04320080011 _Chapter2

advertisement
18
BAB II
KERANGKA BERPIKIR
2.1
Tinjauan Pustaka
Penelitian ini akan membahas dan memfokuskan pada analisa interaksi
antara pemerintah Yunani dan Uni Eropa sebagai organisasi regional dalam
mengatasi sovereign debt crisis yang terjadi di Yunani dan bagaimana implikasi
dari interaksi yang terjadi bagi Yunani, khususnya dalam aspek sosial, ekonomi,
dan politik. Dalam melakukan analisa, penulis mengambil beberapa buku, artikel,
dan jurnal sebagai sebagai bahan referensi dalam penelitian ini, yang antara lain
adalah:
Madhusudhanan S, “Greece Crisis and Euro Currency-An Analysis”, dalam
jurnal 2012 International Conference on Economics and Finance Research
IPEDR Vol.32, Singapore: IACSIT Press, 2012, hal. 70-73
Madhusudhanan menekankan bahwa interaksi yang terjadi antara Yunani
dan Uni Eropa untuk mengatasi krisis didasari pada kepentingan kedua aktor,
khususnya pada penekanan pilihan bagi Yunani untuk tetap bergabung dengan
Eurozone atau tidak. Meninggalkan Eurozone tentunya bukan pilihan yang baik
19
bagi Yunani. Yunani akan mengalami bank run1, karena investor dan nasabah
tidak ingin berakhir pada drachma yang terdevaluasi. Tentunya hal ini akan
semakin memperburuk kondisi krisis yang tengah terjadi. Bagi Uni Eropa sendiri,
apabila Yunani meninggalkan Eurozone, hal ini akan memicu negara-negara
anggota lain yang sedang mengalami krisis, seperti Irlandia, Portugal, Italia, dan
Spanyol akan mengikuti langkah Yunani. Hal ini menandakan negara-negara
anggota Uni Eropa melanggar komitmen mereka dan menandakan kegagalan dari
Economic and Monetary Union yang dibanggakan oleh Uni Eropa. Selain itu,
apabila Yunani meninggalkan Eurozone, tentunya hal ini akan merugikan Jerman,
sebagai negara pendiri dan pemain penting dalam Uni Eropa, yang merupakan
negara kreditur terbesar bagi Yunani. Kalau Yunani meninggalkan Eurozone dan
tidak membayar hutang-hutangnya, Jerman akan terancam kebangkrutan. Apabila
Jerman bangkrut, maka seluruh Uni Eropa akan terancam krisis.
Akan tetapi, apabila Yunani tidak meninggalkan Eurozone, Yunani sendiri
akan terus berlarut dalam krisis karena Yunani hanya dapat mengandalkan
kebijakan austerity dan bantuan finansial eksternal, khususnya dari Uni Eropa
untuk mengurangi dampak krisis. Yunani tidak bisa melakukan langkah lain,
seperti mendevaluasi Euro. Bagi Uni Eropa sendiri, apabila Yunani tetap
bergabung dengan Eurozone, krisis yang terjadi menyebabkan ketidakstabilan
nilai tukar Euro dan dampak dari krisis akan menyebar ke negara-negara anggota
Uni Eropa lainnya. Hal ini menjadi kedilemaan tersendiri pada interaksi antara
Yunani dan Uni Eropa untuk mengatasi krisis yang terjadi di Yunani.
1
Bank Run adalah kondisi dimana banyak nasabah yang menarik deposito dalam jumlah besar
yang dimiliki dari institusi finansial (bank) dalam waktu bersamaan yang akhirnya memicu
ketidakstabilan dan kebangkrutan dari institusi finansial tersebut
20
Zsolt Darvas, Jean Pisani-Ferry, dan André Sapir, “A Comprehensive
Approach To The Euro-Area Debt Crisis”, dalam jurnal The Bruegel Policy
Brief Series Issue 2011/02 February 2011, Brussels: Bruegel, 2011, hal. 1-8
Sovereign debt crisis yang terjadi di kawasan Uni Eropa masih terus
berlanjut, meskipun langkah-langkah signifikan telah dilakukan oleh Uni Eropa
sebagai organisasi regional untuk menyelesaikannya. Untuk menyelesaikan krisis
yang tengah terjadi, Uni Eropa telah memberlakukan mekanisme Euro-Area Crisis
dan telah memberikan bantuan finansial. European Central Bank sebagai institusi
perbankan Uni Eropa telah memberlakukan program pembayaran hutang dan
membantu likuiditas dari bank-bank di kawasan Uni Eropa. Akan tetapi langkah
tersebut masih belum berhasil.
Zsolt Darvas, Jean Pisani-Ferry, dan André Sapir menitikberatkan pada 3
hal yang menjadi faktor kurang efektifnya langkah-langkah yang telah diambil
Uni Eropa untuk menangani krisis. Pertama, Uni Eropa telah gagal untuk
menyadari kemungkinan dari krisis likuiditas yang tidak dapat diatasi. Kedua, Uni
Eropa telah gagal untuk mengkaitkan interdependensi antara perbankan dan
sovereign debt crisis yang tengah terjadi dan mengkaitkan sovereign debt crisis
yang tengah terjadi dengan interdependensi antar negara secara sistematis. Ketiga,
Uni Eropa dinilai lebih bertindak secara reaktif daripada bertindak secara proaktif,
sehingga akhirnya langkah-langkah yang diambil oleh Uni Eropa kurang tepat.
Negara-negara anggota Eurozone yang sedang terkena krisis, seperti
Yunani, Irlandia, Portugal, dan Spanyol, memiliki satu kesamaan hal, yaitu
21
negara-negara tersebut hidup dan melakuka pembelanjaan dari akumulasi hutang
publik dan atau hutang swasta dan memiliki defisit dalam jumlah yang besar.
Selain itu, nominal gaji juga lebih besar dari tingkat produktivitas tenaga
kerjanya, dibandingkan dengan negara-negara anggota Eurozone yang lain. Krisis
yang tengah terjadi di Yunani dinilai dapat memberikan efek contagion dan
spillover bagi negara-negara anggota Eurozone yang lain, dikarenakan kreditur
utama dari hutang Yunani adalah bank-bank dari negara anggota Eurozone yang
lain, khususnya Jerman dan Perancis. Melihat hal ini, Zsolt Darvas, Jean PisaniFerry, dan André Sapir mernarik kesimpulan bahwa Uni Eropa perlu menyiapkan
perencanaan komprehensif untuk mengembalikan kondisi sektor perbankan,
merevisi bantuan Uni Eropa, memfasilitasi dan merestukturisasi hutang publik,
dan
mendorong
penyesuaian
dan
pertumbuhan
dengan
memromosikan
konsolidasi anggaran dan kompetivitas yang memacu reformasi domestik.
Manos Matsaganis dan Chrysa Leventi, “The Distributional Impact of the
Crisis in Greece”, dalam jurnal The Greek Crisis in Focus: Austerity,
Recession and Paths to Recovery, Hellenic Observatory Papers on Greece and
Southeast Europe Special Issue July 2011, London: Hellenic Observatory
European Institute, The London School of Economics and Political Science,
2011, hal. 1-44
Manos Matsaganis dan Chrysa Leventi menitikberatkan pada pengaruh
interaksi antara pemerintah Yunani dan Uni Eropa dalam mengatasi krisis yang
terjadi di Yunani. Setelah pemerintah Yunani merasa tidak sanggup untuk
22
mengatasi krisis secara mandiri, pada tahun 2010, Yunani meminta bantuan
kepada Uni Eropa dan IMF. Uni Eropa, European Central Bank, dan IMF lalu
memberikan paket bantuan penyelamatan sebesar 110 milyar Euro kepada
Yunani. Sebagai timbal balik atas bantuan finansial yang diberikan, pemerintah
Yunani menandatangani Memorandum of Economic and Financial Policies untuk
jangka waktu pelaksanaan tiga tahun. Dengan ditandatanganinya memorandum
ini, Pemerintah Yunani menyatakan diri untuk berkomitmen untuk melakukan
pemotongan pengeluaran dan menaikkan pendapatan.
Dalam rangka memenuhi komitmennya, pemerintah Yunani memotong
pengeluaran sektor publik dan dana pensiun. Selain itu, dalam rangka reformasi
pajak, pemerintah Yunani memberlakukan beberapa pajak baru dan menaikkan
pajak nilai tambah. Manos Matsaganis dan Chrysa Leventi melihat bahwa krisis
yang terjadi dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah Yunani di bawah
Memorandum of Economic and Financial Policies menyebabkan menaikkan
tingkat kemiskinan dan kesenjangan di Yunani, serta memicu munculnya masalah
sosial lain di Yunani. Tidak hanya di sektor publik, akibat pemotongan
pengeluaran dan penaikkan pajak, sektor swasta juga melakukan pemangkasan
jumlah pegawai dan pemotongan gaji. Akibatnya, tingkat pengangguran di
Yunani bertambah. Dengan bertambahnya jumlah pengangguran, tingkat
kemiskinan di Yunani naik.
23
Jung-In Jo, “The Link Between Domestic Political Institutions and Asian
Financial Crisis” dalam jurnal Asian Perspective, Vol. 30, No. 2, 2006, hal.
127-145
Jung-In Jo menjelaskan bahwa krisis yang terjadi di suatu negara bukan
hanya disebabkan oleh mekanisme pasar, namun juga dapat dipengaruhi faktor
lain. Salah satu faktor lain tersebut adalah keberadaan institusi politik domestik.
Sebagai contoh, krisis finansial yang terjadi Asia antara lain diakibatkan oleh
mekanisme ekonomi internasional, institusi finansial yang dianggap kurang
berkembang, dan implementasi dari structural adjustment policies. Kebijakan
akan stabilisasi ekonomi akan berpengaruh langsung terhadap kondisi ekonomi
suatu negara, dimana kebijakan tersebut dikeluarkan oleh institusi yang ada. Ada
tiga pertanyaan utama yang diangkat, yaitu apakah tipe rezim berpengaruh
terhadap terjadinya krisis, apakah polarisasi partai politik berpengaruh terhadap
terjadinya krisis, dan apakah pembuatan kebijakan merupakan kunci dari
kemunculan krisis ekonomi.
Jung-In Jo menarik kesimpulan bahwa tipe rezim sangat berpengaruh pada
terjadinya krisis di suatu negara. Negara dengan sistem pemerintahan yang
otoriter lebih rentan terkena krisis ekonomi jika dibandingkan dengan negara yang
menganut sistem demokrasi yang memiliki tingkat check and balances yang
tinggi serta sistem partai yang terpolarisasi. Selain itu, jumlah pembuat kebijakan
dianggap tidak signifikan dalam kemunculan krisis, karena eksistensi dari
pembuat kebijakan tergantung pada rezim yang ada di suatu negara.
24
Menurut Jung-In Jo, kerentanan dalam krisis finansial Asia disebabkan oleh
rendahnya tingkat demokrasi di negara-negara Asia yang membuat adanya
ketidakleluasaan aktor ekonomi dalam melakukan kegiatan ekonomi, meskipun
para aktor ekonomi masih bisa mengakses pasar finansial secara bebas. Selain itu,
Institusi politik sangat berpengaruh terhadap kemunculan krisis ekonomi, namun
yang paling mempengaruhi insitusi tersebut adalah nilai-nilai yang dijalankan,
dimana nilai-nilai tersebut akan menentukan perumusan kebijakan.
Dari tinjauan pustaka ini, penulis ingin membandingkan dengan sovereign
debt crisis yang terjadi di Yunani. Penulis ingin membandingkan apakah
keberadaan rezim berpengaruh dalama mengatasi sovereign debt crisis yang
terjadi. Rezim yang ingin dianalisa dalam penelitian ini adalah rezim pemerintah
Yunani yang sedang berkuasa sebagai rezim domestik dan Uni Eropa sebagai
rezim regional.
Opa Kajimpanga, “Governance and Promotion of Human Rights in
International Cooperation”, dalam Judith Randel, Tony German, dan
Deborah Ewing (ed.), The Reality of Aid 2004, An Independent Review of
Poverty Reduction and Development Assistance, London: Zed Books, 2004,
hal. 40-42
Buku ini banyak menganalisa dampak dari pemberian bantuan internasional
bersyarat khususnya dalam pembangunan ekonomi negara resipien. Opa
Kajimpanga mengambil studi kasus dampak dari pemberlakuan Structural
Adjustment Participatory Review Initiative (SAPRI) oleh World Bank dan IMF di
25
negara-negara Afrika. Pemberlakuan SAPRI justru membuat negara-negara di
Afrika
semakin
miskin,
karena
adanya
liberalisasi
perdagangan
yang
diberlakukan. Pelaku ekonomi di Afrika belum mampu bersaing dalam
lingkungan perdagangan global, sehingga memunculkan persaingan tidak
sempurna. Selain itu, liberalisasi perdagangan disertai dengan manipulasi harga
oleh perusahaan internasional besar, sehingga akhirnya perusahaan internasional
yang memonopoli pasar. Akibatnya, perusahaan domestik dan wirausaha lokal di
Afrika mengalami kebangkrutan. Hal ini tentu juga berdampak pada semakin
naiknya tingkat pengangguran di Afrika akibat banyak perusahaan yang harus
memangkas jumlah tenaga kerja secara massal untuk mengurangi pengeluaran.
Akan tetapi, negara tidak dapat mengintervensi karena pemerintah sudah
berkomitmen untuk menaati kebijakan yang ditetapkan oleh World Bank dan IMF
sebagai timbal balik atas bantuan yang diberikan. Liberalisasi yang muncul akibat
pemberlakuan structural adjustment program telah memperlemah peran negara
sebagai institusi akibat melemahnya kontrol dari pemerintah. Selain itu,
privatisasi sebagai bentuk lain pemberlakuan structural adjustment program juga
telah membuat aset Afrika berkurang. Contohnya, di Uganda perusahaan asing
menguasai 75% dari total aset melalu privatisasi, sehingga yang semakin kaya dan
sejahtera adalah perusahaan asing, bukan masyarakat Uganda.
Dari tinjauan pustaka ini, penulis ingin membandingkan analisa dampak
yang terjadi akibat pemberlakuan kebijakan austerity di Yunani sebagai timbal
balik dari pemerintah Yunani atas bantuan bailout yang diberikan oleh Uni Eropa
kepada pemerintah Yunani sebagai bentuk interaksi untuk mengatasi sovereign
26
debt crisis yang terjadi. Penulis berusaha menganlisa sejauh mana implikasi dari
terjadinya interaksi antara pemerintah Yunani dan Uni Eropa sebagai organisasi
regional untuk mengatasi sovereign debt crisis bagi aspek kehidupan sosial dan
ekonomi Yunani.
2.2
Kerangka Konseptual
Dalam menyusun penelitian, tentunya tidak luput dari penggunaan teori dan
konsep yang menunjang. Dalam penelitian ini akan ada teori dan konsep-konsep
yang berfungsi sebagai landasan berpikir, yang antara lain adalah:
2.2.1 Teori Neoliberalisme
Neoliberalisme merupakan suatu kerangka teori yang terdiri dari teori
ekonomi dan politik, khususnya dalam memposisikan kebijakan negara.
Neoliberalisme adalah teori pertama dari praktik ekonomi dan politik yang
mengajukan kesejahteraan individu dapat paling baik dicapai melalui
memberikan
kebebasan
dan
melatih
keterampilan
individu
untuk
berwirausaha dalam suatu kerangka institusional yang terkarakterisasi
dengan pengakuan yang kuat atas hak kekayaan sektor privat, pasar bebas,
dan perdagangan bebas.2 Teori neoliberal mengklaim bahwa sistem kapitalis
yang tidak teregulasi, dalam hal ini ekonomi pasar bebas, tidak hanya
menekankan pada kebebasan individu, tapi juga untuk berusaha mencapai
2
2
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism, New York: Oxford University Press, 2005, hal.
27
performa ekonomi yang optimal yang menghargai efisiensi, pertumbuhan
ekonomi, kemajuan teknis, dan pemerataan distribusi. Dalam konteks
internasional, neoliberalisme menekankan pada pergerakan bebas lintas
batas nasional dari barang, jasa, kapital, dan uang. Oleh karena itu, menurut
kaum neoliberalis, perushaan, perbankan, dan investor sebaiknya bebas
untuk memindahkan aset dan bebas untuk medapatkan aset melewati lintas
batas negara.3 Peran negara dalam hal ekonomi sangat terbatas, misalnya
untuk mendefinisikan hak kekayaan intelektual, menegakkan hukum, dan
meregulasi suplai uang yang beredar di masyarakat.
Neoliberalisme sangat mendukung pembebasan sektor perekonomian
dari cmpur tangan negara. Selain itu, menurut teori neoliberalisme,
intervensi institusi liberal internasional dapat memengaruhi pengambilan
kebijakan suatu rezim pemerintahan dalam hal politik. Bagi para penganut
neoliberalis supremasi hak-hak sektor privat dan proses percepatan
deregulasi dan privatisasi adalah tujuan utama.4 Kebijakan-kebijakan
ekonomi yang ditetapkan suatu negara dilakukan untuk mencapai tujuantujuan tersebut. Tujuan-tujuan lain di luar ekonomi tidak dianaktirikan, tapi
digunakan dan disesuaikan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Hak
3
David M. Kotz, “Globalization and Neoliberalism”, artikel dalam jurnal Rethinking Marxism,
Volume 12, Number 2, Summer 2002, hal. 64-65
4
Jonas Sjöstedt, “The Lisbon Treaty – Centralization and Neoliberalism”, dalam Röda EU-Tema
number 10, Brussels: Gauche Unitaire Europeenne/Nordic Green Left, 2007, hal. 19
28
sosial dan politik masyarakat akan tererosi sebagai dampak dari privatisasi,
serta korporasi dan kapital akan menjadi lebih dominan.5
2.2.2 Interest
Dalam
setiap
proses
pembuatan
kebijakan,
motif
mengejar
kepentingan atau interest dimiliki oleh para aktor adalah faktor yang paling
memengaruhi. Di tingkat nasional, kepentingan sendiri terdiri dari berbagai
macam aspek, seperti ekonomi, politik, pembangunan, budaya dan berbagai
macam aspek lainnya. Berdasarkan cakupan dan aktornya, kepentingan
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu national security interests, organizational
interests, dan domestic politics and presidential interests. National security
interests adalah kepentingan-kepentingan nasional suatu negara yang
didasarkan pada gambaran yang sama terhadap kondisi global yang dimiliki
oleh seluruh pembuat kebijakan nasional dan disesuaikan dengan kondisi
dalam negeri. National security interests akan memengaruhi kebijakan luar
negeri dan posisi suatu negara dalam menghadapi isu global. Organizational
interests adalah kepentingan-kepentingan dari suatu organisasi internasional
yang
termanifetasi
dari
kepentingan-kepentingan
nasional
negara
anggotanya dan tercermin dari tujuan, peran, dan tindakan yang diambil
oleh organisasi tersebut. Domestics politics and presidential interests adalah
kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh pemimpin negara atau rezim
yang tengah berkuasa di suatu negara. Domestics politics and presidential
5
Timothy L. Misir, “The Struggle Against Neoliberal Austerity And The Survival Of The
European Project” dalam Working Paper No. 4 November 2011, Singapore: European Union
Centre in Singapore, 2011, hal. 5
29
interests mengkaitkan relasi antara pemimpin negara dengan aktor-aktor
pembuat kebijakan politik domestik yang lain.6 Menurut Donald E.
Nuechterlein, ada empat konsep dasar kepentingan nasional yang dianut
suatu negara, yaitu kepentingan pertahanan, kepentingan ekonomi,
kepentingan tatanan internasional, dan kepentingan ideologi.7 Kepentingan
pertahanan (defense interest) merupakan kepentingan negara yang
menyangkut perlindungan terhadap warga negaranya dan sistem politiknya
dari ancaman negara lain baik berupa intervensi maupun propaganda.
Kepentingan ekonomi (economic interest) merupakan kepentingan negara
dalam
rangka
memenuhi
kebutuhan
ekonomi
dan
meningkatkan
perekonomian negara melalui hubungan ekonomi dan pembangunan dengan
negara lain. Kepentingan tatanan internasional (world order interest)
merupakan kepentingan negara untuk mempertahankan atau mewujudkan
sistem politik dan ekonomi yang menguntungkan bagi negaranya.
Kepentingan ideologi (ideological interest) merupakan kepentingan negara
untuk mempertahankan atau melindungi negaranya dari ancaman ideologi
negara lain.
6
Morton H. Halperin, Priscilla A. Clapp, dan Arnold Kanter, Bureaucratic Politics and Foreign
Policy Second Edition, Washington, D.C: Brookings Institution Press, 2006, hal. 9-63
7
Donald E Nuechterlein, National Interest and Foreign Policy Formulation, diakses dari
http://donaldnuechterlein.com/2000/major.html pada 23 September 2012
30
2.2.3 Kebijakan
Untuk mencapai kepentingannya, maka negara atau aktor lain
menciptakan dan mengimplementasikan kebijakan sebagai instrumen untuk
memenuhi
kepentingan
dan
kebutuhannya.
Dilihat
dari
cakupan
pengimplementasiannya, kebijakan suatu negara dibagi menjadi dua, yaitu
kebijakan dalam negeri atau yang lebih dikenal dengan kebijakan domestik
dan kebijakan luar negeri. Untuk mengimplementasikan kebijakan yang
dibuat, negra menciptakan berbagai organisasi struktural dan menciptakan
hubungan fungsional antar organisasi. Kebijakan luar negeri yang diambil
oleh suatu negara dapat diimplementasikan melalui membangun kerja sama
dengan negara lain atau bergabung dengan organisasi internasional.8 Dilihat
dari pembagian fokus aturannya, baik kebijakan domestik maupun luar
negeri, dapat meliputi kebijakan ekonomi, pertahanan, sosial, dan lainnya. Kebijakan ekonomi dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu kebijakan
moneter dan fiskal. Kebijakan moneter didefinisikan sebagai kebijakan bank
sentral ataupun badan lain dengan mandat yang serupa dalam mengatur
tingkat dan suplai uang sehingga dapat mempengaruhi tingkat suku bunga.9
Kebijakan moneter, sesuai dengan fungsi dari bank sentral, harus dapat
mengontrol stabilitas finansial dengan mengontrol tingkat inflasi. Tugas dari
kebijakan moneter adalah membantu kondisi finansial yang kondusif bagi
kebutuhan ekonomi dan mendukung kebijakan pembelanjaan yang dapat
8
Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse, International Relations 8th Edition, New York:
Pearson Longman, 2009, hal. 85
9
Monetary Policy, diakses dari http://www.investopedia.com/terms/m/monetarypolicy pada 23
September 2012
31
memaksimalisasi
tenaga
kerja
dan
pertumbuhan
ekonomi
yang
berkelanjutan tanpa inflasi.10 Sangat penting untuk menstimulasi keinginan
berspekulasi tanpa menghasilkan spekulasi yang berlebihan dan disinilah
kebijakan moneter berperan. Menurut Karl R. Boop, pengukuran terhadap
pengaruh kebijakan moneter bank sentral dapat dilihat dari kemampuan
bank sentral untuk menyesuaikan “term of credit” dengan jumlah yang
dibutuhkan di masyarakat.11 Dilema dalam kebijakan moneter sendiri
seringkali menyangkut pergolakannya dengan kebijakan lain. Saat bank
sentral melihat tanda akan kemunculan krisis, maka bank sentral harus
mengambil kebijakan moneter yang terkadang tidak sesuai dengan prioritas
ekonomi negara saat itu. Hal-hal seperti inilah yang seringkali membuat
kebijakan moneter menjadi gagal dan justru memicu krisis. Sementara itu,
kebijakan fiskal adalah kebijakan mengenai pengeluaran dan pembelanjaan
pemerintah, baik alokasi maupun pendanannya. Kebijakan fiskal seringkali
terkait juga dengan kebijakan pajak. Keduanya harus memiliki koordinasi
yang seimbang sehingga dapat menghasilkan kebijakan yang sempurna.
Misalnya, tingkat suku bunga harus disesuaikan dengan tingkat pajak
sehingga terjadi keseimbangan antara uang yang berada di pemerintah
dengan uang yang beredar di masyarakat. 10
C. Canby Balderstone, “Fiscal and Monetary Policy”, dalam The ANNALS of the American
Academy of Political and Social Science, 2004, hal. 78
11
Ibid.
32
2.2.4 Kerjasama Internasional
Kerjasama internasional merupakan bentuk pengejewantahan dari
hubungan antar para aktor hubungan internasional yang bersifat mutual.
Secara umum, tujuan dari kerjasama internasional adalah untuk memperkuat
hubungan suatu negara dengan negara lainnya demi tercapainya
kepentingan nasional negara tersebut, tanpa harus menggunakan kekerasan
atau use of force.12 Untuk mencapai kepentingannya, para aktor hubungan
internasional,
khususnya
negara,
tidak
bisa
hanya
mengandalkan
kemampuannya sendiri. Keberadaan aktor lain yang dapat membantu
pemenuhan kepentingannya sangat lah dibutuhkan. Hal ini lah yang
mendorong aktor hubungan internasional untuk mengadakan kerjasama. Bentuk kerjasama internasional dibagi menjadi dua, yaitu kerjasama
bilateral dan multilateral. Kerjasama bilateral adalah kerjasama yang
dilakukan oleh dua aktor hubungan internasional. Kerjasama multirateral
adalah kerjasama yang dilakukan oleh lebih dari dua aktor hubungan
internasional, dalam konteks negara, biasanya menyangkut banyak negara.13
2.2.5 Organisasi Internasional
Ketika norma tidak mampu menyelesaikan dilema internasional dan
mencapai simbiosis mutual, kehadiran institusi, yang berbentuk organisasi
12
Sally
Marks
dan
Chas.
W.
Freeman,
Jr.,
Diplomacy,
diakses
dari
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/164602/diplomacy/233733/Nature-and-purpose pada
23 September 2012
13
Multilateral Cooperation, diakses dari http://www.commed-cglu.org/spip.php?rubrique37 pada
23 September 2012
33
internasional, memegang peranan penting, karena kehadiran institusi
tentunya kongkrit tidak seperti norma yang sifatnya intangible dan adanya
suatu struktur dengan fungsi tertentu.
Dalam pengertian secara umum, istilah organisasi internasional
merujuk pada suatu persekutuan atau organisasi, baik yang dibentuk oleh
negara-negara maupun yang didirikan oleh pihak-pihak swasta antar
bangsa.14 Organisasi internasional dapat berbentuk Inter-Governmental
Organizations (IGOs) dan Non-Governmental Organizations (NGOs).15
Beberapa organisasi internasional ada yang memiliki tujuan yang sifatnya
lebih umum, namun ada juga yang memiliki tujuan spesifik untuk mengatasi
isu-isu tertentu. Namun, tujuan yang spesifik tersebut tidak menutup
kemungkinan bagi organisasi internasional untuk bekerja sama melewati
batas-batas isu dengan aktor hubungan internasional lainnya. Organisasi
internasional
adalah
menyelesaikan
wujud
permasalahan
dari
komitmen
internasional,
negara-negara
mengantisipasi
untuk
ancaman
internasional, dan bekerjasama untuk mencapai kepentingan nasional
masing-masing.
2.2.6 Integrasi Kawasan
Untuk menciptakan stabilitas keamanan politik dan ekonomi di
kawasan serta untuk memfasilitasi kerjasama regional dan membantu
negara-negara mengatasi masalah regional, negara-negara sepakat untuk
14
15
Jusuf Badri, Bekal Akhir Calon Diplomat, Jakarta: Restu Agung, 2008, hal. 2
Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse, Op.Cit., hlm. 236
34
menciptakan suatu integrasi kawasan. Integrasi kawasan dapat dipahami
sebagai perpindahan bentuk kerjasama antar negara dalam satu kawasan dari
tingkat permukaan menuju tingkat kerjasama yang lebih dalam lagi. Secara
luas, bentuk integrasi kawasan dapat dibagi menjadi dua, yaitu integrasi
kawasan yang menekankan pada perpindahan bebas barang dan jasa,
sekaligus faktor produksi antar negara anggota, dan integrasi kawasan yang
menekankan pada perdagangan bebas dan perpindahan faktor produksi,
sehingga mendorong terciptanya kerjasama dalam penerapan kebijakan
moneter dan fiskal.16 Ada beberapa tahapan integrasi kawasan, yaitu17:
a)
Preferential Trading Agreements
Preferential trading agreements merupakan tahapan integrasi dimana
negara-negara yang terlibat sepakat untuk mengurangi hambatan
perdagangan
di
antara
mereka,
dan
masing-masing
negara
menciptakan level hambatan yang semakin tinggi bagi barang dan jasa
yang diimpor dari negara di luar keanggotaan perjanjian.
b)
Free Trade Area
Free trade area merupakan tahapan integrasi dimana negara-negara
yang terlibat sepakat untuk menghilangkan seluruh hambatan tarif dan
non-tarif dalam perdagangan, dan masing-masing negara menciptakan
level hambatan yang semakin tinggi bagi barang dan jasa yang
diimpor dari negara di luar keanggotaan perjanjian.
c)
Custom Union
16
John S. Hodgson dan Mark G. Herander, International Economic Relations, New Jersey:
Prentice-Hall, 1983, hal. 279
17
Ibid., hal. 280
35
Custom union merupakan tahapan dimana negara-negara selain
sepakat untuk menghilangkan seluruh hambatan tarif dan non-tarif
dalam perdagangan, negara-negara yang terlibat juga sepakat untuk
memberlakukan sistem hambatan tunggal atau tarif eksternal bagi
seluruh barang dan jasa yang diimpor dari negara di luar negara
anggota custom union yang bersangkutan.
d)
Common Market
Common market merupakan tahapan lanjutan dari custom union.
Selain menghilangkan seluruh hambatan tarif dan non-tarif dalam
perdagangan dan
mengenakan tarif eksternal bagi seluruh barang
impor yang berasal dari negara di luar anggota, dalam common
market, negara-negara yang terlibat juga sepakat untuk menciptakan
suatu jalur pergerakan bebas untuk sumber daya, tenaga kerja, kapital,
dan faktor produksi lainnya lintas negara anggota.
e)
Monetary Union
Pada tahapan integrasi ini, negara-negara anggota yang terlibat
sepakat untuk menciptakan fixed exchange rates antar mata uang
negara anggota dan adanya harmonisasi dalam kebijakan moneter dan
fiskal.
f)
Economic Union
Economic union merupakan tahapan lebih lanjut dari proses integrasi
Kerjasama yang terbangun sudah melebihi aspek-aspek yang terdapat
di monetary union. Pada tahapan ini, negara-negara anggota economic
36
union sepakat untuk meciptakan suatu entitas supremasi tunggal
sebagai pembuat kebijakan untuk merepresentasikan seluruh negaranegara anggota dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini
menunjukkan
bahwa
negara-negara
anggota
sepakat
untuk
menciptakan sistem perbankan dan moneter tunggal, kebijakan fiskal
dan moneter yang terintegrasi, serta menciptakan badan pemerintahan
untuk menciptakan dan mengimplementasikan kebijakan
bagi
seluruh
negara
anggota.
Bentuk
ekonomi
pengejewantahan
dari
terbentuknya economic union adalah negara-negara anggota sepakat
untuk menggunakan suatu mata uang tunggal dan mendirikan suatu
bank sentral tunggal di dalam kawasan, meskipun bank sentral
nasional masing-masing negara tetap dipertahankan.
g)
Political Union
Political union adalah tahapan akhir dari proses integrasi kawasan.
Apabila suatu kawasan telah berhasil melakukan integrasi Political
Union, maka akan terbentuk lah suatu pemerintahan bersama di
kawasan tersebut, yang tidak hanya menyangkut aspek ekonomi,
namun juga menyangkut aspek politik dan lainnya. Keberadaan
pemerintahan bersama di kawasan ini tetap tidak akan menghilangkan
kedaulatan masing-masing negara.
Untuk semakin menjelaskan perbedaan antara tahapan integrasi
kawasan, berikut dapat dilihat melalui tabel 2.1 di bawah.
37
Tabel 2.1. Tahapan Integrasi Kawasan dan Karakteristiknya
Tahapan Integrasi
Karakteristik
Preferen
-tial
Trading
Agreements
Free
Trade
Areas
Cus- Com- Mone- Econo- Politoms
mon
tary
mic
tical
Union Market Union Union Union
Pengurangan Hambatan
V
V
V
V
V
V
V
Perdagangan
Penghilangan Hambatan
V
V
V
V
V
V
Perdagangan
Sistem hambatan yang
sama bagi perdagangan
V
V
V
V
V
di luar negara anggota
Pergerakan bebas dari
V
V
V
V
faktor produksi
Harmonisasi Kebijakan
Moneter dan Fiskal (dan
V
V
V
Fixed Exchange Rates)
Otoritas sentral yang
mengintegrasi kebijakan
V
V
moneter dan fiskal
Sistem
pemerintahan
bersama
di
luar
V
kebijakan ekonomi
Sumber: John S. Hodgson dan Mark G. Herander, International Economic Relations
2.2.7 Economic and Monetary Union
Economic and Monetary Union (EMU) dapat dipandang sebagai
kerangka intergovernmental dimana kebijakan ekonomi dan akuntabilitas
politik dipisahkan, dengan tujuan membuat pemerintah lebih responsif
terhadap tekanan pasar.18 Perkembangan ekonomi menuntut lingkungan
yang terpusat pada pasar serta fleksibiltas dari pasar tenaga kerja,
privatisasi, dan perusahaan sebagai norma. Efisiensi dan maksimalisasi
profit menjadi faktor pendorong proses legislasi, sehingga terkadang
hilangnya kontrol demokrasi menjadi hasil dari EMU. Selain Eurozone,
bentuk-bentuk lain dari EMU yang ada di dunia antara lain adalah West
18
Timothy L. Misir, “The Struggle Against Neoliberal Austerity And The Survival Of The
European Project” dalam Working Paper No. 4 November 2011, Singapore: European Union
Centre in Singapore, 2011, hal. 5
38
African Economic and Monetary Union (UEMOA) dan Eastern Caribbean
Currency Union.19 Secara umum, ada beberapa prasyarat keberadaan EMU
pada suatu regional, yaitu mobilitas tenaga kerja, keterbukaan dengan
modal, fleksibilitas upah dan harga, mekanisme transfer fiskal, siklus bisnis
yang sama, struktur ekonomi yang sama, dan pasar barang yang
terintegrasi.20
EMU terbentuk melalui beberapa fase. Fase-fase yang dialami suatu
negara dalam pembentukan EMU antara lain adalah21:
a)
Kedaulatan penuh terhadap ekonomi dan moneter
Pada fase ini, di suatu negara yang memegang kontrol penuh
terhadap kebijakan moneternya, bank sentral, baik independen
maupun dikontrol oleh pemerintah, memiliki otoritas untuk
menentukan tingkat suku bunga, melakukan devaluasi mata
uang, dan mencetak uang. Pemerintah dan bank sentral negara
tersebut
masih
memiliki
otoritas
terhadap
cakupan
perekonomian yang lebih luas.
b)
Bergabung dengan blok perdagangan atau pasar tunggal
Ketika negara tersebut memutuskan untuk bergabung dengan
blok perdagangan atau pasar tunggal, maka negara tersebut
harus
siap
kehilangan
beberapa
otoritasnya
terhadap
perekonomian untuk mendahulukan kepentingan perdagangan.
19
Stephen Clarke dan Claire Daley, “Theory Behind The Eurozone”, dalam The Eurozone Crisis,
London: CIVITAS Institute for the Study of Civil Society, 2010, hal. 7
20
Ibid., hal. 10-11
21
Ibid., hal. 7
39
Otoritas-otoritas negara yang hilang antara lain adalah
menentukan tarif ekpor dan impor, meregulasi produk, dan
mengatur pergerakan bebas dari barang dan jasa.
c)
Inkorporasi menjadi EMU
Untuk berpindah dari fase pasar tunggal ke fase EMU yang
terintegrasi penuh, otoritas moneter harus ditransformasikan dari
level nasional ke level supranasional, sehingga penyeragaman
kebijakan moneter dapat diterapkan ke seluruh negara anggota.
Dengan menjadi anggota EMU, suatu negara harus siap untuk
mengadopsi mata uang tunggal dan menyerahkan otoritas
penuhnya terhadap kebijakan moneter, misalnya otoritas untuk
mengatur tingkat suku bunga. Selain kehilangan kontrol atas
kebijakan perdagangan dan moneter, dengan menjadi bagian
dari EMU, negara anggota harus siap menyerahkan otoritas
ekonominya kepada organ supranasional, misalnya bank sentral
tunggal. Dalam EMU, bank sentral berfungsi untuk menetapkan
tingkat
suku
bunga,
menentukan
jumlah
uang
dalam
perekonomian, dan memiliki hak tunggal untuk memberikan
pinjaman kepada negara anggota.
Untuk menilai keberadaan EMU, khususnya dalam hal pengadopsian
mata uang tunggal, dapat digunakan teori Optimum Currency Area (OCA)
yang dipaparkan oleh Mundell. Mundell berpendapat bahwa Optimum
Currency Area dapat dicapai apabila negara-negara anggota di area tersebut
40
memperoleh keuntungan lebih besar dari mengadopsi mata uang tunggal
daripada kerugian akibat kehilangan kebebasan ekonomi dan moneter.
Menurut Mundell, penerapan mata uang tunggal harus diiringi dengan
peningkatan faktor mobilitas, dalam hal ini pergerakan bebas dari barang,
kapital, dan sumber daya manusia.22
Keberadaan EMU tentunya memberikan keuntungan tersendiri bagi
negara-negara anggotanya. Keuntungan dari adanya EMU antara lain
adalah23:
a)
Penyeragaman suku bunga (interest rates)
Aliran mata uang di dalam wilayah EMU tidak akan dipengaruhi
oleh tingkat suku bunga yang berbeda dari mata uang negara
yang berbeda. Untuk menarik investasi dibutuhkan tingkat suku
bunga yang rendah. Dengan adanya penyeragaman tingkat suku
bunga, maka akan memromosikan investasi di seluruh wilayah
EMU.
b)
Berkurangnya biaya transaksi dan hilangnya fluktuasi nilai tukar
Di dalam suatu EMU, untuk menukar mata uang tidak
dibutuhkan biaya. Dengan berkurangnya biaya, tentunya hal ini
akan membantu bisnis tumbuh subur. Salah satu resiko dari
melakukan perdagangan antar negara adalah adanya perubahan
dalam nilai tukar yang tidak dapat diprediksi. Maka, hilangnya
22
Robert A. Mundell, “Theory of Optimum Currency Areas”, dalam The American Economic
Review, Vol. 51, No. 4, American Economic Association, 1961, hal. 661
23
Stephen Clarke dan Claire Daley, Op.Cit., hal. 8-9
41
fluktuasi nilai tukar dalam EMU tentunya dapat memromosikan
perdagangan antar negara.
c)
Integrasi finansial
Terbentuknya
EMU
akan
mengurangi
biaya
untuk
mengintegrasikan bisnis bagi perusahaan yang beroperasi lintas
negara di dalam area EMU.
d)
Berakhirnya spekulasi dan devaluasi yang kompetitif
Spekulasi tentunya membahayakan mata uang karena biasanya
spekulasi yang ada menimbulkan kepanikan di pasar modal dan
akhirnya membuat nilai mata uang tersebut turun drastis.
Spekulasi mata uang akan berakhir dengan diterapkannya suatu
mata uang tunggal. Devaluasi yang kompetitif berbahaya
apabila devaluasi yang dilakukan suatu negara akhirnya
menciptakan gelombang devaluasi ke banyak negara lain. Baik
spekulasi dan devaluasi yang kompetitif dapat memicu
terjadinya inflasi, membuat suatu mata uang bernilai rendah, dan
menyebabkan harga barang dan aset menjadi naik.
e)
Melindungi ekonomi dari instabilitas politik domestik
Permasalahan-permasalahan yang muncul akibat kondisi politik
domestik di negara dengan sistem politik yang lemah dan tidak
stabil sering kali memicu jatuhnya perekonomian negara.
Pendirian EMU akan mampu mengintegrasikan kelemahankelemahan politik domestik ke dalam suatu integrasi ekonomi
42
yang lebih luas, sehingga dapat melindungi perekonomian
domestik dari dampak negatif perubahan politik.
Selain memberikan keuntungan bagi negara-negara anggotanya,
keberadaan EMU ternyata juga dapat memberikan kerugian. Kerugian dari
bergabung dengan EMU bagi suatu negara antara lain adalah24:
a)
Hilangnya otoritas untuk melakukan devaluasi
Apabila
suatu
negara
kehilangan
otoritasnya
untuk
mendevaluasi mata uangnya, hal ini akan berdampak pada
menurunnya kemampuan negara untuk merespon permasalahan
ekonomi. Hilangnya otoritas untuk menentukan tingkat suku
bunga dan mengontrol suplai uang. Misalnya, ketika suatu
negara sedang mengalami resesi, negara tersebut tidak akan
dapat melakukan kebijakan devaluasi mata uang. Padahal
devaluasi mata uang dibutuhkan untuk mendorong ekspor
negara tersebut. Dengan devaluasi, maka harga barang yang
dieskpor oleh negara tersebut akan lebih murah dari negara lain,
sehingga permintaan akan barang dari negara itu akan
meningkat. Meningkatnya jumlah ekspor dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
b)
Hilangnya otoritas untuk menentukan tingkat suku bunga dan
mengontrol suplai uang
24
Ibid., hal. 9-10
43
Memiliki kemampuan untuk menentukan tingkat suku bunga
dan mengontrol suplai uang dapat membuat negara mengontrol
tingkat inflasi. Inflasi dapat dikurangi dengan menaikkan tingkat
suku bunga dan membatasi jumlah suplai uang. Begitu pun
sebaiknya,
untuk
mendorong
inflasi,
pemerintah
dapat
menurunkan tingkat suku bunga dan memperbanyak suplai
uang. Dengan menaikkan suku bunga, maka akan mendorong
masyarakat untuk mengurangi pinjaman dan lebih banyak
menabung. Hal ini perlu dilakukan negara ketika jumlah hutang
swasta berlebih. Selain itu, dengan kemampuan mengontrol
tingkat suku bunga, pemerintah dapat mengontrol tingkat tenaga
kerja. Dengan menurunkan tingkat suku bunga, maka dapat
mendorong pelaku bisnis untuk meminjam uang, sehingga bisnis
tersebut dapat mempekerjakan lebih banyak orang. Hal ini
tentunya akan mengurangi tingkat pengangguran di negara
tersebut.
Selain itu dengan bergabung menjadi anggota EMU, suatu negara
dapat kehilangan instrumen kebijakan ekonomi lain selain tingkat suku
bunga dan nilai tukar. Negara akan kehilangan kapasitas untuk menerbitkan
hutang dalam mata uang sendiri dan mengontrol penuh hutang tersebut.
Akibatnya, bank sentral negara tersebut tidak dapat mengatur likuiditas
untuk melindungi negara dari ketidakmampuan untuk membayar hutang
apabila sudah memiliki defisit anggaran yang tinggi. Akibatnya negara-
44
negara anggota EMU akan lebih rentan terhadap deflasi, tingkat suku bunga
yang tinggi, tingkat defisit anggaran yang tinggi, dan krisis perbankan.25
Selain itu, pembentukan EMU dapat mendorong terjadinya trade diversion.
Trade diversion adalah pergeseran pola perdagangan internasional dari
suatu negara importir ke negara importir lainnya dengan tujuan
mendapatkan harga termurah.26 Trade diversion dapat mendorong negara
yang tadinya tidak efisien dalam produksi dan mengekspor untuk menjadi
lebih efisien, akan tetapi di satu sisi trade diversion juga dapat merugikan
negara yang efisien dalam produksi dan ekspor karena adanya penghilangan
tarif dan pemberlakuan pembatasan kuota.27 Hal ini dapat terjadi karena
adanya kepentingan suatu negara anggota EMU untuk meningkatkan ekspor
dari produk yang memiliki competitive advantage. Perpindahan bebas
sumber daya manusia juga bisa menjadi ancaman bagi suatu negara.
Mobilitas tenaga kerja yang tinggi dapat mendorong tingkat imigrasi,
akhirnya negara dibanjiri oleh jumlah tenaga kerja asing yang tinggi.
Banyaknya jumlah tenaga kerja asing ini dapat mendorong unemployment
dari warga negara asli negara tersebut.28
25
Paul De Grauwe, The Governance of A Fragile Eurozone, Leuven: University of Leuven, 2011,
hal. 27.
26
Trade Diversion, diakses dari http://www.businessdictionary.com/definition/tradediversion.html pada 23 Januari 2013 27
Trade
Creation
and
Trade
Diversion,
diakses
dari
http://economicsonline.co.uk/Global_economics/Trade_creation.html pada 23 Januari 2013 28
Panos C. Afxentiou, “Convergence, The Maastricht Criteria, and Their Benefits”, dalam The
Brown Journal 250 of World Affairs Winter/Spring 2000 – Volume VII, Issue 1, 2000, hal. 250
45
2.2.8 Government Budget
Anggaran pemerintah dapat dikatakan mencapai surplus adalah ketika
pemerintah mendapatkan lebih banyak pendapatan melalui pajak daripada
jumlah pengeluaran, sedangkan anggaran pemerintah dapat dikatakan
mengalami defisit adalah ketika pemerintah menghabiskan pengeluaran
lebih banyak dari jumlah pendapatan melalui pajak.29
Balance of Payments (BOP) adalah metode yang digunakan negara
untuk memonitor semua transaksi moneter internasional pada periode waktu
tertentu. Biasanya, BOP dapat dikalkukasi setiap kuartil dan setiap
tahunnya. Semua transaksi, baik sektor publik dan privat dihitung dalam
BOP untuk menentukan berapa banyak uang yang masuk dan keluar dari
negara tersebut. Ketika negara mendapat uang, maka transaksi tersebut
dinamakan kredit. Ketika negara membayar atau mengeluarkan uang, maka
transaksi tersebut dinamakan debit.30
Pemerintah harus mampu menjaga keseimbangan BOP dengan
menjaga tingkat surplus dan defisit negara. Akan tetapi hal ini tidak berarti
keseimbangan perdagangan (trade balance) baik dan ketidakseimbangan
perdagangan (trade imbalance) buruk, atau pun sebaliknya. Untuk
mengidentifikasi apakah keseimbangan perdagangan, surplus atau defisit,
baik atau tidak maka harus melihat kondisi negara. Ketidakseimbangan dan
memiliki defisit baik bagi suatu negara ketika hal tersebut muncul akibat
29
Michael Parkin, Economics 8th Edition, Boston: Pearson Education, 2008, hal. 474
What
is
The
Balance
of
Payments?,
diakses
http://www.investopedia.com/articles/03/060403.asp#axzz2Ix6X65fv pada 25 Januari 2013 30
dari
46
pengembangan infrastruktur dan peningkatan standar hidup masyarakat.
Sebaliknya, memiliki surplus baik bagi suatu negara untuk menutupi hutang
publik.31
Defisit anggaran menimpa suatu negara ketika negara tersebut
memiliki jumlah impor yang lebih banyak dibanding jumlah yang
diekspor.32 Selain itu, defisit dapat terjadi karena kurang baiknya
manajemen anggaran fiskal yang dilakukan pemerintah, dimana jumlah
pengeluaran publik (dana pensiun dan dana sosial lainnya, pembiayaan
pegawai publik, dan lainnya) lebih besar dari jumlah pendapatan publik
(pajak). Defisit sangat berbahaya untuk suatu negara. Untuk menutupi
defisit, maka suatu negara perlu berhutang. Besarnya defisit menyebabkan
naiknya tingkat suku bunga, menambah jumlah hutang negara, dan memicu
inflasi. Apabila defisit yang terjadi tidak menyebabkan naiknya tingkat suku
bunga dan memicu inflasi, setidaknya defisit yang terjadi akan
memengaruhi kepercayaan investor untuk berinvestasi di negara tersebut
dan memengaruhi kegiatan bisnis dalam negeri.33
2.2.9 Hutang Luar Negeri
Alasan mendasar suatu negara memiliki hutang luar negeri atau
foreign debt adalah dikarenakan defisit perdagangan atau trade deficit.
Dalam neraca pembayaran, defisit yang disebabkan oleh perdagangan harus
31
Stephen Clarke dan Claire Daley, Op.Cit., hal. 15
Michael Parkin, Op.Cit., hal. 474-475
33
Robert Pollin, “Austerity is Not A Solution: Why The Deficit Hawks are Wrong”, dalam
Forthcoming in Challenge, November/December 2010, Amherst: Political Economy Research
Institute (PERI) University of Massachusetts, 2010, hal. 2
32
47
dibenahi. Oleh karena itu, negara berhutang untuk menutupi kekurangan
yang disebabkan oleh defisit perdagangan.34 Secara harafiah, hutang dapat
didefinisikan sebagai keseluruhan total dari jumlah yang dipinjam. Hutang
merupakan total dari jumlah defisit yang dialami di masa lampau dikurangi
jumlah surplus yang dialami di masa lampau.35 Hutang yang dimiliki oleh
pemerintah suatu negara sering disebut national debt atau public debt,
sedangkan hutang yang dimiliki oleh institusi non-pemerintah di suatu
negara disebut private debt. Menurut Dewan Uni Eropa, definisi public debt
adalah jumlah hutang kotor pemerintah yang terkonsolidasi pada nominal
tertentu setiap akhir tahun. Pemerintah yang dimaksud mencakup
pemerintah pusat, pemerintah negara bagian, pemerintah lokal, dan dana
keamanaan sosial.36
Untuk
membayar
hutang,
suatu
negara
perlu
menciptakan
pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan lebih memperbanyak
melakukan ekspor dibanding impor. Apabila perekonomian tumbuh subur,
maka negara tersebut bisa menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan
untuk membayar pinjaman. Selain itu, salah satu cara untuk menutup hutang
adalah dengan melakukan pinjaman lain. Namun, suatu negara tidak bisa
secara sembarang dan terus menerus melakukan pinjaman. Apabila
perekonomian sehat, maka negara dapat melakukan pinjaman dari negara
lain, bank, atau perusahaan untuk menutup hutang dan menciptakan
pertumbuhan ekonomi, hasil dari pertumbuhan ekonomi bisa digunakan
34
Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse, Op.Cit., hal. 331
Michael Parkin., Op.Cit., hal 475
36
European Council, Council Regulation 479/2009
35
48
untuk membayar pinjaman di kemudian hari. Namun, apabila keadaan
ekonomi terus memburuk dan tidak adanya pertumbuhan ekonomi, maka
akumulasi hutang negara akan semakin terpuruk dan akhirnya negara akan
semakin dalam jatuh ke lubang hutang. Jangan kan sanggup membayar
hutang yang dipinjam, negara tersebut akan semakin terpuruk dengan
jumlah bunga pinjaman yang harus dibayarkan. Apabila akumulasi hutang
sudah berada di luar kapabilitas negara untuk membayar, maka hal yang
biasa dilakukan adalah menjual aset negara, seperti obligasi atau aset negara
lainnya, seperti pabrik, pesawat, fasilitas militer, dan lainnya.37 Selain itu,
kesulitan membayar hutang juga akan membuat negara semakin sulit ketika
ingin melakukan pinjaman di kemudian hari.
a.
Sovereign Debt
Sovereign debt dapat didefinisikan sebagai jumlah uang yang
dipinjam oleh suatu negara kepada pemegang obligasinya.38 Sovereign
debt merupakan akumulasi hutang yang dipinjam suatu pemerintah
berdaulat dari kreditur-kreditur. Sovereign debt adalah salah satu fitur
yang dimiliki pemerintah dalam hal pembiayaan publik yang telah
digunakan selama berabad-abad di seluruh dunia.39 Sebagai contoh, di
Amerika Serikat sovereign debt dikeluarkan oleh Department of
Treasuries dan obligasinya disebut treasuries, baik itu treasury notes,
37
Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse, Op.Cit., hal. 330
Sovereign Debt, diakses dari http://www.investinganswers.com/financial-dictionary/debtbankruptcy/sovereign-debt-1185 pada 23 Januari 2013
39
Suhail Abboushi, Analysis and Outlook of the Greek Financial Crisis, Pennsylvania: Duquesne
University, 2011, hal. 1
38
49
treasury bonds, treasury bills yang perbedaannya terletak pada jangka
waktu penerbitan.
Ketika suatu negara memerlukan uang, ada dua pilihan yang
dapat dilakukan, yaitu menaikkan pajak atau menerbitkan surat
hutang. Ketika obligasi negara tersebut dibeli, berarti negara tersebut
telah berhutang kepada pihak yang membeli obligasi. Hutang
pemerintah juga dapat digunakan untuk mengakselerasi maupun
mendeakselerasi perekonomian. Dalam kebijakan moneter ekspansif,
bank sentral berusaha meningkatkan pengeluaran dan peminjaman
melalui menginjeksi lebih banyak uang ke dalam perekonomian.
Dalam kebijakan kontraktif, bank sentral berusaha menekan
pertumbuhan ekonomi melalui penjualan obligasi yang dapat
membawa kas keluar dari sirkulasi. 40 Akan tetapi, karena tidak semua
negara stabil, maka negara dengan inflasi yang tinggi atau yang
memiliki nilai tukar yang tidak stabil sering menerbitkan instrumen
hutang dengan menawarkan bunga yang tinggi untuk menarik
investor. Akan tetapi, apabila suatu negara berhutang terlalu banyak
dan tidak mampu untuk membayar kembali sekuritasnya, maka negara
tersebut terancam akan mengalami default atau yang akan memicu
terjadinya sovereign debt crisis. Sovereign debt menjadi krisis ketika
pemerintah negara debitur menyadari bahwa negaranya tidak memiliki
40
Sovereign Debt, diakses dari http://www.investinganswers.com/financial-dictionary/debtbankruptcy/sovereign-debt-1185 pada 23 Januari 2013
50
likuiditas finansial untuk membayar hutang beserta bungannya tepat
waktu.41
2.2.10
Sovereign Debt Crisis
Secara historis, krisis finansial cenderung mengarah pada kemerosotan
ekonomi yang tajam, pendapatan negara yang rendah, defisit negara yang
semakin meningkat, tingkat hutang yang semakin tinggi, dan akhirnya
mendorong negara ke jurang default42. Hal ini lah yang disebut dengan
sovereign debt crisis. Default yang menimpa suatu negara tentunya berbeda
dari default yang menimpa sektor privat, dan tentunya akan lebih kompleks.
Petama, ketika mengalami kebangkrutan, entitas berdaulat seperti negara
tentunya tidak bisa dibubarkan. Kedua, ketika mengalami kebangkrutan,
suatu negara tidak bisa dipaksa untuk melikuidasikan aset-asetnya. Ketiga,
ketika mengalami kebangkrutan, kreditur dari negara tersebut tidak bisa
mengakusisi negara tersebut. Selain itu, mengkurasi suatu pemerintah
berdaulat dari negara yang mengalami kebangkrutan adalah hal yang
mustahil, karena bertentangan dengan prinsip demokrasi.43
Oleh karena itu, sovereign debt crisis adalah suatu isu yang sangat
kompleks, karena yang memiliki kepentingan untuk memulihkan ekonomi
untuk bisa keluar dari kondisi krisis bukan hanya negara debitur saja,
41
Suhail Abboushi, Op.Cit., hal. 1
Default adalah suatu kondisi ketika negara menyatakan tidak mampu lagi untuk melakukan
pembayaran atas pinjaman yang sudah ada termasuk membayar bunga dari pinjaman yang ada.
43
Francois Gianviti, Anne O Krueger, Jean Pisani-Ferry, dkk, “A European Mechanism for
Sovereign Debt Crisis Resolution: A Proposal”, dalam Bruegel Blueprint Series volume X,
Brussels: Bruegel, 2010, hal. 23.
42
51
melainkan juga kreditur. Oleh karena itu, ketika suatu negara mengalami
default, maka pihak debitur dan kreditur harus bernegosiasi untuk
merestrukturasi hutang, misalnya dalam bentuk mengubah jadwal
pembayaran hutang, mengurangi suku bunga, menukar hutang dengan
ekuitas (debt-equity swaps), dan ketentuan-ketentuan lain sesuai dengan
kesepakatan antara debitur dan kreditur.44
2.2.11
Stabilitas Finansial
Sejauh ini, tidak ada definisi universal untuk menjelaskan stabilitas
finansial. Setiap bank sentral negara-negara memiliki definisi masingmasing untuk mendefinisikan stabilitas finansial, meskipun secara umum
setiap definisi mengandung komponen-komponen yang sama dengan
definisi lainnya. Menurut ECB, stabilitas finansial adalah kondisi dimana
sistem finansial yang mencakup lembaga keuangan atau perbankan, pasar,
dan infrastruktur pasar mampu bertahan dari adanya guncangan dan
ketidakseimbangan finansial, sehingga dapat mencegah kemungkinan akan
gangguan-gangguan dalam aktivitas finansial yang dapat mempengaruhi
alokasi simpanan terhadap peluang investasi secara signifikan.45
Selain itu untuk mendefinisikan stabilitas finansial dapat melalui
unsur keberadaan instabilitas finansial. Menurut Roger Ferguson, salah satu
anggota Dewan Gubernur dari The Fed, stabilitas finansial dapat
didefinisikan dengan mendefinisikan instabilitas finansial, dimana terdapat
44
Suhail Abboushi, Op.Cit., hal.1.
Abayomi A. Alawode dan Mohammed Al Sadek, “What is Financial Stability?”, artikel dalam
Financial Stability Paper Series No.1/March 2008, Bahrain: Central Bank of Bahrain, 2008, hal. 5
45
52
tiga kriteria akan instabilitas finansial yaitu harga aset keuangan telah
melenceng jauh dari fundamental, serta fungsi pasar dan ketersediaan kredit,
baik domestik maupun internasional, mengalami distorsi, sehingga
menyebabkan penyimpangan pengeluaran ekonomi secara agregat, baik
diatas maupun di bawah kemampuan ekonomi untuk berproduksi.
2.2.12
International Assistance
Bantuan internasional atau international assistance atau yang dikenal
juga dengan overseas development assistance adalah pemberian uang atau
bantuan
lain
yang
dapat
membantu
suatu
negara
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi atau secara sederhana dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya.46 Negara yang memberikan bantuan luar negeri dikenal dengan
nama degara donor, sedangkan negara yang menerima bantuan luar negeri
dikenal dengan nama negara resipien atau penerima. Selain itu, bantuan luar
negeri juga bisa diartikan sebagai transfer dari sumber daya (transfer of
resources) dari pendonor ke resipien.47
Pemberian bantuan internasional memiliki bentuk dan tujuan yang
berbeda-beda. Dilihat dari bentuknya, bantuan internasional bisa berupa
pemberian suntikan uang segar (fresh money), pembangunan infrastruktur,
pengiriman pangan, pemberian beasiswa kepada pelajar di negara
berkembang untuk mengenyam ilmu di negara maju, pemberian bantuan
militer, atau dalam bentuk pelaksanaan program sosial. Dilihat dari
46
47
Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse, Op. Cit., hlm. 484
Katie Willis, Theories and Practies of Development, New York: Routledge, 2006, hal. 45
53
tujuannya, pemberian bantuan internasional ada yang murni bertujuan untuk
membantu perekonomian, bertujuan sosial, bahkan bertujuan politik.
Pemberi bantuan internasional pun beragam, seperti negara, organisasi
internasional, seperti Uni Eropa, sebagai wujud bantuan kolektif dari
negara-negara, atau sektor privat, seperti perusahaan multinasional.
Umumnya, bantuan internasonal diberikan oleh negara maju ke negara
berkembang. Dilihat dari saluran pemberi bantuan, bantuan internasional
dapat dibagi menjadi bantuan bilateral dan bantuan multilateral. Bantuan
bilateral adalah bantuan yang diberikan dari suatu negara, biasanya negara
maju, ke negara lain, biasanya negara berkembang, sedangkan bantuan
multilateral adalah bantuan yang secara kolektif diberikan negara-negara ke
suatu negara berkembang.
Ada tiga model utama dalam pemberian bantuan internasional, yaitu
Disaster Relief Model, Handout Model, dan Oxfam Model.48 Disaster Relief
Model adalah bantuan jangka pendek yang diberikan kepada orang atau
negara yang terkena bencana kelaparan, kekeringan, gempa bumi, banjir,
dan bencana alam lainnya. Bantuan kepada korban perang pun digolongkan
juga ke dalam Disaster Relief Model. Handout Model adalah bantuan yang
diberikan untuk membantu suatu negara atau komunitas dalam suatu negara
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tanpa memikirkan dampak lebih luas
atau jangka panjangnya. Oxfam Model adalah bantuan yang diberikan tidak
hanya untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar, tapi juga membantu
48
Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse, Op. Cit., hal. 488.
54
penerima bantuan untuk mengembangkan kapasitasnya, sehingga di masa
mendatang penerima bantuan tidak lagi bergantung pada bantuan yang
diberikan.
Selain itu, bantuan internasional untuk pembangunan ekonomi dapat
dibagi menjadi beberapa katergori, yaitu grant, loans, credit, dan technical
cooperation.49 Grant merupakan bantuan dana yang diberikan oleh donor
kepada resipien secara cuma-cuma, tanpa persyaratan apapun. Loans
merupakan dana pinjaman yang diberikan oleh donor untuk perkembangan
ekonomi resipien dan resipien harus membayarkan kembali ke donor sesuai
dengan jangka waktu pengembalian dan suku bunga tertentu. Credit
merupakan bentuk bantuan yang bisa digunakan resipien untuk mencicil
pembelian produk tertentu yang diproduksi oleh donor dalam jangka waktu
panjang. Technical Cooperation merupakan bentuk bantuan yang diberikan
oleh donor berupa bantuan teknis non-uang dalam beberapa proyek
pembangunan ekonomi resipien di bidang tertentu.
a.
Debt Relief
Bentuk international assistance yang diangkat dalam penelitian
ini adalah debt relief. Ketika terjadinya krisis hutang yang
dindikasikan dengan absensi pertumbuhan ekonomi dan semakin
meningkatnya rasio hutang terhadap GDP, serta pasar modal
internasional tidak menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk
memitigasi biaya program untuk reformasi ekonomi yang sedang
49
Ibid., hal. 526-527.
55
berlangsung, salah satu cara suatu negara dapat keluar dari krisis
adalah dengan mendapatkan suntikan debt relief, atau bantuan
penyelamatan hutang. Debt relief diharapkan dapat mengurangi beban
negara debitur untuk membayar hutang dan mengurangi tingkat inflasi
yang
terjadi
akibat
krisis
hutang,
serta
dapat
menciptakan
pertumbuhan ekonomi untuk beberapa tahun ke depan di negara
debitur. Salah satu bentuk debt relief adalah dalam bentuk bailout.50
2.2.13
Structural Adjustment Program
Structural Adjustment Program (SAP) merujuk kepada program
ekonomi komprehensif yang diterapkan oleh institusi besar pemberi
pinjaman kepada negara berkembang. Seperangkat program tersebut
bertujuan
untuk
merestrukturisasi
kehidupan
perekonomian
negara
berkembang.51 SAP bersifat komprehensif karena dapat memengarus segala
hal, baik itu pengambilan kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh
pemerintah, kepemilikan bisnis, penentuan harga, dan aspek-aspek lainnya.
SAP adalah produk dari prinsip-prinsip pemikiran neoliberalis, yang
pertama kali dipraktikkan sekitar tahun 1970-1980an.52 SAP meyakini pasar
bebas
adalah
jalan
terbaik
untuk
mendorong
pembanungan
dan
kesejahteraan. Ada beberapa elemen yang dimasukkan dalam SAP, yaitu
50
Guillermo Ortiz, “Austerity Measures without Growth? Greece, Ireland and Latin America”,
dalam Think Tank 20: Beyond Macroeconomic Policy Coordination Discussions in the G-20,
Mexico City: National Association for Business Economics, 2011, hal. 57
51
Giles Mohan. “Structural Adjustment”, dalam Kitchin, R. dan Thrift, N (ed.), International
Encyclopedia of Human Geography. Oxford: Elsevier, hal. 1
52
Ibid., hal. 2
56
penghapusan hambatan tarif, promosi terhadap ekspor, devaluasi mata uang
nasional,
liberalisasi
finansial,
pencabutan
subsidi,
pengurangan
pengeluaran pemerintah, pemangkasan birokrasi, dan privatisasi.53 Elemenelemen ini dimasukkan dengan tujuan untuk menunjang kompetivitas dan
menciptakan efisiensi. Dalam hal liberalisasi finansial, SAP bertujuan untuk
mereformasi tingkat suku bunga, mempermudah aliran dana masuk dan
keluar, dan membuat kredit lebih mudah untuk diakses. Liberalisasi
perdagangan dilakukan untuk mendorong ekspor dan meningkatkan
kemampuan produsen dalam negeri untuk berkompetisi dengan produk
asing.
Privatisasi
dilakukan
untuk
meningkatkan
kompetivitas
perekonomian negara dan mengurangi inefisiensi kegiatan bisnis, melalui
menjual seluruh atau sebagian kepemilikan badan usaha milik negara ke
swasta. Pemangkasan anggaran sosial dan mengubah harga jasa pelayanan
publik dilakukan untuk menyeimbangkan anggaran pemerintah dan
menyisihkan dana untuk membayar hutang.54
Pemberlakuan SAP dapat memberikan dampak negatif dalam
beberapa aspek. Dalam aspek sosial, liberalisasi ekonomi yang terjadi dapat
memicu peningkatan pengangguran, mendorong job insecurity, membuat
harga barang dan jasa semakin naik, mengurangi tingkat pelayanan, dan
menyebabkan marginalisasi. Dampak negatif dari pemberlakukan SAP
secara sosial paling dirasakan oleh golongan masyarakat miskin dan rentan.
Dalam aspek politik, SAP mengerosi kedaulatan pemerintah dari negara
53
54
Ibid.,, hal. 4
Ibid.,, hal. 9
57
berkembang karena adanya pemerintah paralel yang secara tidak langsung
mengontrol negara tersebut.55 Kekuatan finansial yang dimiliki institusi
pemberi pinjaman menjadi pusat untuk membuat kebijakan di negara
berkembang dan menjadi media untuk melakukan intervensi.
2.2.14
Austerity Measures
Pada tahun 1980, respon pertama pada krisis hutang adalah
pengimplementasian program stabilisasi yang disponsori oleh IMF, atau
yang dikenal dengan IMF Stand-By Programs. Program ini membantu
negara debitur mendapatkan akses pembiayaan internasional untuk
membayar hutang yang sudah ada. Akan tetapi, sebagai imbal balik,
implementasi dari program ini harus diiringi dengan penyesuaian fiskal,
pengetatan kebijakan moneter, dan perampingan sektor publik, misalnya
dengan privatisasi badan usaha milik negara.56 Kebijakan yang harus
diambil oleh negara ini sering dikenal dengan kebijakan penghematan atau
austerity
(austerity
measures).
Austerity
measures
merupakan
pengejewantahan dari adanya SAP.
Austerity measures dapat berupa kombinasi dari berbagai instrumen
fiskal. Instrumen fiskal tersebut antara lain pengurangan jaminan sosial dan
dana pensiun, kenaikan pajak langsung dan kontribusi, kenaikan pajak-pajak
tidak langsung, pengurangan pada layanan publik yang memiliki dampak
tidak langsung pada kesejahteraan rumah tangga, pengurangan pada
55
56
Ibid.,, hal. 1
Guillermo Ortiz, Op. Cit., hal. 56
58
pengeluaran publik yang tidak dapat dialokasikan ke rumah tangga,
misalnya pengeluaran militer, kenaikan pajak yang tidak secara langsung
dialokasikan untuk rumah tangga, pemangkasan upah sektor publik, serta
pemangkasan pegawai sektor publik. 57
Secara harafiah kebijakan austerity dapat dikatakan sebagai tingginya
tingkat pengangguran dan pemotongan di sektor kesehatan, pendidikan,
pensiun, kesejahteraan publik, dan manfaat sosial lainnya.58 Salah satu
dampak dari diberlakukannya kebijkan austerity adalah meningginya tingkat
pengangguran, yang dapat dikategorikan sebagai cyclical unemployment.
Cyclical unemployment adalah pengangguran yang muncul akibat siklussiklus tertentu dalam perekonomian. Ketika perekonomian mengalami
resesi, maka tingkat pengangguran bertambah. Ketika perekonomian
mengalami ekspansi, maka tingkat pengangguran berkurang.59
Austerity measures sebenarnya adalah terminologi yang kompleks. Di
satu sisi, austerity bertujuan untuk mengurangi pengeluaran dan
meningkatkan pendapatan publik. Akan tetapi, di satu sisi austerity justru
dapat menjadi bumerang bagi kebijakan fiskal suatu negara dan
menyebabkan hal yang sebaliknya. Contohnya, pengurangan upah pegawai
sektor publik justru akan menyebabkan turunnya pajak pendapatan.60 Hasil
57
Tim Callan, dkk, “The Distributional Effects of Austerity Measures: A Comparison Of Six EU
Countries”, dalam EUROMOD Working Paper No. EM6/11, EUROMOD, 2011, hal. 4
58
Robert Pollin, Op. Cit., hal. 23
59
Robin Hahnel, The ABCs of Political Economy: A Modern Approach, London: Pluto Press,
2002, hal. 147
60
Tim Callan, Loc.Cit., hal. 4
59
keseluruhan dari implementasi austerity measures bergantung kembali pada
perilaku negara yang bersangkutan.
Bagan 2.1 Operasionalisasi Konsep
Interest Kebijakan Perspektif Ekonomi
Perspektif Politik
Kerjasama
Internasional Government Budget Organisasi
Internasional Defisit Anggaran
Integrasi Kawasan Hutang Luar Negeri Uni Eropa Efek Spillover dan Contagion
Sovereign Debt Crisis Stabilitas Finansial INTERAKSI International Assistance Fiscal Adjustment Austerity Measures IMPLIKASI Sumber: Penulis
Bagan 2.2 Model Analisis
Uni Eropa
Interests
Sovereign
Debt
Crisis
Yunani
Kerjasama
Internasio
nal
Yunani
Interaksi
Implikasi
bagi
Yunani
60
Sumber: Penulis
61
Tabel 2.2. Variabel Penelitian
Variabel
Interaksi
antara
Pemerintah
Yunani dan
Uni Eropa
Dependen
Implikasi
Interaksi bagi
Aspek Sosial
dan Ekonomi
Yunani
Implikasi
Interaksi bagi
Aspek Politik
Yunani
Pemerintah
Yunani
Intervening
Uni Eropa
Interests
Independen
Tekanan
Rezim yang
berkuasa
Sumber: Penulis
Kategori
Indikator
Berhasil
(Teratasinya Kondisi ekonomi
Sovereign Debt Crisis Yunani
yang sehat
beserta dampak negatifnya)
berdasarkan
Ketetapan
Gagal (Tidak Teratasinya
Sovereign Debt Crisis Yunani Maastricht Treaty
dan EMU
beserta dampak negatifnya)
Tingkat
Positif
kesejahteraan dan
tingkat
pengangguran
Negatif
masyarakat
Yunani
Positif
Hasil Pemilu
Yunani
Negatif
Capable
Incapable
Pertumbuhan
ekonomi
Stabilitas
Capable
finansial dan
integrasi ekonomi
Incapable
di kawasan Uni
Eropa
National Security Interests
Aktor yang paling
aktif terlibat dan
Organizational Interests
kebijakan yang
Domestic
Politics
and
terepresentasikan
Presidential Interests
Pro dan kontra
Tekanan Dalam Negeri
yang muncul
terhadap
Tekanan Luar Negeri
kebijakan yang
diambil
Pelaksaan
Euro-Skeptis
kebijakan sesuai
dengan aturan
Pro-Uni Eropa
dari Uni Eropa
Download