BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Medis 1. Bayi Baru Lahir Normal a. Pengertian Bayi baru lahir merupakan individu yang baru saja tumbuh dan mengalami trauma kelahiran serta harus dapat menyesuaikan diri dari kehidupan intrauterin ke kehidupan ekstrauterin. Bayi Baru lahir normal adalah bayi yang lahir dengan berat badan 2500-4000 gram, cukup bulan, lahir langsung menangis dan tidak ada kelainan congenital (cacat bawaan yang berat) (Dewi, 2010; Putra, 2012). b. Ciri-ciri Menurut Dewi (2010), Ciri–ciri bayi baru lahir normal antara lain : bayi lahir aterm antara 37 sampai 42 minggu, berat badan 2500 sampai 4000 gram, panjang badan 48-52 cm, lingkar dada 30-38 cm, lingkar kepala 33-35 cm, lingkar lengan 11-12 cm, frekuensi denyut jantung 120-160 kali per menit, pernapasan 40-60 kali per menit, kulit kemerahan-merahan, rambut lanugo tidak terlihat dan rambut kepala telah sempurna, kuku agak panjang dan lemas, nilai APGAR lebih dari 7, gerakan aktif, bayi lahir langsung menangis kuat, refleks (rooting, sucking, morro dan grasping) sudah baik, genetalia pada laki-laki ditandai dengan testis yang sudah turun dalam skrotum, dan 6 7 penis berlubang, pada perempuan ditandai dengan vagina dan uretra yang berlubang, serta labia mayora sudah menutupi labia minora, eliminasi pada bayi baru lahir normal ditandai dengan keluarnya mekonium dalam 24 jam pertama dan berwarna hitam kecoklatan. c. Penanganan Bayi Baru Lahir Normal Menurut Kementrian Kesehatan RI (2010) dan Saifuddin (2009), Penanganan pada bayi baru lahir normal diantaranya adalah : 1) Membersihkan jalan napas Segera setelah lahir, sambil meletakkan bayi pada kain bersih dan kering di atas perut bawah ibu lakukan penilaian apakah bayi menangis atau bernapas/tidak megap-megap dan apakah tonus otot baik/bayi bergerak aktif. Bersihkan jalan napas dengan jari tangan yang dibungkus kassa steril. Keringkan tubuh bayi mulai dari muka, kepala dan bagian tubuh lainnya tanpa menghilangkan verniks karena akan membantu menghangatkan bayi. 2) Memotong dan merawat tali pusat Klem, potong dan ikat tali pusat tanpa dibubuhi apapun. Pemotongan dan pengikatan tali pusat sebaiknya dilakukan sekitar 2 menit setelah lahir (atau setelah bidan menyuntikkan oksitosin kepada ibu) untuk memberi waktu tali pusat mengalirkan darah (dan juga zat besi) kepada bayi. Tali pusat yang terbuka dan tidak dibubuhi apapun, akan lebih cepat 8 mengering dan puput serta komplikasi yang ditimbulkan lebih sedikit. 3) Menjaga agar bayi tetap hangat Mengganti handuk/kain yang basah, meletakkan bayi tengkurap di dada ibu kemudian menyelimuti ibu dan bayi dengan selimut dan memastikan bahwa kepala bayi telah terlindung atau memakaikan topi untuk mencegah keluarnya panas tubuh. 4) Melakukan Inisiasi menyusu dini Meletakkan kepala bayi diantara payudara ibu. Biarkan bayi mencari, menemukan puting dan mulai menyusu. Meskipun bayi sudah berhasil menemukan puting, biarkan kontak kulit bayi dan ibu sekurangnya 1 jam. 5) Menyuntikkan Vitamin K1. Untuk mencegah terjadinya perdarahan bayi baru lahir akibat defisiensi vitamin K, semua bayi baru lahir harus diberikan vitamin K1 (Phytomenadione) 1 mg intramuskuler di paha kiri. 6) Memberikan obat tetes atau salep mata antibiotika profilaksis Obat tetes mata atau salep mata dianjurkan untuk mencegah penyakit mata karena penyakit menular seksual dan diberikan 1 jam pertama setelah persalinan. Pencegahan infeksi mata dianjurkan menggunakan salep mata antibiotik tetrasiklin 1%. 9 7) Melakukan pemeriksaan fisik Pemeriksaan bayi baru lahir bertujuan untuk mengetahui sedini mungkin kelainan pada bayi. 8) Melakukan identifikasi Identifikasi bayi dilakukan dengan memberikan alat pengenal yang efektif sampai bayi pulang. Alat pengenal yang digunakan dapat berupa gelang yang berisi nama lengkap ibu, tanggal lahir, nomor bayi, jenis kelamin, dan hasil pengukuran antropometri yang dipasang pada pergelangan tangan atau pergelangan kaki bayi. 9) Memberikan imunisasi Imunisasi Hepatitis B pertama (HB 0) diberikan 1-2 jam di paha kanan setelah pemberian Vitamin K1 secara intramuskular, untuk mencegah penularan Hepatitis B melalui jalur ibu ke bayi yang dapat menimbulkan kerusakan hati. 2. Asfiksia Asfiksia neonatorum adalah keadaan ketika bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur segera setelah dilahirkan, sehingga dapat menurunkan O2 dan meningkatkan CO2 yang dapat menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut (Manuaba, 2010). Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Proses ini dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian 10 bila berlangsung terlalu jauh. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ lainnya (Saifuddin, 2009). Menurut Marmi (2012) dan Hasan (2007), Asfiksia neonatorum dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Asfiksia Ringan (Vigorous baby) Skor apgar 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa. 2) Asfiksia Sedang (Mild-moderate asphyxia) Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100 kali per menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada. 3) Asfiksia Berat (severe asphyxsia) Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100 kali per menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada. 3. Asfiksia Sedang a. Pengertian Asfiksia sedang adalah kegagalan bayi baru lahir untuk bernapas secara spontan dan teratur sehingga menimbulkan gangguan metabolisme pada tubuhnya. Bayi baru lahir yang mengalami asfiksia sedang memiliki skor apgar 4-6, frekuensi jantung lebih dari 100 kali per menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, dan refleks iritabilitas tidak ada (Hasan, 2007). 11 b. Etiologi Pada bayi baru lahir, pengembangan paru bayi terjadi pada menitmenit pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernapasan teratur. Apabila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin, akan terjadi asfiksia yang dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir (Hasan, 2007). Menurut Jems (2012) dan Rahardjo (2012), Penyebab terjadinya asfiksia yaitu : 1) Faktor Ibu meliputi : preeklampsia dan eklampsia, perdarahan antepartum abnormal, partus lama atau partus macet, demam sebelum dan selama persalinan, infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV) dan kehamilan lebih bulan (lebih dari 42 minggu). 2) Faktor Plasenta meliputi : infark plasenta (pemadatan plasenta), plasenta tipis, plasenta kecil, solusio plasenta dan perdarahan plasenta. 3) Faktor Fetus meliputi : lilitan tali pusat, tali pusat pendek, simpul tali pusat, dan prolapsus tali pusat. 4) Faktor Neonatus meliputi : bayi kurang bulan/prematur (kurang dari 37 minggu), air ketuban bercampur mekonium dan depresi pada pusat pernapasan (karena pemakaian obat anestesi/analgetika yang berlebihan pada ibu, trauma pada saat persalinan dan kelainan kongenital pada bayi). 12 c. Patofisiologi Menurut Hasan (2007), Kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan sangat mempengaruhi pernapasan spontan bayi baru lahir. Proses kelahiran selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementara (asfiksia transien). Proses ini sangat perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat pernapasan agar menjadi usaha bernapas pertama (primary gasping) yang kemudian akan berlanjut menjadi pernapasan teratur. Asfiksia yang ringan ini, tidak memiliki pengaruh buruk karena reaksi dari adaptasi bayi dapat mengatasinya. Tetapi, jika terjadi gangguan pengangkutan oksigen selama kehamilan atau persalinan, akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Asfiksia ringan yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnea primer. Selanjutnya bayi akan menunjukan usaha nafas, yang kemudian diikuti pernapasan teratur. Pada asfiksia berat usaha napas tidak tampak sehingga bayi berada dalam periode apnea yang kedua, dan ditemukan pula bradikardi dan penurunan tekanan darah. Pada tingkat awal menimbulkan asidosis respiratorik, bila gangguan berlanjut dapat terjadi gangguan metabolisme yang berupa glikolisis glikogen tubuh (metabolisme anaerob), sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati berkurang. Pada tingkat selanjutnya terjadi perubahan kardiovaskular. Asidosis (perubahan keseimbangan asam basa pada tubuh bayi) dan gangguan kardiovaskuler dalam tubuh 13 akan berakibat buruk pada sel otak yaitu dapat terjadi kerusakan sel otak dan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya. Proses Kelahiran Asfiksia Ringan/transien Primary Gasping selama 1-2 menit Apnea Primer Usaha Napas Pernapasan Teratur Secondary Gasping selama 4-5 menit Apnea Sekunder : Denyut Jantung dan Tekanan Darah Penurunan PO2 dan Peningkatan PCO2 Asidosis Respiratorik : (pH) Metabolisme Anaerob : glikolisis glikogen tubuh Gangguan kardiovaskular Kerusakan sel otak Kematian/gejala sisa Bagan 2.1 Patofisiologi Asfiksia pada Bayi Baru Lahir (Jems, 2012) d. Faktor Predisposisi Menurut Manuaba (2010) dan Dewi (2010), Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan asfiksia pada bayi baru lahir diantaranya : Gangguan sirkulasi dari ibu ke janin yang disebabkan adanya gangguan aliran pada tali pusat (lilitan tali pusat, simpul tali pusat, 14 tekanan yang kuat pada tali pusat, ketuban telah pecah yang menyebabkan tali pusat menumbung, kehamilan lewat waktu), dan disebabkan pengaruh obat karena narkosa saat persalinan (SC); faktor ibu yang disebabkan karena adanya gangguan his (tetania uteri atau hipertonik), penurunan tekanan darah mendadak (perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta), vasokontriksi arterial (hipertensi pada kehamilan dan kehamilan dengan preeklampsia maupun eklampsia). e. Faktor Risiko Faktor risiko terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir menurut Kosim (2012) diantaranya : 1) Faktor risiko antepartum, : Diabetes pada ibu, hipertensi dalam kehamilan, hipertensi kronik, anemia janin atau isoimunisasi, riwayat kematian janin (neonatus), perdarahan pada trimester dua dan tiga, infeksi ibu, ibu dengan penyakit jantung, ginjal, paru, polihidramnion, oligohidramnion, ketuban pecah dini, hidrops fetalis, kehamilan lewat waktu, kehamilan ganda, berat janin tidak sesuai masa kehamilan, gerakan janin berkurang, ibu tanpa pemeriksaan antenatal, dan usia ibu kurang dari 16 atau lebih dari 35 tahun. 2) Faktor risiko intrapartum, antara lain : Seksio sesaria, kelahiran dengan ekstraksi forseps atau vakum, letak sungsang (presentasi abnormal), kelahiran kurang bulan, partus presipitatus, 15 korioamnionitis, partus lama, kala dua lama, makrosomia, bradikardi janin persisten, frekuensi jantung janin tidak beraturan, air ketuban bercampur mekonium, prolaps tali pusat, plasenta previa dan perdarahan intrapartum. f. Tanda Klinis Dalam menentukan keadaan bayi baru lahir, Virginia Apgar mengusulkan beberapa kriteria klinis (Skor APGAR) yang mempunyai hubungan dengan mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Skor Apgar merupakan suatu sistem skoring cepat yang didasarkan pada respon fisiologik terhadap proses kelahiran. Skor ini dilakukan pada menit ke 1 dan ke 5 kehidupan (Hassan, 2007; Kliegman, 2010). Tabel 2.1 SKOR APGAR Tanda Skor Warna Kulit (Apperance) Frekuensi Jantung (Pulse) Reflek (Grimace) Tonus otot (Activity) Usaha Napas (Repiration) 0 Biru/ pucat Tidak ada Tubuh kemerahan, ekstremitas biru Kurang dari 100 kali per menit Gerakan sedikit 2 Tubuh dan ekstremitas kemerahan Lebih dari 100 kali per menit Menangis Lumpuh Ekstrimitas sedikit fleksi Gerakan aktif Tidak ada Lemah, tidak teratur Menangis kuat Tidak ada 1 (Sofian, 2013) Berdasarkan tabel diatas, patokan klinis yang dinilai adalah: menghitung frekuensi jantung, melihat usaha bernapas, melihat tonus otot, menilai refleks rangsangan, dan memperhatikan warna kulit. Skor APGAR dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa bayi baru 16 lahir mengalami asfiksia. Untuk Skor APGAR 7-10 (bayi sehat/asfiksia ringan), 4-6 (asfiksia sedang) dan 1-3 (asfiksia berat) (Hasan, 2007). Tanda bayi baru lahir mengalami asfiksia yaitu bayi tidak segera bernapas atau menangis dan tonus otot menurun. Dalam menentukan keputusan untuk dilakukan tindakan resusitasi, didasarkan pada penilaian terhadap tanda tersebut segera setelah lahir. Nilai APGAR tidak dipakai untuk mengambil keputusan pada awal resusitasi (karena dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit sesudah bayi lahir), namun nilai APGAR tetap diperlukan untuk menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian efektivitas upaya resusitasi (Davies, 2011; Kementerian Kesehatan RI, 2010). g. Prognosis Prognosis pada bayi baru lahir dengan asfiksia tergantung pada kekurangan O2 dan luasnya perdarahan dalam otak. Bayi yang dalam keadaan asfiksia tidak bereaksi terhadap resusitasi, beresiko besar untuk kematian. Dan bayi yang dapat pulih kembali dalam keadaan asfiksia harus dipikirkan kemungkinannya menderita cacat mental pada masa mendatang (Cunningham, 2013; Sofian, 2013). h. Penatalaksanaan Pada bayi dengan asfiksia penatalaksanaan khusus yang dilakukan adalah melalui tindakan resusitasi segera setelah lahir. Resusitasi dilakukan sesuai dengan tahapan resusitasi dan sangat tergantung 17 pada derajat asfiksia (ringan, sedang, berat), keadaan tidak bernapas disertai jantung tidak berdenyut, serta ada tidaknya aspirasi mekonium (Marmi dan Rahardjo, 2012). Menurut Lissauer dan fanaroff (2013), Resusitasi adalah urutanurutan langkah cepat untuk dilakukan bila penapasan atau sirkulasi bayi terganggu. Tujuan resusitasi adalah untuk mengoptimalkan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi secepat mungkin. Langkah awal dari semua asuhan adalah memastikan bahwa segala peralatan yang diperlukan dalam keadaan siap pakai. Alat-alat yang dibutuhkan yaitu: 1) Kain yang bersih, kering, hangat, dan dapat menyerap cairan. kain yang dibutuhkan minimal tiga lembar, yang digunakan untuk mengeringkan dan menyelimuti bayi, serta untuk ganjal bahu bayi 2) Kotak alat resusitasi yang berisi alat penghisap lendir DeLee atau bola karet dan alat ventilasi dalam keadaan steril, sarung tangan dan jam atau pencatat waktu. 3) Alat pelindung diri (Dewi, 2014; Depkes RI, 2008). Penatalaksanaan bayi baru lahir dengan asfiksia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penatalaksanaan mandiri dan kolaborasi. 1) Penatalaksanaan Mandiri Menurut Kosim (2012), Penatalaksanaan mandiri yang dilakukan bidan untuk menentukan tindakan resusitasi yaitu 18 dengan melakukan penilaian bayi segera setelah lahir. Dalam penilaian awal bayi baru lahir perlu menjawab pertanyaan diantaranya : (a) Apakah bayi lahir cukup bulan? (b) Apakah air ketuban jernih dan tidak bercampur mekonium? (c) Apakah bayi bernapas adekuat atau menangis? (d) Apakah tonus otot baik? Sebelum bayi lahir 1. Apakah kehamilan cukup bulan? 2. Apakah air ketuban jernih/tidak bercampur mekonium? Segera setelah lahir 3. Apakah bayi menangis atau bernapas/tidak megap-megap? 4. Apakah tonus otot bayi baik/bayi bergerak aktif? 1. 2. 3. 4. Bayi cukup bulan Ketuban jernih Bayi menangis/bernapas Tonus otot bayi baik/bayi bergerak aktif 1. Bayi tidak cukup bulan dan atau 2. Air ketuban bercampur mekonium dan atau 3. Bayi megap-megap atau tidak bernapas dan atau 4. Tonus otot bayi tidak baik/lemas Manajemen Bayi Baru Lahir Normal Manajemen Bayi Baru Lahir dengan Asfiksia Bagan 2.2 Penilaian Bayi Baru Lahir (Kementerian Kesehatan RI, 2010) Apabila semua jawaban “ya”, berarti bayi dalam keadaan baik dan tidak memerlukan tindakan resusitasi. Apabila terdapat satu atau lebih jawaban “tidak”, bayi memerlukan tindakan resusitasi segera, dimulai dengan langkah awal resusitasi. 19 Langkah-langkah resusitasi adalah sebagai berikut : a) Tahap I : Langkah resusitasi (HAIKAL) Langkah awal resusitasi dilakukan secara cepat dan diselesaikan dalam waktu 30 detik yaitu : (1) Hangatkan bayi Letakkan bayi diatas perut ibu, selimuti bayi dengan kain atau handuk, dada dan perut tetap terbuka, potong tali pusat. Kemudian pindahkan bayi di atas tempat resusitasi yang datar di bawah pemancar panas (lampu 60 watt dengan jarak 60 cm) dan bayi tetap diselimuti dengan kain hangat. Tempat ini harus sudah dihangatkan sebelumnya. (2) Atur posisi bayi Bersihkan jalan napas dengan menggunakan kassa steril, kemudian baringkan bayi telentang dan posisikan kepala bayi dekat penolong dengan posisi kepala sedikit ekstensi menggunakan pengganjal bahu (kain). Posisi yang benar Kurang ekstensi Terlalu ekstensi Gambar 2.1 Posisi Kepala Bayi yang Benar untuk Resusitasi (Kementerian Kesehatan RI, 2010) 20 (3) Isap lendir bayi Menggunakan pengisap lendir DeLee dengan cara mengisap lendir mulai dari mulut, kemudian hidung; mengisap saat alat pengisap ditarik keluar; jangan melakukan pengisapan terlalu dalam (tidak lebih dari 5 cm ke dalam mulut atau lebih dari 3 cm ke dalam hidung karena dapat menyebabkan denyut jantung bayi menjadi lambat atau bayi tiba-tiba berhenti bernapas. Apabila penghisapan menggunakan balon karet, dilakukan dengan menekan bola dari luar mulut, kemudian masukkan ujung penghisap di rongga mulut dan lepaskan (lendir akan terhisap), untuk hidung masukkan pada lubang hidung. (4) Keringkan bayi dan melakukan rangsang taktil Mengeringkan bayi dengan kain bersih dan kering dari muka, kepala, dan bagian tubuh lainnya dengan sedikit tekanan, hal ini dapat merangsang bayi baru lahir mulai bernapas. Melakukan rangsangan taktil dengan menepuk atau menyentil telapak kaki dengan hati-hati dan menggosok punggung, perut, dada, atau tungkai bayi dengan telapak tangan. Tindakan ini merangsang sebagian besar bayi baru lahir untuk bernapas dan hanya boleh dilakukan pada bayi yang telah berusaha bernapas. 21 (5) Atur posisi bayi kembali Mengganti kain yang basah dengan kain kering, selimuti seluruh tubuh bayi dengan kain tersebut (kecuali muka dan dada) agar bisa memantau pernapasan bayi dan atur kembali posisi bayi dengan sedikit ekstensi. (6) Lakukan evaluasi Setelah resusitasi selesai dan bayi telah diposisikan kembali, dilakukan penilaian pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit. Apabila bayi bernapas dan denyut jantung lebih dari 100 kali per menit, kulit berwarna merah muda, selanjutnya bayi perlu perawatan observasi. Apabila bayi masih tidak bernapas (apnea) atu megapmegap atau frekuensi jantung kurang dari 100 kali per menit, maka bayi memerlukan tindakan ventilasi tekanan positif (Depkes RI, 2008; Dewi, 2014; Kosim, 2012). b) Tahap II: Ventilasi Tekanan Positif (VTP) Ventilasi Tekanan Positif (VTP) adalah tahapan resusitasi untuk memasukkan sejumlah volume udara ke dalam paru dengan tekanan positif untuk membuka alveoli paru agar dapat bernapas spontan dan teratur. 22 Langkah-langkah VTP diantaranya adalah : (1) Memasang sungkup dan memperhatikan perlekatan pada sungkup agar menutupi mulut, dagu, dan hidung bayi sehingga tidak ada udara bocor. Ukuran dan posisi yang benar Benar Sungkup terlalu bawah Salah Sungkup terlalu kecil Sungkup terlalu besar Salah Salah Gambar 2.2 Posisi Perlekatan Sungkup yang Benar (Kementerian Kesehatan RI, 2010) (2) Melakukan ventilasi dengan tekanan 30 cm H2O air sebanyak 2 kali untuk membuka alveoli paru agar bayi dapat mulai bernapas, dan menguji jalan napas bayi terbuka. Memperhatikan apakah dada bayi mengembang, apabila tidak mengembang maka periksa posisi kepala (pastikan posisi sudah ekstensi), kemudian periksa posisi sungkup pastikan bahwa tidak ada udara yang bocor, periksa adanya lendir atau cairan di mulut, jika ada bersihkan. Kemudian lakukan tiupan ulang 2 kali dengan tekanan 30 cm air. Apabila dada mengembang lakukan tahap berikutnya. 23 (3) Melakukan ventilasi 20 kali dalam 30 detik dengan tekanan 20 cm air sampai bayi bernapas spontan dan mulai menangis. Pastikan dada mengembang, setelah 30 detik lakukan penilaian. Jika bayi sudah mulai bernapas spontan atau tidak megap-megap dan atau menangis hentikan ventilasi secara bertahap. Tetapi apabila bayi masih megap-megap, lanjutkan ventilasi. (4) Melanjutkan ventilasi 20 kali dalam 30 detik dengan tekanan 20 cm air. Lakukan penilaian bayi setiap 30 detik. Jika bayi mulai bernapas normal dan atau menangis, hentikan ventilasi bertahap, kemudian lakukan asuhan pasca resusitasi. Jika bayi megap-megap atau tidak bernapas, teruskan ventilasi 20 kali dalam 30 detik, kemudian lakukan penilaian ulang setiap 30 detik. (5) Siapkan rujukan atau lakukan kolaborasi dengan dokter Spesialis Anak jika bayi belum bernapas spontan sesudah 2 menit dilakukan resusitasi . c) Asuhan pasca Resusitasi Resusitasi berhasil bila pernapasan bayi teratur, warna kulit kembali normal yang kemudian diikuti dengan perbaikan tonus otot (bergerak aktif), bayi menangis dan bernapas normal sesudah resusitasi langkah awal atau sesudah ventilasi. 24 Asuhan pasca resusitasi antara lain : (1) Memberikan vitamin K, pemeriksaan fisik, pemberian antibiotik jika perlu. (2) Melakukan pemantauan seksama terhadap bayi pascaresusitasi dengan cara: (a) Memperhatikan tanda- tanda kesulitan bernapas pada bayi yaitu : napas megap-megap, frekuensi napas kurang lebih 60x/menit, bayi kebiruan atau pucat, bayi tanpak lemas (b) Menjaga bayi tetap hangat dengan cara menunda memandikan bayi hingga 6- 24 jam setelah bayi lahir (3) Memenuhi nutrisi bayi (Kosim, 2012; Rahardjo, 2012; Saifuddin, 2009) 2) Penatalaksanaan Kolaborasi Dalam melakukan resusitasi, bidan memiliki kewenangan hanya sampai pada Langkah Awal (HAIKAL) dan Ventilasi Tekanan Positif (VTP). Jika telah dilakukan VTP 20 kali dengan tekanan 20 cm air selama 30 detik dan bayi belum bernapas spontan atau Frekuensi Jantung kurang dari 60 kali per menit, maka dilakukan kolaborasi dengan dokter spesialis anak. 25 Penatalaksanaan resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia secara kolaborasi dapat dilakukan menurut skema berikut: Lahir 1 2 3 4 Cukup bulan? Air ketuban tanpa mekonium? Bernapas atau menangis? Tonus otot baik? Ya 30 detik Tidak Perawatan Rutin 1 Berikan kehangatan 2 Bersihkan jalan napas 3 Keringkan 4 Nilai warna kulit 1 Berikan kehangatan 2 Posisikan, bersihkan jalan napas 3 Keringkan, rangsang taktil, reposisi Evaluasi pernapasan, frekuensi jantung, dan warna kulit Bernapas, FJ>100, kulit merah muda Perawatan Observasi Sianosis Kemerahan 30 detik Apnea atau FJ <100 Beri oksigen Sianosis menetap Ventilasi efektif FJ>100, napas adekuat, kulit kemerahan Perawatan Pasca Resusitasi Berikan ventilasi tekanan positif FJ<60 30 detik FJ>60 1 Berikan ventilasi tekanan positif 2 Lakukan kompresi dada FJ<60 Intubasi endotrakeal dapat dipertimbangkan pada beberapa tahap resusitasi ini Berikan epinefrin Bagan 2.3 Penatalaksanaan Asfiksia pada Bayi Baru Lahir (Wiknjosastro, 2011) 26 Penanganan kolaborasi yang dilakukan pada pertolongan di rumah sakit, yaitu : a) Melanjutkan VTP dan melakukan Kompresi dada Kompresi dada adalah tindakan penekanan teratur pada tulang dada ke arah tulang belakang sehingga meningkatkan tekanan intratoraks dan memperbaiki sirkulasi darah ke seluruh organ vital tubuh. Indikasi kompresi dada yaitu apabila kondisi bayi tetap buruk atau gagal membaik dengan frekuansi jantung kurang dari 60 kali per menit setelah dilakukan VTP selama 30 detik. Teknik kompresi dada ada dua yaitu : (1) Teknik ibu jari Kedua ibu jari untuk menekan tulang dada, sementara kedua tangan melingkari dada dan jari-jari tangan menopang bagian belakang bayi. (2) Teknik dua jari Ujung jari tengah dan jari telunjuk menekan tulang dada. Tangan yang lain untuk menopang bagian belakang bayi. (Kosim 2012; Dewi 2014) Dalam melakukan kompresi dada diperlukan 2 orang, satu orang melakukan kompresi dada dan satu orang melanjutkan VTP. Kompresi dilakukan pada 1/3 distal 27 sternum dengan kedalaman 1/3 diameter antero-posterior. Ventilasi dan kompresi harus dilakukan secara bergantian yaitu 90 kompresi dan 30 ventilasi dalam 1 menit (rasio 3:1). Dengan 1½ detik 3 kompresi dada, ½ detik 1 ventilasi yaitu 2 detik dalam 1 siklus (Jems, 2012). b) Melakukan Intubasi Endotrakeal Menurut Jems (2012) dan Kosim (2012), Intubasi Endotrakeal dapat dilakukan dengan indikasi : (1) Jika terdapat mekonium dan bayi mengalami depresi pernapasan maka intubasi dilakukan sebelum tindakan resusitasi yang lain, untuk membersihkan mekonium dari jalan napas. (2) Jika VTP dengan balon dan sungkup tidak efektif. (3) Jika diperlukan kompresi dada, intubasi dapat membantu koordinasi antara kompresi dada dan ventilasi serta memaksimalkan efisiensi pada setiap VTP. (4) Jika epineprin diperlukan untuk menstimulasi frekuensi jantung, maka dapat dilakukan pemberian secara langsung ke trakeal melalui pipa endotrakeal. (5) Jika bayi sangat kurang bulan. (6) Jika dicurigai ada hernia diafragmatika. 28 c) Pemberian obat-obatan Apabila Frekuensi jantung bayi tetap kurang dari 60 kali per menit atau nol walaupun telah dilakuakan VTP dan kompresi dada, maka pemberian obat-obatan diperlukan untuk meningkatkan curah jantung dan memperbaiki perfusi jantung dan serebral. Obat dapat diberikan melalui vena umbilikalis, vena perifer dan pipa endotrakeal. Obat-obatan yang dianjurkan untuk digunakan dalam resusitasi bayi baru lahir meliputi : (1) Epineprin Epineprin merupakan obat pertama yang diberikan. Epineprin merupakan stimulan jantung, (meningkatkan kekuatan dan kecepatan kontraksi jantung) yang berperan penting dalam peningkatkan aliran darah melalui arteri-arteri koroner dan aliran darah ke jaringan otak. Epineprin diberikan bila frekuensi jantung dibawah 80 kali per menit, apabila detak jantung tidak terdeteksi maka harus segera diberikan pada saat yang sama (VTP dan kompresi dada dimulai) (Saifuddin, 2009). Dosis epineprin adalah 0,1-0,3 ml/kgBB dalam larutan 1:10.000 secara intravena, melalui vena umbilikal. Bila diberikan melalui pipa endrotrakeal, 29 dosisnya adalah 0,3-1,0 ml/kgBB (Kosim, 2012; Angelia, 2013). (2) Volume Expanders Volume expanders digunakan dalam resusitasi apabila terdapat kejadian atau diduga adanya kehilangan darah akut dengan tanda-tanda hipovolemia. Empat jenis volume expanders yang dapat diberikan antara lain : darah, cairan albumin salin 5% (atau pengganti plasma yang lain), NaCl 0,9%, dan cairan Ringer Laktat. Dosis pemberian 10 ml/kg secara intravena dalam waktu 5 sampai 10 menit (Saifuddin, 2009; Wiknjosastro, 2011). (3) Natrium bikarbonat Penggunaan natrium bikarbonat tidak menguntungkan dalam resusitasi jantung paru yang cepat, tetapi mungkin menguntungkan dalam apnea lama yang tidak memberikan respon terhadap terapi lain. Obat ini hanya diberikan saat VTP sudah dilakukan. Dosis pemberiannya yaitu : 2 mEq/kg secara intravena dalam waktu 2 menit (1mEq/kg per menit) (Saifuddin, 2009; Kosim, 2012). (4) Nalokson Hidroklorid Digunakan pada bayi baru lahir dengan depresi pusat pernapasan memanjang akibat pemberian anestesi 30 narkotik pada ibu, 4 jam sebelum pesalinan. Dosis pemberian yaitu 0,1 mg/ml secara intravena atau melalui pipa endotrakeal (Saifuddin, 2009; Angelia, 2013). d) Pemberian Oksigen Tambahan oksigen diberikan apabila bayi masih terlihat sianosis. Pemberian oksigen pada resusitasi dapat dilakukan melalui : pipa atau kateter nasal, sungkup oksigen, balon dan sungkup, head box, dan ventilator mekanik (Jems, 2012). Dosis pemberian oksigen dengan kateter nasal yaitu kecepatan aliran 0,5-2 liter per menit, pemberian oksigen dengan sungkup (masker wajah) 4 liter/menit, sedangkan pemberian O2 headbox dengan aliran 5-7 liter per menit untuk mencapai konsentrasi O2 yang adekuat dan mencegah penumpukan CO2. Untuk mencegah rebreathing CO2 diperlukan aliran 2-4 liter per menit. (Rahardjo, 2012; Saifuddin, 2009; Angelia, 2013) e) Penghentian resusitasi Resusitasi harus dihentikan apabila resusitasi bayi tidak berhasil, tidak ada upaya bernapas spontan dan denyut jantung setelah 10 menit, karena sangat tipis kemungkinan bayi bertahan hidup, dan apabila dapat bertahan hidup jarang tanpa cacat berat (Jems, 2012). 31 B. Teori Manajemen Kebidanan Menurut varney (2007) dalam pelaksanaan manajemen kebidanan, ada 7 langkah berurutan yang harus dikaji mulai dari pengumpulan data dasar secara lengkap sampai dengan evaluasi. Langkah-langkah manajemen kebidanan pada bayi baru lahir dengan asfiksia dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Langkah I : Pengumpulan Data Dasar Secara Lengkap Data dasar secara lengkap pada kasus bayi baru lahir dengan asfiksia dapat diperoleh melalui : a. Identitas 1) Identitas Bayi Identitas bayi yang diperlukan yaitu tanggal lahir dan jam lahir, karena asfiksia terlihat segera setelah bayi lahir dan umur bayi dapat digunakan untuk penilaian skor APGAR yang dinilai pada bayi umur 1 menit dan 5 menit (Hassan, 2007). 2) Identitas Ibu Identitas Ibu yang diperlukan yaitu umur. Ibu dengan umur kurang dari 16 tahun atau lebih dari 35 tahun menjadi salah satu faktor risiko terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir (Kosim, 2012). 32 b. Data Subyektif Data subyektif untuk kasus bayi baru lahir dengan asfiksia adalah : 1) Riwayat kehamilan sekarang Ibu hamil tanpa pemeriksaan antenatal, kehamilan lewat bulan, ketuban pecah dini, kehamilan lewat waktu, kehamilan ganda, dan usia ibu kurang dari 16 atau lebih dari 35 tahun perlu diperhatikan, karena merupakan faktor risiko bayi baru lahir dengan asfiksia (Kosim,2012). 2) Riwayat Persalinan ini Riwayat persalinan yang perlu diperhatikan adalah seksio sesaria, partus lama, partus presipitatus, persalinan letak sungsang atau presentasi abnormal, kelahiran dengan forcep atau vakum, kelahiran kurang bulan, korioamnionitis, kala dua lama, makrosomia, air ketuban bercampur mekonium, prolaps tali pusat, plasenta previa, perdarahan intrapartum (Kosim,2012). 3) Riwayat Penyakit Riwayat penyakit yang merupakan penyebab dan faktor risiko asfiksia antara lain infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV), diabetes pada ibu, hipertensi dalam kehamilan, hipertensi kronik, ibu dengan penyakit jantung, asma, ginjal dan paru (Jems, 2012; Kosim, 2012). 33 c. Data Obyektif Pengkajian data objektif yang perlu dilakukan dari kasus bayi baru lahir dengan asfiksia adalah: 1) Pemeriksaan khusus. Penilaian skor APGAR dilakukan pada menit ke-1 dan ke-5 kehidupan bayi baru lahir dengan menilai 5 tanda : warna kulit, frekuensi jantung, reflek, tonus otot dan usaha napas. Penilaian pernapasan, denyut jantung dan tonus otot harus dilakukan segera setelah lahir untuk melakukan intervensi segera. (Hasan, 2007 ; Saifuddin, 2009). 2) Pemeriksaan umum Terdiri dari suhu, respirasi, dan frekuensi nadi. Bayi dengan asfiksia sedang denyut jantung lebih dari 100 kali per menit dan pernapasan tidak teratur (Sudarti, 2013). 3) Pemeriksaan Fisik Sistematis. Melakukan penilaian secara sistematis (dari kepala sampai ujung kaki) untuk menilai adanya kelainan atau cacat. Pada bayi dengan asfiksia hasil pemeriksaan fisiknya a) Muka : tampak pucat atau kebiruan. b) Dada : terdapat retraksi dada c) Ekstremitas : gerakan sedikit dan ektremitas tampak biru (Dewi, 2010; Sudarti, 2013) 34 2. Langkah II : Interpretasi Data Dasar Interpretasi data dasar yang digunakan pada kasus bayi baru lahir dengan asfiksia diantaranya : a) Diagnosa kebidanan Diagnosa kebidanan pada bayi baru lahir dengan asfiksia sedang adalah Bayi Ny. X umur X menit dengan asfiksia sedang (Sondakh, 2013). Data Subyektif : Informasi mengenai identitas dan umur bayi. Data Obyektif : Denyut jantung lebih dari 100 kali per menit, bayi tidak bernapas atau megap-megap, warna kulit biru atau pucat, gerakan sedikit. b) Masalah Masalah yang terjadi pada kasus asfiksia sedang yaitu usaha napas megap-megap (lambat) atau bayi sukar bernapas, dan bayi kekurangan oksigen. Dasar munculnya masalah tersebut yaitu terdapat sekret pada jalan napas (mulut dan hidung), bayi tampak kebiruan atau pucat (Rahardjo 2012; Dewi, 2010). c) Kebutuhan Kebutuhan pada bayi baru lahir dengan asfiksia adalah penghisapan lendir (Hidayat, 2008; Saifuddin, 2009). 35 3. Langkah III: Identifikasi Diagnosa atau Masalah potensial dan Antisipasi Penanganaanya Diagnosa yang mungkin timbul pada bayi dengan asfiksia sedang adalah asfiksia berat. Untuk mengantisipasi terjadinya diagnosa potensial hal yang perlu dilakukan bidan meliputi: a) Segera melakukan resusitasi bayi baru lahir pada setiap menolong persalinan bayi baru lahir dengan asfiksia untuk mengantisipasi (Manuaba, 2010) 4. Langkah IV: Kebutuhan Terhadap Tindakan Segera Kebutuhan segera yang diperlukan pada bayi dengan asfiksia yaitu melakukan kolaborasi dengan dokter spesialis anak untuk pemberian terapi dan tindakan berupa oksigenasi apabila masih terlihat sianosis (Saifuddin, 2009). 5. Langkah V: Perencanaan Asuhan yang Menyeluruh Pada bayi baru lahir dengan asfiksia rencana tindakan yang dilakukan adalah : a. Lakukan resusitasi 1) Hangatkan bayi 2) Atur posisi bayi 3) Isap lendir bayi 4) Keringkan bayi dan lakukan rangsangan taktil 5) Atur posisi bayi kembali 36 b. Lakukan evaluasi resusitasi 1) Apabila bayi bernapas spontan, denyut jantung lebih dari 100 kali permenit, kulit berwarna merah muda, selanjutnya lakukan perawatan observasi 2) Apabila bayi masih tidak bernapas (apnea), lakukan Ventilasi Tekanan Positif (VTP). c. Lakukan asuhan pasca resusitasi 1) Berikan injeksi vitamin K, lakukan pemeriksaan fisik dan beri antibiotik jika perlu. 2) Lakukan pemantauan seksama terhadap bayi pasca resusitasi dengan cara: (a) Perhatikan tanda-tanda kesulitan bernapas pada bayi (napas megap-megap, frekuensi napas kurang lebih 60x/menit, bayi kebiruan atau pucat, bayi tanpak lemas). (b) Jaga bayi tetap hangat dengan cara menunda memandikan bayi hingga 6-24 jam setelah bayi lahir. 3) Penuhi kebutuhan nutrisi bayi (Kosim, 2012; Rahardjo, 2012; Saifuddin, 2009) 6. Langkah VI: Pelaksanaan Langsung Asuhan dengan Efisien dan Aman Pada langkah ini rencana asuhan menyeluruh dari langkah kelima dilaksanakan secara efisien dan aman (Varney, 2007). 37 7. Langkah VII : Evaluasi Dari kasus bayi dengan asfiksia sedang, evaluasi yang diharapkan yaitu: keadaan bayi baik, bayi dapat bernapas spontan dan denyut jantung >100 kali permenit, kulit berwarna merah muda, gerakan aktif, menangis kuat dan skor APGAR > 7 (Mochtar, 2012; Sondakh, 2013). C. Follow Up Data Perkembangan Kondisi Klien 7 Langkah Varney disarikan menjadi 4 langkah, yaitu SOAP (Subjektif, Objektif, Asessment, dan Planning). Menurut KepMenKes RI No.938/Menkes/SK/VII/2007 yang dimaksud SOAP tersebut adalah sebagai berikut: 1. S: Subjective Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data klien melalui anamnesa, sebagai langkah I Varney. Data subyektif pada kasus bayi baru lahir dengan asfiksia sedang adalah berdasarkan wawancara dengan orang tua bayi, observasi langsung dan pemantauan bidan, karena bayi belum bisa berbicara. 2. O: Objective Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik klien, hasil laboratorium dan tes diagnostik lain yang dirumuskan dalam data fokus untuk mendukung asuhan, sebagai langkah I Varney. Pada bayi dengan asfiksia sedang, data objective didapat dari hasil pemeriksaan khusus (APGAR score), pemeriksaan KU dan vital sign, serta pemeriksaan fisik lanjutan. Diperoleh data obyektif yaitu 38 frekuensi jantung lebih dari 100 kali per menit, reflek iritabilitas tidak ada, tonus otot lemah dan usaha napas lambat atau megap-megap. 3. A: Assesment Menggambarkan pendokumentasian hasil analisa dan interpretasi data subjektif dan objektif dalam suatu identifikasi: a. Diagnosa/ masalah Diagnosa yang mungkin timbul pada bayi dengan asfiksia sedang adalah asfiksia berat. b. Antisipasi diagnosa/ masalah potensial Untuk mengantisipasi terjadinya diagnosa potensial hal yang perlu dilakukan bidan meliputi: 1) Segera melakukan resusitasi bayi baru lahir pada setiap menolong persalinan bayi baru lahir dengan asfiksia untuk mengantisipasi. c. Perlunya tindakan segera oleh bidan atau dokter, konsultasi/ kolaborasi dan rujukan sebagai langkah 2, 3, dan 4 Varney Diagnosa kebidanan yang dapat ditegakkan berdasarkan data subjektif dan objektif adalah Bayi Ny. X umur Y menit dengan asfiksia sedang. 4. P: Plan Menggambarkan pendokumentasian dari tindakan (1) dan evaluasi perencanaan (E) berdasarkan asessment sebagai langkah 5, 6, dan 7 Varney. 39 Pada bayi baru lahir dengan asfiksia sedang, penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan menjaga bayi tetap hangat, melakukan pemantauan tanda-tanda vital bayi, dan berkolaborasi dengan dokter Spesialis Anak untuk pemberian terapi dan tindakan. Evaluasi dari pelaksanaan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan asfiksia sedang adalah kehangatan bayi telah terjaga, bayi menangis kuat, pernapasan dan denyut jantung bayi normal, kulit berwarna merah muda, gerakan aktif (keadaan umum secara keseluruhan baik).