Prof Ahmad Erani: Reformasi Tanpa Strategi Ekonomi Kelembagaan

advertisement
Prof Ahmad Erani: Reformasi Tanpa Strategi
Ekonomi Kelembagaan
Dikirim oleh humas3 pada 30 Desember 2010 | Komentar : 2 | Dilihat : 7201
Prof. Ahmad Erani Yustika
Kebijakan reformasi yang telah dilakukan selama satu dekade ternyata banyak menimbulkan masalah. Penyebab
munculnya masalah ini berasal dari dua sumber. Pertama, urutan kebijakan reformasi ekonomi yang tidak benar.
Kedua, absennya kelembagaan ekonomi untuk menjalankan kebijakan reformasi ekonomi.
Demikian disampaikan Prof Ahmad Erani Yustika MSc PhD pada konferensi pers pengukuhan guru besar di ruang
Humas Universitas Brawijaya (UB), Rabu (29/12). Pidato pengukuhan guru besar yang disampaikan hari ini,
Kamis (30/12), di gedung Widyaloka berjudul "Kebijakan Reformasi dan Kerapuhan Kelembagaan Ekonomi:
Ikhtiar Meluruskan Arah Perekonomian Nasional". Pengukuhan ini juga mencatatkan Prof. Erani sebagai guru
besar termuda di UB pada umur 37 tahun.
Urutan reformasi ekonomi mestinya dimulai dari reformasi kelembagaan mikro (misalnya di sektor pertanian dan
industri) dan reformasi harga; mendahului reformasi pada level makro ekonomi (kebijakan fiskal, moneter, dan
perdagangan luar negeri). Sebaliknya, Indonesia menerapkan reformasi terbalik, memulai reformasi makro terlebih
dulu, baru diikuti dengan reformasi pada level mikro (seperti di negara-negara Eropa Timur). Bahkan liberalisasi di
sektor keuangan dilakukan jauh mendahului reformasi di sektor perdagangan.
Akibatnya, lima soal berikut ini mengemuka sebagai konsekuensi dari urutan kebijakan reformasi ekonomi yang
salah. Pertama, liberalisasi keuangan hanya menjadi instrumen menafkahi kepentingan sektor keuangan itu sendiri,
bukan menumbuhkan sektor riil. Kedua, petani makin terjerembab karena kontrol harga dilepas, sementara penentu
harga (price maker) adalah pedagang/distributor. Ketiga, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh non-tradeable sector
yang import content-nya tinggi dan penyerapan tenaga kerjanya rendah. Keempat, marginalisasi pelaku ekonomi
tradisional dan skala kecil akibat kalah bersaing dengan pelaku ekonomi besar di sektor perdagangan. Kelima,
ketimpangan pendapatan meningkat seiring laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Inilah ongkos reformasi
ekonomi akibat kesalahan kebijakan.
Dosen yang saat ini menjabat sebagai Direktur Ekskutif INDEF, ini menyampaikan stabilitas makroekonomi yang
relatif bagus menimbulkan tiga masalah akut, yakni kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran. Ini
terjadi karena tidak diimbangi kelembagaan makro dan mikro ekonomi yang solid.
Pada level kelembagaan makro, reformasi ekonomi tidak diikuti dengan reformasi administrasi, hukum, dan
politik. Akibatnya, birokrasi berjalan amat pelan (reformasi administrasi/birokrasi tidak berjalan), tidak ada
kepastian berusaha (karena rapuhnya penegakan hukum), dan sebagian sumber daya ekonomi digerogoti oleh
praktik korupsi (reformasi politik yang cuma berada di level prosedural).
Prof Erani menyontohkan untuk perlindungan hak cipta (copy right), Indonesia berada di posisi terakhir dari 12
negara di Asia yang disurvei PERC (Political and Economic Risk Counsultancy). "Di Indonesia ini bukan copy
right yang dilindungi tapi right to copy," ujarnya. Skor Indonesia mencapai 8,5 (skor 10 paling buruk dalam
melindungi hak kekayaan intelektual). Sebagai perbandingan skor Singapura 1,5 diikuti Jepang (2,1), Hong Kong
(2,8), Taiwan (3,8). Negara terburuk kedua yaitu Vietnam (8,4).
Sementara itu, kelembagaan mikro yang tidak dipersiapkan adalah: Pertama, ketiadaan aturan main hubungan
antarpelaku ekonomi di sektor pertanian, regulasi untuk mengurangi dominasi pedagang lokal, strategi
menghidupkan aset orang miskin yang mati (sehingga menyebabkan kemiskinan). Kedua, kelembagaan produksi
dan distribusi di sektor pertanian tidak disentuh, tidak ada statuta formal untuk mengatur proporsi kenaikan upah
minimum, liberalisasi keuangan tidak diimbangi dengan aturan bagaimana seharusnya dana tersebut dimanfaatkan
bagi kesejahteraan masyarakat (sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan)
Ketiga, desain insentif yang tidak bekerja di sektor pertanian, mahalnya biaya izin usaha, perilaku rent-seeking
dalam promosi sektor ekonomi, akses permodalan yang tidak berjalan maksimal, dan ketiadaan perlindungan
hukum terhadap sektor informal (sehingga menyebabkan pengangguran). Berikutnya, kelembagaan makro dan
mikro saja belum cukup, tapi masih harus ditopang dengan kelembagaan sosial, berupa jaminan sosial dan transfer
pendapatan untuk memastikan setiap individu dapat hidup secara laik (secara lebih lengkap, kerangka kelembagaan
makro, mikro, dan sosial yang perlu dibangun agar reformasi ekonomi berjalan ke arah yang benar dapat dilihat
pada tabel di bawah).[ai]
Artikel terkait
Hadiri Seminar Nasional Penataan Sektor Keuangan di Indonesia Setelah Terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan
150 Proposal Ikuti Seleksi Tahap ke-2 PMW UB
Devanto S. Pratomo, Ph.D Raih Juara II JIEB's Call for Paper 2010
Pemaparan ABEST21 di FE
SBY Pilih Dosen UB Jadi Pengawas BI
Download