MENGENAL IKAN HIAS CAPUNGAN BANGGAI

advertisement
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXXII, Nomor 3, Tahun 2007 : 1 -7
ISSN 0216-1877
MENGENAL IKAN HIAS CAPUNGAN BANGGAI
(PTERAPOGON KAUDERNI)
Oleh
Petrus C. Makatipu1)
Ornamental Fish, Banggai Cardinalfish (Pterapogon kauderni). is an attractive
cardinalfish with black and silver pattern. This species is one of the most
expensive fish in the ornamental fish market. This species is known only in the
territorial water of Indonesia, precisely in Banggai Islands, central of Sulawesi.
PENDAHULUAN
"Cardinalfish" atau lazim dikenal ikan
capungan adalah termasuk ke dalam jenis ikan
laut dari suku Apogonidae. Umumnya, ikan
tersebut hidup di sekitar pantai karang dan
diantara rumput-rumput laut. Namun demikian,
ada juga yang hidup di daerah pasang surut
yang dangkal dan di perairan yang lebih
dalam. Beberapa jenis dari Apogonidae lebih
suka hidup di perairan payau atau di perairan
tawar yang berjarak beberapa mil dari laut
(POERNOMO, dkk. 2003). Ikan tersebut banyak
tersebar di perairan Maluku, Flores,
Binuangeun, Lampung, Kepulauan Seribu, Bali
dan Banyuwangi. Beberapa jenis yang sudah
banyak dikenal sebagai ikan hias antara lain
Apogon cyanosoma (Capungan liris),
Pterapogon kauderni (Capungan Banggai
atau Ambon) dan Sphaeramia nematoptera
(Capungan Jakarta). Sebetulnya masih banyak
jenis-jenis capungan lainnya yang kurang
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
populer di kalangan masyarakat nelayan,
sehingga tidak disinggung dalam tulisan ini.
Diantara jenis-jenis tersebut di atas, penulis
sengaja memilih "Capungan Banggai atau
Capungan Ambon" sebagai pokok bahasan,
karena jenis ini memiliki keunikan tersendiri
dari segi tingkah laku, bentuk tubuh, warna
maupun pola hidupnya. Ikan Capungan
Banggai "Banggai Cardinalfish" merupakan
sumberdaya perikanan yang memiliki nilai
komersial yang cukup tinggi. Disamping itu
ikan tersebut hanya terdapat di perairan
Indonesia, tepatnya di Kepulauan Banggai,
Sulawesi Tengah (ALLEN & STEENE, 1995).
Dalam dunia perdagangan ikan hias, ikan ini
dikenal dengan nama ikan capungan (bentuk
tubuhnya yang menyerupai capung).
Keberadaan ikan ini di alam dapat
meningkatkan minat wisatawan alam laut,
karena warna dan bentuknya yang indah dan
sangat unik. Harga ikan tersebut di daerah
Sulawesi Utara adalah Rp. 1.500,-/ekor,
sedangkan di Bali dan Jakarta dijual dengan
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
harga Rp. 5.000,-/ekor dan pasaran ekspor ke
Singapura dan Jepang dapat mencapai US $
2,5/ekor (POERNOMO dkk., 2003). Pasaran
lokal di negara Amerika dapat mencapai US$
16 yang berukuran sedang dan US$ 22 yang
berukuran besar (Informasi dari internet dan
pengusaha ikan hias Sulawesi Utara). Sudah
banyak penelitian mengenai ikan karang yang
dilakukan oleh peneliti baik dari dalam maupun
luar negeri. Sedangkan penelitian yang khusus
mengenai jenis Capungan Banggai
(Pterapogon kauderni) belum banyak
dilakukan di Indonesia. Sehingga untuk
melakukan studi pustaka, bahan-bahan yang
dapat diperoleh masih sangat terbatas. Adanya
keterbatasan tersebut, penulis mencoba
mengulas serba-serbi ikan capungan banggai
dan diharapkan dapat menambah pengetahuan
para pembaca atau penggemar ikan hias.
MORFOLOGI DAN SISTIMATIKA
Pada masyarakat ilmiah, ikan Capungan
Banggai dikenal dengan sebutan Pterapogon
kauderni. Sedangkan masyarakat Inggris dan
Amerika mengenalnya dengan nama "Banggai
cardinalfish". Ikan tersebut memiliki bentuk
badan yang tinggi, bulat pipih; mulut besar,
sampai melewati garis vertikal pertengahan
pupil, memiliki dua sirip punggung (dorsal fin)
yang panjang dan indah. Gurat sisi (lateral
line) dari ikan Capungan Banggai tampak jelas
dan lengkap dari operculum sampai pangkal
ekor (KIMURA & MATSUURA, 2003).
Selanjutnya dikatakan, bahwa jari-jari keras
dan jari-jari lemah sirip punggung (dorsal fin),
jari-jari lemah sirip dubur (anal fin) kedua dan
jari-jari lemah sirip perut (pectoral fin)
memanjang; kepala dan badan dengan 3 garis
hitam lebar. Tiap-tiap bagian sirip memiliki duri
dengan jumlah tertentu dengan cara penulisan
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
tertentu pula. Dalam diskripsi taksonomi siripsirip ini diberi notasi D VII-I,14; A II,12; P,15
LLp 24 yang maknanya, sirip punggung bagian
depan semuanya berupa duri keras dengan
jumlah 7 buah, sedangkan sirip punggung
belakang terdiri atas 1 duri keras dan 14 duri
lemah, sirip dubur terdiri dari 2 duri keras dan
12 duri lemah, sedangkan sirip perut terdiri
dari 15 duri lemah, disamping itu terdapat 24
sisik pada gurat sisi. Warna dasar tubuhnya
putih kecoklatan dengan garis hitam tebal.
Pada bagian sirip punggung kedua, sirip ekor,
sirip perut dan sirip dubur serta badan terdapat
bintik-bintik putih kebiruan, sedangkan sirip
ekornya bercagak dengan warna hitam di tepi
bagian bawah dan atas (POERNOMO dkk.,
2003), (Gambar 1).
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Menurut MARINI (1996), bentuk tubuh betina dewasa bulat-gepeng/pipih (ovalcompressed) (Gambar 2). Selanjutnya dikatakan, bahwa jantan dewasa memiliki tubuh agak memanjang
dan memiliki rongga mulut bagian bawah lebih cekung, namun pada saat mengerami telur di mulut.
Rongga mulut bagian bawah akan membentuk kantung untuk menyimpan telur, disamping itu sirip
punggung kedua ikan jantan lebih panjang dibandingkan betina (Gambar 3). Terdapat 3 garis/belang
hitam lebar melintang; yang pertama pada bagian kepala, melintang dari kepala bagian atas ke bawah
membelah mata, yang kedua dari jari-jari keras sirip punggung pertama melintang di belakang
operculum sampai ke sirip perut dan yang ketiga dari jari-jari lemah sirip punggung kedua melintang
sampai ke sirip dubur.
Ikan Capungan Banggai pertama kali diidentifikasi oleh F.P. KOUMANS (spesimen) di
Museum Zoologi, Leiden, Belanda,) (KOUMANS, 1933), dari 2 individu yang dikoleksi dari Kepulauan
Banggai, Sulawesi Tengah. Identifikasi tersebut juga dilakukan oleh ALLEN & STEENE (1995).
Klasifikasi ikan capung setelah I.C.Z.N (International Commission of Zoological Nomenclature)
(ALLEN, 1997),adalah sebagai berikut:
Kingdom - Animalia
Filum - Chordata Subfilum - Vertebrata
Kelas - Osteichthyees Subkelas - Actinopterygii; Infrakelas - Teleostei
Superbangsa-Acanthopterygii bangsa-Perciformes Subbangsa - Teleostei
Suku - Apogonidae
Marga - Pterapogon
Jenis- P.kauderni KOUMANS, 1933
Kata marga Pterapogon berasal dari Bahasa Yunani yang terdiri dari kata Pter yang berarti
skip atau sayap; apo yang berarti jauh/panjang; gon yang berarti cara memijah (dari cara mengerami
telur di mulut). Sedangkan kata jenis kauderni diambil dari nama seseorang yang ikut dalam ekspedisi
tersebut. Nama lain dari ikan ini adalah Banggai Cardinalfish, Banner Cardinalfish, "Outhouse"
Cardinalfish. (ALLEN, 1995).
Kata marga Pterapogon berasal dari Bahasa Yunani yang terdiri dari kata Pter yang berarti
sirip atau sayap; apo yang berarti jauh/panjang; gon yang berarti cara memijah (dari cara mengerami
telur di mulut). Sedangkan kata jenis kauderni diambil dari nama seseorang yang ikut dalam ekspedisi
tersebut. Nama lain dari ikan ini adalah Banggai Cardinalfish, Banner Cardinalfish, "Outhouse"
Cardinalfish. (ALLEN, 1995).
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
SEBARAN DAN HABITAT
Ikan
hias
capungan,
Banggai
Cardinalfish (Pterapogon kauderni) belum
banyak dikenal oleh masyarakat nelayan di
Indonesia karena penyebarannya yang sangat
terbatas, yaitu hanya terdapat di Kepulauan
Banggai, Sulawesi Tengah bagian timur (ALLEN,
1997), sehingga sering disebut ikan Apogon
Banggai. Pertama kali ditemukan oleh
KOUMANS, 1933. Termasuk ikan air laut
berukuran kecil, panjang standar mencapai 6,5
cm (ALLEN, 1997). Sifat reproduksi yang unik
dari ikan hias capung, dimana ikan jantan dan
betina dewasa yang telah matang gonad akan
memisahkan diri dari kelompok dan mencari
tempat yang cocok dan sesuai untuk kawin.
Sebelum sel telur dan sperma dikeluarkan, maka
mereka akan melakukan beberapa gerakan yang
unik yang dikenal dengan "mating dance",
dimana ikan jantan akan bergerak berputar
mengelilingi betina dan sebaliknya (MARINI,
1996). Setelah itu, maka ikan betina akan
mengeluarkan sel telur yang diikuti oleh ikan
jantan mengeluarkan sel sperma. Setelah sel
telur dibuahi, maka ikan jantan akan menangkap
sel-sel telur tersebut dan dimasukan ke dalam
mulutnya untuk dierami selama beberapa
minggu. Setelah telur-telur tersebut menjadi
juvenil, maka akan dikeluarkan satu per satu dari
mulut ikan jantan. Jumlah anakan yang
dihasilkan dalam sekali kawin sangat terbatas
antara 26-32 juvenil, hal ini mengakibatkan
perkembangbiakannya menjadi sangat lambat.
Pemijahan beberapa jenis ikan Apogon terjadi
pada malam hari hingga menjelang pagi, seperti
jenis Apogon niger (OKUDA & OHNISHI,
2001). Ikan ini umumnya hidup di daerah
terumbu karang yang dekat dengan padang
lamun (seagrass), dekat pantai pada kedalaman
kurang dari 3 meter dan hidup berasosiasi
dengan bulu babi atau Diadema (sea urchin)
dan anemon. Karakter diagnostik: tubuh tinggi,
compress, mulut besar, sampai melewati garis
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
vertikal pertengahan pupil, memiliki dua sirip
punggung (dorsalfin) yang panjang dan indah.
Memiliki bentuk tubuh dan warna yang sangat
indah. Ikan capung tergolong jenis ikan yang
bersifat territorial, yaitu menempati suatu
wilayah secara permanen. Pergerakannya yang
pasif, dimana sebagian besar hidup berkelompok
menempati duri-duri dari bulu babi (Diadema
sp.), dan sebagian kecil hidup berasosiasi
dengan anemon sehingga penyebarannya
hanya terbatas di daerah sekitar dimana mereka
berada sebelumnya. Beberapa aspek biologi
(kebiasaan makan, umur, pola pemijahan dan
lain-lain) belum banyak diketahui, sehingga
perlu dilakukan suatu penelitian untuk
mengembangkan populasi jenis ikan ini.
Dalam dunia perdagangan ikan hias, ikan
tersebut dikenal dengan nama capungan
(melihat bentuk tubuhnya yang menyerupai
capung). Perdagangan ikan capungan
telah lama dilakukan di Sulawesi Utara.
POPULASI IKAN CAPUNG DI SELAT
LEMBEH
Hasil pengamatan, di perairan Selat
Lembeh, Bitung, ditemukan populasi ikan ini di
alam dalam jumlah yang terbatas. Sebagai data
awal dari hasil pengamatan di lokasi Tandurusa
sekitar pantai dekat stasiun penelitian LIPI,
Bitung, tercatat masing-masing, 204 ekor ikan
capung dengan perincian individu dewasa 84
ekor, individu muda 43 ekor dan anakan 77 ekor
pada tanggal 23 Oktober 2001 (pengamatan I).
Dilanjutkan pada tanggal 19 November 2001
(pengamatan II), ditemukan 224 ekor dengan
perincian individu dewasa 86 ekor, individu
muda 65 ekor dan anakan 73 ekor. Dari data di
atas terlihat bahwa ikan hias ini sudah dapat
beradaptasi di perairan Selat Lembeh bahkan
telah berkembangbiak dengan baik. Keberadaan
ikan jenis ini di perairan Selat Lembeh, sebagai
akibat dari bocornya keramba jaring apung yang
digunakan sebagai tempat penampungan atau
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
penangkaran ikan hias capungan seorang
pengusaha ikan hias di Desa Papusungan pada
bulan Juli 1999 yang lalu. Sekitar 15.000 ekor
ikan capungan yang terlepas pada saat itu.
Namun sebagian besar dari ikan yang terlepas,
berhasil ditangkap kembali (sekitar 10.000) ekor.
Sejak saat itu perburuan ikan capung di Selat
Lembeh sudah dimulai, dimana nelayan ikan hias
menangkap dan menampung ikan capungan.
Pengusaha ikan hias akan membeli dengan harga
Rp 1.000 - Rp 1.500 per ekor. Disamping itu pada
bulan Oktober 2000 dilepas 10 ekor ikan
capungan di pantai sekitar Stasiun Penelitian
LIPI, Bitung, oleh penulis yang diperoleh dari
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
seorang pengusaha ikan hias capung di
Manado. Sejak saat itu perkembangbiakan ikan
capung pada beberapa daerah di Selat Lembeh
berlangsung cukup cepat. Dari hasil pengamatan
terakhir pada beberapa lokasi seperti di pantai
sekitar Stasiun Penelitian LIPI Bitung, populasi
ikan capungan mencapai 80 ekor per 100 m2,
sehingga total yang ada mencapai 4.000 ekor
dan di pantai sekitar PolAirud yang
bersebelahan dengan LIPI. Populasi ikan
capung mencapai 176 ekor per 100 m2, sehingga
total keseluruhan dapat mencapai 5.000 ekor. Di
kedua lokasi ini populasi ikan capung cukup
tinggi, karena belum dieksploitasi oleh nelayan
ikan hias (Gambar 4).
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
POLA PEMANFAATAN SECARA
LESTARI
Untuk menjaga kestabilan populasi
ikan capungan banggai di alam agar tetap
lestari, maka pemanfaatan yang dilakukan
harus menerapkan prinsip-prinsip sebagai
berikut :
1.
Harus diketahui stok alami ikan capungan
Banggai di alam.
2.
Pengambilan harus disesuaikan dengan
kemampuan recruitment populasi ikan
(pemberlakuan kuota).
3.
Pengambilan dilakukan dengan cara-cara
yang tidak merusak lingkungan atau
habitatnya.
4.
Pemberlakuan ukuran minimum bagi ikan
yang boleh diperdagangkan, agar memberi
kesempatan bagi ikan untuk bereproduksi.
5.
Apabila dalam pengambilan ditemukan
ikan dengan kondisi gonad yang sudah
matang (TKG III dan IV) serta ikan jantan
yang sedang mengerami telur di mulut,
maka ikan-ikan dengan kondisi tersebut
harus dikembalikan ke alam.
6.
Perizinan, meliputi penerbitan izin dan
perpanjangan izin yang mewajibkan
verifikasi, pemantauan di lapangan serta
evaluasi.
7.
Pemantauan di lapangan perlu dilakukan
secara periodik untuk mengetahui stok
alami untuk mendukukung informasi
dalam penentuan kuota.
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
ALTERNATIF BUDIDAYA
Salah satu cara untuk mengurangi
tekanan terhadap populasi alami akibat
pengambilan ikan hias capungan Banggai dari
alam adalah melalui upaya budidaya. Untuk
itu, pengusaha diarahkan untuk mengupayakan
kegiatan budidaya bagi kepentingan
perdagangannya.
Secara teknis, dengan mengetahui
aspek biologis dan ekologis dari ikan tersebut,
maka kegiatan budidaya dapat dilakukan baik
secara alami dengan memanfaatkan kawasan
pesisir sebagai habitat mereka (in-situ), maupun
dilakukan di laboratorium dengan membuat
kondisi habitat yang menyerupai kondisi
alaminya (ex-situ). Diharapkan dari kegiatan
budidaya tersebut dapat meningkatkan
produksi ikan hias Capungan Banggai.
PENUTUP
Ikan Capungan Banggai adalah jenis
endemik Banggai dan merupakan salah satu
kekayaan jenis yang dimiliki oleh perairan
Indonesia. Oleh karena itu sangat disayangkan
apabila terjadi kepunahan terhadap jenis
tersebut, akibat dari pemanfaatan secara
berlebihan
tanpa
memperhatikan
kelestariannya. Untuk itu, perlu dilakukan
pemanfaatan ikan tersebut secara lestari,
dengan mengacu pada aspek biologis dan
ekologis, mengingat keberadaannya di alam
sudah sangat mengkhawatirkan akibat
pemanfaatan yang cukup tinggi. Selain itu,
perlu dilakukan kegiatan budidaya, hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi tekanan
terhadap populasi alami, di samping sebagai
alternatif untuk kegiatan "Restocking".
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
DAFTAR PUSTAKA
ALLEN, G.R. and R.C. STEENE 1995. Notes
on the ecology and behaviours of the
Indonesian cardinalfish (Apogonidae)
Pterapogon kauderni Koumans.
Revue fr. Aquariol., 22(1-2): 7-9.
ALLEN, G.R. and R. STEENE 1996. IndoPacific Coral Reef Field Guide.
Tropical Reef Research, Ang Mo Kio
Industrial Park 2, Singapore : 378 pp.
ALLEN, G. 1997. Marine Fishes of South-East
Asia; A Field Guide for Anglers and
Divers. Western Australian Museum,
Perth : 292 pp.
KIMURA, S. and K. MATSUURA 2003. Fishes
of Bitung, Northern Tip of Sulawesi,
Indonesia. Ocean Research Institute,
The University of Tokyo, Tokyo: 244
pp.
KOUMANS, F.P. 1933. On a new genus and
species of Apogonidae. Zool. Med.
Mus. Leiden 16 : 78 pp.
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
MARINI, F.C. My notes and observations on
Raising and Breeding the Banggai
Cardinalfish. The Journal of
MaquaCulture. Vol. 4 Issue 4 pp. 15./http://www.breedersregistry.genxa.us
MASUDA, H. and G.R, ALLEN 1987. Sea
Fishes of The World (Indo-Pacific
Region). Yama-Kei Publisher Co.,
Tokyo : 528 pp.
OKUDA, N. and N. OHNISHI 2001.
Nocturnal hatching timing of
mouthbrooding male cardinalfish
Apogon niger. Ichthyological
Research. The Ichthyological
Society of Japan, Volume 48, No
2: 207-212.
POERNOMO, A.S.; MARDLIJAH; MX.
LINTING dan WIDJOPRIONO 2003.
Ikan Hias Laut Indonesia. Penebar
Swadaya, Jakarta : 182 hal.
Download