Mencari Fisika Islam - Khilafah Arts Network

advertisement
Kuliner Khilafah Mendominasi Dunia
Dr. Fahmi Amhar
Ramadhan dan Iedul Fitri adalah saat yang tepat untuk
mencoba berbagai jenis kuliner di dunia. Dunia Isla sejak
awal diciptakan untuk tidak memiliki sekat-sekat nasional
maupun etnis. Semua melebur menjadi satu. Yang
menjadi harga mati hanyalah soal halal dan thayyib.
Karena itu, sebenarnya tidak mudah menyebut suatu jenis
makanan sebagai kuliner Islam. Kuliner timur tengah
yang ada sekarang pun sebenarnya sudah jauh lebih kaya
dari di zaman Nabi masih hidup.
Kuliner Syams
sebenarnya adalah warisan Romawi, yang telah
mengalami proses “halalisasi” sesuai syara’ dan
“thoyyibisasi” sesuai ilmu pengetahuan. Demikian juga
dengan kuliner Asia Selatan atau Persia. Semua telah
berkembang.
Sekali lagi yang dipegang oleh kaum
muslimin Cuma satu: halal dan thayyib.
Yang akan kita bahas kali ini kita memang bukan jenis
masakannya, tetapi apa yang dibawa peradaban Islam
sampai ke dapur? Islam membawa setidaknya empat hal
sampai ke dapur:
Pertama adalah norma, yaitu bahwa yang dipersiapkan di
dapur harus bahan yang halal dan thoyyib, serta diolah
dengan cara yang halal pula. Dengan demikian dapat
dipastikan bahwa teknologi pembuatan minuman keras
atau pengolahan darah untuk makanan tidak akan
berkembang dalam dapur Islam.
Kedua adalah bahan-bahan “baru”, yakni bahan makanan
yang baru berkembang setelah sejumlah ilmuwan muslim
menekuni teknik pembuatannya secara praktis, sejak dari
pembudidayaan pertaniannya hingga pengolahannya.
Ketiga adalah alat-alat “baru”, yakni alat-alat masak yang
dikembangkan dan disebarluaskan pemakaiannya oleh
umat Islam ke seluruh dunia.
Keempat adalah teknik memasak yang dipopulerkan, yang
ini boleh saja mencakup keberagaman kuliner antar etnis.
Aspek pertama tentu saja jarang diadopsi oleh negeri non
muslim. Sebagai contoh Jerman atau Perancis saat ini
sangat terkenal aneka minuman kerasnya. Di Technische
Univesitaet Muenchen bahkan ada program studi teknik
pembuatan bir. Namun aspek yang lain, ternyata tidak
ada negeri di dunia saat ini yang tidak “dimasuki Islam”.
Islam ternyata telah masuk sampai ke dapur-dapur
mereka, suka ataupun tidak, tahu ataupun tidak.
Penyebab utamanya adalah revolusi pertanian pada akhir
abad-5 H (11 M). Satu aspek penting revolusi ini adalah
pengenalan dan penyebaran berbagai jenis tanaman baru
seperti padi, sorghum, gandum keras (triticum durum –
digunakan untuk membuat pasta), tebu dan berbagai
jenis bunga, sayuran dan buah-buahan. Adanya tanaman
baru itu mengubah sistem pertanian menjadi lebih intensif.
Al-Marqasi (awal abad 9H / 15M) menceritakan bahwa
sebelum menanam tebu di Mesir, tanah terlebih dahulu
harus dibajak enam kali dengan peluku berat. Ibn alBassal menganjurkan agar pembajakan dilakukan hingga
sepuluh kali dan pemupukan tanah sebaiknya dilakukan
sebelum benih ditebarkan. Aktivitas pemanfaatan lahan
marginal yang sebelumnya tidak berproduksi dengan
berbagai tanaman baru tak luput dari perhatian ilmuwan
Muslim. Berbagai buku manual ditulis, di antaranya Kitab
al-Filaha wa An-Nabatiya dari Ibn Wahsyiyya.
Hasilnya adalah, produksi gandum yang melimpah, yang
kemudian memicu penemuan alat-alat penggiling gandum
yang lebih efisien.
Sebagai bahan pangan utama, padi berada pada posisi
kedua setelah gandum. Padi adalah salah satu tumbuhan
yang pertama kali mulai ditanam pada masa revolusi
pertanian Muslim, ketika harga roti-gandum masih tinggi.
Roti-beras telah meringankan masalah ekonomi yang
muncul di berbagai daerah.
Ada berbagai jenis roti yang dibuat di negeri-negeri Islam.
Sebuah kitab dari Al-Muqaddasi mendaftar sekitar
duabelas jenis dan menguraikan teknik pembuatannya.
Roti yang paling lazim berbentuk pipih dan dibuat dari
gandum serta dibakar dengan cara sederhana.
Di sebagian kota-kota Islam, pembakar roti menjadi
sebuah profesi. Banyak anggota masyarakat yang
membuat adonan roti di rumah lalu membawanya ke toko
roti untuk dibakar. Tukang roti diawasi oleh muhtasib
untuk menjaga kualitasnya agar konsumen terlindungi.
Gula merupakan komoditas dasar yang pengembangan
dan penyebarannya berhutang banyak pada peradaban
Islam. Tanaman tebu berasal dari India, dan menyebar
ke tetangganya, tetapi belum menjadi bahan makanan di
masa pra-Islam. Literatur Barat sebelum abad ke-7 M
tidak menyebut-nyebut gula. Hingga abad pertengahan,
bahan pemanis yang digunakan di Eropa adalah madu.
Dari semua jenis makanan di abad pertengahan, gula
adalah satu-satunya bahan yang membutuhkan proses
kimia.
Pembuatan gula membutuhkan kecakapan
teknologi tinggi, baik pada saat penanaman tebu maupun
proses pembuatannya. Karena itu industri ini berada di
luar kemampuan petani kecil atau buruh, dan sejak awal
negara memainkan peran utama dalam perkebunan tebu
dan pendirian pabrik gula. Dalam kitab Nihayat al-Arab fi
Funun al-Adab dari Al-Nuwairi, banyak terdapat informasi
mengenai perkebunan tebu di berbagai negeri Islam.
Teknologi gula bahkan juga ditransfer ke Cina. Kali ini
bukan “belajarlah sampai ke negeri Cina”, tetapi
“mengajarlah sampai ke negeri Cina”. Menurut Marco
Polo, para teknisi Mesir dipanggil ke Cina untuk mengajari
orang-orang Fukian cara mengilang gula dengan
menggunakan abu kayu bakar.
Selama abad ke-4 dan ke-10 H (ke 10 dan ke-14 M)
banyak ditulis buku-buku masakan (thabikh). Hanya satu
yang telah diterjemahkan ke bahasa Eropa. Sebagian
besar masih dalam bentuk manuskrip. Dari buku-buku itu
dapat dipelajari berbagai jenis hidangan utama yang
disuguhkan di Bagdad, Damaskus, Kairo dan negerinegeri muslim yang lain. Kitab At-Thabikh yang ditulis
oleh Al-Baghdadi tahun 623H / 1226M menguraikan
resep-resep masakan di Baghdad. Buku ini memuat
paling kurang 153 resep yang dapat dikategorikan
sebagai berikut: 22 masakan asam, 6 masakan bersusu,
18 hidangan sehari-hari, 8 gorengan kering, 22 hidangan
sederhana, berbagai masakan ayam, 9 kue kering dan
bakar, 11 hidangan buah-buahan dan kue pastel, 5
hidangan ikan segar, 4 hidangan ikan asin, 3 hidangan
tirrikih (ikan asin kecil), 4 macam saus, 5 masakan
pembuka, 5 masakan penyedap, 12 judhah, khabis dan
hidangan berselai lainnya, 9 halwa atau kue manis, 10
mutabbaq (sejenis kue dadar), dan qataif (sejenis donat).
Buku masakan yang lebih lengkap ditulis oleh Ibn Sayyar
al-Warraq, memuat tidak hanya seluruh aspek masak
memasak tetapi dimulai dengan penjabaran perlengkapan
dapur dan diakhiri dengan adab di meja makan.
Bahkan beberapa resep ditulis spesifik untuk misalnya
orang yang sakit dada atau batuk, orang yang tinggal di
daerah dingin, orang yang sedang bepergian, dan
sebagainya.
Kitab At-Thabikh (Annals
... dapat didownload dari
of
the
Caliph
Kitchens)
http://en.bookfi.org/book/1244889
Pengawetan makanan juga sudah diselidiki oleh para
ilmuwan pangan muslim.
Pengawetan yang lazim
dilakukan dengan pengeringan, pengasinan, pengasapan,
pemberian cuka, kristalisasi gula dan madu, atau
pengawetan dengan bumbu. Ibn al-Awwam dan AlDimasyqi banyak menguraikan proses pengawetan
makanan dalam buku-buku mereka. Es-es pada musim
dingin disimpan di dalam gudang di bawah tanah untuk
mengawetkan buah-buah segar hingga berbulan-bulan,
atau dimasukkan dalam peti-peti pengangkut buah untuk
dibawa ke kota yang cukup jauh.
Kalau sekarang banyak makanan tiruan seperti daging
vegetarian (mirip daging tetapi bukan dari daging),
ternyata hal ini sudah dicoba lebih dari seribu tahun yang
lalu. Sebuah manuskrip yang dinisbahkan ke Al-Kindi
menyebutkan cara-cara membuat hidangan daging yang
dibuat tanpa daging, telor dadar yang dibuat tanpa telor,
kue beras tanpa beras dan kue halwa tanpa madu/gula.
Al-Jaubari dalam kitab al-Mukhtar fi Kasyf al-Asrar (Buku
Favorit Pembuka Berbagai Rahasia) membuat satu bab
khusus tentang rahasia para pembuat makanan,
menyatakan bahwa orang-orang itu punya banyak kiat
dalam memasak, dan tak satupun makanan yang dimasak
tanpa sedikit peniruan. Itulah gunanya para muhtasib
juga memiliki ilmu untuk menguji mutu sosis, daging asap,
gula-gula dan sebagainya.
Hanya dalam Daulah Khilafah, manusia mendapatkan
jaminan kehalalalan dan kethoyyiban makanan, sekalipun
mereka menikmati berbagai cita rasa makanan dari
seluruh dunia.
Download