12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Lipid Lipid adalah senyawa yang

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Lipid
Lipid adalah senyawa yang terdiri dari karbon dan hydrogen yang mempunyai
sifat umum tidak larut dalam air dan larut dalam pelarut bipolar. Kelompok lipid
mencakup lemak, minyak, malam (wax), dan senyawa-senyawa lainnya (Mayes,
2003a).
Lemak disebut juga lipid, adalah suatu zat yang kaya energy, berfungsi
sebagai sumber energy yang utama dalam proses metabolisme tubuh. Lemak yang
beredar di dalam tubuh diperoleh dari dua sumber yaitu dari makanan dan hasil
produksi organ hati, yang bisa disimpan di dalam sel-sel lemak sebagai cadangan
energi (Guyton dan Hall, 2007).
Lipid dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
1. Lipid sederhana yaitu senyawa ester asam lemak dengan berbagai alcohol,
termasuk di dalamnya lemak dan malam (wax)
2. Lipid kompleks yaitu asam lemak yang mengandung gugus lain selain alcohol
dan asam lemak. Dapat dikelompokkan lagi menjadi fosfolipid, glikolipid dan
lipid kompleks lainnya, lipoprotein termasuk dalam kelompok ini.
3. Prekursor dan derivate lipid, bentuk ini mencakup asam lemak, gliserol, steroid,
senyawa alcohol disamping gliserol serta sterol, aldehid lemak, badan keton,
hidrokarbon, vitamin larut lemak serta berbagai hormon (Mayes, 2003a).
12
13
2.1.1. Metabolisme Lipid
Lipid dari intestinal akan diangkut oleh lipoprotein sebagai kilomikron dan
dari hati sebagai VLDL, untuk kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh
untuk dioksidasi dan ke jaringan adiposa untuk penyimpanan. Kemudian lipid dari
jaringan adiposa akan diangkut sebagai asam lemak bebas yang terikat dengan
albumin serum (Mayes, 2003b).
Di dalam sel-sel hati dan jaringan adiposa, kilomikron segera dipecah menjadi
asam-asam lemak dan gliserol. Selanjutnya asam-asam lemak dan gliserol tersebut,
dibentuk kembali menjadi simpanan trigliserida. Proses pembentukan trigliserida ini
dinamakan esterifikasi. Sewaktu-waktu jika kita membutuhkan energi dari lemak,
trigliserida dipecah menjadi asam lemak dan gliserol, untuk ditransportasikan menuju
sel-sel untuk dioksidasi menjadi energi. Proses pemecahan lemak jaringan ini
dinamakan lipolisis (Guyton dan Hall 2007).
Asam lemak tersebut ditransportasikan
oleh albumin ke jaringan yang
memerlukan dan disebut sebagai asam lemak bebas (free fatty acid/FFA). Tidak
semua asam lemak bebas berasal melalui lipolisis, dan digunakan sebagai energi.
Asam lemak bebas yang tidak dioksidasi akan mengalami reesterifikasi menjadi
trigleserida didalam jaringan adiposa maupun hepar atau disimpan intramuskular
(Guyton dan Hall 2007).
Asam lemak bebas yang digunakan untuk energi diaktifkan oleh enzim asilKoA sintetase (tiokinase), kemudian dibawa ke dalam mitokondria dengan diubah
14
oleh CPT (Carnitine Palmitoyl Transferase) I menjadi asilkarnitin, kemudian CPT II
mengubah kembali asilkarnitin menjadi Asil-KoA dengan melepaskan karnitin. AsilKoA mengalami oksidasi β menjadi asetil-KoA. Asetil-KoA masuk ke dalam siklus
asam sitrat untuk menghasilkan energi. Di sisi lain, jika kebutuhan energi sudah
mencukupi, asetil KoA dapat mengalami lipogenesis menjadi asam lemak dan
selanjutnya dapat disimpan kembali sebagai trigliserida (Guyton dan Hall 2007;
Mayes, 2003d).
Langkah-langkah masuknya asil KoA ke dalam mitokondria dijelaskan
sebagai berikut (Kathleen et al., 2006):
1.
Asam lemak bebas (FFA) diaktifkan menjadi asil-KoA dengan dikatalisir oleh
enzim tiokinase.
2.
Setelah menjadi bentuk aktif, asil-KoA dikonversikan oleh enzim karnitin
palmitoil transferase I (CPT I) yang terdapat pada membran eksterna
mitokondria menjadi asil karnitin. Setelah menjadi asil karnitin, barulah senyawa
tersebut bisa menembus membran interna mitokondria.
3.
Pada membran interna mitokondria terdapat enzim karnitin asil karnitin
translokase yang bertindak sebagai pengangkut asil karnitin ke dalam dan
karnitin keluar.
4.
Asil karnitin yang masuk ke dalam mitokondria selanjutnya bereaksi dengan
KoA (Ko-enzim A) dengan dikatalisir oleh enzim karnitin palmitoil transferase
II (CPT II) yang ada di membran interna mitokondria menjadi Asil KoA dan
karnitin dibebaskan.
15
5.
Asil KoA yang sudah berada dalam mitokondria ini selanjutnya masuk dalam
proses oksidasi β.
Asetil-KoA yang dihasilkan oleh oksidasi β ini selanjutnya akan masuk siklus
asam sitrat. Sebagian dari Asetil KoA mengalami kolesterogenesis menjadi
kolesterol. Selanjutnya kolesterol mengalami steroidogenesis membentuk steroid.
Asetil KoA sebagai hasil oksidasi asam lemak juga berpotensi menghasilkan badanbadan keton (aseto asetat, hidroksi butirat dan aseton). Proses ini dinamakan
ketogenesis (Guyton dan Hall, 2007).
Diet
Trigliserida
Esterifikasi
Steroid
Lipolisis
Asam lemak
Lemak Gliserol
Lipogenesis
Steroidogenesis
Oksidasi beta
Karbohidrat
Kolesterogenesis
Kolesterol
Protein
Asetil-KoA
+ ATP
Aseto asetat
Ketogenesis
Siklus asam
sitrat
hidroksi butirat
H2O
ATP
CO2
Gambar 2.1. Ikhtisar Metabolisme Lemak
Aseton
16
2.1.1.1 Oksidasi Asam Lemak (Oksidasi β)
Asam lemak bebas dioksidasi di mitokondria untuk memperoleh energi dalam
proses oksidasi β. Pada oksidasi β, asam lemak bebas masuk ke dalam rangkaian
siklus dengan 4 tahapan proses dan pada setiap proses, 2 atom C diangkat dengan
hasil akhir berupa asetil KoA. Selanjutnya asetil KoA masuk ke dalam siklus asam
sitrat (Kathleen et al., 2006).
Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut (Kathleen et al., 2006) :
1. Reaksi pertama adalah reaksi pembentukan enoil KoA dengan cara oksidasi.
Enzim asil KoA dehidrogenase berperan sebagai katalis dalam reaksi ini.
Koenzim yang dibutuhkan dalam reaksi ini adalah FAD yang berperan sebagai
akseptor hidrogen. Dua molekul ATP dibentuk untuk tiap pasang elektron yang
ditransportasikan dari molekul FADH2 melalui sistem transport elektron.
2. Pada reaksi kedua, enzim enoil KoA hidratase merupakan katalis yang
menghasilkan L-hidroksiasil KoA. Reaksi ini ialah reaksi hidrasi terhadap ikatan
rangkap antara C-2 dan C-3.
3. Reaksi ketiga adalah reaksi oksidasi yang mengubah hidroksiasil koenzim A
menjadi ketoasil koenzim A. Enzim L-hidrokdiasil koenzim A dehidrogenase
melibatkan NAD yang direduksi menjadi NADH.
4. Tahap keempat adalah reaksi pemecahan ikatan C-C, sehingga menghasilkan
asetil koenzim A dan asil koenzim A yang mempunyai jumlah atom C dua buah
lebih pendek dari molekul semula.
17
Asil KoA yang terbentuk pada reaksi tahap 4, mengalami metabolisme lebih
lanjut melalui reaksi tahap 1 hingga tahap 4 dan demikian seterusnya sampai rantai
C pada asam lemak bebas terpecah menjadi molekul-molekul asetil KoA yang
mengandung 2 atom C dan asil-KoA yang telah kehilangan 2 atom C. Demikian
seterusnya hingga hasil yang terakhir adalah 2 asetil-KoA. Asetil-KoA yang
dihasilkan oleh oksidasi β ini kemudian akan masuk siklus asam sitrat (Kathleen et
al., 2006; Guyton dan Hall, 2007).
Sebagian dari asetil-KoA akan berubah menjadi asetoasetat, selanjutnya
asetoasetat berubah menjadi hidroksi butirat dan aseton atau badan-badan keton,
proses ini dinamakan ketogenesis. Sebagian lain dari asetil KoA dapat diubah
menjadi kolesterol melalui proses kolesterogenesis yang selanjutnya dapat digunakan
sebagai bahan untuk disintetik menjadi steroid melalui proses steroidogenesis
(Guyton dan Hall, 2008).
18
Gambar 2.2.Lintasan Ketogenesis di Hati
(Dikutip dari : Guyton dan Hall, 2008).
2.1.1.2. Biosintesis Kolesterol
Pada hakekatnya semua jaringan tubuh yang mengandung sel-sel berinti
mampu mensintesis kolesterol. Banyak faktor mempengaruhi keseimbangan
kolesterol dalam jaringan. Peningkatan terjadi akibat ambilan lipoprotein yang
mengandung kolesterol oleh reseptor, ambilan kolesterol bebas dari lipoprotein yang
kaya kolesterol ke membrane sel, sinstesis kolesterol dan hidrolosis ester kolesteril
oleh enzim ester kolesteril hidrolase. Penurunan terjadi akibat aliran keluar kolesterol
dari membrane sel ke lipoprotein yang potensial kolesterolnya rendah, esterifikasi
19
kolesterol oleh enzim asil ko-A transferase dan penggunaan kolesterol untuk sintesis
senyawa steroid lainnya di hati (Mayes, 2003c).
Struktur dasar kolesterol adalah inti sterol. Inti sterol seluruhnya dibentuk dari
molekul asetil-KoA. Selanjutnya, inti sterol dapat dimodifikasi dengan berbagai
rantai samping untuk membentuk kolesterol, asam kolat (merupakan dasar dari asam
empedu yang dibentuk di hati), dan beberapa hormon steroid penting yang diskresi
oleh korteks adrenal, ovarium dan testis (Guyton dan Hall, 2008).
Terdapat lima tahapan utama dalam biosintesis kolesterol yaitu (Mayes,
2003c):
1. Konversi asetil-KoA menjadi 3-hidroksi-3-metilglutaril-KoA (HMG KoA) dan
mevalonat
2. Fosforilasi mevalonat menjadi molekul isoprenoid aktif yaitu isopentenil difosfat
bersamaan dengan hilangnya CO2.
3. Pembentukan skualen dari 6 unit isoprenoid.
4.
Konversi squalene menjadi lanosterol
5. Konversi lanosterol menjadi kolesterol.
20
Gambar 2.3. Tahapan Biosintesis Kolesterol
Sintetis kolesterol melibatkan banyak enzim yaitu asetoasetil-KoA sintetase
(thiolase), HMG KoA sintase, HMG KoA reduktase, mevalonat kinase,
difosfomevalonat kinase, difosfomevalonat dekarboksilase, isopentenil-difosfat
isomerase,
cis-prenil
transferase,
squalene
sintetase,
squalene
eposkisdase,
oksidoskualen lanosterol siklase, isomerase dan skualen reduktase (Mayes, 2003c;
Guyton dan Hall, 2008).
2.1.2. Transpor Lipid
Lemak yang diserap dari makanan dan lipid yang diproduksi oleh hati dan
jaringan adipose, harus diangkut ke berbagai jaringan dan organ tubuh untuk
digunakan dan disimpan. Karena lipid tidak larut air maka untuk pengangkutannya
21
dalam plasma darah, senyawa lipid non polar harus dikaitkan dengan lipid amfipatik
dan protein untuk membentuk lipoprotein yang bisa bercampur dengan air (Mayes,
2003b).
Lemak dalam darah diangkut dengan dua cara, yaitu melalui jalur eksogen
dan jalur endogen (Rader dan Hobbs, 2014).
1. Jalur eksogen
Trigliserida yang berasal dari makanan akan dihidrolisa oleh enzim lipase di
lumen usus kemudian diemulsifikasikan oleh asam empedu membentuk misel. Asam
lemak rantai panjang bergabung membentuk trigeliserida dan dikemas dengan apo B48, ester kolesterol, ester retinil, fosfolipid, dan kolesterol membentuk kilomikron.
Kilomikron yang baru terbentuk disekresikan ke dalam limfe intestinal dan masuk ke
sirkulasi melalui duktus torasikus, diproses di jaringan perifer kemudian masuk ke
hati.
Kilomikron akan bertemu dengan lipoprotein lipase (LPL) yang melekat di
dinding endotel kapiler jaringan adipose, jantung dan otot skeletal. Trigliserid yang
ada pada kilomikron akan dihidrolisa oleh LPL dan asam lemak bebas dilepaskan.
Asam lemak ini akan diambil oleh jaringan adipose atau miosit dan dapat juga
dioksidasi untuk menghasilkan energy ataupun mengalami reesterisfikasi dan
disimpan sebagai trigliserid. Apolipoprotein pada pada permukaan kilomikron akan
ditransfer ke HDL, menghasilkan kilomikron remnant. Kilomikron remnant
kemudian dikeluarkan dari sirkulasi oleh hati melalui proses yang memerlukan apoE
sebagai ligan untuk reseptor di hati.
22
2. Jalur endogen
Jalur endogen dari metabolisme lipoprotein mengacu pada sekresi lipoprotein
yang mengandung apoB dari hati dan metabolisme partikel kaya trigliserid ini di
jaringan perifer.
Partikel VLDL menyerupai kilomikron pada komposisi proteinnya namun ia
mengandung apoB-100 dan memiliki perbandingan kolesterol terhadap trigliserid
yang lebih tinggi. Setelah disekresikan ke plasma VLDL memperoleh banyak apoE
dan apoC dari HDL, trigliserid dari VLDL kemudian dihidrolisa oleh LPL, terutama
di otot, jantung, dan jaringan adipose. Setelah VLDL remnant terpisah dari LPL,
mereka disebut dengan IDL yang mengandung jumlah kolesterol dan trigliserid
dalam jumlah yang hampir sama. Hati akan mengeluarkan 40-60% IDL dengan
endositosis yang dimediasi oleh reseptor LDL melalui ikatannya dengan apoE. IDL
yang tersisa akan diremodeling oleh hepatic lipase untuk membentuk LDL. Selama
proses ini, hampir semua trigliserid telah terhidrolisis dan semua apolipoporotein
telah ditransfer ke lipoprotein lain, kecuali apoB-100.
Kolesterol dalam LDL mencakup lebih dari separuh dari total kolesterol
plasma pada sebagian besar orang. Sekitar 70% LDL di sirkulasi dibersihkan melalui
endositosis yang dimediasi LDL reseptor di hati
2.1.3. Kolesterol
Kolesterol adalah konstituen mayor dari membran sel pada sel hewan. Tubuh
dapat mencukupi kebutuhan kolesterol harian dengan mensintesisnya sendiri. Dengan
diet campuran hanya setengah dari kolesterol berasal dari biosíntesis endogen di usus,
23
kulit dan sebagian besar di hati (50%); sisanya berasal dari makanan (makanan yang
dikonsumsi) (Koolman dan Roehm, 2015).
Kolesterol merupakan zat esensial dalam tubuh yang menyusun membran,
struktur selaput sel dan merupakan komponen utama sel otak plasma. Kolesterol
adalah jenis lemak yang paling dikenal oleh masyarakat dan merupakan bahan
perantara untuk pembentukan sejumlah komponen penting seperti vitamin D untuk
membentuk dan mempertahankan tulang yang sehat, hormon seks (contohnya
Estrogen dan Testosteron) dan asam empedu untuk fungsi pencernaan (Mark et al.,
2000).
Kolesterol terdapat dalam diet semua orang, dan dapat diabsorbsi dengan
lambat dari saluran pencernaan ke dalam saluran limfe , secara spesifik mampu
membentuk ester dengan asam lemak. Hampir 70% kolesterol dalam lipoprotein
plasma berada dalam bentuk ester kolesterol (Guyton dan Hall, 2007).
Kolesterol bebas di dalam sirkulasi diangkut oleh lipoprotein. Ester kolesteril
merupakan bentuk penyimpanan kolesterol yang ditemukan pada sebagian besar
jaringan tubuh. LDL merupakan perantara ambilan kolesterol dan ester kolesteril ke
dalam banyak jaringan. Kolesterol bebas dikeluarkan dari jaringan oleh HDL
kemudian diangkut ke hati untuk dikonversi menjadi asam empedu, proses ini dikenal
dengan nama pengangkutan balik kolesterol (reverse cholesterol transport) (Mayes,
2003c).
Kolesterol adalah substansi menyerupai lemak yang berada di membrane sel
dan merupakan precursor dari asam empedu dan hormone steroid. Kolesterol beredar
24
dalam darah dalam bentuk partikel yang mengandung lipid dan protein (Lipoprotein).
Terdapat 3 kelas utama dari lipoprotein yang ditemukan dalam darah yaitu low
density lipoproteins (LDL), high density lipoproteins (HDL), dan very low density
lipoproteins (VLDL). Kelas lipoprotein lainnya, intermediate density lipoprotein
(IDL), terletak antara VLDL dan LDL, dalam praktis klinis termasuk dalam
perhitungan LDL (Grundy. et al., 2002).
Gambar 2.4. Struktur Dasar Kolesterol (Mayes, 2003c)
2.1.4. Lipoprotein
Lipid diangkut di dalam plasma sebagai lipoprotein. Lipoprotein terdiri dari
inti lipid hidrofobik (trigliserid dan ester kolesteril) yang dikelilingi oleh lipid
hidrofilik (fosfolipid, kolesterol tidak teresterifikasi) dan protein yang berinteraksi
dengan cairan tubuh. Disamping itu terdapat juga asam lemak bebas dalam jumlah
yang jauh lebih sedikit, yang kini dikenal sebagai lipid plasma yang paling aktif
secara metabolic (Mayes, 2003b; Rader dan Hobbs, 2014).
25
Empat kelas lipoprotein plasma yang telah diidentifikasikan ialah (Mayes,
2003b):
1. Kilomikron
Kilomikron berasal dari penyerapan triasilgliserol di usus, berfungsi sebagai alat
transportasi lemak dari usus ke jaringan lain, kecuali ginjal
2. VLDL (very low - density lypoproteins)
VLDL berasal dari hati untuk mengeluarkan triasilgliserol dengan mengikatnya di
dalam hati dan mengangkutnya menuju jaringan lemak
3. LDL (low - density lypoproteins)
LDL merupakan tahap akhir katabolisme VLDL, berperan mengangkut kolesterol
ke jaringan perifer
4. HDL (high - density lypoproteins)
HDL mengikat kolesterol plasma dan mengangkut kolesterol ke hati, juga
berperan dalam metabolism VLDL dan kilomikron.
26
Keterangan :
A
= Protein
C
= Kolesterol
B
= Trigeliserida
D
= Fosfolipid
Gambar 2.5. Jenis-Jenis Lipoprotein dalam Darah
(Rader and Hobbs, 2005 )
2.1.5. Trigliserida
Sebagian besar lemak dan minyak di alam terdiri atas 98-99% trigliserida.
Trigliserida adalah suatu ester gliserol. Trigliserida terbentuk dari 3 asam lemak dan
gliserol. Apabila terdapat satu asam lemak dalam ikatan dengan gliserol maka
dinamakan monogliserida. Fungsi utama trigliserida adalah sebagai zat energi. Lemak
disimpan di dalam tubuh dalam bentuk trigliserida. Apabila sel membutuhkan energi,
enzim lipase dalam sel lemak akan memecah trigliserida menjadi gliserol dan asam
lemak serta melepasnya ke dalam pembuluh darah. Oleh sel-sel yang membutuhkan
27
komponen-komponen tersebut kemudian dibakar dan menghasilkan energi,
karbondioksida (CO2), dan air (H2O) (Lichtenstein dan Jones, 2001).
2.1.6. Low Density Lipoprotein (LDL)
LDL kolesterol meliputi 60–70% dari total serum kolesterol. LDL
mengandung apolipoprotein tunggal yaitu apo B-100 (Apo B). LDL merupakan
lipoprotein aterogenik yang utama dan telah diidentifikasikan sebagai target utama
dalam terapi penurunan kolesterol, penelitian menunjukkan efikasi bahwa penurunan
LDL kolesterol akan menurunkan risiko penyakit jantung koroner (Grundy, et al.,
2002).
Lipoprotein densitas rendah (LDL) berfungsi membawa kolesterol dari hepar
ke jaringan perifer termasuk ke sel otot jantung, pembuluh darah, otak dan lain-lain
agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya (untuk sintetik membran plasma dan
hormon steroid). Partikel LDL mengandung trigliserida sebanyak 10 persen dan
kolesterol 60 persen. Kadar LDL plasma tergantung dari banyak faktor termasuk
kolesterol dalam makanan, asupan lemak jenuh, kecepatan produksi dan eliminasi
LDL. Bila kita makan banyak lemak jenuh atau bahan makanan yang kaya akan
kolesterol, maka kadar LDL dalam darah kita tinggi. Kelebihan LDL akan berada
dalam darah dengan risiko penumpukan atau pengendapan kolesterol LDL pada
dinding pembuluh darah arteri yang diikuti dengan terjadinya aterosklerosis. Oleh
karena sifat di atas, maka LDL disebut kolesterol yang aterogenik (Metchinson dan
Ball, 2004).
28
2.1.7. High Density Lipoprotein (HDL)
HDL berasal dari hati, ia mengembalikan kolesterol yang terbentuk secara
berlebihan di jaringan dan dinding pembuluh darah kembali ke hati. Selama
ditranspor, kolesterol diasilasi oleh lechitin cholesterol acytransferase (LCAT). HDL
ini mempunyai kandungan lemak lebih sedikit dan mempunyai kepadatan tinggi atau
lebih berat sehingga mampu membawa kelebihan kolesterol jahat di pembuluh arteri
untuk diproses dan dibuang. Ester kolesterol yang terbentuk tidak lagi bersifat
amfipatik dan dapat ditransfer ke inti lipoprotein. HDL juga mendukung perubahan
VLDL dan kilomikron dengan bertukar lipid dan apoprotein dengan mereka. .. HDL
mencegah kolesterol mengendap di arteri dan mencegah terjadinya atherosklerosis
(Mark et al., 2000; Koolman dan Roehm, 2005).
HDL biasanya mencakup 20-30% dari total serum kolesterol. Apolipoprotein
mayor dari HDL adalah apo A-I dan apo A-II. Level HDL kolesterol berbanding
terbalik dengan risiko penyakit jantung koroner. Beberapa bukti bahkan menunjukkan
bahwa HDL melindungi dari perkembangan ateroklerosis, walaupun HDL yang
rendah dapat juga mencerminkan adanya faktor aterogenik lain (Grundy, et al., 2002).
2.1.8. Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dan Intermediate Density
Lipoprotein (IDL)
Sebenarnya VLDL, IDL, dan LDL mirip satu sama lain. VLDL mentranspor
triasilgliserol, kolesterol dan fosfolipid ke jaringan lain. Seperti kilomikron, mereka
dikonversi menjadi IDL dan LDL oleh lipoprotein lipase. Proses ini juga distimulasi
29
oleh HDL. Sel yang memerlukan kolesterol mengikat LDL melalui interaksi antara
reseptor LDL dengan ApoB-100, kemudian mengambil partikel secara keseluruhan
melalui endositosis yang dimediasi oleh reseptor (Koolman dan Roehm, 2005).
VLDL adalah lipoprotein yang kaya trigliserid, meliputi 10-15% dari total
serum kolesterol. Apolipoprotein utamanya dalah apo B-100, apo Cs (C-I, C-II, dan
C-III) dan apo E. VLDL diproduksi di hati dan merupakan precursor dari LDL.
Beberapa bentuk dari VLDL, terutama VLDL remnant, mendukung terjadinya
aterosklerosis =, seperti LDL. VLDL remnant terdiri dari VLDL yang terdegradasi
dan kaya ester kolesterol. SebenarnyaIDL termasuk dalam lipoprotein remnant,
walaupun dalam prakti sklinis ia termasuk dalam fraksi LDL (Grundy. et al., 2002).
2.2. Dislipidemia
Dislipidemia
sebagai
faktor
risiko
dari
penyakit
jantung
koroner,
dimanifestasikan oleh peningkatan atau penurunan konsentrasi lipoprotein plasma
(Fakhrzadeh dan Tabatabaei, 2012). Dislipidemia adalah tingginya level lipid yang
diangkut oleh lipoprotein dalam darah (kolesterol, trigliserida ataupun keduanya),
termasuk di dalamnya hiperlipoproteinemia (hiperlipidemia) yang mengacu pada
tingginya total kolesterol, LDL kolesterol ataupun trigliserida dan juga rendahnya
HDL kolesterol (Goldberg, 2015).
Secara umum dislipidemia didefinisikan sebagai level total kolesterol, LDL
kolesterol, trigeliserida, apoB dan Lp(a) di atas persentil 90 ataupun HDL kolesterol
dan ApoA dibawah persentil 10 dari populasi (Fakhrzadeh dan Tabatabaei, 2012).
Dislipidemia juga didefinisikan sebagai kelainan metabolisme lipid yang ditandai
30
dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi
lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total , kolesterol LDL, trigliserida,
serta penurunan kolesterol HDL (Muray,1991).
Tidak ada batasan yang jelas antara tingkat lipid normal dan abnormal karena
pengukuran lipid adalah kontinyu. Sehingga, tidak ada definisi numerik dislipidemia,
hubungan linear antara kadar lipid dan risiko kardiovaskular yang menentukan kadar
lipid yang memerlukan pengobatan (Goldberg, 2015).
Dislipidemia dapat dibagi menjadi dua, yaitu dislipidemia primer dan
sekunder. Dislipidemia primer biasanya perubahan level lipoprotein terkait dengan
kondisi genetik sedangkan pada dislipidemia sekunder perubahan level lipoprotein
terkait dengan penyakit lainnya, seperti obesitas, diabetes, penyakit tiroid, penyakit
ginjal, penyakit hati dan konsumsi alkohol, estrogen ataupun pemakaian obat-obatan
(Rader dan Hobbs, 2014).
2.2.1 Etiologi Dislipidemia
Penyebab primer (genetik) dan sekunder (gaya hidup dan lainnya)
berkontribusi terhadap terjadinya dislipidemia dalam berbagai tingkatan. Contohnya
familial combined hyperlipidemia hanya akan berekspresi dengan adanya penyebab
sekunder yang signifikan (Goldberg, 2015).
1. Penyebab Primer
Ialah mutasi gen tunggal atau multipel yang menghasilkan overproduksi ataupun
defek pada pembersihan trigliserida dan LDL kolesterol, ataupun underproduksi
31
atau pembersihan yang berlebihan dari HDL kolesterol. Yaitu kelainan penyakit
genetik dan bawaan yang dapat menyebabkan kelainan kadar lipid dalam darah.
2. Penyebab Sekunder
Penyebab sekunder berkontribusi besar terhadap banyak kasus dislipidemia pada
orang dewasa. Penyebab sekunder terpenting di negara yang berkembang adalah
gaya hidup sedentari dengan asupan makanan berlebihan dari lemak jenuh,
kolesterol dan lemak trans. Penyebab sekunder lainnya meliputi diabetes mellitus,
penggunaan alkohol yang berlebihan, penyakit ginjal kronik, hipotiroidisme,
sirosis bilier primer atau penyakit hati lainnya, dan penggunaan obat-obatan
(contohnya: thiazide, β-blockers, retinoid, antiretroviral, siklosporin, takrolimus,
estrogen dan progestin dan glukokortikoid)
Diabetes merupakan penyebab sekunder yang signifikan karena pasien
cenderung memiliki kombinasi kolesterol aterogenik dengan tingginya trigliserida
dan small dense LDL kolesterol, dan rendahnya HDL kolesterol (Dislipidemia
diabetes). Hal ini dikarenakan konsekuensi dari adanya obesitas, control diabetes
yang buruk ataupun keduanya yang dapat menyebabkan peningkatan asam lemak
bebas (FFA), yang menyebabkan peningkatan produksi VLDL. VLDL yang tinggi
trigliserida kemudian akan mentransfer trigliserida dan kolesterol ke LDL kolsterol
sehingga terbentuk small dense LDL kolesterol yang kaya trigliderida dan
pembersihan HDL kolesterol. Dislipidemia diabetes biasanya muncul karena adanya
peningkatan asupan kalori dan inaktifitas fisik (Goldberg, 2015).
32
2.2.2. Diagnosis Dislipidemia
Langkah pertama dalam menangani kelainan lipid adalah menentukan kelas
lipoprotein yang meningkat atau menurun pada pasien. Dislipidemia pada umumnya
tidak memberikan gejala namun dapat menyebabkan penyakit vascular seperti,
penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit arteri perifer (Rader dan Hobbs, 2014;
Goldberg, 2015).
Pedoman skrining oleh Grundy, et al (NCEP-ATP III [Adult Treatment
Panel]) untuk abnormalitas lipid merekomendasikan bahwa skrining harus dilakukan
paling tidak sekali dalam 5 tahun pada usia diatas 20 tahun. Individu tanpa riwayat
penyakit jantung koroner dengan level kolesterol yang memuaskan (<160mg/dL pada
individu dengan 0-1 faktor risiko dan <130mg/dL pada individu dengan 2 atau lebih
faktor risiko) dapat melakukan skrining ulang dalam 5 tahun. Namun pasien dengan
kolesterol di ambang batas tinggi harus melakukan skrining ulang dalam 1-2 tahun.
Level memuaskan LDL kolesterol pada penderita penyakit jantung koroner atau yang
memiliki risiko ekuivalennya adalah dibawah 100mg/dL, risiko ekuivalen tersebut
meliputi penyakit arteri carotid dengan gejala, penyakit arteri perifer, aneurisma aorta
abdominal dan diabetes mellitus (Rosenson, 2012).
33
Tabel 2.1.
Klasifikasi total kolesterol dan LDL kolesterol berdasarkan ATP III
Total kolesterol (mg/dL)
LDL kolesterol (mg/dL)
<100
Optimal
<200
Desireable
100-129
Near optimal
200-239
Borderline high
130-159
Borderline high
> 240
High
160-189
High
>190
Very high
Tabel 2.2.
Klasifikasi serum trigliserida berdasarkan ATP III
Katagori trigliserida
Level
Normal
<150mg/dL
Borderline high
150-199 mg/dL
High
200-499 mg/dL
Very high
>500 mg/dL
Tabel 2.3.
Klasifikasi HDL kolesterol berdasarkan ATP III
Katagori
Low HDL
<40mg/dL
High HDL
>60mg/dL
(Grundy, et al., 2002)
34
2.2.3. Penanganan Dislipidemia
Gol dari terapi modifikasi lipid adalah pencegahan terjadinya penyakit
kardiovaskular aterosklerotik dan komplikasinya. LDL kolesterol merupakan target
utama terapi dislipidemia, hal ini dikarenakan peningkatan LDL kolesterol
merupakan faktor risiko kuat terjadinya penyakit jantung koroner. Penelitian juga
menunjukkan bahwa LDL kolesterol merupakan lipoprotein aterogenik yang paling
banyak, peran LDL kolesterol dalam aterogenesis terbukti pada kelainan genetik
dimana LDL kolesterol meningkat tajam tanpa adanya faktor risiko lain (Grundy, et
al., 2002; Rader dan Hobbs, 2014).
Terapi untuk menurunkan lipid
memegang peranan penting dalam
pencegahan primer dan sekunder dari penyakit kardiovascular. Penilaian terhadap
risiko absolute, pengobatan faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan optimalisasi
gaya hidup, terutama diet dan olah raga, adalah pusat dari penanganan semua kasus.
Pasien dengan risiko absolute kardiovaskular yang tinggilah yang akan mendapatkan
keuntungan terbesar dengan pengobatan. Pasien dengan risiko tinggi harus mencapai
HDL kolesterol >38mg/dL, trigliserida<180mg/dL dan LDL kolesterol < 76mg/dL.
Secara umum total kolesterol harus dibawah 190mg/dL selama terapi dan <150mg/dL
pada pasien dengan risiko tinggi ataupun untuk pencegahan sekunder dari penyakit
kardiovaskular (Field et al., 2006).
ATP III merekomendasikan LDL kolesterol sebagai target terapi, gol untuk
masing-masing kategori risiko ialah (Grundy, et al., 2002):
35
Tabel 2.4.
Target terapi LDL kolesterol menurut ATP III
Level risiko
Gol LDL kolesterol
CHD dan CHD risk equivalent
< 100mg/dL
Multiple (2+) risk factor
<130 mg/dL
0-1 risk factor
<160mg/dL
Penanganan dislipidemia dibagi 2 yaitu terapi non farmakologi dan terapi
farmakologi (Grundy, 2006,; Field et al., 2006; Rader dan Hobbs, 2012).
A. Terapi Non Farmakologi dapat dilakukan dengan :
1. Melakukan terapi diet.
Modifikasi diet merupakan komponen penting dalam penanganan
dislipidemia. Terapi diet bertujuan untuk menurunkan asupan lemak total, asam
lemak jenuh, dan kolesterol secara progresif dan untuk mencapai berat badan
yang diinginkan. Pasien dengan peningkatan LDL kolesterol harus melakukan
restriksi diet lemak jenuh dan kolesterol. Pada pasien dengan hipertrigliserida
asupan karbohidrat sederhana harus dibatasi dan pada hipertrigliserida yang
berat, restriksi total asupan lemak sangat kritis. Diet kolesterol dan asam lemak
jenuh memicu penurunan pengeluaran LDL di hati.
Respon terhadap diet biasanya mulai terlihat hasilnya setelah 3-4 minggu
dan penyesuaian diet perlu dilakukan secara gradual. Penurunan berat badan,
36
bahakan yang minimal, akan menurunkan risiko kardiovaskular, terutama pada
pasien dengan obesitas.
2. Perbaikan gaya hidup (Therapeutic Lifestyle Change).
Komponen-komponen Therapeutic Lifestyle Change (TLC) meliputi
pengurangan asupan-asupan dari kolesterol dan asam lemak jenuh, pemilihan
makanan yang berhubungan dengan aturan makan untuk mengurangi LDL seperti
stanol dan sterol serta peningkatan masukan serat yang dapat larut, penurunan
berat badan, dan peningkatan aktivitas fisik.
Penurunan berat badan, bahkan yang minimal, akan menurunkan risiko
kardiovaskular, terutama pada pasien dengan obesitas. Level trigliserida dan LDL
kolesterol cenderung turun dan HDL kolesterol cenderung meningkat pada
penderita obesitas yang mengalami penurunan berat badan.
Terapi non farmakologi ini hendaknya menjadi terapi utama untuk
dislipidemia, kecuali untuk pasien dengan hiperkolesterolemia familial (secara
bawaan/genetik mempunyai kelainan metabolisme lipoprotein/kolesterol) atau
hiperlipidemia gabungan yang bersifat familial, yaitu penanganan terapinya dengan
pengaturan makanan dan terapi dengan obat dimulai secara bersamaan (Grundy,
2006).
B. Terapi Farmakologi
Keputusan
untuk
menggunakan
obat-obatan
tergantung
pada
risiko
kardiovaskular yang dimiliki. Terapi hiperkolesterolemia pada penderita penyakit
37
kardivaskular dan bahkan pada pasien dengan risiko kardiovaskular sangatlah
menguntungkan (Grundy, et al., 2002).
Obat
antidislipidemik
adalah
obat
yang
ditujukan
untuk
menurunkan/meningkatkan kadar lipid/lemak di dalam darah/plasma. Pemberian obat
antidislipidemik dapat diberikan dalam menangani kasus dislipidemia apabila dengan
terapi diet dan olah raga kondisi pasien tidak responsive (Illingworth, 2002).
Efek terapi farmakologi dapat diperiksa setelah 6 minggu (12 minggu untuk
fibrat). Pada pemeriksaan ulang perlu dievaluasi efek samping yang timbul, respon
penurunan lipid, level creatinin kinase dan fungsi hati (Field et al., 2006).
Obat antidislipidemik yang beredar di Indonesia dapat dibagi sebagai berikut
(Grundy, 2006; Rader dan Hobbs, 2012):
1. Penghambat HMG-KoA Reduktase (3 Hidroksi 3 Metil Glutaril Ko - Enzim A
Reduktase Inhibitor).
Statin yang merupakan obat pilihan utama pada terapi dislipidemia. HMG KoA adalah enzim kunci dalam biosintesis kolesterol. Golongan obat ini
menghambat pembentukan kolesterol dengan cara menghambat kerja enzim
HMG KoA reduktase yang ada di jaringan hati yang memproduksi mevalonate,
molekul kecil yang digunakan untuk mensintesa kolesterol dan derivat mevalonat,
sehingga sintesis kolesterol akan menurun. Dengan menghambat sintesis
kolesterol, statin menyebabkan peningkatan aktivitas reseptor LDL hati sebagai
mekanisme counter-regulatory dan akhirnya mempercepat pembersihan LDL
yang ada di sirkulasi. Juga terjadi peningkatan pembersihan precursor LDL, IDL,
38
sehingga terjadi penurunan sekunder dari sintesis LDL kolesterol. Statin juga
dapat menurunkan trigliserid tergantung pada dosis, yang biasanya proporsional
dengan penurunan LDL kolesterol. Golongan ini dapat menurunkan kolesterol
total, LDLkolesterol dan trigliserida, juga meningkatkan HDL (Field et al., 2006;
Rader dan Hobbs, 2014).
2. Penghambat absorbsi kolesterol (Ezetimibe)
Kolesterol yang berada di intestinal adalah turunan dari diet (sekitar sepertiga)
dan dari asam empedu ( sekitar dua per tiga), diserap secara aktif oleh enterosit
melalui proses yang melibatkan protein NPC1L1. Ezetimibe terikat secara
langsung pada protein NPC1L1 dan memblok absorbsi kolesterol dari intestinal.
Ezetimibe menghambat absorbsi kolesterol sampai dengan 60%, sehingga
menurunkan pengiriman sterol dari diet ke hati dan meningkatkan ekspresi
reseptor LDL kolesterol hati.
3. Sekuestran Asam Empedu (Resin)
Golongan obat ini mengikat asam empedu di intestinal dan merangsang
sekresinya. Untuk mempertahankan jumlah asam empedu, hati akan mengalihkan
kolesterolnya untuk sintesis asam empedu. Penurunan kolesterol intraselular di
hati akan menyebabkan upregulation reseptor LDL dan meningkatkan
pembersihan LDL kolesterol dari sirkulasi.
4. Asam nikotinat
Asam nikotinat (nicotinic acid) atau niasin adalah vitamin B komplek yang
telah digunakan sebagai agen modifikasi lipid sejak lebih dari 5 dekade. Niasin
39
menurunkan aliran asam lemak non-ester ke hati, yang diperkirakan menimbulkan
penurunan sintesis trigliserida hati dan sekresi VLDL. Belakangan ini ditemukan
adanya reseptor asam nikotinat (GPR109A) yang menekan pelepasan asam lemak
non-ester oleh jaringan adipose, yang memediasi efek niasinpada supresi asam
lemak non-ester.
Niasin menurunkan trigliserida dan LDL kolesterol, serta meningkatkan HDL
kolesterol. Niasin adalah satu-satunya obet penurun lipid yang menurunkan Lp(a),
sampai dengan 40%.
5. Turunan Asam Fibrat (Fibrat)
Turunan asam fibrat adalah agonis PPAR α, reseptor yang terlibat dalam
pengaturan metabolism lipid. Fibrat merangsang aktivitas lipoprotein lipase
sehingga hidrolisis trigliserida meningkat, menurunkan sintesis ApoC-III
sehingga meningkatkan pembersihan lipoprotein remnant, merangsang oksidasi
beta dari asam lemak dan menurunkan VLDL kolesterol. Fibrat adalah obat yang
paling efektif dalam menurunkan trigliserida dan meningkatkan HDL kolesterol
secara moderat.
2.3.
Diet Terkait Kolesterol
Rekomendasi diet kolesterol harian saat ini adalah di kisaran 200-300 mg per
hari. Pada individu yang sehat tanpa diabetes, penyakit jantung dan hiperkolesterol
rekomendasi asupan yang dianjurkan adalah di bawah 300 mg per hari, sedangkan
pada individu dengan resiko tinggi rekomendasi yang disarankan adalah di bawah
40
200 mg. Rekomendasi asupan kolesterol oleh Institute of Medicine ialah serendah
mungkin (Kanter, et al., 2012).
Tubuh dapat mencukupi kebutuhan kolesterol harian dengan mensintesisnya
sendiri. Orang dewasa muda mensintesis kolesterol sekitar 1 gr per hari dan
mengkonsumsi sekitar 0.3gr per hari. Dengan tambahan asupan diet, setengah dari
kolesterol berasal dari biosíntesis endogen yang sebagian besar di hati, juga di usus
dan kulit (50%); sisanya berasal dari makanan (makanan yang dikonsumsi). Level
kolesterol dalam darah yang konstan di kisaran 150-200 mg/dL dipertahankan
terutama oleh pengontrolan sintesis secara de novo. Sintesis kolesterol diatur sebagian
oleh asupan kolesterol (Koolman dan Roehm, 2015; King, 2016).
Laporan terbaru dari berbagai intervensi klinis menunjukkan bahwa
peningkatan asupan kolesterol menyebabkan peningkatan kolesterol LDL dan
kolesterol HDL pada subyek yang responsif terhadap tantangan diet kolesterol
(Sekitar 25% populasi), baik anak-anak, dewasa muda ataupun orang tua. Pada
kondisi tertentu
asupan kolesterol meningkatkan kolesterol HDL saja, tanpa
peningkatan kolesterol LDL, seperti pada kasus intervensi penurunan berat badan,
asupan satu telur per hari ataupun faktor lainnya (Kanter, et al., 2012).
Bukti epidemiologi saat ini mengindikasikan bahwa asupan kolesterol tidak
meningkatkan resiko penyakit jantung pada individu yang sehat.
Studi klinis
menunjukkan bahwa dua per tiga atau lebih dari populasi tidak memiliki peningkatan
yang bermakna setelah pemberian asupan kolesterol dalam waktu yang lama, dan
mereka yang berespon akan mengalami peningkatan kolesterol HDL dan kolesterol
41
LDL sehingga rasio kolesterol LDL terhadap kolesterol HDL tetap terjaga (Kanter, et
al., 2012).
2.4.
Penuaan (Aging)
Penuaan (aging) oleh gerontologis didefinisikan sebagai penurunan struktur
dan fungsi molekul, sel, jaringan, organ dan organisme secara gradual, progresif dan
berbahaya yang terjadi setelah kematangan seksual tercapai. Penuaan juga
didefiniskan sebagai perburukan fungsi secara umum dan progresif yang
mengakibatkan hilangnya respon adaptasi terhadap stress dan berkembangnya risiko
penyakit terkait penuaan (Colledge , 2006; Martin, 2014).
Penuaan merupakan proses multifaktorial dan sangat kompleks yang
menyebabkan deteriorasi fungsional secara gradual. Proses ini biasanya terjadi
setelah maturitas, mengarah ke disabilitas dan kematian. Bahkan bila para ilmuwan
menemukan obat untuk semua penyakit degenerative kronis, usia harapan hidup
hanya akan bertambah sekitar 12 tahun dan orang akan tetap meninggal akibat
komplikasi proses penuaan. Tanda penuaan akan tampak setelah maturitas ketika
kesehatan, kekuatan dan penampilan berada dalam kondisi terbaik. Pada beberapa
tahun terakhir stress oksidatif terbukti terlibat dalam berbagai proses, penyakit dan
sindrom degeneratif, bahkan mungkin termasuk faktor yang mendasari proses
penuaan itu sendiri (Poljsak dan Milisav, 2013).
Terdapat banyak teori tentang terjadinya proses penuaan, Denham Harman
merupakan orang yang pertama mengajukan teori penuaan terkait dengan radikal
bebas pada tahun 1950an, yang meluas ke ide tentang produksi spesies oksigen
42
reaktif oleh mitokondria di tahun 1970an. Selain teori radikal bebas, terdapat
beberapa teori penuaan, yaitu hipotesis pemendekan telomere, teori siklus sel
reproduksi, teori wear and tear, teori mitohormesis, teori disposable soma dan teoriteori lainnya. Bukti menunjukkan keterkaitan semua teori ini terhadap kerusakan sel
merupakan konsekuensi dari paparan spesies oksigen reaktif (Poljsak dan Milisav,
2013).
Gambar 2.6. Stres Oksidatif sebagai Demoninator Mayor Teori Penuaan
(Poljsak dan Milisav, 2013)
Komponen tubuh tidak dapat berkembang setelah mencapai usia dewasa,
bahkan terjadi penurunan akibat proses penuaan. Pada umumnya, orang menganggap
menjadi tua memang harus terjadi dan sudah ditakdirkan. Padahal terdapat banyak
faktor yang menyebabkan orang mengalami proses penuaan, yang kemudian
menyebabkan sakit dan akhirnya kematian. Penuaan bukanlah proses intrinsic, karena
penuaan terjadi akibat interaksi dengan lingkungan sekitar. Walaupun gen berperan
dalam proses penuaan, kontributor utama terletak pada banyaknya kerusakan random
43
yang dibiarkan karena mekanisme housekeeping sel somatic yang tidak efesien
(Colledge , 2006; Pangkahila, 2011).
Berbagai faktor itu dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal meliputi radikal bebas, hormon yang berkurang, glikosilasi,
metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang
utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi
lingkungan, stres dan kemiskinan (Pangkahila, 2011).
Bila faktor penyebab itu dapat dihindari, maka proses penuaan dapat dicegah,
diperlambat,
bahkan
mungkin
dihambat,
sehingga
kualitas
hidup
dapat
dipertahankan. Dengan demikian usia harapan hidup menjadi lebih panjang dengan
kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2011).
2.4.1. Tanda Penuaan
Penurunan fungsi akibat penuaan akan menimbulkan tanda dan gejala terkait
yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu tanda fisik seperti berkurangnya
massa otot, peningkatan lemak, kulit berkerut ataupun gangguan fungsi seksual dan
tanda psikis, seperti menurunnya gairah hidup, sulit tidur, mudah cemas, mudah
tersinggung dan merasa tidak berarti lagi (Pangkahila, 2011).
Konsekuensi sistemik dari proses penuaan sangat luas, namun dapat
dikelompokkan menjadi 4 kelompok utama, yaitu (Ferrucci dan Studenski, 2014):
1. Komposisi tubuh, perubahan komposisi tubuh mungkin merupakan efek penuaan
yang paling nyata dan tidak terhindarkan. Berat badan cenderung meningkat
sampai dengan usia pertengahan, kemudian menurun setelah usia 65-70 tahun.
44
Lean body mass menurun setelah dekade ketiga kehidupan dan massa lemak
meningkat pada usia pertengahan. Demineralisasi dan modifikasi arsitektur tulang
secara progresif yang menurunkan kekuatan tulang terjadi lebih awal pada wanita
dibandingkan pria.
2. Keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan energy, energi yang dibutuhkan
tubuh saat istirahat (Resting metabolic rate –RMR) biasanya menurun terkait
dengan penuaan hal ini dikarenakan penurunan lean body mass, jaringan yang
aktif secara metabolik. Namun pada orang dengan homeostasis yang tidak stabil
akibat penyakit biasanya memerlukan energy yang lebih tinggi untuk mekanisme
kompensasi.
3. Jaringan signaling untuk mempertahankan homeostasis, jalur signaling utama
melibatkan hormone, mediator inflamasi dan antioksidan. Level hormone seks
menurun seiring dengan penuaan sedangkan perubahan hormone lainnya tidak
terlalu terlihat. Pada orang tua ditemukan kondisi pro-inflamasi ringan walaupun
ia sehat, yang ditandai dengan peningkatan marker pro-inflamasi (IL-6 dan CRP).
Penuaan juga berhubungan dengan peningkatan kerusakan akibat stress oksidatif,
yang dikarenakan peningkatan produksi spesies oksigen reaktif ataupun kerja
buffer anti oksidan yang kurang efektif. Hormon, mediator inflamasi dan anti
oksidan berintegrasi membentuk jaringan signaling kompleks sehingga strategi
terapi tunggal terhadap salah satunya saja menjadi tidak efektif bahkan counterproductive.
45
4. Neurodegenerasi, neuron berhenti bereproduksi saat kelahiran dan jumlahnya
menurun sepanjang kehidupan. Atropi otak terjadi setelah usia 60 tahun, hal ini
dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif dan motorik.
Proses penuaan berlangsung melalui 3 tahap sebagai berikut (Pangkahila,
2011):
1. Tahap Subklinik (Usia 25-35 tahun)
Pada tahap ini sebagian besar hormone tubuh mulai menurun dan pembentukan
radikal bebas mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak
dari luar dan orang merasa dan tampak normal.
2. Tahap Transisi ( Usia 35-45 tahun)
Pada tahap ini hormone menurun sampai dengan 25% dan massa otot berkurang
1kg setiap beberapa tahun , sehingga tenaga dan kekuatan terasa hilang.
Komposisi lemak tubuh juga bertambah sehingga menyebabkan resistensi insulin
dan meningkatnya risiko penyakit jantung dan obesitas. Gejala mulai tampak dan
orang mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua.
3. Tahap Klinik (Usia 45 tahun ke atas)
Pada tahap ini penurunan kadar hormone terus berlanjut, juga terjadi penurunan
penyerapan bahan makanan, penurunan densitas tulang dan massa otot menurun,
serta peningktan lemak tubuh dan berat badan. Penyakit kronis menjadi lebih
nyata dan sistem organ mulai mengalami kegagalan.
46
2.4.2. Biomarker Penuaan
Penuaan dapat diketahui dengan mengukur atau melihat tanda atau
perubahan yang terjadi dibandingkan sebelumnya, yang disebut biomarker. Tanda
atau perubahan yang terjadi dapat digunakan sebagai parameter. Dalam kaitan dengan
penyakit tertentu, biomarker merupakan parameter adanya penyakit atau berat
ringannya suatu penyakit (Pangkahila, 2011).
Salah satu cara untuk mengetahui biomarker penuaan adalah dengan
pemeriksaan biokimia. Pemeriksaan profil lipid termasuk dalam pemerksaan
biokimia, meliputi pemeriksaan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida,
dan kolesterol HDL. Pemeriksaan profil lipid dilakukan untuk mengetahui risiko
penyakit kardiovaskular (Pangkahila, 2011).
Biomarker penuaan berkaitan erat dengan fungsi berbagai organ tubuh yang
menunjang aktivitas sehari-hari. Dengan demikian biomarker berkaitan erat juga
dengan kualitas hidup. Karena itu pemeriksaan adanya tanda atau perubahan akibat
proses penuaan seharusnya dilakukan sebelum muncul keluhan dan gangguan dalam
aktivitas hidup sehari-hari (Pangkahila, 2011).
2.4.3. Hubungan Dislipidemia dan Aging
Studi longitudinal menunjukkan bahwa total kolesterol meningkat pada lakilaki setelah pubertas sampai dengan usia 50 tahun, diikuti dengan kondisi plateau
sampai dengan usia 70 tahun, kemudian akan menurun secara perlahan-lahan. Pada
wanita, serum kolesterol sedikit lebih tinggi dari laki-laki saat usia 20-25 tahun.
Antara usia 25-50 tahun serum kolesterol pada wanita meningkat secara lebih lambat
47
dibandingkan pada laki-laki. Level kolesterol pada usia 55-60 tahun sebanding antara
wanita dan laki-laki dan pada usia yang lebih tua wanita cenderung memiliki level
kolesterol yang lebih tinggi dibandingkan pria (Rosenson, 2015).
Kolesterol total diketahui berada pada level tertinggi pada dekade usia
keenam, kemudian menurun dengan meningkatnya usia. Pasien diatas usia 65 tahun
memiliki prevalensi hiperlipidemia yang tinggi, dengan level total kolesterol diatas
240mg/dL pada sekitar 25% laki-laki dan 42% wanita. Dislipidemia terkait penuaan
lebih jelas pada wanita dibandingkan pria, terkait dengan itu angka kejadian penyakit
jantung koroner lebih tinggi pada wanita usia 65 tahun ke atas (Shao et al., 2011).
Pada pencegahan primer dan sekunder, terapi penurunan kolesterol akan
menurunkan kejadian kardiovaskular secara setara baik pada orang tua maupun pada
orang yang lebih muda. Orang tua dengan riwayat penyakit jantung dan peningkatan
level kolesterol akan mendapatkan penurunan risiko absolut yang lebih besar dengan
terapi dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda. Berdasarkan
beberapa penelitian terbukti bahwa terapi dislipidemia pada orang tua efektif
menurunkan risiko kejadian kardiovaskular pada orang dengan risiko sedang dan
risiko tinggi (Shao et al., 2011 ).
Hubungan antara hiperkolesterolemia dengan penyakit jantung koroner (PJK)
pada orang tua laki-laki dan wanita telah terbukti pada banyak penelitian besar.
Framingham Heart Study menunjukkan risiko relative berkembangnya gejala PJK
ialah 1.5 pada laki-laki dan 2.3 pada wanita dengan level total kolesterol 90 persentil
dibandingkan dengan mereka yang level kolesterolnya dibawah 200mg/dL. Level
48
HDL kolesterol yang rendah juga merupakan faktor risiko, risiko relative mortalitas
akibat PJK pada kasus HDL kolesterol yang rendah ialah 4.9 pada laki-laki dan 2.0
pada wanita (Rosenson, 2015).
Dislipidemia dapat menyebabkan stress oksidatif dalam tubuh, yaitu terjadi
peningkatan produksi radikal oksigen oleh sel endotel. Peningkatan kadar radikal
oksigen akan menyebabkan degradasi NO serta produksi radikal bebas lainnya.
(Winarsi, 2007) Peningkatan radikal bebas pada dislipidemia berkaitan dengan
peningkatan oksidasi LDL, glikasi protein dan autooksidasi glukosa. Hal ini akan
menimbulkan penumpukan produk peroksidasi lipid lebih lanjut (Rui-Li et al., 2008).
Kolesterol plasma meningkat seiring dengan usia sama dengan insiden
coronary artery disease (CAD). Pada penuaan terdapat perubahan ultrastruktur dari
sel endotel sinusoidal, perubahan postprandial lipemia, resistensi insulin yang
diinduksi oleh asam lemak bebas atau free fatty acids (FFA), defisiensi hormon
pertumbuhan (growth hormone), penurunan androgen pada pria, serta penurunan
peroxisome proliferator-activated receptor
2.5.
(PPARs) (Liu et al., 2014).
Stevia Rebaudiana
Stevia rebaudiana merupakan jenis tanaman asli Amerika Selatan dari famili
bunga matahari (Asteraceae) yang sering disebut dengan daun manis ataupun daun
gula, tanaman ini berasal dari daerah Brazil dan Paraguay. Diduga lebih dari 80 jenis
spesies stevia tumbuh liar di Amerika Utara dan 200 spesies alami di Amerika
Selatan. Walaupun terdapat lebih dari 200 macam spesies dari genus stevia, hanya
49
stevia rebaudiana yang memberikan rasa manis. Tanaman ini telah digunakan sejak
lebih dari 1500 tahun yang lalu oleh kaum Guarani di Paraguay sebagai pemanis
ataupun obat-obatan (Sharma et al., 2009; Raini dan Isnawati, 2011; Gupta et al.,
2014).
Gambar 2.7. Stevia Rebaudiana (Lemus-Mondaca et al., 2012)
Pada tahun 1887 seorang ahli botani bernama Moises Santiago Bertoni
menemukan tanaman stevia dan menamakannya Eupatorium rebaudianum Bertoni,
kemudian dimasukkan dalam genus stevia pada tahun 1905. Dan pada tahun 1931,
ahli kimia bernama M. Bridel dan R. Levielle mengisolasi stevioside dan rebauside
yang memberikan rasa manis pada daun ini (Lemus-Mondaca et al., 2012; Anonim,
2015).
Daun stevia mengandung pemanis alami dan mampu menghasilkan rasa
manis 70-400 kali dari manisnya gula tebu. Stevia telah digunakan di banyak negara
di dunia sebagai pemanis non-kalori. Sebagai ekstrak ia memiliki potensi yang sama
50
dengan rasa manis larutan sukrosa 10%, aspartame dan juga sakarin. Stevia lebih
unggul dibandingkan pemanis buatan karena ia stabil pada temparatur tinggi dan pH
3-9. Steviosida, salah satu glikosida stevia, lebih manis sekitar 300 kali dari sakarosa
(Goyal et al., 2010; Raini dan Isnawati, 2011).
Saat ini stevia rebaudiana telah dibudidayakan dan digunakan sebagai
pemanis makanan di Asia timur, termasuk Cina (sejak 1084), Korea, Taiwan,
Thailand, dan Malaysia. Tanaman ini juga dapat ditemukan di Saint Kitts dan Nevis,
Brazil, Kolombia, Paraguay, Uruguay dan Israel. Sekarang, stevia menjadi sangat
popular di Jepang dan digunakan sebagai pemanis secara komersial dengan pasar di
atas 50%. Stevia digunakan sebagai pemanis mulai dari saus kedelai, sayur–sayuran
hingga minuman ringan. Sebagai pemanis tanpa kalori, tanpa penambahan bahan
kimia dan tanpa menimbulkan efek samping yang serius, stevia cepat populer si
seluruh dunia (Anonim, 2015).
2.5.1 Kandungan Stevia Rebaudiana
Bagian yang berguna dari tumbuhan ini adalah daunnya. Komposisi kimia
spesies stevia secara lengkap belum tersedia, namun beberapa varietas spesies stevia
telah diperiksa. Dari 100 spesies stevia yang diperiksa untuk rasa manisnya, hanya 18
spesies yang memiliki karakteristik ini. Pemanis natural dari daun stevia disebut
glikosida steviol yang diisolasi dan diindentifikasikan sebagai dulkosida A, rebausida
A, B, C, D, E, steviolbiosida, dan steviosida (Goyal et al., 2010).
Stevia rebaudiana bertoni merupakan spesies yang paling manis, mengandung
semua 8 komponen glikosida ini pada daunnya dengan steviosida sebagai komponen
51
yang terbanyak. Glikosida adalah senyawa yang mengandung karbohidrat (gula)
yang terikat ke bagian non-karbohidrat, terutama ditemukan pada tanaman dan dapat
diubah menjadi gula dan komponen non gula (aglikon) oleh pembelahan hidrolitik.
Stevioside dideskripsikan sebagai glikosida yang terdiri dari 3 molekul glukosa yang
melekat pada aglikon (C38H60O18). Steviol adalah tulang punggung aglikon dari
glikosida stevia (Goyal et al., 2010; Lemus-Mondaca et al., 2012).
Gambar 2.8. Steviol, Blok Bangunan Dasar dari Glikosida Manis Stevia
(Anonim, 2015)
Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa selain rasa manis yang dimiliki,
steviosida, bersama dengan senyawa lainnya termasuk rebausida A, steviol, dan
isosteviol, juga memiliki kelebihan terapeutik sebagai anti-hiperglikemia, antihipertensi, anti-inflamasi, anti-tumor, anti-diare, diuretic, dan efek immunomodulator
(Lemus-Mondaca et al., 2012).
Pada daun dan akar stevia ditemukan inulin fruktooligosakarida, yang
memiliki fungsi terkait sebagai prebiotik, serat diet, metabolism lemak dan control
diabetes. Pada daun stevia terindentifikasi 9 asam amino, yaitu asam glutamat, asam
aspartat, lisin, serin, isoleusin, alanin, prolin, tirosin dam metionin, bahkan ditemukan
52
sampai dengan 17 macam asam amino termasuk arginin dan hanya triptofan yang
tidak ada dari keseluruhan asam amino esensial. Mineral yang merupakan trace
element esensial, meliputi potassium, kalsium, magnesium, sodium, zinc dan zat besi,
ditemukan pada daun stevia dalam jumlah yang cukup (Lemus-Mondaca et al., 2012).
Enam asam lemak terindentifikasi dari minyak daun stevia, meliputi asam
palmitat dan asam linolenat sebagai yang terbanyak, asam palmitoleat, asam stearat,
asam oleat dan asam linoleat. Kandungan asam linolenat yang tinggi dapat membantu
mempertahankan rasio asam lemak ideal dalam diet. Vitamin utama yang ditemukan
pada ekstrak daun stevia ialah asam folat dan vitamin C (Lemus-Mondaca et al.,
2012).
Tabel 2.5. Kandungan nutrisional dari ekstrak daun stevia rebaudiana
(Lemus-Mondaca et al., 2012)
Mishra et
al. (2010)
Goyal et
al. (2010)
Serio
(2010)
Savita et
al. (2004)
Abou-Arab
et al.
(2010)
Tadhani and
Subhash
(2006a)
Moisture
7
4.65
ND
7
5.37
ND
7.7
Protein
10
11.2
11.2
9.8
11.40
20.4
12
Fat
3
1.9
5.6
2.5
3.73
4.34
2.7
Ash
11
6.3
ND
10.5
7.41
13.1
8.4
Carbohydrate
52
ND
53
52
61.9
35.2
ND
Crude fibre
18
15.2
15
18.5
15.5
ND
ND
Kaushik et
al. (2010)
53
Tabel 2.6.
Perkiraan Komposisi Stevia Rebaudiana Bertoni (Goyal et al., 2010)
No
Konstituen
Jumlah (%)
1
Aluminium
0.0072
2
Mangan
0.0147
3
Abu
6.3000
4
Fosfor
0.3180
5
B-karoten
0.0075
6
Potasium
1.7800
7
Kalsium
0.5440
8
Protein
11.200
9
Kromium
0.0039
10
Selenium
0.0025
11
Kobal
0.0025
12
Silikon
0.0132
13
Lemak
1.9000
14
Sodium
0.0892
15
Serat
15.200
16
Timah
0.0015
17
Zat besi
0.0039
18
Vitamin
0.0110
19
Magnesium
0.3490
20
Air
82.300
54
Fitokomia yang dapat ditemukan pada stevia rebaudiana meliputi
austroinulin, beta karoten, dulkosida, nilasin, oksida rebaudi, riboflavin, steviol,
steviosida dan tiamin. Stevia rebaudiana bertoni juga mengandung stigmasterol, bsitosterol, campesterol, sterebin A-H, minyak volatil, asam askorbat, mineral,
elektrolit, vitamin dan juga flavonoid (Goyal et al., 2010; Lemus-Mondaca et al.,
2012).
Fungsi obat dari tanaman terletak pada beberapa zat kimia yang menghasilkan
kerja fisiologis pada tubuh manusia, terutama ditemukan pada alkaloid, flavonoid,
tannin, dan senyawa fenol. Skrining fitokimia terhadap bubuk daun stevia rebaudiana
menunjukkan kandungan yang terbanyak adalah tannin dan alkaloid, diikuti oleh
glikosida jantung, saponin, sterol, triterpen dan antrakuinon. Tannin dilaporkan
memiliki kemampuan menangkap radikal bebas dan aktifitas antioksidan. Saponin
dapat menstimulasi pertumbuhan otot, meningkatkan level testosterone, dan juga
menunjukkan kemampuan anti-bakteri, anti-diabetes dan fungsi imunologis (LemusMondaca et al., 2012).
Analisis fitokimia terhadap daun stevia yang dilakukan di laboratorium
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana menunjukkan hasil sebagai
berikut: (Lampiran 2)
55
Tabel 2.7.
Tabel Hasil Analisis Ekstrak Daun Stevia
Ekstrak daun stevia
Tanin
Kap. Antioksidan
Flavonoid
Fenol
(%TAE)
(% GAEAC)
(% QE)
(% GAE)
54.97
44.47
20.01
2.49
Keterangan:
Kap. Antioksidan
: Kapasitas antioksidan
TAE
: Tannic acid equivalent
GAEAC
: Gallic acid equivalent antioxidant capacity
QE
: Quarcetin equivalent
GAE
: Gallic acid equivalent
56
Tabel 2.8.
Tabel Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Daun Stevia rebaudiana
Partitionates
Saponin
Tannins
Triterpines
Alkaloids
Flavonoids
Glycosides
Pet-ether
Ethyl acetate
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
Chloroform
+
+
-
+
+
+
(Kujur et al., 2010; Hossain et al., 2011)
Keterangan:
A. E.
: Aqueous extract
E. E.
: Ether extract
M. E. : Methanol extract
2.5.2. Efek Antioksidan Stevia Rebaudiana
Literatur ilmiah menunjukkan bahwa daun stevia mengandung antioksidan
dengan peran biokimia yang berbeda-beda, terdiri dari asam askorbat, senyawa fenol,
57
termasuk flavonoid dan tannin. Aktivitas antioksidan dan pencegahan kerusakan
oksidatif DNA dilaporkan terjadi secara in vitro oleh ekstrak methanol dan etil asetat
daun stevia (Bender et al., 2015).
Metode yang didasarkan pada penangkapan radikal stabil 1,1 -diphenyl-2picrylhydrazyl (DPPH) telah digunakan secara luas untuk memprediksi aktivitas
antioksidan pada tanaman. Jahan, et al. menilai aktivitas DPPH, total fenol dan total
flavonoid dari ekstrak stevia pada konsentrasi yang berbeda dan didapatkan bahwa
ekstrak daun stevia dalam etanol 80% memiliki aktivitas antioksidan yang signifikan
sehingga ia berpotensi sebagai antioksidan natural.
Penelitian Bender et al. (2015) melalui pemeriksaan oxygen radical
absorbance capacity (ORAC) dan cellular antioxidant activity (CAA) menemukan
bahwa aktivitas antioksidan ekstrak daun stevia lebih tinggi dibandingkan ekstrak
batangnya, dan kapasitas steviosida dan rebausida A murni jauh lebih rendah. Juga
ditemukan tidak ada aktivitas antioksidan dari pemeriksaan CAA pada steviosida, hal
ini menunjukkan bahwa glikosida steviol sulit diserap di sel hati sehingga antivitas
antioksidannya tidak melibatkan level intraselular. Kandungan polifenol di dalam
ekstrak stevia tidak berhubungan secara signifikan dengan ORAC dan CAA.
Ekstrak daun stevia memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dan dilaporkan
menghambat pembentukan hidroksi peroksida di minyak sarden, lebih kuat
dibandingkan dengan teh hijau dan alfa tokoferol. Aktivitas antioksidan dari ekstrak
daun stevia dikaitkan dengan penangkapan elektron radikal bebas dan superoksid
(Lemus-Mondaca et al., 2012).
58
Penelitian oleh Vasko, et al. melaporkan pemberian ekstrak stevia tidak
memberikan efek yang signifikan terhadap aktivitas superoksid dismutase, enzim
antioksidan penting. Sehingga mekanisme kerja kapasitas antioksidan dari stevia
diduga melalui kemampuannya menurunkan radikal bebas teroksidasi secara
langsung, dibandingkan melalui modulasi sistem enzimatik endogen antioksidan.
2.5.3. Stevia Rebaudiana dan Dislipidemia
Penelitian oleh Sharma et al. (2007) mengamati pemberian ekstrak stevia pada
20 wanita hiperkolesterol, ditemukan bahwa konsumsi ekstrak stevia menurunkan
level kolesterol, trigliserida dan LDL kolesterol secara signifikan dan peningkatan
HDL kolesterol, sesuai dengan yang diharapkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa
ekstrak stevia memiliki efek hipolipidemik yang menurunkan risiko penyakit
kardiovaskular di masa yang akan datang.
Pemberian isosteviol selama 7 hari, asam hidrosilat dari stevioside, pada tikus
dengan diet tinggi lemak menunjukkan penurunan total kolesterol dan LDL kolesterol
serta peningkatan HDL kolesterol (Xu et al., 2012). Dua studi pada tikus diabetes
serta satu studi pada tikus dengan diet tinggi lemak yang menunjukkan penurunan
level serum lipid dengan pemberian ekstrak daun stevia. Aktivitas antihiperlipidemik
dari stevia rebaudiana diduga dikarenakan adanya flavonoid, asam askorbat dan
bahan lainnya (Park dan Cha, 2010; Hossain et al., 2011; Singh et al., 2013).
Studi pemberian ekstrak akar stevia selama 21 hari menunjukkan perbaikan
status lipid pada tikus diabetes, juga terjadi normalisasi dari penurunan antioksidan
enzimatik dan konsentrasi antioksidan non enzimatik (Singh dan Garg, 2014).
59
Penelitian oleh Savita dkk terhadap pemberian ekstrak stevia pada penderita
hipertensi dan diabetes menunjukkan perbaikan profil lipid, namun tidak bermakna
(Savita et al., 2004). Penelitian lainnya menunjukkan pemberian stevioside,
komponen aktif stevia, secara double–blind pada penderita hipertensi menunjukkan
tidak terdapat perubahan yang bermakna pada profil lipid dengan pemberian
stevioside (Chan et al., 2000).
Kerja antihiperlipidemik dari stevia diduga terkait dengan kandungan
konstituen di dalamnya, meliputi flavonoid, saponin, tannin, triterpin dan alkaloid.
Flavonoid telah diketahui memiliki aktivitas biologisnya yang luas termasuk aktivitas
hipolipidemik dari kerja antioksidannya. Kapasitas penurunan lipid dari tanaman ini
diperkirakan berasal dari konstituennya yang bekerja menghambat enzim hydroxylmethyl-glutaryl-CoA reductase yang berperan dalam biosintesis kolesterol secara de
novo (Hossain et al., 2011).
Penelitian oleh Elekofehinti et al.(2013) menunjukkan bahwa saponin dapat
memperbaiki profil lipid. Penurunan trigliserida yang terjadi diduga melibatkan
banyak faktor, diantaranya: penurunan sintesis asam lemak, peningkatan reseptor
LDL, aktivasi Lecithin-cholesterol acyl transferase (LCAT) and lipase dan
penghambatan acetyl-CoA carboxylase. Penurunan total kolesterol dapat dikarenakan
penurunan absorbsi kolesterol dari usus, melalui ikatan asam empedu, dan
peningkatan ekskresi asam empedu feses. Mekanisme lain yang diduga terlibat ialah
supresi sintesis kolesterol dengan menurunnya aktivitas 3-hydroxy-3-methyl-glutarylCoA reductase (HMG-CoA reductase).
60
Flavonoid, yang meningkatkan resistensi tubuh terhadap oksidasi LDL
kolesterol, diyakini dapat menghambat aterosklerosis. HDL kolesterol menunjukkan
aktivitas dari lecithin cholesterol acyltransferase (LCAT), yang memegang peranan
penting dalam metabolisme lipoprotein dan berkontribusi terhadap pengaturan lipid
dalam darah. Flavonoid meningkatkan rasio HDL-C/LDL-C sehingga mempercepat
pembuangan kolesterol dari jaringan perifer ke hati untuk katabolisme dan ekskresi
(Chen dan Li, 2007)
Penelitian oleh Niu et al.(2015) menemukan bahwa flavonoid mencegah
penghambatan adenosine monophosphate-activated protein kinase (AMPK) dan
bahkan meningkatkan fosforilasi AMPK dan ACC sebanyak dua kali lipat pada hati
tikus diabetes, hal yang sama ditemukan pada sel hati manusia (Hepatosit HepG2)
yang terpapar glukosa yang tinggi. Hal ini akan menyebabkan penurunan ACC dan
lipid hepar. Pada akhirnya aktivasi AMPK akan menurunkan sintesis lipid dan
meningkatkan oksidasi asam lemak.
Penelitian oleh Park dan Cha (2010) menemukan bahwa suplementasi ekstrak
stevia meningkatkan ACO, PPAR α, dan level mRNA ACC di hati, sehingga
meningkatkan level ACS dan CPT-I mRNA di hati. Penelitian ini menemukan bahwa
ekstrak stevia menyebabkan up-regulation proses kode gen enzim pada oksidasi asam
lemak di hati melalui aktivasi PPAR, sehingga didapatkan bahwa ekstrak stevia
mencegah obesitas dan gejala terkait obesitas, termasuk hyperlipidemia dan penyakit
kardiovaskular.
Hasil yang hampir serupa ditemukan pada Xu et al. (2012), yaitu terjadi
61
peningkatan ekspresi PPAR α di hati. PPAR bertanggung jawab dalam pengambilan,
katabolisme dan homeostasis lemak di berbagai jaringan termasuk di hati. Aktivasi
PPAR α dapat menurunkan toksisitas lipid melalui biogenesis mitokondrial,
peningkatan oksidasi asam lemak, penurunan akumulasi diasilgliserol dan seramid
pada jaringan, down-regulation komplek protein terkait adaptor 1 dan aktivasi NFkB.
Efek anti-apotosis dan antiinflamasi dari isosteviol diduga turut berperan dalam
perbaikan profil lipid.
PPAR α diaktivasi oleh asam lemak alami dan ligan sintetik, seperti fibrat,
dan memediasi gen yang mengatur pengambilan asam lemak dan katabolisme
oksidatif. Penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa komponen fenol dari
berbagai tanaman adalah aktivator PPAR α, yang mengontrol ekspresi banyak gen
yang terlibat dalam oksidasi asam lemak. Hasil penelitian menunjukkan level mRNA
PPAR di hati ditemukan paling tinggi pada grup dengan suplementasi stevia. Hasil ini
mengindikasikan bahwa stevia bisa jadi merupakan ligan / activator alami PPAR α,
sehingga terjadi peningkatan gen yang terlibat dalam oksidasi asam lemak (Park dan
Cha, 2010).
Pada studi ini juga ditemukan bahwa konsentrasi asil karnitin/ karnitin bebas
meningkat di hati setelah pemberian ekstrak stevia, yang kemungkinan dikarenakan
peningkatan biosintesis karnitin di hati. Karnitin mentranspor asam lemak ke
mitokondria, dimana asam lemak mengalami oksidasi beta, sehingga ia memiliki
peranan vital dalam mengaktifkan oksidasi asam lemak di jaringan. Karnitin yang
rendah akan memperlambat oksidasi beta dan meningkatkan serum lipid. Suplemetasi
62
stevia meningkatkan acid-insoluble acylcarnitine (AIAC), yang artinya ekstrak stevia
dapat memperbaiki fungsi metabolik seperti oksidasi asam lemak dan ketogenesis
(Park dan Cha, 2010).
Stevioside, kandungan aktif stevia rebaudiana, memperbaiki adipogenesis
dan pengambilan glukosa di jaringan adipose visceral, yang dibuktikan dengan
adanya ekspresi Lxr α (Liver-X-receptor-α), Fabp 4 dan Glut 4 yang tinggi. Induksi
Lxr α di jaringan adipose pada pemeberian ekstrak stevia mendukung peningkatan
ekspresi Glut 4, yang memperbaiki ambilan glukosa dan Fabp 4, yang memperbaiki
metabolisme asam lemak. Stevioside juga memperbaiki pertahanan antioksidan
melalui peningkatan ekspresi SOD, yang berhubungan dengan penurunan akumulasi
LDL teroksidasi di sirkulasi dan pembuluh darah (Geeraert, 2010).
2.5.4. Toksisitas Stevia Rebaudiana
Studi toksikologis menunjukkan bahwa steviosida tidak memiliki efek
mutagenik, teratogenik, ataupun karsinogenik. Belum pernah ditemukan reaksi alergi
terhadap penggunaannya sebagai pemanis. Studi terbaru pada toksisitas rebausida A
secara umum dan terhadap reproduksi memperkuat studi sebelumnya pada pada
steviol murni, menunjukkan keamanannya pada asupan dalam jumlah besar (LemusMondaca et al., 2012).
Kematian merupakan kriteria yang ambigu, tes toksisitas akut ditentukan pada
keadaan dimana setengah dari binatang coba mati (lethal dose 50% - LD50).
Steviosida dan steviol memiliki toksisitas akut oral yang rendah pada tikus, yang
artinya nilai LD50 nya tinggi. Steviosida sampai dengan 15g/kgBB tidak bersifat letal
63
terhadap tikus ataupun hamster. Nilai LD50 pada hamster adalah 5.2 dan 6.1 g/kg BB
pada jantan dan betina. Pada tikus nilai LD50 steviol lebih tinggi dari 15g/kgBB pada
kedua jenis kelamin (Geuns, 2002).
LD50 oral untuk ekstrak stevia ialah 17g/kgBB (20% dari steviosida) dan
15g/kgBB untuk steviosida murni (kemurnian 93.5%). Pada tikus LD50 steviosida
dengan pemberian oral ialah 8.2g/kgBB dan dengan pemberian intraperitoneal
2.99g/kgBB. Karena steviosida 300 kali lebih manis dari gula, maka LD 50 pada
angka 8.2g/kgBB setara dengan 2.5kg/kg BB gula (Geuns, 2002).
2.6 Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus (Rattus
norvegicus) Wistar jantan. Klasifikasi taksonomi dari tikus putih (Kusumawati,
2004):
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class
: Mammalia
Order
: Rodentia
Family
: Muridae
Genus
: Rattus
Species
: norvegicus
64
Tikus digunakan untuk penelitian karena kesamaannya dengan manusia dalam
fisiologi, anatomi, nutrisi, patologi, dan metabolismenya. Sifat-sifat yang dimiliki
tikus antara lain mudah dipelihara, ukurannya cukup besar untuk diamati dan relatif
sehat, sehingga memenuhi kriteria sebagai hewan percobaan. Usia tikus 2-3 bulan
memiliki persamaan dengan manusia usia dewasa muda dan belum mengalami proses
penuaan intrinsik (Malole and Pramono, 1989; Harini and Astrin, 2009).
Tikus jantan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil karena tidak
dipengaruhi oleh siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus putih betina.
Tikus jenis jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan
kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibanding tikus betina (Ngatidjan, 2006).
Ada dua sifat yang membedakan tikus putih dari hewan percobaan, yaitu
bahwa tikus putih tidak dapat muntah karena struktur anatominya yang tidak lazim di
tempat esofagus bermuara ke dalam lambung dan tikus putih tidak mempunyai
kandung empedu (Smith and Mangkoewidjojo, 1988; Krinke, 2000).
Strain tikus yang paling popular digunakan sebagai standar penelitian
terhadap nutrisi, penuaan ataupun kelaianan metabolik adalah wistar adan spraguedawley. Sebuah studi yang membandingkan tikus wistar dan tikus sprague-dawley
menunjukkan bahwa tikus wistar lebih rentan terhadap obesitas, resistensi insulin dan
kelainan terkait lainnya, yang dibuktikan dengan penambahan berat badan yang lebih
cepat and nyata pada pemberian diet tinggi lemak. Serupa dengan sindrom metabolik
65
pada manusia, tikus wistar yang diberikan diet tinggi lemak tidak memanfaatkan
asam lemak secara luas dan menyebabkan akumulasi lemak dan terjadinya resistensi
insulin. Nilai RQ yang tinggi pada tikus Wistar menunjukkan bahwa mereka
meningkatkan
oksidasi
karbohidrat
dan
lipogenesis
dengan
mengorbankan
katabolisme lipid (Jun and Fehn, 2006).
Kadar kolesterol normal pada tikus putih galur wistar adalah 40-130 mg/dl
dan trigliserida darah normal 26-145mg/ dl. Jika dianalogikan dengan manusia, tikus
mengalami
hiperkolesterolemia
bila
konsentrasi
darahnya
meningkat
20%.
Peningkatan kolesterol plasma dipengaruhi oleh jenis lemak yang ada dalam diet.
(Malole and Pramono, 1989).
Download