Hukum Perlindungan Lingkungan (Pertemuan 16) AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) Sumber Hukum : UU No. 23/1997. Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan AMDAL ialah keseluruhan proses yang mencakup 1. Kerangka Acuan (KA) 2. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) 3. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) 4. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) AMDAL : Penyusunan AMDAL dapat dilakukan melalui pendekatan studi terhadap usaha dan/atau kegiatan tunggal, terpadu atau kegiatan dalam kawasan. - bagian studi kelayakan rencana usaha. - sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah. Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi : a. b. c. d. e. f. g. h. i. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui; proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; proses dan kegiatan yang secara potensial dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial budaya; proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya; introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik; pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati; penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup; kegiatan yang mempunyai resiko tinggi, dan/atau mempengaruhi pertahanan negara. nimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; Jenis Usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar dan memperhatikan saran dan pendapat Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terkait. Jenis Usaha Yang Dimaksud Dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya dalam 5 (lima) tahun . Usaha dan/atau kegiatan yang akan dibangun di dalam kawasan yang sudah dibuatkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup tidak diwajibkan membuat AMDAL. diwajibkan untuk melakukan pengendalian dampak lingkungan hidup dan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Komisi penilai dibentuk. a. di tingkat pusat : oleh Menteri b. di tingkat daerah : oleh Gubernur. Komisi penilai sebagaimana dimaksud : berkedudukan di instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan. Komisi penilai menilai Kerangka Acuan , Andal, Rencana Pengelolaan Lingkungan, Rencana Pemantauan Lingkungan. Kerangka Acuan sebagai dasar pembuatan analisis dampak lingkungan Keputusan atas penilaian KA, wajib diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 hari kerja. Pemrakarsa menyusun Andal, RPL, RKL, berdasarkan Ka yang telah mendapatkan keputusan dari instansi yang bertanggung jawab. Instansi yang bertanggungjawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan sebagaimana yang dimaksud dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan, rencana pemantauan lingkungan. Apabila hasil penilaian komisi penilai menyimpulkan bahwa : a) dampak besar dan penting negatif yang akan ditimbulkan oleh usaha dan /atau kegiatan yang bersangkutan tidak dapat ditanggulangi oleh teknologi yang tersedia, atau b) biaya penanggulangan dampak besar dan penting negatif lebih besar dari pada manfaat dampak besar dan penting positif yang akan ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. maka instansi yang bertanggung jawab memberikan keputusan bahwa rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan tidak layak lingkungan. Kedaluwarsa dan batalnya keputusan hasil Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup, Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup. dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya keputusan kelayakan tersebut rencana usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan. Pemrakarsa Wajib Menyampaikan laporan berkaitan dengan pelaksanaan RKL & RPL hidup kepada instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan Gubernur. Keterbukaan Informasi Dan Peran Masyarakat. Setiap usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud wajib diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa menyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Dalam jangka waktu 30 hari kerja, masyarakat berhak mengajukan saran, pendapat dan tanggapan Biaya pelaksanaan kegiatan komisi penilai dan tim teknis analisis mengenai dampak lingkungan hidup dibebankan : instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan. Biaya penyusunan dan penilaian Kerangka Acuan, Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Rencana Pengelolaan Lingkungan, dan Rencana Pemantauan Lingkungan dibebankan kepada Pemrakarsa. Ketentuan Berkaitan Dengan Sanksi Diatur Dalam UU No 23 Tahun 1997 UUPLH Sanksi Administrasi Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang. Wewenang dapat diserahkan kepada Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I. Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan. Paksaan pemerintahan didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang. Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu. Tata cara penetapan beban biaya dan penagihannya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal peraturan perundang-undangan belum dibentuk, pelaksanaannya menggunakan upaya hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan. Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan karena merugikan kepentingannya. Audit Lingkungan Hidup Dalam rangka peningkatan kinerja usaha dan/atau kegiatan, Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup. Menteri berwenang memerintahkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup apabila yang bersangkutan menunjukkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diperintahkan untuk melakukan audit lingkungan hidup wajib melaksanakan perintah. Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan perintah, Menteri dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakan audit lingkungan hidup, atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. Jumlah beban biaya ditetapkan oleh Menteri. Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup. PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan Pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak. (2). Ketentuan mengenai penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan (Ganti Rugi) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu, hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut. Tanggung Jawab Mutlak Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini: a adanya bencana alam atau peperangan; atau b adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau c adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi. Daluwarsa untuk Pengajuan Gugatan Tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku, dan dihitung sejak saat korban mengetahui adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Ketentuan mengenai tenggang daluwarsa tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun. Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup Untuk Mengajukan Gugatan Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat. Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pcmerintah. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud apabila memenuhi persyaratan : a berbentuk badan hukum atau yayasan; b dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; c telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku. PENYIDIKAN Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan 1ingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil berwenang : a b c d e f melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup; melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup; meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup; melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup; melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup; meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Penyidikan tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif dilakukan oleb penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. KETENTUAN PIDANA Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Jika tindak pidana mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Jika tindak pidana mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam engan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana di atas, barangsiapa yang dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain. Jika tindak pidana mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah). Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena kealpaannya melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (figa) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Jika tindak pidana mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga. Pelanggaran dilakukan oleh Badan Hukum. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Jika tindak pidana, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan. Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa : a. b. c. d. e. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini adalah kejahatan. PEDOMAN UMUM UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep-12/MENLH/3/94 tgl. 19 Maret 1994) Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) bukan merupakan bagian dari AMDAL, oleh sebab itu UKL dan UPL tidak dinilai oleh komisi AMDAL, melainkan diarahkan langsung oleh instansi teknis yang membidangi dan bertanggung jawab atas pembinaan usaha atau kegiatan tersebut melalui suatu petunjuk teknis sesuai jenis usaha atau kegiatannya Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) bersifat spesifik bagi masing-masing jenis usaha atau kegiatan yang dikaitkan dengan dampak yang ditimbulkannya. Oleh karena itu Pedoman Teknis UKL dan UPL ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab (sektoral) untuk setiap jenis usaha atau kegiatan dan dikaitkan langsung dengan aktivitas teknis usaha atau kegiatan yang bersangkutan. Pemrakarsa usaha atau kegiatan terkait pada dokumen yang telah diisi dan ditandatanganinya dan menjadi syarat pemberian izin usaha atau kegiatan dimaksud. Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan berfungsi sebagai : 1. Acuan dalam penyusunan Pedoman Teknis Upaya Pengelolaan Lingkungan bagi departemen/Lembaga Pemerintahan Non Departemen Sektoral; 2. Acuan penyusunan Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan bagi pemrakarsa bilaman Pedoman Teknis UKL dan UPL dari sektoral belum diterbitkan; 3. Instrumen pengikat bagi pihak pemrakarsa untuk melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Dengan adanya pedoman ini, maka pengelolaan lingkungan dapat dilakukan dengan baik, lebih terarah, efektif dan efisien. Ruang Lingkup Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan perlu disusun sedemikian rupa sehingga dapat : 1. langsung mengemukakan informasi penting setiap jenis rencana usaha atau kegiatan yang merupakan sifat khas proyek itu sendiri dan dapat menimbulkan dampak potensial terhadap lingkungan. 2. Informasi komponen lingkungan yang terkena dampak; 3. Upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang harsu dilakukan oleh pemrakarsa pada tahap pra kontruksi, konstruksi maupun pasca konstruksi. Pada Modul ini diharapkan mahasiswa mengerti tentang Ketentuan hukum perlindungan lingkungan dalam mengelola perusahaan. Diskusikan Kasus di bawah ini Bagaimana pendapat anda mengenai penegakan HUKUM berkaitan dengan masalah lingkungan di negara kita berdasarkab Fakta dibawah ini ? PRESS RELEASE PENANGANAN KASUS LINGKUNGAN HIDUP Jakarta, 20 Februari 2001 I. PENDAHULUAN. Dalam rangka pengelolan lingkungan hidup yang berkembang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi sampai akhir tahun 2000 ditandai dengan sejumlah ketidaktaatan para pelaku pembangunan yang diindikasikan dengan banyaknya jumlah pengaduan masyarakat dan kasus-kasus lingkungan yang belum terselesaikan. Pengaduan masyarakat yang ditangani oleh Bapedal (Pusat) adalah pengaduan yang memenuhi lingkup sebagai berikut: Berkenaan dengan bahan berbahaya dan beracun; Kasus lingkungan hidup yang dampaknya mencapai lebih dari satu propinsi; Kasus lingkungan hidup yang bersifat nasional (menjadi isu nasional dan regional); Kasus lingkungan hidup yang tidak dapat ditangani/diselesaikan oleh Pemerintah Daerah. Sampai dengan saat ini jumlah pengaduan masyarakat yang diterima oleh Bapedal (Pusat) berjumlah sekitar 500 pengaduan dengan berbagai macam masalah lingkungan hidup. Melalui penapisan yang sistematis, sekitar 80% dari pengaduan masyarakat tersebut oleh Bapedal secara langsung meminta Bapedalda Propinsi, Bapedalda Kabupaten/Kota untuk dapat menyelesaikan permasalahannya sesuai dengan kewenangannya sedangkan sekitar 20% dari pengaduan masyarakat tersebut ditangani oleh Bapedal (Pusat) yang dalam pelaksanaannya tetap menggunakan instrumen koordinasi dengan departemen sektor dan pemerintah daerah. II. TINDAK PENANGANAN. Pada tahun 2000 Bapedal (Pusat) bekerjasama dengan departemen sektor terkait, pemerintah daerah dan aparat penegak hukum telah melakukan langkah-langkah penanganan kasus lingkungan hidup yang terdiri dari kasus pencemaran dan/atau perusakan akibat kegiatan proses industri, kasus pembakaran dalam pembukaan lahan dan pencemaran tumpahan minyak di laut. A. Pencemaran dan Perusakan Lingkungan 1. PT. Freeport Indonesia (PT.FI) a. Pengelolaan lingkungan PT. FI sebagian besar sudah mengikuti RKL dan RPL namun masih tetap menimbulkan permasalahan lingkungan khususnya: Pengelolaan overburden di Danau Wanagon belum terkelolanya air asam tambang (AAT) dengan baik. menjamin Transportasi tailing yang menggunakan Sungai Aghawagon dan Sungai Sumpu Ajkwa tidak menjamin pelestarian fungsi sungai, biota, air minum masyarakat, perikanan, dll. Penimbunan tailing yang menempati dataran rendah di hilir Sungai Ajkwa sebesar 275 km2 yang belum terkelola dengan baik telah mempengaruhi daerah estuari/pantai Laut Arafura. b. Pada tanggal 28 Juni 2000 Bapedal telah meminta kepada PT. FI untuk meninjau ulang (review) dokumen RKL/RPL dan pihak PT. FI telah menyampaikan review RKL/RPL tersebut pada tanggal 31 Januari 2001. Beberapa hal yang akan dimintakan untuk dilakukan revisi adalah: Pengelolaan limbah batuan dan pengelolaan AAT yang dihasilkan dari batuan tersebut. Mengkaji pengelolaan tailing dan daerah pengendapan ajkwa (DPA). 2. PT. Inti Indorayon Utama (IIU) a. Pada tahun 1998 Pemerintah memutuskan untuk menutup sementara PT. IIU. b. Pada bulan Mei 2000 diputuskan oleh Pemerintah untuk menutup kegiatan kegiatan rayon PT. IIU dan hanya kegiatan pulp saja yang diperbolehkan dengan persyaratan akan dikenakan standar pengelolaan lingkungan yang lebih ketat. Setelah beroperasi satu tahun akan dilakukan audit untuk melihat apakah PT IIU dapat memenuhi persyaratan tersebut atau tidak. c. Bulan September 2000 Bapedal telah menyusun standar pengelolaan lingkungan yang baru dan telah disampaikan kepada Menko Perekonomian untuk dilakukan pembahasan di forum interdep. 3. PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) a. Pada tanggal 7 Maret 2000, Kelompok Kerja Penanganan Kasus Lingkungan Menteri Lingkungan Hidup/Bapedal membahas rencana penanganan kasus lingkungan PT NMR. Sebagai tindak lanjut pertemuan tersebut pada tanggal 27– 30 Maret 2000 dilakukan pembahasan teknis pengelolaan limbah tailing. b. Pertemuan melibatkan Pemerintah Daerah Sulawesi Utara, Departemen Pertambangan dan Energi, Departemen Eksplorasi Laut, LIPI, BPPT dan PT NMR. Pada pertemuan tersebut telah diketahui bahwa penempatan tailing pada kedalaman 82 meter tersebut kurang tepat. Hal ini disebabkan modeling yang dilakukan oleh PT NMR menggunakan data arus laut satu musim saja. Padahal pola penyebaran tailing di laut sangat dipengaruhi oleh pola pergerakan arus laut. Sedangkan pergerakan arus laut di Indonesia sangat tergantung pada musim barat dan musim timur. Pihak konsultan PT NMR menyarankan untuk melaksanakan kembali modeling tersebut setahun setelah pembuangan tailing dengan menggunakan data yang lebih lengkap namun PT NMR tidak melaksanakan saran tersebut. c. Sebagai tindak lanjut penanganan kasus tersebut pada bulan April 2000 Bapedal membentuk Tim Kerja Evaluasi Pengelolaan Lingkungan PT NMR. Tim Kerja menyelesaikan laporan evaluasi tersebut pada tanggal 17 Mei 2000 dengan beberapa kesimpulan: d. Bapedal perlu menetapkan baku mutu efluen untuk pembuangan tailing ke laut dan menentukan kriteria teknis pembuangan ke laut; e. PT NMR harus segera melakukan studi environmental risk assessment (ERA) untuk menentukan tingkat keamanan pembuangan tailing tersebut terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat di sekitar Teluk Buyat; f. Menyarankan PT NMR untuk meningkatkan kinerja unit detoksifikasi mengingat konsentrasi Hg dan As pada tailing cukup tinggi. Dengan unit detoksifikasi diharapkan mengurangi konsentrasi logam berat dalam tailing sebelum dibuang ke laut. Pada bulan Juli 2000, PT NMR mengajukan izin pembuangan tailing ke laut kepada Bapedal. Dengan memperhatikan Laporan Tim Kerja Evaluasi Pengelolaan Lingkungan PT NMR, Kepala Bapedal memberikan izin sementara pembuangan tailing ke laut. Beberapa persyaratan yang menyertai persetujuan tersebut adalah kewajiban PT NMR untuk melakukan studi ERA terhadap kegiatan pembuangan di laut. Hasil studi ERA akan menjadi pertimbangan untuk memperpanjang perizinan pembuangan tailing ke laut. Selain itu untuk mencegah terpaparnya kontaminan yang terdapat di dalam tailing, PT NMR harus mengoptimalkan proses detoksifikasi. Untuk mengukur kinerja unit detoksifikasi Bapedal menentukan baku mutu effluent yang lebih ketat. Pada bulan Januari 2001 PT NMR telah mengajukan dokumen studi ERA. Bapedal bersama-sama dengan para pakar dari LIPI dan UNPAD membahas dokumen studi ERA yang disampaikan PT NMR pada tanggal 31 Januari 2001. Rapat akhirnya memutuskan bahwa studi ERA PT NMR ditolak karena input data yang digunakan merupakan merupakan data lama yang masih dipertentangkan kebenarannya. Selain itu beberapa pakar berpendapat bahwa metodologi yang digunakan untuk studi ERA perlu diperbaiki. Untuk membahas kelanjutan studi ERA ini, Bapedal merencanakan beberapa pertemuan lanjutan pada akhir bulan Pebruari 2001. 4. PT. Caltex Pacific Indonesia (CPI) PT. CPI menyatakan bahwa dalam kegiatannya tidak menghasilkan limbah yang mengandung heavy metal akan tetapi justru limbahnya banyak mengandung aromatik hidrokarbon. Bulan Juli 2000 Deputi IV Bapedal menghimbau kepada PT. Caltex agar dalam menetapkan limbah B3 atau bukan B3 harus memenuhi kriteria PP No. 18/1999 jo PP No. 85/1999. Untuk itu dalam menetapkan limbah B3 atau bukan B3 perlu dilakukan uji karakteristik dan uji LD 50. Pada tanggal 28-29 September 2000 Deputi IV Bapedal melakukan kunjungan lapangan dan meminta kepada PT. CPI untuk segera memasukkan permohonan izin pengelolaan limbah B3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada bulan Oktober 2000 PT. CPI telah mengajukan permohonan izin pengelolaan limbah B3 yang meliputi: Izin limbah pada rumah sakit, disposal well, penyimpangan sementara limbah B3, fasilitas pengolahan premix, penggunaan oli bekas, bioremediation, pendaur-ulangan oli bekas (used transformer oil-recycling facilities). Setelah dilakukan evaluasi terhadap permohonan izin tersebut, Bapedal pada bulan Pebruari 2001 pada prinsipnya telah menyetujui beberapa izin pengelolaan limbah B3 yaitu : Izin pengolahan limbah padat rumah sakit; Izin penyimpanan sementara limbah B3; Izin pendaurulangan oli bekas. Sedangkan untuk izin lainnya masih diperlukan pembahasan lebih lanjut terutama untuk izin bioremediation, penggunaan oli bekas, fasilitas pengolahan premix dan disposal well. 5. Pertamina UP VI Balongan Adanya laporan masyarakat tentang pencemaran di pantai Balongan akibat sludge minyak dari Pertamina UP VI Balongan. a. Diperoleh keterangan adanya penghentian pengiriman limbah B3 ke PT. PPLI Cileungsi karena adanya teguran dari pihak Kejaksaan Agung RI karena dianggap pengiriman ke PPLI tersebut berbau kolusi. b. Bapedal mengirimkan surat peringatan pada tanggal 27 Oktober 2000 kepada Pertamina UP VI Balongan agar: - - Memberikan klarifikasi secara tertulis menjelaskan tentang tidak ditemukannya limbah B3 tersebut ke PPLI akibat adanya teguran dari pihak Kejaksaan Agung; Agar Pertamina UP VI Balongan wajib mentaati PP 18/1999 jo PP 85/1999 tentang Pengelolaan Limbah B3. Pada tanggal 31 Oktober 2000 Pertamina Unit VI Balongan mengirimkan surat kepada Bapedal cq. Deputi Penaatan Hukum Lingkungan tentang pengajuan permohonan izin penyimpanan dan penampungan sementara limbah katalis bekas dan sludge yang melampaui batas waktu yaitu lebih dari 90 hari. Pada tanggal 16 November 2000 Bapedal cq. Deputi Penaatan Hukum Lingkungan mengirimkan surat kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAMPIDUM) meminta masukan apakah dari segi hukum Bapedal dapat memenuhi permintaan Pertamina UP VI Balongan untuk menyimpan limbah katalis bekas sludge lebih dari 90 hari yang jelas bertentangan dengan PP 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah B3. 6. PT. Maspion Sidoardjo Adanya informasi dari masyarakat bahwa PT. Maspion Unit I telah melakukan penimbunan sludge B3 ilegal di lokasi belakang pabrik sejak tahun 1985. Pada tahun 1997 Bapedal melakukan pengecekan lapangan dan ditemukan bukti bahwa PT. Maspion benar-benar telah melakukan penimbunan ilegal (tidak memiliki izin penyimpanan maupun izin penimbunan limbah B3). Pada bulan Agustus 1998 Bapedal melakukan penyegelan terhadap gudang penyimpanan sementara dan lokasi penimbunan limbah B3 dan pada tanggal 18 Agustus 2000 Bapedal berkoordinasi dengan Bapedalda Jawa Timur telah membuka segel gudang penyimpanan sementara limbah B3 karena PT. Maspion sudah mendapatkan surat izin penyimpanan sementara limbah B3. Bapedal telah meminta PT. Maspion untuk melakukan clean-up di lokasi lahan penimbunan limbah B3 dengan jadwal pelaksanaannya yang cukup ketat. Tetapi pihak PT Maspion tidak melaksanakan kegiatan clean-up sesuai jadwal yang telah disepakati. Selanjutnya Bapedal akan menindaklanjutinya dengan langkah penyidikan. 7. PT. Gladiatex Adanya surat tembusan dari lembaga swadaya masyarakat NUSA BANGSA tanggal 3 Agustus 2000 mengenai kasus pencemaran lingkungan hidup oleh PT. Gladia Lestari Parahyangan Bandung alias Gladiatex. Pada tanggal 1 September 2000 Bapedal mengirimkan tim untuk pengumpulan bahan keterangan (PULBAKET) yang mendapatkan temuan adanya dugaan pelanggaran pidana lingkungan sehingga kasus ini akan ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. 8. PT. Indorama Synthetic a. Telah terjadi beberapa kali pengaduan oleh masyarakat tentang pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan PT. Indorama : Pada tanggal 15 Agustus 1995 masyarakat sekitar pabrik mengadukan kepada Pemda Purwakarta bahwa telah terjadi kematian ikan di kolamkolam penduduk yang mendapatkan sumber air dari Kali Cikupa. Hasil pemantauan lapangan dan analisa laboratorium menyatakan di Kali Cikupa kualitas air melampaui baku mutu (pH 9,2 , DO 2,2 , COD 132,4); Antara tahun 1995 sampai tahun 1999 telah terjadi beberapa kali kelalaian PT. Indorama dengan tumpahnya residu minyak sehingga mencemari sawah penduduk di desa Kembang Kuning; Pada awal 2000 masyarakat sekitar pabrik resah dan bergejolak akibat pencemaran udara (bau) yang berasal dari lokasi pabrik PT. Indorama; Pada tanggal 28 April 2000 terjadi kecelakaan semburan cairan dan gas dari tangki penghantar panas sehingga menimbulkan korban 357 orang mual-mual dan pingsan dan harus dirawat di rumah sakit. b. Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta telah meminta PT. Indorama untuk melakukan audit lingkungan dan studi ini telah dilaksanakan secara sukarela oleh PT. Indorama. Dari hasil studi audit lingkungan tersebut terdapat beberapa temuan yang mengindikasikan PT. Indorama perlu memperbaiki pengelolaan lingkungannya. c. Pada tanggal 5 Desember 2000 Bapedal telah melakukan pengambilan sample limbah cair dan sludge dan dari hasil analisa laboratorium menunjukkan beberapa parameter telah melebihi baku mutu/ambang batas yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan akan ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. B. Pembakaran Dalam Pembukaan Lahan Dalam penanganan kasus pembakaran dalam pembukaan lahan yang menyebabkan pencemaran dan perusakan lingkungan yang berat, Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal telah mengambil beberapa tindakan, antara lain: Meminta instansi pemberi izin kegiatan pembangunan tersebut untuk melakukan pengawasan dan tindakan tertentu kepada pelaku kegiatan pembangunan, antara lain: pembekuan izin pembukaan lahan yang baru untuk menghindari terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan; Melakukan tuntutan gugatan perdata atas pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, dengan memberikan surat kuasa khusus kepada Jaksa Agung RI untuk bertindak sebagai kuasa hukum dalam penuntutan perkara perdata terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga telah melakukan pembakaran dalam pembukaan lahan, yang meliputi: 1) PT. Adei Plantation; 2) PT. Jatim Jaya Perkasa; 3) PT. Bumi Pratama Khatulistiwa; 4) PT. Inti Indo Sawit Subur; dan 5) PT. Musim Mas; Melakukan tuntutan dakwaan tindak pidana lingkungan hidup yang sejalan dengan substansi gugatan perdata. Perusahaan yang diajukan saat ini meliputi PT. Adei Plantation dan PT. Jatim Jaya Perkasa. Keduanya telah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Riau. 1. PT. Adei Plantation (AP) a. Dari data satelit NOAA tahun 1999 dan 2000 ditemui sebaran hot spot di areal lahan milik PT. AP sebagai indikasi terjadinya panas akibat pembakaran. Hasil pengecekan lapangan ditemukan lahan land clearing milik PT. AP yang terbakar seluas + 2000 ha. b. Perbuatan pembakaran di lahan milik PT. AP telah melanggar Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup serta SK Dirjen Perkebunan Nomor: 38/KB.110/SK/D.J.BUN/05.95 tentang penyiapan lahan tanpa merusak ekosistem lingkungan hidup dan global. c. Penyelidikan dan penyidikan dilakukan Bapedal dan Polda yang dibantu oleh ahli kebakaran hutan IPB berturut-turut sampai bulan November 2000. Kemudian disusun berkas perkara gugatan perdata sekaligus dakwaan pidana kepada PT. AP. d. Pada tanggal 12 Desember 2000 MENLH/Ka. Bapedal meminta dan memberikan surat kuasa kepada Jaksa Agung RI untuk bertindak mewakili MENLH/Ka. Bapedal dalam melakukan gugatan perdata kepada PT. AP. Melalui Polda Riau berkas perkara dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Riau. Kemudian pada tanggal 10 Pebruari 2001 Kajati Riau melimpahkan berkas dakwaan pidana PT AP kepada Pengadilan Negeri Bangkinang-Riau. Gugatan perdata PT AP direncanakan bulan Maret 2001 akan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Bangkinang-Riau. 2. PT. Jatim Jaya Perkasa a. Pembakaran terjadi pada tanggal 15 s/d 15 Maret 2000 di areal perkebunan kelapa sawit di Desa Sungai Majo Kecamatan Kubu Kabupaten Rokan Hilir, Propinsi Riau yang menjadi tanggung jawab PT. Jatim Jaya Perkasa. b. Pihak manajemen perusahaan (kontraktor) telah melakukan penyiapan lahan dengan cara membakar pada koordinat: LU 01.58.29-BT 100.42.54. dan LU 01.56.39-BT 100.44.28. Kegiatan pembakaran tersebut telah melanggar ketentuan dalam izin usaha sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. c. Pada tanggal 30 Agustus 2000 MENEG LH/ Ka. Bapedal telah memberikan surat kuasa khusus kepada Jaksa Agung RI untuk bertindak mewakili MENLH/Kepala Bapedal dalam melakukan gugatan perdata terhadap PT. Jatim Jaya Perkasa. d. Status terakhir (Februari 2001), justru dakwaan pidana-pencemaran udara yang akan dituntut dan berkas penuntutan sedang diproses oleh Kejaksaan Tinggi Riau. 3. PT. Bumi Pratama Khatulistiwa a. Kebakaran/pembakaran terjadi pada tanggal 7 Maret 2000 di areal perkebunan kelapa sawit di desa Sungai Majo, Kecamatan Kubu, Kabupaten Rokan Hilir, Propinsi Kalimantan Barat yang menjadi tanggung jawab PT. Bumi Pratama Khatulistiwa. b. Pihak manajemen (kontraktor) telah melakukan penyiapan lahan dengan cara membakar. Kegiatan pembakaran tersebut telah melanggar ketentuan dalam izin usaha sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. c. Pada tanggal 28 Agustus 2000 Menteri Negara LH/Ka. Bapedal telah memberikan kuasa khusus kepada Jaksa Agung RI untuk bertindak mewakili MENLH/Kepala Bapedal dalam melakukan gugatan perdata terhadap PT. Bumi Pratama Khatulistiwa. d. Pemberkasan tuntutan masih berada dan diproses oleh Polda Kalimantan Barat. e. Dua perusahaan terakhir yaitu PT Musim Mas dan PT Inti Indo Sawit Subur, progres penanganan penyelidikan dan penyidikannya belum selesai meskipun MENLH/Ka. Bapedal telah memberikan surat kuasa khusus kepada Jaksa Agung dalam melakukan gugatan perdata di bidang lingkungan hidup tertanggal 30 Agustus 2000. C. Pencemaran Tumpahan Minyak di Laut 1. KM King Fisher a. Tanggal 1 April 2000 terjadi pencemaran disekitar pantai Cilacap akibat tumpahan minyak oleh kecelakaan kapal tanker King Fisher. b. Telah dilakukan upaya tuntutan ganti rugi kepada pemilik kapal sebesar Rp.272,769 milyar namun hanya disetujui oleh pihak asuransi sebesar Rp.18 milyar untuk kerugian nelayan belum termasuk ganti rugi lingkungan hidup. c. Ganti rugi sebesar Rp.18 milyar tersebut telah dibagikan kepada nelayan melalui Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Cabang Cilacap. 2. MT. Natuna Sea a. Pada tanggal 3 Oktober 2000 telah terjadi pencemaran laut di perairan Pulau Batam yang diakibatkan oleh tumpahan minyak dari kapal MT Natuna Sea yang bocor-menabrak karang. b. Gubernur Riau pada tanggal 16 Oktober 2000 telah memberikan kuasa hukum kepada perusahaan hukum (law firm) "Hasyim Djalal & Harness" dalam lingkup tuntutan ganti rugi perdata baik menurut hukum internasional maupun nasional. c. Bapedal telah berkoordinasi dengan berbagai instansi dan stakeholder terkait di tingkat pusat, propinsi dan Pemda Kota Batam sekaligus telah melakukan pengumpulan bahan keterangan dan penyidikan pada tanggal 3-13 November 2000 dan dilanjutkan tanggal 27-29 Desember 2000 di dok Pelabuhan Singapura. d. Atas desakan dan tuntutan ganti rugi masyarakat (nelayan) yang terkena dampak maka pada tanggal 19 Desember 2000 Walikota Batam dengan mengatasnamakan semua pihak pemerintah yang terkait melakukan perjanjian dengan perwakilan Tanker Pacific Management, Pte, Ltd. (pemilik kapal-Singapura) cq. London Steam-Ship Owner Mutual Insurance, Ass. Ltd. (asuransi kapal) dengan jumlah ganti rugi sebesar US$ 3,5 juta namun baru dibayarkan uang muka sejumlah US$ 1,5 juta. e. Bersamaan dengan pemberian uang muka tersebut, pihak pemilik tanker melakukan negosiasi agar tanker diizinkan ditarik ke luar perairan Indonesia ke dok Singapura dengan alasan apabila tidak ditangani segera maka kapal tersebut akan tenggelam sehingga memperbanyak volume minyak mencemari laut. f. Upaya pengumpulan alat bukti dan tuntutan perdata dan pidana lingkungan masih terus diproses sampai 5 bulan pertama tahun 2001 ini. III. PENANGANAN KASUS OLEH PEMERINTAH DAERAH. Selain penanganan kasus di Bapedal perlu dilaporkan bahwa Pemda Propinsi, Kabupaten/Kota telah juga melakukan upaya-upaya penegakan hukum yang ditangani di 13 (tiga belas) propinsi di Indonesia yaitu Propinsi Riau, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Bali dengan jumlah 126 kasus. Diantaranya 112 kasus telah diberikan sanksi adminstrasi (baik berupa teguran, peringatan, penutupan saluran limbah, penutupan kegiatan usaha dll), sedangkan 5 kasus diantaranya diselesaikan melalui mediasi (penyelesaian sengketa di luar pengadilan) dan sisanya 9 kasus dilakukan melalui proses tindak pidana lingkungan hidup. IV. KENDALA Kendala yang dihadapi dalam penyelesaian kasus-kasus lingkungan hidup antara lain adalah: a. Masih adanya perbedaan persepsi antar aparat penegak hukum dalam penerapan klausal pidana dari UU 23/1997 dengan pendekatan corporate crime; b. Proses pembuktian pelanggaran pencemaran dan kerusakan lingkungan sangat membutuhkan biaya yang besar di pihak pemerintah dan membutuhkan waktu yang cukup lama sedangkan pihak pelanggar hanya menunggu hasil pembuktian. Hasil akhir peradilan seringkali memutuskan pihak pelanggar bebas. Pengeluaran biaya yang besar dari pihak pemerintah relatif dapat dikurangi bila diterapkan azas pembuktian terbalik bagi pelanggar. Para penegak hukum belum menggunakan azas tersebut di bidang lingkungan hidup; c. Ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup sangat teknis sehingga sangat sulit dijabarkan oleh aparat penegak hukum; d. Sulitnya untuk mendapatkan barang bukti karena pada saat terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan dengan waktu pengambilan alat bukti (sampel) membuka peluang untuk menghilangkan alat bukti; e. Keterbatasan sumber daya manusia dan sarana-prasarana laboratorium. V. LANGKAH TINDAK LANJUT Untuk mengatasi kendala tersebut pada tahun 2001 perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menumbuhkan komitmen para pimpinan departemen sektor baik pusat dan daerah dalam rangka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup termasuk para penegak hukum dan legislatif pusat dan daerah; b. Pengembangan pejabat pengawas lingkungan hidup daerah yang lebih efektif dan efisien dan pelatihan para penyidik pegawai negeri sipil daerah (PPNS) di bidang lingkungan hidup; c. Peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan (control) pelaksanaan penegakan hukum dan penyelesaian sengketa lingkungan; terhadap d. Biaya operasional yang memadai untuk mendukung penanganan kasus lingkungan hidup; Penyusunan pedoman teknis bagi daerah untuk mendukung pelaksanaan pengawasan, penegakan hukum dan penyelesaian sengketa lingkungan; e. Upaya-upaya preventif antara lain dengan melaksanakan program-program penerapan Amdal dan sistem manajemen lingkungan serta mematuhi peraturan perundangundangan mengenai lingkungan hidup; f. Memacu pengembangan kemampuan SDM dan peningkatan kemampuan laboratorium lingkungan hidup di daerah. Dengan uraian tersebut di atas diharapkan masyarakat dapat mengetahui status penegakan hukum dan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di Indonesia baik yang ditangani oleh Bapedal (Pusat), Bapedalda Propinsi dan Bapedalda Kabupaten/Kota yang pada akhirnya dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Tugas Kelompok: 1. Buatlah Makalah yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan ? Tugas Mandiri : 1. Mengapa kecenderungan Pencemaran Lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan cukup tinggi di negara Indonesia ?