BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penolakan Sosial 2.1.1 Konsep Penolakan Sosial Penolakan merupakan keadaan yang sangat umum dan berpotensi untuk menimbulkan stress. Keinginan untuk mendapatkan penerimaan (acceptance) dan menghindari penolakan merupakan hal yang diakui menjadi kebutuhan utama manusia. Akibat dari adanya penolakan oleh seseorang dapat menyebabkan munculnya kebencian, putus asa, penarikan diri secara emosional, dan kecemburuan pada individu (Horney, 1937, dalam Downey & Feldman, 1996). Namun begitu, setiap orang memiliki kesiapan yang berbeda dalam menerima dan merespons adanya penolakan. Penolakan sosial merupakan suatu fenomena dimana seorang individu sengaja dikeluarkan dari hubungan sosial di suatu kelompok tertentu (Matnuh, 2012). Penolakan ini meliputi penolakan secara interpersonal (peer group) maupun penolakan secara romantis. Sebagian orang merespons adanya penolakan dengan tenang, sabar, dan diam, namun ada pula beberapa orang yang merespons penolakan tersebut dengan marah, putus asa, atau bahkan menarik diri. Penolakan sosial dalam penelitian ini diukur berdasarkan kepekaan subjektif. 2.1.2 Teori Kepekaan Terhadap Penolakan (Rejection Sensitivity) Berkaitan dengan adanya konsep penolakan sosial tersebut, maka diperkenalkan oleh Downey & Feldman (1996) mengenai teori Rejection Sensitivity (RS). Kepekaan terhadap penolakan atau Rejection Sensitivity (RS) ini diperkenalkan untuk menjelaskan mengapa beberapa orang lebih rentan terhadap pengalaman adanya penolakan dibandingkan orang lain (Downey, dkk, 2007). Menurut teori ini, kepekaan terhadap penolakan dan reaksi berlebihan berkelanjutan merupakan hasil dari proses belajar secara alami. Tingkat kepekaan yang tinggi merupakan hasil dari pengalaman penolakan awal dan berkepanjangan dari caregivers dan orang lain yang signifikan (Downey, dkk, 2007). Menurut Weeks (2011) individu yang mengalami penolakan cukup tinggi dapat terlihat dari penolakan seperti apa yang dihindari selama hidupnya. Keterlibatan dan interaksi dengan keluarga, bahkan orang asing, serta pilihan aktivitas, hobi dan minat individu tersebut akan dipengaruhi oleh ketakutan akan penolakan (Weeks, 2011). Sensitivitas sebagai bagian dari Rejection Sensitivity mengacu kepada kesadaran individu dalam persepsi mereka tentang kemungkinan penolakan. Romero-Canyas, dkk (2010, dalam Weeks, 2011) menyebutkan ada 3 komponen kesadaran, yaitu pertama, individu yang memiliki kewaspadaan tinggi terhadap indikator penolakan akan secara terus menerus melihat tanda-tanda adanya penolakan sosial di lingkungan sekitar; kedua, individu dengan sensitivitas ini mampu mendeteksi perbedaan adanya sinyal penolakan atau sinyal-sinyal tertentu yang terjadi di dalam diri atau lingkungan sosialnya; ketiga, individu dengan sensitivitas tinggi memiliki semacam ‘reaksi alergi’ terhadap penolakan dimana ia mampu untuk memobilisasi sumber defensifnya secara cepat sehingga dapat merespons secara agresif. Mantan narapidana yang mungkin terlihat baik dan sudah melewati masa pembinaan bertahun-tahun di dalam Lembaga Pemasyarakatan, tidak menutup kemungkinan dapat kembali bersikap agresif jika terus menerus mendapatkan dorongan berupa penolakan oleh masyarakat sekitar sehingga memunculkan dugaan untuk kembali melakukan tindakan kriminal . 2.2 Kecenderungan Neurotik (Neurotic Trends) Horney (dalam Friedman & Schustak, 2008) yakin bahwa salah satu temuan paling penting dari seseorang adalah rasa ketidakberdayaan, berikutnya adalah perjuangan untuk memperoleh individualitas dan kontrol yang membentuk sebagian besar dari self. Horney juga menganggap penting perkembangan dan realisasi diri pada setiap individu dan ia juga lebih berfokus pada dunia sosial dan motivasi sosial (Friedman & Schustak, 2008: 144). Horney (1939, dalam Feist & Feist, 2009) menyatakan bahwa manusia diatur bukan hanya dari prinsip kesenangan saja, namun juga dari dua prinsip pendorong lainnya, yaitu rasa aman dan kepuasan. Horney juga menambahkan bahwa neurosis bukan semata-mata hasil dari insting, neurosis lebih merupakan suatu upaya seseorang untuk menemukan jalan keluar dari hutan belantara yang penuh bahaya. Hutan belantara yang dimaksud adalah lingkungan masyarakat, bukan insting maupun anatomi (Feist & Feist, 2009). Penderita neurotik memiliki permasalahan yang sama dengan orang normal, bedanya penderita neurotik mengalaminya dengan takaran yang lebih besar (Feist & Feist, 2009). Akan sangat memungkinkan bagi narapidana maupun mantan narapidana yang mengalami penolakan dari masyarakat sekitar akan menjadi pribadi yang neurotik. Kecemasan dasar (basic anxiety) diungkapkan oleh Horney sebagai sebuah ketakutan untuk ditinggal sendiri, tidak berdaya, dan perasaan tidak aman yang dimiliki seorang anak. Berdasarkan hal tersebut Horney berpandangan bahwa kecemasan dasar dapat ditujukan kepada hampir semua orang, dan terfokuskan pada dunia luar, secara umum (Friedman & Schustak, 2008: 145). Untuk mengatasi kecemasan tersebut, individu memiliki satu cara utama yang digunakan untuk beradaptasi dengan dunia luar. Horney mengemukakan beberapa pendekatan, dikenal dengan istilah Kecenderungan Neurotik (Neurotic Trends), yang digunakan individu neurotik untuk menghadapi orang lain. Ada 3 jenis kecenderungan neurotik, yaitu: moving toward, moving away, dan moving against. 2.2.1 Bergerak menuju orang lain (moving toward people) Kecenderungan neurotik jenis ini tepatnya mengarah pada tindakan yang mengacu pada kebutuhan neurotik untuk melindungi diri dari rasa tidak berdaya (Feist & Feist, 2009). Usaha yang dilakukan untuk melindungi diri dari rasa ketidakberdayaannya adalah dengan menggunakan salah satu atau kedua kebutuhan neurotik, yaitu individu penderita neurotik akan terus berjuang meraih kasih sayang dan penerimaan dari orang lain, atau mencari rekan yang tangguh yang akan bertanggung jawab atas hidup mereka. Jenis kecenderungan ini melibatkan keseluruhan cara berpikir, perasaan, dan bertindak - keseluruhan cara hidup (Horney, 1945, dalam Feist & Feist, 2009). Penderita neurotik yang menggunakan jenis kecenderungan neurotik ini memandang diri mereka sebagai individu yang penuh kasih, dermawan, tidak egois, rendah hati, dan peka terhadap perasaan orang lain. Dengan kata lain penderita neurotik dengan jenis kecenderungan ini disebut dengan individu penurut. Individu ini tidak akan segan untuk terus berbuat baik dengan oranag lain tanpa mempedulikan respons kurang menyenangkan yang diberikan orang lain terhadap dirinya. Tipe kecenderungan ini biasa disebut dengan tipe kepribadian penurut (compliant personality). 2.2.2 Bergerak melawan orang lain (moving against people) Jenis kecenderungan neurotik ini cenderung menganggap bahwa setiap orang dianggap sebagai musuh. Penderita neurotik yang menggunakan tipe ini disebut sebagai individu yang agresif. Berbeda dengan individu penurut yang sudah dijelaskan, individu yang agresif di tipe ini lebih memilih untuk bergerak melawan orang lain dengan memunculkan ketegaran atau ketegasan mereka (Feist & Feist, 2009). Penderita neurotik ini terdorong oleh kebutuhan yang kuat akan mengeksploitasi dan memanfaatkan orang lain demi keuntungannya sendiri. Individu yang agresif ini dianggap sebagai sisi yang berlawanan dengan individu penurut. Individu penurut selalu berusaha untuk memperoleh kasih sayang dari orang di sekitarnya, sedangkan individu yang agresif menganggap bahwa orang lain merupakan suatu ancaman bagi dirinya. 2.2.3 Bergerak menjauh dari orang lain (moving away from others) Jenis ini merefleksikan kecenderungan untuk menghindari orang lain. Individu tipe ini menunjukkan kerenggangan sosial dengan lingkungan sekitarnya. Individu ini percaya dengan membatasi kebutuhan kelekatan mereka dengan orang lain atau sesuatu lain, maka hal tersebut lebih baik, karena individu ini merasa telah memiliki kepuasan diri yang cukup. Normalnya, individu akan menggunakan jenis yang mana saja dari ketiga dasar tersebut untuk berinteraksi dengan orang lain, namun individu penderita neurotik hanya mengandalkan satu dari ketiga jenis tersebut. Kecenderungan neurotik tidak hanya berlaku bagi penderita neurotik, namun juga bagi orang normal meskipun terdapat sejumlah perbedaan penting antara sikap penderita neurotik dan orang normal. Misalkan, orang normal sepenuhnya sadar terhadap sikap dan perilaku tertentu yang dilakukan terhadap orang lain sedangkan penderita neurotik tidak menyadari sikap dasar mereka. Apabila orang normal mengalami konflik ringan tertentu, maka penderita neurotik merasa mendapatkan beban berat dan tidak terselesaikan terhadap konflik yang sama (Feist & Feist, 2009). Table 2. 1 Tipe Kecenderungan Neurotik Kecenderungan-Kecenderungan Neurotik Menuju Orang Lain Konflik dasar atau sumber kecenderungan neurotik Kepribadian penurut Perasaan tidak berharga KebutuhanKebutuhan Neurotik 1. Ingin disayangi dan disetujui 2. Pasangan yang kuat 3. Batas-batas sempit hidup Analog normal Ramah dan penuh kasih Melawan Orang Lain Kepribadian agresif Perlindungan dari permusuhan dengan orang lain 4. Hasrat terhadap kekuasaan 5. Ekspliotasi 6. Pengakuan dan tidak ingin disaingi 7. Pemujaan diri sendiri 8. Pencapaian pribadi Kemampuan untuk bertahan dalam masyarakat yang penuh dengan persaingan (kompetitif) Menjauh dari Orang Lain Kepribadian penyendiri Perasaanperasaan terisolasi 9. Puas diri dan independensi 10. Kesempurnaan dan prestise Otonomi dan ketenangan diri Sumber: Feist & Feist (2006) 2.3 Ketidakberdayaan yang Dipelajari (Learned Helplessness) 2.3.1 Definisi Ketidakberdayaan yang Dipelajari Kemampuan bawaan merupakan hal yang penting dalam perkembangan kepribadian, namun kebanyakan ego muncul akibat dorongan yang dibentuk dari masyarakat (Feist & Feist, 2009: 215). Seseorang yang mengalami tekanan tak terhindarkan pada satu situasi dan sering gagal untuk belajar menghindar dari tekanan di tempat yang berbeda diyakini oleh Seligman & Maier (1967, dalam Pavuk & Mauk, 1979) sebagai fenomena dari ketidakberdayaan (learned helplessness). Peterson (1993) menyebutkan bahwa ketidakberdayaan merupakan kepasifan tidak lazim yang terjadi ketika seseorang mengalami kejadian yang tidak terhindarkan. Maier dan Seligman (1976, dalam Smallheer, 2011) menyatakan bahwa learned helplessness terjadi ketika seorang individu menganggap sebuah situasi sebagai stress atau tantangan yang tidak menguntungkan. Maka dari itu, individu akan memutuskan untuk melakukan sesuatu untuk memanipulasi situasi tersebut menjadi suatu hal yang tidak membuat stress, kurang menantang dan bahkan menjadi lebih menyenangkan atau menguntungkan. Maka, berdasarkan beberapa konsep yang telah terbentuk diatas dapat disimpulkan bahwa ketidakberdayaan (learned helplessness) merupakan fenomena dimana seseorang berperilaku pasif terhadap sesuatu hal sebagai akibat dari hasil pembelajarannya terhadap lingkungan dan kesadarannya bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keadaan dan lingkungannya. 2.3.2 Peran Persepsi dalam Ketidakberdayaan (Learned Helplessness) Persepsi menunjukkan adanya pengetahuan atau penilaian terhadap sebuah situasi. Dan lagi, hal tersebut juga melibatkan akuisisi pengetahuan dan penerapan lebih lanjut dari perkembangan pengetahuan yang diyakini oleh tiap individu dan berdasarkan pengalamannya sendiri sendiri. Penerapan pada keyakinan ini penting untuk meninterpretasikan pengetahuan dan lingkungan disekitarnya (Collins, 1967, dalam Smaalheer, 2011). Peran persepsi ini memungkinkan adanya penjelasan mengenai peristiwa ketidakmampuan seorang individu untuk mengubah respons terhadap situasi dari kejadian yang dialami diri sendiri. Dalam matrik keyakinan subjektif setiap individu, beberapa mungkin gagal melakukan usaha melarikan diri atau menghindari perilaku yang tidak diperlukan bagi persepsi tersebut untuk dikembangkan (Collins, 1967, dalam Smaalheer, 2011). Individu yang bagaimanapun hanya percaya bahwa ia tidak dapat melakukan perubahan apapun, hal ini bukan hanya terjadi sekali, namun sudah menjadi kebiasaan karena pengalaman, maka selanjutnya akan muncul lah kepercayaan bahwa ia tidak memiliki kemampuan untuk mengubah sesuatu apapun. Maka ini lah merupakan salah satu faktor bagaimana seseorang menerima ketidakberdayaannya secara cuma-cuma 2.4 Residivis 2.4.1 Pengertian Narapidana, Mantan Narapidana, dan Residivis Menurut UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Pidana (1982, dalam Ndoen, 2009) terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, narapidana merupakan terpidana yang mengalami kehilangan kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan. Mantan narapidana adalah orang yang pernah melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat dan telah selesai menjalani hukuman yang dijatuhkan kepadanya (Yudobusono, 1995, dalam Ndoen 2009). Sedangkan dalam pasal 2 RUU Tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok Pemasyarakatan (Soedjono, 1972, dalam Ndoen 2009) menjelaskan bahwa mantan narapidana adalah seorang yang pernah merugikan orang lain, kurang mempunyai rasa tanggung jawab terhadap Tuhan dan masyarakat serta tidak menghormati hukum, namun telah mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada hukum. 2.4.2 Penggolongan Narapidana Narapidana menurut Harsono (1995, dalam Ndoen, 2009) di Lembaga Permasyarakatan digolongkan berdasarkan: 1. Jenis Kelamin Berdasarkan golongan ini, narapidana dibedakan antara pria dan wanita. 2. Usia Narapidana berdasarkan usia dibedakan menjadi dua, yaitu: narapidana berusia 18 tahun ke atas dan narapidana anak-anak, berusia 18 tahun ke bawah. 3. Jenis Kasus Berdasarkan jenis kasusnya, narapida digolongkan dalam beberapa kriteria jenis kasus, yaitu kejahatan politik dan kejahatan kriminal dengan kekerasan seperti perampokan, penodongan, serta kriminal tanpa kekerasan seperti penipuan, dll. 4. Lama Hukuman Narapidana berdasarkan lama hukumannya dibagi menjadi beberapa klasifikasi, yaitu: seumur hidup, 1-20 tahu (klasifikasi B-1),4-12 bulan (klasifikasi B-IIa), 1-3 bulan (klasifikasi B-IIb), pidana denda (klasifikasi B-III) berdasarkan putusan pengadilan. 2.5 Kerangka Berpikir Tipe Kecenderungan Neurotik : 1. Moving Toward 2. Moving Away 3. Moving Against Penolakan Sosial Learned Helplessness Berdasarkan fenomena semakin sesaknya Lapas dan adanya kebetahan para penghuni Lapas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti hal ini lebih lanjut. Peneliti menduga terdapat dua faktor penyebab terjadinya ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness) pada narapidana, yaitu situasi sosial dan kepribadian. Situasi sosial diteliti dengan menggunakan variabel penolakan sosial. Sedangkan faktor kepribadian, peneliti memilih teori kepribadian Karen Horney mengenai tiga tipe kecenderungan neurotik, yaitu moving toward, moving away, dan moving against. Sikap penolakan dari masyarakat seringkali membuat para mantan narapidana merasa diperlakukan tidak manusiawi, seperti pernyataan dari mantan narapidana bernama Endi Kuntono, ''Sebagian masyarakat tidak memanusiakan kami, padahal kami juga butuh pekerjaan untuk melanjutkan hidup” (suaramerdeka.com, 2005). Begitu juga seperti yang sumber lain sebutkan,"Jadi jangan salahkan semata-mata mereka (narapidana). Masyarakat kurang mengapresiasi mereka, sehingga kembali ke teman-temannya yang lama," ujar Nasir (news.detik.com, 2010). Dalam penelitian ini, peneliti memiliki dugaan bahwa semakin tinggi penolakan sosial yang dialami narapidana maka semakin tinggi pula ketidakberdayaan yang dipelajari orang tersebut. Kecenderungan neurotik Karen Horney disini masih pada taraf eksplorasi dimana peneliti hanya melihat hubungan prediksi dengan arah positif.