SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUNA

advertisement
SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR
TUNA/CAKALANG Dl SULAWESI UTARA: ANALISIS BIAYA'
MANFAAT SOSIAL
Budiman Hutabarat dan Bambang Sayakal
ABSTRAK
Makalah ini ditujukan untuk mengkaji keragaan dan sumbangan kegiatan perikanan tangkap terhadap perekonomian dan masyarakat Sulawesi Utara dengan melakukan analisis tujuan dan pasar ekspor, serta analisis daya saing dan mengkaji kendala
pengembangan ekspornya. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 1999 sampai Maret 2000
dengan mengumpulkan data pdmer dan sekunder melalui wawancara kepada nelayan,
juragan/pemilik kapal, pengolah/pengekspor ikan. Makalah ini menyimpulkan antara lain
eksoor hasil perikanan Provinsi Sulawesi Utara didominasi oleh produk ikan beku, segar,
kaleng, dan kering atau ikan kayu. Tujuan utama ekspor hasil perikanan Sulawesi utara
terbatas pada enam negara di dunia yaitu Jepang, Amerika Serikat, lnggris, Korea,
Filipina, dan Taiwan. Ekspor hasil perikanan Sulawesi Utara yang utama ke Jepang
adalah tuna segar dan beku, tuna kaleng, ikan kering/kayu, layang beku; ke Amerika
Serikat atau ke Inggris adalah tuna kaleng dan skipjack kaleng. Usaha penangkapan ikan
di Sulawesi Utara sangat efisien jika dibandingkan dengan harga dunia. Efisiensi usaha
atau nisbah biaya-manfaat sosial penangkapan ikan mencapai 64 persen Namun,
meskipun keunggulan komparatif ini sangat nyata, keunggulan ini masih belum dapat
ditingkatkan menjadi keunggulan kompetitif karena berbagai faKor antara lain, kapalt<apat yang beroperasi di perairan pantai kurang dari 12 mil sudah terlalu banyak, dan
sistem tata niaga tidak kokoh. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah daerah Tingkat I
Provinsi Sulawesi Utara perlu membuat rencana yang tersusun dengan baik, demikian
pula pemerintah daerah tingkat ll untuk mewujudkan program otonomi daerah yang telah
digulirkan pada waktu lalu. Bidang-bidang yang perlu mendapat perhatian adalah
peningkatan sarana dan prasarana, insentif untuk investasi, dan insentif untuk pengembangan tujuan ekspor dan produk baru. Pada saat yang sama pengawasan yang ketat
untuk pelanggar aturan dan penindakan pengusaha yang tidak memiliki izin harus
ditempuh.
Kata
kuncij
hasil peikanan, nilai ekspor, daya saing, keunggulan kompetitif.
ABSTRACT
The aim of the paper is to investigale performance and contribution of openaccess fisheies to the Sulawesi Utara economy and society through analyzing export
destination and market, its comparative advantage and export development constraints
The research was undertaken from July 1999 throughout Nilarch 2000 by collecting
primary and secondary data through interview with fishers, boat or ship owners, fish
processing plants and exporters. The paper concludes that the export of fish Products
I
Masing-masing adalah Staf Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekoomi
Pertanian, Bogor.
SUBSEKToR PERIKANAN OAN KEHANDALAN EKSPOR TUNA/CAMLANG Ol SULAWESIUTARA
ANALISIS BfAYA-MANFMT SOSIAL Eudiman Hulabant ctan Bambang Sayaka
I
fc
from Sulawesi Utara province is predominated in the form of frozen, fresh, canned, and
dried ordehidrated. The major destination offish exports of Sulawesi Lftara are confined
to six countries, that is Japan, Unites states, England, Korea, the Philippines, and
Taiwan. The main products to Japan is fresh and frozen tuna, canned tuna, dried fish,
frozen layang; to the United States or to England are canned tuna and canned skipjack.
Open-access tisheries in Sulawesi Utara is signilicantly efficient, given world prices. lts
social cost-benefit ratios is 0.64. Despite the comparative advantage, it is far out of
competitive advantage, due to congested coastal fishing ground loose marketing system.
The Sulawesi Utara local government as well as the district level governments are urged
considering the importance of development in
of granting investment incentives for new
entraes and for expanding export products and market destination. Simultaneously
imposing penalties for misconduct investors and establishing surveillance mechanism of
to
design
a
thorough plans
by
infrastructure networks, and the possibility
industries and ocean water are necessary.
Keywords;
fish products,
expoi values, comparative advantage, competitive advantage.
PENDAHULUAN
Secara tradisional hasil perikanan merupakan komoditas penghasil devisa
terpenting selain hasil perkebunan dan kehutanan. Tidak berlebihan apabila
dikatakan bahwa hasil perikanan merupakan mata dagang ekspor andalan di
seKor non-migas. Volume dan nilai ekspomya dari tahun ke tahun meningkat terus
menerus. Nilai ekspor komoditas ikan tongkol atau tuna meningkat dari 37 juta
dolar AS pada tahun 1981 menjadi 136 juta dolar AS pada tahun 1989 dan 381
juta dolarAS pada tahun 1997. Dengan demikian, nilai ekspomya meningkat lebih
dari 10 kali lipat selama 16 tahun. Di pihak lain, volume ekspornya meningkat 38,7
ribu lon pada tahun 1981 menjadi 83,2 ribu ton pada tahun 1989 dan kemudian
369,3 ribu ton pada tahun 1997, sehingga telah terjadi peningkatan volume ekspor
sebesar lebih dari kali lipat. Jadi peningkatan nilai ekspor ikan tongkol atau tuna
meningkat dengan laju seimbang dengan peningkatan volume ekspomya.
I
Dalam upaya meningkatkan perolehan devisa dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani/nelayan dan memperoleh kesempatan kerja, pemerintah
telah mencanangkan program peningkatan ekspor perikanan tahun 2003
(PROTEKAN 2003). Target yang ingin dicapai adalah sebesar 10 milyar dolar
As pada tahun 2003. Namun, seiring dengan arus liberalisasi dan globalisasi
pasar dunia, persaingan dalam pasar ekspor produk perikanan semakin kuat.
Hal ini berkaitan dengan penerapan teknologi penangkapan dan budidaya yang
semakin berkembang, serta munculnya negara eksportir baru yang menggunakan teknologi yang lebih canggih.
Sulawesi Utara yang merupakan sentra produksi perikanan tangkap, memiliki sektor perikanan yang ternyata hanya menduduki peringkal ke liga terhadap
PDRB, dibawah sub sektor perkebunan dan selama periode 1994-1997
JAE. Volume 19. No. 2. oktober 2001 : 75 - 97
/o
sumbangan sub sektor perikanan relatif tidak berubah, yaitu antara 3,1 dan 3,2
persen. Sedangkan sumbangan sub sektor perkebunan berkisar antara 8,6
sampai 9,4 persen. Besarnya sumberdaya laut di Sulawesi Utara ternyata belum
memberikan sumbangan yang optimal. Oleh karena itu sungguh menarik unluk
mengetahui sumbangan kegiatan perikanan tangkap ini terhadap masyarakat
yang menjadi fokus makalah ini.
Untuk tujuan tersebut, analisis dalam makalah ini disusun sebagai berikut:
pertama, menggambaftan profll subsektor perikanan Sulawesi Utara; kedua
mengidentifikasi tujuan dan pasar ekspor tuna/cakalang; ketiga menganalisis
daya saing ekspor tuna/cakalang dari Sulawesi Utara, yang mencakup
keunggulan komparatif dan kompetilifnya di provinsi ini; dan keempat mengkaji
kendala pengembangan ekspor hasil perikanan Sulawesi Utara. Dengan dasar
analisis ini saran umum kebijakan yang berkaitan dengan pengembangannya
daoat dirumuskan.
METODE PENELITIAN
Model Analisis
Penelilian menggunakan gabungan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif
serta dilengkapi dengan evaluasi krilis terhadap data dan informasi yang diamati
dan dikumpulkan di lapangan untuk menjelaskan tu.iuan yang dikemukakan dalam
makalah.
Untuk melakukan analisis daya saing, khususnya keunggulan komparatif
suatu kegialan ekonomi, telah banyak peneliti menggunakan metode analisis Biaya
Sumberdaya Dalam Negeri (BSDN) (Domesfic Resource Costs=DRCr, yang
dirumuskan oleh Bruno (dikutip oleh Masters dan Winter-Nelson '1995) dan
Krueger (1966) secara bersamaan, dan selanjutnya dikembangkan unluk membentuk analisis Matriks Analisis Kebijakan (MAK) (Policy Analysis Matriks=PAM)
(Monke dan Pearson (1989); Tsakok 1990). Metode BSDN dan MAK ini memang
telah merupakan suatu altematif bagi model yang lebih kompleks yang membutuhkan data dan sumbedaya besar untuk membangun model lengkap penawaran,
permintaan dan perdagangan. Akan tetapi, perhitungan BSDN langsung atau
BSDN dari MAK juga mempunyai keterbalasan-keterbatasan Oower 1992) antara
lain: bias terhadap kegiatan yang kurang menyumbang pada pertumbuhan
ekonomi, dapal bernilai negatif, kurang tajam dalam pemeringkatan kegiatan.
Keterbatasan-keterbatasan ini dapat diatasi dengan rumus alternatif, sehingga
hasil BSDN dapat diperbaiki. Dalam tahap tertentu, peneliti sudah merasa cukup
apabila mampu mencatat bahwa berbagai indikator memberikan kriteria yang
sama untuk membedakan kegiatan yang memiliki keunggulan komparatif dan yang
tidak (Scandizzo dan Bruce 1980), padahal para perumus kebrlakan sering
SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUNA/CAKALANG OI SULAWESI UTARA:
ANALISIS BIAYA-MANFAAT SOSIAL Bucliman Hutabaratdan Banbang Sayaka
membutuhkan indikator untuk memberikan urutan peringkat berbagai kegiatan
altematif atau untuk memutuskan satu kegiatan yang diinginkan.
Untuk membandingkan berbagai pilihan yang mungkin dilakukan bagi kegiat-
an pertanian, ukuran yang ideal adalah menghitung Keuntungan Sosial Bersih
(KSB) dari setiap pilihan, sebagai berikut:
KSB (Oo) = PoQo
-
PdOd
-
PtQt
(1)
dimana Qo, Qd, dan Qt masing-masing adalah jumlah keluaran , faKor domeslik,
dan barang-barang yang dapat diperdagangkan, serta Po, Pd, dan Pt adalah
harga-harga tandingan sosial (social oppoftunity cosfs) atau harga-harga bayangan
yan0 terjadi. Namun, perbandingan KSB secilra langsung kurang bermakna'
karena harus terikat pada satuan yang khas dengan pembilang (numeraire) fisik
seperti rupiah per ha atau per ton keluaran. Hal ini tentu akan memberi kesulitan
dalam membandingkan kegiatan yang berbeda. Oleh karena itu cara ini jarang
digunakan di pertanian Oweeten 1986). Untuk mengtasi hal ini, dibentuklah suatu
nisbah yang bebas satuan, dapai dalam bentuk BSDN atau B-MS (Biaya-Manfaat
Sosiaf=socia/ Benefrt-costs) yang diturunkan dari persamaan (1), dengan memisahkan PdQd dan membagi kedua sisi dengan nilai tambah yang diperdagangkan,
PoQo - PtQt, sehingga diperoleh:
P.lr\.l
PoQo - PtQt
= 1-
KSB(Qo)
(2)
PoQo -
ftQt
Bagian sebelah kiri persamaan (2) adalah nisbah BSDN.
untuk memungkinkan terbentukPada awalnya indeks ini dinormalisasikan
nya peringkat kegiatan tanpa perlu menduga nilai tukar bayangan mata uang,
tetapi dalam prakteknya analisis BSDN selalu dilakukan dengan menghitung nilai
tukar bayangan mata uang, sehingga semua biaya dikonversikan dalam mata
uang yang sama.
Dengan memanfaatkan nilai tukar bayangan mata uang, maka semua
narga-harga dapat dikonversi ke dalam mata uang yang sama. Oleh karena itu
persamaan (1) dapat pula dinormalisasikan dalam bentuk lain, yakni dengan
membandingkan semua biaya dan semua manfaat
ke dalam nisbah &MS.
Caranya dengan memisahkan semua biaya ke sisi sebelah kiri persamaan (1) dan
membagi kedua sisi dengan penerimaan PoQo, maka diperoleh (Masters dan
Wnter-Nelson 1995):
PdQd + PtQt
KSB(oo)
PoQo
PoQo
(3)
JAE. Volume 19, No. 2, Oklober 2001 | 75 - 97
78
Bagian sebelah kiri persamaan (3) disebut nisbah B-MS. Apabila manfaat sosial
bersih sama dengan nol, B-MS (dan BSDN) bernilai 1. Seperti halnya BSDN,
kegiatan yang menguntungkan mempunyai B-MS antara 0 dan 1, dan kegiatan
yang tidak menguntungkan memiliki nilai B-MS lebih besar dari 1. Namun, tidak
seperti BSDN, B-MS tak mungkin bernilai negatif. Lebih penting lagi nilai ini tidak
dipengaruhi oleh perbedaan pengelompokkan biaya seperti "yang dapat
diperdagangkan" dan "yang tidak dapat diperdagangkan", merupakan aspek
yang paling sulit diatasi secara empiris dalam analisis BSDN, terutama apabila
masukannya adalah masukan antara seperti angkutan (Monke dan Pearson
1989). Indeks B-MS juga memberi hasil yang lebih konsisten daripada indeks
BSDN.
Data dan Responden
Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Jenis responden
mencakup juragan dan anak buah kapal penangkap ikan tuna/cakalang (di bawah
30 GT) dan pedagang pengumpul ikan. Disamping itu responden juga mencakup
kalangan bukan nelayan yang mencakup petugaS.petugas PPI (Pelabuhan
Pendaratan lkan), PP (Pelabuhan Perikanan), TPI (lempat Pelelangan lkan),
Dinas Perikanan setempat, pedagang dan pengekspor, dan instansi pemerintah
seperti Kantor Wilayah Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Koperasi,
Laboratorium Uji Mutu Hasil Perikanan, dan Lembaga Penelitian.
Tabel
No.
1. Jenis dan Jumlah Responden di Sulawesi Utara, 1999
Jenis resoonden
Anak Buah Kapal (ABK)
Juragan/pemilik kapal
Pedagang pengumpul
4.
Industri pengolah/eksportir
ikan tuna dan caKalang
Jumlah
Tk.
5.
lnstansi Dinas Perikanan
o.
Koperasi
BPP
Jumlah
7.
lo
Kodya Manado
Kab.Minahasa
Kod.Gorontalo
Kodya Manado
Kab.Minahasa
Kod.Gorontalo
Kodya Manado
Kab.Minahasa
Kod.Gorontalo
Kodya Bitung
Kod. Gorontalo
t&
16
15
5
5
5
4
2
2
4
J
4
tl
Kodya Manado
Kab.Minahasa
Kod.Gorontalo
Kecamatan
SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUNIJCAKALANG DISULAWESI
85
UTAM:
ANALlsls BfAYA-MANFAAT SOSIAL Eud,iratl Hutabant dan Bambang sayaka
79
Pemilihan responden dilakukan dengan menggunakan cara acak berlapis
dengan jumlah 15 juragan kapal penangkap ikan di provinsi Sulawesi Utara.
Lapisan'yang digunakan adalah jenis alat penangkapan ikan atau bobot mati
peiahu motor/armada. Secara rinci jumlah dan jenis responden tertera pada
iabel 1 . Untuk menerapkan analisis Biaya-Manfaat Sosial' dilakukan pemisahan
biaya secara langsung dengan mendasartannya pada tabel Input-Output
Ind-onesia 1995 yang diterbitkan BPS (BPS 1998). Meskipun penelitian
dilakukan pada tahun 1999/2000 banyak koefisien dalam tabel l-o tersebut
belum berubah. Untuk lebih rinci dapat dilihat pada lampiran (Lampiran Tabel 1).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Profil Subsektor Perikanan Sulawesi Utara
Potensi Sumberdaya
Gambaran umum perikanan Sulawesi Utara menunjukkan bahwa jenis
yang
ikan
dominan adalah tuna, cakalang dan layang. Jenis-jenis ikan tersebut
tersebar di 7 kabupaten, yaitu: Kabupaten Minahasa, Kabupaten Bolaang
Mongondow, Kabupaten Gorontalo dan Kodya Gorontalo, Kodya Bitung dan
Kabupaten Sangir Talaud Oabel 2). lkan tuna dan cakalang relatif sudah
dimanfaatkan dari seluruh wilayah perairan. Disamping itu ikan layang, kerapu,
nener, lobster dan ikan hias juga sudah dimanfaalkan walaupun masih relatif
sedikit. lkan layang diekspor dalam benluk beku lerutama digunakan unluk
umpan oleh armada penangkap ikan asing.
Tabel 2. Komoditas lkan Laut yang Dominan di Provinsi Sulawesi Utara, '1997
No.
Kabupaten/Kodya
Komoditas ikan yang
Komoditas ikan
Pd
berkembang
, Cakalang, Tuna, Layang,
KeraPu
KeraDu
sudah
2.
Kabupaten lvlinahasa Cakalang, Layang
Cakalang, Layang, Tuna,
Kerapu
3. Kabupaten Bolaang Tuna, cakalang, Layang Tuna, Layang,
Lobster, Nener
l\.4ongondow
4. Kabupaten Gorontalo Tuna, Cakalang, Layang, Cakalang, Layang, Kerapu,
5.
Kodya Gorontalo
6.
Kodya Bitung
7.
Kabupaten Sangir
Talaud
Kerapu, Nener
Tuna, Cakalang,
Nener
Cakalang, Layang,
Kerapu, lkan Hias
Cakalang, Layang,
Kerapu,
JAE. Volume 19. No. 2, Ohober 2001 : 75 - 97
80
Layang,
Hias,
Lobster
Tuna, Nener, lkan Hias
Cakalang, Layang, Tuna,
Nener
Cakalang, Tuna, Layang,
Kerapu, Nener, lkan Hias
Cakalang, Tuna, Layang,
Kerapu, Lobster, Nener
Berdasarkan perkiraan potensi lestari, hasil perikanan Sulawesi Utara
masih cukup tinggi Oabel 3) dan tingkat pemanfaatannya masih rendah, yaitu
64 persen unluk perairan '12 mil dan 18 persen untuk ZEE (Tabel 4). Di tingkat
nasional menurut Jusuf dkk. (1999) tingkat pemanfaalan tuna baru mencapai 58
persen. Masih terdapat kemungkinan untuk meningkatkan produksi tuna dan
cakalang untuk mendukung kebuakan PROTEKAN 2003 atau kebi.iakan meningkatkan ekspor hasil perikanan tahun 2003. Peningkatan produksi terutama
ditujukan di perairan ZEE yang tingkat pemanfaatannya masih relatif rendah.
Selama ini perairan ZEE lebih banyak dimanfaatkan oleh armada perikanan
asing dengan menggunakan kapal berukuran dan modal relatif besar, bahkan
dengan pemasangan rumpon.
Tabel 3. Prakiraan Potensi Lestari Pedkanan Sulawesi Utara (ton/ha), 1997
Jenis sumberdaya
No.
1.
Perairan
Peratran zEE
Demersal
30.800
Pelagis
61.500
165.200
Tuna
12.800
12.100
Cakalang
20.800
I 9.600
Sumber: Dinas Perikanan Sulawesi Utara (1997).
Tabel
4.
Tingkat Pengusahaan Penangkapan Hasil Perikanan Sulawesi Utara'
1994-1 995
No.
Tingkat Pemanfaatan (%)
Jenis perairan
1
1.
994
Perairan 12 mil
OU
Perairan ZEE
18
1995
64
'18
Sumber: Dinas Perikanan Sulawesi Utara, 1997
Sarana Penunjang
Untuk dapat meningkatkan produksi perikanan khususnya tuna dan
cakalang diperlukan dukungan berbagai macam program, fasilitas atau sarana
penunjang, serta pengkajian yang mendalam. Adapun sarana berupa kapal/alat
tangkap yang beroperasi di perairan Sulawesi Utara mencapai 26.411 buah
yang terdiri dari kapal perikanan asing 225 buah, kapal perikanan lndonesia
6.147 buah, dan kapal atau perahu nelayan kecil. Armada tersebut didukung
SUASEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUNTr'CAKALANG DI SULAWESIUTARA:
ANALISIS BIAYA-MANFAAT SOSTAL Sudilnat Hartabaqtdan Bambang Sayaka
81
oleh.jumlah nelayan mencapai 73.350 dan tingkat produksi mencapai 80.448 ton
di perairan 12 mil dan 35.900 untuk ZEE.
Pangkalan kapal perikanan asing dipusatkan di Pelabuhan Bitung,
sedangkan kapal perikanan Indonesia berpangkalan di beberapa daerah.
Pelabuhan Pendarata-n lkan (PPl) lerdapat di Dagho (Sangihe Talaud) dengan
luas darmag? 720 m', Tumumpa (Kodya Manado) 2 unil masing-masing 180
dan 320 m', Dodepo (Bolaang Mongondow) 180 m', Gorontalo (Kodya
Gorontalo) 180 m', Kwandang (kabupaten Gorontalo), Belang (Minahasa) 240
m', dan Aertembaga (Bitung). Walaupun demikian tidak semua PPI tersebut
berfungsi dengan baik. Misalnya, PPI Dodepo tidak digunakan lagi oleh nelayan
setempat dan mereka kembali ke tempat pendaratan ikan semula yang lebih
praktis walaupun arealnya lebih sempit, Kapal-kapal perikanan lndonesia jenis
purse seine (pajeko) banyak berpangkalan di Kema (Kabupaten Minahasa).
Jenis pole and line (funai) banyak berpangkalan di Pasar Sehati dan Bunaken
(Kodya Manado) dan kapal longline (hand /r';4e) banyak berpangkalan di
pelabuhan perikanan Gorontalo dan Bongo (Kodya Gorontalo).
Untuk menguji produk perikanan olahan yang akan dieskpor, di Bitung
terdapat Laboratorium Uji Mutu Hasil Perikanan Sulawesi Utara. Laboratorium
ini menyediakan jasa bagi perusahaan yang akan mengekspor produk ikan dari
Sulawesi Utara. Perusahaan yang dilayani bukan hanya perusahaan eksportir
yang berdomisili di Sulawesi Utara, tetapi ada juga yang berdomisili di Jakarta
dan Denpasar. Jenis ikan yang diuji antara lain ikan beku yang meliputi
cakalang, cumi, gurita, hiu, ikan campuran, deho, demersal fillet, layang, tuna
loin, tuna slice, dan tuna steak. Disamping itu, mereka juga menguji ikan kaleng,
ikan kayu, deho segar, lobster segar, dan tuna segar. Walaupun demikian tidak
semua produk ikan olahan yang diekspor diambil sampelnya untuk diuji, apalagi
kalau pengolahan dilakukan ditengah laut. Hal ini terlihat dari perbedaan jumlah
produk ikan yang dieskpor yang dicatat oleh Laboratorium Uji Mutu Hasil
Perikanan dengan Kantor Wilayah Depa(emen Perindustrian dan Perdagangan.
Pada tahun 1997 dan 1998 volume eskpor ikan yang dicatat oleh Kanwil
Depperindag sebanyak 49.060 dan 79.493 ton, sedangkan yang dicatat oleh
Laboratorium tersebut pada tahun yang sama hanya 16.155 dan 20.999 ton.
Perbedaan ini antara lain disebabkan mendesaknya waktu antara pengapalan
dengan pengambilan sampel untuk uji mulu. Penyebab lain adalah karena tidak
adanya kewajiban yang diminta oleh pengusaha pengimpor di luar negeri unluk
melampirkan sertifikat uji mutu bagi sebagian perusahaan eksportir di dalam
negeri. Hal ini berpotensi untuk meng-under-estimate jumlah dan perolehan nilai
ekspor dan menimbulkan kerugian negara.
Sarana penunjang lain adalah perusahaan pengolah dan pengekspor
hasil perikanan yang jumlahnya cepat meningkat, mencapai 29 buah Oabel 5)
dibanding 4 buah pada tahun 1994 (PuMoto et a/., 1995), umumnya beroperasi
atau berdomisili di Kodya Bitung dan Kodya Gorontalo. Bitung menjadi lokasi
yang banyak diminati perusahaan pengolah dan eksportir perikanan karena
JAE. Volumo 19, No. 2, Ohob€r 2001 : 75 - 97
az
beberapa alasan, yaitu: (i) Dekat dengan wilayah penangkapan (fishing ground),
(ii) Dekat dengan pelabuhan, dan (iii) Mudah melakukan ekspor. Namun dari 29
perusahaan tersebut saat ini (1999) yang aktif tinggal sekitar 10 buah
perusahaan. Belum dikelahui penyebab dari tutupnya atau tidak beroperasinya
perusahaan-perusahaan tersebut. Beberapa informasi di lapangan ada yang
menduga hal ini berkaitan"dengan faKor persaingan dalam mendapatkan bahan
baku. Purwoto et a/. (1995) juga menduganya seperti itu. Sebagian perusahaan
yang masih beroperasi tersebut bermilra dengan nelayan lokal dengan
memberikan bantuan operasi perahu seperti es dan bahan bakar. Misalnya, FFF
yang berlokasi di Bitung mempunyai kelompok nelayan binaan di Belang (4
kelompok) dan di Likupang (1 kelompok). Manfaat kelompok nelayan binaan
bagi perusahaan pengolahan adalah membuat ketersediaan bahan baku lebih
terjamin. Sebagian perusahaan lagi mendatangkan bahan baku dari luar
perairan Sulawesi Utara, antara lain perairan Ambon. Bahkan DDD, yaitu
perusahaan patungan dalam dan luar negeri, mengimpor sebagian bahan baku
dari Filipina. Walaupun demikian diduga ikan tersebut berasal dari perairan
Sulawesi yang ditangkap oleh kapaFkapal Filipina. Dari sebagian perusahaan
yang aktif beroperasi saat pengkajian ini tidak ada satupun yang memiliki
kapasitas riil mendekati 100 persen. Sedangkan kapasitas terpasang antar
perusahaan sangat bervariasi. Kapasitas terpasang paling kecil adalah BBB di
corontalo, yaitu 5 ton/hari ikan mentah dengan kapasitas riil 25-35 persen.
Sedangkan DDD memiliki kapasitas terpasang tertinggi, yaitu 120 ton/hari
Cl-abel 6). Kapasitas riil perusahaan tersebut rala-rata 75 persen, dan bahkan
Dada saai krisis moneter anlara 1997 sampai 1999 hanya 50 persen. Dalam hal
ini harga ikan yang diterima nelayan relatif baik karena semua perusahaan
pengolahan yang ada di Gorontalo dan Bitung bersedia membeli dengan harga
bersaing. Tidak adanya sistem kartel antar perusahaan pengolahan/eksportir
ikan dalam pembelian ikan mentah membuat harga yang terbentuk mengikuti
harga pasar, dalam hal ini harga dunia.
Tabel 5. Jumlah Perusahaan Pengolah dan Pengekspor lkan di Sulawesi Utara'
1998
Jenis
kan segar (fesh
4.
Jumlah
t?sf,)
lkan beku (frozen fish)
14
lkan kering (dried fish)
4
lkan kaleng (canning)
SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUN'/CAKALANG DI SULAWESI UTARA
ANALfSIS BfAYA-tuIANFAAT SOSIAL Budiman Hutabant.lan Eambang Sayaka
:
83
Tabel
6.
Kapasitas Terpasang dan Kapasitas Riil Beberapa Perusahaan
Pengolahan lkan di Sulawesi Utara, 1999
Nama
Perusahaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Tahun
Berdiri
AAA
Bitung
BBB
CCC
DDD
EEE
FFF
Gorontalo
7 ]9GG
Gorontalo
Bitung
Gorontalo
Bitung
Bitung
'I
999
992
1998
1992
1988
1980
1975
Kapasitas
Terpasang
Kapasitas
Riil
(lon/hari)
(Yol
20
25
25-35
60-75
75
'|
I
120
20
40
20
50-60
50
Subsektor Perikanan dan Tujuan Ekspor Hasil Perikanan Sulawesi Utara
Sektor pertanian masih merupakan penyumbang terbesar terhadap
Produk Domestik Bruto (PDRB) Sulawesi Utara. Pada tahun 1994 sumbangan
sektor pertanian sebanyak 27.5 persen dari total PDRB dan cenderung turun
menjadi 26.1 persen pada tahun 1997. Termasuk di dalam sektor pertanian ini
antara lain subsektor oerikanan.
Subsektor perikanan hanya menduduki peringkat ke tiga, dibawah subsektor perkebunan. Selama periode 1994-1 997 sumbangan subsektor perikanan
relatif tidak berubah, yaitu antara 3.1 dan 3.2 persen.
Sumbangan devisa subsektor perikanan berfluktuasi antar tahun (Lampiran Tabel 2). Pada tahun 1989 subsektor perikanan menghasilkan devisa
4.462 juta dolar Amerika Serikat (AS) dan terus meningkat hingga 50.783 juta
dolar AS pada tahun 1993. Selama periode tahun 1994-1997 nilai ekspor
perikanan Sulawesi Utara berfluktuasi dan 42.041 AS sampai 69.859 juta dolar
AS. Secara relatif sumbangan sub sektor perikanan terhadap total ekspor di
provinsi ini mulai meningkat sejak tahun 1990, yaitu sebesar 26.05 persen, yang
tahun sebelumnya hanya 6.48 persen. Pangsa nilai ekspor perikanan mencapai
tertinggi pada tahun 1993 (47.59 persen). Sedangkan nilai ekspor tertinggi
dicapai pada tahun 1998, yaitu 75 juta dolar AS.
Ekspor perikanan provinsi Sulawesi Utara didominasi oleh produk ikan
beku, segar, kaleng, dan kering atau ikan kayu. Jenis produk lain yang juga
diekspor adalah tepung ikan, nener, ikan karang dan kerapu hidup, sirip ikan
hiu, isi perut ikan, kerang, dan kepiting hidup. Pada tahun 1996 dan 1997 paling
sedikit terdapat sekilar 20 macam produk perikanan yang diekspor Oabel 7).
JAE. Volumo '19, No. 2, Ohob€r 2001 : 75 - 97
a4
Tabel
7.
Jenis dan Persentase Hasil Perikanan yang Diekspor dari Sulawesl Utara,
1996 dan '1997
1997
1996
Jenis ikan
Volume
Kerang-kerangan
Segar:
Tuna
Skipjack
lKan campuran
lkan karang
lkan demersal
Nilai
Volume
0.00
0.00
0.16
0.46
1.62
9.47
0.86
3.39
0.22
15.40
1.98
1.67
0.01
6.54
0.64
o.41
0.00
0.00
1
.98
7.30
0.03
0.13
U.
OJ
0.01
Beku:
Tuna
Skipjack
Scad
lKan campuran
lkan karang
Cumi-cumi
Layang
Layur
Gurita
Seal
Lobster
lkan demersal
Tuna kaleng
Skipjack kaleng
Bonito kaleng
lkan kering/kayu
fotal
.
o/o
juta ton
juta dolar AS
8.01
2.04
1.40
38.40
0.00
0.25
2.43
0.00
0.00
0.94
0.03
12.50
10.80
0.26
1.21
100.00
42.42
o.87
2.19
1.98
15.20
0.00
0.00
3.55
0.00
0.00
o.11
0.16
0.09
30.20
22.70
0.55
5.60
100.00
1.27
1.55
7.22
1.69
36.50
0.15
0.02
1.72
5.03
0.00
0.00
0.04
0.00
3.51
2.35
9.65
0.40
0.01
2.11
0.85
0.01
0.00
0.'10
0.00
22.00
't4.70
0.00
34.10
12.10
10.10
0.00
3.05
100.00
100.00
55.58
OJ.9J
38.54
SUmber: Department of Industry and trade, North sulawesi Provincial Office (1998) (diolah)
.
Berdasarkan nilai ekspor, tujuan ulama ekspor hasil perikanan Sulawesi
Utara lerbatas pada enam negara di dunia yaitu Jepang, Amerika Serikat,
Inggris, Korea, Filipina, dan Taiwan, sedangkan berdasarkan volume, tujuan
utama adalah Jepang, Korea, Amerika Serikat, Taiwan, Filipina, dan Inggris.
Pada tahun 1996 dari nilai ekspor total sebesar 38.54 juta dolar AS, dari
Jepang diperoleh sekitar 29.20 persen, Amerika Serikat 27.20 persen, Inggris
14.40 persen, Korea 13.00 persen, Filipina 4.22 persen, dan Taiwan 380
SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUN'JCAKALANG DISULAWESIUTARA
ANALfSIS BIAYA-IVANFAAT SOSIAL Eudirns, Hutabrlat dan Bankang Sayaka
I
85
persen Cfabel
8). Dari negara-negara Eropa lain, devisa yang
diperoleh
tampaknya masih sangal kecil, di bawah 1.00 persen kecuali Jerman (2.72
persen). Dari Singapura sendiri hanya 0.14 persen. Tahun berikutnya terjadi
sedikit perubahan, walaupun pangsa terbesar diberikan oleh Jepang sebesar
51.90 persen dari nilai ekspor total sebesar 63.93 juta dolar AS. Amerika
Serikat memberikan 15.40 persen, Inggris 14.40 persen, Korea 7.74 persen,
Taiwan 3.10 persen, Filipina 3.06 persen. Selebihnya hanya memberikan
devisa di bawah 2.00 persen.
8.
Tabel
Tujuan dan Persentase Hasil Perikanan yang Diekspor dari Sulawasi Ltata,
1996 dan 1997
1996
1997
Negara
Jepang
KOrea
Singapura
Filipina
Amerika Serikat
Taiwan
Finlandia
Cina
Denmark
Hongkong
Australia
Jerman
Inggris
Kanada
Belanda
Siprus
lrlandia
Hongaria
Swedia
Yunani
Guam
Total
:
%
juta ton
juta dolar AS
13.50
34.20
0.05
29.20
'13.00
o.'14
6.88
11.90
10.30
0.11
6.42
7.59
0.04
0.40
1.30
6.75
0.48
0.01
0.04
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100.00
42.42
27.20
3.80
0.19
1.54
o_44
0.59
'1.00
2.72
14.40
1.33
0.18
0.11
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
'100.00
38.54
31.00
24.90
0.35
7.97
8.43
14.40
0.00
0.17
0.06
0.o7
0.09
0.49
10.00
0.28
0.68
0.00
51.90
0.03
0.06
0.06
0.05
7.74
0.79
3.06
15.40
3.10
0.00
0.35
0.10
0.13
0.18
0.81
14.40
0.57
1. 18
0.00
0.04
0.03
0.04
0.05
100.00
55.58
0.06
0.05
100.00
63.93
Sumbel Department ot Industry and Trade, North Sulawesi Provincial Office (1998) (diolah).
Jenis mata dagang yang diekspor ke Jepang menurut nilainya, seperti
juga diamati Zulham et a/. (1995) adalah tuna segar dan Jepang merupakan
tujuan utamanya, walaupun pada tahun 1996 Singapura juga mengimpomya
JAE. Volume 19. No.2. Ohobor 2001
.'0
:75 - 97
dengan pangsa nilai ekspor O.06 persen. Skipjack segar seluruhnya dikirim ke
Filipina. Hal ini terjadi karena timbulnya kebutuhan bahan mentah untuk
industri-industri pengalengan yang berkembang di pulau-pulau l\ilindanao,
Filipina yang berbatasan dengan Sulawesi Utara. lkan campuran segar diekspor
ke Taiwan dan Filipina, tetapi tahun 1997 seluruhnya dikirim ke Filipina.
lkan karang segar pada tahun 1996 diekspor terutama ke Hongkong
(1 1.35 persen), tetapi pada
persen)
dan Taiwan (8.95
tahun berikutnya dialihkan ke Singapura (9'1.05
persen). lkan demersal seluruhnya ke Jepang.
(88.65 persen nilai ekspor total) dan Amerika Serikat
Tuna beku Dada tahun 1997 diekspor ke lebih banyak negara seperti
Jepang (84.99 persen), Australia (11.68 persen), dan Filipina (342 persen)'
padahal tahun sebelumnya hanya diekspor ke Jepang (77.81 persen) dan
Denmark (22.19 persen). Skipjack beku hampir seluruhnya ke Jepang'
walaupun tahun sebelumnya dijual ke Filipina (0.53 persen). lkan layang beku
terutama ditujukan ke Jepang (di atas 90 persen), Korea (sekitar 3.00 persen)'
dan juga Singapura. Menurut informasi dari beberapa responden ikan layang
atau- ikan layur digunakan oleh nelayan-nelayan Jepang dan Korea sebagai
umpan untuk menangkap ikan kelompok tuna lkan layur dan gurita beku pada
tahun 1997 seluruhnya diekspor ke Korea. Lobster beku terutama diminta oleh
Jepang atau Singapura dan ikan demersal beku juga ke Jepang atau Taiwan.
Tujuan tuna kaleng lebih beragam karena tentu saja lebih tahan simpan
jauh. Pada lahun
persen),
Jepang (19.71 persen)'
1996 dikirimkan ke Amerika Serikat (54.41
karena sudah diolah, sehingga jangkauan pasarnya juga lebih
Inggris (13.79 persen), Kanada (4.39 persen), Jerman (3.59 persen)' dan
AuJtralia (2.43 persen). Selebihnya ditampung oleh Hongkong dan Belanda (di
bawah 2.00 persen). Tahun berikutnya, petanya sedikit berubah dengan munculnya Belanda menggantikan Australia, selain dari negara-negara pengimpor
sebelumnya. Hongkong, Denmark, Yunani, Hongaria, lrlandia, dan swedia juga
mengimpornya, tetapi pangsa nilainya kurang darl 2.00 persen. Artinya potensi
peningkitannya masih terbuka. Gambaran yang hampir sama diamati pada
komoditas skiplack kaleng. sasaran pasar utama adalah Amerika Senkat (45 91
persen), Inggria (45.81 persen), Jerman (5.89 persen) pada tahun 1996, dan
yang sama letapi hanya berbeda
i:aCa tanun 1997 juga dengan pengimpor
pangsa. Pada tahun 1997 ekspor bonito kaleng tidak _ada' tetapi tahun
sebelumnya tercalat diekspor ke Jerman (54.28 persen) dan Denmark (45 72)
Jenis terakhir yang diminati oleh konsumen Jepang dan Korea adalah
ikan kering atau ikan kayu, hasil pengolahan ikan kelompok luna. Dapat
dikatakan hampir seluruh ekspornya ditujukan ke Jepang, dan hanya sedikit
sekali yang di tampung oteh Korea Mungkin saja terjadi karena permintaan
konsumen korea yang keturunan Jepang atau telah terpengaruh oleh cita-rasa
makanan Jepang. lkin olahan jenis ini nilainya relatif tinggi, sekitar 12 85 dolar
AS per kg.
UTARA
SUASEKI-OR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUNFJCAKALANG DI SULAWESI
ANALtsIS BIAYA-ITANFAAT soslAL Brdima, Hutabarat dan Eambang Sayaka
:
87
Dapatlah disimpulkan bahwa ekspor hasil perikanan Sulawesi Utara ke
Jepang adalah tuna segar dan beku, luna kaleng, ikan kering/kayu, layang beku;
ke Amerika Serikat atau ke Inggris adalah tuna kaleng dan skipjack kaleng; ke
Korea adalah ikan campuran beku, scad beku, atau hiu beku; ke Filipina adalah
ikan campuran segar atau beku, skipjack segar; dan ke Taiwan adalah ikan
campuran segar atau beku dan ikan hiu beku.
Hasil laut lainnya yang juga merupakan komoditas ekspor walaupun
masih relatif belum dikembangkan adalah rumput laut dan muliara. lkan kerapu
dan ikan karang hidup sebenarnya sangat potensial untuk diekspor mengingat
harganya yang relatif tinggi. Hambatan dalam ekspor ikan hidup adalah tidak
adanya penerbangan langsung dari Sulawesi Utara ke negara tujuan, misalnya
Jepang. Dengan demikian komoditas tersebul harus diterbangkan melalui
Surabaya atau Jakarta yang akibatnya memakan waktu lebih lama dan biaya
lebih tinggi. Hambatan lain adalah sumberdaya kedua jenis ikan terebut di
perairan Sulawesi Utara relatif terbatas jumlahnya. Dengan kedua kenyataan
diatas jelaslah masyarakat nelayan dan pengusaha perikanan baik itu pengolah
dan pengekspor memiliki peluang untuk mengembangkan pasar ekspor tidak
hanya terbatas pada keenam negara tersebut diatas, tetapi ke negara-negara
lain yang belum pernah berhubungan bisnis perikanan dengan Indonesia atau
mengembangkan volume ekspor ke negara-negara yang memang sudah
merupakan tujuan tetap, atau mengembangkan jenis produk baru atau produk
olahan baru. Di sinilah diperlukan kerjasama fihak pemerintah, pengusaha, dan
masyarakat nelayan. Salah satu pihak saja tidak akan mungkin mampu
menjawab lantangan ini, tetapi harus beBama-sama dengan peran dan
tanggung jawab masing-masing.
Sebagian besar ikan tuna/cakalang hasil tangkapan yang memenuhi
syarat mutu diolah untuk diekspor (60 persen), sedangkan yang tidak memenuhi
mutu ekspor dUual di pasar lokal (40 persen). Tingkat konsumsi ikan penduduk
Sulawesi Utara pada tahun 1995 sebanyak 24.96 kgikapita/tahun.
Daya Saing Produksi Tuna/Cakalang di Sulawesi Utara
Keunggulan Kompantif
Keunggulan kompetitif dihitung dengan menggunakan metode biayamanfaat sosial (B-MS). Semua biaya dan pendapatan diperhitungkan untuk
kurun waktu satu tahun dengan tingkat harga berlaku saat penelitian, termasuk
nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar Rp 7500/dolar AS (Amerika Serikat),
yang dianggap sama dengan harga bayangannya karena mengikuti kebijakan
nilai tukar mengambang sejak tahun 1997. Data yang diolah berdasarkan
wawancara dengan juragan daraujuragan laut sebanyak 15 orang di Kabupaten
Gorontalo, Minahasa, dan Kodya Manado. Ukuran kapal tangkap ikan antara 3
GT sampai 30 GT, berbeda dari penelitian Zulham ef. al (1995) dengan tenaga
JAE. Volume 19. No. 2. Oklober 2001 : 75 - 97
88
penggerak antara 5 PK hingga 't05 PK. Biaya kapal meliputi penyusutan kapal
dan peralatan untuk menangkap ikan, ijin kapal, perbaikan kapal, biaya
operasional penangkapan, dan biaya prosesing ikan (15 persen dari nilai
ekspor). Pemilahan biaya operasional dan biaya lain, serta anggapananggapannya dirinci pada Lampiran Tabel 1. Sedangkan total pendapatan
adalah pendapatan juragan darat. Dalam hal ini pendapatan juragan darat
sebanyak setengah produksi kotor, yaitu selengah dad produksi kotor yang
merupakan bagian juragan darat. Dari bagian juragan tersebut dikurangi 20
persen, yaitu isi perut ikan yang dibuang, dan ikan yang disortir sebanyak 40
persen, lalu dikalikan harga ekspor. Hasil analisis B-MS produksi perikanan di
Sulawesi Utara dicantumkan oada Tabel 9.
Biaya paling sedikit adalah untuk ijin kapal, yaitu Rp 42.000/kapal/tahun,
dan biaya terbesar adalah biaya prosesing karena mencapai '15 persen dari nilai
ekspor ikan (Rp 797 juta). Dengan total nilai ekspor sebesar Rp 2.551 juta dan
total biaya Rp 910 juta, maka diperoleh nilai BMS 0,36. Hal ini menunjukkan
bahwa usaha penangkapan ikan
di
Sulawesi Ulara sangat efisien jika
dibandingkan dengan harga dunia. Zulham
et
a/. (1995) juga menyimpulkan hal
yang sama dari hasil analisis BSDN. Efisiensi usaha penangkapan ikan
mencapai 64 persen. Dengan demikian penangkapan ikan di provinsi layak
untuk diteruskan untuk memperoleh devisa. Walaupun tidak dilakukan
perhitungan, tetapi para penulis memprakirakan bahwa usaha ini masih tetap
efisien, dalam pengertian nisbah biaya-manfaat sosial masih tetap di bawah nilai
satu, manakala nilai rupiah semakin lerdepresiasi.
Tabel
9.
Analisis Biaya-Manfaat Sosial Penangkapan lkan Tuna/Cakalang di
Sulawesi Utara, 1999 (per tahun)'
Rerata Nilai per Kapal
Nilai Total
Total produksi (ton)
11120143
Harga ikan ($/ton)
Biaya (Rp)
Penyusulan
ljin kapal
Perbaikan kapal
7
41343
956
956
6190000
412667
633500
42233
637530000
42502000
050785000
70052333
Prosesing
11962007379
797 467159
Total Biaya (Rp)
Total Pendapatan (Rp)
13657145879
910476392
38278423613
2551894908
BMS
0.356784439
0.356784439
operasional kapal
1
Catatan: $ US 1 setara dengan Rp 7.500.
SUBSEKToR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUNA/CAKALANG Dl SULAWESI UTARA i
ANALlss anYA-MANFAAT SOSIAL Suditnan Hutabaratclan Bambang sayaka
d9
Keunggulan Kompetitif
Meskipun keunggulan komparatif sangat mendukung, Sulawesi Utara
sebagai suatu pusat pertumbuhan ekonomi belum serta-merta memiliki keunggulan kompetitif dari berbagai faKa serta kebijakan pemerintah pusat maupun
daerah di lapangan, seperti: Pertama, nelayan lokal umumnya menggunaKan
kapal penangkap berukuran kecil dan hanya beroperasi di perairan laut kurang
dari 12 mil. Banyak kapal penangkap ikan yang berangkat malam hari dan
kembali pagi harinya. Kapal ikan yang mampu beroperasi di ZEE umumnya
adalah yang berbobot di atas 50 GT. KapaFkapal yang beroperasi di perairan
pantai kurang dari 12 mil (di bawah 30 GT) sudah terlalu banyak, sehingga
terkesan lingkungannya tidak mampu menampungnya lagi. Hal ini teiadi
karena tidak dibutuhkannya surat izin usaha di wilayah ini atau adanya
penyalah-gunaan izin penangkapan oleh armada kapal di atas 30 GT yang
beroperasi di wilayah inijuga. Oleh karena itu, agar keunggulan kompetitif dapat
terjamin pemerintah pusat atau daerah perlu melakukan pengawasan secara
ketat terhadap izin-izin yang telah dikeluarkan dan untuk meningkatkannya
hendaknya kegialan penangkapan diarahkan ke kawasan ZEE, meskipun pihak
dinas perikanan berpendapat bahwa laju peningkatan penangkapan masih jauh
di bawah potensi lestari perikanan Sulawesi Utara. Pendapat ini seharusnya
perlu dikaji lebih cermat karena seperti dikatakan bahwa nelayan lelah
mengalami kesulitan memperoleh hasil tangkapan yang memadai setiap kali
beroperasi. Apalagi tidak satu pihakpun yang menginginkan masyarakat nelayan
berusaha secara sia-sia seperti ilu.
Kedua, sistem tata niaga hasil perikanan luna dan cakalang di Sulawesi
Utara merupakan kombinasi antara: sistem bagi hasil, yakni antara anak buah
kapal (ABK atau masanae) dengan juragan/pemilik kapal; dan sistem jual-beli atau
konsinyasi, yakni antara juragan/pemilik dengan pedagang pengumpul atau
dengan industri pengolah/eksportir, dan antara pedagang pengumpul dengan
industri pengolah/eksportir. Meskipun dalam beberapa hal pedagang pengumpul
atau industri pengolah/eksportir memberikan modal juga kepada pedagang mitra di
tingkat bawahnya. Namun keterikatan antar simpuFsimpul tataniaga ini sebetulnya
kurang kokoh.
Ketiga, juragan/pemilik kapal dapat menjual ikannya ke pedagang
pengumpul atau langsung ke industri pengolah/eksportir, tergantung harga dan
jarak tempuh. Sedangkan pedagang pengumpul menjual ikannya ke industri
pengolah/eksportir dan ke pengecer lokal. Sistem harga yang diterapkan oleh
pengumpul dan juga juragan adalah berpatokan pada harga yang ditetapkan
oleh pabrik (industri pengolah/eksportir), dan eksporlir menetapkan harga
berdasarkan fluktuasi harga tuna/cakalang di pasaran dunia. Dalam transaksi
tersebut pedagang pengumpul mengambil keuntungan antara 8 persen sampai
30 peren harga belinya. Pedagang pengumpul selain mendapat ikan dari
iuragan, juga dari nelayan bebas, serta nelayan yang terikat dengannya. lkatan
ini berupa penyediaan es dan bahan bakar untuk operasi ke laut.
JAE. Volome 19. No.2. Oklober2001 :75 - 97
90
Keempat, sebagian nelayan menjual juga hasil tangkapannya langsung di
tengah laut kepada armada asing yang umumnya membeli dengan harga lebih
tinggi daripada pedagang lokal. Kapal-kapal asing tersebut berfungsi sebagai
caffier yang banyak beroperasi di perairan Sulawesi Utara. Dari pembicaraan
intensif dengan berbagai kalangan yang kompeten dalam penanganan
dokumen, kapal, dan barang di lokasi pengkajian diketahui bahwa kasus seperti
ini sangat banyak terjadi. Hasil tangkapan dan pembelian dari nelayan lokal
biasanya langsung dibawa ke negara asal atau diekspor lanpa izin ekspor.
Dengan demikian tingkat harga ikan tuna dan cakalang yang berlaku di daerah
setempat (Sulawesi Utara) kurang d'pengaruhi oleh penawaran dan permintaan
daerah setempat tapi cenderung dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan
tingkat dunia. Harga ikan di tingkat lokal dapat mahal walaupun sedang musim
puncak jika harga dunia tinggi. Sebaliknya pada musim paceklik harga ikan di
tingkat lokal letap murah jika harga dunia rendah.
Kelima, kenyataan juga menunjukkan bahwa industri pengolah ikan tuna
dan cakalang lokal bekerja di bawah kapasitas produksi yang terpasang,
umumnya rala-rala realisasi produksinya hanya sekitar 50 persen. Hal ini diduga
bertaitan dengan ketergantungan industri pada nelayan lokal/induslri sementara
banyak juga pengolah/eksportir tidak mempunyai armada penangkapan sendiri,
dan mungkin juga karena potensi sumbedaya perikanan yang sudah menurun.
Keenam, adanya pedagang atau penampung saingan di tengah laut itu,
kalau ditinjau dari sisi harga, memang seolah-olah telah membantu fihak
nelayan, tetapi pedagang atau mitra lokal nelayan sangat dirugikan, karena
pasokan kepada usahanya menjadi terganggu, padahal perusahaan lokal ini
mungkin lelah memberikan komitmen modal investasi yang sangat besar bagi
nelayan melalui modal operasi, kapal, atau alat tangkap, sementara kapal
carier lidak menginvestasikan apa-apa. Namun, dari pembicaraan inlensif
dengan berbagai kalangan yang berhubungan dalam penanganan dokumen,
kapal, dan barang di lokasi pengkajian diketahui bahwa penyelesaian prosedur
ekspor menyebabkan urusan menjadi sangat panjang dan berbelit-belit,
sementara mulu ikan terus merosot dengan berjalannya waktu dan sulit
dipertahankan akibat minimnya prasarana penanganan hasil di pelabuhan.
Dengan keterbatasan fasilitas seperli sekarang ini, akan sulit mengharapkan
komoditas perikanan memiliki nilai tambah. Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara
sebagai suatu pelabuhan yang dikatakan memiliki keunggulan komparatif
sebagai pintu ke luar masuk komoditas hasil pertanian dari dan ke Kawasan
Timur Indonesia, terutama hasil perikanan/hasil tangkapan karena berada di
wilayah perikanan tangkap temyata belum memiliki pelabuhan peti kemas,
padahal cara pengiriman atau pengangkutan seperti ini sudah lama dikenal di
Indonesia. Sepantasnya untuk menghadapi komoditas yang mudah rusak
seperti hasil perikanan ini setiap pelabuhan ekspor harus memiliki fasilitas
pendukung seperti es, ruangan pendingin (colcl storage), atau terminal
petikemas dingin (reefer containe). Namun, adanya terminal peti kemas saja
SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUNA/CAKALANG DI SULAWESI UTARA
ANALISfS BIAYA-MANFAAT soslAl Eudima, Hutab€ rat dan Banbang sayaka
:
belum menjawab permasalahan karena ia harus dilengkapi dalam suatu paket
teknologi, yakni tersedianya prasarana dan sarana transportasi untuK
mengangkut petikemas tersebut. Jalan-jalan yang ada harus diperlebar dan
sedapat mungkin tidak ter'lalu banyak mempunyai belokan-belokan tajam seperti
terdaoat saal ini di Sulawasi Utara antara jalan poros Manado, Sulawesi UtaraPalu, Sulawesi Tengah, serta antara pusat-pusat penampungan hasil tangkapan
dengan jalan trans Sulawesi. Hal ini harus menjadi perhatian instansi yang
beMenang dalam pemberian izin, pengawasan, dan yang terkait lainnya.
Selain itu, keunggulan kompetilif produksi aiau ekspor perikanan
luna/cakalang di Sulawesi Utara masih terkendala oleh beberapa faktor di
bawah ini:
1.
Sulit mendapatkan data produksi yang akurat dari Dinas Perikanan karena
semenlara ini retribusi pemanfaatan Tempat Pelelangan lkan OPI) secara
resmi dihapuskan. Dengan lidak adanya pencalatan produksi perikanan
maka sangat sulit unluk menentukan jumlah dan jenis ikan yang ditangkap
nelayan, padahal data ini pedu untuk memantau pemanfaalan populasi jenis
ikan yang bersangkutan.
2.
Sulit melakukan pengawasan terhadap zona ekonomi eksklusif (ZEE)
karena sarana yang terbatas, sehingga banyak pelanggaran-pelanggaran
atau pencurian ikan yang tidak terpantau tetapi banyak dilaporkan oleh
nelayan setempat. Pencurian ikan ini sudah umum terjadi di perairan
Indonesia, bukan hanya di Sulawesi Utara. Harian Kompas (2000)
melaporkan bahwa pencurian ikan sudah lama dilakukan oleh nelayan
asing. Banyaknya pencurian ikan ini antara lain disebabkan lemahnya
penegakan hukum terhadap para nelayan asing pencuri ikan. Nilai ikan
yang dicuri diperkirakan mencapai jumlah sangal besar, yaitu 4 milyar dolar
per tahun.
3.
Sarana ekspor yang belum lengkap sehingga sebagian besar ekspor harus
lewat Surabaya atau Jakafta. Pelabuhan yang ada belum memenuhi
standar internasional. Dengan adanya krisis moneter pertengahan tahun
1997 rencana pembangunan pelabuhan perikanan yang moderen menjadi
tertunda.
4.
Untuk menggarap ZEE perlu investasi kapal yang bertonase besar dan
membutuhkan biaya sangat besar. Disamping itu sumberdaya manusia
untuk pengoperasian kapal penangkap ikan masih sangat terbatas.
5.
Investasi di bidang penangkapan ikan mempunyai risiko besar.
Meskipun kendala-kendala ini telah disadari, pemerinlah daerah Tingkat
Provinsi Sulawesi Utara hingga akhir tahun 1999 belum mempunyai rencana
yang tersusun dengan baik dalam rangka melaksanakan PROTEKAN 2003. Hal
ini tampak belum disusunnya proposal PROTEKAN 2003 tingkat
JAE. Volume 19, No. 2, Oktob€r 2001 : 75 - 97
92
provinsi.
Pemda Tingkat I Sulawesi Utara, dalam hal ini Dines Perikanan Tingkat l, hanya
mempunyai target nilai ekspor perikanan Sulawesi Ulara pada tahun 2003
meningkat menjadi 200 juta dolar. Target ini hampir tiga kali lipat nilai ekspor
tahun 1998. Walaupun demikian belum ada persiapan memadai tentang sarana
dan prasarana untuk menunjang target tersebut. Di tingkat kabupaten, umumnya para aparat hanya mengharapkan bantuan kredlt dari pemerintah pusat
untuk pembelian perahu bagi nelayan kecil. Masalah ini menjadi semakin
kompleks dengan telah bergulimya program otonomi daerah sejak bulan Januari
2001. Peluang ini masih terbuka untuk digali masyarakat dan pemerintah daerah
Sulawesi Utara. serta oemerintah ousat.
KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN
lkan tuna/cakalang relalif sudah dimanfaatkan dari seluruh wilayah perairan Sulawesi Utara. Disamping itu ikan layang, kerapu, nener, lobster dan ikan
hias juga sudah dimanfaatkan walaupun masih relatif sedikit. lkan layang diekspor dalam bentuk beku terutama digunakan untuk umpan oleh armada penangkap ikan asing.
Potensi lestari hasil perikanan Sulawesi Utara diperkirakan masih cukup
tinggi, tetapi tingkat pemanfaalannya masih rendah, sehingga masih mungkin
untuk ditingkatkan. Peningkatan produksi terutama harus ditujukan di perairan
ZEE yang tingkat pemanfaatannya oleh nelayan domestik masih relatif rendah,
semenlara armada perikanan asing telah beramai-ramai memanfaatkannya
dengan menggunakan kapal berukuran dan modal relatif besar, bahkan dengan
pemasangan rumpon.
Dari sebanyak 29 perusahaan pengolahan dan pengekspor hasil perikanan tersebut saal ini (1999) yang aktif tinggal sekitar 10 buah perusahaan. Dari
sebagian perusahaan yang aktif beroperasi saat pengkajian ini tidak ada satupun yang memiliki kapasitas riil mendekati 100 persen, sec€ra rata-rata hanya
sekitar 50 persen. Hal ini terjadi karena faKor persaingan dalam mendapatkan
bahan baku.
Ekspor hasil perikanan Provinsi Sulawesi Utara didominasi oleh produk
ikan beku, segar, kaleng, dan kering atau ikan kayu. Jenis produk lain yang juga
diekspor adalah tepung ikan, nener, ikan karang dan kerapu hidup, sirip ikan
hiu, isi perut ikan, kerang, dan kepiting hidup. Pada tahun 1996 dan 1997 paling
sedikit terdapat sekitar 20 macam produk perikanan yang diekspor, dalam
kelompok kerang-kerangan, tuna, skipjack, ikan campuran, ikan karang, ikan
demeral lainnya, scad, cumi-cumi, layang, layur, gurita, hiu, seal, lobster,
bonito, dan ikan kering/kayu.
SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUNT/CAKALANG DI SULAWESIUTARA:
ANALfsls BfAYA-MANFAAT SOSIAL Budlnan Hutabarct dan Bartbang Sayaka
Berdasarkan nilai ekspor, tujuan utama ekspor hasil perikanan Sulawesi
Utara terbatas pada enam negara di dunia dengan urutan berdasarkan
pangsanya yaitu
Jepang, Amerika serikat, lnggris, Korea, Filipina, dan Taiwan'
'berdasarkan
volume, tujuan utama adalah Jepang, Korea' Amerika
sedingkin
Serikat, Taiwan, Filipina, dan Inggris.
Ekspor hasil perikanan Sulawesi Utara yang utama ke Jepang adalah
tuna segar dan beku, tuna kaleng, ikan kering/kayu, layang beku; ke Amerika
Serikat atau ke Inggris adalah tuna kaleng dan skipjack kaleng.
Usaha penangkapan ikan
di
Sulawesi Utara sangat efisien jika
dibandingkan dengan harga dunia. Efisiensi usaha penangkapan ikan mencapai
64 persen. Dengan demikian penangkapan ikan di provinsi layak
untuk
komparatif
keunggulan
diteruskan untuk memperoleh devisa. Namun, meskipun
ini sangatlah nyala, keunggulan ini masih belum dapat ditingkatkan menjadi
keunggulan kompetitif karena berbagai faktor antara lain: kapal-kapal yang
beroperasi di perairan pantai kurang dari 12 mil sudah lerlalu banyak, sehingga
terkesan lingkungannya tidak mampu menampungnya lagi; keterikatan antar
simpul-simpul tala niaga sebetulnya tidak sekokoh yang dibayangkan banyak
pengamat; pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara sebagai suatu pelabuhan utama
ekspor, ternyata belum memiliki pelabuhan petikemas apalagi petikemas dingin,
padahal cara pengiriman atau pengangkutan barang seperti ini sudah lama
dikenal di Indonesia. Hal ini menyebabkan potensi Sulawesi Utara belum tergali
dengan baik.
Untuk mengatasi kendala-kendala ini, pemerintah daerah Tingkat
I
Provinsi Sulawesi Utara perlu membuat rencana yang tersusun dengan baik,
demikian pula pemerintah daerah tingkat ll untuk mewujudkan program otonomi
daerah yang telah digulirkan pada waktu lalu. Bidang-bidang yang perlu
mendapat pethatian adalah peningkatan sarana dan prasarana, insentif untuk
investasi bagi pendatang baru atau pengusaha yang mengembangkan produk
atau pasar ekspor baru dan pada saat yang sama pengawasan yang ketat untuk
pelanggar aturan dan penindakan pengusaha yang tidak memiliki izin. Hal ini
memerlukan kerjasama yang erat antara pihak pemerinlah, pengusaha dan
masyarakat nelayan. Salah satu pihak saja tidak akan mampu mengatasi
kendala-kendala tersebul. Peluang inl masih terbuka untuk digali masyarakat
dan pemerintah daerah Sulawesi Utara, serta pemerinlah pusat.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 1998. Tabel Input-output lndonesia 1995. Jilid ldan ll. BPS. Jakarta.
Jusuf, G., V.P.H. Nikijuluw, and A.K. Seta. 1999. Development Reorientation
and Post-Crisis Policy of Fishery. Jakarta. Mimeograph.
JAE. Volume 19, No.2. Ohobor2001 :75 - 97
94
Krueger, A. O. '1966. Some Economic Costs of Exchange Control: The Turkish
case. Joumal of Political Economy 74: 466-480.
Masters, W.A. dan A. Winter-Nelson. 1995. Measuring the Comparative
Advantage of Agricultural Activities: Domestic Resource Costs and the
Social Cost-benefit Ratio. American Journal of Agricuiltural Economics 77
: 243-250.
Monke, E. A. dan S.R. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix for
Agricultural Development. Cornell University Press. lthaca NY.
PuMoto, A., Sugiarto, Waluyo, B. Winarso dan Y. Yusdja. 1995. Kinerja dan
Perspektif Pengembangan Agribisnis Tuna dan Cakalang, dalam
Hermanto, M. H. Sawit, A. Zulham, Sunarsih (Penyunting). Kelembagaan
Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian, dan Prospek Pengembangan
Agribisnis di Indonesia. Prosiding PSE. Bogor. pp. 112-131.
Scandizzo, P.L. dan C. Bruce. 1980. Methodologies for Measuring Agricultural
Price Intervention Effects. The World Bank Staff Working Paper No. 394.
Washington.
E. 1984, Effective Proteclion, Domestic Resource costs, and Shadow
Prices. The World Bank Staff Working Paper No. 664. Washington DC.
Tower,
Tsakok,
l.
1990. Agricultural Price Policy: A Practitioner's Guide to Partial
Equilibrium Analysis. Cornell University Press. lthaca NY.
Tweeten, L. 1986. lmpac{ of Domestic Policy on Comparative Advantage of
Agriculture in the South. Southern Journal of Agricullural Economics 18:
67-74.
Zulham, A., Saktyanu, K.D., C. Muslim, dan N. llham. 1995. Potensi Pasar Tuna
dan Prospek Penangkapan Tuna di Sulawesi Uta.€, dalam A. H. Taryoto,
Puwoto, Sumaryanto (Penyunting). Kelembagaan dan Prospek
Pengembangan Beberapa Komoditas Pertanian. Prosiding PSE. Bogor.
pp. 161-182.
A.
SUASEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUN'r'CAKALANG OI SULAWESI UTARA
ANALIS fS E IAYA-MANFMT SOSIAL E udtttat Hult barat dah Ban bang Sayaka
:
95
LampiranTabell. Anggapan-anggapan pengalokasian faKor-faktor dalam
proses produksi penangkapan ikan
Pengafokasian komponen faKor dalam negeri dan ba.ang tradable dilakukan
dengan pendekatan langsung, karena bagi tradable gpods baik masukan atau
keluaran, permintaannya dapat dipenuhi dari pasokan pasar dunia manakala
terjadi kekurangan.
1.
Biaya produksi dalam negeri meliputi tdnaga kerja dan rumpon.
2.
Tradable goods diantaranya meliputi perahu/kapal, mesin penggerak,
alat tangkap, lampu penerangan, palka, peralatan masak, keranjang
ikan, rumpon. Pengalokasiannya dilakukan berdasarkan Table InputOutput Indonesia 1995 (BPS 1998) sebagai berikut:
produksi Domestik
(o/")
Perahu/kaoal 32.56
Mesin penggerak 24.20
25.71
Alat tangkap
Lampu/penerangan 24.20
Palka
27.74
Peralatan masak
24.87
27.74
Keranjang ikan
30.76
Rumoon
Faktor
3.
Tradable
(vt
63.54
72.34
72.27
72.34
71.40
72.59
71.40
65.72
Pajak
(Yo)
3.90
3.46
2.02
3.46
0.86
2.54
0.86
3.52
Untuk barang-barang yang tidak diperdagangkan secara inlernasional, tetapi di dalammya ada (diduga) komponen barang yang
diperdagangkan, maka pengalokasiannya mengacu tabel l-O 1995
(BPS 1998) sebagai berikut: domestik (37.34Yo), tradable (59.690/0),
dan pajak (2.97o/o).
4.
Biaya BBM (Bahan Bakar Minyak) dialokasikan berdasarkan acuan
tabel l-O 1995 (BPS 1998): domestik (36.89%), lradable (62.59%),
dan pajak (0.52%).
5.
Biaya tata niaga atau angkutan dialokasikan dengan acuan label l-O
1995 (BPS 1998) sebagai berikut:
Pajak
Jenis angkutan
e/.)
2.36
Darat
7.84
Air
Jasa angkutan
Bongkar-muat
Pengepakan
JAE. Volume 19, No. 2, ohober 2001 : 75 - 97
96
Domestik
(Yo)
M.24
62.72
Domestik
(V")
100.00
86.00
Tradable
(Y.)
53.40
29.44
Tradable
(o/"\
0.00
12.00
Pajak
e/")
0.00
2.OO
Penentuan harga bayangan keluaran dan masukan:
1.
Harga bayangan keluaran didekali oleh harga batas yaitu CIF di
pelabuhan impor ditambah biaya tataniaga alau angkutan yang
dikeluarkan sampai di tingkat lokasi kajian. Bagi komoditas yang
diekspor harga bayangannya adalah FOB di pelabuhan ekspor
ditambah dengan besamya biaya tataniaga dan angkutan dari lokasi
sampai pelabuhan ekspor.
2.
Harga bayangan tenaga keia didekati oleh kondisi tingkal upah di
lokasi kajian.
3.
Harga bayangan peralatan dihitung berdasarkan nilai penyusutan
peralatan dalam satu musim produksi yang nilainya sama dengan
nilai aklualnya.
4.
Harga bayangan modal dihitung berdasarkan tingkat suku bunga di
Singapura atau Jepang dikurangi laju penurunan nilai tukar rupiah
terhadap mata-mata uang negara rujukan.
Lampiran Table
2. Perbandingan Nilai Ekspor Perikanan terhadap Eskpor Total
Provinsi Sulawesi Utara, 1989 -1997
Volume Ekspor Nilai Ekspor Persentase
Tahun Perikanan Perikanan Terhadap
(ton)
1989
1990
1991
1gs2
1993
1994
1995
1996
1997
't998
999"
3.98020
10.653,10
12.328,48
22.404,45
45.615,76
40.005,99
55.472.23
40.511,38
49.060,36
79.492,70
24.296,71
(us
$)
Eskpor Total
(us
$)
Ekspor Total
14619000
16142001
18782897
50782787
42041188
62091629
38544314
63932749
26.05
28.98
19.10
47.59
29.53
40,81
20.43
27 .97
1 1440
55694524
98343795
106699706
142366162
561
152',164169
188702091
228545143
75.s13.67s
23.232109
Januafl -
Sumber: Kanwil Deperindag Sulawesi Utara, 1989
Dept. of Industry and Trade North Sulawesi Prov. Office, 1998
SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KEHANDALAN EKSPOR TUN'JCAKALANG DI SULAWESI
ANALfSIS BfAYA-I4ANFAAT SOSIAL Budlmat Hutaba rdt.lan Bambang Sayaka
UTAM:
Download