secara obyektif bahwa di dunia ini ada dua kebudayaan,
budaya yang diciptakan oleh orang-orang atas yang menguasai dan
menindas, dan yang satunya lagi dimanifestasikan oleh orang-orang
bawah yang ditindas dan melawan.46
Hal itulah yang kemudian menimbulkan protes keras atau
kritik, mengkritik ketidak benaran dalam masyarakat, kritik dapat
dilakukan oleh siapa saja, kritik yang dilakukan oleh para ilmuan, baik
ilmuan dibidang sosial, politik, ekonomi, agama, serta dibidang
pendidikan, kritik tidak harus dilakukan para ilmuwan, tetapi
mengkritik dapat pula dilakukan oleh ahli seni atau sering juga disebut
sebagai seniman.
Ketimpangan yang terjadi diatas telah digambarkan oleh
seorang seniman melalui teks lagu/syair. Teks lagu dikupas dengan
menggunakan metode etnomusikologi, yakni dengan melihat latar
belakang budaya masyarakat, dan menciptakan lagu menggunakan
bahasa sebagaimana bahasa yang dipakai sehari-hari.
Kebudayaan di mata masyarakat hanya sebagai barang warisan,
namun, bagi para seniman yang bersatu dalam manifest kebudayaan
dalam bukunya D. S Moelyanto Prahara Budaya di jelaskan bahwa:
“Bagi kami (para seniman) kebudayaan adalah perjuangan untuk
menyempurnakan hidup”.47
45
Hartomo, op.cit., hlm. 40
D. S Moelyanto, Prahara Budaya Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Mizan, Bandung,
1995, hlm. 302
47
Ibid., hlm. 192
46
30
Jadi, mengkritik bertujuan untuk mentertibkan/menserasikan
kembali atau
perkembangan.
mungkin
menjadi bentuk baru sebagai akibat
48
D. Efektifitas Seni musik (syair/lagu) Sebagai Kritik Sosial
Dalam menjelaskan efektifitas syair/teks lagu sebagai kritik sosial,
maka perlu dijelaskannya terlebih dahulu unsur-unsur pokok musik. Para
ahli berbeda dalam memberikan penjelasan. Ikhwan al-Shafa menyatakan
bahwa musik adalah suara yang mengandung lagu, nada, dan cengkok,
lain halnya dengan Ikhwan al-Shafa, al-Farabi menjelaskan bahwa musik
adalah lagu, yaitu kumpulan ritme yang disusun dengan urutan dan
ketentuan tertentu. Oleh karena itu, lagu dan ritme merupakan sumber
utama bagi musik. Sementara Joseph Machlis menganggap lagu adalah
pergantian nada-nada yang dirasakan oleh akal sebagai sesuatu yang ada,
dan lagu yang ada dalam musik disebut sebagai rohnya musik.49 Dengan
demikian salah satu unsur pokok musik adalah lagu/ teks syair.
Teks/syair lagu itulah yang menjadi obyek kajian disiplin
etnomusikologi-kualitatif, fungsi etnomusikologi-kualitatif di sini untuk
menelaah atau menemukan arti syair lagu sebagai kritik sosial.
Etnomusikologi yang memiliki arti sebagai ilmu musik bangsa-bangsa
yang kemudian diberikan prespektif baru dari penelitian kualitatif. Dengan
warna yang lebih kaya nuansa, yang prespektif tersebut memberikan
realitas internal (kenyataan yang dalam). Dalam meneliti perjalanan
etnomusikologi sebagai disiplin ilmu musik bangsa-bangsa yang
berkembang menjadi mencari hubungan antara musik dengan manusia,
pengertian tersebut dalam kajian seni dan kritik sosial studi atas syair/teks
lagu sebagai kritik sosial masih berifat umum, sehingga dengan cara kerja
48
Ibid.,
Dalam menjelaskan unsur pokok yang terdapat pada musik, Joseph Machlis
menerangkan unsure-unsur penting yang ada dalam musik. Menurutnya, musik memiliki lima
materi pokok: musical line (lagu), musical space (harmoni), musical time (ritme), musical pace
musical color (timbre/warna nada).Dr. Abdul Muhaya, op. cit., hlm. 28
49
31
induktif dengan kekayaan tafsirnya,50 menyederhanakan pengertian
tersebut menjadi meneliti teks lagu/syair sebagai kritik sosial.
Cara kerja induktif dalam kajian seni dan kritik sosial adalah
mencantumkan serta mengkelas-kelaskan teks/syair lagu sesuai dengan
tema yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, sementara agar
terlihat sistematis diambil rancangan yang interdisipliner antara syair/teks
lagu dengan tema permasalahan atau ketimpangan sosial yang terjadi di
masyarakat, dan teks/syair lagu dipahami sebagai kompleksitas di dunia
nyata, dan kedua istilah tersebut dipandang sebagai satuan yang utuh yang
tertanam dalam konteks dalam satuan yang lebih besar lagi.
Teks/syair lagu tercipta karena terjadinya peristiwa dalam
masyarakat, entah dibidang politik, sosial, ekonomi, budaya, agama dan
sebagainya. Teks/syair lagu tercipta tidak dapat terlepas dari seniman, dan
seniman sendiri merupakan bagian dari masyarakat, yang bersingungan
langsung dengan yang lainnya, melakukan aktifitas sesuai yang terdapat di
masyarakat, menggunakan bahasa sebagaimana bahasa yang dipakai
keseharian sebagai alat komunikasi, oleh sebab itu, teks/syair lagu
merupakan ungkapan bahasa dari perasaan seniman, dan seniman itu
merupakan bagian dari masyarakat yang berkebudayaan.
Teks/syair lagu sebagai kritik sosial disini maksudnya adalah
teks/syair lagu secara umum, tidak hanya dangdut, tetapi juga teks /syair
lagu yang lainnya seperti: lagu pop, dan lain sebagainya. Seperti halnya
lirik lagunya Iwan Fals.51 Lirik lagunya banyak berbicara (mengkritik)
tentang kesalahan yang dilakukan oleh aparat negara/pemerintahan,
ketimpangan yang dikritik meliputi: bidang politik (lagu “sumbang”;
50
Sementara secara kulatitatif, Menurut Sutopo penelitian kualitatif memberikan
prespektif baru, dengan warna yang lebih kaya nuansa. Lantaran prespektif tersebut memberikan
realitas internal. Daya tarik penelitian kualitatif terletak pada cara kerja induktif dengan kekayaan
tafsirnya. Apalagi bila diingat realitas sosial sebenarnya bersifat subyektif, sebab tergantung pada
tempat, waktu, dan konteks (realitas) sosial budaya yang ada dilapangan. Ali Mufis, Metode
Penelitian Kualitatif Untuk Kebijakan Publik, Jurnal Jaclit Bima Suci, Nomor 6 tahun 1997, hlm.
63
51
Nama asli Iwan Fals adalah Virgiawan Listanto lahier di Jakarta tanggal 3 September
1961. Ibunya bernama Lies yang lahir tanggal 24 Juni 1940 dan bapak Harso lahir pada tanggal 19
Agustus 1923 di Nganjuk Jawa Timur. http//:www. Iwan_com.
32
1982), bidang sosial (“Tarmijah dan problematikanya”; 1982), bidang
ekonomi (“PHK”; 1987), bidang budaya (“Kota I”; 1987), bidang
pendidikan (“Guru Omar Bhakri”; 1981)52, atau tek/syair lagunya Emha
Ainun Nadjid seperti; Al bum “Zaman Wis Akhir”1999.53 Emha sangat
akrab dengan rayat kecil yang juga disebut “wong cilik” dan sering
melakukan pembelaan terhadap mereka atas kelaliman rezim orde baru,
yang mengakibatkan rakyat kecil menjadi sengsara dan menderita,
semangat untuk melakukan pembelaan terhadap mereka melalui berbagai
macam cara antara lain: melalui puisi, dan kesenian, tulisan konsultasi dan
pengobatan, usaha pemberdayaan ekonomi rakyat, workshop pendidikan
politik, pengajian padang bulan, dari pengkhotbahan rohani, do’a masalah
atau apa saja yang dianggapnya baik.
Begitupula dengan Rhoma Irama menciptakan syair/teks lagu yang
terrangkum dalam musik berangkat dari kenyataan masyarakat (realitas
sosial) maka terciptalah syair/teks lagu yang bernuansa kritik.
Dalam proses ini, manusia berfungsi sebagai presiator seperti
pengolah, seperti “gudang” terhadap musik. Seorang pencipta lagu atau
Seniman menggambarkan aktivitas (peristiwa) yang terjadi di masyarakat
melalui musik. Dan musik bagi seniman merupakan sarana untuk
mengapresiasikan diri, disamping sebagai prosfesi (mata pencarian
ekonomi), juga sebagai kritik terhadap masyarakat (sosial).
Disitulah letak musik sebagai produk budaya yang syarat dengan
nilai dan pesan budaya masyarakat pendukungnya, dapat ditelaah secara
fungsional, dengan melihat kaitanya dengan unsur-unsur lain seperti: seni
tari, seni lukis, seni drama, ketiga seni itu juga dapat menjadi alat sebagai
kritik sosial, semua itu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
52
Yudi noor Hadiyanto, Perjalanan Batin Iwan Fals (Studi Syair Atas Lagu Mistis),
Fakultas Ushuluddin, Semarang, 2006, Hlm. 198-204
53
Emha Ainun Nadjid lahir pada tanggal 27 Mei 1953, tepatnya didesa Menturo,
Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Karya Emha Ainun nadjid terdiri menjadi lima bagian; Pertama
sajak, kedua cerpen, ketiga Esai, keempat kolom, kelima syair lagu. Lihat Karya Tulis, Nur Huda
Widiana, Pesan-Pesan Dakwah Islam Emha Ainun Nadjid Tentang Sosial Politik Tahun 19971999 (Studi Penggunaan Bahasa Dakwah Melalui Pendekatan Hermeunetik), Fakultas Dakwah,
Semarang, 2000, hlm. 93
33
Dengan mengkondisikan beradanya seni musik itu sendiri dalam
masyarakat.54
Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa musikalitas tidak
menempati suatu kotak tersendiri dalam pribadi manusia (para seniman).
Tapi, ia sedikit atau banyak bercampur dalam diri manusia, hidup dalam
dirinya, terjalin menjadi satu dengan pribadi manusia. Ia ada pertalian
dengan perasaan dan pikiran, dengan hati dan otak, dengan panca indra
dan jiwa kita. Oleh sebab itu musik dalam kehidupan setiap orang yang
hidup utuh memegang peranan dalam bentuk apapun.55 Dan berfungsi
sebagai pengatur kehidupan, baik di dunia ini maupun kehidupan yang ada
pada alam mitsl.56
Mengatur kehidupan manusia untuk bermasyarakat, mencegah
kemunkaran yang terjadi di masyarakat (kritik sosial) dan menyuruh untuk
berbuat baik (istilah dalam Islamnya adalah dakwah). Karena musik
menjadi rujukan sebagai kekuatan psikologis yang mampu menembus
dinding ruhani secara lebih intensif melalui transendensi kode-kode
simbolik dan estetik. 57
Dengan demikian untuk melakukan kritik sosial atau menjalankan
dakwah diperlukan apresiasi terhadap seni (musik), sedangkan berseni
tidak harus menggunakan sistemasi kritik sosial atau dakwah, berangkat
dari kenyataan masyarakat dengan sendirinya seni musik memuat nilainilai kritik sosial. Musik dalam kehidupannya manusia sudah menjadi
54
Arius Swamin Taryanto op. cit., hlm. 217-218
Wouter Raap, Kearah Pengertian dan Penikmatan Musik (mens ed Melodi), Pustaka
Recordansa, Jakarta, 1978, cet. II., hlm. 9
56
Dr. Abdul Muhaya, op. cit., hlm 24
57
Bahkan dalam Islam sendiri, kalau melihat narasi keseimbangan dan keselarasan
bentuk seninya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an, bukanlah semata proses kreatif
penyeimbang antara kriteria seni dan kriteria dakwah, tetapi juga merupakan proses holistikasi
antara rigiusitas, Etika, dan Estetika, yang kemudian melahirkan argumentasi makna, Hakekat seni
bukanlah semata alat yang efektif untuk berdakwah, melainkan dapat dijadikan rujukan sebagai
kekuatan psikologis yang mampu menembus dinding ruhani secara lebih intensif melalui
transendensi kode-kode simbolik dan estetik. Dengan demikian, untuk menjalankan dakwah
diperlukan apresiasi terhadap seni, sedangkan berseni tidak harus menggunakan sistemasi dakwah
Hamdy Salad, Agama Seni Refleksi Teologis Dalam Ruang Estetik, Semesta, Yogyakarta, 2000,
hlm. 55-56
55
34
kebutuhan sehari-hari, hampir disetiap tempat sepanjang hari musik dapat
dinikmati, baik melalui radio, televisi, tape recorder, maupun pertunjukan
musik.58 Sebagai kebutuhan manusia dengan musik tidak dapat dipisahkan
dengannya, yakni kebutuhan untuk menghibur diri, mengembangkan
potensi, serta kebutuhan untuk berbenah diri dari kesalahan dan kekeliruan
dalam bermasyarakat yakni perlunya kritik sosial dan lain sebagainya.
Dengan etnomusikologi–kualitatif menjadi metode untuk mencari
kritik yang terdapat Teks lagu/syair. Metode kritik disampaikan oleh
seniman melalui syair atau teks lagu yang dibawakan dalam rangkaian
musik. Dengan melihat realitas yang tercipta merupakan hasil yang
sistematis, terkonstruksi dan hegemonik. Melalui analisis sosial maka
realitas yang tercipta akan tampak dengan melihat siapa-siapa yang
berperan dan seberapa jauh dia diuntungkan dalam lingkaran realitas
tersebut.
Teks/syair lagu memiliki nilai atau ruh dapat menembus ke dalam
jiwa dan dapat mengikat perspektif seseorang yakni membantu
membentuk karakter atau cara pandangnya.59 Apa yang ada di ‘belakang’
dan di ‘depan’ musik bukan hanya estetika saja. Tapi segi keilmuanya juga
ada, dan dapat bermanfaat bagi kehidupan masa depan.60 Sebagai studi
untuk menemukan prinsip-prinsip kehidupan manusia dari arah musik,61
sedikit banyak etnomusikologi telah mengangkat ideologi musik.62
Jadi, etnomusikologi-kualitatif tepat untuk dijadikan sebagai
landasan teori atau sebagai jembatan untuk menyatukan syair/teks lagu
sebagai kritik sosial, sehingga syair/teks lagu memiliki nilai yang efektif
dijadikan sebagai kritik sosial.
58
Musik merupakan kesenian yang keindahannya dapat dinikmati melalui indera
pendengaran dan telah ada sejak zaman sebelum datangnya Islam. DR. Yusuf Al-Qardhawy,
Nasyid Versus Musik Jahiliyah, Terj. H. Ahmad Fulex Bisri, H. Awan Sumarna, H Anwar
Mustafa, Mujahid Press, Bandung, 2003, hlm. 9-10
59
Djohan, op.cit., hlm.221
60
Seperti kata Jaya Suprana dalam bukunya Suhardjo Parto yang berjudul “Musik Seni
Barat Dan Sumber Daya Manusia” bahwa musik dapat tingkatkan produktifitas kerja.
Suhardjo Parto, op. cit., hlm. xvii
61
Suhardjo Parto, op. cit., hlm. 1-2
62
Shin Nagakawa, op.cit., hlm. 3-4
35
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pustaka, Ensiklopedi Nasional, Jilid VII., PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta,
1994.
Mack, Dieter., Mengapa ’New Age’ dan ‘World Music’ Musik dari Sudut
Pandang Multikultural, Kalam 7, Jurnal Kebudayaan, 1996.
Hatta, Muhammad., Alam Pikiran Yunani, UI Press, Jakarta, 1986.
Sahman, Human, Drs., Mengenali Dunia Seni Rupa, IKIP Semarang Press,
Semarang, 1993.
______________, Telaah Sistematik Dan Historik, IKIP Semarang Press,
Semarang, 1993.
Kattsof, Louis., Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1987.
Hartomo, H. Drs., Ilmu Sosial Dasar, Bumi Aksara, Jakarta, 1999.
Muhaya, Abdul, Dr., M.A, Bersufi Melalui Musik Sebuah Pembelaan Musik Sufi
Oleh Ahmad al-Ghazali, Gama Media, Yogyakarta, 2003.
Djohan, Psikologi Musik, Buku Baik , Yogyakarta, 2003.
Nasr, Hossein, Seyyed., Spiritualitas Dan Seni Islam, Terj. Drs. Sutejo, Mizan,
Bandung, 1993.
Nagakawa, Shin, Prof., Musik Dan Kosmos Sebuah Pengantar Etnomusikologi,
Yayasan Obor Bentang Budaya, Jakarta, 2000.
Supanggah, Rahayu, Etnomusikologi,
Yogyakarta, 1995.
Yayasan
Obor
Bentang
Budaya,
Ahsoul, Faiz (editor), Alat Musik Jawa Kuno, Yayasan Mahardhika, Yogyakarta,
2003.
Taryanto, Swamin, Arius H.H dan W, Wiwiek, Laz., “Etnomusikologi”
EnsikVlopedi Nasional Indonesia, PT. Adi Cipta Pustaka, Jakarta, 1990,
Jilid IV.
Raden, Franki, "Dinamika Pertemuan Dua Tradisi, di abad ke 20", Kalam "Jurnal
Kebudayaan", edisi 2, (Bulan, 1994).
Parto, Suhardjo, D R. F.X., Musik Seni Barat dan Sumber Daya Manusia, Puataka
Pelajar, Yogyakarta, 1996.
36
Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pemgembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.
Shadliy, Hassan., Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, PT. Bina Aksara,
Jakarta, 1983.
Abdulsyani, DRS., Sosiologi Kelompok Dan Masalah Sosial, Fajar Agung,
Jakarta, 1987.
Moelyanto S.D., Prahara Budaya Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Mizan,
Bandung, 1995.
Mufis, Ali, Metode Penelitian Kualitatif Untuk Kebijakan Publik, Jurnal Jaclit
Bima Suci, Nomor 6 tahun 1997.
Hadiyanto, Noor, Yudi, Perjalanan Batin Iwan Fals (Studi Syair Atas Lagu
Mistis), Fakultas Ushuluddin, Semarang, 2006.
Widiana, Huda, Nur, Pesan-Pesan Dakwah Islam Emha Ainun Nadjid Tentang
Sosial Politik Tahun 1997-1999 (Studi Penggunaan Bahasa Dakwah
Melalui Pendekatan Hermeunetik), Fakultas Dakwah, Semarang, 2000.
Raap, Wouter., Kearah Pengertian dan Penikmatan Musik (mens ed Melodi),
Pustaka Recordansa, Jakarta, 1978, cet. II..
Salad, Hamdy., Agama Seni Refleksi Teologis Dalam Ruang Estetik, Semesta,
Yogyakarta, 2000.
Al-Qardhawy, DR., Yusuf, Nasyid Versus Musik Jahiliyah, Terj. H. Ahmad Fulex
Bisri, H. Awan Sumarna, H Anwar Mustafa, Mujahid Press, Bandung,
2003.
Download