PENGENDALIAN HAYATI F. x. Wagiman Laboratorium Pengendalian Hayati Fakultas Pertanian UGM Sejarah Singkat dan Perkembangan Pengendalian Hayati Usaha awal untuk pengendalian hama dengan melepaskan agens hayati kira-kira tahun 200 A. D. hingga 1887 A. D. dengan tanpa pendekatan ilmiah. Dalam periode pertengahan, tahun 1888 hingga 1955, pengendalian hayati telah dimulai dengan introduksi kumbang Vedalia (Rodolia cardinalis Mulsant) dari Australia ke California pada tahun 1888 dan berhasil sempurna untuk pengendalian kutu jeruk Icerya purchasi Maskell. Dalam periode modern, tahun 1956 hingga kini, pengendalian hayati dicirikan oleh perencanaan yang lebih hati-hati dan evaluasi yang lebih tepat terhadap musuh alami. Aktivitas pengendalian hayati di dunia mencapai puncaknya dari tahun 1930 hingga 1940, musuh alami sebanyak 57 jenis telah mapan di berbagai daerah. Perang Dunia II menyebabkan aktivitas pengendalian hayati turun drastis. Pengendalian hayati tidak populer setelah PD II, oleh karena kalah tersaing dengan produksi insektisida organik sintetik yang relatif sangat mahal. Sementara itu penelitian entomologi pindah ke penelitian pestisida. Kini sejak disadarinya efek negatif pestisida kimia, penelitian pestisida semakin berkurang dan kembali ke penelitian entomologi atau pengendalian hayati yang arahnya ke pestisida hayati akrab lingkungan. Stern et al. (1959) mengusulkan pendekatan baru dalam pengendalian hama antara lain memadukan pengendalian hayati dan pengendalian kimiawi. Pengendalian Hayati dalam Sistem PHT Prinsip pengelolan hama terpadu (PHT) ialah budidaya tanaman sehat, pemberdayaan musuh alami, monitoring dan petani sebagai ahli PHT. Semaksimal mungkin proses pengendalian hama terjadi secara alami terutama oleh bekerjanya faktor biotik antara lain musuh alami hama. Pengendalian hayati merupakan komponen utama PHT, mengingat dasar PHT adalah ekologi, ekonomi dan sosial. 1 Pengendalian hayati memaksimal-kan peranan musuh alami dalam upaya pengelolaan hama, dimana musuh alami merupakan bagian mata rantai dalam agroekosistem. Agens pengendalian hayati (APH) berperan sangat penting dalam proses menuju kondisi agro-ekosistem yang stabil. Peranan tersebut ditunjukkan oleh kemampuan agens pengendalian hayati dalam menekan kepadatan populasi hama sasaran di atas ambang ekonomi hingga di bawah ambang ekonomi, dan meregulasi populasi hama tetap berada di bawah ambang ekonomi. Agro-ekosistem yang stabil – salah satu indikasinya adalah tidak terjadi ledakan populasi hama – mendukung tercapainya produksi pertanian yang optimal. DEFINISI PENGENDALIAN HAYATI 1. H. S. Smith (1919) pertama kali menggunakan istilah “Pengendalian Hayati” untuk menyatakan penggunaan musuh alami dalam mengendalikan hama-hama serangga. 2. P. DeBach (1964) lebih lanjut memperbaiki istilah pengendalian hayati dan membedakan antara “pengendalian alami” dari “pengendalian hayati”. a. Pengendalian alami ialah proses pengaturan kepadatan populasi suatu organisme yang berfluktuasi di antara batas bawah dan batas atas populasi selama kurun waktu tertentu oleh pengaruh faktor-faktor lingkungan abiotik atau biotik. b. Pengendalian hayati (dari pandangan ekologis) ialah “aksi parasit(oid), predator dan patogen” dalam pemeliharaan kepadatan populasi organisme lain pada suatu rata-rata populasi yang lebih rendah daripada yang akan terjadi jika musuh alami tersebut tidak ada. 3. van den Bosch et al. (1982) memodifikasi sebagian istilah-istilah tersebut di atas menurut dua pengertian: a. Pengendalian hayati terapan ialah manipulasi musuh alami oleh manusia untuk pengendalian hama. b. Pengendalian hayati alami ialah pengendalian hama oleh musuh alaminya yang terjadi tanpa intervensi manusia. Pengendalian hayati terapan dapat dipecah lagi menjadi tiga kategori pokok yaitu: Pengendalian hayati klasik ialah pengendalian suatu jenis hama dengan introduksi musuh alami. Augmentasi musuh alami ialah upaya meningkatkan populasi musuh alami atau efeknya yang menguntungkan. Konservasi musuh alami ialah upaya melestarikan, melindungi dan menjaga populasi musuh alami. 2 4. Definisi lebih lanjut dikembangkan dengan memasukkan faktor-faktor yang non pengendalian hayati seperti tanaman inang tahan hama, tanaman transgenik, autosterilisasi, manipulasi genetik suatu spesies, kultur teknik, dan bahkan beberapa insektisida generasi ke-3 (penghambat pertumbuhan serangga, dan lainnya). Definisi pengendalian hayati yang memasukkan faktor-faktor tersebut bukan “pengendalian hayati”, sehingga pengendalian hama dengan tanaman inang tahan hama bukan pengendalian hayati. KEUNGGULAN DAN KEUNTUNGAN PENGENDALIAN HAYATI 1. Tingkat keberhasilan pengendalian hama yang tinggi dengan biaya yang rendah dalam periode waktu yang lama. 2. Agens pengendalian hayati aktif mencari inang atau mangsanya, tumbuh dan berkembang mengikuti dinamika populasi inang atau mangsanya. 3. Pengendalian hayati tidak berpengaruh negatif terhadap manusia dan lingkungan. 4. Beberapa tipe agens pengendalian hayati dapat digunakan sebagai insektisida hayati. 5. Umumnya spesies hama tidak mampu berkembang menjadi resisten terhadap agens pengendalian hayati. Resisten thd Bacillus thuringiensis Pupa Brontispa longisima mengalami enkapsulasi akibat serangan parasitoid Tretrastichus brontispae. Keterbatasan atau Kelemahan Pengendalian Hayati 1. Penelitian awal untuk mencari pemecahan masalah hama dengan pengendalian hayati memerlukan staf teknis dan pakar yang banyak, biaya yang tinggi, waktu yang lama. 2. Hasil pengendalian hayati antara lain turunnya populasi hama sasaran tidak dapat dilihat dengan segera. Organisme Pengganggu (OPT) Utama Target Pengendalian Hayati 3 1. 2. 3. 4. Hama arthropoda, khususnya serangga dan tungau Patogen tanaman Jenis-jenis gulma Lainnya: hama vertebrata, keong atau bekicot Hama dalam arti sempit adalah binatang perusak, antara lain nematoda parasitik tanaman, tungau, serangga, dan binatang vertebrata. Hama dalam arti luas meliputi binatang perusak, patogen tanaman dan gulma. Pengendalian hayati sebagai ilmu akan membahas tentang peranan musuh alami dalam meregulasi banyaknya inang, khususnya inang sebagai hama dan pesaing tanaman atau hewan. Tipe-tipe Musuh Alami Musuh alami hama adalah musuh hama berasal dari alam berupa parasitoid, predator dan patogen. Jika suatu musuh alami telah diteliti secara mendalam dan telah diyakini kehandalannya serta layak sebagai faktor pengendali populasi suatu hama yang efektif maka musuh alami tersebut disebut sebagai agens pengendalian hayati (biological control agents). 1. Parasitoid dan predator: a. Serangga dan tungau (kelompok utama) b. Lainnya: keong dan vertebrata 2. Patogen: virus, bakteria (dan racunnya), fungi, protozoa dan nematoda Definisi singkat musuh alami 1. Patogen: suatu mikroorganisme yang hidup dan makan (memarasit) pada atau di dalam suatu organisme inang yang lebih besar dan menyebabkan inangnya sakit atau mati. 2. Predator: suatu binatang yang makan binatang lain sebagai mangsa, baik tubuhnya lebih kecil maupun lebih besar daripada dirinya. 3. Parasitoid: suatu serangga parasitik yang hidup di dalam atau pada serangga (atau arthropoda lain) inang yang tubuhnya lebih besar dan akhirnya membunuh inangnya. Perbandingan antara suatu serangga parasit (istilah kesehatan) dengan suatu serangga parasitoid; parasit misalnya nyamuk malaria, parasitoid misalnya Trichogramma spp. 1. Parasitoid biasanya menghancurkan inangnya selama periode pertumbuhan dan perkembangannya, sedangkan parasit tidak. 2. Inang parasitoid biasanya termasuk dalam kelas taksonomik (serangga) yang sama; sedangkan untuk parasit tidak. 3. Parasitoid dewasa hidup bebas sementara itu hanya stadia pradewasa saja yang parasitik, sedang pada parasit tidak. 4. Parasitoid berkembang hanya pada satu individu inang selama stadia pradewasa, sedangkan parasit selalu berganti-ganti inang. 5. Dalam hal dinamika populasi, parasitoid mirip dengan serangga predator, sedangkan untuk parasit tidak. 4 Biologi dan Impek Predator Predator adalah suatu binatang yang makan binatang lain sebagai mangsa, baik tubuhnya lebih kecil maupun lebih besar atau lebih lemah daripada dirinya. Karakteristik predator 1. Suatu predator pradewasa makan sejumlah mangsa selama proses pertumbuhan dan perkembangannya hingga mencapai dewasa. 2. Kecuali stadia telur atau kepompong, semua stadia hidup predator hidup bebas. 3. Telur predator biasanya diletakkan di dekat koloni mangsanya. 4. Begitu menetas dari telur, nimfe atau larva predator aktif mencari, menangkap dan membunuh serta memakan mangsanya. 5. Banyak predator karnivorus baik nimfe atau larva maupun stadia dewasanya, kecuali beberapa yang tidak misalnya lalat sirfid. Perilaku makan predator Berdasarkan mekanisme memakan: 1. Predator yang mempunyai alat mulut penggigit pengunyah, memakan dan menelan mangsanya. Contoh: kumbang kubah, kumbang karab, belalang sembah. 2. Predator yang mempunyai alat pencucuk penghisap, menusukkan stiletnya kedalam tubuh mangsa kemudian darahnya dihisap hingga habis. Predator ini sering mempunyai racun yang kuat dan ensim pencernakan yang menyebabkan mangsanya lumpuh. Contoh: kepik pentatomid, larva lalat jala dan larva sirfid. Berdasarkan kisaran inang: 1. Monofagus: suatu jenis predator yang sangat membatasi kisaran inangnya. Kadangkadang terbatas pada satu jenis inang saja. Contoh: kumbang Vedalia. 2. Oligofagus: suatu jenis predator yang agak membatasi kisaran inangnya. Terbatas pada beberapa jenis inang. Contoh: kumbang kubah pemakan afid dan sirfid. 3. Polifagus: suatu jenis predator yang kisaran inangnya lebar. Kadang-kadang terbatas pada satu jenis inang saja. Contoh: Lalat jala hijau dan belalang sembah. Ordo serangga yang termasuk predator Semua ordo serangga termasuk predator keculai Protura, Embioptera, Zoraptera, Isoptera, Mallophaga, Anoplura, Homoptera dan Siphonaptera. Araneae dan Acari predator Penelitian tentang efektivitas laba-laba sebagai predator masih terbatas. Tetapi, banyak studi menunjukkan bahwa laba-laba tidak beradaptasi terhadap fluktuasi populasi suatu spesies hama. Laba-laba dinilai sebagai suatu stabilisator komunitas invertebrata oleh karena laba-laba pindah memangsa dari satu jenis mangsa ke jenis mangsa yang lain ketika jenis mangsa lain tersebut banyak. Perhatian paling banyak dicurahkan terhadap tungau fitoseiid sebagai predator tungau tetranisid. Oleh karena ukurannya yang relatif kecil, tungau predator dapat hidup pada populasi mangsa yang sangat rendah. Contoh tungau predator fitosiid adalah Phytoseiulus persimilis dan Amblyseius fallacis. Aspek biologis serangga predator 5 1. Stadia hidup a. Telur; diletakkan oleh induknya secara berkelompok atau tunggal b. Nimfe atau larva; bagian-bagian tubuh dimodifikasi jika dibanding dengan serangga fitofagus. Posisi mulut menjadi horisontal, kaki depan menjadi raptorial untuk memudahkan menangkap mangsa. Usus lebih panjang dan glandula saliva menghasilkan sekresi alkalin untuk melumpuhkan mangsa pada saat memangsanya. Dalam beberapa kasus alat mulut nimfe atau larva predator ini berkembang menjadi alat yang efektif untuk menghisap darah mangsanya. c. Imago; kadang mempunyai jenis mangsa yang sama dengan stadia pradewasa, tetapi juga lain misalnya polen. 2. Hubungan predator dengan mangsa a. Daya cari; predator merespon tanda-tanda pengenal (cues) lingkungan untuk menuju ke mangsanya. Seleksi habitat -> penemuan mangsa -> penerimaan mangsa -> kesesuaian atau kecocokan mangsa. b. Kebanyakan predator imago memerlukan sejumlah minimum mangsa untuk menghasilkan telur dan meletakkan telurnya. Sejumlah minimum mangsa harus dimakan oleh stadia pradewasa predator untuk memenuhi kebutuhan energi dalam mempertahankan hidup, mencari mangsa, tumbuh dan berkembang. Banyaknya mangsa yang diperlukan suatu predator tergantung pada: b.1. ukuran tubuh predator b.2. lamanya mencari mangsa dan aktivitas lain b.3. ukuran tubuh mangsa dan kualitas nutrisinya c. Mudah tidaknya mangsa ditemukan oleh predator tergantung pada: c.1. efisiensi mencari oleh predator c.2. tingkat populasi mangsa c.3. distribusi spasial mangsa c.4. kesulitan atau hambatan yang dialami predator di dalam habitat mangsa 3. Tempat bertelur dan stadia predator a. Telur diletakkan di dekat mangsa: (1). hanya stadia pradewasa saja yang predator, contoh: Diptera (Syrphidae dan Cecidomyiidae), Hymenoptera (Sphecidae), (2) stadia pradewasa dan imago sebagai predator dengan tipe mangsa yang sama, contoh: Neuroptera (Chrysopidae, Hemerobiidae, Coniopterygidae), Thysanoptera, Coleoptera (Coccinellidae pemangsa afid, Coccidulinae pemangsa koksid, Chilocorinae, Sticholotinae, Scymninae), dan (3) stadia pradewasa dan imago sebagai predator dengan tipe mangsa yang berbeda, contoh: Diptera (Anthomyiidae). d. Telur hanya diletakkan di lingkungan umum mangsanya: (1). hanya stadia pradewasa saja yang predator, contoh: Diptera (Culicidae, Tipulidae, Chironomidae, Tabanidae dan Bombyliidae; biasanya akuatik seperti Plecoptera, Trichoptera, beberapa Neuroptera (Corydalidae), (2). stadia pradewasa dan imago sebagai predator dengan tipe mangsa yang berbeda, contoh: Odonata, Diptera (Asilidae, Dolichopolidae). e. Telur diletakkan bebas tidak tergantung posisi mangsanya: (1). hanya stadia pradewasa saja yang predator, contoh: Meloidae, (2). stadia pradewasa dan 6 imago sebagai predator dengan tipe mangsa yang sama, contoh: Orthoptera, Thysanura, beberapa Hemiptera, (3). stadia pradewasa dan imago sebagai predator dengan tipe mangsa yang berbeda, contoh: Mantispidae, Raphidoidea, (4). hanya stadia imago saja yang predator, contoh: Mecoptera, Diptera dan Hymenoptera (host feeding). Impek predator 1. Pengendalian hayati klasik Hanya sekitar 11% program pengendalian hayati menggunakan predator yang berhasil. Sejumlah spesies hama telah dikendalikan oleh beberapa jenis predator. Tipe hama yang berhasil dikendalikan oleh predator adalah jenis hama yang relatif pasif (sessile), tidak berdiapause dan tidak migrasi seperti kutu perisai, telur wereng dan kutu dompolan. Atribut predator impor yang berhasil antara lain multivoltin (tidak berdiapause), monofagus atau oligofagus, efisiensi daya carinya tinggi dengan umur imago yang panjang, dan sesuai dengan kondisi habitat mangsanya. Contoh: kumbang Vedalia (Rodolia cardinalis Mulsant) untuk pengendalian kutu jeruk Icerya purchasi Maskell, Cryptognatha nodiceps untuk pengendalian kutu perisai kelapa, kumbang kubah Curinus coeruleus Mulsant untuk pengendalian kutu loncat lamtoro Heteropsylla cubana. Alasan kegagalan introduksi predator meliputi iklim daerah pelepasan predator tidak mirip dengan daerah asli asalnya, kurangnya mangsa, tidak adanya mikroorganisme simbiotik. 2. Predator asli dari agro-ecosystem Impek predator pada habitat pertanian sulit ditunjukkan, karena sulitnya mengisolasi pengaruh predator tersebut dari faktor-faktor pengendali alami lain dalam kondisi lapangan. DeBach menyatakan bahwa predator polifagus merupakan penyeimbang dalam kompleks musuh alami – hama. Walaupun demikian, pengendalian alami sempurna tidak pernah dicapai. Predator generalist tersebut hanya menghambat laju peningkatan populasi banyak spesies hama. Dalam ekosistem kapas, predator ini (Geocoris, Orius, Nabis, dan Chrysopa) sering mencegah meledaknya hama-hama seperti ulat grayak dan ulat jengkal. 3. Augmentasi Predator Pakan tambahan disebarkan pada pertanaman untuk menahan predator (arrest), atau agar predator tetap tinggal (retain), atau menarik predator agar meningkatkan penelurannya di lahan. Pakan tambahan ini berupa honeydew buatan, merupakan campuran dari sukrose, yeast dan gula. Polen juga dapat disebarkan di lahan untuk augmentasi tungau predator. Upaya augmentasi yang lain dapat dilakukan dengan melepas predator secara inundatif misalnya: Cryptolaemus montrouzieri (penghancur kutu dompolan), tungau predator Phytoseiulus persimilis. Biologi Parsitoid Parasitoid adalah suatu serangga parasitik yang hidup pada atau di dalam tubuh suatu serangga (atau arthropoda lain) inang yang lebih besar dan akhirnya membunuh inang tersebut. 7 Karakteristik parasitoid 1. 2. 3. 4. 5. Parasitoid biasanya menghancurkan inangnya selama perkembangannya. Inang parasitoid biasanya termasuk dalam kelas taksonomi yang sama (serangga) Parasitoid dewasa hidup bebas sementara itu hanya stadia pradewasa yang parasitik. Parasitoid berkembang hanya pada satu individu inang selama stadia pradewasa. Dinamika populasi parasitoid mirip dengan serangga predator. Tipe parasitoid 1. Dalam hubungannya dengan inang, ada (a) endoparasit (internal); parasitoid hidup di dalam tubuh inang dimana tubuh inang biasanya terbuka, (b) ectoparasit (eksternal); parasitoid menyerang inang dari luar tubuh inang dimana inang biasanya hidup di tempat-tempat terlindung seperti hama pengorok daun, penggulung daun dan di dalam kokon atau lainnya. 2. Dalam hubungannya dengan banyaknya parasitoid pradewasa per individu inang, ada (a) parasit soliter; satu individu parasitoid per satu individu inang,dan (b) parasit gregarius; banyak individu parasitoid per satu individu inang. 3. Dalam hubungannya dengan stadia inang, ada parasit (a) telur, (b) larva, (c) pupa, (c) imago dan (d) kombinasi misalnya parasit telur-larva, larva pupa. 4. Dalam hubungannya dengan spesies parasitoid lain, ada parasitoid (1) primer; yakni parasitoid yang memarasit hama, (2) sekunder (hiperparasitisme); yakni parasitoid yang memarasit parasitoid primer, (3) tersier (hiperparasitisme); yakni parasitoid yang memarasit parasitoid sekunder. 5. Dalam hubungannya dengan kompetisi antar parasitoid pradewasa, ada (1) superparasitisme; kompetisi instraspesifik, (2) multipel parasitisme; kompetisi interspesifik. Tipe hiperparasitisme 1. Langsung; suatu parasitoid meletakkan telurnya langsung pada atau di dalam tubuh inang parasitik. 2. Tidak langsung; suatu parasitoid sekunder meletakkan telurnya di dalam tubuh inang non-parasitik dan tidak terparasit. Biasanya telur tidak berkembang sampai inang non parasitik ini diparasit oleh suatu parasitoid primer, yang kemudian sebagai inang parasitoid sekunder. 3. Fakultatif; parasitoid sekunder berkembang seperti suatu parasitoid primer di bawah kondisi yang sesuai. 4. Obligat; parsitoid sekunder hanya dapat berkembang di dalam parasitoid primer. 5. Autoparasitisme; parasitoid jantan berkembang sebagai hiperparasit (kadangkadang terhadap parasitoid betina dari jenis yang sama) dan yang betina berkembang sebagai parasitoid primer. 6. Kleptoparasitisme; bukan hiperparasitisme yang sesungguhnya. Parasitoid memilih menyerang inang yang telah diparasit oleh jenis parasitoid lain dan kemudian bersaing dengan parasitoid pertama untuk mendapatkan nutrisi di dalam inang tersebut. Kleptoparasitoid biasanya memenangkan kompetisi. Tipe reproduksi di dalam Hymenoptera parasitik 8 1. Semua Hymenoptera menunjukkan gejala haploid partenogenesis. Telur yang tidak dibuahi berkembang secara partenogenetik menjadi keturunan jantan haploid yang normal. Semua telur yang dibuahi berkembang menjadi betina diploid. 2. Ada variasi pola dasar yang secara ekstrim menyebabkan perbedaan penting dalam cara reproduksi yang terbagi menjadi tiga tipe reproduksi: a. Arrhenotoky, ini tipe dasar. Telur yang tidak dibuahi menghasilkan jantan dan yang dibuahi menghasilkan betina. Jenis yang demikian disebut “biparental”. Keturunan jantan atau betina dapat dihasilkan melalui kontrol fertilisasi internal atau eksternal dalam beberapa jenis. b. Deuterotoky, parasitoid betina yang tidak kawin menghasilkan keturunan jantan dan betina (paling banyak). Keturunan jantan secara biologis dan ekologis tidak berfungsi. Jenis tertentu disebut “uniparental”. Keturunan diploid dihasilkan dalam keturunan betina melalui berbagai mekanisme sitogenetik. c. Thelyotoky, hanya keturunan betina yang dihasilkan, sedang yang jantan tidak diketahui. Kelompok ini juga disebut “uniparental”. Keturunan jantan dapat dihasilkan di bawah kondisi suhu yang ekstrim. 9 Konservasi musuh alami 1. Pekerjaan konservasi musuh alami paling baik dilakukan di habitatnya yang hanya kekurangan kebutuhan pokok tertentu sehingga dapat memanipulasikannya hingga habitat tersebut sesuai untuk perkembangan musuh alami. 2. Efektivitas musuh alami tergantung pada tingkat permanensi, stabilitas dan kenyamanan umum dari kondisi lingkungan. 3. Modifikasi lingkungan diarahkan untuk meningkatkan efektivitas musuh alami; dapat dilakukan dengan: a. Konstruksi struktur buatan b. Penyediaan pakan tambahan c. Penyediaan inang alternatif d. Perbaikan sinkronisasi musuh alami – hama e. Pengendalian semut pemakan honeydew. f. Mencegah praktek pertanian yang mengganggu kelestarian musuh alami. 4. Konstruksi struktur buatan. Maksud kegiatan ini ialah untuk meningkatkan kepadatan serangga predator, burung dan vertebrata pemakan serangga. Contohnya adalah penggunaan sarang perlindungan untuk melindungi tabuhan Polistes di sekitar ladang tembakau di Carolina utara dalam pengendalian hama ulat tembakau berekor, Manduca Sexta. 5. Penyediaan pakan tambahan. Musuh alami imago sering memerlukan nektar dan polen sebagai sumber pakan dan air. Di alam berbagai tetumbuhan menyediakan nektar dan polen tersebut. Tetapi, di dalam agroekosistem berbagai tumbuhan tersebut adalah gulma yang sering dibersihkan dari lahan pertanian. Sistem tanam tumpang sari dapat menyediakan pakan tambahan tersebut. Predator koksinelid seperti Hippodamia pindah ke polen ketika populasi afis sangat rendah. Sayangnya predator tersebut tidak dapat menghasilkan telur jika hanya makan polen. Studi tentang penyediaan pakan tambahan telah dilakukan oleh Hagen dari UC Berkeley dengan menyemprotkan larutan gula atau madu dan yeast hydrolysate pada pertanaman. 6. Penyediaan inang alternatif. Pada dasarnya inang alternatif, meningkatkan sinkronisasi antara inang utama dengan parasit non-spesifik dan predator melalui beberapa mekanisme berikut: (a) meredam gejolak kepadatan populasi hama dan musuh alaminya, (b) menjaga fungsi populasi musuh alami selama periode kelangkaan inang utama (hama), (c) mengurangi penekanan populasi inang utama, (d) memfasilitasi distribusi musuh alami, dan (e) mengurangi kanibalisme. Penyediaan inang alternatif ini dengan tanaman tumpangsari. 7. Perbaikan sinkronisasi musuh alami – hama. Efektivitas musuh alami berkurang atau hilang karena sebagian musuh alami atau seluruhnya jauh dari inangnya secara temporal atau spasial. Infestasi hama secara buatan pada pertanaman pernah dilakukan untuk augmentasi musuh alaminya, agar musuh alami meningkat populasinya sebelum hama tersebut populasinya berkembang mendekati ambang pengendalian. 8. Pengendalian semut pemakan honeydew. Semut sering melindungi serangga penghasil honeydew seperti afis, kutu dompolan, kutu perisai, dari serangan musuh alaminya. Pengendalian semut dengan insektisida sering meningkatkan efektivitas pengendalian hayati. 9. Mencegah praktek pertanian yang mengganggu kelestarian musuh alami. 10 a. Pengolahan tanah sering mematikan musuh alami yang berlindung atau berpupa di dalam tanah. Penumpukan debu pada permukaan daun sering mengganggu musuh alami mencari inangnya. Sedikit debu dapat membunuh parasitoid seperti misalnya Aphytis spp. b. Lahan yang bersih dari gulma, miskin sumber pakan alternatif baik nektar, polen maupun inang alternatif. Pembakaran sisa-sisa tanaman seperti jerami padi dapat membunuh musuh alami yang berada pada jerami tersebut. c. Panen serentak juga dapat menghambat perkembangan musuh alami di lahan, oleh karena itu tanaman tumpang sari sangat baik untuk tetap mempertahankan penyediaan pakan yang diperlukan oleh musuh alami. d. Aplikasi pestisida kimiawi dapat mengganggu keseimbangan populasi hama dan musuh alaminya. Biasanya populasi hama justru lebih tinggi secara signifikan pada areal yang diperlakukan dengan pesitida daripada yang tidak. Hama menjadi resisten, terjadi resurgensi dan atau meletusnya populasi hama sekunder. Jika terpaksa harus menggunakan pestisida maka harus bijaksana, antara lain tepat waktu, dosis, cara dan jenis pestisida. Pilih pestisida yang dapat membunuh hama tetapi tidak membunuh musuh alami. Augmentasi Musuh Alami Augmentasi dilakukan dengan kolonisasi musuh alami secara periodik dan pengembang-biakan strain musuh alami yang telah beradaptasi. 1. Prosedur kolonisasi periodik. Ada dua tipe prosedur kolonisasi yang ditujukan untuk pengendalian hama secara hayati. a. Pelepasan musuh alami secara inundatif. Proses pengendalian hama sasaran terutama dilakukan oleh musuh alami yang dilepaskan, bukan keturunannya. Tipe pengendalian ini mirip dengan pengendalian kimiawi sepanjang kematian hama sasaran terjadi dengan segera dan tidak ada lagi interaksi lebih lanjut antara hama dan musuh alaminya. Agens pengendalian hayati yang diaplikasikan secara inundatif ini disebut sebagai “insektisida hayati”. Metode ini paling baik diterapkan jika (1) hama menyerang tanaman bernilai ekonomi sangat tinggi dengan tingkat serangan yang rendah, (2) jenis hama sasaran univoltine, (3) biaya terjangkau terutama untuk pelepasan musuh alami berulangkali. b. Pelepasan musuh alami secara inokulatif. Proses pengendalian hama sasaran terutama dilakukan oleh keturunannya, biasanya lebih dari satu generasi. Jangka waktu pengendalian dengan pelepasan inokulatif lebih lama daripada inundatif. c. Contoh augmentasi ialah pelepasan Trichogramma spp. Parasitoid telur ini paling luas diaplikasikan di berbagai negara. Di USSR Trichogramma spp. dilaporkan untuk pengendalian hama seluas 8 juta ha, RRC 2 juta ha dan di Amerika Serikat 200 ha. Sebuah industri komersial dilaporkan memproduksi parasitoid ini sebanyak 50 – 100 juta ekor per hari. Parasitoid ini digunakan untuk mengendalikan hama ulat pada kapas, jagung, apel, advokat, tebu, kedelai dan lainnya. Belum pernah ada orang yang melaporkan bahwa pelepasan Trichogramma spp. melulu dapat 11 menghasilkan hasil pengendalian sebaik dengan insektisida. Biaya parasitoid sebesar $ 0,12 per 1000 ekor. Pada kapas parasitoid ini diperlukan sebanyak sekitar 957.000 ekor per ha untuk mengurangi populasi ulat Helicoverpa spp. 2. Pengembang-biakan strain musuh alami yang telah beradaptasi. Baru ada tiga contoh augmentasi dengan metode ini, dan masih dalam taraf kajian. a. Seleksi Aphytis linganensis untuk kondisi suhu yang lebih ekstrim guna pengendalian kutu merah California pada berbagai tipe iklim di Central Valley, California. b. Seleksi tungau predator, Metaseiulus occidentalis yang tahan terhadap pestisida. c. Seleksi lalat jala hijau, Chrysoperla carnea (Neuroptera: Chrysopidae) yang tahan terhadap karbaril. 12 PUSTAKA Bacaan PH hama tanaman Coppel, H. C. and J. W. Mertins. 1977. Biological Insect Pest Suppression. SpringerVerlag, New York. Davis, D. W., S. C. Hoyt, J. A. McMurtry, and M. T. AliNiazee. 1979. Biological Control and Insect Pest Management. University of California. *) Debach, P. and D. Rosen. 1991. Biological Control by Natural Enemies, 2nd ed. Cambridge University Press, Sydney. Hoy, M. A. and D. C. Herzog. 1985. Biological Control in Agricultural IPM systems. Academic Press, New York. Mangoendihardjo, S. dan E. Mahrub. 1983. Diktat Kuliah Pengendalian Hayati. Ridgway, R. L. and S. B. Vinson. 1976. Biological Control by Augmentation of Natural Enemies. Insect and Mite Control with Parasites and Predators. Plenum Press, New York. *) Tanada and Kaya. 1993. Insect Pathology. Academic. New York. 666 p Fuxa and Tanada. 1987. Epizootiology of Insect Diseases. John Wiley. New York Wagiman, F. X. 2006. Pengendalian Hayati Hama Kutu Perisai Kelapa dengan Predator Chilocorus politus. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Bacaan PH gulma *) Harley, K. L. S. and I. W. Forno. 1992. Biological Control of Weeds. A Handbook for practitioners and students. Bacaan PH penyakit tanaman *) Boucias and Pendland. 1998. Principle of Insect Pathology. Kluwer Academic. London. 550 pp. *) Cook, R. J. and K. F. Baker. 1983. The Nature and Practice of Biological Control of Plant Patogens. The APPS Press. St. Paul Minnesota. Baker, K. F. and R. J. Cook. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. W. H. Freeman. San Fransisco. Keterangan: *) Tersedia di Perpustakaan Jurusan HPT 13