Sejarah Kerajaan Jailolo di Bawah Kekuasaan Kolano Katarabumi

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
Bagian ini diberikan beberapa kajian teori dan relevansi penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya, sehingga dapat digunakan untuk mengkaji dan juga
menyelesaikan
atau menjawab permasalahan penelitian. Bagian ini diawali
dengan pengertian sejarah, kemudian perertian kekuasaan.
2.1 Pengertian Sejarah
Secara etimologi kata sejarah dalam bahasa Indonesia itu berasal dari
bahasa Melayu yang juga diambil dari bahasa Arab yaitu Syajaratum yang
mengandung arti batang pohon yang bercabang-cabang atau beranting. Makna
secara harfiah itu kemudian dikenakan kepada manusia, yaitu dihubungkan
dengan keturunan atau asal-usul dan juga ada yang mengidentifikasi dengan
silsilah. Makna keturunan itu tidak berlaku untuk umum, tetapi dikhususkan
kepada silsilah keluarga raja atau dinasti tertentu. Bila keturunan elite istana itu
digambarkan secara sistematis dan kronologis akan membentuk ranting-ranting
keturunan (Widiarto, 2007: 1-2).
Roeslan Abdulgani berpendapat bahwa sejarah adalah salah satu cabang
ilmu pengetahuan yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan
perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau beserta kejadiankejadian dengan maksud untuk kemudian menilai secara kritis seluruh hasil
5
penelitiannya tersebut, untuk selanjutnya dijadikan perbendaharaan pedoman bagi
penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah proses masa depan.
menurut Bernheim dalam (Widiarto, 2007: 7) menyatakan bahwa ilmu
sejarah adalah ilmu yang menyelidiki dan menceritakan peristiwa-peristiwa dalam
waktu dan ruang yang dihubungkan dengan perkembangan aktifitas manusia baik
yang bersifat individu maupun bersifat kelompok sebagai kehidupan masyarakat
dalam hubungan timbal balik antara rohaniah dan jasmaniah. Berdasarkan
pernyataan tersebut maka dalam sejarah ditemukan fakta, ruang, dan waktu dan
ketiga unsur tersebut sangat penting dalam memahami sejarah secara kritis.
Bila dilihat berdasarkan istilah sejarah memiliki 3 makna, yakni sejarah
sebagai peristiwa masa lampau, sejarah sebagai kisah tentang masa lampau dan
sejarah sebagai ilmu tentang masa lampau .
2.1.1 Sejarah Sebagai Peristiwa
Sejarah sebagai peristiwa atau kejadian sama artinya dengan geschichte
dalam bahasa Jerman yang berasal dari kata geschehen yang berarti pula telah
terjadi atau kejadian, sama pula artinya dengan res gestae dalam bahasa Latin
yang bermakna hal-hal yang telah terjadi. Sejarah merupakan peristiwa yang
sungguh-sunggu terjadi atau fakta, merupakan sebagian atau keseluruhan dari
suatu peristiwa yang dapat disaksikan secara langsung maupun tidak langsung.
Penulisan sejarah mengenai peristiwa atau kejadian tidak dapat hanya melihat
bahwa suatu peristiwa atau kejadian telah terjadi, tetapi juga dipengaruhi oleh
6
faktor-faktor yang mendukung hingga munculnya peristiwa tersebut (Louis
Gottschalk, 1975: 27).
Pengertian sejarah sebagai peristiwa memiliki sifat atau ciri-ciri einmalig
dan unik. Einmalig berarti sekali terjadi, setiap peristiwa hanya sekali terjadi dan
tak akan pernah terulang kembali. Sedangkan sifat unik menunjuk sebagai satusatunya yang berarti tidak ada duanya. Pengertian ini dipertegas lagi oleh
sejarawan berkebangsaan Inggris R.G. Collingwood, yang
mengatakan bahwa
sejarah sebagai rerum gestarum atau kisah dari peristiwa yang telah terjadi di
masa lalu, yang hanya menjadi cerita atau kisah, kisah peristiwa aktivitas manusia
di masa silam atau lampau (Louis Gottchalk, 1975: 29).
2.1.2 Sejarah Sebagai Kisah
Sejarah sebagai kisah adalah rekaan hasil rekonstruksi manusia, yang
berupa cerita yang disusun berdasarkan pendapat seseorang, tentu saja sejarah
sebagai rekaman peristiwa masa lampau itu tidak sama dengan peristiwa itu
sendiri. Karena ditulis bardasarkan memori, kesan atau tafsiran manusia terhadap
suatu peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
Sejarah sebagai kisah adalah sejarah dalam pengertian subjektif. Disebut
subjektif karena dalam penulisan sejarah tersebut telah mendapatkan penafsiran
dari penyusunan cerita sejarah. Dalam hal ini sejarawan mempunyai peran, artinya
mereka menyusun cerita sejarah berdasarkan jejak-jejak sejarah (sejarah sebagai
peristiwa) namun tetap dipengaruhi oleh sudut pandang sejarawan itu sendiri.
Sejarah sebagai kisah adalah sejarah sebagaimana dikisahkan secara tertulis
7
berdasarkan hasil penelitian. Dengan kata lain, sejarah sebagai kisah adalah
rekonstruksi peristiwa sejarah berdasarkan fakta sejarah. Sejarah sebagai kisah
atau rekaman masa lampau dapat di ulang-ulang (Kuntowijoyo, 1999: 2).
2.1.3 Sejarah Sebagai Ilmu
Pengertian sejarah sebagai kisah mengembangkan konsep sejarah sebagai
ilmu yang disebut ilmu sejarah, istilah-istilah dalam bahasa barat seperti halnya
history dalam Inggris, histoire dalam bahasa Prancis, historia dalam bahasa Latin,
bersumber dari kata benda istor atau histor dalam bahasa Yunani yang berarti
orang pandai atau bijak, sedangkan kata kerjanya historein lebih menunjuk suatu
pengertian yang mengarah kepada konsep ilmu (Kuntowijoyo, 1999: 1).
Sejarah dikatakan sebagai ilmu karena merupakan pengetahuan tentang
masa lampau, yang di susun secara sistematis dengan menggunakan metode
kajian secarah ilmiah untuk mendapatkan kebenaran mengenai peristiwa masa
lampau. Oleh karena itu, sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan harus
dibuktikan secara keilmuan dengan menggunakan metode-metode dan berbagai
standar yang dapat dipertang gungjawabkan.
Kebenaran itu harus dapat dibuktikan dari sumber sejarah seperti
dokumen, prasasti, naskah, buku harian, surat-surat
atau apapun yang dapat
dijadikan sumber sejarah yang telah di uji sehingga dapat dipercaya sebagai suatu
fakta sejarah. Menurut Kuntowijoyo, sejarah sebagai ilmu memiliki ciri sebagai
berikut:
8
a) Bersifat Empirik.
Secara etimologi kata empirik berasal dari istilah bahasa Yunani :
Empeirea, artinya: Pengalaman. Sejarah termasuk juga pada ilmu-ilmu
empirik. Artinya sejarahpun mendasarkan diri pada pengalaman serta
pengamatan manusia. Memang harus diakui bahwa pengamatan sejarah
tidak mungkin dilakukan secara langsung terhadap objeknya seperti halnya
pada ilmu-ilmu alam. Objek ilmu sejarah adalah masa lampau. Masa
lampau itu sendiri sudah tidak lagi dapat diamati dan dialami lagi, karena
memang sudah lampau dan hilang ditelan waktu. Yang masih dapat
diamati dalam sejarah adalah peninggalan-peninggalan yang masih tersisa,
bukti-bukti serta kesaksian dari para pelaku sejarah. Peninggalanpeninggalan tersebut kemudian diteliti oleh para sejarawan untuk
menemukan fakta yang akan diinterpretasi/ditafsirkan menjadi tulisan
sejarah (Kuntowijoyo, 1999: 61).
b) Objek Sejarah.
Objek dalam bahasa Latin adalah objectus berarti harapan atau tujuan.
yang menjadi objek ilmu sejarah adalah waktu, berbeda dengan ilmu-ilmu sosial
yang berupaya memahami perilaku manusia di waktu sekarang, maka ilmu sejarah
lebih berusaha untuk memahami perilaku manusia di waktu lampau. Waktu yang
dikaji dalam sejarah adalah waktu subjektif, ialah waktu yang dialami dan
dirasakan oleh manusia. Makna waktu bagi manusia tergantung relasinya terhadap
dirinya (Kuntowijoyo, 1999: 61)
9
c) Metode Sejarah.
Metode dalam bahasa Yunanai adalah methodos yang berarti cara.
Sejarah memiliki metode tersendiri yaitu metode sejarah, dengan metode
sejarah itulah akan dikaji keaslian sumber data sejarah, kebenaran
informasi sejarah, serta bagaimana dilakukan interpretasi dan inferensi
terhadap sumber data sejarah tersebut (Kuntowijoyo, 1999: 63)
d) Teori Sejarah
Teori dalam bahasa Yunani adalah theoria yang berarti renungan.
Sejarah memiliki teori ilmu pengetahuan (epistemology) sendiri yang
memberikan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah ilmu sejarah. Sejarah
memiliki teori-teori tersendiri mengenai kebenaran, objektivitas,
subjektivitas, generalisasi dan hukum sejarah. Sejarah sebagai ilmu telah
memiliki tradisi yang tua lagi panjang.Tiap kurun zaman berkembang pula
filsafat sejarah tersendiri (Kuntowijiyo, 1999: 61)
2.2 Pengertian Kekuasaan
Kekuasaan merupakan gejala yang selalu ada di masyarat manapun, yang
membedakan hanya bentuk-bentuk gejala kekuasaan itu sendiri. Ada banyak
pandangan yang berbeda mengenai kekuasaan, akan tetapi ada satu inti yang yang
Nampak dalam semua perumusan itu, yaitu bahwa kekuasaan dianggap sebagai
kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikaan
rupa, sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari
10
pelaku yang mempunyai kekuasaan. Dalam perumusan ini pelaku bisa berupa
seseorang, sekolompok orang atau suatu kolektivitas, Budiardjo (1984: 9)
Menurut pandangan sosiolog R.J. Moken dikutip dalam Budiarjo (1984:
18) kekuasaan adalah kemampuan
dari pelaku (seseorang, kelompok atau
lembaga) untuk menetapkan secara mutlak atau mengubah (keseluruhannya atau
sebagiannya) alternatif-alternatif bertindak atau alternatif-alternatif
memilih,
yang bersedia bagi pelaku-pelaku lain.
Kemudian Isjwara dikutip dalam Suryadi (2007: 51), menjelaskan bahwa
kekuasaan adalah gejala sosial yang terdapat dalam pergaulan hidup. Kekuasaan
merupakan gejala antar individu, antara individu dengan kelompok, antara
kelompok dengan kelompok, atau antara negara dengan Negara. Kekuasaan ialah
kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah
laku atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keinginan dan
tujuan orang yang mempunyai kekuasaan itu.
Kekuasaan seringkali pula dikatakan mempunyai sifat multiform. Ini
berarti kekuasaan itu diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti kekuasaan
spiritual, ekonomi, politik dan sebagainya. Berbagai bentuk kekuasaan tersebut
merupakan bagian dari kekuasaan sosial. Dalam hubungan ini kekuasaan sosial
boleh dianggap sebagai genus, sedangkan bentuk-bentuk kekuasaan yang lain
dianggap sebagai species dari genus kekuasaan sosial Haricahyono dikutip dalam.
Unsur pokok yang mendasari keberadaan kekuasaan ialah rasa takut, rasa
cinta, kepercayaan, dan pemujaan atau sugesti. Keempat unsur ini senantiasa
11
dimanfaatkan penguasa dalam menjalankan kekuasaannya, saluran pelaksanaan
kekuasaan dapat berupa sebagai berikut:
1. Saluran militer, tujuan utamanya adalah menimbulkan rasa takut dalam
diri masyarakat, sehingga mereka tunduk pada kemauan penguasa.
2. Saluran ekonomi, penguasa berusaha menguasai segala jaringan
ekonomi. Sehingga penguasa dapat menyalurkan perintah-perintahnya
melalui berbagai peraturan perokonomian, baik masalah modal, buruh,
ekspor-impor, dan sebagainya.
3. Saluran politik, penguasa sengaja membuat berbagai peraturan yang
harus ditaati masyarakat agar berbagai perintahnya berjalan lancar.
Untuk itu sengaja diangkat para pejabat yang loyal.
4. Saluran tradisi, penguasa mempelajari dan memanfaatkan tradisi yang
berlaku dalam masyarakat guna kelancaran pemerintah.
5. Saluran ideologi, penguasa mengemukakan serangkaian ajaran dan
doktrin hingga menjadi suatu ideologi bangsa, sekaligus menjadi dasar
pembenaran segala sikap dan tindakan selaku penguasa.
6. Saluran lainnya, berupa pers, kebudayaan, keagamaan, dan sebagainya.
2.2.1 Kekuasaan sosial
Kekuasaan sosial (social power) adalah suatu bentuk konsep sosiologis
yang disebut sosial kontrol. Tujuan dari kontrol sosial adalah untuk
mendisiplinkan para anggota-anggota kelompok terhadap aturan-aturan atau
norma-norma kelompok Suryadi (2007: 22). Kekuasaan dalam dalam masyarakat
12
tidak saja sebagai kontrol sosial tetapa juga pengendali dan penciptaan ketertiban
di masyarakat.
Fenomena kekuasaan di masyarakat ini tidak saja terjadi pada masyarakat
modern
tetapi juga pada masa masyarakat tradisional. Pada masa masyarakat
tradisional
peran-peran norma, adat-istiadat kebiasaan yang melalui tangan-
tangan kepala suku, raja atau pemimpin, dan kelompok dapat mengontrol dan
mengendalikan masyarakat.
Budiardjo (1991: 14) mengemukakan bahwa kekuasaan sosial adalah
keseluruhan dari kemampuan, hubungan-hubungan dan proses-proses yang
menghasilkan ketaatan dari fihak lain untuk tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh
pemegang kekuasaan.
Kemudian menurut Haricahyono dikutip dalam Suryadi (2007: 23)
mengatakan bahwa, kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengendalikan
tingkah laku orang lain, baik secara langsung
dengan jalan memberi perintah
maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang
tersedia.
Berdasarkan itu menurutnya kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu
berbentuk piramida. Ini terjadi karena kenyataan bahwa kekuasaan yang satu
membembuktikan dirinya lebih unggul dari yang lain, hal ini berarti bahwa yang
satu lebih kuat dengan jalan mengsubordinasi kekuasaan lainnya. Atau dengan
kata lain struktur piramida kekuasaan itu terbentuk oleh kenyataan dalam sejarah
13
manusia, bahwa golongan yang berkuasa (dan yang memerintah) itu relatif selalu
lebih kecil jumlahnya daripada golongan yang dikuasai dan yang diperintah.
Terkait dengan pengertian dengan kekuasaaan, Mac Iver membuat dalam
bentuk piramida kekuasaan dan membagi dalam tiga pola umum (Suryadi, 2007:
54)
Tipe pertama adalah dengan garis pemisah yang tegas dan kaku. Biasanya
dijumpai pada masyarakat yang berkasta, dimana garis pemisah tak mungkin
ditembus, seperti pada gambar di bawah ini:
1
2
3
4
5
6
7
Keterangan:
1
Raja (monarki)
2
Kaum Bangsawan
3
Orang-orang yang bekerja di pemerintahan
4
Pegawai Rendah
5
Tukang dan Pelayan
6
Petani dan Buruh tani
7
Budak
Gambar 2. Piramida Kasta (Sumber : Mc Ever, 1983 hal 113)
Pada puncak piramida kekuasaan berada di tangan raja, berikutnya
bangsawan, orang pekerja pemerintah, tukang-tukang dan pelayan-pelayan, petani
dan buruh, serta pada level bawah budak-budak. Tipe kedua adalah oligarki yang
masih memiliki pemisahan yang tegas, namun terbuka kesempatan bagi warga
biasa untuk memperoleh kekuasaan tertentu. Tipe ketiga adalah demokratis
14
menunjukan kenyataan akan adanya garis-garis pemisah yang sangat terbuka,
dengan ditentukan oleh kemampuan dan factor keberuntungan.
Bentuk piramida kekuasaan sosial terus mengalami adaptasi, sesuai
dengan perkembangan di masyarakat. Artinya bentuk piramida kekuasaan tetap
ada atau tidak hilang oleh perubahan masyarakat, yang berubah hanyalah simbol
komponen kekuasaan itu.misalnya pada masyarakat modern, piramida kekuasaan
lebih beragam dan diisi oleh komponen-komponen individu berdasarkan
kekuasaan materi dan kekuasaan legal formal (pemerintah).
2.2.2 Kekuasaan politik
Kekuasaan politik sering diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi
kebijaksanaan umum pemerintah, baik terbentuknya maupun akibat-akibat yang
sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan itu sendiri (Suryadi, 2007: 55).
Pada dasarnya kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial.
Yakni kekuasaan sosial yang fokusnya ditujukan kepada Negara sebagai satusatunya pihak yang berwenang yang mempunyai hak untuk mengendalikan
tingkah laku sosial dengan paksaan. Kekuasaan politik tidak hanya mencakup
kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari warga masyarakat, tetapi juga
menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk memperoleh tindakan
dan aktifitas Negara dibidang administrasi, legislatif dan yudikatif. Sehingga
suatu kekuasaan politik tidaklah mungkin tanpa penggunaan kekuasaan,
kekuasaan itu harus digunakan dan dijalankan. Apabila penggunaan kekuasaan itu
berjalan dengan efektif, hal ini dapat disebut sebagai kontrol (penguasaan atau
15
pengendalian). Dengan sendirinya untuk menggunakan kekuasaan politik harus
ada penguasa yaitu aktor yang memegang kekuasaan dan adanya alat atau sarana
agar penggunaan kekuasaan itu dapat dilakukan dengan baik (Suryadi, 2007: 56).
Dalam perspektif yang lebih luas, menurut Surbakti dikutip dalam Suryadi
(2007: 56) untuk memahami gejala politik dalam perspektif kekuasaan secara
tuntas maka kekuasaan di tinjau dari enam dimensi, yaitu:
1. Potensial dan aktual. Sesorang dipandang mempunyai kekuasaan potensial
apabila dia memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti kekayaan, tanah,
senjata, pengetahuan dan informasi, popularitas, status sosial yang tinggi,
masa yang terorganisasi dan jabatan. Sebaliknya sesorang dipandang
memiliki kekuasaan actual apabila ia telah menggunakan sumber-sumber
yang dimilikinya kedalam kegiatan politik secara efektif (mencapai
tujuannya). Sebagai contoh seorang pengusaha mempengaruhi para
pembuat keputusan politik.
2. Konsesus dan paksaan. Dalam menganalis hubungan kekuasaan maka
seseorang harus membedakan kekuasaan yang berdasarkan konsesus
dengan kekuasan yang yang berdasarkan paksaan. Politik yang
menekankan pada aspek konsensus dari kekuasaan akan cenderung
melihat elit politik sebagai orang sedang barusaha menggunakan
kekuasaan
untuk mencapai tujuan masyarakat secara keseluruhan.
Sebaliknya politik yang menekankan aspek kekuasaan akan cenderung
16
memandang politik sebagai perjuangan, pertentangan, dominasi dan
konflik.
3. Positif dan negatif. Kekuasaan positif dimaksudkan dengn penggunaan
sumber-sumber kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dipandang penting
dan diharuskan, sedangkan kekuasaan negatif ialah penggunaan sumbersumber kekuasan untuk mencegah pihak lain mencapai tujuannya yang
tidak hanya dipandang tidak perlu, tetapi juga merugikan pihaknya.
4. Jabatan dan pribadi. Pada masyarakat maju dan mapan baik jabatan dan
kualitas diri pribadi yang menduduki jabatan merupakan sumber
kekuasaan. Sebaliknya pada masyarakat yang sederhana, struktur
kekuasaan yang didasarkan atas pribadi tampak lebih menonjol daripada
kekuasaan yang terkandung dalam jabatan.
5. Implisit dan eksplisit. Kekuasaan implisit adalah pengaruh yang tidak
dapat dilihat tetapi dirasakan, sedangkan kekuasaan eksplisit adalah
pengaruh yang terlihat secara jelas dan dirasakan.
6. Langsung dan tidak langsung. Kekuasaan langsung ialah penggunaan
sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan
politik dengan melakukan hubungan secara langsung, tampa melalui
perantara. Sementara itu kekuasaan tidak langsung adalah penggunaan
sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan
politik melalui perantara pihak lain yang diperkirakan mempunyai
17
pengaruh yang lebih besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan
politik
2.3 Penelitian yang Relevan
Penelitian sebelumnya yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh
R. Z. Leirisa (1990) dalam disertasinya yang berjudul “Masyarakat Halmahera
dan Raja Jailolo: Studi Tentang Masyarakat Maluku Utara”. Penelitian ini
membahas bagaimana perdangangan rempah-rempah di Maluku Utara pada abad
17 oleh kerajaan Ternate, Tidore dan Bacan, yang mempunyai hubungan formal
dengan VOC. Leirisa juga mengatakan bahwa sebelum abad ke17 ada pula satu
kerajaan lain, yaitu kerajaan Jailolo yang berpusat dipulau Halmahera, pulau yang
terbesar di Maluku Utara, yang merupakan kerajaan yang tertua dan yang utama.
Kerajaan tersebut hilang dalam awal abad ke 17 karena dianeksasi oleh
Ternate dengan bantuan VOC. Pembahasan Lerisa lebih memfokuskan mengenai
kerajaan Jailolo setelah dianeksasi oleh Kesultanan Ternate dan Tidore. Serta
usaha Nuku (Sultan Tidore) untuk menghidupkan kembali kerajaan Jailolo dengan
mengangkat Raja Jailolo baru yang berada di Seram Pasir.
Penelitian ini berbeda dengan yang telah dilakukan sebelumnya. Hal yang
berbeda pertama adalah tahun keberadaan kerajaan Jailolo, Lerisa melihat pada
abad 17, dan penelitian yang dilakukan sekarang mengkaji pada tahun 1534-1551.
Perbedaan yang kedua adalah kajian masyarakat dan letak kerajaan, penelitian ini
merupakan kerajaan asli dari Jailolo yang ada di Halmahera, sedangkan Leirisa
meneliti kerajaan Jailolo buatan Tidore di Pulau Seram. perbedaan yang ketiga
18
yaitu perdagangan rempah-rempah, Leirisa melihat hubungan perdagangan
dengan VOC, tetapi penelitian ini melihat hubungan perdagangan dengan bangsa
Spanyol dan Portugis.
19
Download