UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA STABILITAS POTENSI SEDIAAN AKHIR KANDIDAT FORMULASI VAKSIN ROTAVIRUS PADA BERBAGAI TEKNIK FREEZING DAN SUHU PENYIMPANAN SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi GIAN PERTELA NIM. 109102000041 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JULI 2013 ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta iv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta v UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ABSTRAK Nama : Gian Pertela Program Studi : Strata-1 Farmasi Judul : Stabilitas Potensi Sediaan Akhir Kandidat Formulasi Vaksin Rotavirus Pada Berbagai Teknik Freezing dan Suhu Penyimpanan Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap pengaruh teknik freezing dan suhu penyimpanan terhadap stabilitas formulasi kandidat vaksin rotavirus. Pengamatan ini ditujukan untuk mendapatkan kombinasi yang paling optimal antara teknik freezing pada suhu -70oC, -152oC, dan nitrogen cair dengan suhu penyimpanan 2 – 8oC, -20oC, dan -70oC. Perlakuan lama penyimpanan adalah 30, 60, 90, dan 120 hari dengan titer virus sebagai parameter kestabilan vaksin. Uji titrasi virus dilakukan menggunakan metode indirect immunofluorescence assay dengan penanda antibodi poliklonal rabbit anti SA 11 sebagai antibodi primer dan antibodi IgG goat anti rabbit sebagai antibodi sekunder untuk mengamati jumlah rotavirus dalam tiap vial kandidat formulasi vaksin. Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa teknik freezing dan suhu penyimpanan berpengaruh terhadap kestabilan kandidat formulasi vaksin. Teknik freezing -152oC dan suhu penyimpanan 2 – 8oC masing-masing memiliki titer paling rendah dibandingkan dengan teknik freezing dan suhu penyimpanan lainnya. Secara keseluruhan, semua teknik freezing dan suhu penyimpanan tidak menunjukkan penurunan titer yang signifikan pada lama penyimpanan 42, 60, 90 dan 120 hari. Kata kunci : rotavirus, teknik freezing, suhu penyimpanan, potensi vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ABSTRACT Name : Gian Pertela Program Study: Strata-1 Pharmacy Title : The Stability of Final Preparations Potency of Rotavirus Vaccine Formulation Candidate on Various Freezing Technique and Temperature Storage. This study is an observation on influence technique of freezing and temperature storage on the stability of the final preparations potency of rotavirus vaccine formulation candidate. This research is aimed at attaining optimal combination between freezing technique at the temperature of -70oC, -152oC, and liquid nitrogen by using the storage temperature of 2-8oC, -20oC, and -70oC. The duration of the storage is 42, 60, 90, and 120 days by the virus titer as vaccine stability parameter. The test on virus titration is committed by using the method of indirect immunofluorescence assay with the antibody signifier of polyclonal rabbit anti SA as primary antibody and IgG goat anti rabbit as secondary antibody to observe the account of rotavirus in each vaccine formulation candidate. The data of observation result showed that freezing technique and storage temperature have significant influence on the stability of vaccine formulation candidate. The freezing technique of -152oC and storage temperature of 2-8oC have the lowest titer in comparison with the other freezing technique and storage temperature. In conclusion, all freezing techniques and storage temperatures do not show the significant titer decreasing at the storage of 42, 60, 90 and 120 days. Keywords : rotavirus, freezing technique, storage temperature, potency vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta KATA PENGANTAR Puji serta syukur saya panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berbagai macam nikmat, karunia, serta kasih sayang-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi dengan judul “Stabilitas Potensi Sediaan Akhir Kandidat Formulasi Vaksin Rotavirus Pada Berbagai Teknik Freezing dan Suhu Penyimpanan” ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, mulai dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, pasti sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Yuni Anggraeni, M. Farm., Apt. selaku pembimbing pertama dan Ibu drh. Maharani, M. Si selaku Pembimbing kedua, yang memiliki andil besar dalam proses penelitian dan penyelesaian tugas akhir saya ini, semoga segala bantuan dan bimbingan Ibu mendapat imbalan yang lebih baik di sisi-Nya. 2. Bapak Dr. Elvyn Fajrul Jaya Saputra, M. Kes selaku Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT Bio Farma (Persero), yang telah bersedia menerima saya untuk melakukan observasi dan penelitian, serta menggunakan segala fasilitas selama penelitian di Divisi Penelitian dan Pengembangan, PT Bio Farma (Persero). 3. Staf Divisi Penelitian dan Pengembangan PT Bio Farma (Persero), Bu Sophia, Pak Nailul, Bu Dini, Bu Niar, Bu Anna, yang telah berkenan menerima saya dengan sangat baik dan memberikan pengalaman yang sangat berharga selama penelitian. 4. Bapak Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp., And. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5. Drs. Umar Mansur, M. Sc., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan bimbingan, bantuan, dan ilmunya selama saya menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Ayahanda Ir. Burhan Ramdan dan Ibunda Ir. Aswariny Hamid yang sampai saat ini masih mendampingi saya setiap saat dan dengan terus menerus memberikan panutan, kasih sayang, dukungan, motivasi, doa, dan nasehatnya yang tak akan pernah mampu untuk saya membalas semuanya, semoga keduanya mendapatkan balasan yang jauh lebih baik di sisi-Nya. 8. Kakak saya Geibril Kafrawi, S. Kom. satu-satunya saudara kandung yang selalu memberikan bantuan dan dukungannya. 9. Keluarga kedua saya, seluruh rekan-rekan PSF 2009 yang selalu saya sayangi, Arif, Irsyad, Indah, Nadya. 10. Kakak-kakak senior PSF 2008 dan 2007, adik-adik junior PSF 2010 dan 2011, serta keluarga kecil saya di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Farmasi periode 2011 – 2012, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 11. Keluarga besar Paduan Suara Mahasiswa (PSM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah dan angkatan Maximilian. 12. Serta semua pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu saya hingga saat ini. Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Ciputat, Juli 2013 Penulis ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL …………….……………………………………… ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ……………………… iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………… iv HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………….. v ABSTRAK ………….…………………………………………………… vi ABSTRACT …………………………………………………………… vii KATA PENGHANTAR …..…………………………………………… viii DAFTAR ISI ……....…………………………………………………… x DAFTAR TABEL ……………………………………………………… xii DAFTAR GAMBAR …………………………………………………… xiii DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………… xiv BAB 1 BAB 2 PENDAHULUAN ………….………………………………. 1 1.1 Latar Belakang ..…………….…………………………… 1 1.2 Perumusan Masalah ..……………………………………. 3 1.3 Tujuan Penelitian ..………………………………………. 4 1.4 Manfaat Penelitian .……………………………………… 4 TINJAUAN PUSTAKA …………………………………… 5 ……………………………..……………………. 5 2.1.1 Karakteristik Virus .……..………………………… 6 2.1.2 Klasifikasi Virus ..………………………………… 7 2.1.3 Replikasi Virus …………..………………………… 8 2.2 Rotavirus ..………………………………………………. 9 2.2.1 Karakteristik Rotavirus ……………………………. 9 2.2.2 Epidemiologi dan Imunitas ……………..………… 12 2.2.3 Respon Imun Tubuh ………………………………. 14 2.3 Vaksin …………………………………………………… 16 2.3.1 Definisi Vaksin ……………………………………. 16 2.3.2 Jenis-jenis Vaksin …………………………………. 18 2.3.3 Komponen dan Bahan Eksipien Vaksin …………... 20 2.1 Virus x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 3 2.3.4 Proses Produksi Live-virus Vaksin .……………….. 21 2.3.5 Vaksin Rotavirus .………………………………….. 25 2.4 Freezing (Pembekuan) ..…………………………………. 28 2.5 Stabilitas Vaksin dalam Aspek Penyimpanan …………… 30 2.6 Immunofluorescence ...………………………….……….. 32 2.7 Protein Stabilizer, Sukrosa ..……..……………………… 34 METODOLOGI PENELITIAN ………………………….. 38 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ...…………………………. 38 3.2 Alat Penelitian …………………………………………… 38 3.3 Bahan Penelitian ………………………………………… 38 3.4 Prosedur Penelitian ……………………………………… 38 3.4.1 Pembuatan Sediaan Kandidat Vaksin Rotavirus ..… 38 3.4.2 Variasi Perlakuan Teknik Freezing dan Suhu Penyimpanan pada Sediaan Kandidat Vaksin …….. 39 3.4.3 Evaluasi Sediaan ………………………………….. 40 3.4.4 Uji Stabilitas Vaksin Kandidat Vaksin Rotavirus Selama Penyimpanan …....………………………… 41 3.4.5 Metode Analisis Data …....………………………… 44 3.5 Alur Penelitian ……….……………….………………… 45 HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………….…. 46 4.1 Formulasi dan Evaluasi Sediaan ..………………………. 46 4.1.1 Uji Fisik …..…………………………………….…. 46 4.1.2 Uji Sterilitas .……………..…………….…………. 47 4.1.3 Uji Potensi ..……………………………………….. 48 4.2 Uji Stabilitas …...………………………………………… 49 KESIMPULAN DAN SARAN …………………………….. 62 5.1 Kesimpulan ……………………...……………………… 62 5.2 Saran …...………...……………………………………… 62 DAFTAR PUSTAKA ……..…………………………………………… 64 LAMPIRAN ……………………………………………………………. 69 BAB 4 BAB 5 xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Perbedaan virus dan sel …...………………………………….. 5 Tabel 3.1 Desain perlakuan pada kandidat vaksin rotavirus ..…………… 39 Tabel 4.1 Hasil uji fisik ….……………………………………………… 47 Tabel 4.2 Hasil uji sterilitas …….……………………………………….. 48 Tabel 4.3 Hasil uji potensi ….…………………………...………………. 48 Tabel 4.4 Desain plate 96 well pada immunofluorescence assay …..…… 51 Tabel 4.5 Konsentrasi rotavirus dalam kandidat formulasi vaksin dengan teknik freezing -70oC …...………………………………..….. 52 Tabel 4.6 Konsentrasi rotavirus dalam kandidat formulasi vaksin dengan teknik freezing -152oC ….………………………………….…. 52 Tabel 4.7 Konsentrasi rotavirus dalam kandidat formulasi vaksin dengan teknik freezing menggunakan nitrogen cair …………………... 52 Tabel 4.8 Sidik ragam hasil pengolahan data analisis repeated measures.. 53 xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Penyandian gen dan struktur tiga dimensi dari partikel rotavirus …………………………………………………..… 10 Gambar 2.2 Penggambaran skematis protein struktural dari rotavirus …. 11 Gambar 2.3 Vaksin reassortant rotavirus manusia-sapi (RotaTeq)……… 27 Gambar 2.4 Profil penurunan suhu pada pembekuan cepat dan pembekuan lambat ..………………………………………… 29 Gambar 2.5 Visualisasi mikroskop fluorescence ...……………………… 32 Gambar 2.6 Skema imunofluoresensi langsung dan tidak langsung .…… 33 Gambar 2.7 Struktur kimia sukrosa ...…………………………………… 35 Gambar 2.8 SEM (Scanning Electron Microscope) film tipis lapisan monolayer .…………………………………………………. 36 Gambar 4.1 Hubungan teknik freezing suhu penyimpanan pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus terhadap potensinya ….. 56 Gambar 4.2 Hubungan teknik freezing dan waktu penyimpanan pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus terhadap potensinya ...... 56 Gambar 4.3 Hubungan suhu penyimpanan dan waktu penyimpanan pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus terhadap potensinya …..…………………………………..………….. 57 Gambar 4.4 Karakteristik intracellular ice dan extracellular ice pada sel ...………………………………………………….……... 58 xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Data jumlah sel MA104 yang ber-fluorescence pada tiap perlakuan teknik freezing dan suhu penyimpanan selama 30, 60, 90, dan 120 hari ……………………………………. Lampiran 2. Contoh perhitungan yang digunakan pada penelitian ........... Lampiran 3. Data perbandingan hasil pengolahan statistik repeated measures yang dipisahkan sesuai dengan kelompok teknik freezing-nya pada sediaan kandidat vaksin rotavirus .……. Lampiran 4. Data perbandingan hasil pengolahan seluruh data (tanpa pemisahan kelompok) menggunakan analisis statistik repeated measures pada sediaan kandidat vaksin rotavirus .. Lampiran 5. Grafik konsentrasi rotavirus terhadap teknik freezing dan suhu penyimpanan pada tiap waktu penyimpanan …..…… xiv 69 73 75 80 81 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rotavirus merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan penyakit gastroenteritis pada anak-anak khususnya pada bayi usia hingga 3 tahun di seluruh dunia. Rotavirus menyebabkan diare dan muntah-muntah yang dapat mengakibatkan kematian pada bayi akibat dehidrasi. Hasil penelitian dunia memaparkan bahwa setiap tahunnya penyakit gastroenteritis yang disebabkan oleh rotavirus di Asia, Afrika, dan Amerika Latin mengakibatkan kurang lebih 500.000 kematian (Cortese et al., 2009). Menurut hasil penelitian, di Indonesia, prevalensi terjadinya diare yang disebabkan oleh rotavirus telah terdeteksi tersebar di beberapa wilayah dengan rentang mulai dari 38% hingga 69% pada bayi dan anak usia di bawah umur lima tahun. Hasil data prevalensi rotavirus di Indonesia selama Januari hingga April 2007 mengalami peningkatan dari hasil investigasi sebelumnya (Radji, et al., 2010). Pada tahun 1990 hingga awal 2000 saat belum dikenalnya vaksin rotavirus, di Amerika Serikat terjadi 2,7 juta kasus gastroenteritis pada bayi umur di bawah 5 tahun, di mana sekitar 410.000 adalah penderita rawat jalan, 205.000-272.000 penderita memasuki Unit Gawat Darurat (UGD), 55.000-70.000 penderita rawat inap, dan 20-60 penderita mengalami kematian (Glass et al., 2009). Biaya tahunan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat dalam menangani permasalahan rotavirus ini bahkan melebihi $ 1 milyar (Kang, 2006). Berdasarkan data tersebut, vaksin telah diidentifikasi sebagai strategi terbaik saat ini untuk mengurangi beban yang berhubungan dengan diare rotavirus yang parah dan fatal. Selama dua dekade terakhir, diskusi di antara berbagai kelompok, termasuk World Health Organization (WHO), Institute of Medicine and the Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI), telah mengidentifikasi bahwa vaksin rotavirus sebagai prioritas pengembangan. Di Indonesia, PT Biofarma tengah berusaha mengembangkan vaksin rotavirus sebagai upaya menangani permasalahan rotavirus di dunia. Vaksin rotavirus sangat perlu dikembangkan mengingat rotavirus merupakan strain virus yang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2 banyak mengalami mutasi genetik karena dapat mengalami reassortant, yakni proses swapping (penukaran) materi genetik antara dua strain untuk menghasilkan strain virus baru. Selain G1, G2, G3, dan G4, saat ini muncul rotavirus strain G9 yang dapat menginfeksi manusia di dunia, dan muncul pula strain G12 di India dengan frekuensi kemunculan yang meningkat. Hal ini merepresentasikan kemungkinan kemunculan genotip rotavirus yang lain dan menjadi tantangan saat ini dan masa depan, terkait vaksin rotavirus (Angel, et al., 2007). Dalam proses pengembangan vaksin, aspek penting selain menentukan formulasi yang ideal adalah stabilitas dalam penyimpanannya. Hal ini dikarenakan persoalan cold-chain (upaya menjaga stabilitas suhu dingin yang diperlukan produk untuk tetap berada di rentang tertentu selama proses produksi hingga distribusi) menjadi penting diperhatikan pada sediaan biologis, dalam hal ini vaksin (Huynh-Ba dan Zahn, 2009). Jika cold-chain tidak dapat dipertahankan, vaksin yang poten sekalipun tingkat efikasinya akan hilang (Parthsarthy et al., 2001). Uji stabilitas dengan metode freeze-thaw maupun heat-stress yang dilakukan terhadap produk pun tidak dapat memperkirakan secara pasti kualitas produk khususnya waktu simpan dan suhu penyimpanan karena dapat mengakibatkan kemungkinan lainnya, seperti terjadinya degradasi dalam formulasi zat biologis, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut (Huynh-Ba dan Zahn, 2009). Studi mengenai teknik freezing saat proses produksi vaksin perlu dilakukan sebagai upaya untuk menjaga stabilitas sediaan selama proses penyimpanan. Pada proses produksi vaksin skala besar, biasanya sebelum sediaan dikemas menjadi unit dose (dalam ampul) atau multi dose (dalam vial), vaksin disimpan dalam jumlah yang besar dengan menggunakan teknik freezing untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi baik dari segi produksi maupun penyimpanan. Teknik-teknik dalam freezing bermacam-macam dan setiap produk biologi memiliki spesifikasi yang berbeda tergantung dari sifat komponen aktif yang ada di dalamnya. Misalnya vaksin difteri, tetanus, atau hepatitis B bersifat termolabil pada suhu rendah, sehingga upaya pembekuan dijaga agar tidak terlalu rendah dan suhu penyimpanan dijaga pada suhu 2-8oC. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3 Dalam hal freezing, tidak hanya suhu pada proses pembekuan saja yang berpengaruh pada komponen aktif vaksin, laju pembekuan (slow freeze dan quick freeze) juga berpengaruh terhadap induksi denaturasi dengan mekanisme yang tidak terkontrol (Kramer et al., 2002). Ketika vaksin mengalami kerusakan akibat pembekuan, potensi dan efikasi yang dimiliki vaksin tersebut tidak dapat dipulihkan, artinya kerusakan tersebut permanen (irreversible) (Dietz et al., 1997). Vaksin yang mengalami kerusakan akibat pembekuan memiliki imunogenisitas yang lebih rendah dan cenderung mengalami reaksi lokal, seperti abses steril (Mansoor, 1997). Selain studi optimasi teknik freezing, studi optimasi suhu penyimpanan vaksin dalam kemasan ampul atau vial juga perlu dilakukan dalam upaya memenuhi stabilitas vaksin pada saat proses distribusi dan proses penyimpanan agar vaksin tersebut dapat mempertahankan viabilitas antigen. Suhu penyimpanan vaksin bermacam-macam dan secara umum dibutuhkan suhu yang rendah untuk kondisi penyimpanannya, seperti pada kulkas (2 hingga 8oC), freezer (-10 hingga -20oC), atau bahkan pada suhu ultra rendah (-40 hingga 80oC). Studi optimasi teknik freezing maupun suhu penyimpanan akan dilakukan pada penelitian ini, mengingat stabilitas sediaan vaksin terkait pengaruhnya terhadap suhu tidak dapat diperkirakan secara pasti dengan metode yang lain. Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip quality by design melalui analisis secara statistika agar diketahui kombinasi teknik freezing dan suhu penyimpanan kandidat vaksin rotavirus yang tepat dari desain-desain yang telah diusulkan, dengan mempertimbangkan stabilitas vaksin tersebut agar viabilitas dan imunogenisitasnya dapat dipertahankan. 1.2 Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaruh berbagai kombinasi antara teknik freezing dan suhu penyimpanan yang dilakukan pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus terhadap kestabilan sediaan vaksin yang diperoleh? 2. Kombinasi manakah yang paling optimum untuk diterapkan dalam produksi kandidat formulasi vaksin rotavirus tersebut? UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengamati dan mengevaluasi pengaruh berbagai kombinasi teknik freezing dan suhu penyimpanan pada sediaan akhir kandidat formulasi vaksin rotavirus terhadap kestabilan sediaan, serta dapat menentukan kombinasi teknik freezing dan suhu penyimpanan yang paling optimum untuk diterapkan dalam proses produksi vaksin rotavirus nantinya. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan tentang kombinasi antara teknik freezing dan suhu penyimpanan yang tepat dari sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus sehingga dapat menjadi referensi dalam perlakuan freezing saat proses produksi vaksin rotavirus dan penyimpanan yang optimum saat proses distribusi vaksin rotavirus sebagai upaya menjaga stabilitas vaksin. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Virus Virus adalah makhluk hidup aseluler yang merupakan penyebab infeksi pada manusia, hewan, dan tanaman atau bahkan bakteri. Mekanisme virus dalam menyebabkan penyakit sama seperti sel eukariot dan prokariot lainnya yakni dengan cara menyerang sel yang rentan. Virus tidak memiliki ciri hidup yang sama dengan sel. Perbedaan sifat antara virus dan sel dapat dilihat pada tabel 2.1 (Bauman, 2012). Tabel 2.1 Perbedaan virus dan sel Perbedaan sifat antara virus dan sel Virus Sel Merupakan makromolekul yang bersifat Melakukan metabolisme sendiri inert diluar sel, dan menjadi aktif di dalam sel Tidak membelah diri atau tumbuh Membelah diri dan tumbuh Aseluler Seluler Merupakan parasit intraseluler Kebanyakan hidup bebas Mengandung DNA atau RNA dengan Mengandung DNA dan RNA beberapa pengecualian seperti Cytomegalovirus dan Mimivirus Genome dapat berupa untai ganda Genomnya merupakan untai ganda maupun untai tunggal Berukuran ultramikroskopik, antara 10 Diameternya 200 nm hingga 12 cm nm hingga 400 nm Memiliki kapsid yang mengandung Dikelilingi oleh membran fosfolipid protein di sekitar genom, dan beberapa dan juga dinding sel memiliki amplop Bereplikasi dengan memanfaatkan Bereplikasi dengan sendirinya melalui enzim dan organel sel inang reproduksi seksual maupun aseksual UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 6 2.1.1 Karakteristik Virus Virus merupakan makhluk hidup yang berukuran sangat kecil, aseluler dan bersifat infeksius yang biasanya memiliki satu atau lebih bagian asam nukleat, dapat berupa RNA maupun DNA. Virus tidak memiliki membran sitoplasma, sitosol, dan organ fungsional lainnya. Ukuran virus paling kecil memiliki diameter 10 nm, sedangkan yang terbesar memiliki diameter 400 nm, di mana 400 nm merupakan ukuran terkecil dari sel bakteri. Genom virus dapat berupa DNA untai tunggal, DNA untai ganda, RNA untai tunggal, atau RNA untai ganda (Bauman, 2012). Virus memiliki status ekstraseluler dan interseluler. Di luar sel, dalam keadaan ekstraseluler, virus disebut dengan virion. Pada dasarnya, virion terdiri dari selubung protein yang disebut dengan kapsid. Kapsid dari virus tersusun atas sub-unit protein yang disebut dengan kapsomer, beberapa kapsomer tersusun dari protein jenis tunggal saja, dan beberapa lainnya tersusun atas beberapa jenis protein yang berbeda. Asam nukleat virus yang dikelilingi oleh kapsidnya disebut dengan nukleokapsid. Lapisan paling luar dari virion berfungsi sebagai pelindung sekaligus pengenal yang akan berikatan dengan senyawa kimia komplemen dari permukaan sel inang spesifiknya. Setelah virus masuk dan berada di dalam, status interseluler pun dimulai, dan kapsid akan dilepaskan. Virus tanpa kapsid akan berwujud sebagai asam nukleat saja, tetapi masih disebut dengan virus (Bauman, 2012). Semua virus tidak memiliki membran sel, tetapi sebagian virus memiliki envelope yang komposisinya sama dengan membran sel dan terletak mengelilingi nukleokapsid. Virus yang memiliki membran disebut dengan virion bersampul (enveloped virion), sedangkan virion tanpa envelope disebut dengan virion telanjang (non-enveloped virion). Sama seperti membran sitoplasma, envelope virus tersusun atas fosfolipid lapis rangkap dan protein. Protein pada envelope dan glikoprotein seringkali memegang peranan penting dalam mengenali sel inang (Bauman, 2012). Ada tiga bentuk dasar dari virus, yakni heliks, polihedral, dan kompleks. Kapsid dari virus heliks tersusun atas kapsomer yang berikatan bersama dalam pola spiral untuk membentuk lengkungan yang mengelilingi asam nukleat. Kapsid UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 7 dari virus polihedral membentuk bola dengan struktur yang kasar dan kaku, dengan bentuk yang mirip dengan kubah. Jenis dari kapsid polihedral yang paling umum adalah ikosahedron, dengan 20 sisi yang dimiliki. Sedangkan pada virus komplek, kapsidnya memiliki bentuk yang berbeda yang tidak dapat dimasukkan ke dalam dua kategori lainnya (heliks dan polihedral). Contoh dari virus komplek ini adalah virus cacar, yang memiliki beberapa lapisan penutup (termasuk lemak) dan tidak memiliki kapsid yang mudah diidentifikasi (Bauman, 2012). Virus dapat bersifat sangat spesifik. Ia menyerang tidak hanya inang tertentu, tetapi bahkan hanya sel tertentu pada inang. Sebagai contoh, HIV (Human Immunodeficiency Virus) secara spesifik menyerang situs pembantu Limfosit-T (helper T-limphocytes) pada manusia, dan tidak menghasilkan efek pada sel otot maupun tulang manusia. Spesifikasinya bergantung pada ketepatan afinitas dari protein atau glikoprotein yang berada di permukaan dari sel inang. Sebaliknya, beberapa virus ada yang bersifat sangat umum, menginfeksi berbagai jenis sel dari berbagai inang yang berbeda. Contoh dari virus general ini adalah virus west nile yang dapat menginfeksi hampir semua spesies dari burung, beberapa mamalia, dan beberapa reptil (Bauman, 2012). 2.1.2 Klasifikasi Virus Komisi internasional taksonomi virus (International Committee on Taxonomy Viruses) pada tahun 1966 menetapkan sebuah skema taksonomi untuk klasifikasi dan identifikasi virus. Famili virus diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan jenis asam nukleatnya, yaitu virus DNA (Poxviridae, Herpesviridae, Adenoviridae, dll) dan virus RNA (Picornaviridae, Coronaviridae, Retroviridae, Reoviridae, dll). Nama famili secara khusus dapat diturunkan baik dari karakteristik spesifik dari familinya maupun nama dari suku yang penting dalam famili tersebut. Sebagai contoh, famili Picornaviridae mengandung RNA virus yang sangat kecil, Hepadnaviridae mengandung DNA virus yang dapat mengakibatkan hepatitis B. Famili Herpesviridae dinamai untuk herpes simplex, yakni virus yang dapat mengakibatkan herpes pada alat kelamin. Sebutan khas dari virus biasanya diambil dari penamaan umum dalam bahasa inggrisnya yang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 8 ditulis miring, misalnya human immunodeficiency virus dan rabies virus (Bauman, 2012). 2.1.3 Replikasi Virus Virus tidak dapat bereproduksi sendiri karena virus tidak memiliki gen dari semua enzim yang dibutuhkan untuk replikasi, dan juga tidak memiliki ribosom yang mana sangat berperan dalam sintesis protein. Virus sangat bergantung pada enzim dan organel dari inangnya untuk membentuk virion-virion baru. Begitu suatu inang berada di bawah kontrol dari genom virus, maka inang tersebut akan dipaksa untuk mereplikasi materi genetik dari virus dan menerjemahkan protein virus, termasuk kapsomer dan enzim virus (Bauman, 2012). 1) Siklus replikasi litik Siklus replikasi dari virus biasanya berakhir pada kematian dan lisis dari sel inang. Karena dalam siklus ini lisis yang dialami oleh sel merupakan penanda dari sudah dekatnya akhir dari siklus, maka tipe replikasi ini disebut dengan siklus replikasi litik. Siklus ini terjadi pada kebanyakan bakteriofag, contohnya adalah bakteriofag T4. Secara umum, siklus ini terdiri atas penempelan dari virion kepada sel inang, pemasukan virion atau genom virus ke dalam sel inang, sintesis dari asam nukleat baru dan protein viral melalui enzim dan ribosom dari sel inang, pembentukan virion baru dalam sel inang, dan terakhir yaitu pelepasan virion baru dari sel inang (Bauman, 2012). 2) Siklus replikasi lisogenik Beberapa bakteriofag mengalami modifikasi siklus replikasi dimana sel inang yang telah diinfeksi masih dapat tumbuh dan melakukan reproduksi normal sampai beberapa generasi sebelum akhirnya mengalami lisis. Siklus ini disebut dengan siklus replikasi lisogenik, dan fage yang mengalami siklus ini disebut dengan fage lisogenik (Bauman, 2012). Contoh fage yang mengalami siklus replikasi lisogenik adalah fage lambda, yang merupakan parasit dari E. Coli. Adapun siklus lisogenik secara umum diawali dari pemasukkan DNA virus ke dalam sel, di mana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 9 sel inang tidak mengalami kerusakan dan genom dari fage tidak serta merta mengambil alih kontrol dari sel melainkan bertahan sementara dalam bentuk inaktifnya yang disebut dengan profage. Profage bertahan dalam bentuk inaktif dengan mengkode protein yang menekan gen dari profage. DNA virus berfusi dengan DNA dari kromosom sel. Setiap sel mereplikasikan kromosom yang terinfeksi, maka profage akan ikut terreplikasi. Profage akan dikeluarkan dari kromosom melalui proses rekombinasi atau peristiwa genetik lainnya, yang kemudian memasuki fase litik kembali (induksi). Setelah terjadi induksi, akan terjadi tahapan yang sama dengan siklus litik, yakni diawali dengan sintesis, dilanjutkan dengan pembentukan, dan diakhiri dengan pelepasan (Bauman, 2012). 2.2 Rotavirus 2.2.1 Karakteristik Rotavirus Rotavirus pertama kali ditemukan sekitar tahun 1960an di dalam hewan dan pertama kali diungkapkan terdapat pada manusia ketika ditemukannya virus tersebut pada usus anak-anak yang mengalami gastroenteritis akut dengan menggunakan mikroskop elektron. Kata “rota” berasal dari bentuknya yang menyerupai roda. Rotavirus merupakan virus dengan karakteristik tiga lapis ikosahedron protein kapsid, yakni lapisan luar (kapsid luar), lapisan tengah (kapsid dalam), dan lapisan inti, dengan diameter 70-nm dan termasuk dalam family Reoviridae (Dennehy, 2008). Lapisan inti dari rotavirus merupakan genom virus yang terdiri dari sebelas segmen RNA untai ganda yang menyandikan enam viral protein struktural (VP1, VP2, VP3, VP4, VP6, VP7) dan lima viral nonstruktural (NSP1, NSP2, NSP3, NSP4, NSP5) (Parashar, et al., 1998). Perkembangan terakhir menyatakan terdapat enam viral protein nonstruktural, dengan tambahannya berupa NSP6 (Ward, et al., 2008). Protein-protein struktural merupakan penyusun ketiga lapisan kapsid. Lapisan luar disusun oleh dua protein struktural, yaitu VP7 sebagai komponen utamanya dan VP4 sebagai protein spike yang terdapat pada permukaan luar kapsid (Kobayashi, et al., 2007). Lapisan tengah disusun oleh VP6. Kemudian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10 lapisan inti disusun oleh VP2. Di dalam lapisan inti terdapat VP1 dan VP3 serta sebelas segmen RNA (Clemens, et al., 1999). [Sumber: Parashar, et al., 1998] Gambar 2.1 Penyandian gen dan struktur tiga dimensi dari partikel rotavirus Rotavirus dapat diklasifikasikan berdasarkan perbedaan karakter antigenik dan karakter genetik. Karakter antigenik didasarkan pada sifat antigenik yang dimiliki rotavirus pada VP6, VP7, dan VP4, sedangkan karakter genetik didasarkan pada gen penyandi VP7 dan VP4 (Kobayashi, et al., 2007). 1. Karakter antigenik a. Protein VP6 Viral protein ini disandi dari segmen RNA keenam. Berdasarkan perbedaan antigenik dari protein VP6, maka rotavirus diklasifikasikan menjadi tujuh grup, yaitu rotavirus A, B, C, D, E, F, dan G. Grup A-C merupakan grup yang ditemukan pada manusia dan hewan, sedangkan grup D-G hanya ditemukan terdeteksi pada hewan. Karena rotavirus A merupakan satu-satunya dalam grup ini yang menjadi sumber utama dari etiologi penyakit diare pada anak, maka dalam pembuatan anti-rotavirus vaksin tersebut difokuskan pada grup ini (Kobayashi, et al., 2007). b. Protein VP7 dan VP4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 11 Klasifikasi rotavirus dari lapisan luar yang terdiri dari dua protein struktural ini didasarkan pada kemampuannya yang dapat menginduksi netralisasi virus (virus-neutralizing) serum antibodi dan mampu menginduksi proteksi sistem imun untuk melawan rotavirus di dalam hewan (Clemens, et al., 1999). [Sumber: Angel, et al., 2007] Gambar 2.2 Penggambaran skematis protein struktural dari rotavirus Protein struktural pertama, VP7, merupakan viral protein yang disandi oleh segmen RNA ke tujuh. Variasi antigenik dari protein ini disebut tipe glikoprotein (tipe G), sesuai dengan susunan glikoprotein dari antigen ini (Clemens, et al., 1999). Saat ini, rotavirus pada manusia dapat memperlihatkan 12 tipe G yang berbeda, dimana lima tipe, yaitu G1, G2, G3, G4, dan G9 merupakan rotavirus tipe G yang paling sering muncul di dalam hasil isolasi dari kasus-kasus penyakit diare (Dennehy, 2008). Kemudian protein struktural kedua dari lapisan luar, VP4, merupakan viral protein hasil penyandian dari segmen RNA ke empat. Oleh karena itu, variasi dari VP4 disebut tipe P. Protein ini dapat diurai oleh protease tripsin (Clemens, et al., 1999). Saat ini, terdapat 15 tipe P yang teridentifikasi muncul dari hasil isolasi pada manusia dengan P[4], P[6], dan P[8] yang paling sering muncul dalam menyebabkan penyakit (Dennehy, 2008; Ward, et al., 2008). Meskipun UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 12 penggabungan dari 12 tipe G dengan 15 tipe P dapat menghasilkan 160 kombinasi P-G yang berbeda, namun hanya lima kombinasi yang sering terisolasi dari kasus diare pada manusia, di antaranya P[8]G1, P[4]G2, P[8]G3, P[8]G4, P[8]G9 (Dennehy, 2008). 2. Karakter genetik Klasifikasi rotavirus menggunakan karakter genetik dilakukan berdasarkan urutan nukleotida gen pengkode VP7 dan VP4. Hal tersebut disebabkan gen pengkode VP7 dan VP4 mempunyai beberapa daerah spesifik genotipe, yaitu daerah yang bervariasi antara satu genotipe dengan genotipe lain, tetapi relatif sama pada satu genotipe yang sama (Gentsch, et al., 1992). Dua galur (strain) memiliki genotipe yang sama bila memiliki kesamaan urutan asam amino pada protein VP7 dan VP4 sebesar 89% atau lebih. Hal tersebut ditetapkan berdasarkan hasil analisis terhadap galur dari serotipe yang sama (Kobayashi, et al., 2007). Klasifikasi genotipe dan serotipe memiliki korelasi yang erat. Galur dengan suatu genotipe tertentu akan menunjukkan reaksi yang bersesuaian pada reaksi serologinya. Sebanyak 16 tipe gen penyandi VP7 (genotipe G) dan 28 tipe gen penyandi VP4 (genotipe P) rotavirus A telah ditemukan menginfeksi manusia atau hewan (Kobayashi, et al., 2007). 2.2.2 Epidemiologi dan Imunitas Setiap tahun, rotavirus menyebabkan kurang lebih 111 juta kasus gastroenteritis dengan perawatan di rumah, 25 juta kasus pasien rawat jalan, 2 juta kasus pasien rawat inap, dan sekitar 611.000 (antara 454.000 – 705.000) kasus berakhir dengan kematian yang terjadi pada anak dengan usia lebih muda dari lima tahun akibat rotavirus di seluruh dunia (Angel, et al., 2007). Dari hasil penelitian ditemukan prevalensi terjadinya diare yang disebabkan oleh rotavirus grup A dengan rentang mulai dari 38% hingga 69% pada bayi dan anak usia dibawah umur lima tahun yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Ditambah lagi berdasarkan survei kesehatan dan demografi di Indonesia, diare tetap memimpin permasalahan mortalitas bayi dan anak-anak. Hasil data UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 13 prevalensi rotavirus di Indonesia selama Januari hingga April 2007 mengalami peningkatan dari hasil investigasi sebelumnya (Radji, et al., 2010). Penyebaran dari penyakit ini tidak sama rata terdistribusi antara negara maju dan negara berkembang. Hal ini mungkin disebabkan faktor sosioekonomi dan epidemiologi. Negara-negara maju mempunyai angka kesakitan yang tinggi namun angka kematiannya rendah, sedangkan kasus kematian mayoritas terjadi pada negara berkembang. Sebagai contoh, di Amerika Serikat terdapat 3 juta kasus per tahun dengan angka kematian kurang dari 100, diperkirakan bahwa rotavirus dihubungkan dengan 4 – 5% dari seluruh pasien anak rawat inap, dan diantara 1 dari 67 pasien anak dan 1 dari 85 pasien anak dengan usia lima tahun menjalani rawat inap di rumah sakit dengan penanganan gastroenteritis yang disebabkan rotavirus. Hasil rata-rata ini tidak dapat disangkal pada tahun 1993 hingga 2002. Dari konteks tersebut, bukan hal yang mengherankan bahwa intervensi cost-effective dari vaksin rotavirus menjadi bahan pertimbangan di Amerika Serikat (Angel, et al., 2007). Epidemiologi rotavirus sangat kompleks karena fenoma ini terus berubah. Adanya distribusi varietas galur rotavirus manusia yang berbeda berpengaruh pada faktor geografis, misalnya virus P[8]G1 lebih sering dijumpai terdapat di Amerika Utara, Eropa, dan Australia daripada di Amerika Selatan, Asia, dan Afrika, dan merupakan daerah yang paling sering ditemuinya rotavirus selama 30 tahun terakhir. Di beberapa daerah di India, Brazil, dan Afrika, rotavirus P[6]G9, P[6]G5, dan P[6]G8, berturut-turut lebih sering ditemukan daripada di tempat manapun (Cortese, 2009). Satu kemungkinan penjelasan dari hal yang dijabarkan ini adalah adanya reassortment (penyusunan kembali materi genetik) antara rotavirus hewan dan manusia. Adanya peningkatan terkait fakta-fakta transmisi zoonotik dari rotavirus hewan menjadi rotavirus manusia, menyebabkan rotavirus hewan dapat menyebabkan infeksi langsung atau terjadinya penyusunan kembali satu atau lebih segmen genom dari rotavirus hewan yang masuk ke dalam sirkulasi rotavirus manusia (Angel, et al., 2007). Infeksi rotavirus biasanya banyak terdapat selama musim gugur atau musim dingin, meskipun di iklim tropis juga cenderung banyak terjadi. Sehubungan dengan adanya variasi geografis, faktor variasi dalam penyebaran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 14 rotavirus juga sangatlah penting. Dari hasil studi-studi epidemiologi diawal tahun 1990 menunjukkan dominasi dari rotavirus strain G1-G4, tetapi setelah itu strain P[8]G9 atau P[6]G9 muncul di seluruh dunia dan rotavirus strain G9 terdeteksi sebanyak 4,1% dari seluruh isolat dalam studi baru-baru ini. Seperti yang telah dilaporkan oleh dunia, di Indonesia distribusi penyebaran genotip rotavirus tipe G dan tipe P pun sama, yakni tipe G1, G2, G3, G4, G9 dan tipe P[4], P[6], P[8], dengan rotavirus tipe G1 dan tipe P[8] adalah strain yang paling sering muncul (Radji, et al., 2010). Strain baru G12, terdeteksi pula di India baru-baru ini dan frekuensi kemunculannya meningkat, dimana hal ini merepresentasikan kemungkinan kemunculan genotip rotavirus yang lain dan menjadi tantangan saat ini dan masa depan, terkait vaksin rotavirus (Angel, et al., 2007). Infeksi simtomatik merupakan infeksi yang paling sering terjadi pada anak-anak antara umur 6 bulan sampai 2 tahun, dan penularan tampaknya terjadi melalui jalur fekal-oral. Infeksi nosokomial juga sering terjadi. Menjelang umur 3 tahun, 90% anak-anak mempunyai antibodi serum terhadap satu tipe rotavirus atau lebih. Manusia dan hewan dapat terinfeksi sekalipun memiliki antibodi. Reinfeksi rotavirus umum terjadi, di mana bayi dapat mengalami reinfeksi sampai 5x sampai umur 2 tahun. Faktor-faktor imun lokal, misalnya IgA sekretorik atau interferon, penting dalam perlindungan terhadap infeksi rotavirus. Selain itu reinfeksi bila ada antibodi yang beredar dapat menggambarkan adanya serotipe ganda virus. Infeksi asimtomatik sering terjadi pada bayi sebelum berumur 6 bulan, di saat antibodi protektif ibu didapat secara pasif oleh bayi yang baru lahir. Infeksi neonatal semacam itu tidak mencegah reinfeksi. Antibodi rotavirus telah dideteksi dalam susu ibu sampai 9 bulan setelah melahirkan. Imunitas yang didapatkan sewaktu anak-anak ini menyebabkan infeksi rotavirus relatif jarang terjadi pada orang dewasa (Brooks, 2007). 2.2.3 Respon Imun Tubuh Efektor imunologi yang dapat mencegah penyakit yang disebabkan oleh rotavirus sebagian telah dapat diidentifikasi, terutama melalui studi dengan menggunakan model hewan. Meskipun demikian, respon imun pada manusia masih kurang dapat dipahami (Ward, et al., 2008). Beberapa hasil studi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 15 mengemukakan bahwa infeksi akut rotavirus di dalam tubuh dapat menimbulkan respon imun humoral yang terdiri dari antibodi imunoglobulin (Ig)M, IgG, dan IgA, dan respon imun rotavirus-spesifik sel T sitotoksik pada lamina propria jaringan usus (Desselberger, 2000). Mekanisme respon imun pada tubuh manusia secara umum diasumsikan bahwa efektor imunologi tersebut aktif di mukosa usus. Hal ini dikarenakan rotavirus bereplikasi di dalam enterosit usus, sehingga respon imun paling nyata pada tubuh manusia terhadap rotavirus adalah sekresi IgA pada usus. Pada tubuh manusia, titer IgA rotavirus serta IgG rotavirus dilaporkan terdeteksi pada serum dan berkolerasi terhadap perlindungan rotavirus setelah terjadi infeksi alami rotavirus (Ward, et al., 2008). Protein rotavirus yang memiliki sifat imunogenik terbesar adalah VP6, namun protein ini tidak menstimulasi netralisasi serum antibodi tubuh. Meskipun telah dilaporkan demikian, antibodi IgA dengan protein VP6 secara langsung dapat memberikan perlindungan dengan mekanisme yang belum dapat dipahami secara jelas yang diduga melibatkan inhibisi replikasi intraseluler rotavirus dalam enterosit yang terinfeksi selama antibodi berjalan menuju lumen usus. Sedangkan antibodi yang ditujukan langsung pada protein VP4 atau VP7 dapat merangsang netralisasi virus serum antibodi dan diyakini memberikan perlindungan dengan mekanisme netralisasi klasik. Kedua protein tersebut juga dapat menginduksi respon serotipe, baik serotipe spesifik maupun serotipe silang (Ward, et al., 2008). Studi pada bayi dengan infeksi alami rotavirus sangat penting untuk memahami kekebalan tubuh terhadap rotavirus. Tingkat serum spesifik IgA rotavirus terdeteksi setelah infeksi alami pada anak-anak yang berkorelasi dengan tingkat IgA usus, sehingga beberapa penelitian mengemukakan bahwa tingkat serum IgA memberikan korelasi terhadap respon perlindungan. Setelah terjadi respon antibodi IgA dalam tubuh, perkembangan sistem proteksi antibodi tubuh terhadap rotavirus dilanjutkan dengan respon sel T terhadap rotavirus (Angel, et al., 2007). Studi respon sel T spesifik rotavirus pada manusia, menggunakan uji flowcytometry sitokin intraseluler dan ELISPOT, menunjukkan bahwa baik pada tubuh yang sehat maupun tubuh yang terinfeksi rotavirus pada manusia dewasa, memiliki sel T spesifik rotavirus CD4+ dan CD8+ dengan frekuensi relatif rendah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 16 yang mensekresikan interferon (IFN)- , bukan interleukin (IL)-13 atau IL-4. Sedangkan pada anak-anak dengan gastroenteritis akibat rotavirus, jumlah sel-sel tersebut sangat rendah atau tidak terdeteksi. Akibatnya, pola sitokin yang disekresikan oleh CD4+ sel T spesifik rotavirus pada anak-anak tidak dapat jelas digambarkan, bisa hanya berupa campuran T-helper1 (Th1) dan Th2 (Angel, et al., 2007). Studi terbaru yang membandingkan pola ekspresi gen dalam sel mononuklear darah perifer pada anak dengan penyakit diare akibat infeksi rotavirus dan anak yang sehat menunjukkan bahwa pada anak dengan infeksi rotavirus mengalami peningkatan ekspresi gen yang terlibat dalam diferensiasi, pematangan, aktivasi, dan ketahanan sel B, tetapi terjadi penurunan mRNA untuk gen yang terlibat dalam berbagai tahap perkembangan sel T. Selain itu, studi ini juga menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah limfosit total dan penurunan proporsi jumlah sel T CD4+ dan CD8+ pada sel mononuklear darah perifer, sehingga diketahui bahwa rotavirus dapat mengubah homeostasis sel T. Dengan demikian dapat diketahui bahwa respon sel T terhadap rotavirus pada anak yang terinfeksi rotavirus memiliki intensitas yang rendah, namun respon sel T terhadap rotavirus lebih kuat pada orang dewasa yang sehat (Angel, et al., 2007). 2.3 Vaksin 2.3.1 Definisi Vaksin Vaksin adalah bibit penyakit yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan prosedur tertentu, digunakan untuk merangsang pembentukan zat kekebalan tubuh, sehingga tubuh dapat menahan serangan penyakit yang bersangkutan. Sebuah vaksin pada dasarnya terdiri atas organisme atau bagian dari organisme (antigen) penyebab penyakit yang relevan dalam memproduksi antibodi. Antigen tersebut dipresentasikan sedemikian rupa dalam bentuk yang tidak berbahaya bagi manusia atau hewan, namun dapat merangsang respon sistem imun untuk menghasilkan antibodi (Kayne dan Jepson, 2004). Berdasarkan Farmakope Indonesia edisi IV, vaksin adalah sediaan yang mengandung zat antigenik yang mampu menimbulkan kekebalan aktif dan khas pada manusia. Vaksinasi dimaksudkan untuk mendapatkan respon imun spesifik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 17 yang akan dapat melindungi seseorang yang telah divaksinasi tersebut terhadap penyakit ketika ia terkena agen infeksi di kemudian hari. Kemampuan vaksin untuk merespon sistem imun tanpa memicu terjadinya penyakit sering kali dikombinasikan dengan ajuvan, yakni zat yang dapat memancing atau menarik sel-sel inflamasi tambahan ke tempat bekerjanya vaksin dan merangsang mereka untuk melepaskan berbagai macam sitokin dalam jumlah yang lebih besar. Selanjutnya sinyal-sinyal kimia tersebut akan merangsang dan mengaktifkan sel makrofag dan limfosit untuk memperoleh tambahan fungsi perlindungan (NPI Guide, 2002). Karena sifat unik dari virus dan sel-sel patogen lainnya, vaksin idealnya dapat membentuk antibodi yang kuat dan meningkatkan respon sel terhadap agen asing penyebab infeksi tersebut di dalam tubuh ketika dipaparkan. Vaksin yang efektif harus memiliki sifat imunogenisitas yang baik sehingga dapat menginduksi respon imun dan merangsang produksi antibodi yang dapat menghancurkan agen patogen sebelum masuk ke dalam sel dan dapat mendatangkan sel-sel T sitotoksik yang dapat menghancurkan sel-sel yang patogen di dalam tubuh. Respon bersama inilah yang akan melindungi tubuh seseorang dari serangan penyakit (NPI Guide, 2002). Respon imun yang baik pada vaksin virus harus mencakup efek antibodi pada permukaan epitel. Efek ini dapat diperoleh dari IgA lokal atau IgG dan IgM ekstravaskular setempat. Antibodi pada permukaan epitel akan mampu melindungi badan yang dapat mencegah virus masuk ke sirkulasi tubuh. Respon antibodi terhadap virus dapat ditemukan in vitro dengan tiga mekanisme, yakni menetralkan inefektivitas virus dan melindungi pejamu yang rentan, mengikat komplemen, dan mencegah adherens dan aglutinasi eritrosit oleh beberapa jenis virus (haemaglutination inhibition) (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). sIgA diproduksi setempat di lamina propria di bawah membran mukosa saluran napas dan cerna yang merupakan tempat kuman sering masuk ke dalam tubuh. sIgA merupakan Ig utama dalam sekresi hidung, bronkus, intestinal, saluran kemih, saliva, kolostrum, dan empedu. Pemberian vaksin polio oral (Sabin) memacu produksi antipolio (sIgA) yang ditemukan di dalam sekresi nasal dan duodenum, sedangkan pemberian vaksin mati parenteral (Salk) tidak. Hal ini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 18 membuktikan bahwa sIga dapat mencegah virus masuk secara lokal di tempat. Pada IgG dan IgM, keduanya dapat ditemukan pada sekresi setempat. IgG dan IgM telah ditemukan pula dalam eksudat. Hal ini menandakan bahwa Ig dapat bekerja secara eksta-vaskuler (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). 2.3.2 Jenis-jenis Vaksin Tiap vaksin memiliki keunikan dalam hal komposisi dan formulasi. Perbedaan ini mencerminkan bahwa tidak hanya agen infeksi dalam vaksin yang berbeda, melainkan juga bagaimana vaksin tersebut digunakan dan melalui mekanisme apa vaksin tersebut dapat bekerja menghasilkan suatu efek (NPI Guide, 2002). Berdasarkan Farmakope Indonesia edisi IV, jenis-jenis vaksin dibagi menjadi 3 kategori, di antaranya: 1. Vaksin bakteri, yakni vaksin yang dibuat dari biakan galur bakteri yang sesuai dalam media cair atau padat yang sesuai dan mengandung bakteri hidup atau inaktif atau komponen imunogeniknya. 2. Vaksin toksoid bakteri, yakni vaksin yang diperoleh dari toksin yang telah dikurangi atau dihilangkan sifat toksisitasnya hingga mencapai tingkat tidak terdeteksi, tanpa mengurangi sifat imunogenisitasnya. 3. Vaksin virus dan riketsia, yakni vaksin yang berasal dari suspensi virus atau riketsia yang ditumbuhkan dalam telur berembrio, dalam biakan sel atau dalam jaringan yang sesuai, atau dapat berupa virus atau riketsia hidup atau inaktif atau komponen imunogeniknya, di mana dalam vaksin virus hidup umumnya dibuat dari virus galur khas yang virulensinya telah dilemahkan. Jenis-jenis vaksin yang digunakan manusia saat ini juga dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu: 1. Vaksin Live-Attenuated Vaksin ini menggunakan strain agen infeksi yang dilemahkan dari suatu penyakit. Strain yang dilemahkan ini mampu mereplikasi atau bereproduksi dalam tubuh inangnya, sehingga dapat menjamin bahwa orang yang divaksinasi akan terpapar agen infeksi tersebut dalam waktu yang cukup lama untuk dapat mengembangkan respon imun spesifik, tetapi strain agen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 19 infeksi tersebut telah kehilangan salah satu atau lebih sifat yang berkontribusi terhadap patogenisitasnya yang menyebabkan mereka tidak mampu menimbulkan penyakit pada orang yang sehat. Proses pelemahan ini dapat diperoleh dengan menumbuhkan suatu zat patogen di bawah kondisi tumbuh yang abnormal. Mutan yang dihasilkan melalui proses ini kemudian diuji kehilangan daya virulensinya namun harus tetap dapat mempertahankan sifat imunogenisitasnya. Vaksin tuberkulosis (TBC), campak, gondok, rubella, dan polio adalah beberapa contoh dari vaksin live-attenuated ini (McMullan, 2009). 2. Vaksin Inactivated Vaksin inactivated memanfaatkan proses inaktivasi kimia zat patogen dengan menggunakan formalin atau -propiolakton atau ekstraksi menggunakan detergen nonionik seperti Triton X-100. Jenis vaksin ini relatif tidak memerlukan proses pembuatan yang rumit dan biaya yang dikeluarkan lebih murah. Vaksin dengan menggunakan pendekatan ini harus dapat memastikan sifat imunogenik dari agen infeksi tersebut dapat dipertahankan. Komponen agen infeksi dalam vaksin ini harus tidak dapat bereproduksi, tidak dapat menimbulkan penyakit, dan biasanya diberikan dalam dosis ganda untuk memperoleh kekebalan sistem imun. Vaksin ini perlu diperhatikan setelah proses inaktivasi selesai, karena resiko terjadinya pembalikkan virulensi masih memungkinkan terjadi meskipun kecil (McMullan, 2009). Contoh vaksin inactivated di antaranya adalah vaksin influenza, rabies, hepatitis A dan B, pertusis, serta tetanus (NPI Guide, 2002). 3. Vaksin Subunit Vaksin subunit secara luas digunakan untuk memberi perlindungan terhadap sejumlah penting zat patogen. Vaksin subunit dapat menggunakan makromolekul antigenik yang diisolasi dari permukaan eksternal zat patogen tersebut. Misalnya, pada vaksin Haemophilus influenzae tipe B (HIb), Neisseria meningitidis, dan Streptococcus pneumonia di mana mengandung polisakarida kapsuler yang berasal dari bakteri tersebut. Alternatif lain, vaksin subunit dapat berupa protein rekombinan seperti hepatitis B surface antigen (HBsAg) yang digunakan di dalam pembuatan vaksin hepatitis B. Vaksin ini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 20 muncul karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi bahkan mengharuskan digunakannya vaksin subunit dibandingkan dengan vaksin organisme utuh, misalnya pada virus hepatitis B di mana sampai saat ini masih merupakan kemustahilan dan ketidakmampuan untuk melemahkan virus tersebut. Selain itu vaksin subunit juga dapat dibuat menggunakan racun yang diinaktivasi, sebagai contoh yaitu tetanus toksin yang dihasilkan dari Clostridium tetani, di mana eksotoksin bakteri inilah yang merupakan faktor virulensi, bukan bakterinya (McMullan, 2009). 2.3.3 Komponen dan Bahan Eksipien Vaksin Di dalam formulasi dan proses pembuatan vaksin, terdapat beberapa komponen dan eksipien yang sering digunakan dan terkandung di dalam vaksin, di antaranya yaitu (NCIRS, 2009): 1. Komponen aktif Komponen aktif vaksin sering dikenal sebagai ‘antigen’ vaksin yang dapat menginduksi terjadinya respon imun. Komponen ini merupakan bentuk modifikasi atau bentuk sebagian dari virus, bakteri, atau toksin yang dapat menyebabkan penyakit, sesuai dengan spesifikasi vaksin tersebut. Antigen vaksin ini diubah dari bentuk aslinya sehingga tidak lagi dapat menyebabkan penyakit namun harus tetap dapat menghasilkan respon imun yang sesuai. Ada sejumlah cara untuk mendapatkan komponen aktif ini, yakni menggunakan virus hidup yang dilemahkan (live-attenuated), virus inaktif (inactivated), menggunakan suatu bagian dari virus atau bakteri (misalnya lapisan terluar polisakarida dari suatu virus atau bakteri), atau dengan menggunakan toksin yang dihasilkan oleh suatu bakteri. 2. Adjuvan Adjuvan digunakan untuk meningkatkan respon imun terhadap vaksin. Contoh adjuvan adalah berbagai macam garam aluminium seperti aluminium hidroksida, aluminium fosfat, dan kalium aluminium fosfat (tawas). Salah satu cara adjuvan dalam meningkatkan respon imun tubuh diperkirakan adalah dengan menjaga agar antigen berada dekat dengan tempat injeksi sehingga antigen dapat dengan mudah diakses oleh sel-sel sistem imun tubuh. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 21 Penggunaan aluminium adjuvan dalam vaksin umumnya berarti hanya sedikit kandungan antigen per dosis vaksin, di mana dalam kasus tertentu, dosis antigen lebih sedikit diperlukan. Keberadaan adjuvan dalam vaksin sering dikaitkan dengan reaksi lokal yang terjadi di tempat injeksi setelah dilakukan vaksinasi. 3. Pelarut (Diluent) Pelarut merupakan cairan yang diberikan atau disiapkan secara terpisah dan digunakan untuk melarutkan vaksin dengan konsentrasi yang tepat sebelum pemberian. Pelarut yang biasanya digunakan adalah saline steril atau air steril. 4. Stabilisator Stabilisator merupakan komponen tambahan yang digunakan untuk membantu menjaga efektivitas suatu vaksin dengan menjaga antigen dan komponen vaksin lainnya tetap stabil selama proses pembuatan dan penyimpanan. Stabilisator mampu mencegah komponen vaksin menempel pada sisi vial vaksin. Contoh stabilisator adalah laktosa dan sukrosa, glisin dan monosodium glutamat (keduanya merupakan asam amino atau garam-garam dari asam amino), dan serum albumin manusia atau sapi. Gelatin, di mana merupakan hasil hidrolisis sebagian dari kolagen, biasanya berasal dari sapi atau babi, dapat ditambahkan ke dalam vaksin sebagai stabilisator. 5. Preservatif Preservatif atau pengawet digunakan untuk mencegah terjadinya kontaminasi jamur dan / atau bakteri dalam vaksin. Pengawet terdapat pada beberapa vaksin, tapi tidak semua vaksin. Awalnya, pengawet digunakan untuk mencegah kontaminasi bakteri dari kemasan dosis ganda, namun saat ini kemasan dosis ganda sudah jarang bahkan tidak lagi digunakan. Pengawet yang digunakan di antaranya tiomersal, fenoksietanol, dan fenol. 6. Komponen Jejak Komponen jejak adalah sejumlah kecil sisa zat yang telah digunakan pada tahap awal proses produksi vaksin. Keberadaan komponen ini bergantung pada proses manufaktur yang digunakan, bisa berupa cairan kultur UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 22 sel, protein telur, ragi, antibiotik, atau agen penginaktif. Biasanya, hanya sedikit sekali zat ini terdeteksi dalam produk akhir sediaan vaksin. 2.3.4 Proses Produksi Live-Virus Vaksin Dalam memproduksi live-virus vaksin, terdapat beberapa unsur signifikan yang harus dilakukan. Pada umumnya, proses manufaktur vaksin ini dibagi menjadi dua proses utama yaitu proses produksi bulk vaksin dari pemanenan virus tunggal (single virus harvest) dan proses produksi produk obat, dalam hal ini adalah vaksin. Pemanenan virus tunggal dimaksudkan untuk memisahkan virus yang akan digunakan dalam pembuatan vaksin dan virus strain lain yang mungkin hidup bersama dalam suatu kultur induk. Setiap pemanenan virus tunggal, perlu dilakukan uji untuk kontrol setiap batch sel virus yang dihasilkan. Masing-masing virus tunggal diuji secara individu dan disimpan beku pada temperatur yang rendah sampai terformulasi menjadi produk akhir. Stabilitas data dari bulk vaksin biasanya memungkinkan dapat disimpan 18 hingga 36 bulan sehingga memudahkan proses produksi menjadi produk akhir, uji klinis, dan distribusi komersial (PATH, 2006). Dalam proses kultur virus tunggal, setidaknya terdapat beberapa tahap utama sebelum akhirnya diperoleh bulk vaksin, yaitu (PATH, 2006): 1. Resusitasi sel Resusitasi sel adalah proses reaktifasi sel dari keadaan inaktif karena pembekuan pada temperatur sangat rendah. Resusitasi bertujuan untuk menjaga viabilitas sel. Sel yang digunakan dalam kultur sel dapat berupa sel diploid dan sel kontinu. Sel diploid adalah sel yang dibuat dari embrio hewan, tanaman, atau manusia yang telah diisolasi dan menyediakan lingkungan pertumbuhan yang ideal. Sel kontinu bersifat lebih tahan lama karena diturunkan dari sel tumor. Contoh dari jenis kultur sel ini adalah sel HeLa dan sel vero. Sel ini telah kehilangan banyak sifat aslinya seperti tidak lagi bersifat diploid karena telah kehilangan banyak kromosom. Sel continous menyediakan medium kultur jaringan manusia semistandar untuk studi terkait metabolisme sel, penuaan, dan infeksi sel (Bauman, 2012). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 23 Dalam proses resusitasi biasanya dibutuhkan medium (contoh DMEM atau Dulbecco's modified Eagle's medium), serum (contoh BCS atau Bovine Calf Serum), NaHCO3, dan antibiotik. Semua bahan tersebut dicampurkan dengan takaran tertentu dan didistribusikan ke dalam T-flasks. Kemudian sel beku yang digunakan untuk kultur dicairkan, dan dimasukkan ke dalam Tflasks yang berisi medium. Kemudian dilakukan observasi sel dengan menggunakan mikroskop untuk memastikan keadaan sel dan dilakukan inkubasi pada temperatur 37oC (Freshney, 2005). 2. Pasase sel Pasase adalah proses subkultur sel. Pasase dilakukan ketika sel sudah mencapai kondisi konfluen (kondisi meratanya sel sebagai sel monolayer sampai menutupi wadah kultur). Pada proses pasase, medium pertumbuhan dikeluarkan dari T-flasks, kemudian sel dicuci dengan menggunakan PBS (phosphate buffer saline) tanpa Ca2+ dan Mg2+. PBS akan menghilangkan serum yang terkandung di dalam medium. Serum harus dihilangkan agar tidak menganggu kerja tripsin. Setelah sel dicuci dengan PBS, ditambahkan tripsin untuk melepas sel dari permukaan T-flasks. Tripsin memiliki aktivitas proteolitik yang dapat menyebabkan kerusakan protein pada membran sel. Inkubasi suspensi tripsinisasi dilakukan selama 5-8 menit. Waktu inkubasi yang terlalu lama dapat menyebabkan kerusakan membran sel akibat degradasi membran protein oleh tripsin (Hsiang et al, 2010). Pada proses pasase, dilakukan transfer sel ke medium baru. Medium yang digunakan menyediakan nutrisi esensial yang dibutuhkan untuk pembelahan sel seperti asam amino, asam lemak, ion, vitamin, dan kofaktor. Beberapa komponen seperti natrium bikarbonat digunakan sebagai sumber karbonat dan berperan penting dalam menjaga pH dan osmolaritas sel (Mather, 1998). Serum digunakan sebagai asupan asam amino, faktor pertumbuhan, vitamin, protein, hormon, lipid, dan mineral. Fungsi utama dari serum adalah menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas selular yang melibatkan hormon dan faktor pertumbuhan, meningkatkan adhesi selular melalui protein spesifik, dan menyediakan protein untuk transport hormon, mineral, dan lipid. Antibiotik yang ditambahkan ke dalam medium kultur berperan untuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 24 mencegah pertumbuhan mikroba. Antibiotik yang diberikan ada dalam jumlah sedikit karena bersifat sitotoksik. Setelah dilakukan penambahan medium baru, sel tersebut diinkubasi kembali pada suhu 37oC (Freshney, 2005). 3. Inokulasi dan kultivasi virus Kultivasi virus dilakukan setelah dilakukan pergantian medium kultivasi. Sebelumnya sel dicuci kemudian virus dimasukkan ke dalam kultur agar dapat menginfeksi sel. Infeksi sel ini akan mengakibatkan CPE (cytopathic effect). CPE ditandai dengan adanya perubahan bentuk sel, pelepasan sel dari subtrat, lisis, dan apoptosis. Khusus untuk sel vero yang diinfeksi oleh virus, sel akan terlepas dari substrat (Freshney, 2005). 4. Pemanenan virus yang menginfeksi kultur sel Setelah proses inokulasi dan penginfeksian virus pada sel kultur, dapat dilakukan pemanenan virus dengan cara menghilangkan medium, mencuci sel terinfeksi tersebut, kemudian dilakukan tripsinasi dengan tripsin atau EDTA. Didiamkan beberapa saat untuk memberikan waktu kerja dari proses tripsinasi. Terakhir dilakukan pengendapan dan pencucian sel dengan resuspensi dan sentrifugasi (Freshney, 2005). 5. Proses downstream (purifikasi dan karakterisasi) Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengembangan strategi pengolahan hilir (downstream), dengan pemahaman bahwa setiap langkah pengolahan yang termasuk di dalamnya mengakibatkan hilangnya viabilitas virus. Tujuan pengolahan hilir di antaranya harus dapat menghilangkan puing-puing sel pada proses pemanenan, mengurangi atau menghilangkan impurities, menghasilkan konsentrat virus, menambahkan virus stabilizer, mensterilkan virus, dan meningkatkan potensi agen adventif (PATH, 2006). Penghapusan puing sel dapat dicapai dengan klarifikasi filtrasi atau low-speed sentrifugasi. Bila menggunakan sel vero, asam nukleat dapat dikurangi ukurannya dengan benzonase kemudian dihilangkan melalui ultrafiltrasi menggunakan 50.000 MW membran atau dengan menggunakan kromatografi penukar ion. Hal ini tidak perlu dilakukan bila sel yang digunakan adalah sel diploid. Menghasilkan konsentrat virus diperlukan bila UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 25 titer virus dalam pemanenan terlalu rendah untuk diformulasikan menjadi produk akhir atau untuk menghilangkan air yang dapat mengurangi volume penyimpanan. Konsentrat tersebut dapat diperoleh dengan ultrafiltrasi atau ultrasentrifugasi. Larutan virus stabilizer yang biasanya mengandung sukrosa ditambahkan untuk membantu mempertahankan kestabilan virus selama proses penyimpanan -60oC sebagai konsentrat vaksin monovalen. Terakhir, preparasi vaksin harus dilakukan sterilisasi menggunakan filtrasi (PATH, 2006). Dalam hal karakterisasi, ada enam persyaratan utama yang perlu dilakukan dan diperhatikan, yaitu demonstrasi dalam hal tidak adanya kontaminasi silang, konfirmasi spesies atau strain, korelasi dengan jaringan asal, penentuan apakah virus mengalami perubahan atau transformasi, indikasi apakah virus rentan terhadap ketidakstabilan genetik dan variasi fenotipik, terakhir adalah mengidentifikasi virus tertentu dalam kelompok yang sama (strain yang bebeda) (Freshney, 2005). Setelah serangkaian proses produksi virus tunggal tersebut selesai, dilakukan proses pembekuan sehingga diperoleh bulk vaksin monovalen beku yang stabil agar dapat disimpan sebelum diformulasikan menjadi produk akhir. Proses manufaktur vaksin dilanjutkan dengan proses produksi produk akhir dimulai dengan mencairkan sejumlah bulk vaksin beku. Kemudian dicampurkan konsentrat vaksin tersebut ke dalam mixing vessel. Konsentrat vaksin kemudian dilarutkan dengan pelarut yang sesuai dan ditambahkan dengan virus stabilizer dan eksipien lain sesuai dengan kekuatan dan potensi yang diinginkan. Formula vaksin tersebut kemudian diisi sesuai dengan dosis akhir kemasan. Dilakukan lypophilize vial apabila proses ini dibutuhkan. Setelah itu sediaan vaksin diberi label dan dievaluasi. Sediaan akhir vaksin disimpan pada temperatur yang sesuai untuk menjaga viabilitas virus (PATH, 2006). 2.3.5 Vaksin Rotavirus Kekebalan terhadap infeksi rotavirus pada bayi pertama kali ditunjukkan oleh Bishop et al., yang mengamati bahwa bayi yang terinfeksi rotavirus terlindung dari diare parah setelah adanya infeksi kedua kalinya. Pengembangan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 26 vaksin rotavirus ini difokuskan terutama pada pengiriman strain rotavirus hidup yang dilemahkan melalui rute oral. Uji coba vaksin rotavirus pertama menggunakan rotavirus strain sapi RIT4237 (P[1]G6), menghasilkan suatu keberhasilan sebesar 55-62% terhadap diare rotavirus dan tingkat efikasi sebesar 80-88% terhadap penyakit diare yang lebih parah. Meskipun ini merupakan awal yang menggembirakan, baik RIT4237 dan jenis vaksin sapi lain, WC3 (P[5]G6), memiliki hasil yang tidak konsisten. Ketika diuji di negara berkembang, khasiat yang rendah diamati dalam uji coba yang dilakukan di negara-negara berkembang termasuk Gambia, Peru, Rwanda, dan Republik Afrika Tengah. Sebuah vaksin rhesus strain (RRV), P[3]G3, diuji secara luas, termasuk di negara yang relatif miskin, Venezuela, di mana didapatkan hasil bahwa vaksin ini memiliki tingkat efikasi sebesar 85-90% terhadap penyakit diare yang paling parah (Kang, 2006). Secara umum, jenis vaksin rotavirus dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu vaksin berbasis rotavirus hewan dan vaksin berbasis rotavirus manusia. Saat ini, pada vaksin berbasis rotavirus hewan tidak hanya berbentuk vaksin monovalen rotavirus hewan saja, tetapi juga sudah berkembang vaksin multivalen. Vaksin ini berkembang setelah diketahuinya kemampuan rotavirus untuk reassort selama infeksi campuran secara in vitro yang memungkinkan diproduksinya vaksin reassortant yang diistilahkan sebagai pendekatan “Jennerian”. Virus reassortant mengandung beberapa gen dari induk rotavirus hewan dan beberapa gen dari induk rotavirus manusia. VP7 dianggap penting dalam memberikan perlindungan, oleh karena itu reassortant rotavirus yang digunakan sebagai vaksin menyisipkan gen VP7 manusia untuk memberikan respon imun protektif (Dennehy, 2008). Vaksin multivalen yang berlisensi sampai saat ini adalah vaksin reassortant rotavirus manusia-sapi (RotaTeq) yang dikembangkan oleh Merck Research Co. Vaksin ini tidak hanya menyisipkan gen VP7 manusia, tetapi juga menyisipkan gen VP4 manusia yang juga telah dianggap penting untuk merangsang respon imun protektif. RotaTeq berbentuk pentavalen, yakni mengandung lima reassortant rotavirus hidup yang dilemahkan di antaranya empat reassortant rotavirus yang mengekspresikan protein VP7 (G1, G2, G3, atau G4) dari strain induk rotavirus manusia dan protein tambahan VP4 (P[5]) dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 27 strain induk rotavirus sapi WC3 (P[5]G6) dan satu reassortant rotavirus yang mengekspresikan protein tambahan VP4 (P[8]) dari strain induk rotavirus manusia dan kapsid terluar protein VP7 (G6) dari strain induk rotavirus sapi (Dennehy, 2008). [Sumber: Dennehy, 2008] Gambar 2.3 Vaksin reassortant rotavirus manusia-sapi (RotaTeq) Kandidat vaksin reassortant multivalen manusia-sapi lain telah dikembangkan oleh National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) berupa vaksin tetravalen rotavirus sapi (BRV-TV) yang merupakan penggabungan empat virus reassortant dengan sebuah gen tunggal protein VP7 dari serotipe manusia G1, G2, G3, atau G4 dan gen dari strain rotavirus sapi Inggris (P[7]G6). Dengan munculnya serotipe G9 dan G8 sebagai serotipe epidemiologis penting di berbagai daerah, pengembang vaksin di NIAID berencana untuk menambah reassortant manusia-sapi dengan spesifikasi G8 dan G9 pada vaksin tetravalen tersebut, sehingga menghasilkan formula vaksin heksavalen (Dennehy, 2008). Sedangkan pada vakin berbasis rotavirus manusia, saat ini terdapat vaksin berlisensi yaitu Rotarix yang dikembangkan oleh GlaxoSmithKline Biological. Vaksin ini mengandung rotavirus manusia strain P[8]G1 hidup yang telah dilemahkan dan merepresentasikan protein gen VP7 dan VP4 rotavirus yang paling umum dan sering menginfeksi manusia. Lalu, sebuah strain rotavirus neonatal manusia P[6]G3, RV3, yang awalnya dikembangkan oleh Bishop dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 28 rekannya di Australia, telah menjadi kandidat vaksin berbasis rotavirus manusia sebagai vaksin oral pada bayi usia 3 bulan yang aman dan dapat ditoleransi dengan baik. Saat ini, kandidat vaksin RV3 juga dikembangkan oleh Biofarma, Indonesia (Dennehy, 2008). Kandidat vaksin berbasis rotavirus manusia lainnya juga dikembangkan oleh Bharat Biotech dengan menggunakan dua strain Indian neonatal di antaranya, 116E (P[11]G9) yang merupakan rotavirus reassortant alami berupa strain manusia dengan gen tunggal VP4 (P[11]) sapi dan I321 yang merupakan rotavirus strain reassortant manusia-sapi yang terdiri dari gen utama yang berasal dari sapi dan hanya memiliki dua segmen gen saja yang berasal dari manusia (Kang, 2006). 2.4 Freezing (Pembekuan) Pembekuan adalah proses pemindahan panas dari bahan yang disertai dengan perubahan fase dari cair ke padat (Tambunan, 1999). Syarief dan Kumendong (1992) menyatakan bahwa pembekuan adalah kegiatan menurunkan suhu bahan pangan atau produk di bawah suhu titik bekunya dan sejumlah air berubah menjadi kristal es. Tahap pembekuan merupakan tahap penting dalam proses lyopilisasi karena efek potensial yang dihasilkannya terhadap terjadinya agregasi protein (Willemer, 1992; Searles, 2001). Berdasarkan pada laju pembekuan, proses pembekuan dapat dikelompokkan menjadi pembekuan lambat dan pembekuan cepat. Pada pembekuan lambat, laju pergerakan permukaan beku sekitar 0,2 cm/jam, biasanya dengan menggunakan still air freezer atau cold storage. Pada pembekuan cepat, proses pembekuan terbagi lagi menjadi tiga, yakni quick freezing, rapid freezing, dan ultra rapid freezing. Quick freezing memiliki laju pergerakan permukaan beku sekitar 0,5-3 cm/jam (contoh alat yang digunakan adalah air blast freezer, plate freezer). Rapid freezing memiliki laju pergerakan permukaan beku sekitar 5-10 cm/jam (contoh alat yang digunakan adalah fluidized bed freezing). Ultra rapid freezing memiliki laju pergerakan permukaan beku sekitar 10-100 cm/jam, yang umumnya terjadi pada pembeku kriogenik (cryogenic freezer), yakni pembeku yang bekerja dengan menggunakan karbondioksida, nitrogen cair atau freon cair, dan secara langsung kontak dengan bagian produk yang dibekukan. Laju UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 29 pembekuan merupakan salah satu faktor kritis yang menentukan mutu produk beku yang dihasilkan (Foodreview Indonesia, 2007). [Sumber: Foodreview Indonesia, 2007] Gambar 2.4 Profil penurunan suhu pada pembekuan cepat dan pembekuan lambat Prosedur pembekuan dipengaruhi oleh derajat undercooling, tetapi pembentukan formasi dan pertumbuhan kristal terjadi secara spontan dan tidak terkontrol. Ukuran kristal hanya ditentukan secara tidak langsung oleh gradien suhu ketika proses undercooling, akibatnya kontrol laju pembekuan melalui manipulasi tingkat pendinginan memiliki hasil yang tidak pasti (Kramer et al., 2002). Proses pendinginan lebih lanjut menyebabkan cairan berubah menjadi es dan semua cairan interstitial disekitarnya menjadi kristal atau cairan dengan viskositas yang terlalu tinggi menyebabkan terjadinya transformasi menjadi sebuah sistem solid amorf (Nail dan Gatlin, 1993). Protein dan eksipien lain tidak mengkristal selama tahap pembekuan, tetapi dikonversi dari cairan sangat kental menjadi amorf solid yang kaku (seperti kaca) yang berisi sekitar 10-30% air (Pikal, 1990; Hatley et al., 1996). Laju pembekuan merupakan faktor potensial yang berpengaruh pada stabilitas penyimpanan formulasi protein (Hsu et al, 1995). Secara umum, laju pembekuan cepat menyebabkan kristal es yang dihasilkan kecil (Willemer, 1992; Wisniewski, 1998). Hal ini karena air mencapai kondisi sangat dingin dengan cepat sehingga proses kristalisasi terjadi dengan sangat cepat pula (Pikal, 1990; House dan Mariner, 1992). Sebaliknya, laju pembekuan yang lambat menghasilkan kristal es besar (Willemer, 1992; Wisniewski, 1998). Dua UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 30 parameter yaitu laju pendinginan (berdampak pada ukuran kristal yang dihasilkan) dan suhu akhir pembekuan berpengaruh dalam induksi denaturasi protein secara kompleks (Franks, 1990; Wang, 2000). Dampak dari tingkat pendinginan pada stabilitas protein bervariasi secara substansial. Laju pembekuan juga mempengaruhi stabilitas protein ditinjau dari mekanisme denaturasi protein (Wang, 2000). Pembekuan lambat (misal diproduksi dengan shelf freezing) mengarah kepada pertumbuhan kristal es dengan ukuran yang besar dan memiliki kecenderungan terhadap zat terlarut yang terkonsentrasi secara maksimal. Dalam keadaan ini, inkompatibilitas antara zat terlarut dapat menyebabkan pemisahan fase (Heller, et al., 1999). Pembekuan cepat dapat menyebabkan peningkatan agregat tidak larut dari rGH (recombinant Growth Hormone) (Eckhardt et al., 1991) dan pembentukan formasi berbagai macam agregat dari IgG sapi dan manusia (Sarciaux et al., 1998). Pada teknologi pangan, proses pembekuan lambat yang menghasilkan kristal es dengan ukuran besar, berpeluang untuk menusuk dan merusak sel jaringan pangan, sehingga menyebabkan sel kehilangan air dan kehilangan keteguhan tekstur (Foodreview Indonesia, 2007). Pada pembekuan cepat menunjukkan terjadinya sedikit kehilangan aktivitas LDH (Lactat Dehydrogenase Hormone) (Nema dan Avis, 1993) dan terjadi sedikit perubahan dalam struktur sekunder hemoglobin dalam larutan dekstran/PEG (Heller et al, 1999). Alasannya mungkin disebabkan karena pembekuan cepat mencegah pertumbuhan kristal secara luas, sehingga dapat mengurangi konsentrasi larutan yang menginduksi denaturasi protein (Wang, 2000). 2.5 Stabilitas Vaksin dalam Aspek Penyimpanan Stabilitas merupakan suatu variabel penting yang harus diperhatikan dalam suatu sediaan atau produk, dalam bentuk apapun (Codex, 1994). Studi stabilitas pada produk biologi, termasuk vaksin, menimbulkan tantangan yang lebih besar dibandingkan dengan studi pada molekul kecil farmasetika lainnya. Aspek kunci dari produk biologi adalah sifat labilitasnya apabila dibandingkan dengan kebanyakan molekul obat. Secara umum, dibutukan suhu yang rendah untuk kondisi penyimpanannya, seperti pada kulkas (2° hingga 8°C), freezer (-10⁰ UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 31 hingga - 20⁰C), atau bahkan pada suhu penyimpanan ultra rendah (-40⁰ hingga -80⁰C). Hal ini menjadi ketentuan standar ruangan stabilitas suhu rendah. Aspek lainnya yang perlu diperhatikan adalah produk biologi seperti vaksin umumnya sangat mahal dan seringkali memakan waktu yang cukup banyak untuk diproduksi dan beberapa hanya dapat diproduksi dalam batch dengan jumlah yang sedikit bergantung pada sifat dasar dari teknologi yang digunakan (Huynh-Ba dan Zahn, 2009). Dalam proses produksi skala besar, bahan aktif vaksin yang diperoleh setelah proses produksi bahan aktif (API atau Production of Active Ingredients) biasanya disimpan sebelum diformulasikan menjadi vaksin (PATH, 2006). Vaksin, seperti pula produk biologi lainnya, membutuhkan penanganan ekstra ketika dikaitkan dengan stabilitas farmasetikanya. Aktivitas biologi dari protein misalnya, yang mana merupakan penyusun utama dari vaksin, berasal tidak hanya dari struktrur ikatan kovalen primernya tetapi juga dari konformasi lipatan yang menghasilkan struktur sekunder dan tersier. Konformasi ini dapat dengan mudah berubah tanpa harus memecah ikatan kovalennya, dan ketika hal ini menyebabkan denaturasi maka seluruh atau sebagian aktivitas biologis yang membuat protein atau vaksin memiliki aktivitas dapat hilang. Untuk itulah, perlu ditangani dengan sangat hati-hati (Huynh-Ba dan Zahn, 2009). Terkait dengan kerapuhan dari molekul, biaya, dan persyaratan suhu rendah yang harus dipenuhi, maka ketika suatu material biologis diproduksi, persoalan cold-chain (upaya menjaga stabilitas suhu dingin yang diperlukan produk untuk tetap berada di range tertentu selama proses produksi hingga distribusi) menjadi penting diperhatikan, khususnya ketika suatu vaksin atau produk biologis lainnya dikirim secara internasional dimana waktu distibusi menjadi hal yang riskan (Huynh-Ba dan Zahn, 2009). Jika cold-chain tidak dapat dipertahankan, vaksin yang poten sekalipun tingkat efikasinya akan hilang (Parthsarthy et al., 2001). Kebanyakan vaksin kehilangan potensinya akibat dari panas dan sinar matahari, sehingga diperlukan perlindungan dari keduanya (Desai et al., 1990). Untuk itu dalam proses perancangan vaksin, harus memperhatikan metode yang digunakan dalam pengiriman dan perlu untuk mendesain studi stabilitas yang akan mendukung penyimpangan yang mungkin dapat terjadi (PATH, 2006). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 32 Metode freeze-thaw atau heat-stress biasanya diterapkan untuk membantu memperkirakan proses penyimpanan dan mencegah terjadinya penyimpangan pengiriman. Akan tetapi, meskipun sudah diterapkan, kualitas produk khususnya waktu simpan produk tetap tidak dapat dipastikan begitu saja. Karena baik metode freeze-thaw maupun heat-stress yang dilakukan terhadap produk pun dapat mengakibatkan kemungkinan lainnya, seperti terjadinya degradasi dalam formulasi zat biologis (Huynh-Ba dan Zahn, 2009). 2.6 Immunofluorescence Imunofluoresensi (Immunofluorescence atau IF) adalah teknik laboratorium yang umum digunakan pada hampir seluruh aspek biologi. Teknik ini telah banyak digunakan baik dalam penelitian dan diagnostik klinis, misalnya evaluasi suspensi sel, kultur sel, jaringan, dan microarray untuk mendeteksi protein tertentu (Coons, 1941; Coons dan Kaplan, 1950). Dalam teknik IF, antibodi secara kimiawi terkonjugasi oleh pewarna fluorescent seperti fluorescein isothiocyanate (FItC) atau tetramethyl rhodamine isothiocyanate (tRItC). Antibodi yang terikat (baik secara langsung maupun tidak langsung) dengan antigen yang sesuai dapat ditandai dengan pewarna fluorescent sehingga deteksi antigen dapat dilakukan dan dapat diukur fluoresensi tersebut dengan menggunakan flow cytometer, array scanner (automated imaging instrument), atau divisualisasikan menggunakan mikroskop fluorescence (Robinson, et al., 2009). [Sumber: LANA-1 Immunofluorescence Assay; Athmanathan, et al., 2002] Gambar 2.5 Visualisasi mikroskop fluorescence UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 33 Dua metode utama pelabelan immunofluorescent adalah langsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Pada imunofluoresensi langsung, antibodi yang terikat pada molekul yang cocok (antigen) secara kimiawi terkonjugasi dan ditandai oleh pewarna fluorescent. Sedangkan pada imunofluoresensi tidak langsung, bukan antibodi spesifik yang terikat pada antigen (antibodi primer) yang ditandai pewarna fluorescent, melainkan antibodi anti-immunoglobulin (antibodi sekunder) yang menempel pada antibodi primerlah yang ditandai dengan pewarna fluorescent (Gambar 2.6) (Robinson, et al., 2009). [Sumber: Robinson, et al., 2009] Gambar 2.6 Skema imunofluoresensi langsung dan tidak langsung Baik metode langsung maupun tidak langsung pada imunofluoresensi ini masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan didalam penggunaannya. Kelebihan imunofluoresensi langsung adalah prosedur dan proses penempelan lebih pendek dan sederhana dua kali bahkan tiga kali lipat daripada metode tidak langsung. Kekurangan metode ini adalah kekuatan sinyal fluorescent-nya yang rendah, biayanya yang cenderung lebih tinggi, kurang fleksibel, dan sulit dalam mencari antibodi yang spesifik dengan antigen dan dapat terkonjugasi dengan pewarna fluorescent. Pada imunofluoresensi tidak langsung, kepekaan yang dimiliki lebih besar karena terdapat amplifikasi sinyal yang disebabkan ada lebih dari satu antibodi sekunder yang menempel pada satu antibodi primer. Antibodi sekunder yang diproduksi secara komersial relatif murah, tersedia dengan kualitas yang terkendali. Kelemahannya adalah terdapat potensi terjadinya reaktivitas silang (cross-reactivity) dan kebutuhan dalam mencari antibodi primer yang cocok UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 34 baik dalam penempelan dengan antigen maupun dengan antibodi sekunder (Robinson, et al., 2009). Secara luas, metode fluoresensi tidak langsung lebih banyak digunakan dibandingkan imunofluoresensi langsung. Aplikasi imunofluoresensi langsung kebanyakan digunakan pada kasus-kasus tertentu, misalnya digunakan untuk lokalisasi IgG dalam kompleks imun pada biopsi kulit bagian dermal-epidermal junction dari pasien yang menderita lupus eritematosus sistemik (Jennet dan Wick, 1988). 2.7 Protein Stabilizer Osmolit memiliki kemampuan untuk melindungi komponen seluler terhadap terjadinya denaturasi akibat pengaruh lingkungan. Kemampuan dari suatu bahan osmolit tersebut untuk melindungi protein merupakan pengetahuan yang berharga untuk mengatasi permasalahan stabilitas protein, yang salah satunya berkaitan dengan bioteknologi dan biofarmasetika. Salah satu golongan osmolit alami yang dapat berfungsi sebagai pelindung protein adalah golongan gula atau poliol, seperti sukrosa, trehalosa, sorbitol, dll (Bolen, D.W, 2001). Gula atau poliol banyak digunakan sebagai protein stabilizer di dalam larutan atau selama proses freeze-thawing dan freeze-drying. Keduanya baik digunakan sebagai cryoprotektan dan lyoprotektan. Tingkat dari stabilisasi yang dimiliki oleh gula dan poliol secara umum bergantung pada konsentrasinya (Street, 2006). Dari hasil penelitian Tanaka et al (1991), sakarida dapat memproteksi protein dengan langsung berinteraksi dengan protein dan konsentrasi dari sakarida yang cukup dapat membentuk lapisan monomolekular pada permukaan protein untuk mencapai stabilitas dari protein. Namun, peningkatan konsentrasi gula atau poliol sampai melewati batas atau limit stabilisasi akan menyebabkan terjadinya destabilisasi protein selama freeze-drying. Tingkat proteksi protein yang dimiliki oleh gula atau poliol yang berbeda dapat mirip atau berbeda secara signifikan, tergantung dari komposisi formulasi, konsentrasi, dan sifat fisik stabilizer, dan kompatibilitasnya dengan protein. Dalam banyak kasus, disakarida merupakan stabilizer yang paling efektif dan umum digunakan diantara gula dan poliol. Sedangkan diantara disakarida, sukrosa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 35 dan trehalosa merupakan eksipien yang sering digunakan. (Ward et al., 1999; Change et al., 1996). Sukrosa ( -D-fructofuranosyl-α-D-glucopyranoside) berbentuk kristal tidak berwarna, serbuk putih kristalin, tidak berbau, memiliki rasa yang manis, dan biasa digunakan dalam membuat gula-gula (manisan); coating agent; bahan granulasi; suspending agent; pemanis; pengikat pada tablet; pengisi pada tablet dan kapsul; therapeutic agent; viscosity-increasing agent. Sukrosa larut dalam air, sukar larut dalam ethanol, dan praktis tidak larut dalam kloroform. Sukrosa memiliki kestabilan yang baik pada suhu ruang dan memiliki tingkat kelembaban yang cukup. Sukrosa dapat mengalami karamelisasi bila mencapai titik didihnya, yakni pada suhu diatas 160oC (Waide dan Waller, 1994). [Sumber: Waide, A. dan Waller, P. J., 1994] Gambar 2.7 Struktur kimia sukrosa Sukrosa dapat menghambat degradasi kimia hasil selama penyimpanan pada suhu 8, 30, dan 50oC (Change et al., 1996). Sukrosa merupakan stabilizer yang baik bila dikaitkan dengan protein, mekanisme degradasi, dan penyimpanan dibandingkan dengan trehalosa (Miller et al., 1997). Mekanisme sukrosa dalam upaya protein stabilizer adalah dengan membentuk formasi kaca amorf (amorphous glass) selama proses freezing. Amorphous glass merupakan bentuk viskositas ekstrim dari keadaan seperti kaca yang dapat meningkatkan stabilitas protein dengan cara memperlambat interkonversi dari konformasi substrat dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 36 konformasi relaksasi dari protein (Hagen et al., 1995, 1996). Bahan amorf disini secara struktural lebih mirip bentuk liquid dibandingkan dengan bentuk kristal. Kaca dalam mekanisme ini dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu mudah pecah (fragile) dan kuat (strong). Sukrosa memiliki bentuk kaca tipe mudah pecah, dimana pada tipe ini, viskositas akan meningkat lebih mendalam dari pada kaca tipe kuat bila diberikan temperatur dibawah temperatur transisi kaca. Dengan alasan demikian, maka eksipien yang membentuk kaca tipe mudah pecah ini memiliki kemampuan sebagai penstabil protein yang lebih baik (Angell, 1995). [Sumber: Predoi, 2010] Gambar 2.8 Scanning Electron Microscope film tipis lapisan monolayer sukrosa Selain itu, mekanisme sukrosa lainnya dikenal dengan hipotesis penggantian air, dimana mekanisme ini melibatkan formasi dari ikatan hidrogen antara protein dengan sukrosa pada saat akhir proses pengeringan untuk memenuhi ikatan hidrogen gugus polar pada permukaan protein sebagai pengganti dari air yang hilang. Mekanisme ini terjadi pada sediaan solid (Crowe et al., 1993; Allison et al., 1998). Untuk menjaga kestabilan protein dalam bentuk solid agar dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, sukrosa dapat menghambat terjadinya agregasi secara signifikan dan menghambat terjadinya degradasi kimia karena dapat mengurangi deamidasi yang terjadi (Tanaka et al., 1991). Mekanisme baru terkait sukrosa lebih diperjelas oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Street, T., et al (2006). Dalam kesetimbangan reaksi protein UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 37 folding, unfolded (U) ↔ native (N), osmolit yang memiliki sifat proteksi (sukrosa) dapat menekan kesetimbangan kearah N. Mereka mengungkapkan bahwa mekanisme osmolit dalam menginduksi stabilitas dari protein ada kaitannya dengan transfer energi bebas protein backbone melalui air ke larutan air/osmolit. Model prediksi ini juga menjelaskan bahwa perubahan energi bebas dari folding/unfolding secara liniear bergantung pada konsentrasi osmolit. Hasil kalkulasinya menggunakan model yang berkorelasi juga menunjukkan hasil yang sangat baik dan menggambarkan relevansi antara air-osmolit-backbone dalam model tersebut, sehingga pada akhirnya diprediksi bahwa osmolit dapat secara khusus terakumulasi disekeliling protein. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 38 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2013 di Laboratorium Research and Development PT Biofarma, Bandung, Indonesia. Penelitian ini dilakukan kurang lebih selama 5 bulan terhitung dari bulan Januari 2013. 3.2 Alat Penelitian Vial, Laminar Air Flow (LAF) cabinet, inkubator, inkubator CO2, kulkas, freezer, ultra-low freezer, syringe filter (Filter Acrodisc), plate 96 well, mikroskop, mikroskop inverted, mikroskop fluorescence, pipet mikro, pipet mikro multi-channel, pipet tip, magnetic stirrer, tanki nitrogen cair, hemocytometer, Tflasks, ice bath, dan peralatan-peralatan gelas yang umum digunakan di laboratorium. 3.3 Bahan Penelitian Bulk vaksin rotavirus beku, sukrosa steril, nitrogen cair, FTM (Fluid Thioglycolate Medium) steril dan SCDM (Soybean Casein Digest Medium) steril yang diperoleh dari bagian media PT Biofarma, sel MA 104 (ginjal monyet), media pertumbuhan sel (DMEM (Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium), FBS (Fetal Bovine Serum), antibiotik, dan NaHCO3), aseton 80%, alkohol 70%, tripsin, trypan blue, antibodi poliklonal rabbit anti SA 11, antibodi IgG goat anti rabbit, dan PBS (Phosphate Buffered Saline). 3.4 Prosedur Penelitian 3.4.1 Pembuatan Sediaan Kandidat Vaksin Rotavirus Dilakukan proses sterilisasi pada alat gelas, vial, dan magnetic stirrer dengan menggunakan autoklaf suhu 121oC selama 15 menit. Mencairkan bulk vaksin beku hasil pemanenan menggunakan water bath, kemudian dimasukkan kedalam gelas beker sebanyak 150 mL. Selanjutnya, virus stabilizer (sukrosa) dengan konsentrasi X sebanyak 57,7 mL ditambahkan dan diaduk dengan bantuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 39 magnetic stirrer dengan kecepatan yang konstan dan sesuai sambil dimonitor prosesnya. Sediaan kandidat vaksin yang diperoleh kemudian disterilkan dengan metode filtrasi menggunakan syringe filter ukuran 0,22 µm (PATH, 2006; Sultana, 2007). Sambil terus dilakukan homogenisasi, larutan sediaan kandidat vaksin rotavirus yang sudah disterilkan kemudian dimasukkan ke dalam vial sebanyak 77 buah dengan kandungan vaksin tiap vial adalah 1 mL, dimana 75 vial nantinya akan digunakan untuk pengujian tahap selanjutnya, 2 vial digunakan untuk evaluasi sterilitas, dan 3 vial digunakan untuk evaluasi potensi (kandungan). Seluruh pekerjaan tersebut dilakukan di dalam laminar air flow cabinet dengan bantuan TSA (Tryptone Soy Agar) sebagai indikator sterilitas environment (PATH, 2006). 3.4.2 Variasi Perlakuan Teknik Freezing dan Suhu Penyimpanan pada Sediaan Kandidat Vaksin Tabel 3.1 Desain perlakuan pada kandidat vaksin rotavirus Perlakuan No Kode Teknik Freezing -70oC LN Suhu Penyimpanan -152oC 2-8oC -20oC -70oC 1 F1 Immunofluorescence Assay (Uji Potensi) 2 F1T1 √ - - √ - - 3 F1T2 √ - - - √ - 4 F1T3 √ - - - - √ 5 F2 6 F2T1 - √ - √ - - 7 F2T2 - √ - - √ - 8 F2T3 - √ - - - √ 9 F3 10 F3T1 - - √ √ - - 11 F3T2 - - √ - √ - 12 F3T3 - - √ - - √ Immunofluorescence Assay (Uji Potensi) Immunofluorescence Assay (Uji Potensi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 40 Sebanyak 75 vial sediaan kandidat vaksin rotavirus yang berhasil dibuat kemudian dibekukan dengan tiga teknik yang berbeda, yakni dibekukan hingga suhu -70oC (rapid freezing) menggunakan freezer, suhu -152oC (slow freezing) menggunakan ultra-low freezer, dan dengan nitrogen cair (very rapid freezing) menggunakan tanki nitrogen cair, masing-masing 24 vial. Dari 24 vial pada tiap teknik tersebut kemudian dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan perlakuan suhu penyimpanan yang berbeda, yakni 8 vial disimpan pada kulkas bersuhu 2 – 8oC, 8 vial pada freezer suhu -20oC, dan 8 vial terakhir pada freezer suhu -70oC (HuynhBa dan Zahn, 2009; PT Biofarma). 3.4.3 Evaluasi Sediaan 1. Uji Fisik Sediaan kandidat vaksin yang sudah dibekukan kemudian dicairkan dengan water bath, lalu diuji secara visual meliputi pengamatan volume, warna, kandungan partikel asing, dan homogenitasnya (BBPMSOH, 2005). 2. Uji Sterilitas Sampel vaksin sebelum dilakukan freezing diinokulasikan ke dalam 2 tabung reaksi yang masing-masing tabung tersebut berisi media FTM (Fluid Thioglycolate Medium) steril dan SCDM (Soybean Casein Digest Medium) steril, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC. Kedua tabung tersebut disimpan selama 14 hari, kemudian diamati untuk melihat ada tidaknya pertumbuhan mikroorganisme (kekeruhan, endapan, atau tanda-tanda pertumbuhan mikroorganisme) (BBPMSOH, 2005; McGuire dan Kupiec, 2007). 3. Uji Potensi (Kandungan) Sampel vaksin yang sudah dibuat sebanyak 3 vial dilakukan uji immunofluorescence assay untuk mencari konsentrasi rotavirus dalam vaksin tersebut, sebagai data pembanding awal sebelum dilakukan freezing dan suhu penyimpanan (triplo). Prosedur immunofluorescence assay dijelaskan pada poin 3.4.4. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 41 3.4.4 Uji Stabilitas Potensi Kandidat Vaksin Rotavirus Penyimpanan Menggunakan Immunofluorescence Assay Selama 1. Penyiapan dan Pemeliharaan Subkultur Sel MA 104 Tahap awal pemeliharaan sel MA 104 dimulai dari proses resusitasi sel dengan penyiapan dan pembuatan media pertumbuhan sel dengan mencampurkan DMEM dengan FBS, NaHCO3, dan antibiotik kemudian diaduk hingga homogen. Setelah media pertumbuhan selesai dibuat, media tersebut kemudian didistribusikan ke dalam T-flasks. Sel MA 104 beku yang akan digunakan lalu dicairkan dengan menggunakan ice bath dan setelah cair dimasukkan ke dalam T-flasks yang berisi medium. Dilakukan observasi sel menggunakan mikroskop untuk memastikan keadaan sel dan dilakukan inkubasi dengan inkubator CO2 pada suhu 37oC sampai mengalami konfluen. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptis menggunakan LAF (Freshney, 2005). Setelah sel sudah mengalami konfluen, dilakukan tahap subkultur sel (pasase) dimana medium pertumbuhan sel dikeluarkan dari T-flasks kemudian sel dicuci dengan menggunakan PBS. Setelah dicuci, kemudian dilakukan penambahan tripsin dan diinkubasi selama 5-8 menit. Setelah selesai diinkubasi, tarik kembali seluruh tripsin menggunakan pipet mikro sehingga diperoleh suspensi sel dalam T-flasks tersebut (Freshney, 2005). Dilakukan penghitungan sel dengan menggunakan hemocytometer. Suspensi diaduk hingga terdispersi ke seluruh sel, dan diambil 0,2 mL sebagai sampel ke dalam vial. Kemudian dilakukan preparasi slide dimulai dengan membersihkan permukaan slide dan coverslip dengan alkohol 70% kemudian coverslip dipasang pada slide. Sampel sel yang diperoleh sebelumnya diaduk, kemudian diambil sebanyak 20 µL menggunakan mikro pipet steril dan dimasukkan ke dalam tepi slide hemocytometer. Ditambahkan pula 60 µL trypan blue sebagai pewarna sel ke dalam tepi tersebut. Setelah didiamkan beberapa saat, slide tersebut kemudian diamati di bawah mikroskop perbesaran lensa objektif 10x. Dari pengamatan mikroskop dapat terlihat 9 kotak berukuran 1 mm2 yang di dalamnya masih terdapat kotak dengan berbagai ukuran yang berpengaruh pada rumus perhitungan sel nantinya. Jika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 42 sel yang terlihat sedikit (<100/mm2), maka dilakukan penghitungan sel pada satu atau lebih kotak berukuran 1 mm2 di sekeliling kotak tengah, tapi jika sel yang terlihat terlalu banyak (>1000/mm2), maka dilakukan penghitungan sel pada lima kotak kecil dengan arah diagonal dari kotak besar (1 mm2) (Freshney, 2005). Hasil subkultur yang baik dapat diketahui bila nilai persen viabilitasnya tinggi (≥ 90%). Persen viabilitas dapat diperoleh menggunakan rumus: ………(γ.1) Perhitungan densitas sel dapat dilakukan dengan rumus: ……………………………………………………………...(γ.2) Lambang c (sel/mL) adalah konsentrasi sel (densitas sel), n adalah nilai ratarata jumlah sel hidup yang dihitung dalam x kotak, dan v adalah volume yang dihitung. Nilai v pada kotak besar (1 mm2) adalah 0,1 mm3 atau 1 x 10-4 mL, pada kotak sedang (25 kotak pada tiap 1 kotak besar) adalah 1/5 dari total atau 1/5 x 10-4 mL, dan pada kotak kecil (16 kotak pada tiap 1 kotak sedang) adalah 9 x 10-4 mL. Rumus tersebut ditambahkan dengan faktor pengenceran, apabila ditambahkan pewarna (Freshney, 2005). Cara pengambilan sel MA 104 untuk pengujian akan dijelaskan di nomor berikutnya. Untuk proses pemeliharaan sel MA 104, dilakukan kembali proses pasase. Namun sebelum masuk ke dalam proses tersebut, dilakukan preparasi terlebih dahulu dengan menghitung jumlah suspensi dan media yang akan dimasukkan ke dalam wadah kultur, dalam hal ini menggunakan T-flasks ukuran luas 25 cm2, sesuai dengan konsentrasi yang diinginkan. Spesifikasi alat T-flasks ini dapat memuat medium kurang lebih 10 mL. Konsentrasi sel dalam seeding yang diinginkan adalah 5 x 105 sel. Perhitungan jumlah suspensi dilakukan dengan menggunakan rumus pengenceran: ……………….(γ.γ) Jumlah media didapatkan dari 10 mL (media yang dapat ditampung Tflasks) dikurang jumlah suspensi yang digunakan. Setelah itu, dilakukan inkubasi dengan inkubator CO2 pada suhu 37oC sampai mengalami konfluen, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 43 baru dilakukan proses pasase kembali. Hal ini dilakukan rutin selama penelitian untuk memperoleh sel MA 104 sebagai bahan untuk prosedur penelitian selanjutnya (Freshney, 2005). 2. Plating Sel MA 104 Menggunakan Plate 96 Well Suspensi sel MA 104 dibuat untuk 96 well dengan konsentrasi 2,5 x 104 sel dalam media pertumbuhan sel sebanyak 100 µL tiap satu well. Well tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37oC dalam inkubator CO2. Setelah 24 jam inkubasi, sel tersebut telah mengalami konfluen dan dilakukan tahap berikutnya. Perhitungan jumlah mL sel dan media pertumbuhan sel diperoleh dari rumus: ……………………………………………(γ.4) Volume sel yang diperoleh dari hasil perhitungan kemudian diencerkan dengan media sesuai dengan keinginan dan spesifikasi muatan plate (Freshney, 2005; Patton, et al., 2000; dengan modifikasi). 3. Pengenceran Virus Dengan menggunakan plate 96 well yang berbeda, media pertumbuhan virus (media pertumbuhan sel tanpa FBS) yang sudah mengandung tripsin ditambahkan ke dalam tiap well sebanyak 50 µL. Kemudian dilakukan pengenceran dengan cara memasukkan sampel kandidat vaksin rotavirus sebanyak 50 µL kedalam well nomor 1. Kemudian terus dilakukan pengenceran dengan cara mengambil 50 µL dari well nomor 1 dan dipindahkan ke well nomor 2, seterusnya sampai well nomor 11 menggunakan pipet mikro multi-channel. Well nomor 12 dibiarkan kosong (hanya berisi media pertumbuhan) sebagai kontrol negatif. Sebagai kontrol positif digunakan biakan rotavirus. 4. Inokulasi Vaksin (Virus yang Terkandung) ke Sel Monolayer Plate 96 well MA 104 dicuci dengan PBS kemudian ditambahkan media pertumbuhan virus sebanyak 50 µL lalu diinkubasi selama 30 menit. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 44 Setelah selesai diinkubasi, dipindahkan sebanyak 50 µL dari plate well titrasi (pengenceran) ke plate well sel MA 104 sesuai dengan nomor well-nya dan ditambahkan 50 µL media pertumbuhan virus. Plate 96 well sel MA 104 ini kemudian diinkubasi menggunakan inkubator CO2 selama 18 jam suhu 37oC (Saif dan Ward, 2000; dengan modifikasi). 5. Pengamatan Mikroskop Fluorescent Setelah plate 96 well sel MA 104 selesai diinkubasi, medium yang terdapat pada tiap well dibuang menggunakan penyedot vakum, kemudian dilakukan fiksasi dengan menggunakan aseton 80% sebanyak 150 µL selama 10 menit. Setelah plate difiksasi, aseton dibuang dan plate dikering-anginkan. Plate well tersebut ditambahkan 50 µL antiserum poliklonal rabbit anti SA 11 dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37oC. Setelah itu, well 96 dicuci dengan PBS lalu ditambahkan 50 µL antiserum IgG goat anti rabbit kedalamnya dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37oC. Plate 96 well kemudian dicuci kembali dengan PBS, lalu setiap well diamati dan dihitung sel yang memancarkan fluoresence satu per satu dibawah mikroskop fluorescent. Setelah dilakukan penghitungan sel, dapat dilakukan kalkulasi konsentrasi dari suspensi virus awal tersebut dalam satuan FCFU/mL. Perhitungan dapat dilakukan dengan menggunakan rumus: ⁄ …………(γ.5) Pengujian stabilitas potensi ini dilakukan duplo pada kandidat vaksin rotavirus setelah penyimpanan hari ke-42, 60, 90, dan 120 pada setiap perlakuan teknik freezing (Freshney, 2005; Saif dan Ward, 2000; dengan modifikasi). 3.4.5 Metode Analisis Data Pengujian stabilitas potensi dilakukan dengan dua kali pengulangan (duplo) dan diolah secara statistika menggunakan metode rancangan acak lengkap faktorial dan dianalisis melalui ANOVA. Pengolahan data yang diperoleh dari hasil eksperimental murni ini dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip Quality by Design, sehingga dapat diperoleh desain yang kuat dalam hal kombinasi teknik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 45 freezing dan suhu penyimpanan yang tepat dari beberapa desain percobaan yang dilakukan. 3.5 Alur Penelitian Bulk vaksin rotavirus Diformulasikan dengan vaksin stabilizer dan difiltrasi Kandidat vaksin rotavirus Evaluasi sediaan Freezing sediaan Freezing -70oC Freezing dengan nitrogen cair Freezing -152oC Uji fisik Analisis hasil evaluasi Uji sterilitas Uji potensi Penyimpanan Suhu 2 – 8oC Suhu -20oC Suhu -70oC Uji stabilitas potensi Analisis hasil uji stabilitas Immunofluorescence assay pada hari ke42, 60, 90, dan 120 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 46 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Formulasi dan Evaluasi Sediaan Kandidat formulasi vaksin rotavirus ini dibuat dalam bentuk sediaan steril cair berupa larutan, dengan formulasi berupa bulk vaksin rotavirus dan sukrosa sebagai vaksin stabilizer. Sukrosa (golongan poliol atau gula atau osmolit) dipilih sebagai vaksin stabilizer karena kemampuannya yang dapat melindungi komponen seluler, terutama protein, terhadap terjadinya denaturasi akibat pengaruh lingkungan, dalam hal ini pengaruh perubahan suhu yang ekstrim. Dilakukan evaluasi umum kandidat formulasi vaksin mencakup uji fisik, uji sterilitas, dan uji potensi. Uji fisik selain dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisik kandidat formulasi vaksin yang dibuat dan memastikan bahwa kandidat formulasi vaksin tersebut homogen, tidak mengandung partikel asing, serta tidak mengalami penyusutan volume dan perubahan warna, juga dilakukan untuk melihat ada tidaknya perbedaan yang terjadi pada setiap teknik freezing dan suhu penyimpanan. Uji sterilitas dilakukan untuk memastikan bahwa produk kandidat formulasi vaksin dalam keadaan steril tanpa adanya kontaminasi dari bakteri aerob, bakteri anaerob, maupun fungi. Uji potensi dilakukan untuk mengetahui rentang kandungan atau konsentrasi rotavirus yang masih poten di dalam sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus. 4.1.1 Uji Fisik Hasil evaluasi secara fisik seperti tercantum pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus memenuhi persyaratan sediaan larutan. Penyusutan volume dan perubahan warna pada tiap teknik freezing tidak terjadi selama proses penyimpanan dan pada proses pencairan kandidat formulasi vaksin dari keadaan beku. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan teknik freezing dan suhu penyimpanan pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus secara visual tidak berpengaruh, sehingga ketiga teknik freezing dan ketiga suhu penyimpanan dapat digunakan pada kandidat formulasi vaksin ini. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 47 Tabel 4.1 Hasil uji fisik Kandidat Vaksin Rotavirus Hasil evaluasi - Warna : merah muda (baik sebelum Sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus maupun setelah freezing) - Tidak mengalami penyusutan volume selama proses freezing - Tidak mengandung partikel asing - Sediaan homogen - Tidak ada perbedaan fisik pada Vaksin pada suhu penyimpanan 2 – 8 C, -20oC, dan -70oC o semua vial vaksin (pada semua teknik freezing maupun suhu penyimpanan yang disimpan selama 120 hari) Vaksin pada suhu penyimpanan 2 – 8oC, -20oC, dan -70oC dalam keadaan cair 4.1.2 Uji Sterilitas Dalam evaluasi ini, digunakan medium FTM (Fluid Thioglycolate Medium) dan SCDM (Soybean Casein Digest Medium). Pemilihan kedua media ini berdasarkan karakteristik media tempat tumbuh kontaminan (mikroorganisme) yang mungkin terdapat pada kandidat formulasi vaksin. FTM adalah media tumbuh yang cocok untuk bakteri anaerob, sedangkan SCDM adalah media tumbuh yang cocok untuk bakteri dan jamur. Hasil uji sterilitas menunjukkan tidak terjadi perubahan warna (kekeruhan) pada kedua medium selama 14 hari inkubasi, yang menunjukkan tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme dalam medium tersebut. Dapat disimpulkan bahwa sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus dalam keadaan steril. Evaluasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 48 sterilitas ini, selain digunakan untuk mengetahui kesterilan dari sediaan formulasi vaksin, juga ditujukan untuk mengetahui apakah teknik pengerjaan yang dilakukan dalam proses formulasi memenuhi kriteria steril. Hal ini dikarenakan metode sterilisasi yang digunakan dalam proses pembuatan kandidat formulasi vaksin tersebut adalah metode sterilisasi filtrasi yang bukan termasuk dalam kategori sterilisasi akhir, artinya kemungkinan terjadinya rekontaminasi dalam tahap sterilisasi ini masih cukup besar. Tabel 4.2 Hasil uji sterilitas Sebelum diinkubasi 14 hari Kiri Setelah diinkubasi 14 hari : SCDM Kiri Kanan : FTM 4.1.3 : SCDM Kanan : FTM Uji Potensi Hasil uji potensi yang dilakukan pada kandidat formulasi vaksin rotavirus dapat dilihat pada tabel 4.3. Tabel 4.3 Hasil uji potensi Pengujian Potensi (FCFU/mL) Kontrol + (FCFU/mL) I 3,99 x 105 6,51 x 106 II 5,32 x 105 2,8 x 107 III 1,198 x 106 2,8 x 107 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 49 4.2 Uji Stabilitas Evaluasi stabilitas pada proses pengembangan vaksin sangat sulit, berbeda dengan sediaan farmasi yang lain. Hal ini karena sediaan vaksin sangat sulit untuk dikarakterisasi yang berakibat analisis terkait standar pembandingnya kurang dapat terdefinisi dengan baik dan sulitnya pengawasan kualitas produk saat proses produksi. Sediaan vaksin dibandingkan sediaan farmasi yang lain lebih kompleks dan kurang dapat diprediksi, baik dalam hal proses maupun hasil produknya yang berakibat terjadinya variabilitas pada produk akhir selama siklus produksi. Pengembangan sediaan vaksin butuh model proses secara empiris untuk menghubungkan parameter input dan kualitas output, sehingga nantinya diperoleh ambang batas yang kuat dan jelas yang bermanfaat dalam hal pelaporan terkait perubahan saat proses produksi. Oleh karena itulah penelitian dalam hal vaksin dilakukan dengan menggunakan prinsip Quality by Design (QbD). Prinsip ini merupakan suatu pendekatan sistematis dalam proses pengembangan suatu vaksin yang dimulai dengan penetapan tujuan utama, kemudian menegaskan pemahaman terhadap proses dan produk dan pemahaman terhadap pengendalian proses, berdasarkan ilmu pengetahuan yang tepat dan kualitas manajemen resiko. QbD mengidentifikasi karakteristik yang kritis pada kualitas produk, menerjemahkannya menjadi atribut produk sediaan yang harus dimiliki, dan menetapkan bagaimana parameter proses kritis tersebut dapat bervariasi secara konsisten menghasilkan produk sediaan dengan karakteristik yang diinginkan. Dalam penelitian ini diterapkan suatu desain parameter proses kritis untuk mengetahui stabilitas potensi antigen rotavirus dalam sediaan vaksin dalam rangka meningkatkan kualitas produk vaksin rotavirus, yakni kombinasi teknik freezing dan suhu penyimpanan. Kriteria pengukuran dari uji stabilitas kombinasi tersebut adalah potensi (viabilitas) rotavirus yang dinyatakan dengan konsentrasi (titer) rotavirus (FCFU/mL) dalam vaksin pada tiap waktu pengukuran (hari) yang berbeda, yaitu 42, 60, 90, dan 120 hari. Hal ini dilakukan agar interaksi antara kedua variabel tersebut terhadap stabilitas sediaan kandidat vaksin rotavirus selama waktu tertentu dapat dipahami dengan baik, karena variabel-variabel tersebut mempengaruhi kualitas produk, sehingga nantinya dapat ditetapkan kombinasi manakah yang paling tepat untuk menjaga potensi dan stabilitasnya. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 50 Untuk mengetahui pengaruh berbagai kombinasi teknik freezing dan suhu penyimpanan vaksin terhadap stabilitas rotavirus dalam vaksin tersebut, dilakukan pengamatan viabilitas rotavirus dalam vaksin tersebut menggunakan metode immunofluorescence assay (IFA). Viabilitas dalam konteks ini adalah kemampuan rotavirus tersebut untuk mempertahankan diri dan potensinya di dalam vaksin tersebut. Prinsip dari IFA pada penelitian ini adalah memberikan pewarnaan fluorescence kepada sel MA104 yang terinfeksi oleh rotavirus. Pewarnaan tersebut disebabkan karena penggunaan antiserum poliklonal rabbit anti SA11 (antibodi primer) dan antiserum IgG goat anti rabbit (antibodi sekunder). Antiserum IgG goat anti rabbit adalah antibodi yang secara kimiawi terkonjugasi oleh pewarna fluorescent. Antiserum ini menempel pada antiserum poliklonal rabbit anti SA11 yang menempel pada rotavirus yang menginfeksi sel MA104. Mekanisme penempelan tersebut berdasarkan interaksi antigen-antibodi layaknya mekanisme kunci dan gembok. Dengan menggunakan antibodi primer dan antibodi sekunder pada penelitian ini menunjukkan bahwa metode IFA yang digunakan adalah metode tidak langsung (indirect). Metode ini memiliki kepekaan yang lebih besar dibandingkan metode langsung (direct) karena terdapat amplifikasi sinyal yang disebabkan ada lebih dari satu antibodi sekunder yang menempel pada satu antibodi primer, sehingga menghasilkan pewarnaan yang terang dan jelas. Untuk memastikan validitas dari metode IFA, digunakan kontrol positif dan kontrol negatif. Kontrol positif yang digunakan adalah rotavirus murni sedangkan kontrol negatifnya adalah media murni. Kontrol positif bertujuan untuk memastikan bahwa sel monolayer MA104 dan media yang digunakan cocok dan berfungsi dengan baik pada rotavirus. Artinya, bila jumlah sel MA104 yang berfluorescence pada kontrol positif sangat banyak, maka metode IFA yang digunakan, sel MA104, dan media pada plate tersebut sudah sesuai dan data yang diperoleh dapat digunakan. Sedangkan kontrol negatif bertujuan untuk memastikan bahwa sel MA104 yang ber-fluorescence pada plate 96 well yang digunakan adalah benar-benar sel MA104 yang terinfeksi rotavirus. Artinya, bila pada plate kontrol negatif tidak terdapat sel MA104 yang ber-fluorescence, maka sel MA104 yang ber-fluorescence adalah benar sel MA104 yang terinfeksi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 51 rotavirus (antibodi yang digunakan spesifik untuk rotavirus). Desain plate 96 well dalam metode immunofluorescence assay pada penelitian ini digambarkan pada tabel 4.4. Dengan dilakukannya pengamatan viabilitas pada selang waktu yang cukup lama dapat dipelajari berbagai hal di antaranya pengaruh freezing dalam hal menjaga proses dormansi rotavirus dalam selang waktu tertentu serta dalam hal pengaruh suhu penyimpanan terhadap viabilitas rotavirus tersebut. Uji stabilitas vaksin dengan mengamati viabilitas virus dalam vaksin dalam rentang waktu tertentu merupakan metode yang sangat efektif karena dapat mengatasi keterbatasan sampel dan menghasilkan data stabilitas yang cukup tinggi. Proses pengolahan data dilakukan secara statistika menggunakan ANOVA untuk membantu menarik kesimpulan kombinasi manakah yang paling tepat. Tabel 4.4 Desain plate 96 well pada immunofluorescence assay 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 A B C D E F G H Kontrol positif Kontrol negatif Sampel vaksin Jumlah sel MA104 yang ber-fluorescence dalam vaksin pada tiap waktu pengamatan ditunjukkan pada lampiran 1. Nilai tersebut kemudian dikonversikan ke dalam bentuk konsentrasi (titer) rotavirus dengan satuan FCFU/mL yang kemudian diolah secara statistik menggunakan program SPSS 20.0. Seperti yang telah diduga, konsentrasi rotavirus yang diperoleh memiliki variasi yang tidak dapat diprediksi. Hasil perhitungan konversi jumlah sel MA104 yang berfluorescence menjadi konsentrasi rotavirus dalam vaksin ditunjukkan pada tabel 4.5 – 4.7. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 52 Tabel 4.5 Konsentrasi rotavirus dalam kandidat formulasi vaksin dengan teknik freezing -70oC Keterangan Waktu (hari) 42 60 90 120 Suhu (ᵒC) 6 2-8 1,02 x 10 6 2,74 x 10 6 -20 1,39 x 10 6 2,17 x 10 6 -70 Kontrol (+) Rotavirus 1,93 x 10 6 1,47 x 10 1,18 x 108 6 1,41 x 10 6 1,13 x 10 6 1,35 x 10 6 1,82 x 10 5 9,63 x 10 6 2,27 x 10 1,24 x 108 5 9,83 x 10 6 1,47 x 10 6 1,39 x 10 6 1,68 x 10 6 2,21 x 10 6 2,13 x 10 8,87 x 107 5 6,96 x 10 6 1,29 x 10 6 1,52 x 10 6 4,10 x 10 6 1,31 x 10 6 2,50 x 10 1,44 x 108 Tabel 4.6 Konsentrasi rotavirus dalam kandidat formulasi vaksin dengan teknik freezing -152oC Keterangan Waktu (hari) 42 60 90 120 Suhu (ᵒC) 5 2-8 5,53 x 10 5 6,86 x 10 5 -20 7,48 x 10 5 9,32 x 10 5 -70 Kontrol (+) Rotavirus 9,32 x 10 6 1,04 x 10 8 1,18 x 10 6 1,06 x 10 6 1,25 x 10 6 1,60 x 10 6 2,33 x 10 6 1,64 x 10 6 1,88 x 10 8 1,24 x 10 5 7,78 x 10 6 1,35 x 10 6 1,60 x 10 6 1,02 x 10 6 2,87 x 10 6 3,19 x 10 7 8,87 x 10 5 8,19 x 10 5 7,58 x 10 6 1,97 x 10 1,11 x 10 6 6 1,47 x 10 6 2,17 x 10 8 1,44 x 10 Tabel 4.7 Konsentrasi rotavirus dalam kandidat formulasi vaksin dengan teknik freezing nitrogen cair Keterangan Waktu (hari) 42 60 90 120 Suhu (ᵒC) 6 2-8 1,58 x 10 6 1,66 x 10 6 -20 1,60 x 10 6 1,64 x 10 6 -70 Kontrol (+) Rotavirus 1,62 x 10 6 1,04 x 10 8 1,18 x 10 6 1,86 x 10 6 1,17 x 10 6 1,47 x 10 6 2,79 x 10 6 2,27 x 10 6 1,86 x 10 8 1,24 x 10 5 9,63 x 10 5 9,42 x 10 6 1,47 x 10 6 1,93 x 10 6 2,50 x 10 6 3,89 x 10 7 8,87 x 10 5 7,99 x 10 6 1,84 x 10 6 1,84 x 10 6 1,43 x 10 6 1,41 x 10 6 1,66 x 10 8 1,44 x 10 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 53 Berdasarkan data hasil konsentrasi rotavirus dalam vaksin (FCFU/mL) dengan teknik freezing dan suhu penyimpanan yang berbeda terhadap waktu penyimpanan (tabel 4.5 – 4.7), terdapat perbedaan kadar konsentrasi antigen rotavirus yang bervariasi. Dari data tersebut, dapat diketahui sementara bahwa terdapat kaitan perubahan nilai konsentrasi rotavirus terhadap perbedaan teknik freezing dan suhu penyimpanan vaksin tersebut, dan bukan terhadap waktu penyimpanan. Waktu penyimpanan diduga tidak memiliki kaitannya terhadap penurunan konsentrasi dikarenakan nilai konsentrasi dari data tersebut tidak secara konstan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Untuk mengetahui kombinasi teknik freezing dan suhu penyimpanan vaksin yang paling baik selama waktu penyimpanan 120 hari dilakukan pengolahan data statistik dengan menggunakan disain two-way anova (disain faktorial) menggunakan analisis repeated measures, di mana pengolahan tersebut memisahkan waktu penyimpanan bukan sebagai variabel. Sebelum data konsentrasi diinput ke dalam program SPSS, terlebih dahulu nilai konsentrasi tersebut ditransformasikan ke dalam bentuk logaritmanya agar nilai konsentrasinya bernilai kecil sehingga datanya mudah dibaca. Tabel sidik ragam dari hasil pengolahan data konsentrasi rotavirus secara statistik menggunakan analisis repeated measures pada program SPSS 20.0 dengan significance level 0.1 (rentang kepercayaan 90%) dapat terlihat pada tabel 4.8. Tabel 4.8 Sidik ragam hasil pengolahan data analisis Repeated Measures Tests of Between-Subjects Effects Transformed Variable: Average Source Type III Sum of Df Mean Square F Sig. Squares Intercept Partial Eta Squared 2740.586 1 2740.586 100665.407 .000 1.000 .559 * 2 .280 10.274 .005 .695 Freezing .169 * 2 .085 3.111 .094 .409 Storage * Freezing .064 4 .016 .586 .681 .207 Error .245 9 .027 Suhu penyimpanan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 54 Bila melihat hasil pengolahan data secara statistik pada tabel 4.8 tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat interaksi (perbedaan) yang sangat signifikan antar tiap suhu penyimpanan (nilai signifikansi 0,005) dan terdapat interaksi (perbedaan) yang cukup signifikan antar tiap teknik freezing (nilai signifikansi 0,094). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang ditimbulkan baik oleh teknik freezing maupun suhu penyimpanan terhadap potensi rotavirus dalam sediaan kandidat formulasi vaksin ini. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa teknik freezing dan suhu penyimpanan tidak memiliki keterkaitan secara bersama terhadap pengaruhnya dengan potensi rotavirus. Hal ini ditunjukkan dari nilai signifikansi teknik freezing dan suhu penyimpanan terhadap potensi rotavirus sebesar 0,681 (tidak signifikan). Untuk mengetahui kestabilan sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus terhadap stabilitas potensi, dilakukan pengamatan perubahan konsentrasi rotavirus selama waktu penyimpanan. Hal ini dapat diketahui dengan mengolah data secara statistika menggunakan analisis Repeated Measures, mengelompokkan data sesuai dengan teknik freezing-nya masing-masing dan menjadikan konsentrasi (potensi) rotavirus dalam waktu 42, 60, 90, dan 120 hari dipisahkan sebagai suatu faktor yang dibandingkan dengan suhu penyimpanan. Hasil data tersebut terdapat pada lampiran 2. Dari hasil pengolahan data tersebut dapat diketahui bahwa pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus yang di-freezing pada suhu -70oC, suhu penyimpanan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap potensi rotavirus. Pada teknik freezing ini juga diperoleh hasil bahwa waktu penyimpanan tidak berpengaruh secara signifikan, artinya sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus dengan teknik freezing suhu -70oC pada suhu penyimpanan manapun masih dapat mempertahankan kestabilan potensinya. Pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus dengan teknik freezing -152oC, suhu penyimpanan pada suhu 2 – 8oC memiliki perbedaan yang signifikan dengan suhu penyimpanan -20oC dan -70oC, dengan nilai potensi paling rendah. Terdapat perbedaan yang signifikan pada waktu peyimpanan antara 42 hari dengan 60 hari, namun antar-hari berikutnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini masih menunjukkan bahwa kandidat formulasi vaksin rotavirus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 55 dengan teknik freezing -152oC pada suhu penyimpanan manapun masih dapat mempertahankan stabilitasnya. Sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus dengan teknik freezing menggunakan nitrogen cair, suhu penyimpanan pada suhu 2 – 8oC memiliki perbedaan yang signifikan dengan suhu penyimpanan -20oC dan -70oC, dengan nilai potensi paling rendah. Waktu penyimpanan tidak berpengaruh secara signifikan, artinya sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus dengan teknik freezing menggunakan nitrogen cair pada suhu penyimpanan manapun dapat mempertahankan kestabilannya. Dari hasil uraian yang telah dipaparkan menunjukkan bahwa seluruh sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus yang dibekukan pada semua teknik freezing dapat mempertahankan stabilitas potensi rotavirus selama waktu penyimpanan 120 hari baik pada suhu penyimpanan 2 – 8oC, -20oC, dan -70oC. Namun dalam hal perbandingan tingkat potensi yang dimiliki masing-masing suhu penyimpanan dan tingkat potensi yang dimiliki tiap teknik freezing masih belum dapat disimpulkan dengan data tersebut, sehingga dilakukan kembali pengolahan data secara statistik untuk mengetahui kombinasi teknik freezing dan suhu penyimpanan yang memiliki potensi paling tinggi. Dilakukan pengolahan seluruh data menggunakan analisis Repeated Measures dan dijabarkan kembali perbandingan konsentrasi rotavirus antar tiap teknik freezing dan antar tiap suhu penyimpanan untuk menentukan kombinasi yang paling tepat. Data hasil statistik ini dapat dilihat pada lampiran 3. Dari data statistik tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara teknik freezing suhu -152oC dengan kedua teknik freezing yang lain, di mana teknik freezing suhu -152oC memiliki nilai konsentrasi rotavirus yang paling rendah. Sedangkan pada suhu penyimpanan, terdapat perbedaan yang signifikan antara suhu penyimpanan 2 – 8oC dengan kedua suhu penyimpanan yang lain, di mana suhu penyimpanan 2 – 8oC memiliki nilai konsentrasi rotavirus paling rendah. Hasil yang telah diuraikan tersebut dipertegas kembali dengan gambaran grafik hubungan antara teknik freezing, suhu penyimpanan, dan waktu penyimpaan pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus terhadap viabilitasnya yang dapat dilihat pada gambar 4.1 – 4.3. Ketiga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 56 grafik tersebut dibuat dengan memplotkan nilai rata-rata konsentrasi rotavirus untuk mempermudah melihat perbedaan antar tiap perlakuan. Grafik lain yang menggambarkan konsentrasi rotavirus pada tiap waktu penyimpanan dapat dilihat pada lampiran 4. Gambar 4.1 Grafik hubungan teknik freezing dan suhu penyimpanan pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus terhadap potensinya Gambar 4.2 Grafik hubungan teknik freezing dan waktu penyimpanan pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus terhadap potensinya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 57 Gambar 4.3 Grafik hubungan suhu penyimpanan dan waktu penyimpanan pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus terhadap potensinya Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, stabilitas yang harus dicapai oleh kandidat formulasi vaksin rotavirus dalam penelitian ini dianalisis setidaknya meliputi tiga hal, diantaranya stabilitas terhadap suhu yang sangat rendah, freezing stress, dan thawing (pencairan) saat akan digunakan. Oleh karena itu, upaya utama selain menentukan formulasi optimum dari sukrosa (dalam hal ini sebagai cryoprotectant yang berperan membantu menjaga stabilitas vaksin terhadap ketiga hal tersebut) adalah menentukan teknik freezing yang paling optimum yang nantinya berpengaruh pula pada spesifikasi suhu penyimpanan bila dikaitkan dengan pencairan yang merupakan proses yang harus terjadi nantinya. Teknik freezing akan menentukan karakteristik dari kristal es yang dihasilkan. Bila ditinjau dari segi teknik freezing, sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus dengan teknik freezing menggunakan nitrogen cair dan teknik freezing hingga suhu -70oC memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknik freezing -152oC. Hal ini dapat dipahami dengan mengetahui karakteristik dari kristal es yang dihasilkan dari tiap teknik freezing. Teknik freezing -152oC merupakan teknik slow freezing yang menghasilkan karakteristik extracellular ice (terbentuknya kristal di luar sel) dengan ukuran kristal es yang besar. Sedangkan pada teknik freezing -70oC (rapid freezing) dan teknik freezing menggunakan nitrogen cair (very/ultra rapid freezing), keduanya menghasilkan karakteristik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 58 intracellular ice (terbentuknya kristal di dalam sel) dengan ukuran kristal es yang besar pada teknik freezing -70oC dan ukuran kristal es yang sangat kecil pada teknik freezing menggunakan nitrogen cair. Untuk membantu melihat perbedaan karakteristik intracellular dan extracellular ice tersebut, karakteristik ini diilustrasikan pada gambar 4.4. [Sumber: Mazur, 1984] Gambar 4.4 Karakteristik intracellular ice dan extracellular ice pada sel Gambar 4.1 menunjukkan bahwa pada proses rapid freezing dan very rapid freezing, teknik ini selain menghasilkan karakteristik intracellular ice juga menghasilkan extracellular ice. Bila mengasumsikan rotavirus yang terkandung dalam vaksin tersebut sebagai sel, karakteristik intracellular ice ditinjau dari kemampuan bertahan hidup antigen sebenarnya tidak baik karena intracellular ice dapat menimbulkan kerusakan pada bagian membran dan sitoplasma secara letal dan selain itu kemampuan viabilitasnya dilaporkan dipengaruhi oleh laju pencairan, di mana pada karakteristik intracellular ice, laju pencairan yang cepat menghasilkan konsentrasi sel atau antigen yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laju pencairan lambat, hal sebaliknya terjadi pada karakteristik extracellular ice (Mazur, 2004). Karena proses pencairan yang dilakukan sebelum pemberian vaksin nantinya adalah proses pencairan lambat maka dengan demikian seharusnya slow freezing adalah teknik yang efektif dalam kasus ini. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 59 Namun hal tersebut tidak dapat diputuskan secara langsung, artinya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam menentukan teknik yang tepat, karena kondisi pada setiap jenis antigen atau sel berbeda-beda terhadap karakteristik intracellular dan extracellular ice, dan kedua karakteristik ini memang memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Misalnya vaksin dengan teknik freezing menggunakan nitrogen cair. Walaupun karakteristik es yang dihasilkan adalah intracellular ice namun kristal extracellular ice yang dihasilkan sangat kecil sehingga dalam proses freezing selama penyimpanannya, resiko terjadinya kerusakan dan kematian rotavirus semakin kecil karena minimnya efek langsung dari es yang dihasilkan dan antigen atau sel yang terkandung tidak mengalami dehidrasi akibat peristiwa osmotik seperti pada proses slow freezing. Namun secara termodinamika, karakteristik intracellular ice dengan ukuran yang sangat kecil relatif tidak stabil dibandingkan dengan kristal es dengan ukuran yang besar, sehingga konsekuensi yang muncul adalah terjadinya kecenderungan kristalkristal es kecil yang terbentuk tersebut mengalami agregasi membentuk kristal besar selama proses pencairan (rekristalisasi). Korelasi peristiwa rekristalisasi intracellular ice ini juga telah diamati pada sel hidup lain, diantaranya ragi, sel tumbuhan tingkat tinggi, dan kultur sel jaringan hamster dengan sama-sama menggunakan teknik freezing nitrogen cair (-196oC) di bawah mikroskop dan kematian sel pun terjadi secara signifikan (Mazur, 1984). Oleh karena itu, dalam kasus very rapid freezing, peristiwa rekristalisasi yang terjadi selama proses pencairan lah yang menjadi permasalahannya, apakah rotavirus di dalam vaksin tersebut akan dapat bertahan hidup selama proses pencairan berlangsung dan hasil yang diperoleh akan lebih baik dibandingkan dengan teknik freezing yang lain. Begitu pula pada teknik freezing -70oC yang diduga sama-sama menghasilkan karakteristik intracellular ice seperti pada freezing menggunakan nitrogen cair. Pada teknik freezing ini, kristal es yang dihasilkan lebih stabil (ukurannya yang besar) dibandingkan dengan teknik freezing menggunakan nitrogen cair sehingga proses rekristalisasi minim terjadi, namun kerusakan pada bagian membran dan sitoplasma secara letal sebagai konsekuensi dari karakteristik intracellular ice masih dapat mungkin terjadi. Selain itu kristal es UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 60 dengan ukuran besar tersebut dapat melukai antigen atau sel hidup di dalamnya, sehingga walaupun terdapat sukrosa sebagai cryoprotectant, kristal es tersebut masih dapat melukai rotavirus yang terdapat di dalamnya terutama ketika proses pencairan terjadi. Berbeda yang terjadi pada teknik freezing -152oC, di mana diduga menghasilkan karakteristik extracellular ice. Walaupun karakteristik ini dapat meningkatkan viabilitas suatu antigen atau sel (menghindari terjadinya intracellular ice) terutama saat proses pencairan vaksin, konsekuensinya adalah terjadinya kerusakan sebagai akibat langsung dari es berukuran besar yang dihasilkan di dalam vaksin tersebut dan terjadinya perubahan koefisien osmotik yang disebabkan dari penurunan potensi kimia pada air dalam sel akibat perubahan konsentrasi larutan eksternal hasil konversi dari air menjadi es, sehingga sel tersebut mengalami dehidrasi (hal ini terjadi pada sel, di mana terjadinya penyusutan sel secara osmotik sebagai respon perubahan konsentrasi). Kemudian, terpaparnya sel atau antigen tersebut terhadap perubahan konsentrasi zat terlarut yang terjadi di dalam dan luar sel atau antigen juga dapat mengakibatkan kerusakan dan kematian sel atau antigen (sering disebut kerusakan solution-effect) (Mazur, 2004). Dari hasil penelitian ini, didapatkan hasil bahwa pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus dengan teknik freezing yang menghasilkan karakteristik intracellular ice (rapid freezing dan very rapid freezing) memiliki potensi lebih tinggi dibandingkan teknik slow freezing yang tidak mengalami karakteristik intracellular ice. Hal ini dikaitkan dengan sukrosa sebagai cryoprotectant untuk melindungi antigen di dalam larutan yang akan dibekukan pada suhu yang sangat rendah. Sukrosa dalam formulasi sediaan kandidat vaksin ini mampu melindungi rotavirus dengan membentuk lapisan monolayer atau mekanisme lainnya saat proses pembekuan, artinya sukrosa diduga dapat melindungi rotavirus dari terjadinya karakteristik intracellular ice, sehingga es yang terdapat di dalam rotavirus dapat minim terjadi. Berbeda yang terjadi pada teknik slow freezing. Teknik ini memang tidak mengalami intracellular ice, namun efek dehidrasi dan perubahan konsentrasi zat terlarut di dalam dan luar sel UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 61 masih dapat terjadi karena laju pembekuan yang lambat, sehingga mekanisme kerusakan terkait hal tersebut kemungkinan cukup besar. Sedangkan untuk pengaruh suhu penyimpanan pada sediaan kandidat formulasi vaksin rotavirus ini diduga melibatkan proses stabilitas pada saat pencairan dan sangat bergantung pada karakteristik sel atau antigen, dalam hal ini adalah rotavirus. Alasan ini diperkuat dengan adanya data statistika yang menunjukkan bahwa ada interaksi yang sangat signifikan antara suhu penyimpanan dengan waktu penyimpanan. Hal ini dapat dilihat pula pada grafik 4.1 dan 4.3, bahwa suhu penyimpanan 2 – 8oC adalah suhu penyimpanan dengan nilai konsentrasi rotavirus paling rendah dibandingkan dengan suhu penyimpanan yang lain. Selain karena rotavirus yang terkandung di dalam vaksin tersebut sudah mengalami kerusakan (baik kerusakan reversible ataupun irreversible/letal) akibat hubungan antara freezing dan thawing (pencairan) yang dialami, suhu penyimpanan ini juga menyebabkan rotavirus hidup tersebut tidak lagi dalam keadaan dorman. Hal ini berbeda dengan suhu penyimpanan -20oC dan -70oC di mana vaksin tersebut masih dalam keadaan beku, sehingga masih dapat mempertahankan status dorman dari rotavirus yang terkandung di dalamnya. Hasil statistika dan gambaran grafik tersebut juga menunjukkan bahwa terdapat batas suhu penyimpanan di mana suhu tersebut tidak mengalami penurunan potensi yang signifikan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 62 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa: 1. Teknik freezing dan suhu penyimpanan berpengaruh terhadap potensi rotavirus di dalam sediaan kandidat formulasi vaksin ini pada waktu penyimpanan 42, 60, 90, dan 120 hari. 2. Semua desain kombinasi antara teknik freezing (freezing suhu -70oC, freezing suhu -152oC, dan freezing menggunakan nitrogen cair) dengan suhu penyimpanan (suhu 2 – 8oC, -20oC, dan -70oC) yang digunakan pada penelitian ini mampu mempertahankan stabilitas potensi produk kandidat vaksin rotavirus selama waktu penyimpanan 120 hari. 3. Kandidat vaksin rotavirus yang dibekukan menggunakan teknik freezing suhu -70oC dan teknik freezing menggunakan nitrogen cair memiliki hasil potensi yang baik ditinjau dari viabilitas rotavirus. Sedangkan teknik freezing suhu -152oC merupakan teknik freezing yang menghasilkan nilai potensi rotavirus paling rendah diantara kedua teknik freezing yang lain. 4. Dalam hal metode penyimpanan, perlakuan penyimpanan pada suhu -20oC dan suhu -70oC adalah metode penyimpanan yang baik untuk menjaga stabilitas kandidat vaksin rotavirus ini. Sedangkan suhu penyimpanan 2 – 8oC merupakan metode penyimpanan yang menghasilkan nilai potensi rotavirus paling rendah dibandingkan dengan metode penyimpanan pada suhu yang lain. 5. Kombinasi terbaik dari teknik freezing dan suhu penyimpanan kandidat vaksin rotavirus ini adalah teknik freezing menggunakan nitrogen cair atau teknik freezing suhu -70oC dengan suhu penyimpanan vaksin tersebut pada -20oC atau -70oC. 5.2 Saran Secara manufaktural, proses produksi sediaan kandidat vaksin rotavirus dengan teknik freezing menggunakan nitrogen cair skala besar dapat mungkin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 63 dilaksanakan dengan baik, namun teknik ini tidak efektif dan efisien digunakan karena pada teknik freezing ini penggunaannya berhubungan dengan nitrogen cair yang cukup berbahaya dan perlu menggunakan alat pelindung diri. Kemudian, bila melihat dari sisi distribusi dan penyimpanan vaksin di rumah sakit atau lembaga kesehatan lainnya ketika kandidat formulasi vaksin rotavirus ini diproduksi, suhu penyimpanan -70oC akan sangat merepotkan dan dapat memakan biaya yang tidak sedikit dalam penyediaan freezer untuk penyimpanan. Atas dasar itulah, disarankan kombinasi teknik freezing dan suhu penyimpanan dari sediaan kandidat vaksin rotavirus ini adalah teknik freezing menggunakan freezer suhu -70oC dengan suhu penyimpanan vaksin tersebut pada suhu 2 – 8oC, mengingat teknik freezing -70oC dengan teknik freezing menggunakan nitrogen cair memiliki perbedaan yang tidak signifikan dan suhu penyimpanan 2 – 8oC dengan suhu penyimpanan -70oC walaupun memiliki perbedaan yang signifikan, namun suhu penyimpanan 2 – 8oC masih dapat mempertahankan stabilitas rotavirus dalam vaksin. Suhu 2 – 8oC merupakan suhu penyimpanan yang efektif dan efisien saat proses distribusi karena hanya membutuhkan cool box dalam proses penyimpanannya. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait kombinasi teknik freezing dan suhu penyimpanan tersebut dengan waktu penyimpanan yang lebih lama untuk memperoleh hasil data stabilitas potensi yang lebih baik. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 64 DAFTAR PUSTAKA Allison, S. D., et al. (1998). Effect of Drying Methods and Additives on Structure and Function of Actin: Mechanism of Dehydration-Induced Damage and Its Inhibiton. Biochemistry and Biophysics Vol. 358 (BB980832), pp. 171181. Anonim. (1995). Farmakope Indonesia, Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Angel, J., Franco, M. A., Greenberg. H. B. (2007). Rotavirus Vaccines: Recent Developments and Future Considerations. Nature Reviews Microbiology 1692. Vol. 5. Athmanathan, S., et al. (2002). Comparison of an Immortalized Human Corneal Epithelial Cell Line with Vero Cells in the Isolation of Herpes simplex Virus-1 for the Laboratory Diagnosis of Herpes simplex keratitis. BMC Opthalmology Vol. 2 Issue 1, 10.1186/1471-2415-2-3 Baratawidjaja, K. G. dan Rengganis, I. (2010). Imunologi Dasar Edisi IX Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit, FKUI. Bauman, R. W. (2012). Microbiology With Diseases by Body System 3rd Edition. San Fransisco: Perason Education, Inc., p. 382-401. Bolen, D.W. (2001). Protein Stabilization by Naturally Occurring Osmolytes, Protein Structure, Stability, and Folding Edited by Kenneth P. Murphy. Humana Press Chapter 2 Vol 168. Brooks, G. F., et al., (2007). Medical Microbiology, 24th Edition. Mc Graw Hill: p. 501-6. Chen, D., Kristensen, D. 2009. Opportunities and Challenges of Developing Thermostable Vaccines. Expert Rev. Vaccines 8(5), 547-557. Clemens, J., et al. (1999). Public Health Considerations for the Introduction of New Rotavirus Vaccines for Infants: A Case Study of Tetravalent Rhesus Rotavirus-based Reassortant Vaccine. Epidemiological Reviews Vol. 21 No.1 p. 24-42. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 65 Cortese, M. M. dan Parashar U. D. (2009). Prevention of Rotavirus Gastroenteritis Among Infants and Children. Atlanta: Morbidity and Mortality Weekly Report Vol. 58 No RR-2. Dennehy, P. H. (2008). Rotavirus Vaccines: an Overview. Clinical Microbiology Review, Jan. 2008, p. 198-208. Desselberger, U. (2000). Pathogenesis and Animal Models In. Methods Molecular Medicine, Rotaviruses Methods and Protocols edited by Gray, J. dan Desselberger, U. NJ: Humana Press Vol. 34. Dietz V, Galazka A, van Loon F, Cochi S. (1997). Factors Affecting the Immunogenicity and Potency of Tetanus Toxoid: Implications for the Elimination of Neonatal and Non-neonatal Tetanus as Public Health Problems. Bull World Health Organ 1997; 75: 81-93 pmid: 9141753. Food Review Indonesia. (2007). Teknologi Pembekuan Pangan. Food Review Indonesia/Vol. II/No.7/Juli 2007. Freshney R. I. (2005). Culture of Animal Cells, A Manual of Basic Technique. A John Wiley & Sons, Inc., Publication. Galazka, A., Milstien, J., Zaffran, M. (1998). Thermostability of Vaccines. Geneva: WHO; WHO/GPV/98.07. p. 1-60. Glass, et al. (2006). Rotavirus Vaccine: Current Prospect and Future Challenges. Atlanta: Lancet 2006; Vol. 368, p. 323-332. Hyser, J.M. dan Estes, M. K. (2008). Rotavirus Vaccines and Pathogenesis: 2008. Houston: Curr Opin Gastroenterol. 2009 January ; 25(1): 36–43. Hsiang, Ling Huang, et al. (2010). Trypsin-induced Proteome Alteration During Cell Subculture in Mammalian Cells. Journal of Biomedical Science. http://www.jbiomedsci.com/content/17/1/36. Huynh-Ba, Kim. (2009). Handbook of Stability Testing in Pharmaceutical Development. Springer Science Business Media, LLC. Jennette, J. C. dan Wick, M. R. (1988). Immunohischemical Techniques In. Immunohistology in Diagnostic Pathology. CRC Press. Boca Raton, FL. USA. p. 1-29. Joint Committee on Vaccination and Immunisation (JCVI). (2008). Rotavirus Vaccine. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 66 http://www.advisorybodies.doh.gov.uk/jcvi/Rotavirus_Subgroup_Minutes _17_March 2008.pdf Kang, G. (2006). Rotavirus Vaccines. Indian Journal of Medical Microbiology, 24 (4): 252-7. Kayne, S. B. dan Jepson, M. H. (2004). Veterinary Pharmacy. London: The Pharmaceutical Press. Kobayashi, N., et al. (2007). Diversity of G-type and P-type of Human and Animal Rotaviruses and It’s Genetic Background. A. Mendez-Vilas (Ed.): Communicating Current Research and Educational Topics in Applied Microbiology Lund, Walter. (1994). The Pharmaceutical Codex 12th Edition. London: The Pharmaceutical Press. Mansoor O, Pillans PI. (1997). Vaccine Adverse Events Reported in New Zealand 1990-95. N Z Med J 1997; 110: 270-2 pmid: 9269289 Mather, Jennie P. (1998). Making Informed Choices: Medium, Serum, and Serumfree Medium. In: B. David, ed. Animal Cell Culture Methods. USA: Academic Press, p. 20-21. Mazur, Peter. (1984). Freezing of Living Cells: Mechanisms and Implications. American Physiological Society (Cell Physiol.16), p. C125 – C142. Mazur, Peter. (2004). Principles of Cryobiology, in: Life in The Frozen State, Edited by Barry J. Fuller, et al. London: CRC Press. McGuire, Jason dan Kupiec, T. C. (2007). Quality-control Analytical Methods: The Quality of Sterility Testing. International Journal of Pharmaceutical Compounding Vol. 11 No.1 January/February. McMullan, Nial. (2009). Molecular Biology and Biotechnology Edited by John M. Walker and Ralph Rapley, 5th Edition. Cambridge: The Royal Society of Chemistry p. 338-340. Milstien J, Kartoglu U, Zaffran M. (2006). Temperature Sensitivity of Vaccines. Geneva: World Health Organization Muldrew, K., et al. The Water to Ice Transition: Implications of Living Cells, in: Life in The Frozen State, Edited by Barry J. Fuller, et al. London: CRC Press. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 67 National Centre for Immunisation Research and Surveillance (NCIRS). (2009). Vaccine Components. NCIRS Fact sheet: December 2009. NPIGuide. (2002). Vaccines and How They Work. USA: NPI Reference Guide on Vaccines and Vaccine Safety, p. 5-10. Parashar U. D., et al. (1998). Rotavirus. Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention Vol. 4, No. 4. PATH’s Rotavirus Vaccine Program-An Accelerated Development and Introduction Plan (ADIP) supported by the GAVI Alliance. (2006). The Development of Live, Attenuated Rotavirus Vaccines. Seattle: Program for Appropriate Technology in Health. Patton, J. T., et al. (2000). Virus Replication In. Methods Molecular Medicine, Rotaviruses Methods and Protocols edited by Gray, J. dan Desselberger, U. NJ: Humana Press Vol. 34. Pikal, M. J. (1990). Freeze-drying of Proteins, Part II: Formulation Selection. Biopharm, p. 26-30. Procedings of the Sixth International Rotavirus Symposium. (2004). Rotavirus and Rotavirus Vaccines. Mexico City. Radji, M., et al. (2010). Molecular Characterization of Human Group A Rotavirus from Stool Samples in Young Children with Diarrhea in Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health, Vol. 41 No. 2 March 2010. Robinson, J. P., Sturgis J., dan Kumar, G. L. (2009). Chapter 10: Immunofluorescence, Immunohistochemical Staining Methods Fifth Edition. California: Dako North America. Saif, L. J. dan Ward, L. A. (2000). Pathogenesis and Animal Models In. Methods Molecular Medicine, Rotaviruses Methods and Protocols edited by Gray, J. dan Desselberger, U. NJ: Humana Press Vol. 34. Soedijar, Ida L. dan Dharma, Dewa M. N. (2005). Instruksi Kerja Pengujian Virologi, Review Rabies. Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH). Street, T.O., Bolen, D.W., Rose, G.D. (2006). A Molecular Mechanism for Osmolyte-Induced Protein Stability. PNAS (13997-4002). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 68 Sultana, Yashmin. (2007). Pharmaceutical Microbiology and Biotechnology, Sterilization Methods and Principles. New Delhi-110062. Waide, Ainley, and Waller, Paul J. (1994). Handbook of Pharmaseutical Exipients (HOPE). 6th edition. Washington : American Pharmaseutical Association. Wang, Wei. (2000). Lyophilization and Development of Solid Protein Pharmaceutical. International Journal of Pharmaceutical 203, p. 1-60. Ward, Richard L., McNeal M. M., dan Steele A. D. (2008). Why does the World Need Another Rotavirus Vaccine?. Therapeutics and Clinical Risk Management 2008: 4(1) p. 49-63. Willemer, H. (1992). Measurements of Temperature, Ice Evaporation Rates and Residual Moisture Contents in Freeze-drying. Dev. Biol. Stand. 74. p. 123-34. Wolff, Lena. (2009). Disertasi: Stabilisation and Characterisation of Protein and Vaccine Formulation. Braunschweig, German: Universität CaroloWilhelmina. World Health Organization (WHO). (1980). The Effects of Freezing on the Appearance, Potency, and Toxicity of Adsorbed and Unadsorbed DTP Vaccines. Wkly Epidemiol Rec 1980; 55: 385-92. World Health Organization (WHO). (2006). Vaccines and Biologicals, Temperature Sensitivity of Vaccines. Geneva, Switzerland. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 69 LAMPIRAN Lampiran 1. Data jumlah sel MA104 yang ber-fluorescence pada tiap perlakuan teknik freezing dan suhu penyimpanan selama 30, 60, 90, dan 120 hari Hari ke-42 : Jumlah sel MA104 yang ber-fluorescence pada teknik freezing -70oC Keterangan Kontrol (+) Rotavirus 2-8oC -20oC -70oC A B C D E F G H 1 > > > > > > > > 2 > > > > > > > > 3 > > > > > > > > 4 > > > > > > > > 5 > > > > > > > > 6 > > > > > > > > 7 > > > > > > > > 8 > > > > > > > > 9 > > > > > > > > 10 > > 25 67 34 53 47 36 11 1095 1650 12 - Jumlah sel MA104 yang ber-fluorescence pada teknik freezing -152oC Keterangan Kontrol (+) Rotavirus 2-8oC -20oC -70oC A B C D E F G H 1 > > > > > > > > 2 > > > > > > > > 3 > > > > > > > > 4 > > > > > > > > 5 > > > > > > > > 6 > > > > > > > > 7 > > > > > > > > 8 > > 54 67 73 91 91 102 9 > > 10 > > 11 835 1895 12 - Jumlah sel MA104 yang ber-fluorescence pada teknik freezing menggunakan nitrogen cair Keterangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 > 1925 Kontrol (+) A > > > > > > > > > Rotavirus B > > > > > > > > > > 1665 C > > > > > > > > 77 2-8oC D > > > > > > > > 81 E > > > > > > > > > 39 -20oC F > > > > > > > > > 40 G > > > > > > > > 79 -70oC H > > > > > > > > 51 - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 70 Hari ke-60 : Jumlah sel MA104 yang ber-fluorescence pada teknik freezing -70oC Keterangan Kontrol (+) Rotavirus 2-8oC -20oC -70oC A B C D E F G H 1 > > > > > > > > 2 > > > > > > > > 3 > > > > > > > > 4 > > > > > > > > 5 > > > > > > > > 6 > > > > > > > > 7 > > > > > > > > 8 > > > > > > > > 9 > > 69 55 66 89 47 111 10 > > 11 1270 1205 12 - Jumlah sel MA104 yang ber-fluorescence pada teknik freezing -152oC Keterangan Kontrol (+) Rotavirus 2-8oC -20oC -70oC A B C D E F G H 1 > > > > > > > > 2 > > > > > > > > 3 > > > > > > > > 4 > > > > > > > > 5 > > > > > > > > 6 > > > > > > > > 7 > > > > > > > > 8 > > > > > > > > 9 > > 52 61 > > > > 10 > > 39 57 40 46 11 1290 1740 12 - Jumlah sel MA104 yang ber-fluorescence pada teknik freezing menggunakan nitrogen cair Keterangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 > > 1335 Kontrol (+) A > > > > > > > > Rotavirus B > > > > > > > > > > 2070 C > > > > > > > > 91 2-8oC D > > > > > > > > 57 E > > > > > > > > > 36 -20oC F > > > > > > > > > 68 G > > > > > > > > 111 -70oC H > > > > > > > > 91 - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 71 Hari ke-90 : Jumlah sel MA104 yang ber-fluorescence pada teknik freezing -70oC Keterangan Kontrol (+) Rotavirus 2-8oC -20oC -70oC A B C D E F G H 1 > > > > > > > > 2 > > > > > > > > 3 > > > > > > > > 4 > > > > > > > > 5 > > > > > > > > 6 > > > > > > > > 7 > > > > > > > > 8 > > > > > > > > 9 > > 48 72 68 82 > > 10 > > 11 2190 1295 54 52 12 - Jumlah sel MA104 yang ber-fluorescence pada teknik freezing -152oC Keterangan Kontrol (+) Rotavirus 2-8oC -20oC -70oC A B C D E F G H 1 > > > > > > > > 2 > > > > > > > > 3 > > > > > > > > 4 > > > > > > > > 5 > > > > > > > > 6 > > > > > > > > 7 > > > > > > > > 8 > > > > > > > > 9 > > > > > > > > 10 > > 19 33 39 25 > > 11 980 1185 35 39 12 - Jumlah sel MA104 yang ber-fluorescence pada teknik freezing menggunakan nitrogen cair Keterangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 > 2165 Kontrol (+) A > > > > > > > > > Rotavirus B > > > > > > > > > > 2150 C > > > > > > > > 47 2-8oC D > > > > > > > > 46 E > > > > > > > > 72 -20oC F > > > > > > > > 94 G > > > > > > > > 61 -70oC H > > > > > > > > 95 - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 72 Hari ke-120 : Jumlah sel MA104 yang ber-fluorescence pada teknik freezing -70oC Keterangan Kontrol (+) Rotavirus 2-8oC -20oC -70oC A B C D E F G H 1 > > > > > > > > 2 > > > > > > > > 3 > > > > > > > > 4 > > > > > > > > 5 > > > > > > > > 6 > > > > > > > > 7 > > > > > > > > 8 > > > > > > > > 9 10 11 > > 2190 > > 1190 34 63 > 37 > 100 > 32 > 61 12 - Jumlah sel MA104 yang ber-fluorescence pada teknik freezing -152oC Keterangan Kontrol (+) Rotavirus 2-8oC -20oC -70oC A B C D E F G H 1 > > > > > > > > 2 > > > > > > > > 3 > > > > > > > > 4 > > > > > > > > 5 > > > > > > > > 6 > > > > > > > > 7 > > > > > > > > 8 > > > > > > > > 9 > > 40 37 > > > > 10 > > 48 27 36 53 11 1765 1745 12 - Jumlah sel MA104 yang ber-fluorescence pada teknik freezing menggunakan nitrogen cair Keterangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 > 2190 Kontrol (+) A > > > > > > > > > Rotavirus B > > > > > > > > > > 2045 C > > > > > > > > 39 2-8oC D > > > > > > > > 90 E > > > > > > > > 90 -20oC F > > > > > > > > 70 G > > > > > > > > 69 -70oC H > > > > > > > > 81 - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 73 Lampiran 2. Contoh perhitungan yang digunakan pada penelitian a. Persamaan (3.1) Jumlah sel hidup : 80 Jumlah sel mati :5 …………………(γ.1) Nilai %V ≥ 90%, artinya hasil pasase tersebut baik. b. Persamaan (3.2) Diperoleh 10 mL suspensi sel. Faktor pengenceran (satu per pengenceran) : 4x (20 µL sampel sel dalam 60 µL pewarna trypan blue) Penghitungan sel dilakukan pada kotak besar hemocytometer sebanyak 4 kotak ………………………………………………………………………...(γ.β) 80 x 104 8 x 105 sel/mL Jumlah sel dalam 10 mL suspensi sel = 8 x 105 sel/mL x 10 mL = 8 x 106 sel c. Persamaan (3.3) Jumlah sel total pada 10 mL suspensi : 8 x 106 sel Konsentrasi sel yang diinginkan : 5 x 105 sel Jumlah suspensi sel yang diperlukan untuk T-flasks ukuran luas 25 cm2 : …………..……………….(γ.γ) Media yang perlu ditambahkan = 10 mL – 0,625 mL = 9,375 mL UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 74 d. Persamaan (3.4) Plate 96 well yang akan digunakan sebanyak 3 buah. Jumlah sel total pada 10 mL suspensi : 8 x 106 sel : 2,5 x 106 sel Konsentrasi sel/plate Akan dibuat volume sebanyak 10 mL/plate (100 µL x 100 well). …(γ.4) = 9,4 mL Media yang perlu ditambahkan = 30 mL – 9,4 mL = 20,6 mL e. Persamaan (3.5) Pengenceran virus pada saat titrasi bertingkat : Well pada nomor 1 : 1/4 (50 µL vaksin dalam 150 µL media) Well pada nomor 2 : M1 x V1 = M2 x V2 1/4 x 50 µL = M2 x 100 M2 = 1/8 Faktor pengenceran (satu per pengenceran) virus tiap well: W1 W2 W3 W4 W5 W6 W7 W8 W9 W10 W11 W12 4 8 16 32 64 128 256 512 1024 2048 4096 - Keterangan : W = nomor well Pengenceran volume vaksin : 1/20 (50 µL dalam 1 mL vaksin) Diperoleh jumlah sel yang ber-fluorescence sebanyak 90 pada well nomor 9. ⁄ ……………………..…………(γ.5) ⁄ ⁄ Konsentrasi atau titer rotavirus dalam well tersebut = 1,84 x 106 FCFU/mL. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 75 Lampiran 3. Data perbandingan hasil pengolahan statistik repeated measures yang dipisahkan sesuai dengan kelompok teknik freezing-nya pada sediaan kandidat vaksin rotavirus. a. Teknik Freezing -70oC Tests of Between-Subjects Effects Measure: Konsentrasi (FCFU/mL) Transformed Variable: Average Source Type III df Mean Square F Sig. Sum of Partial Eta Squared Squares Intercept 922.324 1 922.324 14111.764 .000 1.000 Suhu Penyimpanan .129 2 .064 .985 .469 .396 Error .196 3 .065 Kesimpulan: Suhu penyimpanan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap potensi kandidat vaksin rotavirus dengan teknik freezing -70oC. Pairwise Comparisons Measure: Konsentrasi (FCFU/mL) (I) Storage (J) Storage Mean Std. Error Sig. a Difference (I-J) 90% Confidence Interval for Difference Lower Bound 2–8 -20 -70 a Upper Bound -20 -.159 .128 .303 -.459 .142 -70 -.152 .128 .320 -.453 .149 2–8 .159 .128 .303 -.142 .459 -70 .007 .128 .962 -.294 .307 2–8 .152 .128 .320 -.149 .453 -20 -.007 .128 .962 -.307 Based on estimated marginal means a. Adjustment for multiple comparisons: Least Significant Difference (equivalent to no adjustments). Kesimpulan: Suhu penyimpanan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap potensi rotavirus dengan teknik freezing -70oC. Vaksin dengan suhu penyimpanan 2 – 8oC memiliki potensi paling rendah dibandingkan suhu penyimpanan -20oC dan -70oC. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .294 76 Pairwise Comparisons Measure: Konsentrasi (FCFU/mL) (I) Time (J) Time Mean Std. Error Sig. a 90% Confidence Interval for Difference (I-J) Difference Lower Bound a Upper Bound 42 60 .075 .120 .578 -.208 .358 42 90 .030 .049 .585 -.085 .145 42 120 .020 .082 .821 -.172 .212 60 90 -.045 .080 .613 -.233 .143 60 120 -.055 .081 .546 -.244 .135 90 120 -.010 .078 .909 -.193 .174 Based on estimated marginal means a. Adjustment for multiple comparisons: Least Significant Difference (equivalent to no adjustments). Kesimpulan: Waktu penyimpanan tidak berpengaruh secara signifikan, artinya sediaan kandidat vaksin rotavirus dengan teknik freezing suhu -70oC pada suhu penyimpanan manapun dapat mempertahankan kestabilan. b. Teknik Freezing -152oC Tests of Between-Subjects Effects Measure: Konsentrasi (FCFU/mL) Transformed Variable: Average Source Type III Sum of df Mean Square F Sig. Squares Intercept Partial Eta Squared 893.388 1 893.388 77905.411 .000 1.000 Suhu Penyimpanan .373 2 .186 16.251 .025 .915 Error .034 3 .011 Kesimpulan: Suhu penyimpanan pada teknik freezing -152oC berpengaruh terhadap potensi kandidat vaksin rotavirus. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 77 Pairwise Comparisons Measure: Konsentrasi (FCFU/mL) (I) Storage (J) Storage Mean Std. Error Sig. b Difference (I-J) 90% Confidence Interval for Difference Lower Bound 2–8 -20 -70 b Upper Bound -.181 * .054 .043 -.307 -.055 -.303 * .054 .011 -.429 -.177 2–8 .181 * .054 .043 .055 .307 -70 -.122 .054 .106 -.248 .004 * .054 .011 .177 .429 -20 -70 2–8 .303 -20 .122 .054 .106 -.004 Based on estimated marginal means *. The mean difference is significant at the .1 level. b. Adjustment for multiple comparisons: Least Significant Difference (equivalent to no adjustments). .248 Kesimpulan: Suhu penyimpanan pada suhu 2 – 8oC memiliki perbedaan yang signifikan dengan suhu penyimpanan -20oC dan -70oC, dengan nilai potensi paling rendah. Pairwise Comparisons Measure: Konsentrasi (FCFU/mL) (I) Waktu (J) Waktu Mean Std. Error Sig. b Difference (I-J) 90% Confidence Interval for Difference Lower Bound 42 42 60 90 b Upper Bound -.296 * .012 .000 -.325 -.267 -.298 * .054 .012 -.425 -.171 * .064 .051 -.356 -.052 42 120 -.204 60 90 -.002 .066 .977 -.158 .153 60 120 .092 .073 .301 -.081 .264 90 120 .094 .051 .162 -.026 .213 Based on estimated marginal means *. The mean difference is significant at the .1 level. b. Adjustment for multiple comparisons: Least Significant Difference (equivalent to no adjustments). Kesimpulan: Waktu penyimpanan antara 42 hari dengan 60 hari memiliki perbedaan yang signifikan (juga terjadi antara 42 hari dengan 90 dan 120 hari), namun antar hari berikutnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kandidat vaksin rotavirus dengan teknik freezing -152oC pada suhu penyimpanan manapun masih dapat mempertahankan stabilitasnya. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 78 c. Teknik Freezing Nitrogen Cair Tests of Between-Subjects Effects Measure: Konsentrasi (FCFU/mL) Transformed Variable: Average Source Type III Sum of df Mean Square F Sig. Partial Eta Squares Intercept Squared 925.043 1 925.043 190810.673 .000 1.000 Suhu Penyimpanan .122 2 .061 12.551 .035 .893 Error .015 3 .005 Kesimpulan: Suhu penyimpanan berpengaruh signifikan terhadap potensi kandidat vaksin rotavirus dengan teknik freezing menggunakan nitrogen cair. Pairwise Comparisons Measure: Konsentrasi (FCFU/mL) (I) Storage (J) Storage Mean Std. Error Sig. b Difference (I-J) 90% Confidence Interval for Difference Lower Bound 2–8 -20 -70 b Upper Bound -.128 * .035 .035 -.210 -.046 -.167 * .035 .017 -.248 -.085 2–8 .128 * .035 .035 .046 .210 -70 -.038 .035 .352 -.120 .044 * .035 .017 .085 .248 -20 -70 2–8 .167 -20 .038 .035 .352 -.044 Based on estimated marginal means *. The mean difference is significant at the .1 level. b. Adjustment for multiple comparisons: Least Significant Difference (equivalent to no adjustments). Kesimpulan: Suhu penyimpanan pada suhu 2 – 8oC memiliki perbedaan yang signifikan dengan suhu penyimpanan -20oC dan -70oC, dengan nilai potensi paling rendah. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .120 79 Pairwise Comparisons Measure: Konsentrasi (FCFU/mL) (I) Waktu (J) Waktu Mean Std. Error Sig. a Difference (I-J) 90% Confidence Interval for Difference Lower Bound a Upper Bound 42 60 -.086 .061 .251 -.228 .057 42 90 -.056 .066 .461 -.212 .100 42 120 .017 .074 .831 -.157 .192 60 90 .030 .063 .665 -.117 .177 60 120 .103 .117 .444 -.173 .379 90 120 .073 .075 .404 -.104 .250 Based on estimated marginal means a. Adjustment for multiple comparisons: Least Significant Difference (equivalent to no adjustments). Kesimpulan: Waktu penyimpanan tidak berpengaruh secara signifikan, artinya sediaan kandidat vaksin rotavirus dengan teknik freezing menggunakan nitrogen cair pada suhu penyimpanan manapun dapat mempertahankan kestabilannya. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 80 Lampiran 4. Data perbandingan hasil pengolahan seluruh data (tanpa pemisahan kelompok) menggunakan analisis statistik repeated measures pada sediaan kandidat vaksin rotavirus. Pairwise Comparisons Measure: Konsentrasi (FCFU/mL) (I) Storage (J) Storage Mean Std. Error Sig. b 90% Confidence Interval for Difference (I-J) Difference Lower Bound 2–8 -20 Upper Bound -20 -.156 * -70 -.207 * .048 .002 -.295 -.120 2–8 .156 * .048 .010 .069 .243 -70 -.051 .048 .309 -.139 .036 * .048 .002 .120 .295 2–8 -70 b .207 .048 .010 -.243 -.069 -20 .051 .048 .309 -.036 Based on estimated marginal means *. The mean difference is significant at the .1 level. b. Adjustment for multiple comparisons: Least Significant Difference (equivalent to no adjustments). .139 Kesimpulan: Suhu penyimpanan pada suhu 2 – 8oC memiliki perbedaan yang signifikan dengan suhu penyimpanan -20oC dan -70oC, dengan nilai potensi paling rendah. Pairwise Comparisons Measure: Konsentrasi (FCFU/mL) (I) Freezing (J) Freezing Mean Std. Error Sig. a Difference (I-J) 95% Confidence Interval for Difference Lower Bound a Upper Bound -152 .098 .048 .070 .011 .185 LN -.009 .048 .852 -.096 .078 -70 -.098 .048 .070 -.185 -.011 LN -.107 .048 .051 -.194 -.020 -70 .009 .048 .852 -.078 .096 -70 -152 LN -152 .107 .048 .051 .020 Based on estimated marginal means *. The mean difference is significant at the .1 level. b. Adjustment for multiple comparisons: Least Significant Difference (equivalent to no adjustments). Kesimpulan: Teknik freezing suhu -152oC memiliki perbedaan yang signifikan dengan teknik freezing -70oC dan nitrogen cair, dengan nilai potensi paling rendah. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .194 81 Lampiran 5. Grafik konsentrasi rotavirus terhadap teknik freezing dan suhu penyimpanan pada tiap waktu penyimpanan Grafik konsentrasi rotavirus terhadap teknik freezing dan suhu penyimpanan pada waktu pengamatan 42 hari Grafik konsentrasi rotavirus terhadap teknik freezing dan suhu penyimpanan pada waktu pengamatan 60 hari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 82 Grafik konsentrasi rotavirus terhadap teknik freezing dan suhu penyimpanan pada waktu pengamatan 90 hari Grafik konsentrasi rotavirus terhadap teknik freezing dan suhu penyimpanan pada waktu pengamatan 120 hari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta