1 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Zaman kala masyarakat senantiasa tidaklah stagnan pada kondisi keseharian yang dimiliki, menjadikannya sebuah fenomena pantas untuk dikaji. Dinamika yang berkembang tersebut seringkali tidak terlepas dari peranan struktur makro yang mengatur sebuah masyarakat tertentu. Pemerintah dan aparatur penyokongnya merupakan salah satu faktor makro tersebut yang wajib ditekankan sebagai salah satu faktor penyokong bergeraknya arus dinamika tersebut. Sejak terbukanya sejarah mengenai pemerintahan satu persatu teori mengenai fungsi dan peran pemerintah berjejal, dinamikanya berlangsung dengan mobilitas yang cepat. Masalah yang mendera juga satu per satu datang pasca kedatangan sistem pemerintahan. Sontak sistem tersebut mendapatkan tekanan sebagai institusi berwenang menyelesaikan setiap persoalan. Salah satu wacana mengemuka mengenai kota Makassar ialah mengenai beberapa peristiwa yang menarik pandangan nasional hingga internasional adalah kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok yang kerap terjadi. Mencoba berasumsi penulis memposisikan masyarakat Indonesia kini beranggapan bahwa kekerasan di kota Makassar telah menjadi hal yang lazim terjadi. Ada anekdot sehari-hari yang mengatakan bahwa kekerasan massa yang kerap terjadi di kota ini telah tergambar dari nama kota Makassar itu sendiri. 2 Menurut Budi Hardiman sebuah masyarakat yang tidak mempersoalkan kekerasan sudah kehilangan keberadabannya1. Karena itu, pertanyaan mengenai mengapa perkelahian antar kelompok itu terjadi sangat penting untuk dilontarkan dan dijawab. Kita ingat kembali katalog kekerasan massa di kota ini: kerusuhan April 1996 di kampus Universitas Muslim Indonesia yang menewaskan mahasiswa, kerusuhan dengan target etnis China dalam kurun waktu 1997-19982, Bentrokan mahasiswa yang berkali-kali antara aparat keamanan dan tak sedikit menimbulkan korban dalam kurun waktu 2007-hingga sekarang. Dalam pertarungan politik kecemasan akan kekerasan massa tak juga dapat terhindarkan. Ingat saja kasus pengrusakan show room milik mantan wakil Presiden Jusuf Kalla dalam momentum PILGUB Sulawesi Selatan. Hingga maraknya penghakiman massa maupun perkelahian antar kelompok warga membuat kota ini kemudian termasyhur dengan konflik fisik yang melibatkan banyak individu yang tergabung dalam beberapa kelompok atau yang biasa disebut dengan kekerasan massa. 1 Dikutip dari artikel Memahami akar-akar kekerasan massa, 28 Juli 2008 2 Perseteruan antara pribumi dan etnis tionghoa ditandai dalam peristiwa Toko LA, pada peristiwa tersebut terjadi pembantaian dan pembakaran terhadap pemukiman etnis tionghoa di Makassar. Peristiwa yang melibatkan etnis tionghoa berlanjut ketika terjadi pembunuhan terhadap seorang anak kecil oleh salah satu keturunan tionghoa yang diindikasikan menderita gangguan jiwa. Lebih lengkap lihat di, Sukriansyah S.Latif dan Tomi Lebang, Amuk Makassar, Institute studi arus informasi, Makassar, 1998 hal. 35 dan 127. 3 Yang ganjil dalam perilaku massa adalah ciri psikologis yang ditimbulkan, para pelaku mengalami penumpulan rasa salah atas tindakan kekerasan mereka. Akal sehat disingkirkan dan digantikan dengan moralitas lemah yang menjauhi konteks budaya dimana moralitas tersebut dibangun. Berjarak dari peristiwa itu, beberapa analis yang ahli dalam bidang ini maupun masyarakat biasa pemerhati persoalan sosial lalu mengatakan bahwa individu terseret oleh desakan kebersamaan mereka sehingga tak bisa lain kecuali melakukan seperti yang dilakukan orang yang lain. Seperti kesadaran in group yang diungkapkan oleh sosiolog sekelas Soerjono Soekanto maupun Selo Soemardjan Individu yang terlibat dalam kekerasan massa secara massif dipindahkan dari ruang kontak sehari-hari ke dalam suatu ruang peleburan kolektif yang mengisap ciri-ciri personalnya sebagai seorang individu. Penulis menyebutnya “ruang kolektif’ karena ruang ini diproduksi oleh kebersamaan dan menjadi tempat bergeraknya tindakan-tindakan kolektif walaupun dalam beberapa analisis ada juga yang menyebutnya sebagai ruang massa. Ada kecenderungan yang kemudian terjadi, bahwa perkelahian antar kelompok dalam beberapa penelitian ternyata tidak terlepas dari heterogennya sebuah masyarakat. Masyarakat perkotaan seperti di kota Makassar pun memiliki kecenderungan tingkat kekerasan massa yang tinggi ketimbang dengan daerah lain yang belum begitu terjejal arus modernisasi. 4 Kehidupan perkotaan yang lebih dekat dengan kebijakan pemerintah pusat kemudian akan sangat mudah terciptanya arus balik dari masyarakat di dalamnya. Tanggapan dari masyarakat akan lebih cepat timbul belum lagi ketika kita meminjam teori Johan Galtung3 mengenai korelasi antara kekerasan itu sendiri dengan kekerasan struktural, dalam teorinya dikatakan bahwa kekerasan yang selama ini terjadi di masyarakat khususnya masyarakat kota tak terlepas dari wujud kekerasan rezim penguasa setempat terhadap rakyatnya, Kemarahan rakyat pun terlontar dalam bentuk beragam, dimulai dengan aksi protes hingga bentuk-bentuk destruktif berupa pengrusakan yang dilakukan oleh massa4. Beberapa pengamat kekerasan massa hingga budayawan menganggap bahwa siklus kekerasan yang terjadi di makassar tidak terlepas dari mental masyarakat Makassar itu sendiri yang dibangun dari konsep siri’dan pacce5. Budaya ini kemudian oleh sebagian orang dijadikan sebagai pembenar maraknya tindak kekerasan di kota ini. Pada tahun 2008 dari semua jenis konflik kekerasan yang melibatkan massa, di 3 Johan Galtung membagi tiga bentuk kekerasan: kekerasan itu sendiri, kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Lihat di Sunardi, Keselamatan kapitalisme dan kekerasan, LKIS, Yogyakarta, 1996 hal 165 4 Lebih lengkap baca di Froom, Akar Kekerasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008 hal 137. Kemarahan merupakan dorongan psikologis yang berbentuk agresi darip tekanan yang dialami, lebih lengkap dalam buku tersebut banyak diceritakan mengenai dorongan psikologis untuk melakukan tindak kekerasan. Buku tersebut diantaranya mengambil pemikiran Freud dan Lorenz. 5 Siri’ dan pacce merupakan ikatan budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang mengatur tata pergaulan, lebih lengkapnya akan dijelaskan pada BAB III. 5 Negeri ini terjadi sebanyak 1136 kasus kekerasan yang sempat terdata. Sulawesi Selatan ternyata berada di peringkat kedua setelah Jawa Barat yang hanya berselisih satu kasus. 124 jumlah kasus yang terjadi di Sulawesi Selatan pada tahun 2008 itu, ternyata diramaikan jumlahnya oleh kasus tawuran yang begitu banyak melebihi konfik kekerasan agama, politik, pengeroyokan hingga penghakiman massa6. Ternyata dari data tersebut, 85% dari semua kasus kekerasan di Sulawesi Selatan terjadi di kota Makassar sebagai Ibukota provinsi. Dari semua narasi tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor apa yang menyebabkan maraknya kekerasan itu menghiasi keseharian masyarakat di kota ini. Benarkah bahwa ritus kekerasan tersebut merupakan produk kebudayaan masyarakat Makassar ataukah bentuk agresi sebagaimana yang diutarakan oleh Erich Fromm 7 akibat kekerasan struktural pemerintah sebagaimana yang disampaikan oleh Johan Galtung8. Pemerintah kota Makassar sebagai institusi kuasa yang berada di kota ini seharusnya menyadari persoalan krusial ini, tugas pemerintah yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga negara seyogyanya pemerintah kota diperankan Makassar dengan sudah maksimal. melakukan Sebenarnya banyak upaya 6 Data didapat dari hasil penelitian Warta Titian Damai, Februari 2009 7 Lebih lengkap baca di Froom, Akar Kekerasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008. Banyak bentuk-bentuk agresi yang dijelaskan lengkap dalam buku ini. 8 Lihat Sunardi, Keselamatan kapitalisme dan kekerasan, LKIS, Yogyakarta, 1996 hal 165 6 penanggulangan maraknya terjadinya kekerasan massa. Dalam program Makassar Great Expectation9, kasus kekerasan yang kerap terjadi di jalanan ketika terjadi aksi unjuk rasa menjadi titik perhatian mengingat, bahwa kejadian tersebut bisa merusak wajah Makassar sebagai pintu gerbang di Indonesia bagian timur. Fokus pada penelitian ini akhirnya mengambil salah satu bentuk kekerasan massa yang cukup meresahkan. Perkelahian antar kelompok merupakan penyakit masyarakat yang sering menjadi bahan pembicaraan di kota ini. Tak jarang dengan menggunakan senjata tajam yang berujung pada timbulnya korban jiwa. Perkelahian antar kelompok pun mengalir dengan berbagai motif dari pelakunya. Sebagian besar dari pelakunya didominasi oleh kaum remaja. Berbagai penelitian sosial menganalisa perilaku keterlibatan remaja dalam perkelahian antar kelompok. Namun perkelahian ini juga tak bisa dilepas oleh mereka yang telah melewati masa remaja. Maraknya perkelahian antar kelompok yang melibatkan masyarakat miskin atau mereka yang berkemampuan ekonomi menengah ke bawah, menjadi salah satu indikasi bahwa perkelahian antar kelompok sebagai salah satu bentuk kekerasan massa diakibatkan oleh adanya kesenjangan yang akibat pembangunan tidak berimbang di sebuah kota besar. 9 Makassar Great Expectation adalah nama program pemerintah kota untuk menjadikan kota Makassar menuju kota dunia dalam jargon ini pemerintah kota Makassar mengikutkan banyak program termasuk pembangunan fisik, nilai dalam masyarakat dan yang terpenting dalam sektor budaya. Lebih jelas, silahkan kunjungi situs resmi pemerintah kota Makassar (www.makassarkota.go.id). 7 Ada pula beberapa contoh kasus yang memberikan bantahan terhadap “postulat” pelaku perkelahian antar kelompok diatas10. Masuknya perkelahian tersebut ke ranah institusi pendidikan seperti kampus dan sekolah memberikan contoh yang setidaknya mendobrak pernyataan mengenai tingkat pendidikan yang menjadi salah satu pemicu terjadinya tindak kekerasan. Dalam banyak kasus kekerasan yang terjadi, banyak pertanyaan yang timbul dalam diri penulis mengenai apakah sebenarnya peran pemerintah yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi masyarakatnya. Untuk itu diperlukan korelasi antara apa yang menjadi faktor antar kelompok yang kerap terjadi dengan peran-peran yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulanginya. Ketertarikan penulis membahas persoalan ini, dengan harapan tidak ada lagi sikap menduga-duga dari masyarakat pada umumnya mengenai apakah pemerintah kota mengambil sikap dan berperan menanggulangi kasus yang terjadi. Lemahnya peran institusi pemerintah dalam mengambil langkah dalam beberapa penyelesaian kasus perkelahian terus berulang terlontar ketika kecelakaan sosial ini kembali muncul dipermukaaan. Perkelahian antar kelompok setiap saat bisa saja 10 Pencantuman tanda kutip pada kata postulat bahwa makna dari kata tersebut tidak lagi sebagaimana artinya sebagai sebuah kesimpulan teori. Banyak isu berkembang mengenai perkelahian yang sering terjadi di kampus, mengindikasikan terbentunya anggapan masyarakat bahwa tingkat pendidikan bukanlah faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan. Lebih jelas baca di, Sukriansyah S.Latif dan Tomi Lebang, Makassar, Institute studi arus informasi, Makassar, 1998 hal. 35 dan 127. Amuk 8 terjadi dengan berbagai potensi yang diredam untuk beberapa saat saja. Ketika keran penyebab perkelahian itu terbuka, sontak massa pun kembali mengambil posisi dalam menyelesaikan persoalan yang sudah tidak bisa lagi diselesaikan dengan bahasa verbal. Adanya disparitas antara penyelesaian kasus kekerasan dengan faktor penyebabnya cenderung membuat perkelahian tersebut hanya selesai pada permukaan dan tidak menyentuh akar persoalan. Perkelahian antar kelompok dapat ditanggulangi ketika akar penyebab kekerasan itu terjadi sudah diketahui, banyak referensi yang bisa dijadikan acuan dalam menelaah akar kekerasan seperti ini yang kerap terjadi sebagai suatu produk sosial masyarakat kota. Pemerintah kota yang melakukan berbagai upaya penanggulangan akan diteliti perannya oleh penulis sebagai salah satu bentuk upaya pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Penelitian ini membuka persoalan yang sudah dibahas sebelumnya dengan memfokuskan penelitian pada tahun 2010 dalam judul: Analisis Peran Pemerintah Kota terhadap Perkelahian antar Kelompok di Kota Makassar I.II Rumusan Masalah Memperhatikan uraian di atas terlihat bahwa perkelahian antar kelompok merupakan persoalan esensial yang patut bagi pemerintah 9 daerah untuk segera memaksimalkan potensi dan peran yang dimiliki dengan membuat perencanaan strategis untuk menanggulangi sirkulasi kekerasan yang merebak di masyarakat. Bilamana telah terjadi penurunan angka perkelahian antar kelompok, maka patut pula untuk mengetahui upaya apa yang telah dilakukan sebagai bahan evaluasi kebijakan ke depannya. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab perkelahian antar kelompok di Kota Makassar? 2. Bagaimana peran pemerintah kota Makassar dalam menanggulangi persoalan perkelahian antar kelompok yang kerap terjadi? I.III Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Mengakarnya pandangan masyarakat yang hanya bisa menerka penyebab timbulnya perkelahian, oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkelahian antar kelompok di kota Makassar. 2. Untuk memperoleh gambaran dan penjelasan tentang peran pemerintah kota Makassar dalam menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok. 10 I.IV Manfaat Penelitian 1. Dari segi teoritis, memberikan informasi mengenai bentuk-bentuk peran pemerintah kota Makassar dalam menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok. Selain itu juga memberikan sedikit gambaran mengenai penyebab kekerasan massa yang kerap terjadi di masyarakat. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan khasanah ilmu pemerintahan terutama kajian tentang strategi peran pemerintah dalam menangani kasus tertentu. 2. Dari segi metodologis, hasil dari penelitian ini diharapkan memberi nilai tambah yang selanjutnya dapat dikomparasikan dengan penelitianpenelitian ilmiah lainnya, khususnya yang mengkaji masalah peran strategis pemerintah dan penanggulangan kekerasan massa di masyarakat. 3. Dari segi praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi masyarakat tentang peran pemerintah kota Makassar dalam menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok yang kerap mengganggu. Terkhusus bagi pemerintah khususnya Pemerintah kota Makassar, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam perumusan kebijakan dalam rangka penanggulangan perkelahian antar kelompok. 11 I.V Kerangka Pemikiran Dalam penelitian ini, peneliti akan memulai dengan mencari informasi dari para ahli, serta masyarakat mengenai penyebab perkelahian antar kelompok itu terjadi, kemudian mencari informasi dari pemerintah kota sebagai badan negara di daerah yang bertanggung jawab dalam penanggulangan kekerasan massa terkhusus pada perkelahian antar kelompok. Pencarian sebab yang dimulai dengan masuk pada beberapa wilayah yang pernah dekat dengan konflik tersebut. Sekaligus mencari tahu apakah pemerintah pernah mengadakan upaya penanganan langsung dalam kasus perkelahian di wilayahnya. Banyaknya institusi yang dekat pada persoalan perkelahian ini, sehingga penelitian juga menyentuh semua institusi tersebut seperti kepolisian dalam hal ini POLRESTABES Makassar dan pelaksana tugas pembuat regulasi dan legislasi DPRD kota Makassar untuk menggali tentang peran apa saja yang telah dilakukan. Kemudian membandingkan dan menganalisis apakah upaya penanggulangan yang dilakukan oleh pemerintah kota di tahun 2010 sudah searah dengan faktor-faktor yang menyebabkan perkelahian antar kelompok itu terjadi. Selain itu penelitian ini juga berupaya mencari solusi tepat dari faktor-faktor yang telah didapatkan. 12 Berikut bagan alur pikir dalam penelitian: Bagan I.I Faktor Penyebab *Perubahan sosial yang cepat *Populasi yang padat *Kondisi perkampungan yang buruk *Perekonomian penduduk yang sangat rendah Perkelahian antar kelompok Peran pemerintah kota dalam penanggulangan Perkelahian antar kelompok di kota Makassar (Kesbang, DPRD, Dinas Sosial) Analisis I.VI Metodologi Penelitian Penelitian ini berfokus pada program pemerintah terhadap penanggulangan perkelahian antar kelompok pada tahun 2010. Pada bagian ini dijelaskan gambaran metode penulis yang digunakan sebagai acuan penelitian selama mengadakan penelitian. Penulis membaginya menjadi lima bagian. Pertama adalah gambaran lokasi penelitian serta alasan mengapa lokasi ini menarik untuk diteliti, kemudian yang kedua ialah tipe penelitian dan dasar penelitian yang digunakan. Ketiga adalah sumber-sumber data yang akan dikumpulkan dalam penulisan dan teknik yang digunakan untuk pengumpulan data. Keempat, yakni informan penelitian, Kelima, teknik analisis data yang digunakan. Keenam, yakni defenisi operasional. Berikut adalah penjabaran lebih lanjut: 13 I.VI.I. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah kota Makassar. Kota Makassar yang dalam banyak pemberitaan media kemudian dikenal sebagai kota dengan tingkat kejadian kekerasan massa yang tinggi. Penulis juga beranggapan bahwa penelitian ini sangat berguna untuk dijadikan bahan acuan penanggulangan kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok sebagai perwujudan tanggung jawab sosial setiap warga negara dalam memutus mata rantai kekerasan. Menekankan lokus penelitian pada pemerintah kota sebagai perwujudan negara di daerah yang wajib melindungi masyarakatnya. Penelitian ini banyak dilakukan di kantor PEMKOT Makassar terkhusus di kantor Kesatuan Bangsa (KESBANG) sebagai institusi yang mengurusi secara konseptual masalah perlindungan masyarakat termasuk mengenai isu kekerasan. Kemudian penelitian ini juga menitikberatkan di lingkungan dinas terkait masalah penanggulangan kekekerasan yakni dinas sosial kota Makassar. Yang merupakan rekomendasi dari kantor KESBANG untuk mencari beberapa datang yang bisa melengkapi penelitian ini. Perilaku perkelahian antar kelompok di kota ini langsung ditangani di lapangan oleh aparat kepolisian untuk segera mengamankan masalah tersebut. Penelitian pun penulis lakukan di unit reserse dan kriminal (Dit RESKRIM) POLRESTABES Makassar. Disana peneliti banyak mendapatkan data angka tingkat kekerasan di beberapa bagian wilayah 14 kota Makassar. Secara legislasi peneliti juga mencari informasi dari DPRD kota Makassar untuk mengetahui apakah ada regulasi mengenai perkelahian antar kelompok ini. Penelitian di DPRD kota Makassar memfokuskan pengambilan informasi pada komisi A bidang pemerintahan yang tak lain juga mengurusi masalah perlindungan pemerintah terhadap masyarakatnya. Perkelahian antar kelompok ini menjadi salah satu persoalan yang pelik untuk dicarikan bentuk solusi yang pas. Berbedanya konteks masalah dalam setiap konflik yang terjadi serta motif pelaku yang beragam membuat pemerintah kota perlu berbagai senjata dalam penyelesaian konflik ini. Sehingga mengetahui pola kerja sama antar berbagai instansi terkait juga perlu dipahami sebagai bentuk penyelesaian konflik yang menyeluruh dan tidak partikulir11. I.VI.II. Dasar dan Tipe Penelitian Dasar wawancara penelitian dengan yang dilakukan pertanyaan terbuka adalah observasi melalui yaitu penelitian dengan mengumpulkan data dari informan atau menemukan ruang lingkup dan fokus persoalan tertentu sebagai sampel yang dianggap representatif. Tipe Penelitian adalah tipe penelitian deskriptif analisis yaitu suatu tipe penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau lukisan situasi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai objek yang 11 Lebih rinci akan dijelaskan di BAB III tentang data lokasi penelitian 15 diselidiki di mana hasil eksplorasi merupakan jawaban dari pertanyaan yang telah dirumuskan dilanjutkan dengan penjelasan secara rinci dan mendetail tentang situasi perkelahian antar kelompok dan strategi peran yang diterapkan. I.VI.III. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Sumber Data dalam penelitian ini adalah: a. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh melalui lapangan atau daerah penelitian. Peneliti turun langsung ke instansi yang telah disebutkan untuk mengumpulkan data dengan cara observasi serta wawancara mendalam. b. Data Sekunder Penulis juga melakukan telaah pustaka, yaitu mengumpulkan data dari penelitian sebelumnya berupa buku, jurnal, koran, dokumentasi, foto, internet dan sumber informasi lainnya yang ada kaitannya dengan masalah perkelahian antar kelompok ini. Dalam penelitian digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : a. Studi Kepustakaan (library research) Pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca literatur-literatur yang berhubungan tentang buku/artikel kebijakan pemerintahan, problem kekerasan di daerah, buku/artikel tentang ilmu pemerintahan 16 serta dokumen-dokumen yang ada relevansinya dengan topik yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang diperoleh dari kepustakaan ini merupakan data sekunder. b. Penelitian Lapangan (field research) Studi lapang ini dimaksudkan bahwa penulis langsung melakukan penelitian pada lokasi atau objek yang telah ditentukan. Studi lapang ditempuh dengan cara sebagai berikut; Wawancara Mendalam Penulis akan melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam, yaitu menggali informasi sebanyak-banyaknya semua informasi yang berkaitan dengan perkelahian antar kelompok dan peran pemerintah kota dalam penanggulangannnya dari informan yang telah ditentukan. Proses wawancara ini menggunakan pedoman wawancara (interview guide) sebagai alat penelitian, agar wawancara tetap berada pada fokus penelitian. I.VI.IV. Informan Penelitian Informan yang penulis wawancarai untuk pengumpulan data ini terdiri dari lima komponen masyarakat, yaitu: ● Pemerintah dalam hal ini pejabat pemerintah Kota Makassar, yang difokuskan pada kantor KESBANG kota Makassar terkhusus seksi LINMAS serta dinas dibawah PEMKOT yakni Dinas Sosial 17 ● Kepolisian dalam hal ini POLRESTABES Makassar ● DPRD kota Makassar terkhusus komisi A bidang pemerintahan ● Masyarakat sekitar areal perkelahian antar kelompok yang pernah terjadi ● Beberapa pelaku perkelahian antar kelompok yang tidak kami sebutkan namanya. Pemilihan informan berkembang dan berubah sesuai dengan kebutuhan penelitian dalam memperoleh data yang akurat. Peneliti juga menggunakan cara pemilihan informan yang didasarkan atas petunjuk informan I (pertama) ke informan II (kedua) dan seterusnya dan tidak terencana sebelumnya akhirnya diperoleh data yang lebih lengkap dan mendalam berkenaan dengan masalah perkelahian antar kelompok. Jadi meskipun telah ditetapkan informan sebelumnya, beberapa informan lain didapatkan dari sejumlah informasi selama berada di lokasi penelitian. I.VI.V. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Hal ini dimaksudkan agar tetap berada dalam fokus penelitian, penulis menggambarkan masalah yang terjadi menggunakan argumen yang jelas dan memfokuskan perhatian pada pengumpulan data serta informasi melalui observasi dan wawancara mendalam. Selanjutnya data dan informasi tersebut dianalisa secara kualitatif. Proses analisa data dimulai 18 dengan menelaah terlebih dahulu seluruh data yang tersedia, kemudian akan dilakukan penarikan kesimpulan secara induktif. Karena analisa penelitian ini bersifat deskriptif, maka penyajian data disajikan dalam bentuk narasi yaitu berusaha mendeskripsikan atau menggambarkan kekerasan massa dan salah satu bentuknya yakni perkelahian antar kelompok kemudian menjelaskan penyebab terjadinya, namun memfokuskan pembahasan pada peran pemerintah kota dalam penanggulangannya. Proses analisa data dilakukan pada waktu bersamaan dengan proses pengumpulan data berlangsung. Analisa data dilakukan melalui tiga alur, yakni: (1) reduksi data, (2) sajian data, dan (3) penarikan kesimpulan ataupun verifikasi. Reduksi data Pada tahap ini dilakukan proses penyeleksian, pemfokusan, penyederhanaan pengabstraksian data dari catatan lapangan (field note). Proses ini berlangsung sepanjang penelitian yang dilakukan sekitar sebulan, dimulai dengan membuat singkatan, kategorisasi, memusatkan tema, menentukan batas-batas permasalahan dan menulis memo. Proses reduksi ini berlangsung terus sampai laporan akhir penelitian ini selesai ditulis. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting dan mengatur sedemikian rupa sampai kesimpulan akhir didapatkan. 19 Sajian data Sajian data adalah suatu susunan informasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Dengan melihat sajian data, penulis mencoba lebih memahami berbagai hal yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis atau pun tindakan lain berdasarkan pemahaman tersebut. Sajian data yang baik dan jelas sistematikanya tentunya akan banyak membantu. Sajian data meliputi deskripsi, matriks, gambar/skema, dan tabel yang diperoleh dari berbagai instansi dimana penelitian ini berlangsung. Kesemuanya itu dirancang guna merakit informasi secara teratur supaya mudah dilihat dan dimengerti dalam bentuk yang kompak. Penarikan Kesimpulan Dari awal pengumpulan data, peneliti sudah mencoba memahami apa arti dari berbagai hal yang ia temui dengan mulai melakukan pencatatan pola-pola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi, alur sebab-akibat dan berbagai proposisi. Hal itu diverifikasi dengan temuantemuan data selanjutnya dan akhirnya sampai pada penarikan kesimpulan akhir. I.VI.VI. Defenisi Operasional Setelah beberepa defenisi dan maksud persoalan dari tinjauan pustaka, maka defenisi operasional ini dibuat dengan maksud untuk 20 mempermudah tercapainya tujuan penelitian, serta memberikan penjelas mengenai fokus penelitian. Berikut uraiannya: 1. Peran ialah segala sesuatu yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. Selain itu dapat juga diartikan sebagai peran individu sesuai dengan tuntutan sosial yang memberikan peran tersebut. Oleh karena itu, penulis menganggap bahwa peran pemerintah kota disini ialah segala tindakan baik dalam bentuk kebijakan strategis maupun kebijakan teknis ataupun peran dalam bentuk kerja sama dengan institusi negara yang lain. 2. Pemerintah kota yang dimaksud ialah pemerintahan daerah yang melingkupi wilayah kota Makassar. Dalam makna umum pemerintah mencakup tiga unsur dalam trias politica (ekskutif, legislatif dan yudikatif). Penelitian ini mengambil konsep pemerintah tadi dalam tiga unsur tersebut. Eksekutif diperankan oleh pemerintah kota dan dinas terkait yakni dinas sosial, legislatif diperankan oleh DPRD kota Makassar namun pada unsur yudikatif penelitian ini tidak mengikutkan peran lembaga peradilan melainkan mengikutkan kepolisian sebagai pengadil di lapangan.. 3. Penulis memasukkan kata penanggulangan. Penanggulangan ialah kembali mengulangi maksud penanggulangan pada tinjauan pustaka, maka penanggulangan yang dimaksud ialah semua tindakan pencegahan untuk memutus mata rantai sebuah masalah. Hal ini sangat berbeda dengan istilah penanganan yang cenderung lebih 21 dekat pada pengertian ketika sebuah masalah itu sedang terjadi, penanggulangan dapat berupa kebijakan atau upaya tertentu yang bisa dilakukan. 4. Perkelahian berasal dari kata kelahi yang berarti pertengkaran adu kata-kata dan pertengkaran dengan adu tenaga. Jadi perkelahian antar kelompok adalah perihal berkelahi atau pertengkaran yang dilakukan dua orang atau lebih dengan melibatkan kelompok secara langsung yang beradu tenaga. 22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini penulis mengutarakan mengenai tinjauan pustaka dari masalah yang diteliti, didalamnya juga tertera mengenai batasan masalah yang diteliti serta fokus masalah tersebut. Sebagai penelitian dalam program studi Ilmu pemerintahan penelitian ini terfokus pada peran pemerintah itu sendiri dalam menghadapi persoalan sosial berupa kekerasan. Dimulai dengan memahami konsep Pemerintah dalam teori kontrak sosial J.J Rosseau. Serta fungsi pemerintahan dalam teori yang diungkapkan oleh Ryas Rasyid. Tinjauan pustaka ini akan sedikit mengupas seluk beluk pemerintahan kota yang tentunya sangat berbeda dengan pemerintahan daerah lainnya dari segi kompleksitas masalah yang ditangani. Kemudian maksud dari peran yang diutarakan dengan singkat untuk memperjelas maksud dari penelitian pada pemerintah kota, lalu tinjauan pustaka ini akan ditutup dengan penjelas mengenai kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok itu sendiri serta beberapa faktor-faktor penyebab dari para ahli seperti, Dom Helder Camara, Johan Galtung, Erich Fromm dan para pakar sosiologi, psikologi sosial. Untuk mengkaji masalah faktor-faktor perkelahian antar kelompok penulis mengerucutkannya pada teori subkultur delinkuen. 23 II.I Peran (Role) Setiap individu dalam masyarakat memiliki sumbangsih penting dalam sistem masyarakat setempat. Individu tersebut kemudian membentuk sub sistem sebagai fondasi dari sistem yang ada. Individu dalam masyarakat tentunya memiliki peran yang berbeda-beda antar satu sama lain tergantung dari tuntutan sistem yang memaksa individu tersebut bertindak dan menunjukkan peran. Dalam kehidupan manusia dan hubungannya dalam kelompok tertentu sering kali dibarengi dengan tindakan interaksi yang berpola, baik resmi maupun yang tidak resmi. Sistem pola resmi yang dianut warga suatu masyarakat untuk berinteraksi dalam sosiologi dan antropologi disebut pranata. Orang yang bertindak dalam pranata tersebut biasanya menganggap dirinya menempati suatu kedudukan sosial tertentu, tindakan tersebut dibentuk oleh norma-norma yang mengatur. Kedudukan (status) menjadi bagian penting dalam setiap upaya untuk menganalisa masyarakat. Tingkah laku seseorang yang memainkan suatu kedudukan tertentu itulah yang disebut sebagai peranan sosial12. Peranan berarti tidak bisa dipisahkan dari kedudukan, eratnya kaitan bagi keduanya. Status tertentu akan membutuhkan peran tertentu. Semakin berat peran yang dimainkan maka semakin tinggi pula statusnya dalam masyarakat. Dan sebaliknya bila semakin minim peran yang dilakukan maka semakin rendah pula kedudukan atau statusnya dalam 12 Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi I, Rieneka Cipta, Jakarta, 2003 hal:136 24 masyarakat. Menurut Robert M. Z. Lawang, peran diartikan sebagai suatu pola perilaku yang diharapkan dari sesorang yang memiliki status atau posisi tertentu dalam organisasi13. Peranan terkadang pula diikuti oleh tuntutan masyarakat yang telah memberikan kepercayaan kepada individu yang menempati status tertentu. Pengharapan masyarakat pada status tertentu langsung maupun tidak memberikan beban bagi pelaksana peran yang dimaksud. Mengutip J.J Rosseau dengan teori kontrak sosialnya. Tugas dari peran yang diemban oleh individu merupakan hasil kontrak dengan masyarakat yang telah memberikan wewenang itu dengan kontrak yang telah disepakati melalui mekanisme yang telah disepakati pula. Oleh karena itu, perlu dipahami bagaimanakah masyarakat menentukan harapan-harapannya terhadap para pemegang peran tersebut. Peranan sebagai seorang walikota dapat diartikan sebagai harapan-harapan dari seluruh masyarakat pada sebuah wilayah kotamadya, para pejabat publik dibawahnya, para aparatur hingga tingkatan terendah dan kelompok lain yang punya pengaruh yang berarti sebagai generalised other bagi peranan walikota tersebut. Setiap kelompok ini merupakan kelompok referensi bagi walikota tersebut dan ia memperhitungkan harapan-harapan dari tiap kelompok dalam menjalankan peranannya. 13 Lihat Lawang, Robert M Z. Pengantar Sosiologi, PT. Karunika Universitas terbuka, Jakarta, 1985 hal:89. 25 Peranan yang terdapat pada seseorang perlu dibedakan dengan posisi dalam interaksi kemasyarakatannya. Posisi ini dalam masyarakat merupakan sebuah unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada organisasi masyarakat. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses14. Jadi, seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan. Dikutip oleh Sooerjono Soekanto dari buku “Role, Personality and Social Structure” karya Levinson, peranan dapat mencakup tiga hal berikut: a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing sesorang dalam kehidupan kemasyarakatan. b. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat15. Melekatnya peran pada individu dalam kondisi sebuah masyarakat kadang menimbulkan ketidaksesuaian yang diakibatkan tidak dijalankannya peran tersebut oleh individu yang bersangkutan. Inilah oleh 14 Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007 hal. 213-214 15 ibid 26 Soekanto disebut dengan role distance16. Keterpisahan antara individu dengan perannya kadang ditimbulkan dengan ketidakmampuan individu dalam melaksanakan peran yang diberikan oleh masyarakat. Cenderung menyembunyikan diri dan akhirnya peran yang dibebankan tidak berjalan atau berjalan dengan tidak sempurna. Setiap individu yang menjalankan peran cenderung tidak sendiri dalam melaksanakan peran sosialnya. Soekanto menyebut bahwa ada lingkaran sosial (Social Circle) yaitu tempat dimana seseorang mendapatkan dan melaksanakan peran sosialnya17. Peranan tentunya mengaitkan banyak pihak yang terkait pada peran yang dilaksanakan tergantung dari besar tidaknya peran yang diberikan. Seorang polisi tentunya tidak bisa lepas dengan beberapa bagian masyarakat yang lain dalam menangani kasus perkelahian atau tawuran warga. Pemerintah setempat serta institusi terkait lainnya tentunya juga memiliki peran penting dan bagian yang berbeda-beda dengan polisi dalam melaksanakan peran. Pemerintah kota pun demikian, dalam melaksanakan perannya untuk menjaga ketertiban dan keamanan penduduk dari perkelahian antar kelompok tentunya tidak bia dilepaskan dengan peran kepolisian, dinas sosial, lembaga peradilan maupun lembaga penyalur aspirasi seperti DPRD. 16 ibid 17 ibid 27 Bagan II.I Tokoh Masyarakat DPRD kota Pemerintah Kota Perkelahian antar kelompok di perkotaan Pelaku tindak Perkelahian Polisi Pada masyarakat kita terkhusus di kota Makassar terdapat kecenderungan untuk lebih mementingkan kedudukan ketimbang melaksanakan peran yang dibebankan oleh masyarakat. Kondisi tersebut kadang ditimbulkan dengan hasutan kebutuhan material, sehingga prestise dengan tinggi rendahnya kadang ditentukan dengan seberapa besar jabatan ataupun pangkat yang dimiliki oleh seseorang. Belum lagi bila kita memasukkan variabel kemewahan dalam posisi yang dimiliki tersebut. Sehingga tak heran bila peranan mendapat tempat yang lebih rendah ketimbang kedudukan dan akhirnya para pemilik kedudukan tersebut lebih banyak meminta kepada masyarakat berupa penghargaan walaupun dengan peran yang sangat minim. 28 Peran dan defenisinya memberikan pahaman bahwa dalam setiap kelompok masyarakat setiap individu dituntut untuk menjalankan perannya masing-masing. Kesinambungan sistem sosial tentunya dipengaruhi oleh berjalannya peran-peran dari individu. Mandegnya sistem peran akan sangat berpengaruh pada sistem sosial sebuah masyarakat. Ketika salah satu sistem peran tidak berjalan maka sistem peran yang lain akan dipengaruhi oleh sistem peran yang tidak berjalan tersebut. Maka tak jarang menimbulkan persoalan sosial dalam masyarakat. Lemahnya peran pemerintah kota dalam menjalankan perannya untuk menjaga ketertiban dan keamanan warganya akan menimbulkan peran yang tidak seimbang oleh para pelaku kejahatan. II.II Pemerintah kota Berangkat dari kebutuhan individu dalam sebuah sistem sosial, baik yang bersifat primer maupun yang bersifat sekunder. Pemenuhan kebutuhan tersebut menjadikan setiap individu untuk mencari cara dalam proses pemenuhan kebutuhannya. Terkadang ada beberapa diantara pemenuhan kebutuhan yang perlu melibatkan individu yang lain. Selain itu, ada juga dari kebutuhan-kebutuhan tersebut justru bersinggungan dengan kebutuhan individu yang lain. Muncullah kemudian sebuah solusi dalam peradaban kehidupan manusia untuk membentuk sebuah kelompok yang diakui untuk membantu proses pemenuhan kebutuhan. Persinggungan dalam kebutuhan antar individu maupun proses 29 pemenuhannya diharapkan juga mampu menyelesaikan konflik dalam pemenuhan kebutuhan ini. Masyarakat kemudian menyebutnya Pemerintah. Pemerintah kemudian menjadi gejala yang berlangsung dalam kehidupan bermasyarakat pada mulanya. Masyarakat sebagai suatu gabungan dari sistem sosial, senantiasa menyangkutkan dengan unsur-unsur pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti keselamatan, pakaian dan makanan kepada kelompok pemerintah ini. Dalam memenuhi kebutuhan dasar itu, manusia bekerja sama dan berkelompok dengan orang lain; dan bagi kebutuhan sekunder maka diperlukan bahasa untuk berkomunikasi menurut makna yang disepakati bersama, dan institusi sosial baru tersebut kemudian berlaku untuk menjalankan fungsi kontrol dalam aktivitas dan mengembangkan masyarakat tadi. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan untuk bekerjasama, menyelesaikan konflik, dan interaksi antar sesama warga masyarakat. Pemerintah kemudian dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat dalam menjalankan kegiatan bekerja sama maupun kegiatan pemenuhan kebutuhan. Lalu bagaimana sebuah kelompok kontrol tersebut dibentuk?. Mengutip Rosseau, “Membentuk institusi-institusi tersebut, masyarakat membuat kesepakatan atau perjanjian diantara mereka”18. 18 Jean Jacques Rousseau, Kontrak Sosial, Terjemahan Sumarjo, Erlangga, Jakarta,. 1986 hal:15 30 Adanya kesepakatan yang kemudian dikenal dengan sebutan kontrak sosial (social contract) tersebut kemudian diberikan kekuasaan legal dengan mekanisme beragam seperti yang kita kenal sekarang semisal pemilihan umum yang selanjutnya melahirkan kekuasan dan institusi pemerintahan. Kebutuhan terhadap pemerintahan pada beberapa kondisi selain untuk membantu pemenuhan kebutuhan juga dijadikan sebagai institusi yang diharapkan mampu menciptakan ketertiban dalam masyarakat, sehingga masyarakat tersebut terhindar dari benturan yang melibatkan antar individu di dalamnya. Masuknya zaman modern semakin menguatkan peran pemerintah untuk tidak hanya menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Meningkatnya kebutuhan masyarakat membuat peran pemerintah perlahan juga untuk menjadi pelayan masyarakat. Tetap pada kontrak sosial, pemerintah pada hakekatnya dibentuk oleh masyarakat oleh karena itu sangatlah tidak pantas bila pemerintah hanya melayani diri sendiri, melainkan juga harus melayani masyarakat sebagai pemberi mandat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan bersama19. Dengan begitu kelahiran pemerintahan membawa pelajaran bahwa kehadirannya 19 merupakan perwujudan kehendak masyarakat yang Lihat Rasyid,Ryas. Makna Pemerintahan ditinjau dari Segi Etika dan Kepemimpinan, PT. Yarsif Watampone, 1997 hal 1 31 menyetujui secara bersama tentang kepentingan bersama mereka untuk diatur oleh pemerintah mandataris rakyat, Dari situ pemerintahan bisa mencakup mengenai bagaimana sebuah pelayanan masyarakat dikelola dan karena mencakup kepercayaan masyarakat sebagai manusia, maka nilai kemanusiaan wajib dimiliki oleh pemerintah. Pelayanan oleh pemerintah tentunya memerlukan cara untuk menyalurkan pelayanan tersebut, karenanya pemerintah juga sepatutnya memahami cara pendekatan kepada masyarakat dalam proses distribusi pelayanan. Psikologi masyarakat pada sebuah wilayah tentunya berbeda dan secara sosiologis pola pergaulan yang dicetak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tidak lepas pula dari corak psikis tersebut yang tentunya berangkat dari adat istiadat setempat. Penggambaran diatas yang diawali dengan konsepsi pemerintahan ala Rosseau menjelaskan peran dan posisi masyarakat yang sebetulnya memegang penuh posisi yang telah dimandatkan kepada institusi pemerintahan, yang mana bangunan komitmen tersebut hanya dapat dipegang apabila rakyat dapat merasa bahwa pemerintah itu memang diperlukan untuk melindungi, memberdayakan dan mensejahterakan rakyat. Ndraha pertanggungjawaban mengatakan atas bahwa kepentingan pemerintah rakyat. memegang Dalam bukunya kybernology 1 Ndraha juga mengatakan bahwa pemerintah adalah semua beban yang memproduksi, mendistribusikan, atau menjual alat 32 pemenuhan kebutuhan masyarakat berbentuk jasa publik dan layanan civil20. Pendahuluan kepentingan umum yang telah ditekankan pada paragraf sebelumnya tak lain sebagai upaya untuk memberikan kepuasan kepada publik, melalui kekuasaan yang telah dimandatkan maka tugas mengatur bagi pemerintah seyogyanya telah dijalankan. Ryaas Rasyid21 mengemukakan tugas-tugas pokok pemerintahan: 1. Menjamin keamanan negara dari segala kemungkinan serangan dari luar, dan menjaga agar tidak terjadi pemberontakan dari dalam yang dapat menggulingkan pemerintahan yang sah melalui cara-cara kekerasan. 2. Memelihara ketertiban dengan mencegah terjadinya gontokgontokan diantara warga masyarakat, menjamin agar perubahan apapun yang terjadi di dalam masyarakat dapat berlangsung secara damai. 3. Menjamin diterapkannya perlakuan yang adil kepada setiap warga masyarakat tanpa membedakan status apapun yang melatarbelakangi keberadaan mereka. 4. Melakukan pekerjaan umum dan memberikan pelayanan dalam bidangbidang yang tidak mungkin dikerjakan oleh lembaga non pemerintahan, atau yang akan lebih baik jika dikerjakan oleh pemerintah. 20 Lihat Ndraha,Talidziduhu. Kybernology (ilmu pemerintahan baru). Penerbit Rineka Cipta. 2000. Hal: 115 21 Lihat Rasyid,Ryas. Makna Pemerintahan ditinjau dari Segi Etika dan Kepemimpinan, PT. Yarsif Watampone, 1997 hal 11-12 33 5. Melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial: membantu orang miskin dan memelihara orang cacat, jompo dan anak terlantar: menampung serta menyalurkan para gelandangan ke sektor kegiatan yang produktif, dan semacamnya. 6. Menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas, seperti mengendalikan laju inflasi, mendorong penciptaan lapangan kerja baru, memajukan perdagangan domestic dan antar bangsa, serta kebijakan lain yang secara langsung menjamin peningkatan ketahanan ekonomi negara dan masyarakat. 7. Menerapkan kebijakan untuk memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup hidup, seperti air, tanah dan hutan. Singkatnya tugas-tugas pokok tersebut diringkas menjadi 3 (tiga) fungsi yaitu: pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development)22. Pelayanan akan membuahkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan akan mendorong kemandirian masyarakat, dan pembangunan akan menciptakan kemakmuran dalam masyarakat. Pandangan yang berbeda dan memasukkan variabel birokrasi yang datang pada masa modern era Max Weber, oleh Ndraha fungsi pemerintahan tersebut kemudian dibagi menjadi 2 (dua) macam fungsi, yaitu: Pertama, pemerintah mempunyai fungsi primer atau fungsi pelayanan (service), sebagai provider jasa publik yang baik diprivatisasikan dan layanan civil termasuk layanan birokrasi. Kedua, 22 Ibid lihat 22 34 pemerintah mempunyai fungsi sekunder atau fungsi pemberdayaan (empowerment), sebagai penyelenggara pembangunan dan melakukan program pemberdayaan23. Pendekatan dalam sebuah keputusan yang dibuat oleh pemerintah karena didasarkan pada pemberian mandat oleh rakyat tadi, maka dalam prosesnya semua harus dimulai dengan pertanyaan apa yang diinginkan oleh masyarakat dan pertanyaan tersebut ditujukan kepada masyarakat. Kemudian bila muncul pertanyaan mengenai apakah sebuah masyarakat mampu hidup dan mengatur dirinya sendiri tanpa ada sebuah institusi yang sengaja dibuat untuk mengatur pola interaksi dalam masyarakat. Tingkat partisipasi dan kemudahan dalam pengambilan keputusan memang sangat bergantung pada populasi penduduk dalam sebuah wilayah. Semakin sedikit jumlah penduduk maka semakin cepat pula proses pengambilan keputusan dan semakin mudah pula regulasi dijalankan. Namun menurut Inu kencana: Tetapi, walaupun demikian dalam kelompok masyarakat itu bagaimanapun kecilnya, ada sekelompok yang inti yang menjadi elit pemerintahan yang memerintah di satu pihak, sedangkan kelompok yang lebih banyak jumlahnya adalah masyarakat biasa yang diperintah. Karena walaupun partisipasi masih mudah dibangkitkan, karena kesibukan sehari-hari manusia yang paling sederhana sekalipun tidak seluruhnya berkecimpung dalam bidang pengaturan serta pengurusan negara24. 23 Lihat Ndraha,Talidziduhu. Kybernology (ilmu pemerintahan baru). Penerbit Rineka Cipta. 2000. Hal: 76 24 Lihat, Kencana,Inu. Ilmu Politik.Penerbit Rineka Cipta.Jakarta. 1997 hal:79 35 Apa yang dikatakan oleh Inu Kencana dalam bukunya tersebut setidaknya memberikan gambaran bahwa dalam sebuah masyarakat dengan tingkat persoalan yang belum terlalu kompleks setidaknya juga membutuhkan elit atau minimal akan ada elit dalam masyarakat yang muncul dengan sendirinya untuk memimpin kelompok mayoritas dengan elit yang minimal tadi. Pola keseharian masyarakat dengan tingkat kesibukan terendah sekalipun belum cukup untuk memberikan luang waktu tersendiri dalam mengatur hubungan antar individu, melainkan membutuhkan individu ataupun kelompok khusus yang mengatur hubungan tadi. Melawati perdebatan tentang kebutuhan pemerintah dengan tidak, maka masuk pada defenisi pemerintah dengan meminjam defenisi pemerintah dari Bayu Suryaningrat bahwa pemerintah bisa diartikan sebagai badan tertinggi yang memerintah suatu wilayah25. Untuk kemudian mencari apa yang dimaksud dengan pemerintah kota maka beralih menuju pengertian kota itu sendiri, Sebuah kota seperti yang diketahui bersama adalah relatif besar dan bersifat permanen pada pemukiman penduduknya. Penentuan kota bisa dilihat dari kompleksitas mata pencaharian penduduknya selain itu bisa pula dilihat dari tingkat pembangunan dan bahkan bisa dilihat dari pola interaksi masyarakatnya, hingga yang paling ekstrim bisa ditinjau dari tingkat kriminalitas sebuah 25 Lihat Suryaningrat,Bayu. Mengenal Ilmu Pemerintahan. PT.rineka Cipta.Jakarta.1992 hal: 10 36 wilayahnya. Semakin tinggi tingkat kriminalitas sebuah wilayah maka itu bisa dikatakan sebagai wajah lain dari sebuah perkotaan. Terkait mengenai asumsi yang terakhir, banyak kemudian faktor yang mengakibatkan tingginya angka kriminalitas sebuah kota populasi penduduk yang melimpah sehingga sangat mudah untuk melahirkan gesekan, tingkat kebutuhan masyarakat yang sangat tinggi yang tak jarang bersinggungan dengan antar individu dalam pencapaian kebutuhan masing-masing dan ada pula yang menganggap bahwa penyebabnya adalah tingkat kesenjangan antara si kaya dan si miskin dengan interval yang sangat jauh. Dalam buku manajemen kota yang dikarang oleh Hadi Sabari Yunus di dalamnya ada pengertian kota secara sosio kultural menurut beberapa ahli diantaranya: Menurut Sujarto (1970), kota merupakan kesatuan masyarakat yang heterogen dan masyarakat kota memiliki tingkat kebutuhan yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan penduduk pedesaan26. Selain itu menurut Bintarto (1977), kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya27. Jadi bila mengurai dua penjelasan mengenai pemerintah dan kota, maka bisa disimpulkan bahwa pemerintah kota adalah institusi yang telah 26 Sabari, Yunus. Manajemen Kota. Pustaka Pelajar.Yogyakarta.2008 hal 39 27 ibid 37 dipercayakan untuk memerintah pada sebuah wilayah kota yang telah ditentukan batasan-batasannya dengan corak penduduk yang bersifat heterogen. Dalam melaksanakan tugasnya pemerintah kota yang masuk dalam jajaran pemerintahan di daerah tentunya memilki tugas sesuai apa yang menjadi embanan tugas pemerintah daerah. Pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan yang termaktub dalam UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah28, tentunya pemerintah kota tidak lagi mengurusi tentang: Politik luar negeri, Pertahanan, Keamanan, Yusitisi , Moneter dan Fiskal nasional, serta urusan agama. Ada pula hubungan yang menuntut pemerintah pusat dan pemerintah kota untuk melaksanakan tugas secara bersama-sama baik dengan pola desentralisasi, maupun dekonsentrasi29. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, dan kota atau antara provinsi dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang tersebut. 28 Lihat Undang-undang 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 10. 29 Ibid, lihat pasal 1 tentang ketentuan umum 38 Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria di atas terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Mengingat bahwa dalam penelitian ini, yang menjadi lokusnya yakni pemerintah kota kewenangannya oleh ialah karena urusan itu urusan wajib yang wajib yang terdapat menjadi dalam UU pemerintahan daerah untuk pemerintahan daerah kabupaten atau daerah kota. Urusan pemerintah kota tersebut meliputi 16 buah urusan30. Selain itu urusan pemerintah kota yang bersifat pilihan tidak menutup kemungkinan untuk dilaksanakan ketika secara nyata terdapat dan 30 Pada pasal 14 aturan perundang-undangan tersebut diantara 16 tugas tersebut ialah: 1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan 2. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang 3. Penyeleggaraan keteriban umum dan ketentraman masyarakat 4. Penyediaan sarana dan prasarana umum 5. Penanganan bidang kesehatan 6. Penyelenggaraan pendidikan 7. Penanggulangan masalah sosial 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan 9. Fasilitasi pembangunan koperasi, usaha kecil dan menengah 10. Pengendalian lingkungan hidup 11. Pelayanan pertanahan 12. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil 13. Pelayanan adminstrasi umum pemerintahan 14. Pelayanan administrasi penanaman modal 15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnnya; dan 16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh perundang-undangan. 39 berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah/kota yang bersangkutan. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan pemerintah kota menjalankan tugasnya berdasarkan asas otonomi daerah dengan hak untuk mengurusi urusan daerah dengan kewenangan yang seluasluasnya. Namun walaupun demikian ada pula urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, juga perlu dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai bagian dari sebuah negara kesatuan. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya pemerintah perlu menjamin ketertiban dan keamanan warganya. Sejalan dengan paparan tersebut, maka pemerintah daerah yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat untuk menjaga keamanan masyarakat layaknya memiliki program yang mengarah pada pencapaian perwujudan ketertiban masyarakat. Dengan demikian selain telah melaksanakan 16 peran pemerintah daerah, pemerintah kota juga telah melaksanakan fungsi pemerintah pusat di wilayahnya untuk menjaga keamanan negara dari potensi kekerasan dalam negeri. 40 Bagan II.II UU 32 Tahun 2004 Tupoksi Pemerintah Service Development Empowerment Menjaga ketertiban dan kemanan masyarakat Pemerintah Daerah II.III Perkelahian antar Kelompok Penanggulangan dalam bahasa sehari-hari ialah tindakan yang dilakukan untuk mencegah sebuah kejadian. Biasanya kata ini diikuti oleh kata yang akan dicegah tersebut. Sedangkan perkelahian adalah kegiatan adu mulut maupun fisik yang melibatkan dua orang atau lebih yang saling bertengkar31. Penanggulangan perkelahian antar kelompok bisa menimbulkan dua interpretasi, yang pertama ialah kegiatan pencegahan sebelum perkelahian antar kelompok itu terjadi dan yang kedua ialah bagaimana tindakan yang dilakukan untuk menghentikan ketika perkelahian itu berlangsung. Mengenai perkelahian antar kelompok penulis memasukkan kata dan mentikberatkan penanggulangan pada interpretasi yang pertama dengan asumsi, bahwa tugas itu memang diperankan oleh pemerintah kota. Sedangkan interpretasi yang kedua merupakan tugas dari satuan pengamanan negara seperti kepolisian. 31 31 Lihat di Kamus Bahasa Indonesia, DEPDIKBUD, 1996 41 Kita membicarakan di sini bukan kekerasan individual-yaitu kekerasan yang dilakukan oleh individu, seperti membunuh karena dendam pribadi, atau merampok-melainkan kekerasan massa, yakni kekerasan yang dilakukan oleh massa. Kekerasan jenis ini berbeda dari kekerasan yang dilakukan individu karena para pelaku melakukan kekerasan itu tidak semata-mata atas dasar dendam atau kebencian personal, melainkan banyak dipengaruhi dinamika sebuah kelompok. Perkelahian antar kelompok merupakan salah satu bentuk kekerasan massa atau kekerasan kolektif. Kekerasan individual terliput oleh hukum pidana dan situasi sehari-hari, tetapi kekerasan massa sering melampaui hukum positif itu. Sulit menghukum demikian banyaknya pelaku. Semakin kurang personal motif kekerasan dan semakin merasa benarlah para pelaku kekerasan itu. Kekerasan massa tidak beroperasi di dalam hukum, tetapi melawan dan melampaui tatanan hukum itu sendiri. Karena kompleksnya peristiwa ini, akar-akar penyebabnya juga kompleks. Namun, dalam ulasan ini saya akan menarik gagasan Budi Hardiman yang psikoanalisa banyak mengambil gagasan dari para pemikir pada tiga akar kekerasan yang terkait dengan conditio humana, yaitu: yang bersifat epistemologis, antropologis, dan sosiologis32. Secara epistemologis kekerasan massa atau perkelahian antar kelompok terjadi karena menganggap orang atau kelompok lain berada 32 Dikutip dari artikel Memahami akar-akar kekerasan massa, 28 Juli 2008 42 dari luar dirinya33. Jadi kekerasan dilakukan bukan terhadap yang sesama, melainkan yang lain. Contoh: Mahasiswa Fakultas Teknik UNHAS yang dari tahun ke tahun dikenal sering berbenturan dengan mahasiswa FISIP UNHAS tentunya kedua kelompok tersebut akan melihat kelompok yang lain berbeda dengan dirinya34. Solidaritas fakultas kemudian menjadi tembok pemisah kedua kelompok hingga akhirnya benturan pun terjadi. Kelompok-kelompok pelajar yang melakukan tawuran juga mengalami kondisi yang sama. Dibumbui dengan semangat kesadaran-kekamian mereka berkelompok berkelahi dengan kelompok yang lain untuk mengangkat derajat kelompoknya35. Dalam kondisi kelompok, manusia-manusia tidak mengenal satu sama lain sebagai individu-individu, tetapi sebagai elemen massa. Dalam perspektif antropologis, individu tidak akan bergabung ke dalam massa dan melakukan kekerasan kolektif semata-mata spontan dan naluriah. “Kewajaran” dalam melukai atau melakukan kekerasan dimungkinkan karena individu-individu memandang tindakan kekerasannya sebagai sesuatu yang bernilai36. Karena itu, menemukan bagaimana sebuah sistem nilai memotivasi manusia untuk melakukan 33 34 ibid Sejarah perkelahian yang paling tersohor yang melibatkan dua fakultas tersebut bernama Black September, kejadian yang terjadi pada tahun 1992 dan puncaknya pada tanggal 2 September ini menimbulkan kerugian hingga 1 miliar rupiah akibat perkelahian yang merusak banyak fasilitas kampus UNHAS. Lebih jelas lihat di Sukriansyah S.Latif dan Tomi Lebang, Amuk Makassar, Institute studi arus informasi, Makassar, 1998 35 Lihat, Kartini,Kartono. Kenakalan Remaja (Patologi sosial 2). Rajawali Press. Jakarta.2010 hal: 106 36 Ibid 32 43 kekerasan terhadap sesamanya adalah langkah penting untuk menemukan akar psikologis kekerasan. Manusia akan melakukan kekerasan tanpa merasa bersalah jika tindakan itu dipandang sebagai realisasi suatu nilai. Kekerasan adalah bentuk realisasi diri. Demonstrasi yang berujung pada bentrok dengan aparat pengamanan, bagi para demonstran cenderung dianggap sebagai sesuatu yang tidak keliru. Ini dikarenakan karena demonstrasi dianggap adalah wujud permintaan masyarakat banyak, maka ketika ada sesuatu yang dianggap menghalangi maka tindakan kekerasan pun akan cenderung muncul. Begitupun dengan kaum fundamentalis yang bersedia mati demi agamanya, mereka membayangkan kematian sebagai suatu jalan yang bernilai. Belum lagi dalam kasus di Indonesia agama yang dirawat oleh masyarakat pun berubah menjadi salah satu bagian dalam pembangunan, hingga tak jarang agama digunakan sebagai salah satu pembenar kekerasan itu37. Kembali melihat bagaimana pertahanan nilai itu bisa menjadi embrio kekerasan. Jika nilai-nilai moral kehilangan daya gigitnya karena oportunisme merajalela, suatu disorientasi nilai akan dialami individu. Inkosistensi dan inkoherensi nilai-nilai menimbulkan rasa ketidakpastian yang mendorong panik massa. Kerinduan akan kepastian yang muncul merupakan bahan bakar bagi setiap ideologi massa yang memotivasi kekerasan 37 kolektif. Fanatisme pendukung sepakbola, radikalisme Lihat Sunardi, Keselamatan kapitalisme dan kekerasan, LKIS, Yogyakarta, 1996 hal 169 44 demonstran, ataupun fundamentalisme beragama adalah gaya berpikir untuk lari dari rasa ketidakpastian itu. Mereka akan mencari jalan untuk mendapatkan kepastian itu dengan caranya terlebih bila ada institusi yang diberi kepercayaan untuk menghilangkan rasa ketidakpastian itu, namun tidak dapat mengemban amanah. Untuk menemukan akar sosiologis kekerasan, kita harus bertolak dari pengalaman isolasi itu karena isolasi yang menyentuh jiwa itu bersumber dari kondisi-kondisi struktural masyarakat. Artinya, tatanan masyarakat itulah yang menjadi sumber kekerasan38. Banyak ahli yang menyatakan bahwa ketimpangan sosial memicu aksi kekerasan massa dan perkelahian antar kelompok, karena mereka yang dimarjinalisasikan, didikriminasikan dan direpresi lalu akan memobilisasi diri sebagai massa. Tindakan kekerasan dapat dilihat di sini sebagai strategi protes. Johan Galtung menyatakan bahwa represi, diskriminasi, dan marjinalisasi adalah hasil kekerasan legitimatif atau yang biasa disebut dengan negara. Bahkan Louis Althusser menyatakan bahwa negara senantiasa menggunakan kuasa melalui aparatusnya untuk menjaga kekuasaan itu39. Jadi, bila ada yang menguasai maka spontan hadirlah yang dikuasai. Pemerintah dalam hal ini yang seharusnya menjadi pengaman bagi rakyatnya justru menjadi pemicu dimana kekerasan itu bermula. 38 39 Ibid 32 Lebih jelasnya baca Althusser,Louis. Tentang Ideologi (Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Jalasutra.Yogyakarta Studies). Terjemahan Essay on Ideology 1984. 45 Dalam kondisi demikian, kita harus membaca gagasan Johan Galtung tentang segitiga kekerasan yang mempertautkan kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Mereka yang tewas, korban-korban yang terluka parah, harta benda yang terbakar, kaum terbuang, dan apa pun yang menghancurkan peradaban adalah kekerasan langsung. Kekerasan yang bersifat kasat mata itu tidaklah berdiri sendiri. Kekerasan itu adalah akibat dari kekerasan struktural dan kekerasan kultural yang tidak terlihat. Jalinan yang terjadi antara kekerasan yang tidak terlihat dengan kekerasan yang konkret sebegitu akrab. Kekerasan struktural terbangun dalam sistem sosial dan mengekspresikan dirinya pada distribusi kekuasaan yang timpang. Kenyataan ini dapat diidentifikasi dengan merebaknya kesenjangan untuk mendapatkan penghasilan, ketimpangan di bidang pendidikan, atau eksploitasi yang tidak pernah berhenti. Kekerasan struktural adalah nama lain dari ketidakadilan sosial. Sedangkan kekerasan kultural merupakan aspek-aspek budaya yang dipakai untuk membenarkan dan melegitimasi pemakaian kekerasan langsung atau kekerasan struktural. Setiap pihak mempunyai nilai-nilai rujukan untuk mengobarkan kekerasan. Konflik, perselesihan, percekcokan, pertentangan dan perkelahian, merupakan pengalaman hidup yang cukup mendasar, karena meskipun tidak harus, tetapi mungkin bahkan amat mungkin terjadi. Seperti 46 pengalaman hidup yang lain, konflik tidak dapat dirumuskan secara ketat. Lebih tepat bila konflik itu diuraikan dan dilukiskan. Dahrendorf membahas suatu tendensi yang melekat pada konflik di dalam masyarakat. Kelompok-kelompok yang memegang kekuasaan akan memperjuangkan kepentingan-kepentinganya, dan kelompok yang tak memiliki kekuasaan akan berjuang, dan kepentingan-kepentingan mereka sering berbeda, bahkan saling bertentangan. Cepat atau lambat menurut Dahrendorf di dalam beberapa sistem yang kekuasaannya kuat mungkin secara cermat membuat kubu-keseimbangan antara kekuasaan dan perubahan oposisi, dan masyarakat berubah. Jadi, konflik adalah “kekuasaan yang kreatif dari sejarah manusia”40. Dari uraian di atas kesimpulannya, konflik ialah proses atau keadaan dimana dua atau lebih dari pihak-pihak itu melakukan persaingan, pertentangan, perselisihan dan perseteruan. Berusaha menggagalkan tujuan masing-masing pihak dan hal itu merupakan “kekuasaan yang kreatif dari sejarah manusia”. II.IV Faktor Penyebab Perkelahian antar Kelompok Faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik perkelahian antar kelompok adalah suatu peristiwa yang merupakan dorongan dimana dorongan tersebut dapat mempengaruhi dan menyebabkan konflik perkelahian antar kelompok. 40 Lihat Ritzer dan Goodman. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Jakarta. 2010 hal: 153 47 Dahrendof41 mengemukakan ciri-ciri konflik dalam organisasi sosial sebagai berikut: a. Sistem sosial senantiasa berada dalam keadaan konflik b. Konflik-konflik tersebut disebabkan karena adanya kepentingankepentingan yang bertentangan yang tidak dapat dicegah dalam struktur sosial masyarakat. c. Kepentingan-kepentingan itu cenderung berpolarisasi dalam dua kelompok yang saling bertentangan. d. Kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan mencerminkan deferensial distribusi kekuasaan di antara kelompok-kelompok yang berkuasa dan dikuasai e. Penjelasan suatu konflik akan menimbulkan perangkat kepentingan baru yang saling bertentangan, yang dalam kondisi tertentu menimbulkan konflik f. Perubahan sosial merupakan akibat-akibat konflik yang tidak dapat dicegah pada berbagai tipe pola-pola yang telah melembaga. Suatu konflik yang terjadi antar kelompok menjadi tidak sehat apabila masing-masing pihak di dalam mencari pemecahanya tidak lagi bersifat rasional tapi lebih bersifat emosional. Akibatnya yang terjadi adalah seperti tawuran, penjarahan, perusakan rumah warga, perkelahian antar kelompok di dalam masyarakat. Kekerasan sudah dijadikan sebagai media penyelesaian masalah. 41 Dalam Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007 hal 79 48 Bagi masyarakat perkotaaan, apa yang dikatakan oleh Dom Helder Camara secara induktif menjelaskan mengenai faktor pembentuk kekerasan setidaknya menjadi salah satu faktor penting mengapa kekerasan kelompok terjadi dalam masyarakat. Untuk itu penulis mencoba mengurai faktor pembentuk terjadinya perkelahian antar kelompok sebagai salah satu bentuk kekerasan massa dalam berbagai pandangan salah satunya ialah pandangan bahwa kekerasan merupakan buah dari kekerasan struktural. Johan Galtung, senada dengan pemikiran Dom Helder Camara bahwa kekerasan yang terjadi di masyarakat pada dasarnya dibentuk dari kekerasan struktural yang tidak terlihat. Untuk kasus masyarakat perkotaan. Sebuah kota cenderung memiliki pemerintah yang lamban dalam menyelesaikan sebuah persoalan yang terjadi. Oleh karena itu terkadang sebuah masyarakat mengambil tindakan demi kepastian penyelesaian persoalan. Lalu menurut Helder Camara sendiri, tidak seorang pun yang ingin menjadi budak42. Inilah yang kemudian dikatakan oleh dua pemikir diatas yang menaganggap bahwa embrio kekerasan berawal dari kekerasan struktural, yakni kekerasan akibat ketidakadilan penguasa setempat. Perkotaan semakin sering menyajikan hal demikian. Jauhnya margin sosial antara si kaya yang sedikit dan si miskin yang berjumlah banyak menjadi faktor yang diawali dengan rasa kecemburuan ditambah lagi dengan peliknya hidup yang dihadapi. 42 Lihat Camara, Dom Helder. Spiral Kekerasan.Resist Book. Yogyakarta.2005 hal 31 49 Ada pula alur yang dijelaskan oleh Camara yang menyebabkan perkelahian antar kelompok terjadi. Diawali dengan bentuk protes terhadap kekerasan struktural tadi. Masyarakat kemudian berbondongbondong untuk mencari penyelesaian masalah yang dihadapi dan menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab terhadap persoalan tersebut. Namun terkadang pemerintah tidak ingin untuk menjadi biang persoalan. Maka timbul represi dari pemerintah sebagai bentuk kekerasan ketiga dari tanggapan masyarakat tadi. Berikut adalah sebuah pemberitaan yang menceritakan bagaimana sebuah perkelahian itu terjadi43. 43 Bersambung di halaman berikut 50 Tawuran Antarpemuda, Satu Kritis Selasa, 1 September 2009 | 06:41 WIB MAKASSAR, KOMPAS.com — Tawuran yang melibatkan dua kelompok pemuda dari Jalan Rajawali depan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Rajawali, Makassar, Senin (31/8) malam, mengakibatkan satu orang pemuda kritis dan dilarikan ke Rumah Sakit (RS) Stella Maris Makassar untuk dirawat intensif. Informasi yang dihimpun di tempat kejadian menyebutkan, tawuran ini berawal dari penikaman Dedy R Umar (19) sebanyak dua kali di punggungnya oleh empat orang pemuda dari Jalan Rajawali Lorong 13, Makassar, Senin (31/8) sekitar pukul 23.30 Wita di dalam Pasar Lelong. Penikaman warga Jalan Rajawali Lorong 29 menyulut kemarahan warga lainnya sehingga ratusan pemuda dari pasar tersebut ke luar dan melawan kelompok pemuda yang sudah bersiap-siap di depan TPI Rajawali Makassar yang tidak jauh dari anjungan Pantai Losari ini. Saling serang dengan batu dan busur panah yang melibatkan dua kelompok pemuda dari Jalan Rajawali Lorong 29 atau Kampung Kokolojia dan Rajawali Lorong 13 atau Mariso di depan TPI Rajawali, Kecamatan Mariso, ini pun tak terhindarkan. Sekitar satu jam, puluhan petugas dari Polresta Makassar Barat datang melerai mereka dan mengamankan empat pemuda yang diduga sebagai tersangka perkelahian kelompok yang sudah berlarut-larut terjadi di Kelurahan Tamarunang, Kecamatan Mariso, Makassar. Dua orang warga Kampung Kokolojia, Ulis dan Syarifuddin, mengungkapkan bahwa perkelahian kelompok kali ini adalah tawuran pertama selama bulan Ramadhan dan perkelahian yang paling mencekam akibat jatuhnya korban kritis dari kelompok di dalam pasar ini. “Dedy tiba-tiba ditikam saat dia dan beberapa temannya main domino di depan rumah warga. Pelaku penikaman itu datang dengan mengendarai dua sepeda motor. Mereka berasal dari kelompok pemuda Rajawali Lorong 13,” kata Syarifuddin. Menurutnya, empat pelaku penikaman mengendarai sepeda motor Yamaha RX King dan sepeda motor jenis bebek masuk lewat belakang pasar dan langsung menusuk punggung Dedy saat main domino. Dedy kini dalam perawatan intensif di Unit Gawat Darurat RS Stella Maris. Tim medis menemukan dua luka tikaman di punggung Dedy dengan kedalaman sekitar 10 sentimeter dan lebar satu sentimeter. Selain Dedy, Fajar (19), warga Kokolojia, juga mengalami luka di pelipis kanannya akibat hantaman batu. Sementara pihak kepolisian mengamankan Agus (18), warga Jalan Rajawali Lorong 13; Junaidy (20) dan Wariska (19); keduanya warga Lorong 29; dan Bustam (32), warga Asrama Lompobattang. Dari keempat pemuda ini, Polresta Makassar Barat menemukan dua buah ketapel busur, dua busur anak panah, dan satu buah badik yang dibawa oleh mereka. Berita tersebut adalah salah satu peristiwa perkelahian antar kelompok di kota Makassar yang terjadi pada tahun 2009. Dalam peristiwa tersebut pada awalnya hanya dimulai dengan persoalan individu dan kemudian merebak pada persoalan kolektif dimana individu bermukim. 51 Beberapa kasus perkelahian antar kelompok kadang dimulai masalahnya dengan individu yang mewakili salah satu kelompok. Informasi akhirnya tersebar sedemikian rupa dan akhirnya membentuk kesadaran kelompok. Inilah yang disebut Soekanto sebagai bentuk kesadaran in group dan out group. Kesadaran in group adalah kelompok sosial di mana individu mengidentifikasi dirinya. Out group adalah kelompok sosial yang oleh individu diartikan sebagai lawan in groupnya. Perasaan in group dan out group didasari dengan suatu sikap yang dinamakan etnosentris, yaitu adanya anggapan bahwa kebiasaan dalam kelompoknya merupakan yang terbaik dibanding dengan kelompok lainnya44. Pada kasus yang diulas koran kompas pada halaman sebelumnya setidaknya menjadi pembenar faktor perkelahian antar kelompok di kota ini yang disebabkan karena adanya kesadaran kelompok. Lingkungan juga tidak bisa dilepas sebagai distributor kekerasan itu sendiri. Selain kesadaran kelompok yang terbentuk dalam masyarakat ada pula faktor yang menyebabkan terjadinya perkelahian antar kelompok karena lingkungan. Secara sosiologis seorang individu akan cenderung menyesuakan diri dengan lingkungan dimana individu bermukim. Dalam pilot study yang dilakukan penulis dengan menanyakan dan mencari informasi dimana posisi kekerasan antar kelompok sering terjadi. Maka penulis menemukan dua tempat di kota Makassar yakni wilayah Pampang (pemukiman di belakang kampus Universitas Muslim Indonesia) 44 LihatSoekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007 hal 109 52 dan wilayah kecamatan Makassar meliputi jalan karuwisi, jalan maccini dan kampung Bara-baraya. Lingkungan tersebut dari tahun ke tahun dianggap sebagai tempat dimana kekerasan kelompok sering terjadi. Teori Subkultur Delinkuensi memasukkan bahwa kepadatan penduduk menjadi salah satu variabel terjadinya kriminalitas dalam masyarakat45. Tingginya persaingan dalam masyarakat yang dikarenakan padatnya sebuah pemukiman berimbas pada tingginya upaya yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan. Lain pula bila kekerasan itu dipandang dalam perspektif psikologi. Menurut Fromm, dalam ceritanya agresi merupakan kegiatan di luar rencan akibat dorongan-dorongan tertentu46. Penulis menekankan faktor-faktor perkelahian pada penelitian ini dari data motif terjadinya tindak perkelahian antar kelompok tersebut. Selain itu juga menggunakan teori subkultur delinkuen untuk mengkaji bagaimana peran institusi sosial membangun pranata yang justru meningkatkan angka kriminalitas dalam masyarakat. 45 Ada empat variabel yang menentukan tingkat kekerasan dalam sebuah masyarakat berikut: 1. Punya populasi yang padat 2. Status sosial dan ekonomi penduduk yang rendah 3. Kondisi fisik perkampungan yang sangat buruk 4. Banyak disorganisasi familiaal dan sosial bertingkat tinggi Lebih jelas lihat di Kartini,Kartono. Kenakalan Remaja (Patologi sosial 2). Rajawali Press. Jakarta.2010 hal 32 46 Lihat Froom,Erich. Akar Kekerasan.Pustaka Pelajar. Yogyakarta.2008. hal:257 53 Lalu bagaimana dengan solusi perkelahian antar kelompok tersebut? .Bila merujuk pada penyelesaian yang bersifat pada kejadian yang berlangsung maka ada beberapa solusi yang bisa diterapkan seperti mediasi. Menurut Angela Garcia (1991) dalam sebuah perjalanannya di California dia menyimpulkan bahwa keberadaan lembaga penengah membuat penyelesaian konflik jauh lebih mudah47. Solusi tersebut masih bersifat mikro karena hanya menyelesaikan masalah dari kejadian yang berlangsung. Mengangkat kembali paradigma sosial dalam membangun pranata masyarakat maka konflik juga bisa dibentuk oleh kondisi sosial itu sendiri. Ketimpangan dan diskriminasi yang diturunkan dalam bentuk yang terlihat seperti dalam teori subkultur delinkuen, maka untuk menyelesaikannya perlu kemiskinan48 perlu diretas. 47 48 lihat 40 hal 345 Suharto, Edy. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat; Refika Aditama. Bandung 2009. Hal 132 Dalam buku tersebut disebutkan pespektif kemiskinan oleh David Cox diantaranya kemiskinan yang disebabkan ooleh globalisasi, kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan, kemiskinan sosial dan kemiskinan konsekuensial. 54 BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN III.I Keadaan Geografi, kependudukan, Sosial, Ekonomi dan Pemerintahan Kota Makassar Pada bagian ini penulis menaruh gambaran lokasi penelitian dari berbagai sudut. Dimulai dari kondisi geografis hingga kondisi pemerintahan di kota ini. Semua ulasan tersebut bagi penulis sangat berhubungan dengan faktor-faktor perkelahian penduduk seperti kepadatan, kondisi sosial dan kondisi perekonomian. III.I.I Keadaan Geografis Memiliki posisi strategis karena berada di persimpangan jalur lalu lintas dari arah selatan dan utara dalam propinsi di Sulawesi, dari wilayah kawasan Barat ke wilayah kawasan Timur Indonesia dan dari wilayah utara ke wilayah selatan Indonesia. Dengan kata lain, wilayah kota Makassar berada pada koordinat 119 derajat bujur timur dan 5,8 derajat lintang selatan dengan ketinggian yang bervariasi antara 1-25 meter dari permukaan laut. Kota Makassar merupakan daerah pantai yang datar dengan kemiringan 0 - 5 derajat ke arah barat, diapit dua muara sungai yakni sungai Tallo yang bermuara di bagian utara kota dan sungai Jeneberang yang bermuara di selatan kota. Luas wilayah kota Makassar seluruhnya berjumlah kurang lebih 175,77 Km2 daratan dan termasuk 11 pulau di selat Makassar ditambah luas wilayah perairan kurang lebih 100 Km². 55 Jumlah kecamatan di kota Makassar sebanyak 14 kecamatan dan memiliki 143 kelurahan. Diantara kecamatan tersebut, ada tujuh kecamatan yang berbatasan dengan pantai yaitu kecamatan Tamalate, Mariso, Wajo, Ujung Tanah, Tallo, Tamalanrea dan Biringkanaya. Kota Makassar sendiri berdekatan dengan sejumlah kabupaten yakni sebelah utara dengan kabupaten Pangkep, sebelah timur dengan kabupaten Maros, sebelah selatan dengan kabupaten Gowa dan sebelah barat dengan Selat Makassar. Dari gambaran selintas mengenai lokasi dan kondisi geografis Makassar, memberi penjelasan bahwa secara geografis, kota Makassar memang sangat strategis dilihat dari sisi kepentingan ekonomi maupun politik. Dari sisi ekonomi, Makassar menjadi simpul jasa distribusi yang tentunya akan lebih efisien dibandingkan daerah lain. Mengembangkan Makassar, otomatis akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan timur Indonesia dan percepatan pembangunan. Dengan demikian, dilihat dari sisi letak dan kondisi geografis Makassar memiliki keunggulan komparatif dibanding wilayah lain di kawasan Timur Indonesia. Saat ini kota Makassar dijadikan inti pengembangan wilayah terpadu Mamminasata. Dari fakta di lapangan terlihat bahwa pada wilayah perkotaan seperti Kota Makassar sudah jarang terdapat lahan kosong milik negara 56 atau lahan-lahan mentah lainnya. Maka akan lebih mengena jika lahan yang ada dikategorikan berdasarkan kriteria-kriteria yang mengarah pada trend dan visualisasi psikologis dari area-area yang ada dan membaginya dalam bentuk tipologi kawasan, dibanding metode tradisional yang hanya mengandalkan pengkategorian pada visual lahan yang masih kosong, ada vegetasi, atau terbangun. Sehingga bila dilihat berdasarkan keadaan litologi, topografi, jenis tanah, iklim dan vegetasi yang ada, Kota Makassar direkomendasikan sebagian besar untuk kawasan pengembangan budidaya karena tidak ada syarat yang memenuhi sebagai kawasan lindung. Mencermati pembagian lahan dalam wilayah Makassar dibagi dengan peruntukan kawasan sebagai berikut, Kawasan Mantap 38 %, Kawasan Peralihan 11 %, dan Kawasan Dinamis 51 %49. Wilayah daratan Kota Makassar dirinci menurut kecamatan dapat dilihat pada tabel berikut50 : 49 Semua data geografis kota Makassar diikuti dari buku Makassar dalam angka 2010 hal 1-9 50 Tabel pada halaman berikut 57 TABEL III.I. Luas Wilayah Dan Persentase Terhadap Luas Wilayah Menurut Kecamatan Di Kota Makassar51 Kode Kecamatan Wilayah Luas area(km2) Persentase terhadap luas Kota Makassar(%) (1) (2) (3) (4) 010 MARISO 1,82 1,04 020 MAMAJANG 2,25 1,28 030 031 TAMALATE 20,21 11,50 RAPPOCINI 9,23 5,25 040 MAKASSAR 2,52 1,43 050 UJUNG PANDANG 2,63 1,50 060 WAJO 1,99 1,13 070 BONTOALA 2,10 1,19 080 UJUNG TANAH 5,94 3,38 090 TALLO 5,83 3,32 100 PANAKKUKANG 17,05 9,70 110 MANGGALA 24,14 13,73 101 BIRINGKANAYA 48,22 27,43 111 TAMALANREA 31,84 18,11 7371 MAKASSAR 175,77 100,00 . III.I.II Kondisi kependudukan Kota Makassar52 Penduduk Kota Makassar tahun 2009 tercatat sebanyak 1.272.349 jiwa yang terdiri dari 610.270 laki-laki dan 662.079 perempuan. Sementara itu jumlah penduduk Kota Makassar tahun 2008 tercatat sebanyak 51 52 Bersumber dari buku Makassar dalam angka tahun 2010 Semua data kependudukan kota Makassar dirangkum dari buku Makassar dalam Angka 2010 hal: 22-111 58 1.253.656 jiwa Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dapat ditunjukkan dengan rasio jenis kelamin Rasio jenis kelamin penduduk Kota Makassar yaitu sekitar 92,17 persen, yang berarti setiap 100 penduduk wanita terdapat 92 penduduk laki-laki. Penyebaran penduduk Kota Makassar dirinci menurut kecamatan, menunjukkan bahwa penduduk masih terkonsentrasi diwilayah kecamatan Tamalate, yaitu sebanyak 154.464 atau sekitar 12,14 persen dari total penduduk, disusul kecamatan Rappocini sebanyak 145.090 jiwa (11,40 persen). Kecamatan Panakkukang sebanyak 136.555 jiwa (10,73 persen), dan yang terendah adalah kecamatan Ujung Pandang sebanyak 29.064 jiwa (2,28 persen). Ditinjau dari kepadatan penduduk kecamatan Makassar adalah terpadat yaitu 33.390 jiwa per km persegi, disusul kecamatan Mariso (30.457 jiwa per km persegi), kecamatan Bontoala (29.872 jiwa per km persegi). Sedang kecamatan Biringkanaya merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah yaitu sekitar 2.709 jiwa per km persegi, kemudian kecamatan Tamalanrea 2.841 jiwa per km persegi), Manggala (4.163 jiwa per km persegi), kecamatan Ujung Tanah (8.266 jiwa per km persegi), kecamatan Panakkukang 8.009 jiwa per km persegi. Bagian ini dijadikan catatan bagi penulis untuk menelaah faktorfaktor perkelahian antara kelompok. 59 Tabel III.II Jumlah Penduduk Dirinci Menurut Kecamatan di Kota Makassar 2008200953 Kode Wilayah 53 Kecamatan Laju Pertumbuhan Penduduk Laju Pertumbuhan Penduduk 2008 2009 Laju Pertumbuhan Penduduk 2000-2009 10 Mariso 54.616 55.431 020 Mamajang 60.394 61.294 0,93 0,45 030 Tamalate 152.197 154.464 2,08 031 Rappocini 142.958 145.090 1,62 040 Makassar 82.907 84.143 0,54 050 Ujung pandang 28.637 29.064 0,51 060 Wajo 35.011 35.533 0,45 070 Bontoala 61.809 62.731 1,09 080 Ujung tanah 48.382 49.103 1,21 090 Tallo 135.315 137.333 1,94 100 Panakkukang 134.548 136.555 1,09 101 Manggala 99.008 100.484 2,98 110 Biringkanaya 128.731 130.651 3,57 111 Tamalanrea 89.143 90.473 1,15 7371 Makassar 1.253.656 1.272.349 1,63 Sumber: Makassar Dalam angka 2010 60 Untuk lebih jelasnya penulis kemudian mengikutkan diagram dapat kita lihat pada bagan berikut ini : Bagan III.I 1.272.349 1.253.656 1.235.239 61 Tabel III.III Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin diKota Makassar pada Tahun 200954. Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah (1) (2) (3) (4) 0–4 67.309 56.306 123.615 5-9 63.494 66.162 129.656 10 – 14 61.488 56.040 117.528 15 – 19 60.285 72.389 132.674 20 – 24 66.806 87.280 154.086 25 – 29 56.272 71.356 127.628 30 – 34 55.521 56.561 112.082 35 – 39 45.491 52.304 97.795 40 – 44 37.014 29.526 66.540 45 – 49 25.729 29.164 54.893 50 – 54 18.456 24.183 42.639 55 – 59 15.296 19.563 34.859 60 – 64 18.558 17.179 35.737 65+ 18.551 24.066 42.617 Jumlah/Total 610.270 662.079 1.272.349 III.I.III Kondisi Sosial Kota Makassar55 Pembangunan bidang pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) suatu 54 Sumber : Makassar dalam angka tahun 2010 55 Semua data kondisi sosial dirangkum dari Makassar dalam Angka 2010 hal:112-229 62 negara akan menentukan karakter dari pembangunan ekonomi dan sosial, karena manusia pelaku aktif dari seluruh kegiatan tersebut. Pada tahun 2009/2010 di Kota Makassar, jumlah Sekolah Dasar sebanyak 459 unit dengan jumlah guru sebanyak 6.542 orang dan jumlah murid sebanyak 145.749 orang. Jumlah SLTP sebanyak 171 unit dengan jumlah guru sebanyak 4.630 orang dan jumlah murid sebanyak 59.101 orang. Jumlah SLTA 112 unit dengan jumlah guru sebanyak 4.817 orang dan jumlah murid sebanyak 65.277 orang. Di kota Makassar pada tahun 2009 jumlah anak asuh yang tercatat yang ditampung di 83 Panti Asuhan ada sebanyak 4.034 anak yang diasuh. Sedangkan jumlah gelandangan/ pengemis dan anak jalanan di Kota Makassar tahun 2009 sebanyak 144 orang dan 870 orang. Tahun 2009 di Kota Makassar jumlah keluarga pra keluarga sejahtera 63.964 keluarga dan keluarga sejahtera I sebanyak 52.700 keluarga dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 254.868. Jumlah narapidana menurut jenis hukuman dilembaga pemasyarakatan ada 464 orang (laki-laki 464 orang dan tidak ada perempuan). Jumlah tersebut, terkhusus mengenai anak jalanan dan anak terlantar selanjutnya akan dikaji dikarenakan berhubungan dengan pembahasan tulisan ini terkait pelaku konflik. 63 III.I.IV Kondisi Perekonomian Masyarakat di kota Makassar56 Sejalan dengan perkembangan Kota Makassar, kegiatan ekonomi juga semakin pesat ,ini ditandai dengan meningkatnya jumlah perusahaan perdagangan yang sekarang telah mencapai 14.584 unit usaha yang terdiri dari 1.460 perdagangan besar, 5.550 perdagangan menengah dan 7.574 perdagangan kecil. Kemudian terdapat 21 industri besar dan 40 industri sedang yang terkonsentrasi di kecamatan Biringkanaya dan konsentrasi industri besar kedua terdapat di kecamatan Tamalanrea dan kecamatan Panakkukang masing-masing 5 unit. Sementara itu kawasan perdagangan utama Kota Makassar terdapat di Pasar Sentral (Makassar Mall) sebagai pusat dan wilayah Panakkukang dan Daya sebagai sub pusat pelayanan selain itu terdapat 4 Mall (Mall Ratu Indah, Mall panakkukang, Makassar town square, Makassar trade center) dan kawasan perdagangan Somba Opu, sedangkan JI. Jend. Sudirman, jl. DR. Ratulangi cenderung untuk berubah menjadi kawasan perdagangan. Selain dari jumlah industri yang ada di kota Makassar pembangunan ekonomi yang selama ini mengalami kemajuan yang signifikan dapat disorot dengan menggunakan indikator ekonomi makro terutama dari produk domestik regional bruto(PDRB) dan pertumbuhan ekonomi, kenaikan PDRB menunjukkan bahwa perekonomian Kota Makassar berjalan dengan produktif. 56 Semua data perekonomian diambil dari Makassar dalam angka 2010 64 Kondisi perekonomian bisa dilihat sebagai penjelas kesenjangan atau posisi pusat modern di wilayah ini di tengah maraknya bangunan kumuh yang menghiasi kota Makassar. Dalam paparan teori penulis disparitas tersebut merupakan penopang meningkatnya angka kriminalitas dalam masyarakat. III.II. Visi, Misi Serta Nilai-Nilai Budaya III.II.I Visi dan Misi Kota Makassar57 Dalam konteks ini pemerintah kota Makassar tahun 2010, sesuai rencana pembangunan jangka menengah daerah Kota Makassar (RPJMD) tahun 2005 - 2010 memiliki visi dengan rumusan: ”Terwujudnya Makassar Sebagai Kota Maritim, Niaga, Pendidikan Yang Bermartabat Dan Manusiawi”. Berdasarkan visi pemerintah kota Makassar tersebut pada hakekatnya diarahkan untuk mendukung terwujudnya visi Kota Makassar kedepan, maka dirumuskan misi kota Makassar tahun 2010 sebagai berikut : 1. Mengembangkan kultur maritim dengan dukungan infrastruktur bagi kepentingan lokal, regional, nasional dan internasional; 2. Mendorong tumbuhnya pusat-pusat perniagaan melalui optimalisasi potensi lokal; 57 Lebih jelas lihat (PERDA No. 9 Tahun 2006) kota Makassar. Lihat pula di situs resmi kota pemerintah kota Makassar 65 3. Mendorong pelayaan peningkatan pendidikan, kualitas manusia peningkatan melalui derajat pemerataan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat; 4. Mengembangkan apresiasi budaya dan pengamalan nilai-nilai agama berbasis kemajemukan masyarakat; 5. Mengembangkan sistem Pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, melalui peningkatan profesionalisme aparatur; 6. Mendorong terciptanya stabilitas, kenyamanan dan tertib lingkungan 7. Peningkatan infrastruktur Kota dan pelayanan publik. III.II.II Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Kota Makassar Orang-orang Makassar mengutamakan sifat-sifat harga diri dan kesetiakawanan (loyalitas), yang di nilai sebagai unsur Siri’ dan Pacce atau Passe. Walaupun semua suku di Sulawesi Selatan (Mandar, Toraja, Bugis dan Makassar) menggunakan tatanan budaya tersebut. Siri’ adalah kebanggaan atau keagungan harga diri. Bagi orangorang suku Bugis-Makassar diwariskan amanah oleh leluhurnya untuk menjunjung tinggi adat-istiadatnya yang didalamnya terpatri pula sendisendi siri’ tersebut58. Manakala harga diri tersebut disinggung yang karenanya melahirkan aspek-aspek Siri’,maka diwajibkan bagi yang tertimpa Siri’ itu untuk Melakukan aksi-aksi tantangan. Dapat berupa aksi (perlawanan) 58 Lihat di Wahid, Sugira. Yang berjudul Manusia Makassar. 66 seseorang atau aksi (perlawanan) kelompok masing-masing.Terserah pada mutu nilai Siri’ yang timbul sebagai ekses-ekses kasus yang lahir karenanya. Bagi pihak-pihak yang terkena Siri’ tetapi hanya diam dijuluki sebagai: tau tena Siri’na59. Pacce dan pesse adalah suatu perasaan yang menyayat hati, pilu bagaikan tersayat sembilu apabila sesama warga masyarakat ditimba kemalangan60. Perasaan yang demikian ini merupakan suatu pendorong kearah solidaritas dalam berbagai bentuk terhadap mereka yang dulunya ditimpa kemalangan itu seperti diperkosa dan sebagainya, maka dapat disimpulkan bahwa siri’ atau pacce atau pesse tersebut adalah sama tetapi yang terakhir ini lebih rendah tingkatannya61. III.II.II.i SIRI’ Siri’ adalah ethos kultur, berisi pandangan hidup dan pandangan dunia yang melekat pada sistim nilai yang terjelma dalam sistem budaya, sistim sosial, dan sistim kepribadian (Personality) masyarakat62. Siri’ secara harfiah adalah suatu perasan malu. Jawaban menurut arti kata mungkin tepat secara harfiah tetapi tidak cukup mewakili makna 59 60 tau kurang Siri’ berarti orang yang tak ada harga diri Ibid 55 61 ibid 62 ibid 67 sebenarnya. Sedangkan jiwanya dirumuskan dalam suatu batasan,inipun akan terbatas pada aspek tertentu saja yang mewakili sesuai pendekatan objek tersebut63. III.II.II.ii PACCE/PESSE Pacce/Pesse secara harfiah bermakna perasaan pedih dan perih yang dirasakan meresap dalam kalbu seseorang karena melihat penderitaan orang lain. Pacce ini berfungsi sebagai alat penggalang persatuan, solidaritas, kebersamaan, rasa kemanusiaan, dan memberi motivasi pula untuk berusaha, sekalipun dalam keadaan yang sangat pelik dan berbahaya64. Pacce sebagai aspek yang hakiki dari pada sirik itu, bukan berarti kesetiaan kawanan dalam membelah kehormatan, melainkan ia mengandung makna: kepedihan yang tiada taranya, karena martabat harkat diri tersinggungan. Ia tersayat-sayat menjangkau jauh kedalam lubuk hati. Itulah hakekat dasar yang disebut pacce. Sebagai perwujudan lanjut (inti sari) dari pada siri’ tersebut65. Dari pengertian tersebut, maka jelasnya bahwa pacce itu dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa, membina solidaritas antara manusia agar mau membantu seseorang yang mengalami kesulitan. 63 ibid 64 ibid 65 ibid Sebagai contoh, seseorang mengalami musibah, jelas 68 masyarakat lainnya turut merasakan penderitaan yang dialami rekannya itu. Segera pada saat itu pula mengambil tindakan untuk membantunya, pakah berupa materi atau nonmateri. III.II.II.iii SIPAKATAU Sesungguhnya budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita menelusuri secara mendalam, dapat ditemukan bahwa hakikat inti kebudayaan Makassar itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai “tau”(manusia), yang manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial, amat dijunjung tinggi keberadaannya66. Dari konsep “tau” inilah sebagai esensi pokok yang mendasari pandangan hidup orang Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap budaya “sipakatau”. Artinya, saling memahami dan menghargai secara manusiawi67. Dengan pendekatan sipakatau, maka kehidupan orang Makassar dapat mencapaui keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan sewajarnya sesuai hakikat martabat manusia. Seluruh perbedaan derajat sosial tercairkan, turunan bangsawan 66 ibid 67 ibid 69 dan rakyat biasa, dan sebagainya. Yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya yang dilandasi sifat budaya manusiawinya. Sikap Budaya Sipakatau dalam kehidupan orang Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi Siri’ na Pacce. Dengan menegakkan prinsip Siri’ na Pacce secara positif, berarti seseorang telah meneapkan sikap Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan. Hanya dalam lingkunagn orang-orang yang menghayati dan mampu mengamalkan sikap hidup Sipakatau yang dapat secara terbuka saling menerima hubungan kekerabatan dan kekeluargaan. Sipakatau dalam kegiatan ekonomi, sangat mencela adanya kegiatan yang selalu hendak “annunggalengi” (egois), atau memonopoli lapangan hidup yang terbuka secara kodrati bagi setiap manusia. Azas Sipakatau akan menciptakan iklim yang terbuka untuk saling “sikatallassa” (saling menghidupi), tolong-menolong, dan bekerjasama membangun kehidupan ekonomi masyarakat secara adil dan merata68. Demikianlah Sipakatau menjadi nilai etika pergaualan orang Makassar yang patut diaktualisasikan di segala sektor kehidupan. Di tengah pengaruh budaya asing cenderung menenggelamkan penghargaan atas sesama manusia, maka sikap Sipakatau merupakan suatu kendali moral yang harus senantiasa menjadi landasan. 68 ibid 70 III.III Institusi-institusi Pemerintahan Terkait yang Menangani Masalah Perkelahian antar Kelompok. III.III.I Pemerintah Kota Makassar dalam Hal ini Ditangani Kantor Kesbang Kedudukan kantor Kesatuan Bangsa merupakan unsur pendukung dalam melaksanakan tugas tertentu, dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. Tugas Pokok Kantor Kesatuan Bangsa mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan, koordinasi dan pengendalian di bidang kesatuan bangsa. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana sebagaimana yang tercantum dalam perda kota Makassar kantor kesbang, Kantor Kesatuan Bangsa menyelenggarakan fungsi69: a. penyiapan bahan perumusan kebijaksanaan teknis strategis pembangunan kesatuan bangsa; b. penyiapan bahan penyusunan rencana dan program pelaksanaan fasilitasi penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan sistem politik; c. penyiapan bahan bimbingan pelaksanaan fasilitasi kegiatan kesatuan bangsa; d. penyiapan bahan bimbingan pelaksanaan kajian strategis di bidang kesatuan bangsa; 69 Lihat perda no. 3 tahun 2009 kota Makassar tentang kantor KESBANG 71 e. penyiapan bahan bimbingan pengkoordinasian kegiatan kesatuan bangsa dengan instansi dan atau lembaga terkait; f. penyiapan bahan bimbingan pelaksanaan evaluasi dan pelaporan kegiatan kesatuan bangsa; g. pengelolaan administrasi urusan tertentu. Susunan Organisasi Kantor Kesatuan Bangsa terdiri dari: a. Kepala Kantor; b. Subbagian Tata Usaha; c. Seksi Hubungan Antar Lembaga; d. Seksi Wawasan Nusantara; e. Seksi Penanganan Masalah Aktual; f. Kelompok Jabatan Fungsional. 72 Berikut adalah bagan struktur Kantor KESBANG kota Makassar berdasarkan perda no. 3 tahun 200970: Bagan III.II Kepala Kantor Drs.H.A.Rompegading Patiroy Kelompok Jabatan Fungsional Seksi Ideologi dan Kewaspadaan nasional Andi Suliana, SP Tata Usaha Drs.Hasan Sulaiman Seksi Ketahanan Sosial dan Ekonomi Ibrahim Chaidar, S,IP M.Si Seksi Perlindungan Masyarakat Muchlis S.Sos III.III.II Dinas Sosial Kota Makassar Dinas Sosial merupakan unsur pelaksana Pemerintah Kota dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. Dinas Sosial mempunyai tugas pokok merumuskan, membina dan mengendalikan kebijakan di bidang sosial meliputi usaha kesejahteraan sosial, rehabilitasi sosial, bantuan dan jaminan kesejahteraan sosial dan bimbingan organisasi sosial. 70 Bagan di halaman berikut 73 Dalam melaksanakan tugas Dinas Sosial menyelenggarakan fungsi71 : a. penyusunan kesejahteraan rumusan sosial, kebijaksanaan rehabilitasi teknis sosial, di bantuan bidang dan usaha jaminan kesejahteraan sosial dan bimbingan organisasi sosial. b. penyusunan rencana dan program di bidang usaha kesejahteraan sosial, rehabilitasi sosial, bantuan dan jaminan kesejahteraan sosial dan bimbingan organisasi sosial. c. pelaksanaan pengendalian dan pengamanan teknis operasional di bidang usaha kesejahteraan sosial, rehabilitasi sosial, bantuan dan jaminan kesejahteraan sosial dan bimbingan organisasi sosial; pengelolaan urusan ketatausahaan, pelaksanaan kepegawaian, keuangan, perlengkapan, urusan umum dan rumah tangga serta mengkoordinasikan perumusan program kerja; d. pembinaan unit pelaksana teknis. Susunan Organisasi Dinas Sosial terdiri dari72 : a. Kepala Dinas; b. Bagian Tata Usaha terdiri dari : c. Bidang Usaha Kesejahteraan Sosial terdiri dari : d. Bidang Rehabilitasi Sosial terdiri dari : e. Bidang Bantuan dan Jaminan Kesejahteraan Sosial terdiri dari : 71 Lihat Peraturan daerah kota Makassar nomor 22 tahun 2005 tentang pembentukan ,susunan organisasi dan tata kerja dinas sosial kota Makassar. 72 ibid 74 f. Bidang Bimbingan Organisasi terdiri dari : g. UPTD. III.III.III Kepolisian Resort Kota Besar Makassar (POLRESTABES) Unit Reserse dan Kriminal73 Unit Reserse dan Kriminal atau disingkat Reskrim bertugas membina fungsi dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana termasuk fungsi Identifikasi dan fungsi Laboratorium Forensik lapangan dalam rangka penegakan hukum , koordinasi dan pengawasan operasional. Dalam menyelenggaraka tugas dimaksud Unit Reskrim menyelenggarakan fungsi sbb : Pembinaan fungsi / penyelidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan fungsi laboratorium forensik lapangan serta kegiatan-kegiatan lain yang menjadi tugas unit Reskrim , dalam lingkungan Polrestabes Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan penyelidikan / penyidikan tindak pidana umum dan tertentu , dengan memberikan pelayanan / perlindungan khusus kepada korban / pelaku remaja , anak dan wanita, dalam rangka penegakan hukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku. 73 Data diambil dari situs resmi POLRI 75 Penyelenggaraan fungsi Identifikasi baik untuk kepentingan penyidikan maupun pelayan umum. Penyelenggaraan pembinaan teknis dan koordinasi dan pengawasan operasional dan administrasi penyidak PPNS. Pelaksanaan analisis setiap kasus dan isu-isu menonjol beserta penanganannya dan mempelajari / mengkaji efektifitas pelaksanaan tugas satuan-satuan fungsi Reskrim. Unit Reskrim dipimpin oleh kepala unit Reskrim , disingkat Kanit Reskrim , yang bertanggung jawab kepada Kapolrestabes dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari berada dibawah kendali Wakapolrestabes. III.III.IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Makassar Jumlah anggota DPRD Kota Makassar tahun 2009 sebanyak 50 orang merupakan wakil dari 7 fraksi, 7 orang adalah perempuan, hal ini menunjukkan bahwa kaum perempuan telah diperhitungkan untuk menduduki jabatan legislatif sekalipun porsinya masih relatif kecil sebesar 14 %. Dalam menjalankan tugasnya DPRD Kota Makassar pada tahun 2009 telah menghasilkan 17 peraturan daerah, 33 keputusan dewan dan 29 keputusan pimpinan dewan74. Penelitian ini dilakukan di komisi A DPRD kota Makassar. Berikut nama-nama anggota komisi A bidang pemerintahan: 74 Data diambil dari buku Makassar Dalam Angka 2010 halaman 10 76 Tabel III.IV No. Nama Asal Parpol Jabatan 1. Rahman Pina, S.IP GOLKAR Ketua Komisi A 2. Busranuddin BT, SE PPP Wakil Ketua Komisi A 3. Mustagfir Sabry, S.Ag, M.Si PDK Sekretaris Komisi A 4. Yusuf Gunco, SH, MH GOLKAR Anggota Komisi A 5. Drs. H.A.Hasir, HS GOLKAR Anggota Komisi A 6. A.Fadly F.Dharwis, SE P.Demokrat Anggota Komisi A 7. Imran Mangkona, SH P.Demokrat Anggota Komisi A 8. Drs.Abd.Rauf Rachman,SH PAN Anggota Komisi A 9. Asriady Samad, A.Md PKS Anggota Komisi A 10. H.Muh.Arfan Fajar, SE PBR Anggota Komisi A 11. Kartini E Galung, SS GERINDRA Anggota Komisi A 12. Nurmiati,SE HANURA Anggota Komisi A 77 BAB IV HASIL-HASIL DAN PEMBAHASAN IV.I Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkelahian antar kelompok Perkelahian antar kelompok kerap hanya dijadikan persoalan sepele ketika persoalan tersebut bisa dikatakan belum berdampak besar pada kondisi masyarakat perkotaan. Timbulnya korban jiwa dari perkelahian tersebut. Justru baru akan mengundang tindakan pemerintah kota untuk segera menyelesaikan persoalan. Penelitian yang ditempatkan di empat instansi ini membuka beberapa pandangan dari informan baik dari kantor Kesatuan Bangsa (KESBANG) kota Makassar, Dinas Sosial kota Makassar, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota Makassar maupun dari pihak kepolisian dalam hal ini Kepolisian Resort Kota Besar (POLRESTABES) Makassar. Seperti apa yang dipahami dalam kajian teoritis pada bab sebelumnya. Perkelahian yang terjadi dalam masyarakat maupun tindak kekerasan lainnya semuanya tidak pernah berdiri sendiri atau dalam artian terdapat penyebab yang menimbulkan terjadinya tindak kekerasan. Kota Makassar dengan segala kondisi urban yang dimiliki terus mengemban beban sosial yang sangat besar. Pembangunan yang bisa disaksikan begitu tidak berimbang dengan jumlah pemukiman kumuh yang semrawut dalam tata kelolanya. Belum lagi ketika para penduduk miskin harus dihadapkan pada kebutuhan yang sangat pelik. 78 Kekerasan kolektif menggores luka besar dalam pemerintahan di kota ini, hingga akhirnya berbagai data mengenai kasus kekerasan yang dilakukan oleh kelompok tertentu baik warga, mahasiswa hingga aparat keamanan itu sendiri memberi bukti bahwa kekerasan antar kelompok dalam bentuk perkelahian bisa saja dialami dan dilakukan oleh berbagai pihak. Perkelahian antar kelompok tersebut kini di kota Makassar sudah menyentuh berbagai kalangan seperti yang disebutkan sebelumnya. Coba kita ingat dengan kasus yang menimpa Universitas Hasanuddin dengan perkelahian antara fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP) dengan fakultas Teknik yang tidak sedikit menimbulkan korban jiwa dan kerugian akibat rusaknya fasilitas kampus karena lemparan batu dan benda keras Belum cukup sampai di situ selain perkelahian antar kelompok warga yang memang kerap terjadi di wilayah pemukiman padat seperti kecamatan Makassar tekhusus wilayah Jalan Maccini dan Abu Bakar Lambogo serta wilayah sekitar areal belakang kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI). Perkelahian antar aparat yang melibatkan pihak kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pernah terjadi pada tahun 201075. Sebuah sajian miris dan menurut peneliti itu adalah hal wajar ketika faktor-faktor yang menimbulkan perkelahian kolektif itu telah 75 Peristiwa April Makassar berdarah (Amarah) diperingati tiap tahunnya pada tanggal 24 april sebagai peristiwa kekerasan aparat pertama di kampus di kota Makassar yang menimbulkan korban jiwa. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1996 ini empat orang mahasiswa ditemukan tewas mengapung di sungai pampang. Lihat, Sukriansyah S.Latif dan Tomi Lebang, Amuk Makassar, Institute studi arus informasi, Makassar, 1998 hal 109 79 terpenuhi. Berikut adalah data yang didapatkan mengenai perkelahian antar kelompok yang terjadi di kota Makassar pada tahun 201076: Tabel IV.I Pihak Yang Berkonflik Warga Mahasiswa Aparat Jumlah Warga 10 2 - 12 Mahasiswa - 9 3 12 Aparat - - 1 1 Dari data tersebut, ditemukan bahwa jumlah kasus perkelahian antar kelompok yang terjadi sepanjang tahun 2010 berjumlah 25 kasus. Dari data tersebut bisa didapatkan bahwa mahasiswa dan warga yang paling sering menjadi pelaku perkelahian antar kelompok, keduanya pun pernah mengalami bentrok sebanyak 2 kali perkelahian tersebut keduanya melibatkan mahasiswa Universitas Negeri Makassar dengan warga sekitar kampus tersebut utamanya penduduk yang bermukim di jalan Alauddin77. Namun perkelahian antar warga yang kemudian menjadi jumlah perkelahian terbanyak pada kurun waktu tersebut sebanyak 10 kasus. Beberapa tempat perkelahian penulis temukan dari penelusuran data 76 Data ini merupakan hasil olahan dari Intelijen POLRESTABES dan Inteldim Kodam Makassar. Penulis hanya diperkenankan untuk menghitung jumlah kasus dan penyebab perkelahian. Nama dan identitas pelaku tidak dapat dilampirkan pada penelitian ini. 77 Walaupun terhitung sebagai perkelahian antara mahasiswa dengan warga namun hingga kini masih ada perdebatan tentang siapa sebenarnya warga yang terlibat. Dari pernyataan salah seorang warga di Jalan Manuruki bahwa mereka tidak mengenali mereka yang mengaku warga dan terlibat dalam perkelahian. Disinyalir ada beberapa orang yang tidak dikenal dengan sengaja memancing bentrok dan memulai perkelahian dengan mahasiswa. 80 yang diperoleh. Diantaranya perkelahian antara mahasiswa semuanya terjadi beberapa diantaranya terjadi di dalam kampus dan beberapa terjadi di luar kampus78. Selanjutnya mengenai perkelahian antar mahasiswa dan aparat keamanan semuanya berawal dari unjuk rasa yang kemudian berujung pada bentrok kedua belah pihak. Perkelahian tersebut terjadi sebanyak 3 kali dan selalu menghasilkan penangkapan oleh pihak kepolisian yang biasa ditugaskan untuk mengamankan unjuk rasa terhadap beberapa mahasiswa yang dianggap sebagai biang kerok kerusuhan. Perkelahian antar aparat keamanan yang terjadi sekali melibatkan antara aparat TNI dengan kepolisian. Kejadiannya bertempat di stadion A. Mattalatta Mattoanging. Bagan IV.I Aparat vs aparat 8% Persentase Pelaku Perkelahian di Kota Makassar Tahun 2010 Warga vs mahasiswa 10% Mahasiswa vs aparat 13% Warga vs warga 40% Mahasiswa vs mahasiswa 36% 78 Untuk lokasi perkelahian di kampus, terjadi setidaknya di empat Universitas: Universitas Hasanuddin, Universitas Muslim Indonesia, Universitas 45 dan Universitas Negeri Makassar 81 Bagan diatas adalah persentase dari dua pihak yang melakukan perkelahian di kota ini pada tahun 2010. Bagan tersebut menunjukkan bahwa perkelahian antar warga mendominasi daftar pelaku perkelahian di kota metropolitan ini. 40% dari seluruh kasus yang merupakan perkelahian antar warga, selanjutnya diikuti dengan perkelahian antar mahasiswa yang mencapai 36% dari seluruh kasus. Kemudian yang terkecil dalam persentase perkelahian tersebut ialah perkelahian antar aparat keamanan dengan 8%. Dari data yang didapatkan dan telah dihitung persentasenya, ditemukan bahwa terdapat 7 motif terjadinya sebuah perkelahian. Data hasil olahan tersebut merupakan hasil dari pengintaian intelijen baik dari kodam Makassar maupun POLRESTABES79. Berikut adalah faktor perkelahian antar kelompok yang ditinjau dari motif kejadian: 1. Ketersinggungan kelompok Sejarah yang membekas dalam sistem sosial masyarakat tertentu menjadi salah satu penyebab terjadinya perkelahian antar kelompok dalam masyarakat kita. Solidaritas kelompok terbangun dalam pola kehidupan sehari-hari. Interaksi antar warga mulai membangun kedekatan dengan saling membantu dalam mengerjakan urusan bersama. Sebuah pemukiman dengan corak masyarakat yang cenderung homogen seperti 79 Ibid lihat 75 82 pemukiman padat penduduk dengan tingkat ekonomi yang hampir setara. Pola interaksi yang terbangun cenderung sangat intim. Peneliti yang menemukan kondisi ini di areal pemukiman padat Bara-baraya tepatnya kecamatan Makassar80. Penduduk kecamatan Makassar yang terbilang padat ketimbang wilayah kecamatan lainnnya di kota Makassar, walaupun penduduknya memiliki mata pencaharian yang berbeda-beda namun ikatan sosial dan kekerabatan tetap terbangun. Ikatan sosial tersebut nampak terlihat dari pola pergaulan mereka yang berumur di atas 18 hingga 25 tahun. Seringkali bila selepas maghrib beberapa pemuda sudah terlihat duduk di pinggiran jalan. Hal yang lain pula nampak ketika mereka mengerjakan beberapa pembangunan sarana penduduk untuk kepentingan bersama seperti pembangunan polisi tidur81, bahkan bila salah satu penduduk meminta bantuan dari warga sekitar untuk membantu mengerjakan pembangunan pagar rumah maka dengan upah seadanya mereka rela untuk membantu penduduk yang meminta bantuan tersebut. Kehidupan sehari-sehari penduduk di pemukiman padat dengan tingkat kemampuan ekonomi menengah ke bawah seperti yang diceritakan bila mengutip kembali apa yang diutarakan oleh Soerjono 80 81 Lihat tabel kependudukan pada BAB III Ini sebutan untuk gundukan kecil diatas aspal yang dibuat secara sengaja dengan maksud kendaraan yang melaluinya akan berjalan lamban. 83 Soekanto tentang kesadaran in group82. Maka kesadaran kesamaan kondisi dengan masyarakat lain dalam areal maupun komunitas tertentu seperti contoh kasus kampung Bara-baraya tadi terbangun dengan sendirinya dan itu akan semakin kuat bila terdapat tekanan maupun gangguan dari kelompok eksternal. Gangguan yang datang dari kelompok luar tentunya juga memiliki kondisi yang sama yakni kepemilikan akan solidaritas kelompok untuk mempertahankan kelompoknya. Persinggungan antar kelompok bagi masyarakat kota merupakan hal lazim bagi masyarakat kecamatan Makassar. Bahkan hanya dengan dengungan suara motor yang keras dihadapan beberapa pemuda yang sedang berkumpul maka perkelahian bisa langsung terjadi. “Biasa gara-gara gas motorji, atau pakai kata-kata kotor atau kalau tidak saling kenal biasanya berkelahi mi” Ungkap SF83. Apa yang diungkapkan oleh SF sebagai salah salah satu warga RK 3 Perkelahian di Kelurahan Bara-baraya merupakan sebuah kejadian yang berulang-ulang. Masyarakat kecamatan Makassar dengan ragam komunitas yang dimiliki sangat mudah terpicu konflik dengan maslah sepele tersebut84. Bila salah seorang dari luar kelompoknya memicu amarah, maka kelompok tersebut biasanya menghardik orang tersebut 82 Lihat BAB II tentang perkelahian antar kelompok dan faktor-faktor penyebab perkelahian antar kelompok. 83 (wawancara SF, 11 juni 2011) 84 Pemuda di kecamatan Makassar biasa menyebut komunitas tersebut dengan kampung karena pembatasan wilayah komunitas berdasarkan batasan teritorial seperti jalan atau rukun kampung. 84 dan bila komunikasi tidak berjalan baik yang bersangkutan kemudian juga memanggil kelompoknya hingga akhirnya perkelahian antar kelompok pun terjadi. 2. Faktor dendam Salah satu faktor yang menjadi pemicu timbulnya perkelahian antar kelompok ialah dendam yang kemudian mengalir secara turun temurun diantara dua kelompok. Kita ingat saja apa yang kemudian menjadikan fakultas FISIP dan Teknik di Universitas Hasanuddin begitu gampang tersulut walau hanya diawali dengan persoalan yang sangat sepele. Dendam lama yang sudah terawat sejak puluhan tahun hingga ditandai dengan beberapa peristiwa besar seperti black september membuat stimulus yang mampu menjadikan pertikaian dua kelompok terus bergulir hingga saat ini. Hal yang serupa juga terjadi di kecamatan Makassar maupun di Jalan Pampang yang sejak tahun 1990-an telah menanam embrio dendam kepada kelompok lain untuk saling memusuhi. Kembali mengambil contoh pada beberapa kelompok di kecamatan Makassar, ada beberapa kelompok yang karena telah menanam dendam lama pada kelompok lain bisa saja membantu kelompok yang menjadi lawan dari musuhnya walaupun kelompok tersebut sama sekali tidak memiliki hubungan dengan persoalan yang menjadi pemicu terjadinya perkelahian. 85 “Kalau berkelahi biasanya ada bantuan dari luar seperti anak Balaburu (Kelapa tiga) dibantu anak RK 4, anak RK 3 Jalan M.Yamin dibantu sama anak Maccini”85. Faktor dendam lama pada kondisi di kampus UNHAS, kecamatan Makassar serta dendam yang terawat kecamatan Panakukang terkhusus di jalan Pampang menunjukkan bukti bahwa belum ada upaya maksimal untuk menghalangi ritual perkelahian yang terus terjadi. Kejadian terakhir yang penulis temukan di tempat-tempat texas86 tersebut adalah menghangatnya kembali dendam lama antara pemuda Maccini dan pemuda Karuwisi yang dimulai dengan perselisihan kecil pada awal Juni 2011. 3. Minuman keras Perbincangan dengan beberapa pemuda pemukim sepanjang kanal di jalan M.Yamin yang diikuti oleh penulis tentang perkelahian antar kelompok ditemukan sebuah kondisi yang menunjukkan bahwa minuman keras menjadi salah satu motif yang nampak untuk menimbulkan perkelahian antar kelompok. Untuk kota besar seperti Makassar, minuman keras merupakan hal yang lazim. Walaupun oleh beberapa teoritikus delinquen (kenakalan), minuman keras pada awalnya hanya sebagai 85 86 (wawancara dengan SL, 11 Juni 2011) Nama Texaz lazim dalam bahasa pergaulan anak muda di Makassar sebagai penyebutan untuk wilayah yang dianggap memiliki tingkat kerawanan kriminal yang tinggi. 86 bahan pengisi waktu senggang untuk melepas penat dalam kelaziman aktivitas sehari-hari. Beberapa tempat penjualan minuman keras yang begitu tersohor di kota ini membuka gerainya selama 24 jam yang kapanpun bisa diakses oleh para konsumen. Ditambah lagi dengan beberapa distributor minuman keras yang belum memperoleh izin sangat mudah untuk didapatkan melalui informasi mulut ke mulut. Jalan batu putih bagi para pemuda yang biasa menenggak minuman keras tentunya sudah sangat terkenal. Disana berbagai jenis minuman keras bisa diperoleh juga dengan beragam harga sesuai kemampuan. Beberapa pemuda yang bermukim jauh dari jalan batu putih tersebut biasanya hanya mendatangi gerai kecil di sekitar pemukiman mereka. Cara menemukan gerai tersebut pun sangatlah gampang, cukup dengan menanyakan gerai kecil yang masih buka hingga dini hari kepada orang yang berlalu lalang di luar rumah juga pada waktu tersebut. Penulis menemukan jumlah kios penjualan minuman keras pada tahun 2009 yang mendapat izin dari pemerintah kota mencapai angka 150 kios87. “Kalau disini ada penjual di jalan Kerung-kerung, tapi kalau mau banyak biasanya beli di Batu Putih. Kalau di pampang itu ballo’88 banyak”89. 87 88 Sumber data pernyataan KASI LINMAS KESBANG Kota Makassar Ballo’ merupakan jenis minuman lokal yang terbuat dari pohon aren ada pula yang terbuat dari buah tala. Minuman tersebut difermentasikan dan disimpan pada suatu tempat dengan suhu tertentu sehingga sifatnya menjadi memabukkan. 89 (wawancara dengan SL, 11 Juni 2011) 87 SF yang sejak tahun 90-an sudah mulai menenggak minuman keras begitu cakap ketika menceritakan berbagai tempat dimana minuman keras sangat mudah untuk didapatkan. Harga minuman yang sangat murah menjadi salah satu variabel para pemuda semakin sering menjadikan minuman keras sebagai alat solidaritas mempertemukan cerita-cerita mereka. Mengumpulkan uang dari kantong masing-masing menjadi awal cerita minum, bila uang yang terkumpul tidak mencapai harga untuk membeli harga beberapa botol minuman yang memang harganya telah melonjak sekitar tahun 2008, maka ballo’ bisa menjadi pilihan. Cukup dengan Rp. 5000,- maka sekitar 2 liter ballo’ sudah bisa diperoleh. Berikut adalah cerita SL bagaimana minuman keras menjadi faktor penyebab perkelahian kelompok terjadi: “Waktu habis minum di Monginsidi, ada cewek lewat sama pacarnya. Diganggumi toh, memang mabuk itu waktu. Langsung marah cowoknya. Anak RK 7 cowoknya itu. Keluar mi kata-kata kotor toh. Itu cowoknya pergimi panggil temannya anak RK 7. Berkelahi mi orang, adami badiq, kayu dipakai. Tapi tidak adaji yang kena badiq. Pasa datang polisi lari semua miki. Tapi kebetulan ditangkap ka’ saya sendiri sama polisi waktu itu. Menginap ka’ itu malam di Polsek Kerung-kerung. Waktu itu saya sama anak monginsidi sekitar 10 orang terus anak RK 7 ada mungkin diatas 10 orang. Warga yang kasih tahu polisi itu. Waktu diperiksa, dipaksaka’ sebut teman-teman ku tapi tidak kubilang. Dipukuli ka’ sama polisi, disuruhka’ juga bersihkan WC”90. 90 ibid 88 Minuman keras dari unsur yang terdapat dalam ragam cairan didalamnya memang menghilangkan kesadaran. Sehingga kadang tindakan di luar kontrol tersebut keluar dengan sendirinya. Kadang pula bila sedang ingin melakukan sesuatu yang membutuhkan nyali ekstra maka biasanya minuman keras digunakan untuk memperbesar nyali tersebut. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh anggota komisi A DPRD kota Makassar Mustagfyr Sabri: “Minuman keras dan obat-obatan menjadi salah satu pemicu terjadinya perkelahian”91. 4. Perselisihan Ketika masalah kecil yang bersifat personal dimulai maka seketika itu pula bantuan datang dalam proses penyelesaiannya. Tetap pada kesadarn kelompok tadi perselisihan kecil seperti pembangunan parit di pemukiman penduduk yang harus menyenggol sedikit lahan pekarangan bisa menjadi embrio konflik. Ataupun persoalan anak kecil yang kemudian berkelahi. Bagaimana tidak seorang anak berumur sekitar 8 tahun mampu membuat perkelahian antar kelompok menjadi besar. “Perselisihan kecil merupakan sumber perkelahian terbesar” ungkap Kasi LINMAS KESBANG92. Ego yang terbangun untuk saling mempertahankan pendapat maupun harga diri ataupun siri’ yang disalahgunakan menjadi akar dari perselisihan personal. Dan kelompoknya pun secara spontan terbangun 91 (wawancara, 24 Mei 2011). 92 (wawancara, 18 mei 2011) 89 kesadarannya. Hampis serupa dengan bagaimana ketersinggungan kelompok itu terjadi pada faktor yang pertama, namun yang membedakan persoalan perselisihan lebih mendekati persoalan personal pada awal kejadiannya. 5. Penganiayaan Ada beberapa alasan mengapa tindak penganiayaan atau pengeroyokan oleh massa terjadi dalam masyarakat di kota Makassar. Beberapa petinggi kantor KESBANG mencoba menanggapi akan beberapa tudingan yang dilayangkan kepada pemerintah kota tentang keterlambatannya untuk menangani beberapa kasus tertentu. Adapula tudingan kepolisian setempat yang cenderung memandang remeh laporan warga bila ditemukan indikasi tindakan kriminal. Kembali pada sumber penganiayaan atau pengeroyokan. Sebuah tindakan kriminal seperti pencurian maupun tindak kriminal personal lainnya tentunya akan sangat meresahkan masyarakat. Biasanya masyarakat akan menghubungi pihak kepolisian atau mengadakan upaya pengamanan sendiri seperti membuat pos keamanan lingkungan (pos KAMLING) dan mengadakan ronda setiap hari dengan jadwal ronda yang sudah diatur. Ketika ada kondisi yang dianggap mengganggu keamanan kampung maka tindak main hakim sendiri pada pelaku kejahatan yang tertangkap akan terlahir dengan sendirinya. Pelaku kejahatan tersebut akan mendapat “pidana” versi kampung setempat. Pelaku kejahatan akan 90 pulang dan melapor pada kelompoknya ketika apa yang dilakukan oleh kelompok yang telah memberikan sanksi tersebut tidak diterima. Maka perkelahian antar kelompok pun kadang terjadi. Berbeda lagi dengan kondisi pengeroyokan seorang pemuda yang masuk pada wilayah kelompok tertentu, dari situ pula seorang pemuda yang bersangkutan akan memanggil kawanya sebagai bentuk mengenai tindak pembalasan dari tindakan kelompok lawan. Di kota Makassar sudah banyak data penganiayaan itu sendiri, baik yang berupa pengeroyokan massa maupun yang berujung pada perkelahian antar kelompok dari penganiayaan yang berlanjut pada penghadiran massa. 6. Perebutan Lahan Dari beberapa data yang ditemukan oleh intelijen baik dari KODAM maupun kepolisian. Perebutan lahan menjadi salah satu faktor perkelahian antar kelompok dari dari segi awal terjadinya sebuah kasus perkelahian. Serupa dengan perkelahian yang disebabkan oleh perselisihan. Perebutan lahan merupakan wujud dari perselisihan tersebut. Namun yang membedakan, perselisihan menyentuh sumber persoalan yang lain di luar dari sengketa tanah yang biasa terjadi pada masyarakat Makassar. Maraknya pembangunan menurut penulis disinyalir menjadi faktor utama terjadinya sengketa lahan di masyarakat. Seiring pembangunan harga tanah kemudian melonjak tinggi terlebih lagi bila 91 tanah tersebut mendekati areal pembangunan sarana umum ataupun sarana umum yang telah ada sebelumnya. Di jalan pandang raya kecamatan Panakukang misalnya, wilayah yang kemudian menjadi areal pusat perbelanjaan tersohor di kota Makassar. Selama 2010 sudah tiga kali terjadi perkelahian besar antara pihak tergugat yakni warga yang bermukim di areal pemukiman kumuh Jalan pandang raya dengan pihak penggugat yang biasanya datang bersama aparat kepolisian. Hal yang sangat masuk akal, ketika berkaitan dengan keberlangsungan hidup maka serta merta segala upaya pun dilakukan untuk mempertahankan hidup. Kebutuhan akan tempat tinggal menjadi sangat urgen. Kejadian di pandang raya begitu gampang tersulut sebab yang terlibat hampir semua penduduk yang bermukim di wilayah kumuh tersebut. Persatuan untuk bersama-sama mempertahankan hidup terjalin dengan membangun berbagai upaya perlawanan. Ketika jalur litigasi yang diupayakan tidak berhasil maka. Upaya fisik melalui jalur kekerasan pun dilakukan demi mempertahankan tempat tinggal yang telah didiami sejak puluhan tahun. Tindak kekerasan tersebut sebenarnya justru diawali dengan tindakan represi aparat keamanan yang akan melakukan eksekusi setelah penggugat lahan dinyatakan menang. Maka sejalan dengan teori spiral kekerasan Dom Helder Camara93, kekerasan kedua pun timbul dari kekerasan 93 strutural yang pertama. Masyarakat Lihat kembali BAB II tentang perkelahian antar kelompok pandang raya 92 menganggap bahwa sistem peradilan cenderung menguntungkan para pemilik modal atau mereka pemilik kemampuan perekonomian mapan untuk mengambil lahan mereka. Protes pun berlangsung hingga munculnya represi aparat demi meredam gejolak protes yang dibawa oleh warga setempat. Perebutan lahan memang tidak memiliki persentase yang tinggi untuk menjadi potensi terjadinya konflik ketimbang beberapa motif perkelahian yang sudah disebutkan sebelumnya. Namun dalam kajian analisis penulis yang diperhadapkan pada kondisi pembangunan kota yang massif, perkelahian antar kelompok bisa didukung dengan rencana pembangunan tersebut. Mengapa demikian, pembangunan tentunya membutuhkan lahan dan bila pola pembagian lahan untuk pembangunan infrastuktur dan pemukiman penduduk tidak adil dan merata bagi seluruh warga dengan status ekonomi manapun maka kelak perkelahian atau potensi bencana sosial yang lain tidak dapat dipungkiri akan terjadi. 7. Unjuk rasa Unjuk rasa merupakan salah satu bentuk gerakan sosial yang melibatkan massa, dalam hal ini peserta unjuk rasa lebih dari satu orang. Kota Makassar begitu tersohor dengan predikat sebagai kota demonstrasi. Bagaimana tidak, perhatian nasional kemudian mengarah kepada kota ini ketika sebuah isu nasional terangkat maka seantero kampus hingga ormas kemasyarakatan kemudian meramaikan jalan. Sangat berbeda 93 dengan apa yang terjadi di belahan Indonesia yang lain. Bayangkan saja, untuk tahun 2010 dari data yang didapatkan unjuk rasa di kota Makassar mencapai angka 450 unjuk rasa dengan rata-rata perbulannya sebanyak 40 unjuk rasa. “Angka unjuk rasa tertinggi itu bulan maret, mencapai angka 80 dengan isu dominan mengenai penuntasan kasus bank Century” Ungkap Muhlis, KASI LINMAS KESBANG.94 Bila dimulai dengan beberapa teori dan disesuaikan dengan apa yang terjadi di kota Makassar. Kita bisa mengutip teori stimulus dan respon. Adanya unjuk rasa di kota Makassar disebabkan oleh adanya rangsangan berupa kebijakan yang diterima oleh sekelompok orang dan kemudian rangsangan tersebut ditanggapi dengan penyampaian pendapat. Tindakan di luar batas seperti apa yang biasa diutarakan oleh beberapa media lokal mengenai perilaku unjuk rasa anarkis di kota ini bila dilihat dalam kaca mata psikologi massa, maka itu semata-mata diakibatkan oleh tidak ditanggapinya pernyataan pendapat yang bersifat verbal. Sejalan dengan apa yang diutarakan oleh beberapa petinggi kantor KESBANG kota Makassar dalam diskusi dengan penulis disitu dinyatakan bahwa unjuk rasa dengan batu sebenarnya adalah bentuk komunikasi 94 (wawancara, 28 mei 2011) 94 ketika bahasa verbal tidak lagi didengar atau dengan kata lain bahasa tersebut adalah bahasa batu diluar dari bahasa verbal. Perkelahian yang biasa terjadi dalam unjuk rasa biasanya melibatkan antara mahasiswa dan aparat keamanan yang mengamankan unjuk rasa. Lebih tepat lagi seperti apa yang diungkapkan oleh FL salah satu petinggi lembaga kemahasiswaan di salah satu fakultas di Universitas Hasanuddin menyatakan bahwa tindakan mahasiswa untuk kemudian menggunakan batu seperti yang pernah terjadi biasanya disebabkan oleh adanya provokasi dari aparat keamanan itu sendiri ataupun tuntutan yang berkali-kali disampaikan namun tidak mendapat tanggapan sedikit pun95 Menarik dari apa yang diutarakan oleh dua informan pada bagian ini menunjukkan bahwa perilaku amuk massa di kota ini sama sekali tidak berdiri sendiri melainkan disebabkan oleh faktor pemicu yang terjadi di lapangan. Berikut ke-7 faktor perkelahian antar kelompok di kota ini dilihat dari segi motif terjadinya kejadian. Untuk lebih jelasnya penulis melengkapi informasi ini dengan persentase terjadinya perkelahian antar kelompok dari faktor faktor tersebut. 95 (Wawancara, 23 Juli 2010). 95 Bagan IV.II Persentase Motif Perkelahian antar kelompok Perebutan lahan Unjuk rasa anarkis 4% 4% Penganiayaan 12% Perselisihan 28% Ketersinggungan Kelompok 16% Dendam 20% Pengaruh Minuman Keras/Obatobatan 16% Penulis kemudian mengolah dari data yang ditemukan dan akhirnya mengambil kesimpulan mengenai faktor-faktor apa yang dimiliki oleh sebuah masyarakat untuk kemudian menanam embrio perkelahian di dalamnya. Angka perkelahian antar kelompok berbanding lurus dengan angka kriminal di sebuah wilayah dan berikut empat faktor besar yang menjadi sumber perkelahian antar kelompok: 1. Perubahan sosial yang sangat cepat Faktor ini didapatkan atas pemikiran induktif penulis setelah mengawinkan banyak data yang didapatkan, mulai dari jumlah penduduk 96 di sebuah wilayah kecamatan hingga tingkat pendidikan. Mobilitas pembangunan kota kembali penulis gunakan untuk menjelaskan faktor ini. Bisa dilihat dengan keinginan pemerintah kota untuk menjadikan Makassar sebagai salah satu kota dunia di wilayah bagian timur Indonesia maka pembangunan infrastruktur modern menjadi salah satu kunci untuk mendapatkan predikat tersebut. Dalam beberapa penelitian membuktikan bahwa beberapa perubahan sosial yang cepat di sebuah wilayah akan menimbulkan shock dalam diri masyarakat ketika percepatan tersebut tidak dapat diimbangi. Tingginya persaingan menuntut setiap orang untuk bekerja keras agar dapat bertahan hidup. Fasilitas publik yang dikomersialisasikan seperti pembangunan lapangan karebosi hingga berjejalnya pusat perbelanjaan modern di kota ini tentunya tidak menggunakan biaya yang rendah untuk dapat menyentuh tempat-tempat tersebut. Beberapa tempat yang penulis anggap begitu jelas menjabarkan tentang kepemilikan potensi penyakit sosial tersebut ialah wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, selain itu kawasan pusat perdagangan seperti pasar juga wilayah kawasan transportasi seperti terminal dan pelabuhan laut. Biasanya tempat-tempat tersebut dijadikan sebagai kawasan penting mengingat banyaknya aktivitas penduduk yang bergulir setiap harinya pada kawasan-kawasan tersebut. Kecamatan Panakukang yang disulap menjadi kawasan perbelanjaan modern di kota ini membuktikan betapa tingkat kesenjangan 97 itu terbentuk antara si kaya dan si miskin. Mall yang berjejal hingga tempat karaoke terbangun megah di tengah kawasan pemukiman kumuh yang masih bisa didapatkan seperti di jalan pandang raya dan beberapa tempat lainnya. interval kemampuan ekonomi yang sangat jauh antara penduduk pemukiman elit dan pemukiman kumuh memicu meningkatnya angka kriminal. Seperti pada apa yang telah dipaparkan sebelumnya keiniginan untuk memenuhi kebutuhan akan sangat dipangaruhi oleh kondisi sekitar. Gaya hidup kawasan modern seperti Panakukang tentunya juga akan mempengaruhi anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri. Namun bila kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak mencukupi maka cara mudah untuk mendapatkannya adalah dengan tindakan kriminal. Bila si miskin bertemu dengan kebutuhan si miskin yang lain maka tak pelak perkelahian pun bisa terjadi dikarenakan solusi penyelesaian kebutuhan yang sangat minim kecuali dengan cara berebutan. Inilah apa yang dikatakan oleh Fromm96 sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan. Ketika pemenuhan kebutuhan tersebut dihalangi dengan mahalnya biaya pemenuhan atau kelompok lain yang juga memerlukan kebutuhan yang sama maka agresi pun muncul dengan sendirinya dengan cara yang bermacam-macam bahkan menjurus pada pertumpahan darah. Belum lagi bila itu dikaitkan dengan pertahanan hidup. Kawasan Panakukang serta kecamatan lain di kota Makassar yang dipandang perlu oleh pemerintah untuk mendapatkan pembangunan ekstra cepat akan 96 Lihat kembali BAB II tentang faktor penyebab perkelahian antar kelompok 98 memanggil para pemilik modal untuk berinvestasi atau membuka ruang usaha pada kawasan tersebut. Lagi-lagi pemilik modal atau para pengusaha ini akan berhadapan dengan mereka para pemukim kumuh yang pemukimannya akan disulap menjadi kawasan komersil. Apabila paradigma pembangunan pemerintah kota disokong dengan cara berfikir yang mengedepankan keuntungan demi menambah pendapatan daerah maka tentunya pemukiman kumuh tersebut akan dikesampingkan demi kepentingan pembangunan. Selanjutnya kita bisa menebak apa yang akan terjadi dari ilustrasi nyata pada paragraf sebelumnya. Gejolak sosial akan bermunculan seiring dengan tekanan yang didera akibat tidak semua kelompok masyarakat mendapatkan kesempatan yang sama. 2. Populasi yang padat Wilayah kecamatan di kota Makassar yang memiliki angka jumlah penduduk yang tinggi ditunjukkan oleh kecamatan seperti Tamalate dengan 154.454 jiwa penduduk, diikuti Rappocini, Makassar, Tallo, Biringkanaya dan Panakukang. Namun jumlah penduduk bukan berarti serta merta memicu angka kriminalitas. Luas wilayah sebuah kecamatan menjadi variabel untung menghitung kepadatan sebuah wilayah. Wilayah kecamatan Makassar yang hanya memiliki luas wilayah 2,52 km 2 bisa dilihat bagaimana tingkat kepadatan penduduk pada wilayah tersebut. 99 Sebagai kota metropolitan angka urbanisasi meningkat seiring daya pikat yang dipoles tiap harinya melalui pembangunan. Memang benar bahwa perputaran uang akan terjadi sangat banyak di kota namun belum tentu sebuah kota kemudian memberikan kesempatan pada setiap orang untuk menyentuh uang tersebut. Memang kota besar memiliki tingkat kemajemukan penduduk yang sangat tinggi97. Wajar bila hal itu terjadi, daya pikat membuat segala penduduk segala penjuru di sekitar wilayah perkotaan akan mengarahkan perhatiannya pada kota ini. Bayangkan saja kota Makassar merupakan kota ikon bagian timur Indonesia, maka jangan heran bila puluhan etnis berkumpul dalam satu kota dengan kelompoknya masing-masing. Kecamatan Tamalanrea misalnya, setiap tahunnya sebagai kawasan pendidikan kawasan ini akan menerima puluhan ribu pendatang untuk menempuh pendidikan pada beberapa kapus yang tersebar. Belum lagi dengan beberapa wilayah lain yang juga demikian, mereka menerima para pencari kerja yang kemudian berpotensi menjadi embrio penyakit sosial baru di kota. “Contohnya itu asrama-asrama daerah itu potensi konflik. Kenapa begitu mereka itu membawa ego kedaerahan dan bila ketemu dengan daerah lain biasa berkelahi mi”98. Sebuah pandangan pejabat teras pemerintah kota tentang deraan primordialisme yang tumbuh subur hingga menjadi pertarungan fisik antar 97 Lihat kembali BAB II tentang Pemerintah kota 98 (Wawancara kepala kantor KESBANG kota Makassar 20 mei 2011) 100 kelompok. Dari data menunjukkan bahwa sebagian besar pertarungan fisik antar mahasiswa dilandasi karena pertarungan etnis. Kadang diantara mereka melabeli tindakan mereka dengan tindakan penghargaan terhadap siri’ 99 atau jargon kebudayaan daerah yang lain. Anggota komisi A dari fraksi partai demokrasi kebangsaan (PDK) kemudian berujar tentang fenomena siri’ yang disalahgunakan. Menurutnya dalam kitab lontara’100 dan kisah kepahlawanan daerah yang lain sama sekali tidak pernah ada ajaran yang menganjurkan kita untuk saling berseteru. Melainkan siri’ itu bermakna untuk malu berbuat untuk saling menyakiti satu sama lain, singkatnya siri’ menurutnya telah disalahkaprahkan. Terlepas dari peran para pendatang yang membawa ego kedaerahan kota juga menciptakan kemajemukan dalam berbagai kategori seperti kelompok hobby maupun ikatan persatuan dengan tujuan beragam. Pada awalnya kemajemukan tersebut sangatlah berguna untuk memperkaya khasanah kebudayaan dan pencapaian tujuan yang tidak bisa diperoleh secara personal. Namun lambat laun perselisihan terjadi akibat adanya kepentingan yang sama dan sangat sedikit ketersediaannya. Intinya kepadatan penduduk pada suatu wilayah 99 Lihat Kembali BAB III tentang nilai budaya masyarakat Makassar 100 Lontara adalah hikayat cerita bugis makassar yang mengisahkan tokoh La Galigo yang dipercayai oeh masyarakat suku bugis dan makassar. Di dalamnya jug bercerita tentang pesan untuk menjaga kedamaian antar sesama makhluk. 101 memberikan jaminan persinggungan antara satu sama lain dengan beragam cara dan alasan. 3. Status sosial ekonomi penduduk yang rendah Semua individu menginginkan kehidupan yang sejahtera dan salah satunya mencakupi kebutuhan ekonomi yang terpenuhi. Sama dengan apa yang disebutkan pada faktor yakni perubahan sosial yang begitu cepat, untuk kota besar kesenjangan pasti selalu ada. Beberapa pakar ekonomi politik menyatakan bahwa konsep ekonomi terbuka yang hampir seluruh negara telah menganutnya ternyata membuat kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Ketidakadilan untuk berpartisipasi dalam kompetisi hidup dimulai sejak lahir. Seorang bayi kaya akan dipertontonkan ketercukupan hidup dan seorang bayi miskin mungkin saja akan dipertontonkan dengan ayah yang keluar masuk penjara untuk sekedar memenuhi kebutuhan susunya. Dalam ketidakberdayaan untuk memenuhi kebutuhan setiap orang akan berfikir untuk menggunakan cara apapun. Bila kesempatan dengan jalur yang telah disediakan telah tertutup maka seseorang tidak akan segan untuk membuka jalur pemenuhan kebutuhan yang lain. Kemiskinan merupakan faktor yang memicu tingkat kekerasan dalam masyarakat dan bila kondisi itu dialami bersama maka tingkat kekerasan kelompok akan terbentuk dengan sendirinya. 102 Tingkat kekerabatan kaum terpinggirkan akan sangat gampang terbentuk dan menjadi sebuah ikatan solidaritas bila dibandingkan dengan mereka pemilik ekonomi mapan karena dengan cukup mengandalkan kemampuan pribadi dari kekayaannya, seorang kaya sudah bisa membeli apapun. Ketimbang kau terpinggir yakni mereka para miskin kota akan sangat gampang baik memobilisasi diri sendiri maupun dimobilisasi oleh kelompok tertentu. Beberapa wadah pemanusiaan diri tidak dapat diraih karena keterbatasan ekonomi seperti sekolah, bahkan untuk beribadah karena waktu telah habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada tahun 2010 dari data dinas sosial kota Makassar menunjukkan bahwa angka kemiskinan di kecamatan Panakukang sebagai kawasan pusat perbelanjaan modern ternyata menjadi wilayah dengan angka kemiskinan yang sangat tinggi, 8233 KK di kecamatan ini tercatat sebagai keluarga fakir miskin. Alhasil anak terlantar yang biasa menjadi biang kerok perkelahian melebihi angka 1000 anak. Untuk melengkapi argumen penulis beriku kami cukupkan dengan pernyataan Kasi LINMAS KESBANG kota Makassar: “Ketika kondisi sosial sangat labil maka potensi konflik gampang terbentuk, Ketidakadilan atau kemiskinan juga itu menjadi potensi besar konflik”101. Beberapa ilustrasi dan kejadian nyata bagaimana tingkat ekonomi yang rendah begitu berperan untuk mengintroduksi seseorang melakukan 101 (wawancara, 18 mei 2011). 103 tindak kriminal baik secara psikologi maupun pengaruh sosiologis setidaknya telah cukup menjadi salah satu faktor pendukung maraknya perkelahian antar kelompok di masyarakat. 4. Kondisi perkampungan yang sangat buruk Banyak pembeda antara pemukiman kumuh dan pemukiman elit di kota Makassar. Kesibukan sehari-hari penduduk di pemukiman elit membuat interkasi dengan tetangga sangat jarang terjadi, walhasil solidaritas di dalamnya tidak begitu erat. Berbeda dengan apa yang terjadi pada pemukiman kumuh dengan pola interaksi terbuka satu sama lain. Rumah yang kadang tidak memiliki pagar halaman menjadi penjelas bahwa tidak ada sekat antara rumah yang satu dengan yang lainnya. Berarti interkasi antara satu sama lain menjadi erat. Kesamaan penderitaan yang dialami mewujudkan solidaritas tersebut Pengamatan penulis membawanya untuk melihat kondisi sekitar kanal besar yang memotong jalan M.Yamin, Pelita Raya, Landak baru, Maccini dan beberapa jalan lainnya yang dilalui. Dari situ terlihat jelas pemukiman sekitar areal kanal yang sangat buruk bahkan bisa dikatakan sebagian besar rumah masih bersifat semi permanen dengan konstruksi seadanya. Kecamatan Panakukang, Makassar dan Tallo secara berurutan tiga kecamatan tersebut merupakan kecamatan dengan angka rumah tidak layak huni di kota Makassar. Bisa dibuktikan bahwa kondisi pemukiman 104 yang buruk juga menjadi faktor timbulnya tindak kriminal dengan melihat jumlah anak terlantar yang juga lumayan tinggi dari ketiga kecamatan tersebut. Seperti dengan kota besar yang lain, wilayah pemukiman yang berjejer dipinggiran sungai atau kanal besar cenderung kurang mendapat perhatian. Di kota Makassar pemukiman pinggiran kanal adalah pilihan terakhir ketika kemampuan ekonomi tidak mencukupi untuk mendapatkan hunian yang layak. Kondisi pemukiman rentan penyakit serta rentan bencana bila sewaktu-waktu air kanal meluap begitu lekat dirasakan oleh mereka para penghuni pinggiran kanal. “Daerah konflik tertinggi sepanjang kanal itu, memang paling sering terjadi konflik” ungkap KASI LINMAS KESBANG102. Ungkapan diatas merupakan hasil observasi yang telah dilakukan setelah mencocokkan data dari bagian intelijen baik dari KODAM Makassar maupun dari POLRESTABES tentang posisi perkelahian antar kelompok. Berikut keempat faktor yang menjadi pendukung terjadinya perkelahian antar kelompok secara garis besar dari berbagai macam pandangan baik dalam perspektif ekonomi, sosial dan pemerintahan. Apabila sebuah wilayah telah memiliki keempat faktor tersebut maka tak pelak potensi kriminal di dalamnya akan tumbuh dengan sendirinya. 102 (wawancara, 28 mei 2011) 105 Walaupun tidak memenuhi semua faktor yang telah disebutkan, terdapat pula beberapa wilayah yang bisa tersulut dan menimbulkan konflik. Untuk faktor pertama yakni perubahan sosial yang cepat dalam suatu wilayah memang tidak semua wilayah konflik di kota Makassar mengalaminya. Karena perubahan sosial yang cepat biasa dimiliki oleh daerah peperangan maupun wilayah yang baru didera oleh bencana alam. Namun perubahan sosial yang cepat bisa juga diterang dari pembangunan pesat pada sebuah perkampungan yang pada awalnya sangat jauh dari kriteria modern. Untuk melengkapi argumen penulis maka berikut diikutkan tabel kemiskinan di kota Makassar pada tahun 2010 sebagai bahan analisa untuk mendalami faktor-faktor terjadinya perkelahian antar kelompok103: 103 Tabel halaman berikut 106 Tabel IV.II Kemiskinan di Kota Makassar 2010104 Keluarga Fakir Miskin Rumah tidak Layak Huni Kecamatan (Dalam KK) (Dalam Unit) Bontoala 2712 134 Biringkanaya 410 3 Mamajang 516 23 Makassar 2150 349 Mariso 1210 Belum diketahui Manggala 1325 84 Panakukang 8233 1038 Rappocini 2108 39 Tamalate 2038 63 Tamalanrea 3159 96 Tallo 2626 168 Ujung Pandang 987 23 Ujung Tanah 992 1 Wajo 284 9 Jumlah 28750 2030 IV.II Peran Pemerintah Kota Makassar terhadap Perkelahian antar Kelompok Pemerintah kota Makassar dalam situs resminya menyatakan bahwa 104 unjuk rasa merupakan salah satu tantangan terbesar Data merupakan hasil olahan data dinas sosial. Penulis hanya mengumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian ini. 107 pembangunan105. Wacana unjuk rasa memang selalu menarik perhatian pemerintah kota. Dalam analisa penulis, wacana unjuk rasa lebih mudah untuk menjadi bahan perhatian karena secara strategis selalu bersinggungan dengan kebijakan pemerintah dan apabila bersinggungan dengan kebijakan maka secara langsung akan bersinggungan dengan kekuasaan. Hal yang berbeda ketika kegaduhan massa itu bersifat perkelahian antara dua kelompok dan sama sekali tidak ditimbulkan dan berdampak pada alasan politik kekuasaan. Perkelahian antar kelompok tidak begitu mendapat perhitungan. Ketika sebuah perkelahian hanya terjadi sekali tidak berdampak pada citra buruk pemerintahan maka perilaku itu dipandang sebagai sesuatu yang tidak berbahaya. Namun ketika perkelahian dalam sebuah wilayah terjadi berulang kali dan berujung pada cap buruk pemerintahan yang berkuasa pada wilayah tersebut barulah perkelahian mendapatkan perhatian. Kembali diulangi, pemerintahan pada hakekatnya dibutuhkan untuk menjaga harmonisasi dalam masyarakat serta lepas dari segala persinggungan internal masyarakat. Perkelahian dalam faktor penyebab yang telah disimpulkan oleh penulis bisa diakibatkan oleh beberapa elemen di luar masyarakat itu sendiri. Adanya aktor luar bisa memicu perkelahian itu terjadi. Bila dilihat dari pola kemiskinan yang mendera di kota Makassar, peran pemerintah tentunya tidak lepas dari situ. Mendistribusikan kekayaan secara adil adalah bagian tugas dari 105 Lihat halaman (www.kotamakassar.go.id) utama situs resmi pemerintah kota Makassar 108 pemerintah sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakatnya. Namun yang tampak jelas pada beberapa kecamatan dengan rasio peningkatan jumlah penduduk yang tinggi ternyata diikuti dengan jumlah penduduk miskin ketika pembangunan infrastuktur modern begitu cepat memenuhi wilayah tersebut. Penduduk tentunya akan mendatangi tempat metropolis baru tersebut, sebagai asumsi untuk mendapatkan penghasilan di tengah kemegahan kota. Contoh saja Dg. Sule seorang peminta-minta di sekitar taman areal Balaikota Makassar yang meninggalkan kegiatan bertaninya di Takalar untuk mencari pekerjaan dengan kemampuan seadanya. Akhirnya beliau hanya bisa menerima nasib sebagai peminta-minta dengan tempat tinggal yang tidak tetap. Kondisi yang dialami oleh Dg. Sule tentu saja diikuti oleh banyak dari mereka yang memiliki mimpi serupa. Perlahan kejahatan pun terbentuk seiring dengan meningkatnya daya pikat kota yang ternyata tidak bisa dinikmati oleh semua pihak. Istilah to caddi106 bagi masyarakat miskin keluar sebagai bentuk penerimaan nasib yang mereka alami. Mereka pun mengakui pengusaha, pemilik modal, pejabat pemerintah sebagai orang besar yang sangat sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan keluarga miskin yang tersebar di 14 kecamatan. 106 Dalam bahasa Makassar berarti orang kecil, biasanya digunakan ketika berhubungan dengan kekuasaan. Orang kecil yang dimaksud adalah mereka rakyat biasa yang menjadi subordinat dari pemerintah. 109 Pemerintah semestinya memiliki program untuk menangani tindak kejahatan yang terjadi termasuk perkelahian antar kelompok yang merebak di masyarakat kota Makassar. Apa yang terjadi di kota Jakarta dan kota besar lain yang memiliki tingkat ketimpangan ekonomi yang tinggi setidaknya menjadi contoh bagi pemerintah kita untuk segera mengambil tindakan penanggulangan107. Walaupun perkelahian antar kelompok dianggap belum terlalu besar setidaknya ada upaya untuk mencegah potensi-potensi yang bisa saja berbuah di kemudian hari menjadi kegaduhan sosial dalam masyarakat. Pada bagian ini penulis membagi pemerintah dalam dua bagian sebagaimana apa yang tertera pada bab II bahwa batasan pemerintah merunut pemerintahan dalam skala besar yakni Eksekutif dan Legislatif. Penulis tidak memasukkan lembaga peradilan sebagai representasi yudikasi di negeri ini mengingat perkelahian antar kelompok sangat sulit untuk diadili karena banyaknya jumlah orang yang terlibat. Oleh karena itu penulis menggantikan peran tersebut dengan memasukkan kepolisian kota yakni POLRESTABES dalam upayanya menangani tidak kekerasan massa namun tidak penjabaran mengenai perannya hanya dimasukkan dalam pembahasan diantara dua bagian pemerintah dalam skala besar tadi. Selain itu penulis juga menemukan adanya jalinan kerjasama antar pemerintah kota dengan pihak kepolisian untuk bahu membahu menangani kasus perkelahian antar kelompok ini. 107 Lebih jelas baca Tadie, Jerome. Wilayah kekerasan Jakarta. Masup. Jakarta.2009 110 IV.II.I Peran Ekeskutif di Kota Makassar Sesuai lokus penelitian terdapat dua lembaga dalam lingkup pemerintahan kota Makassar yang berhubungan tentang perilaku sosial yang dicap buruk oleh masyarakat dan pemerintah itu sendiri. Dua lembaga tersebut ialah kantor kesatuan bangsa (KESBANG) dan dinas sosial. Berikut adalah uraian upaya yang dilakukan oleh dua lembaga tersebut dalam menangani perkelahian antar kelompok. 1. Kantor Kesatuan Bangsa Seperti apa yang telah dipaparkan pada BAB II108 tentang tugas dan fungsi KESBANG, tentunya segala program menjaga ketertiban dan keamanan dalam masyarakat disesuaikan dengan tugas dan fungsinya. Menurut kepala kantor KESBANG Rompegading Patiroy, tugas kesbang ialah menjaga keamanan dan ketertiban kota. Sedangkan pola tindakan yang dilakukan lebih dalam dijelaskan oleh beliau bahwa kantor yang dipimpinnya itu lebih bersifat konsep dan preventif selanjutnya dalam penerapan di lapangan terkait bila peristiwa perkelahian berlangsung maka itu merupakan tugas dari kepolisian. “Kita melakukan pendekatan sosialisasi aturan seperti aturan tentang terorisme, agama dan aturan mengenai ketertiban dan keamanan”109. 108 Lihat BAB III tentang KESBANG 109 (wawancara dengan kepala kantor KESBANG, 20 mei 2011) 111 Melengkapi pernyataan pimpinannya, salah satu staf administrasi di kantor ini berujar bahwa KESBANG juga bertindak memfasilitasi hubungan antar lembaga terkhusus untuk pencapaian ketahanan internal dalam masyarakat. Selain itu menurutnya KESBANG merupakan organisasi penegak kewaspadaan nasional, penegakan hak asasi manusia (HAM) serta upaya ketahanan sosial ekonomi. Lebih dalam lagi Muchlis S.Sos menyatakan bahwa KESBANG bertugas untuk mengantisipasi dua bentuk bencana yakni bencana alam dan bencana sosial. Lembaga pemerintah di bawah naungan PEMKOT Makassar ini lebih mengutamakan pola penyampaian konsep masyarakat damai kepada berbagai elemen serta bersifat investigatif terhadap potensi konflik yang akan terjadi. Selain itu, program juga dikhususkan pada beberapa wilayah yang memang dekat dengan siklus perkelahian antar kelompok. Namun selain dari program pelatihan dan sosialisasi, KESBANG juga mengadakan kerjasama dengan beberapa pihak untuk mewaspadai terjadinya tindak perkelahian sebelum konflik itu terjadi. Oleh karena itu KESBANG bersama lembaga kepolisian (POLRESTABES), TNI (Kodam VII Wirabuana) dan badan intelijen negara (BIN) bahu membahu mengupayakan cara penanganan kasus perkelahian antar kelompok dan bentuk kekerasan massa yang lain. Walaupun pihak KESBANG sama sekali tidak memberi kategorisasi mengenai program yang dilaksanakan, namun penulis mencoba memberi kategorisasi peran pemerintah terhadap 112 perkelahian antar kelompok dari segi waktu pelaksanaan yang diukur dari kejadian sebuah kasus. Berikut kategorisasinya yang terbagi atas dua yakni upaya preventif dan investigasi: a. Upaya Preventif dan Pasca Kejadian Penulis menyebutnya dengan istilah preventif karena program yang akan dijabarkan berikut bersifat mendahului sebelum terjadinya sebuah perkelahian. Selain itu, pada kategori program ini dimasukkan pula beberapa program dari upaya preventif untuk menjaga perkelahian tersebut untuk tidak terjadi lagi: Sosialisasi regulasi Kegiatan ini dilakukan ketika turunnya sebuah kebijakan dalam bentuk regulasi hukum yang mengatur dan bersinggungan dengan keamanan dan ketertiban masyarakat. Perkelahian antar kelompok jelas terkait di dalamnya. Contoh salah satu sosialisasi perundang-undangan yang diadakan oleh kantor KESBANG ialah sosialisasi UU tata cara penyampaian pendapat di depan umum. Kencangnya upaya ini dilakukan di kampus-kampus ternama di kota Makassar setelah mendapati tingginya angka unjuk rasa dan perilaku anarkis yang sering terjadi ketika berlangsungnya demonstrasi. Dalam mengadakan program ini, pihak KESBANG tidak mengadakan kerja sama dengan pihak manapun, pihak luar hanya dibutuhkan sebagai pembicara dalam diskusi saat diadakannya sosialisasi regulasi. 113 “Tidak melibatkan orang luar karena aturan, tidak ada pihak ketiga mengenai pelaksanaan keuangan ketika program dilaksanakan”110. Tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan upaya pemahaman peraturan kepada masyarakat. Sementara bentuk kegiatan sosialisasi regulasi ini menyerupai seminar dengan menghadirkan peserta sesuai dengan keterkaitan jenis regulasi yang disosialisasikan. Beberapa organ maupun yang bersifat personal pernah ikut dalam proses sosialisasi ini diantaranya ormas keagamaan, lembaga mahasiswa, pejabat pemerintahan hingga tingkatan terendah ataupun masyarakat yang diundang untuk mengadiri acara tersebut. Pembinaan Teknis Resolusi Konflik Inilah satu-satunya kegiatan yang berbentuk seremonial yang diadakan oleh kantor KESBANG khusus untuk menangani masalah perkelahian antar kelompok. Kegiatan ini adalah kegiatan pertama selama masa pemerintahan periode ke dua yang dijabat oleh walikota Ilham Arif Sirajuddin. Kegiatan yang disingkat dengan BINTEK resolusi konflk ini bertujuan agar kiranya perserta kegiatan dalam bentuk seminar sehari ini pada garis besarnya mampu meredam konflik yang timbul di masyarakat. Berikut uraian tujuan program ini: Bagaimana peserta kegiatan ini memiliki kemampuan teknis mengenai penyelesaian konflik 110 ibid 114 Bagaimana peserta mengetahui langkah-langkah apa yang akan diambil ketika terjadi tawuran antar warga Bagaimana cara untuk meredam ekskalasi konflik Peserta diharapkan memiliki kemampuan untuk mendiagnosa konflik Bagaimana cara membangun kehidupan baru pasca konflik Kegiatan ini melibatkan banyak pihak antara lain lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan tokoh masyarakat yang ditemui langsung di 14 kecamatan. Pemilihan tokoh masyarakat ini dilihat dari seberapa besar pengaruh tokoh tersebut untuk memediasi ketika terdapat dua pihak yang berkonflik. Jadi untuk beberapa kecamatan di kota Makassar ada beberapa wilayah yang diwakili lebih dari 3 orang tergantung dari intensitas konflik wilayah kecamatan yang bersangkutan. Sedangkan pelibatan unsur lain di luar LSM dan tokoh masyarakat sebagai pemateri pada kegiatan ini diantaranya komando distrik militer (KODIM) Makassar, POLRESTABES, BIN, kantor KESBANG provinsi sulawesi selatan serta beberapa akademisi dari berbagai kampus di Makassar. b. Upaya investigasi Kategori kedua program yang dilaksanakan oleh KESBANG ini merupakan program kerja sama yang melibatkan tiga institusi di luar KESBANG itu sendiri. Tiga institusi tersebut adalah Kodam VII Wirabuana Makassar, POLRESTABES Makassar dan Badan Intelijen Negara (BIN). 115 Bersama tiga institusi ini KESBANG mengadakan pola investigasi ketika konflik telah terdapat di permukaan. Dengan kerja intelijen konflik yang terlihat di lapangan itu sebisa mungkin dikendalikan sebelum meledak pada perkelahian. Dari keempat lembaga ini pun melalui KESBANG mampu mengumpulkan data kekerasan yang terjadi di kota Makassar dilengkapi dengan motif serta dalang perkelahian. Dalam proses pengerjaannya bagi tiga institusi selain KESBANG yang lebih dulu menemukan potensi konflik maka akan segera melaporkannya kepada PEMKOT dalam hal ini KESBANG. Selanjutnya bila potensi kasus tersebut meledak maka PEMKOT membawa laporan kepada pihak kepolisian untuk segera mengadakan penangkapan atau pun pengamanan. “Karena intelijen tidak bisa menangkap, maka itu dilaporkan ke pihak yang berwajib ,kepada pihak kepolisian”111. Seperti yang diakui oleh KASI LINMAS KESBANG, program ini baru terbilang efektif pada tahun 2010, di tahun sebelumnya belum ada pengolahan data dari bahan intelijen yang sudah didapatkan. Barulah pada tahun 2010 KESBANG memiliki data perkelahian antar kelompok untuk kemudian dijadikan bahan acuan pembuatan program berikutnya. 111 ibid 116 2. Dinas Sosial Setelah membaca buku mengenai yang berdasarkan KEPMENSOS Nomor 25/huk/2003112, penulis menemukan pembahasan mengenai pengembangan ketahanan sosial masyarakat serta bantuan sosial korban bencana sosial. Untuk itu penulis kemudian ingin mencari tahu apakah dinas sosial kota Makassar melaksanakan program tersebut karena di dalamnya terkait dengan perkelahian antar kelompok. Setelah menemui beberapa pegawai di dinas sosial, penulis mendapati bahwa dinas sosial sama sekali tidak mengurusi apa yang dijabarkan pada buku tersebut melainkan mengurusi mereka yang berumur di bawah 18 tahun dan tergolong sebagai anak nakal dan anak terlantar. Secara tidak langsung menangani persoalan perkelahian antar kelompok namun DINSOS ternyata mengurusi pelaku tindak kriminal yang juga merupakan pelaku tindak perkelahian antar kelompok di masyarakat. Dinas sosial kemudian menggolongkan beberapa kategori anak yang dianggap terlantar dan nakal. Setidaknya pada pembahasan ini kita dapat mengetahui pelaku dari perkelahian antar kelompok di kota Makassar. “Anak-anak SMP biasa, diatas 25 tahun itu jarang mi pelakunya, dan rata-rata itu tidak sekolah” Ujar SF warga Barabaraya yang ditemui di kediamannya113. 112 Dalam buku ini terdapat panduan penanganan dinas sosial serta masalah yang perlu ditangani. 113 (wawancara, 11 Juni 2011) 117 Sebelum mengutarakan apa saja program yang diprakarsai oleh DINSOS dalam pemberdayaan anak terlantar dan anak jalanan. Maka sebelumnya kita lebih dahulu memahami anak mana saja yang dikategorikan sebagai anak terlantar dan anak nakal. Anak terlantar menurut A. Taty sebagai salah satu staf di DINSOS kota Makassar yang ditemui di ruang kerjanya ialah anak dibawah umur 18 tahun yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya seperti sandang maupun pangan. Sedangkan menurutnya pula anak nakal ialah mereka yang juga berumur dibawah delapan belas tahun uang sering terlibat dalam tindak kriminal atau berpotensi melakukan tindak kriminal. Pada petunjuk teknis pelaksanaan masalah sosial anak nakal yang menjadi bahan rujukan DINSOS kota Makassar dalam pembuatan program pembinaan terhadap anak nakal, disitu dinyatakan bahwa anak nakal ialah anak yang berperilaku menyimpang dari norma-norma masyarakat, mengganggu ketertiban namun masih dibawah kategori yang dapat dituntut secara hukum. Dalam menangani biang masalah sosial ini DINSOS hanya memiliki satu program yang dilaksanakan tiap tahunnya dan mereka sebut dengan PELAYANAN REHABILITASI SOSIAL KENAKALAN ANAK DAN REMAJA. Rehabilitasi sosial sendiri dalam pengertiannya merupakan proses pemulihan harga diri, kesadaran, serta tanggung jawab sosial pelaku kenakalan sehingga terbebas dari perbuatan kenakalan secara wajar. Sedangkan kenakalan remaja ialah perilaku remaja yang 118 menyimpang atau melanggar nilai-nilai atau norma-norma masyarakat. DINSOS dengan kegiatan ini bertujuan untuk memulihkan kondisi psikologi dan kondisi sosial serta pulihnya fungsi kualitas sosial remaja sehingga mereka dapat hidup wajar di masyarakat serta menjadi sumber daya manusia yang berguna produktif dan berkualitas tinggi. Jadi pada dasarnya kegiatan ini dibuat untuk mereka anak nakal dan remaja yang dianggap berpotensi melakukan atau telah melakukan tindakan kriminal termasuk salah satunya tindak perkelahian antar kelompok yag sering mereka lakukan. Orang tua serta lingkungan sosial mereka juga diikutkan dalam program ini seperti lingkungan sebaya, lingkungan sekolah atau pekerjaan dan keluarga serta tetangga. Untuk mereka anak nakal dan remaja yang dilibatkan dalam proram ini lebih sering disebut dengan istilah korban. Oleh karena itu bisa dianalisa bahwa ada yang menjadi penyebab kerusakan nilai sosial dan mental mereka. Keseluruhan rangkaian proses rehablitasi ini terdiri atas 6 tahapan yang harus dilalui berikut tahapannya: 1. Tahap pendekatan awal Ini merupakan awal dari program rehablitasi pada bagian ini akan diawali dengan orinetasi dan konsultasi yang melibatkan PEMKOT Makassar, DINSOS itu sendiri, dinas pendidikan, dinas kesehatan, departemen agama, departemen kehakiman, departemen tenaga kerja, perguruan tinggi di Makassar, Lembaga Swadaya masyarakat (LSM), 119 tokoh masyarakat serta orang tua anak yang bersangkutan. Tahap ini menjadi tahap proses pencarian dukungan dan bantuan dari PEMKOT dan lembaga terkait. Setelah mendapatkan dukungan maka mulailah dengan tahap mengidentifikasi calon korban yang akan direhabilitasi. “Data diambil dari kepolisian, bila belum ada maka ada staf yang diutus, tenaga kesejahteraan sosial kecamatan (TKSK) untuk mengambil data di kelurahan”114. Data yang sudah didapatkan kemudian dianalisa dan dikelompokkan, setelah itu barulah kunjungan tehadap rumah korban/klien dilakukan selain itu ada pula observasi dilakukan terhadap lingkungan tempat tingal korban. Menemui calon korban/klien tentunya ditemukan beberapa kendala diantaranya keengganan calon klien untuk mengikti program rehabilitasi. Maka biasanya akan dilakukan upaya motivasi dan penyadaran bagi calon klien, misalnya dengan menemui secara langsung atupun berbicara dengan orang tua mereka. 2. Tahap Penerimaan Pada tahap ini klien yang sudah diidentifikasi maka akan melalui proses registrasi dan pengungkapan masalah yang diderita. Diantara informasi yang biasanya dicari oleh DINSOS antara lain mengenai tingkah laku sehari-hari klien, pergaulan dengan rekan sebaya, keadaan keluarga dengan keadaan lingkungan. Banyak cara yang digunakan untuk mengetahui informasi-informasi tersebut dari para anak/remaja nakal yang sudah didaftarkan masuk dalam program rehabilitasi, dua diantaranya 114 (wawancara Andi Taty staf DINSOS kota Makassar, 6 juni 2011) 120 seperti dengan wawancara atau mengunjungi langsung kediaman anak/remaja tersebut. 3. Tahap Assesment Barulah setelah mendapatkan informasi maka anak/remaja tersebut akan diwawancarai untuk mengetahui latar belakang masalah sosial yang dialami. Selain itu pula akan digali informasi mengenai bakat, potensipotensi yang dimiliki, kemampuan dan renacana masa depan mereka. DINSOS menyediakan panti khusus untuk prgram rehabilitasi ini untuk menampung para anak/remaja nakal. Disanalah mereka selanjutnya akan mendapatkan rehabilitasi sosial. 4. Tahap Pembinaan dan bimbingan sosial Pembinaan yang dimaksud lebih mengarah pada pembinaan fisik. Anak/remaja tersebut akan dibina untuk kembali pulih kesehatan dan kesegaran jasmaninya. Biasanya mereka yang mendapatkan pembinaan seperti ini adalah anak/remaja yang pernah terlibat dalam praktek minumminuman keras atau mengkonsumsi obat-obat terlarang. Selain pembinaan fisik para peserta yang telah ditampung akan mendapatkan bimbingan mental, psikologis, agama dan sosial. DINSOS mendatangkan langsung sarjana konselor maupun psikolog dari Universitas Negeri Makassar (UNM) yang memang memiliki fakultas psikologi dan konseling. Untuk pembinaan keagamaan DINSOS yang sudah bekerja sama dengan Departemen agama akan mendatangkan tokoh-tokoh agama dari anggota masyarakat atau organisasi sosial keagamaan. 121 Ada pula pembelajaran yang diberikan sehingga para peserta mau bertingkah lau yang baik dan kembali memainkan peran sosialnya secara wajar serta kembali berbaur dengan anggota keluarga yang lain dan masyarakatnya. Mereka pun akan diberikan pelatihan keterampilan seperti keterampilan usaha dan bagi mereka yang berumur sekolah akan disekolahkan dengan harapan masa depan mereka akan kembali cerah. 5. Tahap resosialisasi/Integrasi Pada tahap kelima ini DINSOS dengan program rehabilitasi ini akan meminta kesiapan keluarga, sekolah dan masyarakat untuk menerimanya kembali para anak/remaja yang sudah melalui proses pembinaan. Harapannya semua lembaga sosial tersebut akan membantu proses integrasi anak/remaja sehingga timbul kepercayaan dirinya serta tanggung jawab sosial. Dalam masyarakat, kiranya akan menerima mereka dengan wajar sebagai manusia yang tidak lagi bermasalah. 6. Tahap rujukan dan pembinaan lanjut Ini merupakan tahap terakhir pada tahap ini diharapkan para peserta rehabilitasi telah mantap dari segi kesembuhan sehingga tidak akan kembali lagi menjadi nakal. Pada tahap ini para peserta yang telah dipulangkan akan dikunjungi secara berkala untuk melihat apakah klien telah mampu mandiri dan telah mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam tatanan kehidupan dan penghidupan masyarakat. 122 Berikut diatas tahapan kegiatan dalam progrm rehabilitasi oleh DINSOS, kegiatan yang biasa dilaksanakan dalam jangka waktu 6-12 bulan ini mendapat dana dari PEMKOT Makassar melalui alokasi APBD. Tiap tahunnya DINSOS akan memasukkan nama, alamat serta masalah yang bersangkutan untuk direhabilitasi. Selanjutnya pendanaan akan keluar sesuai dengan pendanaan yang diminta. “Tiap tahun ada pembahasan konsep program untuk mengambil dana APBD dengan melengkapi by the name, the address dan by problem” Ujar Andi Taty115. Untuk melengkapi penjabaran program oleh DINSOS berikut penulis akan mengikutkan tabel jumlah anak nakal dan anak terlantar di kota Makassar116. 115 ibid 116 Tabel di halaman berikut 123 Tabel IV.III Jumlah anak terlantar dan anak nakal di kota Makassar 2010117 No. Kecamatan Anak Nakal Anak Terlantar 1. Bontoala Belum diketahui 38 2. Biringkanaya 1 359 3. Mamajang 5 204 4. Makassar 151 167 5. Mariso Belum diketahui 27 6. Manggala 7 1994 7. Panakukang 99 1024 8. Rappocini 4 724 9. Tamalate Belum diketahui 673 10. Tamalanrea Belum diketahui 2149 11. Tallo 10 2694 12. Ujung Pandang Belum diketahui 206 13. Ujung Tanah Belum diketahui 1239 14. Wajo Belum diketahui 593 Jumlah 277 12091 IV.II.II Peran Legislatif di Kota Makassar 1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Makassar Untuk mengetahui apakah pemerintah kota Makassar membuat peraturan daerah mengenai perkelahian antar kelompok atau setidaknya PERDA yang mengatur mengenai keamanan dan ketertiban penduduk kota. Penulis kemudian mendatangi komisi A bidang pemerintahan DPRD 117 Data merupakan hasil olahan data dinas sosial. Penulis hanya mengumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian ini. 124 kota Makassar untuk mencari tahu peran lembaga legislasi ini untuk menangani perkelahian antar kelompok. Dari pernyataan salah satu anggota komisi A penulis menemukan bahwa belum ada sama sekali peraturan daerah mengenai perkelahian antar kelompok atau setidaknya membicarakan mengenai keamanan dan ketertiban masyarakat. Selanjutnya untuk mengetahui bagaimana bentuk peran DPRD dalam penanggulangan kasus perkelahian antar kelompok, penulis mempertanyakan bentuk peran yang dimainkan oleh DPRD. Belum banyak jumlah reses yang dilakukan di beberapa kecamatan yang dianggap sebagai kecamatan dengan angka tawuran yang tinggi. Terbukti selama masa jabatan DPRD 2009-2014 hanya 2 kali reses dilakukan ke wilayah konflik. Mengenai kemiskinan yang juga diakui oleh Mustagfyr Syabri sebagai pemicu terjadinya tindak perkelahian di masyarakat sudah ada upaya untuk menanganinya. Bentuk program yang dirancang oleh DPRD yaitu pembuatan bengekel ekonomi pemuda di tiap kecamatan di kota ini. Bengkel ekonomi yang dimaksud ialah tempat dimana para pemuda akan dibimbing untuk bagaimana berwirausaha demi mendapati penghidupan yang layak. Penulis pun mempertanyakan mengenai kerjasama tiga institusi negara untuk menangani masalah kekerasan kolektif. Menurutnya, telah ada pembicaraan yang melibatkan pemerintah kota, kepolisian dan DPRD 125 itu sendiri untuk membicarakan mengenai prilaku perkelahian antar kelompok. IV.III Analisis Peran Pemerintah Kota Makassar terhadap Perkelahian antar Kelompok Setiap tindakan pasti ada penyebabnya, begitupun yang kita sebut dengan kejahatan. Semua tindak kejahatan tidak pernah bernah diri sendiri melainkan adanya hubungan sebab pada posisi yang pertama dan akibat pada posisi yang kedua. Posisi kejahatan selalu berada pada posisi yang kedua, posisi yang berarti terdapat hal yang menyebabkannya. Seorang pencuri tidak akan serta merta melakukan tindak pencurian kecuali karena kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi dengan jalan yang kita sebut wajar. Tindakan mencuri sebagai tindakan yang tidak wajar merupakan pola yang terbentuk dengan sendirinya di luar jalan yang wajar tadi. Apa yang kita sebut dengan jalan wajar semisal bekerja pada sebuah instansi atau perusahaan, bila mujur mungkin dengan berkah modal yang dimiliki mungkin kita akan membuka usaha demi memperpanjang hidup dengan kebutuhan yang menjepit. Apalah daya ternyata semua orang di muka bumi terkhusus kota Makassar tercinta ini tidak memiliki kemampuan yang sama untuk menempuh jalan yang wajar. Kecamatan Panakukang dan yang nampak di wilayah kecamatan Makassar adalah contoh riil banyaknya diantara mereka yang terpaksa menempuh jalan yang tidak wajar. Angka kriminal 126 pada dua kecamatan melesat jauh seiring tingginya kepadatan penduduk pada dua wilayah tersebut. Pemukiman yang kumuh serta ketimpangan yang dimeriahkan dengan bangunan megah perumahan elit dan pusat perbelanjaan modern ditengah pemukiman lusuh yang berjejer tidak rapi. Sosialisasi dalam upaya pemenuhan kebutuhan dengan kesempatan yang sempit itu terbangun diantara mereka. Bagi yang mendapati sosialisasi yang baik maka akan mendapatkan kelompok dan mereka yang tidak mampu masuk dalam kelompok tersebut akan membuat kelompok lain demi pencapaian tujuan. Ada pula dalam pola pembentukan kelompok tidak semata-mata karena adanya kebutuhan hidup secara personal yang harus diupayakan secara bersama-sama. Namun kesamaan derajat dan kemampuan juga bisa memicu terbentuknya sebuah kelompok dalam masyarakat miskin. Rumah yang berdekatan dalam pemukiman kumuh membangun perasaan berbaur satu sama lain bagi masyarakat yang bermukim disana. Kelompok yang lain pun demikian. Terciptanya beragam kelompok tidak bisa dilepaskan dari pembentuk ikatan kelompok yang juga berbeda. Ada yang berdasarkan batas teritorial, ada yang berdasarkan kesamaan suku, kebiasaan hidup hingga kegemaran yang dimiliki oleh tiap individu. Persinggungan antar kelompok terjadi dengan tingginya ekslusifisme kelompok yang terbangun, lahiriah tiap individu dalam kelompok tentunya akan menjunjung tinggi kelompoknya dibanding kelompok lain. Itu terjadi karena hanya kelompoklah yang bisa dijadikan sebagai bahan untuk 127 menunjukkan identitas pribadi yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mampu dalam segi ekonomi, memiliki kekuasaan dan instrumen lain yang bisa menonjolkan diri. Perkelahian antar kelompok dalam narasi diatas mengenai terbentuknya memiliki beragam akar persoalan. Ada yang disebabkan karena persoalan ketersinggungan, minuman keras, sengketa, hingga dendam yang memborok dalam kehidupan sosial masyarakat. Namun dalam penelitian ini penulis menemukan fakta dari dua kecamatan dengan tingkat perkelahian merupakan embrio antar kelompok tindakan kriminal tertinggi termasuk bahwa kemiskinan perkelahian antar kelompok. Berikut ini pernyataan beberapa informan yang membenarkan kesimpulan tersebut. “Kesiapan materi juga berpengaruh. Kriminalisasi terjadi karena tuntutan ekonomi yang tidak bisa dipenuhi” (Mustagfyr Syabri, anggota komisi A DPRD kota Makassar) “Ketidakadilan dan kemiskinan menjadi potensi konflik”(Muchlis , S.Sos, KASI LINMAS KESBANG) besar “Kemiskinan menjadi faktor penting hancurnya remaja” (Andi Taty, Staf DINSOS Makassar). Dari sini penulis kemudian menganalisis mengenai peran apa yang seharusnya diperankan oleh PEMKOT Makassar dengan berbagai instansi yang dimiliki. KESBANG dan Dinas Sosial memang dibentuk untuk menghilangkan semua persoalan sosial namun pada dasarnya peneliti menemukan bahwa banyak dari beberapa program yang belum 128 maksimal dan serius untuk benar-benar menyelesaikan persoalan perkelahian antar kelompok. Untuk kegiatan seminar dan sosialisasi regulasi yang diadakan oleh KESBANG misalnya cenderung hanya akan dapat dicerna oleh kalangan berpendidikan atau setidaknya pernah mengenyam sekolah formal. Namun bagi masyarkat ekonomi tingkat bawah tentunya kegiatan seperti itu hanyalah kegiatan buang waktu dan akan lebih memilih untuk mencari cara bagaimana menghidupi keluarga untuk bertahan hidup pada hari itu. Regulasi bagi mereka adalah hal sia-sia ketimbang isi perut dan anaknya yang menangis meminta susu. Seharusnyalah pemerintah yang mengaplikasikan itu dalam tindakan nyata mengurangi tindak kejahatan kelompok bukan dengan memberikan sosialisasi regulasi. Kebutuhan masyarakat miskin hanyalah penghidupan yang layak dan hanya bisa dipenuhi oleh pemerintah sebagai pengatur agar kiranya penghidupan yang layak itu bisa terbagi secara merata. Mengenai pembinaan teknis resolusi konflik oleh KESBANG, dari paparan beberapa informan kondisi forum sehari tersebut hanya bersifat monolog alias satu arah para tokoh masyarakat yang dilibatkan sangat sedikit diberi peluang untuk mengeluarkan pendapat mengenai penyelesaian perkelahian antar kelompok. Kegiatan seperti itu sangatlah berguna, namun akan lebih baik bila kesempatan bicara lebih banyak 129 dimiliki oleh mereka yang biasa terlibat langsung dalam penyelesaian perkelahian antar kelompok. Program pemerintah kota memang cenderung menganggap bahwa masyarakat kecil tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah sendiri, padahal faktanya para tokoh masyarakatlah yang lebih sering turun langsung dalam proses resolusi konflik ketika terjadi di areal pemukimannya. Hingga akhirnya kesempatan bicara pun akan dikurangi seiring pandangan yang terbangun bahwa pemerintahlah yang terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bukti bahwa minimnya perhatian pemerintah terhadap wilayah konflik ini ditunjukkan dengan jumlah kunjungan yang sangat minim. Penulis mempertanyakan kepada beberapa warga di kecamatan Panakukang dan kecamatan Makassar bahwa pemerintah kota sama sekali tidak pernah datang ke tempatnya kecuali bila perhelatan politik berlangsung seperti pemilukada atau pemilihan legislatif. Itupun diakui oleh salah satu anggota komisi A yang hanya memiliki dua kali reses di dua kecamatan tersebut. Setelah menemui salah satu tokoh masyarakat di keluarahan Barabaraya kecamatan Makassar yang biasa turun langsung untuk mendamaikan perkelahian yang terjadi sekitar pemukimannya. Peneliti mendapati peran besar beliau yang biasa dipanggil pak Ode ini untuk mendamaikan konflik yang biasa terjadi. Salah satu yang menurut peneliti kurang diperhatikan oleh PEMKOT adalah perhatian kepada mereka para 130 tokoh masyarakat atau mereka para pejabat pemerintahan tingkatan rukun kampung (RK), rukun warga (RW) ataupun rukun tetangga (RT). Adanya sikap yang cenderung lamban dalam mengambil tindakan juga menjadi salah satu kekurangan pemerintah. Tindakan pembiaran terhadap konflik kelompok dalam analisa penulis dianggap sebagai bentuk tindakan pula bagi pemerintah. Padahal bagi masyarakat dalam sebuah pemerintahan yang diakui tentunya akan mengharapkan tindakan nyata dari mereka yang telah mendapatkan mandat mengemban amanah rakyat termasuk menjamin keamanan dan kondusifitas sebuah pemukiman. Sikap lamban tersebut akhirnya berbuah pada pengambilan keputusan sendiri oleh masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya. Salah satu misalnya ketika terjadi sebuah perkelahian antar kelompok yang didasarkan pada penjunjungan martabat atau siri’ dalam masyarakat Makassar, bila pemerintah kota tidak segera melakukan tindakan dalam pendamaian kedua belah pihak dan bertindak memperbaiki konsep siri’ yang mulai bergeser dari landasan budayanya. Maka jangan heran masyarakat akan bertindak sendiri sesuai pahaman budaya mereka yang masih sangat sempit. Terkait mengenai siri’ yang oleh banyak pihak mengganggap telah melenceng dari dasarnya. Kini dalam beberapa hal pada perwujudannya lebih sering menjurus pada arah yang negatif. Ini bisa terjadi bila penafsiran terhadap sebuah konsep kebudayaan telah dipengaruhi oleh lingkungan yang tidak dapat melestarikan nilai asli sebuah kebudayaan. 131 Menurut penulis, siri’ bergeser di masyarakat Makassar karena adanya ruang masyarakat yang tidak lagi terbangun dari nilai budaya itu sendiri. Seperti yang diketahui perilaku masyarakat urban sebagai kota yang mulai merias diri menuju kota dunia tentunya akan terbawa arus modernisasi yang sangat jauh dari perilaku kebudayaan asli Makassar. Bertolak dari hakekat siri’, maka siri’ seyogyanya merupakan panduan jitu bila itu berhasil dikembangkan bagi masyarakat yang terlembagakan dengan tatanan nilai-nilai budaya ini. Siri’ yang pada pokoknya bersumber dari nilai ikatan masyarakat Makassar bisa dijadikan sebagai bahan ajaran untuk mentaati hukum, peraturan, perjanjian dan bentuk ikatan lain demi penciptaan kedamaian di dalamnya tanpa persinggungan antara satu sama lain. Siri’ pun bisa dijadikan sebagai alat untuk mendorong masyarakat meningkatkan potensi kelompok dengan kemampuan yang dimiliki. Bila siri’ berhasil untuk ”dikuasai” maka motivasi akan timbul sendiri dalam perseteruan antar kelompok tapi didasarkan pada prestasi dari tiap-tiap kelompok tersebut. Hidup berkelompok dengan pandangan siri’ merupakan peruwujudan sebuah lembaga positif dalam masyarakat Sulawesi selatan yang didasarkan pada kemampuan dan dengan sendirinya martabat akan terangkat. Bagi masyarakat Makassar rasa solidaritas sangat mungkin terbangun dengan peta siri’ yang dimiliki. Bila solidaritas tersebut 132 terbangun maka kesatuan Makassar akan terwujud sehingga tidak ada lagi percekcokan yang timbul di kota ini. Siri’ bagi masyarakat di kota ini telah dianggap sebagai salah satu nilai yang patut untuk dipegang erat. Namun itu ternyata tidak menjelaskan mengenai kondisi keseharian masyarakat di kota ini yang karena hanya persoalan sepele bisa memicu sebuah perkelahian besar. Dibalik semua potensi dari siri’ maka ada pula potensi yang miris yang masih diselewengkan mungkin terjadi lagi. Siri’ yang kini telah banyak dalm pribadi hingga konstruksi tatanan sosial yang timpang ini membuat harkat siri’ meninggalkan aspek kebudayaan nilainya yang luhur. Kembali pada beberapa program yang dilayangkan oleh pemerintah kepada mereka para pelaku, atau dalam hal ini banyak diperankan oleh Dinas Sosial. Banyak diantara pelakau yang sama sekali tidak mampu untuk terjauhkan dari sikap lamanya. Keonaran dalam masyarakat kembali terjadi. Itupun diakui oleh para beberapa petinggi DINSOS yang menganggap program rehabilitasi anak/remaja nakal tidak seperti dengan apa yang dilakukan dinas lain yang bekerja pada pembangunan fisik. Untuk masalah sosial kadang ada diantara mereka yang justru kembali pada pola hidup yang dianggap tidak wajar oleh pemerintah ini. Pemerintah kemudian terjebak pada program seremonial seperti seminar atau bentuk acara pelatihan lainnnya. Padahal perkelahian antar 133 kelompok ternyata bermula pada pengaruh lingkungan yang bersifat sosiologis. Psikologi pelaku tindak perkelahian dibangun dari lingkungan tersebut. Lalu pemerintah, setidaknya membuat program yang bisa meminimalisir tingkat depresi masyarakat terhadap lingkungannya. Mencoba mengukur tingkat keberhasilan pemerintah kota dalam menangani kasus perkelahian antar kelompok dengan melihat membandingkan rasio tindak kriminal kolektif pada tahun 2009 dan 2010. Data ini dilihat dari jumlah pelaporan dan jumlah kasus yang diselesaikan oleh wilayah yang telah dibagi kepolisian. Walaupun data ini tidak mencantumkan secara spesifik mengenai perkelahian antar kelompok dikarenakan belum adanya data perkelahian pada tahun 2009. Selain itu Unit Reskrim POLRESTABES kota Makassar juga tidak memiliki data spesifik perkelahian antar kelompok melainkan beberapa tindak kriminal yang melibatkan massa yang berujung pada perkelahian massa. Berikut datanya118: 118 Tabel di halaman berikut 134 Tabel V.I Data Kasus Kekerasan Kolektif di Kota Makassar 2009 No . Wilayah 1. Makassar Barat 2. 3. 4. Jenis tindak Jumlah Laporan kasus selesai Kasus tidak selesai Pembakaran 1 1 - Pengrusakan 15 13 2 Pengeroyokan 37 35 2 Unjuk Rasa 3 3 - Pengrusakan 66 43 23 Pengeroyokan 118 96 22 Unjuk Rasa 1 1 - Pengrusakan 17 10 7 Pengeroyokan 3 2 1 Pengrusakan 2 - 2 Pengeroyokan 21 12 9 284 216 68 kekerasan kolektif Makassar Timur Makassar kota besar wilayah pelabuhan JUMLAH 135 Tabel V.II Data Kekerasan Kolektif di Kota Makassar Tahun 2010 No . Wilayah 1. Makassar Barat 2. 3. Jenis tindak Jumlah Laporan kasus selesai Kasus tidak selesai Pembakaran 1 1 - Pengrusakan 5 4 1 Pengeroyokan 13 12 1 Pengrusakan 30 30 - Pengeroyokan 72 54 18 Pembakaran 1 1 - Pengrusakan 22 4 18 Pengeroyokan 20 3 17 164 109 55 kekerasan kolektif Makassar Timur Makassar kota besar JUMLAH Semua jenis tindak kriminal yang tercantum diatas ada diantaranya yang berujung pada perkelahian antar kelompok, ataupun diawali dengan perkelahian antar kelompok pula. Bila dilihat dari jumlah tindak kekerasan kolektif dan membandingkan dari dua periode data diatas, maka bisa dikatakan bahwa tindak kekerasan kolektif itu menurun pada tahun 2010. Jumlah tindak kriminal kolektif turun hingga hampir mencapai angka 45% pada tahun 2010 dari jumlah kasus pada tahun sebelumnya. Mungkin kita akan berfikir bahwa beberapa lembaga negara terkait setidaknya telah berhasil menurunkan angka kekerasan tersebut. 136 Namun angka perkelahian antar kelompok yang mencapai 25 kasus masih merupakan angka yang besar dengan segala potensi kota yang masih bisa memicu angka perkelahian yang begitu besar. Pemerintah setidaknya dengan program yang dimiliki perlu memaksimalkan diri dengan mengupayakan program yang lebih akurat. Demi pencapaian kedamaian di kota Makassar. Beberapa kecamatan yang tergabung dalam wilyah tugas kepolisian Makassar timur seperti kecamatan Panakukang menyimpan banyak potensi menuju tindak perkelahian yang sangat tinggi. Yang harus dipahami bahwa data kepolisian tersebut merupakan pelaporan. Jadi kasus perkelahian dan tindak kekerasan lainnya yang diluar pelaporan tidak tercatat dan pastinya lebih besar jumlahnya bila ditambahkan pada tabel tersebut. Mengenai program yang sudah dirancang oleh pemerintah. Program-program tersebut merupakan rancangan program yang sudah dilakukan di tiap tahunnya. Kreativitas pemerintah dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik yang tidak lagi berbasis pelaku melainkan pengentasan konflik yang berbasis penciptaan lingkungan yang jauh dari potensi konflik. Dengan memperhatikan kontur wilayah konflik di kota Makassar maka pemerintah menurut penulis bisa memulai programnya dari faktorfaktor pemicu konflik dari kondisi di wilayah tersebut. Selain itu, dengan 137 melihat faktor-faktor tersebut pemerintah juga bisa mencegah terjadinya konflik tersebut menyebar dan menjamur di wilayah lain. 138 BAB V PENUTUP V.I KESIMPULAN Ketakutan dari konlik yang timbul di masyarakat adalah ketika konflik tersebut berjalan serupa spiral konflik yang tak berhenti. Pertikaian antar kelompok yang dikatikan dengan suku, agama, ras, dan antar golongan. Merupakan konflik yang sangat gampang untuk terulang di tempat yang sama. Pada uraian BAB sebelumnya banyak faktor yang diutarakan yang kemudian menjadi faktor simultansi perkelahian itu sendiri. Lau apa dampak ketika perkelahian itu kemudian terjadi berulang? Sesungguhnya, di balik berulangnya tindak kekerasan perkelahian massa tersimpan persoalan yang sangat pelik. Itu menunjukkan bahwa sebuah wilayah telah kehilangan modal sosial, nilai kemasyarakatan yang dianut, musyawarah dan toleransi antar sesama yang diakui sebagai perekat nilai kebangsaan kita. Pemerintah kota yang bertugas melindungi dan mengayomi warga ternyata belum dapat menemukan solusi yang pas dalam menangani perkelahian antar kelompok. Banyak fakta yang memperlihatkan mereka yang kemudian direhabilitasi justru keluar kembali sebagai penyakit di masyarakatnya. Solusi kemudian tidak menyentuh lingkungan pelaku tapi masih bersifat personall dan cenderung lebih sulit untuk dikontrol pelaksanaanya. 139 Makassar menjadi salah satu ikon kekerasan di kota ini dan pemerintah setidaknya tidak lagi menerapkan cara penanggulangan yang bersifat personal. Namun melihat konflik antar kelompok sebagai buah sosial yang menyimpang. Pemerintah kota Makassar yang telah mengupayakan beberapa cara, baru mulai terlihat upayanya di tahun 2010 yang fokus pada perkelahian antar kelompok. Beberapa data sudah mulai dimunculkan walaupun masih sangat lemah dalam prose pengolahan. Beberapa tempat yang menjadi langganan konflik sama sekali tidak mendapatkan perhatian lebih untuk dilihat faktor penyebab atau lingkungan yang membangun konflik di tempat tersebut. Kecamatan Makassar dan Kecamatan Panakukang hampir dalam setahun tidak lebih dari tiga kunjungan oleh instansi pemerintah menyambangi dua kecamatan ini. Selain itu koordinasi antara instansi di tingkatan kota yang mengurusi perkelahian antar kelompok masih sangat renggang. Kepolisian masih menjadi sentrum penyelesaian persoalan yang justru masih bersifat personal seperti yang dikritik oleh penulis. Solusi yang bersifat sosiologis yang dijewantahkan dalam bentuk kebijakan pemberdayaan masyarakat kota seharusnya telah dipertimbangkan sebaik mungkin. Diantara kelebihan dari peran pemerintah dalam menangani persoalan perkelahian antar kelompok dari segi basis data yang mulai 140 terlihat maju. Dalam analisa penulis pada bab sebelumnya ditemukan beberapa program yang tidak maksimal karena hanya bersifat seremonial dan bersifat personal. Dari segi program seperti yang disebut diatas juga tidak lepas dari koordinasi yang sangat minim dari beberapa lembaga yang mengurusi perkelahian antar kelompok ini. Walaupun sebenarnya juga pemerintah kota terlihat menunggu persoalan membesar untuk kemudian ditangani dengan cara yang pasti bersifat represif karena desakan kejadian. V.II SARAN Terkait mengenai resolusi konflik dari kejadian yang sedang berlangsung maka penulis mengikutkan beberapa solusi dari penelusuran pustaka dan beberapa pengalaman resolusi konflik di beberapa tempat di Indonesia yang pertama itu: 1. Konsiliasi Resolusi ini terwujud dengan pelibatan lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan munculnya urung rembuk dalam pihak yang bertikai. Dimungkinkan dari sini akan terdapat pengambilan keputusan. Pemerintah kota atau setidaknya bagian terkecil hingga tingkatan tokoh masyarakat merupakan lembaga yang paling cocok untuk memainkan peran ini. 2. Mediasi 141 Pihak ketiga sebagai bagian yang melihat konflik dengan kaca mata berimbang sangat berguna untuk memunculkan win-win solution. Bentuk ini juga sebaiknya dimainkan oleh pemerintah kota tanpa harus memperlambat langkah dengan memainkan struktur pemerintahan terdekat dari wilayah konflik 3. Perwasitan Biasanya dilewati dengan jalur litigasi, tapi tidak menutup kemungkinan dengan melibatkan pihak yang sama sekali tidak memiliki kapasitas pelaksana hukum formal. Pada solusi ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untukmenerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang diantara mereka. Walaupun konflik telah berhasil diselesaikan ketika sebuah kejadian telah berlangsung, namun dalam analisa penulis konflik bermunculan dengan dipenuhinya empat faktor yang disebutkan pada BAB sebelumnya. Oleh karena itu faktor-faktor tersebut kiranya diretas dengan solusi tanpa harus menyentuh langsung konflik yang sedang terjadi karena secara tidak langsung itu telah menyentuk persoalan mendasar dari konflik. Konflik bisa diretas dengan menangani persoalan kemiskinan terlebih dahulu. Institusi seperti KESBANG dan Dinas Sosial tidak perlu menangani konflik secara langsung melainkan melakukan kerja sama dengan instansi lain untuk membuka jeratan kemiskinan dalam masyarakat. Berikut beberapa kekurangan menurut penulis yang dimiliki 142 oleh para pengambil kebijakan hari ini dan dari situ dijadikan acuan untuk memangkas konflik dari akarnya: 1. Minimnya basis data pemerintah Belum ada penelitian mendalam mengenai faktor-faktor terjadinya konflik, setidaknya data pemerintah tidak lagi hanya berisi jumlah perkelahian. Melainkan juga memiliki data mengenai daftar tokoh masyarakat yang biasa menangani konflik. 2. Minimnya tindakan preventif Pemerintah cenderung menunggu hingga masalah konflik meletus ditengah-tengah masyarakat. Untuk itu tindakan preventif sangat penting untuk mencegah kekerasan itu terjadi 3. Membuat pahaman yang membangun kebersamaaan tanpa sekat kelompok Yang perlu dipahami bahwa budaya adalah pertahanan terakhir masyarakat kita terhadap serangan modernisasi. Budaya siri’ perlu direvitalisasi untuk memaknainya kembali secara jernih. Pendidikan muatan lokal di sekolah-sekolah dan kampanye budaya sangat penting untuk membangun ikatan kekerabatan kita. 4. Meminimalisir angka kemiskinan Inilah faktor penting yang perlu diretas untuk mencegah perkelahian antar kelompok. Memperbaiki tata kota dengan mengatur pemukiman penduduk yang semrawut. Tentunya kemiskinan ataupun persoalan sosial yang lain tidak hanya bisa selesai bila melibatkan 1-2 instansi pemerintahan dalam arti luas termasuk tokoh masyarakat juga perlu 143 dilibatkan. Termasuk dengan dinas tata kota misalnya yang kemudian diharapkan mampu menciptakan suasana kota yang kondusif. 5. Membuat lapangan pekerjaan Tindakan kriminal terjadi karena tertutupnya akses terhadap mata pencaharian untuk bertahan hidup. Kiranya PEMKOT memperhatikan hal tersebut demi penciptaan lapangan kerja yang bisa disentuh oleh berbagai kalangan. 144 DAFTAR PUSTAKA Buku Althusser,Louis. Tentang Ideologi (Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies).Terjemahan Essay on Ideology 1984. Jalasutra.Yogyakarta Dom Helder. Spiral Kekerasan.Resist Book. Yogyakarta.2005 Froom, Akar Kekerasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008 Jacques, Jean Rousseau, Kontrak Sosial, Terjemahan Sumarjo, Erlangga, Jakarta. 1986 -------------. Kamus Bahasa Indonesia, DEPDIKBUD, 1996 Kartini,Kartono. Kenakalan Remaja (Patologi sosial 2). Rajawali Press. Jakarta.2010 Kencana,Inu. Ilmu Politik.Penerbit Rineka Cipta.Jakarta. 1997 Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi I, Rieneka Cipta, Jakarta, 2003 Lawang, Robert M Z. Pengantar Sosiologi, PT. Karunika Universitas terbuka, Jakarta, 1985 Lexy, J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991 ---------------. Makassar dalam Angka 2010 Ndraha,Talidziduhu. Kybernology 1 dan 2 (ilmu pemerintahan baru). Penerbit Rineka Cipta. 2000 ---------------. Petunjuk Teknis Penanganan Masalah Sosial Anak Nakal, DEPSOS RI, 1997 145 Rasyid, Ryas. Makna Pemerintahan ditinjau dari Segi Etika dan Kepemimpinan, PT. Yarsif Watampone Ritzer dan Goodman. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Jakarta. 2010 Sabari, Yunus. Manajemen Kota. Pustaka Pelajar.Yogyakarta.2008 Soekanto, Soerjono, Memperkenalkan Sosiologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1982 Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007 Suharto, Edy. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat; Refika Aditama. Bandung 2009. Sukriansyah S.Latif dan Tomi Lebang, Amuk Makassar, Institute studi arus informasi, Makassar, 1998 Sunardi, Keselamatan kapitalisme dan kekerasan, LKIS, Yogyakarta, 1996 Suryaningrat ,Bayu. Mengenal Ilmu Pemerintahan. PT.rineka Cipta.Jakarta.1992 Tadie, Jerome. Wilayah kekerasan Jakarta. Masup. Jakarta.2009 Wahid, Sugira. Manusia Makassar Artikel/Jurnal Budi Hardiman, Memahami akar-akar kekerasan massa, 28 Juli 2008 --------------. Warta Titian Damai, Februari 2009 Situs Situs resmi pemerintah kota Makassar Situs resmi POLRI 146 Peraturan/Perundang-undangan KEPMENSOS Nomor 25/huk/2003 Perda No. 3 tahun 2009 kota Makassar tentang kantor KESBANG Perda kota Makassar nomor 22 tahun 2005 tentang pembentukan susunan organisasi dan tata kerja dinas sosial kota Makassar. Undang-undang 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah 147 LAMPIRAN Lampiran I Peta Wilayah Kota Makassar 148 Lampiran II Panduan Wawancara Informan: Masyarakat I: penduduk sekitar 1. Apakah sampai sekarang perkelahian masih sering terjadi di tempat ini? 2. Jika masih, siapa saja dan berapa jumlah orang yang sering terlibat dalam perkelahian tersebut? 3. Dengan siapa saja perkelahian itu terjadi? 4. Atas dasar apa sebuah perkelahian biasa terjadi? 5. Apa saja yang digunakan bila perkelahian terjadi? 6. Berapa lama biasanya sebuah perkelahian itu berlangsung? 7. Bagaimana sebuah perkelahian itu berlangsung? 8. Siapa pemimpin dalam perkelahian tersebut? 9. Pernahkah ada upaya masyarakat untuk melerai perkelahian? 10. Kalau ada siapa dan bagaimana cara melerai perkelahian? 11. Pernahkah ada upaya untuk mencegah perkelahian? 12. Kalau ada siapa dan bagaimana upaya pencegahannya? 13. Pernahkah ada pejabat yang datang untuk melihat tempat ini? 14. Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah? 15. Apa harapan anda melihat kondisi yang anda lihat? Masyarakat II: pelaku 1. Dengan siapa perkelahian biasa anda lakukan? 2. Kelompok mana saja yang menjadi lawan dalam perkelahian? 3. Berapa kali anda ikut dalam perkelahian? 4. Benda apa saja yang digunakan dalam perkelahian? 5. Sampai sekarang sudah berapa jumlah korban dalam perkelahian di tempat ini? 6. Berapa lama biasanya anda melakukan perkelahian tersebut? 7. Alasan apa yang biasanya mendasari perkelahian tersebut? 8. Apakah ada upaya dari masyarakat sekitar untuk menghentikan perkelahian? 9. Pernahkah ada pejabat pemerintah yang datang ke tempat ini untuk menyelesaikan pertikaian? Masyarakat III: Pemerhati masalah kekerasan 1. Apa yang mendasari perkelahian antar kelompok biasa terjadi? 2. Dimana biasanya perkelahian berpotensi terjadi? 149 3. Siapa saja yang berpotensi melakukan tindak kekerasan seperti itu? 4. Mengapa kekerasan kolektif sering terjadi di kota Makassar? 5. Apakah budaya merupakan alasan kekerasan terjadi di kota Makassar? 6. Bagaimana cara untuk menghentikan tindak perkelahian tersebut? 7. Apa harapan anda melihat situasi ini di kota Makassar 8. Bagaimana seharusnya pemerintah bertindak? Informan: Kepolisian Reserse dan Kriminal 1. Apa saja peran kepolisian dalam menghadapi perkelahian antar kelompok? 2. Apakah ada kerja sama dengan pemerintah dalam menghadapi perkelahian antar kelompok? 3. Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dalam menangani persoalan ini? Informan: Pemerintah Kota dan DINSOS (Kantor KESBANG Kota Makassar) 1. Apa yang mendasari perkelahian antar kelompok terjadi? 2. Siapa saja yang biasa melakukan perkelahian tersebut? 3. Apa dampak perkelahian tersebut bagi pemerintah kota? 4. Apa upaya pemerintah untuk menangani persoalan tersebut? 5. Apa yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat sekitar? 6. Apakah ada perda mengenai kekerasan massa seperti itu?