SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUNA/CAKALANG Dl SULAWESI UTARA: ANALISIS BIAYA' MANFAAT SOSIAL Budiman Hutabarat dan Bambang Sayakal ABSTRAK Makalah ini ditujukan untuk mengkaji keragaan dan sumbangan kegiatan perikanan tangkap terhadap perekonomian dan masyarakat Sulawesi Utara dengan melakukan analisis tujuan dan pasar ekspor, serta analisis daya saing dan mengkaji kendala pengembangan ekspornya. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 1999 sampai Maret 2000 dengan mengumpulkan data pdmer dan sekunder melalui wawancara kepada nelayan, juragan/pemilik kapal, pengolah/pengekspor ikan. Makalah ini menyimpulkan antara lain eksoor hasil perikanan Provinsi Sulawesi Utara didominasi oleh produk ikan beku, segar, kaleng, dan kering atau ikan kayu. Tujuan utama ekspor hasil perikanan Sulawesi utara terbatas pada enam negara di dunia yaitu Jepang, Amerika Serikat, lnggris, Korea, Filipina, dan Taiwan. Ekspor hasil perikanan Sulawesi Utara yang utama ke Jepang adalah tuna segar dan beku, tuna kaleng, ikan kering/kayu, layang beku; ke Amerika Serikat atau ke Inggris adalah tuna kaleng dan skipjack kaleng. Usaha penangkapan ikan di Sulawesi Utara sangat efisien jika dibandingkan dengan harga dunia. Efisiensi usaha atau nisbah biaya-manfaat sosial penangkapan ikan mencapai 64 persen Namun, meskipun keunggulan komparatif ini sangat nyata, keunggulan ini masih belum dapat ditingkatkan menjadi keunggulan kompetitif karena berbagai faKor antara lain, kapalt<apat yang beroperasi di perairan pantai kurang dari 12 mil sudah terlalu banyak, dan sistem tata niaga tidak kokoh. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah daerah Tingkat I Provinsi Sulawesi Utara perlu membuat rencana yang tersusun dengan baik, demikian pula pemerintah daerah tingkat ll untuk mewujudkan program otonomi daerah yang telah digulirkan pada waktu lalu. Bidang-bidang yang perlu mendapat perhatian adalah peningkatan sarana dan prasarana, insentif untuk investasi, dan insentif untuk pengembangan tujuan ekspor dan produk baru. Pada saat yang sama pengawasan yang ketat untuk pelanggar aturan dan penindakan pengusaha yang tidak memiliki izin harus ditempuh. Kata kuncij hasil peikanan, nilai ekspor, daya saing, keunggulan kompetitif. ABSTRACT The aim of the paper is to investigale performance and contribution of openaccess fisheies to the Sulawesi Utara economy and society through analyzing export destination and market, its comparative advantage and export development constraints The research was undertaken from July 1999 throughout Nilarch 2000 by collecting primary and secondary data through interview with fishers, boat or ship owners, fish processing plants and exporters. The paper concludes that the export of fish Products I Masing-masing adalah Staf Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekoomi Pertanian, Bogor. SUBSEKToR PERIKANAN OAN KEHANDALAN EKSPOR TUNA/CAMLANG Ol SULAWESIUTARA ANALISIS BfAYA-MANFMT SOSIAL Eudiman Hulabant ctan Bambang Sayaka I fc from Sulawesi Utara province is predominated in the form of frozen, fresh, canned, and dried ordehidrated. The major destination offish exports of Sulawesi Lftara are confined to six countries, that is Japan, Unites states, England, Korea, the Philippines, and Taiwan. The main products to Japan is fresh and frozen tuna, canned tuna, dried fish, frozen layang; to the United States or to England are canned tuna and canned skipjack. Open-access tisheries in Sulawesi Utara is signilicantly efficient, given world prices. lts social cost-benefit ratios is 0.64. Despite the comparative advantage, it is far out of competitive advantage, due to congested coastal fishing ground loose marketing system. The Sulawesi Utara local government as well as the district level governments are urged considering the importance of development in of granting investment incentives for new entraes and for expanding export products and market destination. Simultaneously imposing penalties for misconduct investors and establishing surveillance mechanism of to design a thorough plans by infrastructure networks, and the possibility industries and ocean water are necessary. Keywords; fish products, expoi values, comparative advantage, competitive advantage. PENDAHULUAN Secara tradisional hasil perikanan merupakan komoditas penghasil devisa terpenting selain hasil perkebunan dan kehutanan. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa hasil perikanan merupakan mata dagang ekspor andalan di seKor non-migas. Volume dan nilai ekspomya dari tahun ke tahun meningkat terus menerus. Nilai ekspor komoditas ikan tongkol atau tuna meningkat dari 37 juta dolar AS pada tahun 1981 menjadi 136 juta dolar AS pada tahun 1989 dan 381 juta dolarAS pada tahun 1997. Dengan demikian, nilai ekspomya meningkat lebih dari 10 kali lipat selama 16 tahun. Di pihak lain, volume ekspornya meningkat 38,7 ribu lon pada tahun 1981 menjadi 83,2 ribu ton pada tahun 1989 dan kemudian 369,3 ribu ton pada tahun 1997, sehingga telah terjadi peningkatan volume ekspor sebesar lebih dari kali lipat. Jadi peningkatan nilai ekspor ikan tongkol atau tuna meningkat dengan laju seimbang dengan peningkatan volume ekspomya. I Dalam upaya meningkatkan perolehan devisa dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani/nelayan dan memperoleh kesempatan kerja, pemerintah telah mencanangkan program peningkatan ekspor perikanan tahun 2003 (PROTEKAN 2003). Target yang ingin dicapai adalah sebesar 10 milyar dolar As pada tahun 2003. Namun, seiring dengan arus liberalisasi dan globalisasi pasar dunia, persaingan dalam pasar ekspor produk perikanan semakin kuat. Hal ini berkaitan dengan penerapan teknologi penangkapan dan budidaya yang semakin berkembang, serta munculnya negara eksportir baru yang menggunakan teknologi yang lebih canggih. Sulawesi Utara yang merupakan sentra produksi perikanan tangkap, memiliki sektor perikanan yang ternyata hanya menduduki peringkal ke liga terhadap PDRB, dibawah sub sektor perkebunan dan selama periode 1994-1997 JAE. Volume 19. No. 2. oktober 2001 : 75 - 97 /o sumbangan sub sektor perikanan relatif tidak berubah, yaitu antara 3,1 dan 3,2 persen. Sedangkan sumbangan sub sektor perkebunan berkisar antara 8,6 sampai 9,4 persen. Besarnya sumberdaya laut di Sulawesi Utara ternyata belum memberikan sumbangan yang optimal. Oleh karena itu sungguh menarik unluk mengetahui sumbangan kegiatan perikanan tangkap ini terhadap masyarakat yang menjadi fokus makalah ini. Untuk tujuan tersebut, analisis dalam makalah ini disusun sebagai berikut: pertama, menggambaftan profll subsektor perikanan Sulawesi Utara; kedua mengidentifikasi tujuan dan pasar ekspor tuna/cakalang; ketiga menganalisis daya saing ekspor tuna/cakalang dari Sulawesi Utara, yang mencakup keunggulan komparatif dan kompetilifnya di provinsi ini; dan keempat mengkaji kendala pengembangan ekspor hasil perikanan Sulawesi Utara. Dengan dasar analisis ini saran umum kebijakan yang berkaitan dengan pengembangannya daoat dirumuskan. METODE PENELITIAN Model Analisis Penelilian menggunakan gabungan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif serta dilengkapi dengan evaluasi krilis terhadap data dan informasi yang diamati dan dikumpulkan di lapangan untuk menjelaskan tu.iuan yang dikemukakan dalam makalah. Untuk melakukan analisis daya saing, khususnya keunggulan komparatif suatu kegialan ekonomi, telah banyak peneliti menggunakan metode analisis Biaya Sumberdaya Dalam Negeri (BSDN) (Domesfic Resource Costs=DRCr, yang dirumuskan oleh Bruno (dikutip oleh Masters dan Winter-Nelson '1995) dan Krueger (1966) secara bersamaan, dan selanjutnya dikembangkan unluk membentuk analisis Matriks Analisis Kebijakan (MAK) (Policy Analysis Matriks=PAM) (Monke dan Pearson (1989); Tsakok 1990). Metode BSDN dan MAK ini memang telah merupakan suatu altematif bagi model yang lebih kompleks yang membutuhkan data dan sumbedaya besar untuk membangun model lengkap penawaran, permintaan dan perdagangan. Akan tetapi, perhitungan BSDN langsung atau BSDN dari MAK juga mempunyai keterbalasan-keterbatasan Oower 1992) antara lain: bias terhadap kegiatan yang kurang menyumbang pada pertumbuhan ekonomi, dapal bernilai negatif, kurang tajam dalam pemeringkatan kegiatan. Keterbatasan-keterbatasan ini dapat diatasi dengan rumus alternatif, sehingga hasil BSDN dapat diperbaiki. Dalam tahap tertentu, peneliti sudah merasa cukup apabila mampu mencatat bahwa berbagai indikator memberikan kriteria yang sama untuk membedakan kegiatan yang memiliki keunggulan komparatif dan yang tidak (Scandizzo dan Bruce 1980), padahal para perumus kebrlakan sering SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUNA/CAKALANG OI SULAWESI UTARA: ANALISIS BIAYA-MANFAAT SOSIAL Bucliman Hutabaratdan Banbang Sayaka membutuhkan indikator untuk memberikan urutan peringkat berbagai kegiatan altematif atau untuk memutuskan satu kegiatan yang diinginkan. Untuk membandingkan berbagai pilihan yang mungkin dilakukan bagi kegiat- an pertanian, ukuran yang ideal adalah menghitung Keuntungan Sosial Bersih (KSB) dari setiap pilihan, sebagai berikut: KSB (Oo) = PoQo - PdOd - PtQt (1) dimana Qo, Qd, dan Qt masing-masing adalah jumlah keluaran , faKor domeslik, dan barang-barang yang dapat diperdagangkan, serta Po, Pd, dan Pt adalah harga-harga tandingan sosial (social oppoftunity cosfs) atau harga-harga bayangan yan0 terjadi. Namun, perbandingan KSB secilra langsung kurang bermakna' karena harus terikat pada satuan yang khas dengan pembilang (numeraire) fisik seperti rupiah per ha atau per ton keluaran. Hal ini tentu akan memberi kesulitan dalam membandingkan kegiatan yang berbeda. Oleh karena itu cara ini jarang digunakan di pertanian Oweeten 1986). Untuk mengtasi hal ini, dibentuklah suatu nisbah yang bebas satuan, dapai dalam bentuk BSDN atau B-MS (Biaya-Manfaat Sosiaf=socia/ Benefrt-costs) yang diturunkan dari persamaan (1), dengan memisahkan PdQd dan membagi kedua sisi dengan nilai tambah yang diperdagangkan, PoQo - PtQt, sehingga diperoleh: P.lr\.l PoQo - PtQt = 1- KSB(Qo) (2) PoQo - ftQt Bagian sebelah kiri persamaan (2) adalah nisbah BSDN. untuk memungkinkan terbentukPada awalnya indeks ini dinormalisasikan nya peringkat kegiatan tanpa perlu menduga nilai tukar bayangan mata uang, tetapi dalam prakteknya analisis BSDN selalu dilakukan dengan menghitung nilai tukar bayangan mata uang, sehingga semua biaya dikonversikan dalam mata uang yang sama. Dengan memanfaatkan nilai tukar bayangan mata uang, maka semua narga-harga dapat dikonversi ke dalam mata uang yang sama. Oleh karena itu persamaan (1) dapat pula dinormalisasikan dalam bentuk lain, yakni dengan membandingkan semua biaya dan semua manfaat ke dalam nisbah &MS. Caranya dengan memisahkan semua biaya ke sisi sebelah kiri persamaan (1) dan membagi kedua sisi dengan penerimaan PoQo, maka diperoleh (Masters dan Wnter-Nelson 1995): PdQd + PtQt KSB(oo) PoQo PoQo (3) JAE. Volume 19, No. 2, Oklober 2001 | 75 - 97 78 Bagian sebelah kiri persamaan (3) disebut nisbah B-MS. Apabila manfaat sosial bersih sama dengan nol, B-MS (dan BSDN) bernilai 1. Seperti halnya BSDN, kegiatan yang menguntungkan mempunyai B-MS antara 0 dan 1, dan kegiatan yang tidak menguntungkan memiliki nilai B-MS lebih besar dari 1. Namun, tidak seperti BSDN, B-MS tak mungkin bernilai negatif. Lebih penting lagi nilai ini tidak dipengaruhi oleh perbedaan pengelompokkan biaya seperti "yang dapat diperdagangkan" dan "yang tidak dapat diperdagangkan", merupakan aspek yang paling sulit diatasi secara empiris dalam analisis BSDN, terutama apabila masukannya adalah masukan antara seperti angkutan (Monke dan Pearson 1989). Indeks B-MS juga memberi hasil yang lebih konsisten daripada indeks BSDN. Data dan Responden Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Jenis responden mencakup juragan dan anak buah kapal penangkap ikan tuna/cakalang (di bawah 30 GT) dan pedagang pengumpul ikan. Disamping itu responden juga mencakup kalangan bukan nelayan yang mencakup petugaS.petugas PPI (Pelabuhan Pendaratan lkan), PP (Pelabuhan Perikanan), TPI (lempat Pelelangan lkan), Dinas Perikanan setempat, pedagang dan pengekspor, dan instansi pemerintah seperti Kantor Wilayah Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Koperasi, Laboratorium Uji Mutu Hasil Perikanan, dan Lembaga Penelitian. Tabel No. 1. Jenis dan Jumlah Responden di Sulawesi Utara, 1999 Jenis resoonden Anak Buah Kapal (ABK) Juragan/pemilik kapal Pedagang pengumpul 4. Industri pengolah/eksportir ikan tuna dan caKalang Jumlah Tk. 5. lnstansi Dinas Perikanan o. Koperasi BPP Jumlah 7. lo Kodya Manado Kab.Minahasa Kod.Gorontalo Kodya Manado Kab.Minahasa Kod.Gorontalo Kodya Manado Kab.Minahasa Kod.Gorontalo Kodya Bitung Kod. Gorontalo t& 16 15 5 5 5 4 2 2 4 J 4 tl Kodya Manado Kab.Minahasa Kod.Gorontalo Kecamatan SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUNIJCAKALANG DISULAWESI 85 UTAM: ANALlsls BfAYA-MANFAAT SOSIAL Eud,iratl Hutabant dan Bambang sayaka 79 Pemilihan responden dilakukan dengan menggunakan cara acak berlapis dengan jumlah 15 juragan kapal penangkap ikan di provinsi Sulawesi Utara. Lapisan'yang digunakan adalah jenis alat penangkapan ikan atau bobot mati peiahu motor/armada. Secara rinci jumlah dan jenis responden tertera pada iabel 1 . Untuk menerapkan analisis Biaya-Manfaat Sosial' dilakukan pemisahan biaya secara langsung dengan mendasartannya pada tabel Input-Output Ind-onesia 1995 yang diterbitkan BPS (BPS 1998). Meskipun penelitian dilakukan pada tahun 1999/2000 banyak koefisien dalam tabel l-o tersebut belum berubah. Untuk lebih rinci dapat dilihat pada lampiran (Lampiran Tabel 1). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Profil Subsektor Perikanan Sulawesi Utara Potensi Sumberdaya Gambaran umum perikanan Sulawesi Utara menunjukkan bahwa jenis yang ikan dominan adalah tuna, cakalang dan layang. Jenis-jenis ikan tersebut tersebar di 7 kabupaten, yaitu: Kabupaten Minahasa, Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Gorontalo dan Kodya Gorontalo, Kodya Bitung dan Kabupaten Sangir Talaud Oabel 2). lkan tuna dan cakalang relatif sudah dimanfaatkan dari seluruh wilayah perairan. Disamping itu ikan layang, kerapu, nener, lobster dan ikan hias juga sudah dimanfaalkan walaupun masih relatif sedikit. lkan layang diekspor dalam benluk beku lerutama digunakan unluk umpan oleh armada penangkap ikan asing. Tabel 2. Komoditas lkan Laut yang Dominan di Provinsi Sulawesi Utara, '1997 No. Kabupaten/Kodya Komoditas ikan yang Komoditas ikan Pd berkembang , Cakalang, Tuna, Layang, KeraPu KeraDu sudah 2. Kabupaten lvlinahasa Cakalang, Layang Cakalang, Layang, Tuna, Kerapu 3. Kabupaten Bolaang Tuna, cakalang, Layang Tuna, Layang, Lobster, Nener l\.4ongondow 4. Kabupaten Gorontalo Tuna, Cakalang, Layang, Cakalang, Layang, Kerapu, 5. Kodya Gorontalo 6. Kodya Bitung 7. Kabupaten Sangir Talaud Kerapu, Nener Tuna, Cakalang, Nener Cakalang, Layang, Kerapu, lkan Hias Cakalang, Layang, Kerapu, JAE. Volume 19. No. 2, Ohober 2001 : 75 - 97 80 Layang, Hias, Lobster Tuna, Nener, lkan Hias Cakalang, Layang, Tuna, Nener Cakalang, Tuna, Layang, Kerapu, Nener, lkan Hias Cakalang, Tuna, Layang, Kerapu, Lobster, Nener Berdasarkan perkiraan potensi lestari, hasil perikanan Sulawesi Utara masih cukup tinggi Oabel 3) dan tingkat pemanfaatannya masih rendah, yaitu 64 persen unluk perairan '12 mil dan 18 persen untuk ZEE (Tabel 4). Di tingkat nasional menurut Jusuf dkk. (1999) tingkat pemanfaalan tuna baru mencapai 58 persen. Masih terdapat kemungkinan untuk meningkatkan produksi tuna dan cakalang untuk mendukung kebuakan PROTEKAN 2003 atau kebi.iakan meningkatkan ekspor hasil perikanan tahun 2003. Peningkatan produksi terutama ditujukan di perairan ZEE yang tingkat pemanfaatannya masih relatif rendah. Selama ini perairan ZEE lebih banyak dimanfaatkan oleh armada perikanan asing dengan menggunakan kapal berukuran dan modal relatif besar, bahkan dengan pemasangan rumpon. Tabel 3. Prakiraan Potensi Lestari Pedkanan Sulawesi Utara (ton/ha), 1997 Jenis sumberdaya No. 1. Perairan Peratran zEE Demersal 30.800 Pelagis 61.500 165.200 Tuna 12.800 12.100 Cakalang 20.800 I 9.600 Sumber: Dinas Perikanan Sulawesi Utara (1997). Tabel 4. Tingkat Pengusahaan Penangkapan Hasil Perikanan Sulawesi Utara' 1994-1 995 No. Tingkat Pemanfaatan (%) Jenis perairan 1 1. 994 Perairan 12 mil OU Perairan ZEE 18 1995 64 '18 Sumber: Dinas Perikanan Sulawesi Utara, 1997 Sarana Penunjang Untuk dapat meningkatkan produksi perikanan khususnya tuna dan cakalang diperlukan dukungan berbagai macam program, fasilitas atau sarana penunjang, serta pengkajian yang mendalam. Adapun sarana berupa kapal/alat tangkap yang beroperasi di perairan Sulawesi Utara mencapai 26.411 buah yang terdiri dari kapal perikanan asing 225 buah, kapal perikanan lndonesia 6.147 buah, dan kapal atau perahu nelayan kecil. Armada tersebut didukung SUASEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUNTr'CAKALANG DI SULAWESIUTARA: ANALISIS BIAYA-MANFAAT SOSTAL Sudilnat Hartabaqtdan Bambang Sayaka 81 oleh.jumlah nelayan mencapai 73.350 dan tingkat produksi mencapai 80.448 ton di perairan 12 mil dan 35.900 untuk ZEE. Pangkalan kapal perikanan asing dipusatkan di Pelabuhan Bitung, sedangkan kapal perikanan Indonesia berpangkalan di beberapa daerah. Pelabuhan Pendarata-n lkan (PPl) lerdapat di Dagho (Sangihe Talaud) dengan luas darmag? 720 m', Tumumpa (Kodya Manado) 2 unil masing-masing 180 dan 320 m', Dodepo (Bolaang Mongondow) 180 m', Gorontalo (Kodya Gorontalo) 180 m', Kwandang (kabupaten Gorontalo), Belang (Minahasa) 240 m', dan Aertembaga (Bitung). Walaupun demikian tidak semua PPI tersebut berfungsi dengan baik. Misalnya, PPI Dodepo tidak digunakan lagi oleh nelayan setempat dan mereka kembali ke tempat pendaratan ikan semula yang lebih praktis walaupun arealnya lebih sempit, Kapal-kapal perikanan lndonesia jenis purse seine (pajeko) banyak berpangkalan di Kema (Kabupaten Minahasa). Jenis pole and line (funai) banyak berpangkalan di Pasar Sehati dan Bunaken (Kodya Manado) dan kapal longline (hand /r';4e) banyak berpangkalan di pelabuhan perikanan Gorontalo dan Bongo (Kodya Gorontalo). Untuk menguji produk perikanan olahan yang akan dieskpor, di Bitung terdapat Laboratorium Uji Mutu Hasil Perikanan Sulawesi Utara. Laboratorium ini menyediakan jasa bagi perusahaan yang akan mengekspor produk ikan dari Sulawesi Utara. Perusahaan yang dilayani bukan hanya perusahaan eksportir yang berdomisili di Sulawesi Utara, tetapi ada juga yang berdomisili di Jakarta dan Denpasar. Jenis ikan yang diuji antara lain ikan beku yang meliputi cakalang, cumi, gurita, hiu, ikan campuran, deho, demersal fillet, layang, tuna loin, tuna slice, dan tuna steak. Disamping itu, mereka juga menguji ikan kaleng, ikan kayu, deho segar, lobster segar, dan tuna segar. Walaupun demikian tidak semua produk ikan olahan yang diekspor diambil sampelnya untuk diuji, apalagi kalau pengolahan dilakukan ditengah laut. Hal ini terlihat dari perbedaan jumlah produk ikan yang dieskpor yang dicatat oleh Laboratorium Uji Mutu Hasil Perikanan dengan Kantor Wilayah Depa(emen Perindustrian dan Perdagangan. Pada tahun 1997 dan 1998 volume eskpor ikan yang dicatat oleh Kanwil Depperindag sebanyak 49.060 dan 79.493 ton, sedangkan yang dicatat oleh Laboratorium tersebut pada tahun yang sama hanya 16.155 dan 20.999 ton. Perbedaan ini antara lain disebabkan mendesaknya waktu antara pengapalan dengan pengambilan sampel untuk uji mulu. Penyebab lain adalah karena tidak adanya kewajiban yang diminta oleh pengusaha pengimpor di luar negeri unluk melampirkan sertifikat uji mutu bagi sebagian perusahaan eksportir di dalam negeri. Hal ini berpotensi untuk meng-under-estimate jumlah dan perolehan nilai ekspor dan menimbulkan kerugian negara. Sarana penunjang lain adalah perusahaan pengolah dan pengekspor hasil perikanan yang jumlahnya cepat meningkat, mencapai 29 buah Oabel 5) dibanding 4 buah pada tahun 1994 (PuMoto et a/., 1995), umumnya beroperasi atau berdomisili di Kodya Bitung dan Kodya Gorontalo. Bitung menjadi lokasi yang banyak diminati perusahaan pengolah dan eksportir perikanan karena JAE. Volumo 19, No. 2, Ohob€r 2001 : 75 - 97 az beberapa alasan, yaitu: (i) Dekat dengan wilayah penangkapan (fishing ground), (ii) Dekat dengan pelabuhan, dan (iii) Mudah melakukan ekspor. Namun dari 29 perusahaan tersebut saat ini (1999) yang aktif tinggal sekitar 10 buah perusahaan. Belum dikelahui penyebab dari tutupnya atau tidak beroperasinya perusahaan-perusahaan tersebut. Beberapa informasi di lapangan ada yang menduga hal ini berkaitan"dengan faKor persaingan dalam mendapatkan bahan baku. Purwoto et a/. (1995) juga menduganya seperti itu. Sebagian perusahaan yang masih beroperasi tersebut bermilra dengan nelayan lokal dengan memberikan bantuan operasi perahu seperti es dan bahan bakar. Misalnya, FFF yang berlokasi di Bitung mempunyai kelompok nelayan binaan di Belang (4 kelompok) dan di Likupang (1 kelompok). Manfaat kelompok nelayan binaan bagi perusahaan pengolahan adalah membuat ketersediaan bahan baku lebih terjamin. Sebagian perusahaan lagi mendatangkan bahan baku dari luar perairan Sulawesi Utara, antara lain perairan Ambon. Bahkan DDD, yaitu perusahaan patungan dalam dan luar negeri, mengimpor sebagian bahan baku dari Filipina. Walaupun demikian diduga ikan tersebut berasal dari perairan Sulawesi yang ditangkap oleh kapaFkapal Filipina. Dari sebagian perusahaan yang aktif beroperasi saat pengkajian ini tidak ada satupun yang memiliki kapasitas riil mendekati 100 persen. Sedangkan kapasitas terpasang antar perusahaan sangat bervariasi. Kapasitas terpasang paling kecil adalah BBB di corontalo, yaitu 5 ton/hari ikan mentah dengan kapasitas riil 25-35 persen. Sedangkan DDD memiliki kapasitas terpasang tertinggi, yaitu 120 ton/hari Cl-abel 6). Kapasitas riil perusahaan tersebut rala-rata 75 persen, dan bahkan Dada saai krisis moneter anlara 1997 sampai 1999 hanya 50 persen. Dalam hal ini harga ikan yang diterima nelayan relatif baik karena semua perusahaan pengolahan yang ada di Gorontalo dan Bitung bersedia membeli dengan harga bersaing. Tidak adanya sistem kartel antar perusahaan pengolahan/eksportir ikan dalam pembelian ikan mentah membuat harga yang terbentuk mengikuti harga pasar, dalam hal ini harga dunia. Tabel 5. Jumlah Perusahaan Pengolah dan Pengekspor lkan di Sulawesi Utara' 1998 Jenis kan segar (fesh 4. Jumlah t?sf,) lkan beku (frozen fish) 14 lkan kering (dried fish) 4 lkan kaleng (canning) SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUN'/CAKALANG DI SULAWESI UTARA ANALfSIS BfAYA-tuIANFAAT SOSIAL Budiman Hutabant.lan Eambang Sayaka : 83 Tabel 6. Kapasitas Terpasang dan Kapasitas Riil Beberapa Perusahaan Pengolahan lkan di Sulawesi Utara, 1999 Nama Perusahaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tahun Berdiri AAA Bitung BBB CCC DDD EEE FFF Gorontalo 7 ]9GG Gorontalo Bitung Gorontalo Bitung Bitung 'I 999 992 1998 1992 1988 1980 1975 Kapasitas Terpasang Kapasitas Riil (lon/hari) (Yol 20 25 25-35 60-75 75 '| I 120 20 40 20 50-60 50 Subsektor Perikanan dan Tujuan Ekspor Hasil Perikanan Sulawesi Utara Sektor pertanian masih merupakan penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDRB) Sulawesi Utara. Pada tahun 1994 sumbangan sektor pertanian sebanyak 27.5 persen dari total PDRB dan cenderung turun menjadi 26.1 persen pada tahun 1997. Termasuk di dalam sektor pertanian ini antara lain subsektor oerikanan. Subsektor perikanan hanya menduduki peringkat ke tiga, dibawah subsektor perkebunan. Selama periode 1994-1 997 sumbangan subsektor perikanan relatif tidak berubah, yaitu antara 3.1 dan 3.2 persen. Sumbangan devisa subsektor perikanan berfluktuasi antar tahun (Lampiran Tabel 2). Pada tahun 1989 subsektor perikanan menghasilkan devisa 4.462 juta dolar Amerika Serikat (AS) dan terus meningkat hingga 50.783 juta dolar AS pada tahun 1993. Selama periode tahun 1994-1997 nilai ekspor perikanan Sulawesi Utara berfluktuasi dan 42.041 AS sampai 69.859 juta dolar AS. Secara relatif sumbangan sub sektor perikanan terhadap total ekspor di provinsi ini mulai meningkat sejak tahun 1990, yaitu sebesar 26.05 persen, yang tahun sebelumnya hanya 6.48 persen. Pangsa nilai ekspor perikanan mencapai tertinggi pada tahun 1993 (47.59 persen). Sedangkan nilai ekspor tertinggi dicapai pada tahun 1998, yaitu 75 juta dolar AS. Ekspor perikanan provinsi Sulawesi Utara didominasi oleh produk ikan beku, segar, kaleng, dan kering atau ikan kayu. Jenis produk lain yang juga diekspor adalah tepung ikan, nener, ikan karang dan kerapu hidup, sirip ikan hiu, isi perut ikan, kerang, dan kepiting hidup. Pada tahun 1996 dan 1997 paling sedikit terdapat sekilar 20 macam produk perikanan yang diekspor Oabel 7). JAE. Volumo '19, No. 2, Ohob€r 2001 : 75 - 97 a4 Tabel 7. Jenis dan Persentase Hasil Perikanan yang Diekspor dari Sulawesl Utara, 1996 dan '1997 1997 1996 Jenis ikan Volume Kerang-kerangan Segar: Tuna Skipjack lKan campuran lkan karang lkan demersal Nilai Volume 0.00 0.00 0.16 0.46 1.62 9.47 0.86 3.39 0.22 15.40 1.98 1.67 0.01 6.54 0.64 o.41 0.00 0.00 1 .98 7.30 0.03 0.13 U. OJ 0.01 Beku: Tuna Skipjack Scad lKan campuran lkan karang Cumi-cumi Layang Layur Gurita Seal Lobster lkan demersal Tuna kaleng Skipjack kaleng Bonito kaleng lkan kering/kayu fotal . o/o juta ton juta dolar AS 8.01 2.04 1.40 38.40 0.00 0.25 2.43 0.00 0.00 0.94 0.03 12.50 10.80 0.26 1.21 100.00 42.42 o.87 2.19 1.98 15.20 0.00 0.00 3.55 0.00 0.00 o.11 0.16 0.09 30.20 22.70 0.55 5.60 100.00 1.27 1.55 7.22 1.69 36.50 0.15 0.02 1.72 5.03 0.00 0.00 0.04 0.00 3.51 2.35 9.65 0.40 0.01 2.11 0.85 0.01 0.00 0.'10 0.00 22.00 't4.70 0.00 34.10 12.10 10.10 0.00 3.05 100.00 100.00 55.58 OJ.9J 38.54 SUmber: Department of Industry and trade, North sulawesi Provincial Office (1998) (diolah) . Berdasarkan nilai ekspor, tujuan ulama ekspor hasil perikanan Sulawesi Utara lerbatas pada enam negara di dunia yaitu Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Korea, Filipina, dan Taiwan, sedangkan berdasarkan volume, tujuan utama adalah Jepang, Korea, Amerika Serikat, Taiwan, Filipina, dan Inggris. Pada tahun 1996 dari nilai ekspor total sebesar 38.54 juta dolar AS, dari Jepang diperoleh sekitar 29.20 persen, Amerika Serikat 27.20 persen, Inggris 14.40 persen, Korea 13.00 persen, Filipina 4.22 persen, dan Taiwan 380 SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUN'JCAKALANG DISULAWESIUTARA ANALfSIS BIAYA-IVANFAAT SOSIAL Eudirns, Hutabrlat dan Bankang Sayaka I 85 persen Cfabel 8). Dari negara-negara Eropa lain, devisa yang diperoleh tampaknya masih sangal kecil, di bawah 1.00 persen kecuali Jerman (2.72 persen). Dari Singapura sendiri hanya 0.14 persen. Tahun berikutnya terjadi sedikit perubahan, walaupun pangsa terbesar diberikan oleh Jepang sebesar 51.90 persen dari nilai ekspor total sebesar 63.93 juta dolar AS. Amerika Serikat memberikan 15.40 persen, Inggris 14.40 persen, Korea 7.74 persen, Taiwan 3.10 persen, Filipina 3.06 persen. Selebihnya hanya memberikan devisa di bawah 2.00 persen. 8. Tabel Tujuan dan Persentase Hasil Perikanan yang Diekspor dari Sulawasi Ltata, 1996 dan 1997 1996 1997 Negara Jepang KOrea Singapura Filipina Amerika Serikat Taiwan Finlandia Cina Denmark Hongkong Australia Jerman Inggris Kanada Belanda Siprus lrlandia Hongaria Swedia Yunani Guam Total : % juta ton juta dolar AS 13.50 34.20 0.05 29.20 '13.00 o.'14 6.88 11.90 10.30 0.11 6.42 7.59 0.04 0.40 1.30 6.75 0.48 0.01 0.04 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100.00 42.42 27.20 3.80 0.19 1.54 o_44 0.59 '1.00 2.72 14.40 1.33 0.18 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 '100.00 38.54 31.00 24.90 0.35 7.97 8.43 14.40 0.00 0.17 0.06 0.o7 0.09 0.49 10.00 0.28 0.68 0.00 51.90 0.03 0.06 0.06 0.05 7.74 0.79 3.06 15.40 3.10 0.00 0.35 0.10 0.13 0.18 0.81 14.40 0.57 1. 18 0.00 0.04 0.03 0.04 0.05 100.00 55.58 0.06 0.05 100.00 63.93 Sumbel Department ot Industry and Trade, North Sulawesi Provincial Office (1998) (diolah). Jenis mata dagang yang diekspor ke Jepang menurut nilainya, seperti juga diamati Zulham et a/. (1995) adalah tuna segar dan Jepang merupakan tujuan utamanya, walaupun pada tahun 1996 Singapura juga mengimpomya JAE. Volume 19. No.2. Ohobor 2001 .'0 :75 - 97 dengan pangsa nilai ekspor O.06 persen. Skipjack segar seluruhnya dikirim ke Filipina. Hal ini terjadi karena timbulnya kebutuhan bahan mentah untuk industri-industri pengalengan yang berkembang di pulau-pulau l\ilindanao, Filipina yang berbatasan dengan Sulawesi Utara. lkan campuran segar diekspor ke Taiwan dan Filipina, tetapi tahun 1997 seluruhnya dikirim ke Filipina. lkan karang segar pada tahun 1996 diekspor terutama ke Hongkong (1 1.35 persen), tetapi pada persen) dan Taiwan (8.95 tahun berikutnya dialihkan ke Singapura (9'1.05 persen). lkan demersal seluruhnya ke Jepang. (88.65 persen nilai ekspor total) dan Amerika Serikat Tuna beku Dada tahun 1997 diekspor ke lebih banyak negara seperti Jepang (84.99 persen), Australia (11.68 persen), dan Filipina (342 persen)' padahal tahun sebelumnya hanya diekspor ke Jepang (77.81 persen) dan Denmark (22.19 persen). Skipjack beku hampir seluruhnya ke Jepang' walaupun tahun sebelumnya dijual ke Filipina (0.53 persen). lkan layang beku terutama ditujukan ke Jepang (di atas 90 persen), Korea (sekitar 3.00 persen)' dan juga Singapura. Menurut informasi dari beberapa responden ikan layang atau- ikan layur digunakan oleh nelayan-nelayan Jepang dan Korea sebagai umpan untuk menangkap ikan kelompok tuna lkan layur dan gurita beku pada tahun 1997 seluruhnya diekspor ke Korea. Lobster beku terutama diminta oleh Jepang atau Singapura dan ikan demersal beku juga ke Jepang atau Taiwan. Tujuan tuna kaleng lebih beragam karena tentu saja lebih tahan simpan jauh. Pada lahun persen), Jepang (19.71 persen)' 1996 dikirimkan ke Amerika Serikat (54.41 karena sudah diolah, sehingga jangkauan pasarnya juga lebih Inggris (13.79 persen), Kanada (4.39 persen), Jerman (3.59 persen)' dan AuJtralia (2.43 persen). Selebihnya ditampung oleh Hongkong dan Belanda (di bawah 2.00 persen). Tahun berikutnya, petanya sedikit berubah dengan munculnya Belanda menggantikan Australia, selain dari negara-negara pengimpor sebelumnya. Hongkong, Denmark, Yunani, Hongaria, lrlandia, dan swedia juga mengimpornya, tetapi pangsa nilainya kurang darl 2.00 persen. Artinya potensi peningkitannya masih terbuka. Gambaran yang hampir sama diamati pada komoditas skiplack kaleng. sasaran pasar utama adalah Amerika Senkat (45 91 persen), Inggria (45.81 persen), Jerman (5.89 persen) pada tahun 1996, dan yang sama letapi hanya berbeda i:aCa tanun 1997 juga dengan pengimpor pangsa. Pada tahun 1997 ekspor bonito kaleng tidak _ada' tetapi tahun sebelumnya tercalat diekspor ke Jerman (54.28 persen) dan Denmark (45 72) Jenis terakhir yang diminati oleh konsumen Jepang dan Korea adalah ikan kering atau ikan kayu, hasil pengolahan ikan kelompok luna. Dapat dikatakan hampir seluruh ekspornya ditujukan ke Jepang, dan hanya sedikit sekali yang di tampung oteh Korea Mungkin saja terjadi karena permintaan konsumen korea yang keturunan Jepang atau telah terpengaruh oleh cita-rasa makanan Jepang. lkin olahan jenis ini nilainya relatif tinggi, sekitar 12 85 dolar AS per kg. UTARA SUASEKI-OR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUNFJCAKALANG DI SULAWESI ANALtsIS BIAYA-ITANFAAT soslAL Brdima, Hutabarat dan Eambang Sayaka : 87 Dapatlah disimpulkan bahwa ekspor hasil perikanan Sulawesi Utara ke Jepang adalah tuna segar dan beku, luna kaleng, ikan kering/kayu, layang beku; ke Amerika Serikat atau ke Inggris adalah tuna kaleng dan skipjack kaleng; ke Korea adalah ikan campuran beku, scad beku, atau hiu beku; ke Filipina adalah ikan campuran segar atau beku, skipjack segar; dan ke Taiwan adalah ikan campuran segar atau beku dan ikan hiu beku. Hasil laut lainnya yang juga merupakan komoditas ekspor walaupun masih relatif belum dikembangkan adalah rumput laut dan muliara. lkan kerapu dan ikan karang hidup sebenarnya sangat potensial untuk diekspor mengingat harganya yang relatif tinggi. Hambatan dalam ekspor ikan hidup adalah tidak adanya penerbangan langsung dari Sulawesi Utara ke negara tujuan, misalnya Jepang. Dengan demikian komoditas tersebul harus diterbangkan melalui Surabaya atau Jakarta yang akibatnya memakan waktu lebih lama dan biaya lebih tinggi. Hambatan lain adalah sumberdaya kedua jenis ikan terebut di perairan Sulawesi Utara relatif terbatas jumlahnya. Dengan kedua kenyataan diatas jelaslah masyarakat nelayan dan pengusaha perikanan baik itu pengolah dan pengekspor memiliki peluang untuk mengembangkan pasar ekspor tidak hanya terbatas pada keenam negara tersebut diatas, tetapi ke negara-negara lain yang belum pernah berhubungan bisnis perikanan dengan Indonesia atau mengembangkan volume ekspor ke negara-negara yang memang sudah merupakan tujuan tetap, atau mengembangkan jenis produk baru atau produk olahan baru. Di sinilah diperlukan kerjasama fihak pemerintah, pengusaha, dan masyarakat nelayan. Salah satu pihak saja tidak akan mungkin mampu menjawab lantangan ini, tetapi harus beBama-sama dengan peran dan tanggung jawab masing-masing. Sebagian besar ikan tuna/cakalang hasil tangkapan yang memenuhi syarat mutu diolah untuk diekspor (60 persen), sedangkan yang tidak memenuhi mutu ekspor dUual di pasar lokal (40 persen). Tingkat konsumsi ikan penduduk Sulawesi Utara pada tahun 1995 sebanyak 24.96 kgikapita/tahun. Daya Saing Produksi Tuna/Cakalang di Sulawesi Utara Keunggulan Kompantif Keunggulan kompetitif dihitung dengan menggunakan metode biayamanfaat sosial (B-MS). Semua biaya dan pendapatan diperhitungkan untuk kurun waktu satu tahun dengan tingkat harga berlaku saat penelitian, termasuk nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar Rp 7500/dolar AS (Amerika Serikat), yang dianggap sama dengan harga bayangannya karena mengikuti kebijakan nilai tukar mengambang sejak tahun 1997. Data yang diolah berdasarkan wawancara dengan juragan daraujuragan laut sebanyak 15 orang di Kabupaten Gorontalo, Minahasa, dan Kodya Manado. Ukuran kapal tangkap ikan antara 3 GT sampai 30 GT, berbeda dari penelitian Zulham ef. al (1995) dengan tenaga JAE. Volume 19. No. 2. Oklober 2001 : 75 - 97 88 penggerak antara 5 PK hingga 't05 PK. Biaya kapal meliputi penyusutan kapal dan peralatan untuk menangkap ikan, ijin kapal, perbaikan kapal, biaya operasional penangkapan, dan biaya prosesing ikan (15 persen dari nilai ekspor). Pemilahan biaya operasional dan biaya lain, serta anggapananggapannya dirinci pada Lampiran Tabel 1. Sedangkan total pendapatan adalah pendapatan juragan darat. Dalam hal ini pendapatan juragan darat sebanyak setengah produksi kotor, yaitu selengah dad produksi kotor yang merupakan bagian juragan darat. Dari bagian juragan tersebut dikurangi 20 persen, yaitu isi perut ikan yang dibuang, dan ikan yang disortir sebanyak 40 persen, lalu dikalikan harga ekspor. Hasil analisis B-MS produksi perikanan di Sulawesi Utara dicantumkan oada Tabel 9. Biaya paling sedikit adalah untuk ijin kapal, yaitu Rp 42.000/kapal/tahun, dan biaya terbesar adalah biaya prosesing karena mencapai '15 persen dari nilai ekspor ikan (Rp 797 juta). Dengan total nilai ekspor sebesar Rp 2.551 juta dan total biaya Rp 910 juta, maka diperoleh nilai BMS 0,36. Hal ini menunjukkan bahwa usaha penangkapan ikan di Sulawesi Ulara sangat efisien jika dibandingkan dengan harga dunia. Zulham et a/. (1995) juga menyimpulkan hal yang sama dari hasil analisis BSDN. Efisiensi usaha penangkapan ikan mencapai 64 persen. Dengan demikian penangkapan ikan di provinsi layak untuk diteruskan untuk memperoleh devisa. Walaupun tidak dilakukan perhitungan, tetapi para penulis memprakirakan bahwa usaha ini masih tetap efisien, dalam pengertian nisbah biaya-manfaat sosial masih tetap di bawah nilai satu, manakala nilai rupiah semakin lerdepresiasi. Tabel 9. Analisis Biaya-Manfaat Sosial Penangkapan lkan Tuna/Cakalang di Sulawesi Utara, 1999 (per tahun)' Rerata Nilai per Kapal Nilai Total Total produksi (ton) 11120143 Harga ikan ($/ton) Biaya (Rp) Penyusulan ljin kapal Perbaikan kapal 7 41343 956 956 6190000 412667 633500 42233 637530000 42502000 050785000 70052333 Prosesing 11962007379 797 467159 Total Biaya (Rp) Total Pendapatan (Rp) 13657145879 910476392 38278423613 2551894908 BMS 0.356784439 0.356784439 operasional kapal 1 Catatan: $ US 1 setara dengan Rp 7.500. SUBSEKToR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUNA/CAKALANG Dl SULAWESI UTARA i ANALlss anYA-MANFAAT SOSIAL Suditnan Hutabaratclan Bambang sayaka d9 Keunggulan Kompetitif Meskipun keunggulan komparatif sangat mendukung, Sulawesi Utara sebagai suatu pusat pertumbuhan ekonomi belum serta-merta memiliki keunggulan kompetitif dari berbagai faKa serta kebijakan pemerintah pusat maupun daerah di lapangan, seperti: Pertama, nelayan lokal umumnya menggunaKan kapal penangkap berukuran kecil dan hanya beroperasi di perairan laut kurang dari 12 mil. Banyak kapal penangkap ikan yang berangkat malam hari dan kembali pagi harinya. Kapal ikan yang mampu beroperasi di ZEE umumnya adalah yang berbobot di atas 50 GT. KapaFkapal yang beroperasi di perairan pantai kurang dari 12 mil (di bawah 30 GT) sudah terlalu banyak, sehingga terkesan lingkungannya tidak mampu menampungnya lagi. Hal ini teiadi karena tidak dibutuhkannya surat izin usaha di wilayah ini atau adanya penyalah-gunaan izin penangkapan oleh armada kapal di atas 30 GT yang beroperasi di wilayah inijuga. Oleh karena itu, agar keunggulan kompetitif dapat terjamin pemerintah pusat atau daerah perlu melakukan pengawasan secara ketat terhadap izin-izin yang telah dikeluarkan dan untuk meningkatkannya hendaknya kegialan penangkapan diarahkan ke kawasan ZEE, meskipun pihak dinas perikanan berpendapat bahwa laju peningkatan penangkapan masih jauh di bawah potensi lestari perikanan Sulawesi Utara. Pendapat ini seharusnya perlu dikaji lebih cermat karena seperti dikatakan bahwa nelayan lelah mengalami kesulitan memperoleh hasil tangkapan yang memadai setiap kali beroperasi. Apalagi tidak satu pihakpun yang menginginkan masyarakat nelayan berusaha secara sia-sia seperti ilu. Kedua, sistem tata niaga hasil perikanan luna dan cakalang di Sulawesi Utara merupakan kombinasi antara: sistem bagi hasil, yakni antara anak buah kapal (ABK atau masanae) dengan juragan/pemilik kapal; dan sistem jual-beli atau konsinyasi, yakni antara juragan/pemilik dengan pedagang pengumpul atau dengan industri pengolah/eksportir, dan antara pedagang pengumpul dengan industri pengolah/eksportir. Meskipun dalam beberapa hal pedagang pengumpul atau industri pengolah/eksportir memberikan modal juga kepada pedagang mitra di tingkat bawahnya. Namun keterikatan antar simpuFsimpul tataniaga ini sebetulnya kurang kokoh. Ketiga, juragan/pemilik kapal dapat menjual ikannya ke pedagang pengumpul atau langsung ke industri pengolah/eksportir, tergantung harga dan jarak tempuh. Sedangkan pedagang pengumpul menjual ikannya ke industri pengolah/eksportir dan ke pengecer lokal. Sistem harga yang diterapkan oleh pengumpul dan juga juragan adalah berpatokan pada harga yang ditetapkan oleh pabrik (industri pengolah/eksportir), dan eksporlir menetapkan harga berdasarkan fluktuasi harga tuna/cakalang di pasaran dunia. Dalam transaksi tersebut pedagang pengumpul mengambil keuntungan antara 8 persen sampai 30 peren harga belinya. Pedagang pengumpul selain mendapat ikan dari iuragan, juga dari nelayan bebas, serta nelayan yang terikat dengannya. lkatan ini berupa penyediaan es dan bahan bakar untuk operasi ke laut. JAE. Volome 19. No.2. Oklober2001 :75 - 97 90 Keempat, sebagian nelayan menjual juga hasil tangkapannya langsung di tengah laut kepada armada asing yang umumnya membeli dengan harga lebih tinggi daripada pedagang lokal. Kapal-kapal asing tersebut berfungsi sebagai caffier yang banyak beroperasi di perairan Sulawesi Utara. Dari pembicaraan intensif dengan berbagai kalangan yang kompeten dalam penanganan dokumen, kapal, dan barang di lokasi pengkajian diketahui bahwa kasus seperti ini sangat banyak terjadi. Hasil tangkapan dan pembelian dari nelayan lokal biasanya langsung dibawa ke negara asal atau diekspor lanpa izin ekspor. Dengan demikian tingkat harga ikan tuna dan cakalang yang berlaku di daerah setempat (Sulawesi Utara) kurang d'pengaruhi oleh penawaran dan permintaan daerah setempat tapi cenderung dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan tingkat dunia. Harga ikan di tingkat lokal dapat mahal walaupun sedang musim puncak jika harga dunia tinggi. Sebaliknya pada musim paceklik harga ikan di tingkat lokal letap murah jika harga dunia rendah. Kelima, kenyataan juga menunjukkan bahwa industri pengolah ikan tuna dan cakalang lokal bekerja di bawah kapasitas produksi yang terpasang, umumnya rala-rala realisasi produksinya hanya sekitar 50 persen. Hal ini diduga bertaitan dengan ketergantungan industri pada nelayan lokal/induslri sementara banyak juga pengolah/eksportir tidak mempunyai armada penangkapan sendiri, dan mungkin juga karena potensi sumbedaya perikanan yang sudah menurun. Keenam, adanya pedagang atau penampung saingan di tengah laut itu, kalau ditinjau dari sisi harga, memang seolah-olah telah membantu fihak nelayan, tetapi pedagang atau mitra lokal nelayan sangat dirugikan, karena pasokan kepada usahanya menjadi terganggu, padahal perusahaan lokal ini mungkin lelah memberikan komitmen modal investasi yang sangat besar bagi nelayan melalui modal operasi, kapal, atau alat tangkap, sementara kapal carier lidak menginvestasikan apa-apa. Namun, dari pembicaraan inlensif dengan berbagai kalangan yang berhubungan dalam penanganan dokumen, kapal, dan barang di lokasi pengkajian diketahui bahwa penyelesaian prosedur ekspor menyebabkan urusan menjadi sangat panjang dan berbelit-belit, sementara mulu ikan terus merosot dengan berjalannya waktu dan sulit dipertahankan akibat minimnya prasarana penanganan hasil di pelabuhan. Dengan keterbatasan fasilitas seperli sekarang ini, akan sulit mengharapkan komoditas perikanan memiliki nilai tambah. Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara sebagai suatu pelabuhan yang dikatakan memiliki keunggulan komparatif sebagai pintu ke luar masuk komoditas hasil pertanian dari dan ke Kawasan Timur Indonesia, terutama hasil perikanan/hasil tangkapan karena berada di wilayah perikanan tangkap temyata belum memiliki pelabuhan peti kemas, padahal cara pengiriman atau pengangkutan seperti ini sudah lama dikenal di Indonesia. Sepantasnya untuk menghadapi komoditas yang mudah rusak seperti hasil perikanan ini setiap pelabuhan ekspor harus memiliki fasilitas pendukung seperti es, ruangan pendingin (colcl storage), atau terminal petikemas dingin (reefer containe). Namun, adanya terminal peti kemas saja SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUNA/CAKALANG DI SULAWESI UTARA ANALISfS BIAYA-MANFAAT soslAl Eudima, Hutab€ rat dan Banbang sayaka : belum menjawab permasalahan karena ia harus dilengkapi dalam suatu paket teknologi, yakni tersedianya prasarana dan sarana transportasi untuK mengangkut petikemas tersebut. Jalan-jalan yang ada harus diperlebar dan sedapat mungkin tidak ter'lalu banyak mempunyai belokan-belokan tajam seperti terdaoat saal ini di Sulawasi Utara antara jalan poros Manado, Sulawesi UtaraPalu, Sulawesi Tengah, serta antara pusat-pusat penampungan hasil tangkapan dengan jalan trans Sulawesi. Hal ini harus menjadi perhatian instansi yang beMenang dalam pemberian izin, pengawasan, dan yang terkait lainnya. Selain itu, keunggulan kompetilif produksi aiau ekspor perikanan luna/cakalang di Sulawesi Utara masih terkendala oleh beberapa faktor di bawah ini: 1. Sulit mendapatkan data produksi yang akurat dari Dinas Perikanan karena semenlara ini retribusi pemanfaatan Tempat Pelelangan lkan OPI) secara resmi dihapuskan. Dengan lidak adanya pencalatan produksi perikanan maka sangat sulit unluk menentukan jumlah dan jenis ikan yang ditangkap nelayan, padahal data ini pedu untuk memantau pemanfaalan populasi jenis ikan yang bersangkutan. 2. Sulit melakukan pengawasan terhadap zona ekonomi eksklusif (ZEE) karena sarana yang terbatas, sehingga banyak pelanggaran-pelanggaran atau pencurian ikan yang tidak terpantau tetapi banyak dilaporkan oleh nelayan setempat. Pencurian ikan ini sudah umum terjadi di perairan Indonesia, bukan hanya di Sulawesi Utara. Harian Kompas (2000) melaporkan bahwa pencurian ikan sudah lama dilakukan oleh nelayan asing. Banyaknya pencurian ikan ini antara lain disebabkan lemahnya penegakan hukum terhadap para nelayan asing pencuri ikan. Nilai ikan yang dicuri diperkirakan mencapai jumlah sangal besar, yaitu 4 milyar dolar per tahun. 3. Sarana ekspor yang belum lengkap sehingga sebagian besar ekspor harus lewat Surabaya atau Jakafta. Pelabuhan yang ada belum memenuhi standar internasional. Dengan adanya krisis moneter pertengahan tahun 1997 rencana pembangunan pelabuhan perikanan yang moderen menjadi tertunda. 4. Untuk menggarap ZEE perlu investasi kapal yang bertonase besar dan membutuhkan biaya sangat besar. Disamping itu sumberdaya manusia untuk pengoperasian kapal penangkap ikan masih sangat terbatas. 5. Investasi di bidang penangkapan ikan mempunyai risiko besar. Meskipun kendala-kendala ini telah disadari, pemerinlah daerah Tingkat Provinsi Sulawesi Utara hingga akhir tahun 1999 belum mempunyai rencana yang tersusun dengan baik dalam rangka melaksanakan PROTEKAN 2003. Hal ini tampak belum disusunnya proposal PROTEKAN 2003 tingkat JAE. Volume 19, No. 2, Oktob€r 2001 : 75 - 97 92 provinsi. Pemda Tingkat I Sulawesi Utara, dalam hal ini Dines Perikanan Tingkat l, hanya mempunyai target nilai ekspor perikanan Sulawesi Ulara pada tahun 2003 meningkat menjadi 200 juta dolar. Target ini hampir tiga kali lipat nilai ekspor tahun 1998. Walaupun demikian belum ada persiapan memadai tentang sarana dan prasarana untuk menunjang target tersebut. Di tingkat kabupaten, umumnya para aparat hanya mengharapkan bantuan kredlt dari pemerintah pusat untuk pembelian perahu bagi nelayan kecil. Masalah ini menjadi semakin kompleks dengan telah bergulimya program otonomi daerah sejak bulan Januari 2001. Peluang ini masih terbuka untuk digali masyarakat dan pemerintah daerah Sulawesi Utara. serta oemerintah ousat. KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN lkan tuna/cakalang relalif sudah dimanfaatkan dari seluruh wilayah perairan Sulawesi Utara. Disamping itu ikan layang, kerapu, nener, lobster dan ikan hias juga sudah dimanfaatkan walaupun masih relatif sedikit. lkan layang diekspor dalam bentuk beku terutama digunakan untuk umpan oleh armada penangkap ikan asing. Potensi lestari hasil perikanan Sulawesi Utara diperkirakan masih cukup tinggi, tetapi tingkat pemanfaalannya masih rendah, sehingga masih mungkin untuk ditingkatkan. Peningkatan produksi terutama harus ditujukan di perairan ZEE yang tingkat pemanfaatannya oleh nelayan domestik masih relatif rendah, semenlara armada perikanan asing telah beramai-ramai memanfaatkannya dengan menggunakan kapal berukuran dan modal relatif besar, bahkan dengan pemasangan rumpon. Dari sebanyak 29 perusahaan pengolahan dan pengekspor hasil perikanan tersebut saal ini (1999) yang aktif tinggal sekitar 10 buah perusahaan. Dari sebagian perusahaan yang aktif beroperasi saat pengkajian ini tidak ada satupun yang memiliki kapasitas riil mendekati 100 persen, sec€ra rata-rata hanya sekitar 50 persen. Hal ini terjadi karena faKor persaingan dalam mendapatkan bahan baku. Ekspor hasil perikanan Provinsi Sulawesi Utara didominasi oleh produk ikan beku, segar, kaleng, dan kering atau ikan kayu. Jenis produk lain yang juga diekspor adalah tepung ikan, nener, ikan karang dan kerapu hidup, sirip ikan hiu, isi perut ikan, kerang, dan kepiting hidup. Pada tahun 1996 dan 1997 paling sedikit terdapat sekitar 20 macam produk perikanan yang diekspor, dalam kelompok kerang-kerangan, tuna, skipjack, ikan campuran, ikan karang, ikan demeral lainnya, scad, cumi-cumi, layang, layur, gurita, hiu, seal, lobster, bonito, dan ikan kering/kayu. SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUNT/CAKALANG DI SULAWESIUTARA: ANALfsls BfAYA-MANFAAT SOSIAL Budlnan Hutabarct dan Bartbang Sayaka Berdasarkan nilai ekspor, tujuan utama ekspor hasil perikanan Sulawesi Utara terbatas pada enam negara di dunia dengan urutan berdasarkan pangsanya yaitu Jepang, Amerika serikat, lnggris, Korea, Filipina, dan Taiwan' 'berdasarkan volume, tujuan utama adalah Jepang, Korea' Amerika sedingkin Serikat, Taiwan, Filipina, dan Inggris. Ekspor hasil perikanan Sulawesi Utara yang utama ke Jepang adalah tuna segar dan beku, tuna kaleng, ikan kering/kayu, layang beku; ke Amerika Serikat atau ke Inggris adalah tuna kaleng dan skipjack kaleng. Usaha penangkapan ikan di Sulawesi Utara sangat efisien jika dibandingkan dengan harga dunia. Efisiensi usaha penangkapan ikan mencapai 64 persen. Dengan demikian penangkapan ikan di provinsi layak untuk komparatif keunggulan diteruskan untuk memperoleh devisa. Namun, meskipun ini sangatlah nyala, keunggulan ini masih belum dapat ditingkatkan menjadi keunggulan kompetitif karena berbagai faktor antara lain: kapal-kapal yang beroperasi di perairan pantai kurang dari 12 mil sudah lerlalu banyak, sehingga terkesan lingkungannya tidak mampu menampungnya lagi; keterikatan antar simpul-simpul tala niaga sebetulnya tidak sekokoh yang dibayangkan banyak pengamat; pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara sebagai suatu pelabuhan utama ekspor, ternyata belum memiliki pelabuhan petikemas apalagi petikemas dingin, padahal cara pengiriman atau pengangkutan barang seperti ini sudah lama dikenal di Indonesia. Hal ini menyebabkan potensi Sulawesi Utara belum tergali dengan baik. Untuk mengatasi kendala-kendala ini, pemerintah daerah Tingkat I Provinsi Sulawesi Utara perlu membuat rencana yang tersusun dengan baik, demikian pula pemerintah daerah tingkat ll untuk mewujudkan program otonomi daerah yang telah digulirkan pada waktu lalu. Bidang-bidang yang perlu mendapat pethatian adalah peningkatan sarana dan prasarana, insentif untuk investasi bagi pendatang baru atau pengusaha yang mengembangkan produk atau pasar ekspor baru dan pada saat yang sama pengawasan yang ketat untuk pelanggar aturan dan penindakan pengusaha yang tidak memiliki izin. Hal ini memerlukan kerjasama yang erat antara pihak pemerinlah, pengusaha dan masyarakat nelayan. Salah satu pihak saja tidak akan mampu mengatasi kendala-kendala tersebul. Peluang inl masih terbuka untuk digali masyarakat dan pemerintah daerah Sulawesi Utara, serta pemerinlah pusat. DAFTAR PUSTAKA BPS. 1998. Tabel Input-output lndonesia 1995. Jilid ldan ll. BPS. Jakarta. Jusuf, G., V.P.H. Nikijuluw, and A.K. Seta. 1999. Development Reorientation and Post-Crisis Policy of Fishery. Jakarta. Mimeograph. JAE. Volume 19, No.2. Ohobor2001 :75 - 97 94 Krueger, A. O. '1966. Some Economic Costs of Exchange Control: The Turkish case. Joumal of Political Economy 74: 466-480. Masters, W.A. dan A. Winter-Nelson. 1995. Measuring the Comparative Advantage of Agricultural Activities: Domestic Resource Costs and the Social Cost-benefit Ratio. American Journal of Agricuiltural Economics 77 : 243-250. Monke, E. A. dan S.R. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press. lthaca NY. PuMoto, A., Sugiarto, Waluyo, B. Winarso dan Y. Yusdja. 1995. Kinerja dan Perspektif Pengembangan Agribisnis Tuna dan Cakalang, dalam Hermanto, M. H. Sawit, A. Zulham, Sunarsih (Penyunting). Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian, dan Prospek Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Prosiding PSE. Bogor. pp. 112-131. Scandizzo, P.L. dan C. Bruce. 1980. Methodologies for Measuring Agricultural Price Intervention Effects. The World Bank Staff Working Paper No. 394. Washington. E. 1984, Effective Proteclion, Domestic Resource costs, and Shadow Prices. The World Bank Staff Working Paper No. 664. Washington DC. Tower, Tsakok, l. 1990. Agricultural Price Policy: A Practitioner's Guide to Partial Equilibrium Analysis. Cornell University Press. lthaca NY. Tweeten, L. 1986. lmpac{ of Domestic Policy on Comparative Advantage of Agriculture in the South. Southern Journal of Agricullural Economics 18: 67-74. Zulham, A., Saktyanu, K.D., C. Muslim, dan N. llham. 1995. Potensi Pasar Tuna dan Prospek Penangkapan Tuna di Sulawesi Uta.€, dalam A. H. Taryoto, Puwoto, Sumaryanto (Penyunting). Kelembagaan dan Prospek Pengembangan Beberapa Komoditas Pertanian. Prosiding PSE. Bogor. pp. 161-182. A. SUASEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUN'r'CAKALANG OI SULAWESI UTARA ANALIS fS E IAYA-MANFMT SOSIAL E udtttat Hult barat dah Ban bang Sayaka : 95 LampiranTabell. Anggapan-anggapan pengalokasian faKor-faktor dalam proses produksi penangkapan ikan Pengafokasian komponen faKor dalam negeri dan ba.ang tradable dilakukan dengan pendekatan langsung, karena bagi tradable gpods baik masukan atau keluaran, permintaannya dapat dipenuhi dari pasokan pasar dunia manakala terjadi kekurangan. 1. Biaya produksi dalam negeri meliputi tdnaga kerja dan rumpon. 2. Tradable goods diantaranya meliputi perahu/kapal, mesin penggerak, alat tangkap, lampu penerangan, palka, peralatan masak, keranjang ikan, rumpon. Pengalokasiannya dilakukan berdasarkan Table InputOutput Indonesia 1995 (BPS 1998) sebagai berikut: produksi Domestik (o/") Perahu/kaoal 32.56 Mesin penggerak 24.20 25.71 Alat tangkap Lampu/penerangan 24.20 Palka 27.74 Peralatan masak 24.87 27.74 Keranjang ikan 30.76 Rumoon Faktor 3. Tradable (vt 63.54 72.34 72.27 72.34 71.40 72.59 71.40 65.72 Pajak (Yo) 3.90 3.46 2.02 3.46 0.86 2.54 0.86 3.52 Untuk barang-barang yang tidak diperdagangkan secara inlernasional, tetapi di dalammya ada (diduga) komponen barang yang diperdagangkan, maka pengalokasiannya mengacu tabel l-O 1995 (BPS 1998) sebagai berikut: domestik (37.34Yo), tradable (59.690/0), dan pajak (2.97o/o). 4. Biaya BBM (Bahan Bakar Minyak) dialokasikan berdasarkan acuan tabel l-O 1995 (BPS 1998): domestik (36.89%), lradable (62.59%), dan pajak (0.52%). 5. Biaya tata niaga atau angkutan dialokasikan dengan acuan label l-O 1995 (BPS 1998) sebagai berikut: Pajak Jenis angkutan e/.) 2.36 Darat 7.84 Air Jasa angkutan Bongkar-muat Pengepakan JAE. Volume 19, No. 2, ohober 2001 : 75 - 97 96 Domestik (Yo) M.24 62.72 Domestik (V") 100.00 86.00 Tradable (Y.) 53.40 29.44 Tradable (o/"\ 0.00 12.00 Pajak e/") 0.00 2.OO Penentuan harga bayangan keluaran dan masukan: 1. Harga bayangan keluaran didekali oleh harga batas yaitu CIF di pelabuhan impor ditambah biaya tataniaga alau angkutan yang dikeluarkan sampai di tingkat lokasi kajian. Bagi komoditas yang diekspor harga bayangannya adalah FOB di pelabuhan ekspor ditambah dengan besamya biaya tataniaga dan angkutan dari lokasi sampai pelabuhan ekspor. 2. Harga bayangan tenaga keia didekati oleh kondisi tingkal upah di lokasi kajian. 3. Harga bayangan peralatan dihitung berdasarkan nilai penyusutan peralatan dalam satu musim produksi yang nilainya sama dengan nilai aklualnya. 4. Harga bayangan modal dihitung berdasarkan tingkat suku bunga di Singapura atau Jepang dikurangi laju penurunan nilai tukar rupiah terhadap mata-mata uang negara rujukan. Lampiran Table 2. Perbandingan Nilai Ekspor Perikanan terhadap Eskpor Total Provinsi Sulawesi Utara, 1989 -1997 Volume Ekspor Nilai Ekspor Persentase Tahun Perikanan Perikanan Terhadap (ton) 1989 1990 1991 1gs2 1993 1994 1995 1996 1997 't998 999" 3.98020 10.653,10 12.328,48 22.404,45 45.615,76 40.005,99 55.472.23 40.511,38 49.060,36 79.492,70 24.296,71 (us $) Eskpor Total (us $) Ekspor Total 14619000 16142001 18782897 50782787 42041188 62091629 38544314 63932749 26.05 28.98 19.10 47.59 29.53 40,81 20.43 27 .97 1 1440 55694524 98343795 106699706 142366162 561 152',164169 188702091 228545143 75.s13.67s 23.232109 Januafl - Sumber: Kanwil Deperindag Sulawesi Utara, 1989 Dept. of Industry and Trade North Sulawesi Prov. Office, 1998 SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUN'JCAKALANG DI SULAWESI ANALfSIS BfAYA-I4ANFAAT SOSIAL Budlmat Hutaba rdt.lan Bambang Sayaka UTAM: