HISTOMORFOLOGI TUBULUS SEMINIFERUS DAN KELENJAR

advertisement
HISTOMORFOLOGI TUBULUS SEMINIFERUS DAN
KELENJAR PROSTAT TIKUS (Rattus norvegicus) SERTA
KONSENTRASI HORMON ANDROGEN PASCA PEMBERIAN
EKSTRAK PURWOCENG (Pimpinella alpina Molk.)
LAURA CHRONIKA HOSIANNA SIMANJUNTAK
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
HISTOMORFOLOGI TUBULUS SEMINIFERUS DAN
KELENJAR PROSTAT TIKUS (Rattus norvegicus) SERTA
KONSENTRASI HORMON ANDROGEN PASCA PEMBERIAN
EKSTRAK PURWOCENG (Pimpinella alpina Molk.)
LAURA CHRONIKA HOSIANNA SIMANJUNTAK
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, M.Si
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA
PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakaan bahwa tesis berjudul Histomorfologi
Tubulus Seminiferus dan Kelenjar Prostat Tikus Jantan (Rattus Norvegicus) serta
Konsentrasi Hormon Androgen Pasca Pemberian Ekstrak Purwoceng (Pimpinella
Alpina Molk.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya orang lain yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian bogor.
Jakarta, Januari 2013
Laura Chronika Hosianna Simanjuntak
B352100011
RINGKASAN
LAURA CHRONIKA HOSIANNA SIMAJUNTAK. Histomorfologi Tubulus
Seminiferus dan Kelenjar Prostat Tikus (Rattus Norvegicus) Serta Konsentrasi
Hormon Androgen Pasca Pemberian Ekstrak Purwoceng (Pimpinella Alpina
Molk.). Dibimbing oleh BAMBANG PURWANTARA dan ADI WINARTO.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki beragam jenis
tanaman herbal. Pimpinella alpina Molk. atau yang dikenal sebagai purwoceng
adalah salah satu tanaman herbal indonesia yang memiliki khasiat sebagai
afrodisiaka yang mampu meningkatkan libido pada jantan. Selain itu, telah
dilaporkan bahwa terjadi peningkatan kadar hormon LH (lutheinizing hormone)
dan testosteron dalam serum darah tikus jantan yang diberikan ekstrak
purwoceng. Pemberian ekstrak purwoceng diduga selain dapat meningkatkan
hormon LH dan testosteron, berpengaruh terhadap organ primer dan sekunder
pada jantan serta konsentrasi hormon androgen (testosteron dan
dihidrotestosteron). Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari
spermatogenesis, kelenjar prostat dan produksi hormon androgen yaitu testosteron
dan DHT (dihidrotestosteron) tikus pasca pemberian ekstrak purwoceng serta
menentukan dosis terbaik pada masing-masing kelompok umur tikus jantan.
Perlakuan dilakukan selama 14 hari dengan mencekok tiga kelompok umur tikus
jantan (pubertas, dewasa, dan tua) dengan dosis 25 mg dan 50 mg serta 0 mg
sebagai kontrol. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya peningkatan derajat
spermatogenesis dalam tubulus seminiferus setelah semua kelompok umur
menerima ekstrak purwoceng. Selain itu, penelitian ini membuktikan adanya
peningkatan persentase aktivitas kelenjar prostat dalam memproduksi sekreta.
Dosis 50 mg merupakan dosis yang memberikan respon tertinggi bagi semua
kelompok umur. Pengaruh ekstrak purwoceng terhadap konsentrasi hormon
androgen (testosteron dan DHT) cenderung memberikan peningkatan dan
penurunan pada kelompok umur tertentu, namun belum menunjukkan pengaruh
yang signifikan (p>0.05). Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini bahwa
spermatogenesis, aktivitas kelenjar prostat dan produksi hormon androgen
meningkat pada semua umur, sedangkan pada umur pubertas produksi hormon
DHT menurun setelah pemberian ekstrak purwaceng.
Kata kunci : androgen, kelenjar prostat, purwoceng, spermatogenesis,
i
SUMMARY
LAURA CHRONIKA HOSIANNA SIMANJUNTAK. The Histomorphological
Of Seminiferous Tubules and Prostat Gland Of Rats (Rattus Norvegicus) and
Concentration Of Androgen Hormone After Given Purwoceng Extract
(Pimpinella alpina Molk.). Supervised by BAMBANG PURWANTARA and
ADI WINARTO.
Indonesia is one of the countries which has many kinds of herbal plants.
Pimpinella alpina Molk. well known as purwoceng is one of Indonesian herbal
plants which have aphrodisiaca actions may enhance libido in males. Moreover, it
has been reported that an increase the levels of LH (lutheinizing hormone) and
testosterone in blood serum of male rats given the purwoceng extract. The
increase of the LH and testosterone level thought to affect the primary and
secondary organs in males and level of androgens hormones (testosterone and
dihydrotestosterone or DHT). The objective of these experiment was to determine
the spermatogenesis, prostate glands activity and the production of androgen
hormone (testosterone and DHT) of rats after given of purwoceng extract and it
influence of dose and age. The treatment were given orally for 14 days in three
age groups (puberty, adult and old) of male rats by received the dose of 25 mg and
50 mg and 0 mg as control. The results shows an increase of the stage of
spermatogenesis in the seminiferous tubules after all age groups received
purwoceng extract with 50 mg dose of purwoceng was the best since it had the
highest response. In addition, these experiment shows there has been an increase
of the percentage of prostate glands activity producing prostate fluid. The animals
who received the 50 mg purwoceng extract showed the highest response at any
age. The effect of the purwoceng extract on the concentrations of androgens
(testosterone and DHT) was higher and lower in some age group, but has not
perfomed significant effects (p> 0.05). In conclusion of these experiment shows
the stage of spermatogenesis, prostate glands activity and the production of
androgen hormones increases at all ages, while at the age of puberty the DHT
hormone production decreases after giving purwaceng extract.
Keywords: androgen, Pimpinella alpina, prostat gland, spermatogenesis
ii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PRAKATA
Puji dan syukur penulis persembahkan pada Tuhan Yesus Kristus karena
atas berkatNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Histomorfologi
Tubulus Seminiferus dan Kelenjar Prostat Tikus (Rattus Norvegicus) serta
Konsentrasi Hormon Androgen Pasca Pemberian Ekstrak Purwoceng (Pimpinella
Alpina Molk.)” yang telah dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Oktober 2012.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program
Magister pada Program Studi Biologi Reproduksi Departemen Klinik, Reproduksi
dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada drh. Bambang Purwantara, M.Sc., Ph.D selaku ketua komisi
pembimbing dan drh. Adi Winarto, Ph.D selaku anggota komisi pembimbing atas
kontribusi dalam memberikan bimbingan, perhatian dan membina penulis
sehingga tesis ini dapat penulis selesaikan. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr selaku dekan Pascasarjana IPB,
Prof. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS., Ph.D. APVet selaku ketua
Departemen KRP Fakultas Kedokteran Hewan, serta Prof. Dr. drh. Mohamad
Agus Setiadi selaku ketua Program Studi BRP Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen Program Studi
BRP.
Penulis ucapkan terima kasih dengan rasa bangga kepada orang tua penulis
Ayahanda terkasih Piter Markus Simanjuntak, S.H., M.Si, yang senantiasa
mengiringi penulis dalam doa, dukungan dan kasih sayang dan kepada our
Edelweis, Ibunda terkasih Dumaria Siahaan (Alm). Terima kasih juga kepada
kakak, abang, dan adik tersayang Ezra Triyani Simanjuntak, SE. Ak., Mulia Hizki
Hatorangan Simanjuntak, SH. MH., Putri Karolina Pitria Simanjuntak, serta my
cher supérieurs Stefanus Jemianus Lepa, S.Pt atas doa dan dukungannya kepada
penulis.
Kepada drh. Nuryanto, M.Si, drh. Leni Maylina, M.Si, drh. Mawar
Subangkit, M.Si serta Neneng Mardianah, M.Si, sebagai rekan ilmiah terdekat,
penulis ucapkan terima kasih atas kebersamaan, kerjasamanya dan atas ide-ide
ilmiah serta motivasi yang telah diberikan sampai saat ini. Terima kasih pula
penulis sampaikan kepada teknisi dan laboran lab. Histologi, lab. Mikrobiologi
SPSS, lab. Patologi dan khususnya SEAMEO BIOTROP. Tak lupa juga penulis
sampaikan terimakasih kepada rekan-rekan mayor BRP dan IBH angkatan 2010–
2012 serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu terima
kasih atas dukungan yang senantiasa diberikan selama masa studi.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat. Terima kasih dan salam.
Jakarta, Januari 2013
Laura Chronika Hosianna Simanjuntak
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Kerangka Pemikiran
2
Hipotesis
4
TINJAUAN PUSTAKA
5
Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)
5
Kandungan Bahan Aktif Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)
6
Tikus (Rattus norvegicus)
7
Spermatogenesis
7
Kelenjar Prostat
10
Hormon Androgen (Testosteron dan Dihidrotestosteron)
13
METODE PENELITIAN
15
Waktu dan Lokasi Penelitian
15
Hewan Coba
15
Bahan Penelitian
15
Persiapan Hewan Coba
15
Protokol Kerja
15
Analisis Histomorfologis Tubulus Seminiferus
16
Analisis Histomorfologis Kelenjar Prostat
17
Prosedur Histomorofologis Tubulus Seminiferus dan Kelenjar Prostat 17
Analisis Hormon
18
Analisis Data
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
19
Hasil
19
Derajat Spermatogenesis
19
Aktivitas Kelenjar Prostat
22
Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron)
26
iv
Konsentrasi Hormon Androgen (Dihidrotestosteron)
27
Pembahasan
28
SIMPULAN DAN SARAN
37
Simpulan
37
Saran
37
DAFTAR PUSTAKA
38
LAMPIRAN
44
v
DAFTAR TABEL
1
Deskripsi Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)
2
Kriteria Penilaian Derajat Spermatogenesis
16
3
Kriteria Histomorfologis Kelenjar Prostat Aktif dan Non Aktif
17
4
Derajat spermatogenesis
21
5
Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron) (ng/mL)
27
6
Hasil Uji Duncan Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron)
27
7
Konsentrasi Hormon Androgen (Dihidrotestosteron) (ng/mL)
28
8
Hasil Uji Duncan Konsentrasi Hormon Androgen (Dihidrotestosteron) 28
vi
6
DAFTAR GAMBAR
1
Bagan Kerangka Pemikiran
4
2
Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)
5
3
Histologi Tubulus Seminiferus “10x”
8
4
Histologi Umum Kelenjar Prostat “4x”
12
5
Histologi Ujung Kelenjar Prostat “40x”
12
6
Jalur Biosintesis Testosteron
13
7
Struktur Kimia Testosteron dan Dihidrotestosteron
14
8
Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Pubertas (HE)
19
9
Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Dewasa (HE)
20
10
Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Pubertas (HE)
20
11
Gambaran Histologis Aktivitas Kelenjar Prostat (HE) “10x”
23
12
Gambaran Histologis Aktivitas Kelenjar Prostat (HE) “40x”
24
13
Persentase Aktivitas Ujung Kelenjar Prostat (Aktif dan Non aktif)
(Faktor Dosis Terhadap Aktivitas Kelenjar Prostat)
14
25
Persentase Aktivitas Ujung Kelenjar Prostat (Aktif dan Non aktif)
(Faktor Umur Terhadap Aktivitas Kelenjar Prostat)
vii
26
DAFTAR LAMPIRAN
1
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis
(Dosis-umur pubertas)
2
44
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis
(Dosis-umur dewasa)
3
45
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis
(Dosis-umur tua)
4
46
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis
(Umur-dosis 0)
5
47
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis
(Umur-dosis 25 mg)
6
48
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis
(Umur-dosis 50 mg)
7
49
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(testosteron) (Dosis-umur pubertas)
8
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(testosteron) (Dosis-umur dewasa)
9
52
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(testosteron) (Umur-dosis 0)
11
53
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(testosteron) (Umur-dosis 25 mg)
12
54
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(testosteron) (Umur-dosis 50 mg)
13
55
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(DHT) (Dosis-umur pubertas)
14
56
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(DHT) (Dosis-umur dewasa)
15
57
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(DHT) (Dosis-umur tua)
16
51
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(testosteron) (Dosis-umur tua)
10
50
58
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(DHT) (Umur-dosis 0)
59
viii
17
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(DHT) (Umur-dosis 25 mg)
18
60
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(DHT) (Umur-dosis 50 mg)
61
ix
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu herbal di Indonesia yang telah dikenal sebagai tanaman
afrodisiaka adalah purwoceng (Pimpinella alpina Molk.). Herbal dari genus
Apiaceae ini terkenal karena khasiatnya yang dapat meningkatkan stamina dan
meningkatkan libido. Purwoceng telah menjadi salah satu komoditasi tanaman
obat komersial yang diolah sebagai obat tradisional (jamu) ataupun minuman khas
masyarakat di daerah asalnya yaitu dataran tinggi Dieng. Pada saat ini purwoceng
telah diperdagangkan dan dikonsumsi sebagai obat atau jamu diantaranya berupa
bubuk dan kapsul atau dijadikan sebagai campuran kopi, teh, dan susu. Seluruh
bagian tanaman purwoceng dapat digunakan sebagai obat tradisional. Menurut
Heyne (1987), ekstrak purwoceng dapat digunakan sebagai obat diuretik, tonik,
dan terutama sebagai afrodisiaka.
Darmawati dan Roostika (2006) melaporkan bahwa beberapa aspek yang
telah diteliti sampai tahun 2006 antara lain mengenai budidaya, kultur in vitro,
fitokimia serta efek farmakologi sedangkan aspek reproduksi belum banyak
dilaporkan. Sidik et al. (1975) melaporkan bahwa dalam akar purwoceng
terkandung bergapten, isobergapten, dan spondin yang semuanya termasuk ke
dalam kelompok furanokumarin. Caropeboka dan Lubis (1975) melaporkan pula
bahwa purwoceng mengandung senyawa kumarin, saponin, sterol, alkaloid, dan
beberapa macam senyawa gula (oligosakarida). Penelitian yang dilakukan oleh
Suzery et al. (2004) menemukan adanya kandungan senyawa stigmasterol dalam
akar purwoceng.
Selain itu, aktivitas farmakologis dari ekstrak purwoceng memiliki daya
kerja untuk meningkatkan aktifitas motorik, meningkatkan sensibilitas,
merangsang susunan syaraf pusat serta dapat meningkatkan tingkah laku seksual
pada jantan (Caropeboka 1980). Beberapa peneliti masih menduga bahwa
mekanisme kerja senyawa aktif dari purwoceng berpengaruh langsung untuk
merangsang syaraf pusat atau langsung diubah menjadi testosteron di dalam
darah. Berbagai penelitian ekstrak purwoceng dalam bidang reproduksi yang
telah dilakukan antara lain peningkatan level hormon LH (luteinizing hormone),
FSH (follicle stimulating hormone), testosteron (Taufiqqurachman 1999), tingkat
libido, spermatogenesis (Juniarto 2004), bobot ovarium dan uterus (Hapsari
2011), efek androgenik terhadap anak ayam jantan (Usmiati 2010) dan androgenik
pada organ reproduksi betina dara (Achmadi 2011).
Konsentrasi hormon testosteron akan meningkat secara normal ketika
masa pubertas dicapai dan menurun seiring meningkatnya umur. Menurut
Taufiqqurachman (1999) peningkatan level hormon LH dan testosteron yang
terjadi sebagai akibat dari senyawa bioaktif yang terdapat pada purwoceng
berhubungan dengan keadaan tubulus seminiferus dalam proses pembentukan
spermatozoa. Selain itu, hormon androgen juga bertanggung jawab terhadap
perkembangan kelenjar asesoris diantaranya kelenjar prostat. Pada manusia
dengan adanya peningkatan hormon dihidrotestosteron (DHT) yang berlebihan
dapat memicu hiperplasia kelenjar prostat dan menyebabkan benign prostatic
hyperplasia (BPH).
2
Menurut Sjamsuhidayat dan De Jong (1998), adanya ketidaknormalan
kelenjar prostat diduga disebabkan oleh ketidakseimbangan sistem endokrin
khususnya golongan androgen yang berkorelasi dengan adanya pertambahan umur
dan pola hidup. Informasi mengenai kelanjutan efek dari peningkatan level
hormon testosteron terhadap organ reproduksi jantan dan hormon androgen
lainnya yaitu DHT masih belum jelas. Hormon DHT diduga berpengaruh terhadap
kelenjar prostat. Sampai saat ini penelitian yang menitikberatkan pengaruh
pemberian ekstrak purwoceng terhadap organ reproduksi jantan khusunya pada
kelenjar asesoris masih jarang dilaporkan. Kelenjar asesoris memiliki peran
penting pada hewan jantan. Oleh karena itu diperlukan studi mengenai
histomorfologi tubulus seminiferus dan kelenjar prostat tikus (Rattus novergicus)
serta konsentrasi hormon androgen pasca pemberian ekstrak purwoceng
(Pimpinella alpina Molk.).
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari tahapan
spermatogenesis dalam tubulus seminiferus dan aktifitas kelenjar prostat
kelompok umur tikus jantan pasca pemberian ekstrak purwoceng. Tujuan lainnya
adalah untuk mempelajari tingkat produksi hormon androgen (testosteron dan
DHT) setiap kelompok umur tikus jantan pasca pemberian ekstrak purwoceng
serta menentukan dosis yang memberikan pengaruh terbaik pada masing-masing
kelompok umur.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai
perubahan histomorfologik dan kinerja hormon androgen pada tikus jantan pasca
pemberian ekstrak purwoceng. Manfaat lainnya diharapkan dapat memberikan
informasi awal mengenai pengaruh ekstrak purwoceng terhadap produksi semen.
Kerangka Pemikiran
Pimpinella alpina Molk. atau lebih dikenal sebagai tanaman purwoceng
dilaporkan memiliki khasiat afrodisiaka yang mampu meningkatkan kadar
hormon testosteron pada tikus jantan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa
purwoceng memiliki kandungan beberapa senyawa kimia antara lain saponin,
sterol, stigmasterol, bergapten, isobergapten, spondin, kumarin, sejumlah kecil
alkaloid dan karbohidrat golongan oligosakarida. Efek dari beberapa kandungan
senyawa bioaktif tersebut dapat meningkatkan sensibilitas, merangsang susunan
syaraf pusat dan meningkatkan aktivitas motorik. Beberapa senyawa bioaktif yang
terkandung di dalam purwoceng dapat memacu peningkatan hormon testosteron
dan memberikan pengaruh terhadap tingkah laku seksual pada hewan jantan.
Hormon testosteron digunakan sebagai substrat dasar dalam spermatogenesis di
dalam tubulus seminiferus. Pada tubulus seminiferus terdapat beberapa kelompok
sel-sel germinal yang menyusun beberapa lapisan dan setiap lapisan menunjukkan
perbedaan generasi (Widotama 2008). Jumlah sel spermatogenik sangat
tergantung pada aktivitas tubulus seminiferus yang dipengaruhi oleh sistem
hormon, sehingga faktor endokrin mempunyai efek paling penting terhadap
3
spermatogenesis. Testosteron di produksi melalui rangsangan hipotalamus,
hipofisis anterior dan sampai ke organ target yaitu testis. Tingginya konsentrasi
testosteron akan memengaruhi stimulasi ke hipotalamus melalui mekanisme
umpan balik negatif (negative feedback mechanism) dan secara otomatis menekan
pengeluaran GnRH (Gonadothropin Releasing Hormone).
Hormon testosteron kemudian direduksi menjadi hormon DHT melalui
suatu mekanisme enzimatis. Enzim yang bertanggung jawab dalam proses
tersebut adalah enzim 5α-reductase. DHT adalah metabolit sekunder dari hormon
testosteron yang lebih kuat khususnya dalam perkembangan organ kelamin
sekunder pada jantan. Hormon DHT memiliki peran yang penting dalam
perkembangan kelenjar prostat. Adanya peningkatan level hormon testosteron
diduga selain memengaruhi proses spermatogenesis, juga akan memberikan
pengaruh terhadap konsentrasi metabolit sekundernya yaitu DHT dan dapat
memberikan pengaruh terhadap aktivitas organ sekunder lainnya seperti kelenjar
asesoris khususnya prostat dalam memproduksi cairan prostat.
Secara alamiah, pada masa pubertas terjadi peningkatan level hormon
testosteron yang optimum dan menurun pada umur tua. Pemilihan umur hewan
coba juga menjadi salah satu pertimbangan. Pemilihan umur hewan coba juga
menjadi salah satu pertimbangan, karena diketahui bahwa terdapat perbedaan
konsentrasi hormonal ketika masa pubertas konsentrasi hormon androgen
(testosteron) meningkat dan pada umur tua konsentrasi hormon akan secara alami
menurun. Pemberian ekstrak purwoceng akan memengaruhi proses reproduksi
pada tikus jantan, yaitu keberadaan hormon androgen dalam sirkulasi darah
ataupun organ target dari masing-masing hormon (perubahan morfologi dan
aktivitas dari jaringan dan organ reproduksi tertentu).
Berdasarkan gagasan yang telah dijelaskan, terdapat beberapa pertanyaan
yang ingin dijawab melalui penelitian ini. Pertama, apakah pemberian ekstrak
purwoceng dengan dosis bertingkat memengaruhi derajat spermatogenesis dalam
tubulus seminiferus tikus jantan pada setiap kelompok umur. Kedua, adakah
pengaruh dari pemberian ekstrak purwoceng terhadap kinerja kelenjar prostat.
Ketiga, apakah purwoceng memengaruhi aktivitas kelenjar prostat. Keempat,
bagaimanakah konsentrasi hormon androgen (testosteron dan DHT) tikus putih
jantan pada setiap kelompok umur dan apakah terdapat perbedaan respon terkait
dosis ekstrak purwoceng pada tingkatan umur tertentu. Melalui penelitian inilah
diharapkan dapat dibuktikan, apakah pemberian herbal yang telah dikenal sebagai
afrodisiaka yang berasal dari ekstrak purwoceng akan memengaruhi tubulus
seminiferus, kelenjar prostat serta hormon androgen. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian terhadap tubulus semiferus untuk membuktikan derajat
spermatogenesis dan aktivitas kelenjar prostat serta pengujian hormon androgen.
4
Ekstrak purwoceng
Hipotalamus
Hipofisa anterior
FSH
LH
Testis
(sertoli&leydig)
Testosteron
Organ seks primer
(testis : Spermatogenesis)
Enzim 5α-reduktase
Dihidrotestosteron
Organ seks sekunder
(asesoris : prostat)
Gambar 1
Bagan Kerangka Pemikiran
Hipotesis
Berdasarkan uraian kerangka pemikiran maka dapat diambil hipotesis
sebagai berikut, yaitu : (1) terjadi peningkatan derajat spermatogenesis dalam
tubulus seminiferus pada setiap kelompok umur tikus putih jantan pasca
pemberian ekstrak purwoceng; (2) terjadi peningkatan aktivitas kelenjar prostat
pada setiap kelompok umur tikus putih jantan pasca pemberian ekstrak
purwoceng; (3) terjadi peningkatan produksi hormon androgen (testosteron dan
DHT) pada setiap kelompok umur tikus putih jantan pasca pemberian ekstrak
purwoceng.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)
Purwoceng memiliki nama latin Pimpinella pruatjan Molk. atau
Pimpinella alpina Molk. Tanaman purwoceng (Gambar 2) merupakan salah satu
tanaman yang termasuk dalam tanaman herba aromatik komersial endemik yang
dapat digunakan sebagai afrodisiak, diuretik, dan tonik. Tanaman purwoceng
memiliki berbagai nama daerah yaitu Gebangan Depok, Suripandak Abang, atau
Antanan Gunung (Soenanto et al. 2009). Tanaman purwoceng termasuk jenis
tanaman terna menahun. Tanaman ini dapat ditemukan di dataran tinggi Dieng.
Purwoceng juga ditemukan di sekitar gunung Gede Pangrango (Jawa Barat)
namun keadaannya sekarang tidak diketahui. Di Jawa Timur, purwoceng
ditemukan di pegunungan Anjasmoro dalam keadaan genting (Heyne 1987).
Menurut hasil penelitian Hidayat et al. (2007) di kawasan Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru masih ditemukan 13 jenis tanaman obat langka salah satunya
purwaceng, tetapi tanaman ini hanya ditemukan di daerah perkebunan penduduk.
Gambar 2
Tanaman purwoceng
Erosi genetik secara besar-besaran mengakibatkan populasi tanaman
purwoceng di Gunung Pangrango Jawa Barat dan area pegunungan di Jawa Timur
musnah karena pembabatan bagian akarnya yang dimanfaatkan sebagai viagra
Jawa (Darwati dan Roostika 2006). Tahun 1990, Rifai melaporkan bahwa
tanaman purwoceng digolongkan sebagai salah satu tumbuhan obat langka dengan
kategori genting (endangered species). Daerah pengembangan budidaya
purwoceng saat ini hanya di Dataran Tinggi Dieng dengan luasan terbatas, pada
ketinggian 1.850 – 2.050m dpl, dan suhu antara 15 – 21°C (Rahardjo et al. 2006).
Taksonomi tanaman purwoceng menurut Rahardjo (2003) adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotiledonae
Subclass
: Rosidae
Ordo
: Apiales (Umbelliflorae)
6
Family
Genus
Species
Tabel 1
Spesifikasi
: Apiaceae (Umbelliferae)
: Pimpinella
: Pimpinella alpina Molk.
Deskripsi Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)
Deskripsi
Habitat
Semak, menutup tanah, tinggi ± 25 cm
Jenis akar
Tunggang seperti gingseng
Jenis batang Terlihat basah, semu (antara batang dan tangkai), bulat,
lunak, hijau pucat atau keunguan, panjang ± 20 cm,
jumlah tangkai per pohon ± 38-46 buah
Jenis daun
Majemuk dan menyirip, berbentuk seperti jantung atau
payung (bulat), panjang ± 3 cm, lebar ± 2,5 cm, tepi
daun bergerigi, ujung tumpul, pangkal bertoreh, tangkai
panjang ± 5 cm, coklat kehijauan, hijau
Bunga
Majemuk, bentuk payung, tangkai silindris, panjang + 2
cm, kelopak bentuk tabung, hijau, benang sari putih,
putik bulat, hijau, mahkota berambut, coklat
Buah
Lonjong, kecil, hijau
Biji
Lonjong, kecil, coklat
Sumber: Darmawati dan Roostika (2006), Achmadi (2011), Hapsari (2011), Sunanto et al. (2009)
Kandungan Bahan Aktif Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)
Penelitian mengenai kandungan bahan aktif dari tanaman purwoceng telah
banyak dilakukan. Purwoceng mengandung metabolit sekunder yaitu turunan
kumarin, sterol, saponin, alkaloid (Caropeboka dan Lubis 1975), kelompok
furanokumarin seperti bergapten, isobergapten, dan sphondin (Sidik et al. 1975),
saponin, alkaloid, glikosida, kumarin, triterpenoid-steroid, flavonoid, dan tanin
(Rostiana et al. 2003). Menurut Suzery (2004) dan Henny (2002) terdapat adanya
senyawa stigmasterol dalam tanaman purwoceng. Penelitian yang dilakukan oleh
Hernani dan Rostiana (2004) menunjukkan bahwa yang teridentifikasi secara
kualitatif adalah senyawa turunan kumarin, seperti bergapten, xanthotoksin,
mermesin, dan 6,8 dimetoksi umbelliferon.
Menurut Rahardjo et al. (2006) terdapat senyawa sitosterol dan
antioksidan yaitu berupa vitamin E dalam tanaman purwoceng. Menurut Anwar
(2001) hasil penelitian mengenai kandungan senyawa bahan aktif dari purwoceng
yang diketahui memberi efek afrodisiaka diantaranya turunan steroid, saponin,
alkaloid, dan tanin, dimana senyawa-senyawa tersebut dapat memicu dalam
melancarkan sistem peredaran darah. Selain itu, menurut Rahardjo et al. (2006),
zat yang berkhasiat pada tanaman purwoceng khususnya yang banyak terdapat
pada bagian akar adalah senyawa golongan steroid yaitu sitosterol dan
stigmasterol.
7
Tikus (Rattus norvegicus)
Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah
tikus. Strain tikus laboratorium yang paling umum digunakan khususnya dalam
penelitian reproduksi diyakini strain albino hasil domestikasi dari tikus Norwegia
yaitu Rattus norvegicus (Hrakiewicz 2007). Tikus (Rattus norvegicus) telah
diketahui sifat-sifatnya secara sempurna, mudah dipelihara, dan merupakan hewan
yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattus
norvegicus antara lain memiliki berat 150-600 g, hidung tumpul dan badan besar
dengan panjang 18-25 cm, kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta
telinga relatif kecil dan tidak lebih dari 20-23 mm. Tikus (Rattus norvegicus)
sering digunakan pada berbagai macam penelitian karena tikus ini memiliki
kemampuan reproduksi yang tinggi, murah serta mudah untuk mendapatkannya
(Ballenger 2000). Klasifikasi tikus (Rattus norvegicus) menurut Myers dan
Armitage (2004) yaitu :
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Subordo
: Sciurognathi
Famili
: Muridae
Subfamili
: Murinae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu
yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan. Ketiga galur tersebut adalah
Sprague Dawley yang berwarna albino putih, berkepala kecil dan ekornya lebih
panjang dari badannya. Galur Wistar ialah jenis tikus yang ditandai dengan kepala
agak besar dan ekor yang lebih pendek. Galur Long Evans ialah jenis tikus yang
ukurannya lebih kecil daripada tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala
dan tubuh bagian depan (Malole dan Pramono 1989). Galur Sprague Dawley
mempunyai daya tahan terhadap penyakit dan cukup sensitif dibandingkan dengan
galur lainnya (Hrakiewicz 2007).
Spermatogenesis
Spermatogenesis merupakan proses pembelahan dan diferensiasi sel yang
berlangsung di tubuli seminiferi testis dengan produk akhir spermatozoa. Proses
tersebut melibatkan sel-sel germinal testis, yaitu spermatogonia, spermatosit dan
spermatid serta didukung oleh sel somatis (sel Sertoli) dan sel Leydig di jaringan
interstisial (Gambar 3). Spermatogenesis terbagai atas tiga proses penting, yaitu
spermatositogenesis (pembelahan mitosis), meiosis, dan spermiogenesis
(diferensiasi spermatid) (Johnson et al. 2000). Spermatogenesis adalah proses
dimana
spermatogonia
berkembang
menjadi
spermatozoa
matang.
Spermatogenesis merupakan proses gametogenesis pada jantan. Spermatogenesis
sangat tergantung pada kondisi tubulus seminiferus yang optimal, dimulai saat
pubertas dan biasanya menurun pada umur tua.
8
Spermatozoa
Gambar 3 Histologi Tubulus Seminiferus “10x”
(Ross et al. 2006)
Penurunan kuantitas dan kualitas sperma dipengaruhi oleh produksi
hormon sesuai dengan peningkatan umur. Spermatogenesis dimulai dari membran
basal tubulus seminiferus, dimana di sepanjang bagian tersebut terdapat
spermatogonium yang diakhiri pada bentuk spermatozoa dan akan dilepaskan di
lumen (saluran bagian tengah tubulus seminiferus) (Walker 2010). Proses
spermatogenesis dibagi menjadi beberapa tahap yang berbeda, masing-masing
sesuai jenis dari sel yang terbentuk. Tahapan-tahapan tersebut adalah :
A. Spermatositogenesis
Spermatositogenesis dimulai dengan berkumpulnya spermatogonia
primordial pada tepi membran basal dari epitel germinativum dan diproses
menuju lumen. Spermatositogenesis merupakan proses dimana spermatogonia
yang merupakan struktur primitif mengalami mitosis berkali-kali. Selama proses
spermatogenesis berlangsung, spermatogonia akan mengalami tahapan
perkembangan selanjutnya menjadi spermatosit, spermatid dan spermatozoa
dalam satu siklus. Lapisan sel terdalam dari sel-sel epitelium yang melekat pada
membran basal disebut spermatogonium (Adyana 2008). Spermatogonium
(jamak: spermatogonia) adalah gametogenium intermediate pada jantan (germ
cell) dalam rangkaian proses pembentukan spermatozoa. Setiap pembelahan sel
dari spermatogonium ke spermatid, sel-sel tetap terhubung satu sama lain melalui
jembatan sitoplasma (Garner dan Hafez 2000). Spermatogonia ini mendapatkan
nutrisi dari sel-sel sertoli dan berkembang menjadi spermatosit primer.
Spermatogonia diaktivasi dalam bentuk aktif spermatogonia tipe A,
terdapat beberapa generasi dari spermatogonia tipe A, tergantung dari spesiesnya.
Sebagian besar spermatogonia tipe A dibagi dalam bentuk spermatogonia
intermediate (Pineda dan Faulkner 2003). Spermatogonia tipe A ini akan
membelah empat kali untuk berdiferensiasi menjadi spermatogonia tipe B.
Spermatogonia tipe B akan bermigrasi ke arah sentral di antara sel-sel Sertoli.
Setiap spermatogonia tipe B di dalam lapisan sel Sertoli akan mengalami
modifikasi dan melakukan pembelahan mitosis terakhir untuk menjadi spermatosit
primer (Guyton dan Hall 2005).
9
Deskripsi morfologi dari jenis-jenis spermatogoium yaitu : (a) sel tipe A
dengan inti gelap dimana sel-sel ini akan memperbanyak diri untuk memberi
pasokan spermatogonium yang konstan untuk kepentingan spermatogenesis ; (b)
sel tipe antara (intermediate/In) dengan inti pucat, jenis sel ini akan mengalami
pembelahan mitosis untuk menghasilkan sel tipe B; (c) sel tipe B, sel ini akan
membelah diri untuk menghasilkan spermatosit primer. Morfologi dari
spermatosit primer adalah sel pada lapis berikutnya setelah spermatogonium B
yang lebih besar diameternya, intinya lebih besar serta lebih banyak mengandung
khromatin. Umur sel tersebut pendek karena segera mengalami pembelahan kedua
(mitosis) menjadi spermatid, dari satu sel spermatozoa menjadi empat spermatid
yang secara morfologis identik, tetapi gen yang dikandung dapat berbeda. Ukuran
sel yang kecil, sedikit kromatin pada inti dan sentriol masih terlihat.
B. Meiosis
Setiap spermatosit primer mengandung kromosom diploid (2n) pada inti
selnya dan akan mengalami proses meiosis I. Spermatosit I (primer) akan menjauh
dari lamina basalis dan sitoplasma akan semakin banyak Setiap spermatosit
primer akan menghasilkan dua sel, yaitu spermatosit sekunder haploid. Masingmasing spermatosit sekunder selanjutnya akan menjalani proses meiosis II untuk
menghasilkan 2 buah spermatid haploid (Garner dan Hafez 2000). Sitokinesis
pada meiosis I dan II ternyata tidak membagi sel benih yang lengkap terpisah, tapi
masih berhubungan lewat suatu jembatan (disebut juga sebagai interceluler
bridge). Dibandingkan dengan spermatosit I, spermatosit II memiliki inti yang
gelap.
C. Spermiogenesis
Merupakan transformasi spermatid menjadi spermatozoa oleh serangkaian
perubahan morfologi yang berlangsung dengan cepat secara kolektif dimana
setelah kehilangan sebagian dari sitoplasma, spermatid kemudian mengalami
diferensiasi menjadi spermatozoa. Spermiogenesis menurut Garner dan Hafez
(2000) meliputi 4 tahap yaitu tahap golgi (golgi phase), tahap tudung (cap phase),
tahap akrosom (acrosomal phase) dan tahap pematangan (maturation phase).
a. Tahap golgi akan terbentuk badan golgi, axonema dan terjadi kondensasi
pada DNA. Tahap ini ditandai dengan pembentukan butiran proacrosomal
dalam aparatus golgi, dari penggabungan butiran menjadi granul akrosom
tunggal kemudian granul akrosom menjadi granul inti. Selain itu, sentriol
proksimal akan bermigrasi dekat dengan inti yang diperkirakan
membentuk dasar dari ekor ke kepala.
b. Tahap tudung dimana saat akrosom makin besar kemudian membentuk
lipatan tipis melingkupi bagian kutub yang akan menjadi bagian depan.
Pada akhirnya terbentuk semacam tutup pada spermatozoon.
c. Tahap akromosom, terjadi redistribusi bahan akrosom. Nukleoplasma
berkondensasi, sementara itu spermatid memanjang. Bahan akrosom
kemudian menyebar membentuk lapisan tipis meliputi kepala dan tudung,
sampai akrosom dan tudung kepala membentuk tudung akrosom.
Akrosom mengandung komponen karbohidrat dan enzim hidrolisa yaitu
hyaluronidase, neuroaminidase, fosfatase, dan protease. Sementara itu inti
spermatid memanjang dan menipis. Butiran nukleoplasma mengalami
10
transformasi menjadi filamen-filamen yang lebih pendek dan tebal serta
kasar.
d. Tahap pematangan merupakan transformasi akhir dari spermatid yang
memanjang ke dalam sel yang akan dilepaskan ke dalam lumen tubulus
seminiferus. Tahap ini melibatkan perubahan bentuk spermatid sesuai
dengan ciri spesies. Ketika akrosom terbentuk sentriol pun bergerak
kekutub yang bersebrangan. Sentriol terdepan membentuk flagellum,
sentriol-sentriol membentuk di sekeliling pangkal ekor. Mitokondria
membentuk cincin-cincin di bagian middle piece ekor, dan fibrosa pada
bagian luar. Mikrotubul muncul dan berkumpul dibagian samping
spermatid membentuk satu batang besar. Ketika ekor mengalami
diferensiasi, sitoplasma sisa yang diselaputi membran melepaskan diri
kesamping (reduksi sitoplasma difagosit oleh sel Sertoli).
Kelenjar Prostat
Organ reproduksi pada jantan dilengkapi dengan kelenjar-kelenjar asesoris
yaitu kelenjar vasikularis, kelenjar prostat, dan kelenjar bulbouretralis. Kelenjar
ini memiliki konsistensi kenyal, elastis dan banyak saluran berbentuk tubulo
alveolar yang merupakan kelenjar-kelenjar submukosa dan kelenjar prostatis.
Kelenjar prostat memiliki fungsi sebagai penghasil cairan semen yang
menyumbang hingga 30 persen dari volume plasma semen. Kelenjar prostat
memproduksi cairan seminal dan sekresi lain yang menjaga kelembaban saluran
uretra. Saluran-saluran tersebut berhubungan dengan uretra. Lumen kelenjarkelenjar dan duktus-duktus dibatasi oleh epitelium silindris sederhana. Kelenjar
prostat pada rodensia terdiri dari dua bagian yaitu bagian ventral dan prostat
dorsalateral (Roth MY dan Page ST 2011). Menurut Jesik, et al 1982 dalam
Mohamad et al. (2001) kelenjar prostat tikus dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu
dorsal (DP), lateral (LP), dan ventral (VP).
Masing-masing lobus prostat dikelilingi oleh stroma yang sangat tipis dan
hanya terdiri dari beberapa lapis sel spindle yang diselingi oleh serat kolagen
diantaranya (Harmelin et al. 2005). Prostat berupa kelenjar yang terletak di bawah
kantung kemih dan mengelilingi saluran uretra (Gambar 4). Histologi kelenjar
prostat terdiri dari stroma dan epitel glandular yang berbentuk kuboid (Gambar 5).
Penyebaran prostat meluas sejauh saluran kelenjar bulbourethral. Ukuran prostat
berbeda-beda, protat banteng lebih kecil jika dibanding babi hutan (Hafez 2000).
Lapisan epitel pada kelenjar prostat berbentuk kuboid, dengan sitoplasma
eosinofilik granular dan inti basal kecil yang seragam, lumen kelenjar yang relatif
besar dan mengandung partikulat sekresi eosinofilik yang melimpah. Bagian
lateral prostat memiliki permukaan luminal yang datar, dengan lipatan mukosa
yang tersebar dimana-mana. Prostat bagian dorsal pada tikus terdiri dari saluran
bercabang dan kelenjar dilapisi oleh epitel kolumnar sederhana dan terkadang
agak berlapis dan berumbai. Prostat bagian ventral juga dilapisi oleh mukosa datar
dengan rumbai lipatan sel-sel epitel (Słuczanowska 2006).
Lapisan sel-sel sekretori memiliki sedikit sitoplasma eosinofilik granular
ringan dan dari pusat sampai basal memiliki keseragaman inti, yang berisi
nukleolus kecil. Lumena glandular mengandung sekresi eosinofilik yang
homogen. Lobus umumnya dimanifestasikan oleh kapsul mesothelial berlapis
11
tipis yang memisahkan berbagai lobus dari satu sama lain (Harmelin et al. 2005
dan Santamari 2007). Fungsi kelenjar prostat adalah menambah cairan alkalis
pada cairan seminalis untuk melindungi spermatozoa. Teori yang telah
dikemukakan berdasarkan faktor histologi, hormon, dan faktor perubahan usia
ialah bahwa konsentrasi hormon DHT dalam tubuh merupakan hormon utama
yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat (Roth MY dan Page ST 2011).
Kelenjar ini merupakan kelenjar yang terletak di bawah vesika urinaria melekat
pada dinding bawah vesika urinaria di sekitar uretra bagian atas. Letaknya di
bawah kandung kemih mengelilingi uretra dan terdiri dari kelenjar majemuk,
saluran dan otot polos.
Berbeda dengan manusia, kelenjar prostat terbungkus oleh stroma dan
kapsul ke dalam kelenjar tunggal tanpa jaringan adiposa. Prostat tikus dibagi
menjadi empat lobus berbeda. Setiap lobus dikelilingi dan dipisahkan antar bagian
oleh fibrosa dan jaringan ikat adiposa (Harmelin 2005). Kelenjar prostat
berkembang dari invaginasi epitel dari sinus urogenital posterior di bawah
pengaruh mesenkim. Pembentukan dari kelenjar prostat membutuhkan pengaruh
5α-dihydrotestosterone yang disintesa dari testosteron fetal oleh 5α-reductase
(Nevalainen et al. 2000). Enzim ini dijumpai pada sinus urogenital dan genitalia
ekternal. Defisiensi 5α-reductase akan menyebabkan prostat yang mengecil atau
sama sekali tidak ada, walaupun epididimis, vasa deferentia dan vesika seminalis
tetap normal. Sekresi prostat merupakan komponen utama dalam cairan seminal
yang kaya akan fosfatase asam, yaitu enzim yang dihasilkan terutama oleh
kelenjar prostat dan didapatkan dalam kadar tinggi di dalam semen (Wright et al.
2000).
Pada rodensia, sebagian besar fruktosa yang terdapat dalam plasma
ejakulat dihasilkan oleh kelenjar prostat dorsal. Sekreta kelenjar prostat berperan
penting untuk meningkatkan motilitas spermatozoa. Semen beberapa spesies
mamalia mengalami koagulasi sebelum ejakulasi tetapi kemudian mencair
kembali. Hal ini diduga disebabkan oleh kerja enzim-enzim proteolitik kelenjar
prostat. Kelenjar koagulasi juga terdapat pada rodensia seperti tikus dan mencit,
yaitu merupakan derivat dari kelenjar prostat dan kadang-kadang tampak sebagai
lobus anterior prostat (Tenzer 1996). Prostate spesific antigen (PSA) juga
merupakan konstituen yang ditemukan dalam cairan prostat .
Stroma atau sel otot polos, fibroblas dan sel endotel berada dalam stroma
dan sel-sel epitel yang sekretori sel, sel basal dan sel neuroendokrin (Shappell
2004). Jaringan stroma dan kapsul dipenuhi dengan reseptor adrogenik-α1.
Kelenjar-kelenjar seks asesoris jantan menyalurkan sekretanya ke dalam uretra.
Pada waktu terjadi ejakulasi, ejakulat yang pertama kali memasuki uretra adalah
ejakulat bebas sperma yang berasal dari kelenjar bulbouretra, kemudian disusul
dengan ejakulat kedua yang kaya sperma serta mengandung sekresi vesikula
seminalis dan kelenjar prostat (Garner dan Hafez 2000).
Pada waktu lahir, kelenjar prostat berukuran kecil dan tumbuh bersamaan
dengan peningkatan produksi androgen menjelang masa pubertas. Pada manusia,
ketika umur manusia dewasa kelenjar prostat masih stabil sampai umur 50 tahun
yang selanjutnya mulai terjadi pembesaran (Connell 1999). Cairan prostat adalah
cairan yang mengandung asam sitrat, kalsium, seng, asam fosfatase dan
fibrinolisin antara konstituen. Sifat yang sedikit basa dari cairan prostat penting
dalam keberhasilan fertilisasi ovum. Hal ini penting karena cairan vas deverens
12
relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme. Apabila tidak
terjadi penetralan akan berakibat penghambatan fertilisasi sperma. Pada manusia,
sekreta vagina bersifat asam (pH 3,5 sampai 4,0), sedangkan sperma tidak akan
bergerak secara optimal sampai pH sekitarnya meningkat antara 6 sampai 6,5.
Cairan prostat diduga dapat menetralkan sifat asam dari cairan lainnya setelah
ejakulasi dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas sperma (Guyton 1997).
Kelenjar prostat bekerja dibawah pengaruh hormon androgen.
Sel-sel kelenjar prostat tikus yang dilaporkan oleh Tsukise dan Yamada
(1981) dalam Desiani et al. (2000) mengandung karbohidrat netral dengan
konsentrasi sedang dan karbohidrat asam dengan konsentrasi lemah. Tidak
terdapatnya kandungan karbohidrat asam pada kelenjar prostat diperkirakan
karena kelenjar tersebut tidak mengandung karbohidrat asam, telah kehilangan
kemampuan mensintesis karbohidrat asam atau sel-sel kelenjar tersebut tidak
dalam fase mensintesis karbohidrat (Mohamad et al. 2001).
Uretha Smooth muscle Mucosa ephitelium
Prostat fluid
Vas deverens
Gambar 4
Histologi Umum Kelenjar Prostat “4x”
(Smith 2006)
lumen
Mucosa ephitelium
Smooth muscle
Prostat fluid
Gambar 5 Histologi Ujung Kelenjar Prostat “40x”
(Smith 2006)
13
Hormon Androgen (Testosteron dan Dihidrotestosteron)
Fisiologi reproduksi hewan jantan dikontrol secara endokrin oleh sekresi
Gonadothropin Releasing Hormone (GnRH) pada tingkat paracrine di
hipotalamus. Sintesa hormon steroid seks diproduksi terutama oleh gonad dan
diatur oleh dua jenis hormon gonadotropik yang dihasilkan oleh hipofisa anterior.
GnRH merangsang kelenjar hipofisa anterior untuk mengekskresikan dua hormon
gonadotropin, yaitu Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone
(FSH). FSH dsn LH dari hipofisa membawa pengaruh baik pada ovarium maupun
testis. Hipofisa anterior bertanggung jawab untuk berbagai hormon yang
mengontrol banyak aspek dari aktivitas fisiologis. LH merupakan perangsang
utama testosteron di dalam testis (Garner dan Hafez 2000).
Salah satu hasil dari proses steroidogenesis pada kelenjar adrenal adalah
prekursor androgen, dehidroepiandrosteron dan androstenedion (Murray 2003).
Androgen adalah hormon penting untuk jantan karena memiliki peran
karakteristik selama diferensiasi seksual jantan, tetapi juga selama pengembangan
dan pemeliharaan karakteristik sekunder jantan serta pemeliharaan
spermatogenesis. Prekursor langsung bagi hormon steroid adalah kolesterol,
proses pembentukan hormon androgen yaitu testosteron yang diawali dengan
pengangkutan kolesterol ke membran interna mitokondria oleh protein
Steroidogenic acute regulatory (StAR) (Brinkmann 2009). Kolesterol kemudian
mengalami proses oleh kerja enzim P450scc lalu terjadi konversi kolesterol
menjadi pregnenolon. Pregnenolon akan dikonversi menjadi 17-OH pregnenolone
dan progesteron yang kemudian akan terbentuk dehidroepiandrosteron dari 17-OH
pregnenolon serta androstenedion dari progesteron melalui 17-OH progesteron
yang selanjutnya kedua prekursor androgen ini akan dikonversi menjadi
testosteron (Gambar 6). (Brinkmann 2009).
Hormon testosteron 95% disintesis oleh sel Leydig dari kolesterol ester
yang tersimpan pada lemak yang berada didalam sel Leydig, dan sisanya berasal
dari dalam korteks adrenal serta hasil dari konversi prekusor dalam jaringan
perifer. Apabila rangsangan awal testosteron yang terjadi hanya sedikit maka
testosteron akan mempertahankan spermatogenesis untuk waktu yang lama
(Guyton dan Hall 2005). Konsentrasi testosteron yang beredar dalam tubuh
secara bertahap meningkat menjelang dewasa dan menurun secara bertahap ketika
umur semakin menjelang umur tua (Roth MY dan Page ST 2011).
Gambar 6 Jalur biosintesis Testosteron (Flück et al. 2003)
14
Dua androgen yang paling penting dalam reproduksi jantan adalah
testosteron dan dihidrotestosteron. Testosteron secara langsung terlibat dalam
pengembangan dan diferensiasi struktur duktus wolfii, sedangkan
dihidrotestosteron adalah metabolit sekunder dari testosteron (Shaw et al. 2005).
Marks (2004) menyimpulkan bahwa testosteron adalah androgen utama yang
bersirkulasi tetapi bukan nutrisi utama bagi perkembangan prostat, hormon yang
bertanggung jawab adalah DHT yang merupakan turunan atau metabolit sekunder
dari testosteron dalam sel prostat. Prinsip dari stimulasi hormon androgen di
dalam kelenjar prostat yaitu ketika level testosteron normal atau terjadi sedikit
peningkatan di dalam serum sebesar 10%-20% yang merupakan hasil dari
pemblokan enzim. Androgen intraprostat yang utama adalah DHT bukan
testosteron dan hanya produksi hormon DHT yang ditekan oleh enzim 5areductase (Wright et al.1999)
Hormon DHT adalah androgen yang lebih kuat dibandingkan dengan
hormon utamanya yaitu testosteron (Roth MY dan Page ST 2011). Testosteron
bertanggung jawab dalam diferensiasi duktus wolfii dan turunannya (vesika
seminalis, epididimis, dan saluran ejakulasi) setelah pubertas testosteron
menyebabkan maskulinasi (pembentukan massa otot, perubahan suara, libido,
pertumbuhan seks eksternal, dan spermatogenesis). Hormon DHT bertanggung
jawab pada diferensiasi normal genitalia eksternal, sedangkan pada dewasa dan
tua bertanggung jawab penuh dalam penyusutan kelenjar prostat, mengurangi
LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) (Marks 2004).
Testosteron dalam serum memiliki sekitar 10 kali lebih banyak dibanding
konsentrasi DHT, tetapi di dalam kelenjar prostat afinitas DHT terhadap reseptor
10 kali lebih tinggi dibanding level testosteron (Marks 2004). Konversi
testosteron menjadi dihidrotestosteron direduksi oleh enzim 5α-reductase (5AR),
yang ada dalam 2 bentuk: tipe 1 dan tipe 2, yang keduanya ditemukan dalam
prostat. Testoteron diubah menjadi dihidrostestosteron di dalam target jarigan
testosteron yang spesifik (Brinkmann 2009). Sebagian hormon dihidrostestosteron
dibentuk di jaringan perifer. Adapun struktur dari kedua hormon tersebut dapat
dilihat pada Gambar 7. Enzim 5 alfa reduktase menghilangkan ikatan rantai ganda
C4-5 yang terdapat pada hormon utamanya dengan penambahan dua atom
hidrogen pada struktur yang baru (Brinkmann 2009). Diduga hormon
dihidrotestosteron memainkan peran penting dalam menjaga pemeliharaan
perkembangan prostat.
Gambar 7
Struktur kimia Testosteron dan Dihidrotestosteron
(Brinkmann 2009)
15
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Oktober 2012
yang dilakukan pada tiga tempat yaitu Laboratorium Hewan Percobaan SEAMEO
BIOTROP, Laboratorium Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan
Farmakologi FKH IPB dan Laboratorium Mikrobiologi PSSP-IPB.
Hewan Coba
Penelitian ini menggunakan hewan coba tikus putih jantan Rattus
norvegicus strain Sprague Dawley dengan tiga umur yaitu pubertas (7-9 minggu)
(Mohamad 2001), dewasa (4-5 bulan), dan tua (16-18 bulan). Jumlah tikus putih
jantan yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 27 ekor. Hewan coba
tersebut diperoleh dari Laboratorium Patologi FKH IPB.
Bahan Penelitian
Bahan utama yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tanaman
purwoceng dengan umur panen 1 tahun. Bagian tanaman yang digunakan adalah
keseluruhan tanaman (akar, batang dan daun). Tanaman purwoceng diproses
dengan cara maserasi menjadi ekstrak kental dengan pelarut etanol 96% di
Laboratorium Uji Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Bogor.
Bahan-bahan lainnya adalah aquabidestilata, pakan tikus (pelet), paraformaldehida
4%, kertas tissue, masker, sarung tangan, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol
90%, alkohol 95%, alkohol absolute, xylol, paraffin, hematoksilin dan eosin.
Analisis hormon menggunakan bahan-bahan antara lain washing solution (larutan
pencuci), substrat solution (chromogen, enzim, buffer), stop solution (larutan
penyetop reaksi) H 2 SO 4 , dan metanol 80%.
Persiapan Hewan Coba
Tempat pemeliharaan hewan coba yang meliputi kandang (bak plastik)
berbentuk segi empat ukuran 30x12x10 yang ditutup dengan ram kawat yang
berisi sekam, tempat pakan dan air minum tikus. Hewan coba diadaptasikan
dalam kandang pemeliharaan selama 2 minggu sebelum diberi perlakuan ekstrak
purwoceng. Pakan yang diberikan adalah pakan standar dan diberikan secara ad
libittum.
Protokol Kerja
Hewan coba dikelompokan sesuai tiga kriteria umur yaitu satu kelompok
kontrol dan dua kelompok perlakuan. Masing-masing kelompok terdiri dari tiga
ekor tikus jantan sebagai ulangan. Kelompok kontrol hanya mendapatkan air
minum dan makanan yang sama dengan kelompok perlakuan. Kelompok dua dan
tiga adalah kelompok yang diberi perlakuan dengan pemberian ekstrak purwoceng
dosis 25mg/kg BB dan 50mg/kg BB yang dilarutkan dalam 1 ml aquadestilata dan
diberikan secara cekok dengan menggunakan sonde lambung (kanul bengkok)
16
selama dua minggu. Pada akhir perlakuan, hewan coba dikorbankan dengan cara
dianastesi menggunakan ketamine yang disuntikkan secara intraperitoneal (dosis
50-100 mg/kg BB). Kemudian dilakukan pengambilan darah melalui jantung
sebanyak 3-6 cc menggunakan spuit (5 ml, 3 ml, dan 1ml), selanjutnya hewan
dinekropsi dan diambil organ testis serta kelenjar prostat.
Tahap selanjutnya dilakukan pemisahan darah untuk mendapatkan serum
darah dengan cara mendiamkan selama satu malam. Kemudian dipisahkan untuk
disentrifuse, setelah serum diperoleh dipindahkan ke vial eppendorf 1.5 ml dan di
simpan di dalam freezer. Organ testis dan prostat disimpan dalam botol spesimen
yang berisi paraformaldehida 4% pada suhu ruang. Tahap selanjutnya diproses di
laboratorium untuk dilakukan analisis hormon dan histomorfologi.
Analisis Histomorfologis Tubulus Seminiferus
Analisis histomorfologi tubulus seminiferus dilakukan dengan menentukan
tahapan sel-sel spermatogenik dalam proses perkembangan spermatogenesis
(derajat spermatogenesis) sesuai dengan kriteria Jhonsen (Juniarto, 2004).
Evaluasi histomorfologis dilakukan dengan pendekatan pewarnaan hematoksilin
eosin (HE). Derajat spermatogenesis yg diamati meliputi spermatogonia,
spermatosit, spermatid, dan spermatozoa dalam lumen tubulus seminiferus.
Pengamatan derajat spermatogenesis ini diamati dari 25 tubuli seminiferi. Setiap
perlakuan diamati dengan konsistensi posisi pengamatan yaitu bagian atas,
tengah, bawah, kiri dan kanan masing-masing sebanyak lima kali. Metode
pembacaan preparat yang sudah umum digunakan yaitu metode sesuai dengan
kriteria Johnsen. Kriteria penilaian diamati secara deskriptif kuantitatif dengan
nilai 1 sampai dengan 10 seperti pada Tabel 2.
Tabel 2 Kriteria Penilaian Derajat Spermatogenesis
Nilai
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
Kriteria
Spermatogenesis lengkap dan teratur ; spermatozoa banyak
mengumpul ditengah lumen, epitel seminiferus normal, lumen
tubulus terbuka
Spermatozoa banyak mengumpul ditengah lumen, tampak sebagian
epitel seminiferus yang lepas (sloughing), dan lumen tubulus
tertutup
Epitel seminiferus teratur dan lengkap, akan tetapi jumlah
spermatozoa dalam tubulus kurang dari 10
Tidak tampak spermatozoa dalam tubulus seminiferus, tetapi
jumlah spermatid banyak
Tidak ada spermatozoa dan jumlah spermatid dalam tubulus
seminiferus kurang dari 10
Tidak ada spermatozoa dan spermatid dalam tubulus seminiferus,
tetapi spermatosit banyak
Tidak ada spermatozoa dalam tubulus seminiferus dan jumlah
spermatozit kurang dari 5
Germinal cell dalam tubulus seminiferus hanya teridiri dari
spermatogonium
Dalam tubulus seminiferus tidak terdapat germinal cell hanya sel
sertoli
Dalam tubulus seminiferus tidak terdapat sel
(Jhonsen 1998 dalam Juniarto 2004)
17
Analisis Histomorfologis Kelenjar Prostat
Spesimen yang digunakan adalah kelenjar prostat bagian dorsolateral dan
ventral (Harmelin et al. 2005, Heyns dan De Moor 1976). Kelenjar prostat di
simpan dalam botol spesimen yang berisi paraformaldehida 4%. Tahap
selanjutnya dilakukan pembuatan preparat histomorfologi di Laboratorium
Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB. Parameter
yang diamati pada pengamatan histomorfologis kelenjar prostat adalah aktivitas
kelenjar prostat (aktif dan non aktif) dari setiap lapang pandang. Melalui
pengamatan pendahuluan, maka kelenjar prostat aktif di indikasikan dengan
adanya cairan prostat yang terwarnai, morfologi mukosa epitel yang meninggi
serta lipatan mukosa pada dinding asinus. Hal tersebut menandakan bahwa sel
sedang aktif memproduksi cairan prostat. Kelenjar prostat non aktif diindikasikan
dengan ujung kelenjar yang tidak memproduksi cairan prostat (tidak terwarnai)
dan mukosa epitel yang menipis atau memipih. Kriteria aktivitas kelenjar dapat
dilihat pada Tabel 3. Kemudian diamati perbandingannya pada masing-masing
kelompok umur setelah diberi perlakuan. Pengamatan dilakukan dengan
konsistensi sebanyak lima lapang pandang secara acak untuk setiap preparat,
kemudian rerata yang diperoleh dikonversi dalam satuan persen.
Tabel 3 Kriteria Penilaian Histomorfologis Aktivitas Kelenjar Prostat
(aktif dan non-aktif)
Aktivitas
Aktif
Nonaktif
a.
b.
e.
f.
Kriteria
c.
d.
g.
Ket: a. Lumen ujung kelenjar terisi penuh cairan prostat (terwarnai), b. Lumen ujung kelenjar
terdapat sedikit cairan dan mukosa sel tinggi, c. Lumen ujung kelenjar terdapat sedikit cairan dan
mukosa sel tipis atau sel memipih, d. Lumen ujung kelenjar kosong namun mukosa sel tinggi (sel
sekretori aktif), e-g. Lumen ujung kelenjar kosong dan mukosa sel tipis atau memipih.
Prosedur Histomorfologis Tubulus Seminiferus dan Kelenjar Prostat
Organ testis dan kelenjar prostat dipotong secara melintang setebal 1-2
mm (10x10x3mm) difiksasi selama satu minggu. Tahapan selanjutnya adalah
dehidrasi dengan rangkaian alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, dan
absolute I, II, III). Kemudian melalui tahap Clearing, yaitu dengan serangkaian
larutan xylol setelah itu infiltrasi parafinasi. Tahap selanjutnya organ dicetak atau
dibekukan dalam wadah cetakan (embedding) dan di blok dengan parafin, lalu di
18
simpan dalam lemari pendingin selama beberapa hari. Pemotongan dengan alat
rotary microtome (ketebalan 4-5 µm). Tahap terakhir yaitu deparafinasi clearing
dan rehidrasi untuk pewarnaan. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan
mikroskop Olympus CH-20 dengan perbesaran 10x, 20x dan 40x kemudian di
foto sebagai data deskriptif.
Analisis Hormon
Spesimen yang digunakan adalah serum darah tikus. Analisis hormon
testosteron dan DHT menggunakan metode ELISA. Analisis kedua hormon
tersebut menggunakan analisis dan metode yang sama, hanya dibedakan pada kit
dan reagen. Prosedur kerja analisis ELISA yaitu mempersiapkan masing-masing
25µL (kit testosteron) atau 50µL (kit DHT) untuk sampel, larutan standar, dan
kontrol sesuai sumur (well) yang tepat dengan penggunaan tips yang berbedabeda. Kemudian menambahkan 200µL konjugat enzim ke dalam setiap sumur.
Tahap selanjutnya dilakukan pencampuran selama 10 detik untuk mendapatkan
campuran yang sempurna, setelah itu diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruang
tanpa diberi penutup. Inkubasi tersebut berfungsi agar sampel dan konjugat saling
berikatan. Kemudian dilakukan pembilasan well sebanyak 3 kali dengan larutan
pencuci (400µL/well) dan secara langsung dikeringkan dengan cara membalikkan
microtitterplate, kemudian ditambahkan 100µL larutan substrat atau kromogen
pada setiap sumur. Substrat rentan terhadap cahaya, maka larutan di simpan di
dalam ruangan bebas cahaya. Reaksi tersebut disempurnakan dengan cara
diinkubasi kembali selama 15 menit pada suhu ruang. Proses selanjutnya adalah
penghentian reaksi enzimatik dengan menambahkan 100 µL larutan penyetop
(stop solution) yaitu H 2 SO 4 . Selanjutnya, setelah penambahan stop solution,
microtitterplate dimasukkan ke dalam ELISA reader dengan pembacaan panjang
gelombang (OD) 450 nm selama 10 menit.
Analisis Data
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental. Data histomorfologi tubulus
seminiferus menggunakan analisis deskriptif dan kelenjar prostat dengan
deskriptif kuantitatif. Konsentrasi hormon testosteron dan DHT dianalisis dengan
statistik parametrik dengan menggunakan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) Faktorial 3x3 (umur dan dosis) masing-masing tiga ulangan.
Program sotfware yang digunakan untuk Anova adalah SPSS 16.0 for windows.
Apabila hasil analisis signifikan (p<0.05) maka dilanjutkan dengan uji lanjut.
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Derajat Spermatogenesis
Hasil pengamatan histomorfologis tubulus seminiferus disajikan secara
deskriptif sesuai dengan penilaian kriteria Jhonsen (Gambar 8,9 dan 10) yang
diwakilkan untuk masing-masing umur dan masing-masing dosis serta tabel rerata
derajat spermatogenesis (Tabel 4).
4
3
2
1
A
60 µm
v
B
30 µm
3
4
3
2
2
1
1
4
C
30 µm
D
30 µm
Gambar 8 Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Pubertas (HE)
A. Gambaran umum tubulus seminiferus umum kontrol pubertas. Bar : 60
µm. B. Pubertas kontrol (P0) spermatosit dominan, C. Pubertas+ekstrak 25
mg (P25) spermatid dominan, D. Pubertas+ekstrak 50 mg (P50) spermatozoa
dominan pada lumen. Bar : 30µm. (1) lumen tubulus seminiferus, (2)
spermatid, (3) spermatosit, (4) spermatogonium.
20
4
3
1
A
60 µm
2
B
30 µm
4
4
3
3
2
2
1
1
C
30 µm
D
30 µm
Gambar 9 Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Dewasa (HE)
A.Gambaran umum tubulus seminiferus kontrol umur dewasa. Bar : 60 µm.
B. Dewasa kontrol (D0), C. Dewasa+ekstrak 25 mg (D25), D.
Dewasa+ekstrak 50 mg (D50), Tahapan spermatogenesis C dan D tidak
terlihat begitu berbeda. Pada dewasa sel spermatid lebih dominan. (1) lumen
tubulus seminiferus, (2) spermatid, (3) spermatosit, (4) spermatogonium.
3
4
2
1
A
60 µm
B
30 µm
4
3
3
2
4
1
C
2
1
30 µm
D
30 µm
Gambar 10 Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Tua (HE)
A.Gambaran umum tubulus seminiferus kontrol umur tua. Bar : 60 µm, B.
Kelompok Tua kontrol (T0) perkembangan spermatogonium terlihat jarang,
C.Tua+ekstrak 25 mg (T25) dan D. Tua+ekstrak 50 mg (T50). Gambar C dan
D terlihat peningkatan spermatosit dan spermatozoa. Bar : 30µm. (1) lumen
tubulus seminiferus, (2) spermatid, (3) spermatosit, (4) spermatogonium.
21
Pada Gambar 8 memperlihatkan perbedaan derajat spermatogenesis dalam
tubulus seminiferus kelompok pubertas yaitu P0, P25, dan P50. Tubulus
seminiferus kelompok P0 memperlihatkan derajat spermatogenesis dengan
kriteria yang mendominasi yaitu epitel seminiferus teratur dan lengkap, akan
tetapi belum terlihat spermatozoa dalam lumen tubulus seminiferus. Tahap
spermatid dan spermatosit terlihat lebih banyak serta spermatogonium yang
tersusun rapih di membran basalis. Pada kelompok P25 mulai terlihat
spermatozoa di tengah lumen, dan lapisan tahap spermatosit lebih sedikit dan
spermatid tetap banyak. Hal tersebut mengindikasikan lebih banyaknya bakal sel
spermatozoa, sedangkan pada kelompok P50 terlihat spermatozoa lebih memadati
sekeliling lumen dan tampak sebagian epitel seminiferus yang lepas (sloughing)
serta lumen tubulus tertutup oleh sisa-sisa sitoplasma. Gambar 9 mewakili
pengamatan pada umur dewasa, yang terlihat adalah keadaan bagian lumen
tubulus seminiferus yang lebih banyak dipenuhi oleh spermatozoa.
Pada kelompok D0, D25, dan D50 memperlihatkan peningkatan derajat
spermatogenesis yang lebih baik antar dosis. Gambaran tubulus seminiferus
dewasa kontrol terlihat berbeda dengan pubertas, pada dewasa sel epitel
seminiferus telah mencapai tahapan sempurna mulai dari keberadaan
spermatogonium, spermatosit, spermatid, sampai spermatozoa dalam lumen
tubulus seminiferus. Peningkatan derajat spermatogenesis tertinggi yang
diperlihatkan kelompok umur dewasa dengan nilai 9.2 ± 0.25 tidak berbeda jauh
dengan hasil Juniarto (2004) yaitu nilai derajat spermatogenesis pada tikus jantan
dewasa adalah 9.6 ± 0.5.
Gambar 10 memperlihatkan derajat spermatogenesis pada tubulus
seminiferus kelompok umur tua, menunjukan keberadaan epitel seminiferus yang
berbeda dengan pubertas dan dewasa. Pada T0 spermatosit tidak teratur dan
keberadaan spermatozoa (populasi) dalam lumen tubulus yang jarang atau tidak
terlihat (Gambar 10B). Hal tersebut berkaitan dengan konsentrasi hormon yang
cenderung rendah pada kelompok T0. Pada kelompok T25 dan T50 (Gambar 10C
dan D) susunan epitel seminiferus terlihat lebih rapih jika dibandingkan dengan
T0 dan perkembangan epitel seminiferus terjadi perbaikan yaitu adanya
peningkatan spermatosit dan pada bagian lumen terdapat spermatozoa yang lebih
banyak.
Tabel 4
Umur
P
D
T
Derajat Spermatogenesis
0
b
8.0 ± 0.05 a
c
8.9 ± 0.26 a
a
7.4 ± 0.32 a
Dosis (mg)
25
b
8.2 ± 0.26 a
c
9.2 ± 0.25 ab
a
7.7 ± 0.11 a
50
8.9 ± 0.05 b
c
9.5 ± 0.10 b
a
7.8 ± 0.25 a
b
Keterangan: P: Umur Pubertas, D: Umur Dewasa, T: Umur Tua, 0: Tanpa perlakuan
(kontrol), 25: Dosis purwoceng 25 mg/kg BB, 50: Dosis purwoceng 50 mg/kg BB.
-Huruf yang berbeda dalam satu baris atau kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda
nyata (p<0.05). Perbedaan menyatakan signifikansi faktor dosis dan umur terhadap derajat
spermatogenesis. Huruf yang sama dalam satu baris yang sama menunjukkan perlakuan tidak
berbeda nyata (p>0.05). Subskrip menyatakan signifikansi dosis terhadap derajat spermatogenesis.
Superskrip menyatakan signifikansi umur terhadap derajat spermatogenesis.
Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa pengaruh
faktor dosis terhadap derajat spermatogenesis umur tua tidak signifikan yaitu
22
p=0.139 (p>0.05), sedangkan pengaruh tingkat dosis terhadap umur pubertas dan
dewasa (Lampiran 1 dan 2) masing-masing yaitu p=0.01 membuktikan bahwa
hasil yang diperoleh signifikan (p<0.05). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran
4,5, dan 6) menunjukkan bahwa pengaruh faktor umur (pubertas, dewasa, dan tua)
terhadap tingkat dosis menunjukkan hasil yang signifikan (p<0.05).
Dosis
ekstrak
purwoceng
memberikan
peningkatan
derajat
spermatogenesis yang signifikan terhadap umur pubertas dan umur dewasa.
Kelompok kontrol merupakan kelompok yang memperlihatkan nilai terendah
pada setiap umur. Kelompok umur yang memperlihatkan respon tertinggi ialah
kelompok umur dewasa. Kelompok umur dewasa yang diberikan dosis 50 mg
memperlihatkan pengaruh derajat spermatogenesis tertinggi jika dibandingkan
dengan kelompok kontrol dan yang diberikan dosis 25 mg. Pemberian dosis 25
dan 50 mg terhadap kelompok dewasa memperlihatkan bahwa hasil yang berbeda
nyata (p<0.05) terhadap D0 dan D25. Rerata terendah antar umur ataupun antar
dosis diperlihatkan pada kelompok T0.
Hasil uji lanjut membuktikan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) pada
semua kelompok umur terhadap pemberian dosis, sedangkan hasil uji lanjut antara
pemberian dosis terhadap umur, pada kelompok umur tua tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata (p>0.05). Kelompok umur tua merupakan kelompok umur
yang memiliki derajat spermatogenesis terendah dibanding pubertas dan dewasa.
Pasca pemberian ekstrak. Semua kelompok umur memberikan respon terbaik pada
pemberian D50.
Aktivitas Kelenjar Prostat
Hasil pengamatan histomorfologi kelenjar prostat disajikan dalam bentuk
gambaran histologis ujung kelenjar prostat (Gambar 11 dan 12) serta diagram
persentase aktivitas ujung kelenjar prostat (Gambar 13 dan 14). Gambar 11 dan 12
memperlihatkan gambar irisan ujung kelenjar prostat pada satu lapang pandang.
Pada kelompok pubertas yaitu P0, P25, dan P50 (Gambar 11A-11C)
memperlihatkan aktivitas kelenjar prostat yang sedang memproduksi cairan
prostat (lumen terisi penuh dan mukosa cenderung tinggi). Pada kelompok P0,
ujung kelejar yang dominan terdapat pada lima lapang pandang ialah ujung
kelenjar yang terwarnai penuh dan beberapa ujung kelenjar yang tidak terwarnai
tetapi mukosa masih terlihat tinggi. Selain itu belum terlihat lipatan-lipatan
mukosa pada ujung kelenjar prostat. Pada P25 dan P50, memperlihatkan ujung
kelenjar prostat yang didominasi dengan ujung kelenjar aktif yang ditunjukan
dengan adanya cairan prostat pada lumen serta adanya aktivitas kelenjar yang
diindikasikan dengan adanya lipatan mukosa pada beberapa ujung kelenjar.
Peningkatan dosis memberikan respon yang berbeda terhadap umur pubertas.
Pada P0, morfologi bentuk ujung kelenjar prostat masih terlihat homogen dan
jarang ditemukannya lipatan mukosa pada dinding asinus.
Pada kelompok umur dewasa (Gambar 11 dan 12 D-F), D0
memperlihatkan keadaan ujung kelenjar yang aktif dan telah banyak ditemukan
ujung kelenjar dengan lipatan mukosa. Secara alamiah menurut Pada kelompok
D25 dan D50 ujung kelenjar didominasi dengan ujung kelenjar yang terisi cairan
prostat, lipatan mukosa dan bertambah tingginya mukosa laminal sel. Mohamad et
al. (2001) pada tikus berumur dewasa sudah terjadi lipatan mukosa pada dinding
23
asinus yang mengindikasikan kerja kelenjar lebih aktif dalam memproduksi
sekretanya. Hasil yang dinyatakan oleh Mohamad et al. (2001) mendukung hasil
penelitian yang telah diperoleh dalam penelitian ini. Bertambah banyaknya lipatan
mukosa pada dinding asinus dapat dianalogikan bahwa sel kelenjar prostat sedang
aktif memproduksi sekreta (pertambahan volume di dalam kelenjar) dengan
keterbatasan ruang di sekelilingnya sehingga terjadi lipatan-lipatan mukosa
(perubahan bentuk) pada dinding asinus.
2
1
1
A
120 µm
B
120 µm
1
C
120 µm
2
1
1
1
2
2
D
120 µm
E
120 µm
F
120 µm
2
1
G
2
Gambar 11
1
2
120 µm
1
2
H
120 µm
I
2
120 µm
Gambaran Histologis Aktivitas Kelenjar Prostat “10x” (HE)
A. Ujung kelenjar prostat P0, B. Ujung kelenjar prostat P25 lebih
memperlihatkan pelepasan sekreta ke dalam lumen, C. Ujung kelenjar prostat
P50 memperlihatkan pelepasan sekreta dan bertambahnya lipatan mukosa, D.
Ujung kelenjar prostat D0, E. Ujung kelenjar prostat D25, F. Ujung kelenjar
prostat D50 memperlihatkan ujung kelenjar yang berukuran kecil didominasi
oleh lipatan mukosa yang lebih banyak, G. Ujung kelenjar prostat T0 didominasi
dengan ujung kelenjar yang tidak ada sekresi, H. Ujung kelenjar prostat T25
terlihat didominasi oleh ujung kelenjar yang terisi cairan prostat, I. Ujung
kelenjar prostat T50 lebih didominasi dengan ujung kelenjar dengan lumen yang
terisi penuh cairan prostat dan lipatan mukosa yang lebih banyak disetiap ujung
kelenjar. (1). Lumen kelenjar prostat, (2). Lipatan mukosa dinding asinus. Bar
120 µm.
Peningkatan dosis menyebabkan peningkatan aktivitas terhadap ujung
kelenjar prostat dalam meghasilkan sekretanya. Selain itu lipatan mukosa di
dinding asinus ditemukan lebih banyak jika dibandingkan pada masing-masing
umur ataupun dosis. Pada kelompok tua (Gambar 11 dan 12 G, H, I) juga
memperlihatkan keadaan kelenjar prostat T0 didominasi oleh ujung kelenjar non
aktif dengan semakin menipisnya bagian mukosa dan lumen ujung kelenjar yang
24
tidak terwarnai, hal ini mengindikasikan telah terjadi penurunan aktivitas sel atau
ketidakmampuan sel kelenjar prostat dalam memproduksi cairan prostat. Hasil
penelitian ini membuktikan bahwa terdapat pengaruh terhadap aktivitas kelenjar
prostat pada umur dan dosis yang berbeda pula. Sistem hormonal merupakan
salah satu faktor penting dalam perkembangan suatu target organ dalam
menghasilkan produk.
1
1
2
2
2
A
30 µm
B
30 µm
2
C
30 µm
1
2
2
D
30 µm
E
1
30 µm
F
30 µm
1
1
2
2
G
Gambar 12
30 µm
H
30 µm
I
2
30 µm
Gambaran Histologis Aktivitas Kelenjar Prostat “40x” (HE)
A. Ujung kelenjar prostat P0, B. Ujung kelenjar prostat P25, memperlihatkan
mukosa sel dan sel lebih tinggi dibanding P0 dan lumen terisi penuh, C. Ujung
kelenjar prostat P50 memperlihatkan aktivitas sel yang aktif memproduksi
sekreta (mukosa sel tinggi) dan lumen yang juga terisi penuh dengan cairan
prostat, D. Ujung kelenjar prostat D0, E. Ujung kelenjar prostat D25
memperlihatkan sel yang lebih tinggi dari D0 dan lipatan mukosa lebih banyak
dibandingkan D0, F. Ujung kelenjar prostat D50 didominasi dengan mukosa sel
yang tinggi dan lipatan mukosa pada dinding asinus lebih banyak disetiap ujung
kelenjar, G. Ujung kelenjar prostat T0 didominasi dengan ujung kelenjar tidak
terdapat sekreta, H. Ujung kelenjar prostat T25 terisi dengan cairan prostat, I.
Ujung kelenjar prostat T50 memperlihatkan lipatan mukosa lebih banyak, sel
lebih tinggi (sel sekretori aktif) dan lumen terisi cairan prostat. (1). Lumen
kelenjar prostat, (2). Lipatan mukosa dinding asinus. Bar 30 µm.
Pemberian ekstrak purwoceng mampu meningkatkan proses aktivasi sel
pada kelenjar prostat tua dengan pemberian dosis 25 mg dan 50 mg. Peningkatan
dosis memberikan pengaruh peningkatan aktivitas yang diindikasikan dengan
lebih banyaknya lumen yang terisi dengan cairan prostat dan peningkatan lipatan
mukosa. Pemberian ekstrak purwoceng membuktikan adanya peningkatan
aktivitas kelenjar prostat diperlihatkan dengan bertambah banyaknya mukosa
25
yang cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hasil pengamatan secara
deskriptif ini membuktikan bahwa adanya pengaruh terhadap produksi sekreta
dalam lumen, selain itu juga memberikan informasi bahwa semakin tingginya
dosis maka lipatan mukosa bertambah lebih banyak pada setiap ujung kelenjar.
Pada bagian lumen kelompok hewan pubertas dan dewasa yang diberikan
perlakuan ataupun kontrol terlihat terisi dengan cairan (sekreta), yang ditandai
dengan terwarnainya bagian lumen. Akan tetapi terlihat perbedaan pada kontrol
hewan tua yang didominasi dengan kosongnya lumen ujung kelenjar prostat.
Hasil pengamatan pada Gambar 11 dan 12 khususnya pada kelompok
umur tua (T), ukuran ujung kelenjar relatif tidak sama dalam satu lapang pandang
dan keadaan sel yang berbeda jika dibanding kontrol. Selain itu, dapat dilihat
ujung kelenjar yang tidak terdapat cairan prostat jika dibandingkan dengan
pubertas dan dewasa. Pemberian ekstrak purwoceng pada umur tua membuktikan
adanya perbaikan aktivitas kelenjar prostat, dimana gambaran histologis ujung
kelenjar prostat T25 dan T50 menunjukkan adanya aktivitas sel sekretori dalam
memproduksi sekreta ke dalam lumen.
Gambar 13 dan 14 menunjukkan persentase kelenjar prostat aktif dan non
aktif faktor dosis dan faktor umur. Secara umum pemberian dosis ekstrak
purwoceng memberikan kecenderungan peningkatan persentase aktivitas kelenjar
prostat, khususnya pada umur tua. Pada T0, T25, dan T50 memperlihatkan respon
yang berbeda dibanding kelompok pubertas dan dewasa. Pada Gambar 13, terlihat
persentase yang tinggi pada kelenjar prostat non aktif umur tua. Pemberian dosis
25 dan 50 mg terlihat mampu memberikan perbaikan terhadap aktivitas kelenjar
prostat pada pubertas, dewasa, dan khususya pada umur tua. Pada Gambar 14,
memperlihatkan bahwa aktivitas kelenjar prostat tertinggi diperlihatkan pada
kelompok umur dewasa dan penurunan diperlihatkan pada umur tua. Hal tersebut
berkaitan dengan penurunan fungsi fisiologis.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
75.6
75
Gambar 13
79.2
84.7
81.6
87.6
79.3
53.8
46.2
25
P0
24.4
P25
20.8
P50
15.3
D0
18.4
56.6
43.4
20.7
12.4
D25
D50
T0
T25
T50
Persentase Aktivitas Ujung Kelenjar Prostat (aktif dan non aktif)
(faktor dosis terhadap aktivitas kelenjar prostat)
Keterangan :
: Persentase prostat aktif kontrol, dosis 25 mg, dosis 50 mg pada umur pubertas
: Persentase prostat aktif kontrol, dosis 25 mg, dosis 50 mg pada umur dewasa
: Persentase prostat aktif kontrol, dosis 25 mg, dosis 50 mg pada umur tua
: Persentase prostat non aktif
26
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
84.7
75
87.6
79.3
75.6
81.6
79.2
56.6
53.8
46.2
25
P0
Gambar 14
20.7
15.3
D0
T0
24.4
20.8
18.4
P25
D25
43.4
12.4
T25
P50
D50
T50
Persentase Aktivitas Ujung Kelenjar Prostat (aktif dan non aktif)
(faktor umur terhadap aktivitas kelenjar prostat)
Keterangan :
: Persentase prostat aktif pubertas, dewasa, tua kontrol
: Persentase prostat aktif pubertas, dewasa, tua yang diberikan dosis 25 mg
: Persentase prostat aktif pubertas, dewasa, tua yang diberikan dosis 50 mg
: Persentase prostat non aktif
Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron)
Data analisis hormon androgen (testosteron) disajikan pada Tabel 5 Hasil
analisis sidik ragam (Lampiran 7-12) membuktikan bahwa pengaruh faktor dosis
(0, 25, dan 50 mg) terhadap konsentrasi hormon testosteron pada umur pubertas
(p=0.99), faktor dosis terhadap konsentrasi hormon testosteron pada umur dewasa
(p=0.44), dan faktor dosis terhadap konsentrasi hormon testosteron pada umur tua
(p=0.79). Hasil analisis tersebut membuktikan bahwa hasil tidak signifikan
(p>0.05). Sama seperti hasil analisis sidik ragam faktor umur terhadap konsentrasi
hormon testosteron kelompok kontrol (p=0.38), faktor umur terhadap konsentrasi
hormon testosteron pada kelompok dosis 25 mg (p=0.34), dan faktor umur
terhadap konsentrasi hormon testosteron pada kelompok dosis 50 mg (p=0.74).
Data-data tersebut membuktikan bahwa hasil yang diperoleh tidak signifikan
(p>0.05). Uji lanjut pada Tabel 6 memperlihatkan bahwa pengaruh ekstrak
purwoceng baik faktor dosis ataupun umur terhadap konsentrasi hormon
testosteron tidak berbeda nyata (p>0.05).
Pada kelompok umur pubertas terjadi peningkatan tidak bermakna antar
faktor (p>0.05). Kelompok umur dewasa yang diberikan dosis 50 mg
memperlihatkan nilai rerata lebih rendah dibanding kelompok hewan yang
diberikan dosis 25 mg, peningkatan yang terjadi antar perlakuan tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05). Pada umur tua memperlihatkan
peningkatan respon terhadap konsentrasi hormon testosteron seiring peningkatan
dosis perlakuan, akan tetapi hasil analisis uji Duncan antar faktor juga tidak
memperlihatkan perbedaan yang bermakna (p>0.05). Selain itu, Tabel 5 juga
memperlihatkan variasi respon setelah diberikan perlakuan dosis 25 mg dan dosis
50 mg dan dengan meningkatnya umur hewan menunjukan penurunan konsentrasi
hormon testosteron secara alami.
27
Tabel 5
Umur
P
Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron) (ng/mL)
0
1.21 ± 0.50
(0.71-1.71)
1.05 ± 0.32
(0.86-1.42)
0.73 ± 0.34
(0.44-1.10)
D
T
Dosis (mg)
25
1.21 ± 0.65
(0.46-1.49)
1.54 ± 0.59
(1.04-2.19)
0.83 ± 0.32
(0.52-1.16)
50
1.28 ± 0.84
(0.51-2.18)
1.46 ± 0.37
(1.04-1.75)
1.02 ± 0.76
(0.40-0.87)
Ket: Nilai rerata dan range faktor dosis (baris yang sama dari arah kiri ke kanan) dan umur (kolom
yang sama dari atas ke bawah). P : Pubertas, D : Dewasa, T : Tua, 0: Tanpa perlakuan (kontrol), 25
: dosis ekstrak purwoceng 25 mg/kg BB, 50 : dosis ekstrak purwoceng 50 mg/kg BB.
Tabel 6 Hasil Uji Duncan Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron)
Umur
P
D
T
0
1.21 a
a
1.05 a
a
0.73 a
a
Dosis
25
a
1.21 a
a
1.54 a
a
0.83 a
50
1.23 a
a
1.46 a
a
1.02 a
a
Ket : Huruf yang berbeda dalam satu baris atau kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda
nyata (p<0.05). Perbedaan menyatakan signifikansi faktor dosis dan umur terhadap konsentrasi
hormon testosteron. Huruf yang sama dalam satu baris yang sama menunjukkan perlakuan tidak
berbeda nyata (p>0.05). Subskrip menyatakan signifikansi dosis terhadap konsentrasi hormon
testosteron. Superskrip menyatakan signifikansi umur terhadap konsentrasi hormon testosteron.
Konsentrasi Hormon Androgen (Dihidrotestosteron)
Hasil analisis konsentrasi hormon DHT disajikan pada Tabel 7. Hasil
analisis sidik ragam (Lampiran 13-18) membuktikan bahwa pengaruh faktor dosis
terhadap konsentrasi hormon DHT pada umur pubertas p=0.52, faktor dosis
terhadap konsentrasi hormon DHT pada dewasa p=0.16 dan faktor dosis terhadap
konsentrasi hormon DHT pada kelompok tua p=0.990. Hasil analisis tersebut
membuktikan bahwa hasil yang diperoleh tidak signifikan (p>0.05). Pengaruh
faktor umur terhadap konsentrasi hormon DHT pada kelompok kontrol dengan
p=0.59, faktor umur terhadap konsentrasi hormon DHT kelompok dosis 25 mg
dengan nilai p=0.21, dan faktor umur terhadap konsentrasi hormon DHT pada
kelompok dosis 50 mg p=0.94, data tersebut membuktikan bahwa hasil yang
diperoleh tidak signifikan (p>0.05). Uji lanjut pada Tabel 8 memerlihatkan bahwa
hubungan antara faktor dosis dan umur terhadap konsentrasi hormon DHT tidak
berbeda nyata (p>0.05).
Secara umum antar kelompok umur (pubertas, dewasa, dan tua) yang
menunjukkan konsentrasi tertinggi ialah umur dewasa dan terendah pada umur
tua. Pada umur pubertas pemberian ekstrak purwoceng cenderung memberikan
penurunan konsentrasi. Hasil tersebut membutuhkan penelitian yang lebih lanjut
untuk membuktikan mekanisme yang terjadi. Pada umur dewasa nilai rerata
konsentrasi hormon DHT yang diberikan dosis 50 mg cenderung memperlihatkan
peningkatan. Sama seperti kelompok umur dewasa, pemberian dosis 50 mg
memberikan peningkatan konsentrasi hormon DHT pada umur tua, akan tetapi
28
peningkatan tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05). Hasil uji lanjut pada Tabel 8
membuktikan bahwa pengaruh faktor dosis terhadap umur ataupun umur terhadap
dosis tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata pada p>0.05. Secara fisiologis
pemberian ekstrak purwoceng memberikan dampak kecenderungan terhadap
penurunan dan peningkatan konsentrasi seiring peningkatan umur dan dosis, akan
tetapi sesuai analisis sidik ragam hal tersebut tidak signifikan. Faktor jumlah n
diduga memengaruhi hasil analisis statistik.
Tabel 7
Umur
Konsentrasi Hormon Androgen (DHT) (ng/mL)
Dosis (mg)
25
0.42±0.08
(0.36-0.51)
0.68 ± 0.11
(0.58-0.80)
0.44 ± 0.27
(0.28-0.75)
0
0.62 ± 0.20
(0.42-0.82)
0.52 ± 0.15
(0.37-0.67)
0.43 ± 0.28
(0.15-0.71)
P
D
T
50
0.45 ± 0.30
(0.26-0.80)
0.74 ± 0.12
(0.60-0.79)
0.46 ± 0.24
(0.20-0.69)
Ket: Nilai rerata dan range faktor dosis (baris yang sama dari arah kiri ke kanan) dan umur (kolom
yang sama dari atas ke bawah). P : Pubertas, D : Dewasa, T : Tua, 0: Tanpa perlakuan (kontrol), 25
: dosis ekstrak purwoceng 25 mg/kg BB, 50 : dosis ekstrak purwoceng 50 mg/kg BB.
Tabel 8
Hasil Uji Duncan Konsentrasi Hormon Androgen (DHT)
Umur
P
D
T
0
0.62
a
0.52
a
0.43
a
a
a
a
Dosis
25
a
0.42 a
a
0.68 a
a
0.44 a
50
0.45 a
a
0.74 a
a
0.46 a
a
Ket : Huruf yang berbeda dalam satu baris atau kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda
nyata (p<0.05). Perbedaan menyatakan signifikansi faktor dosis dan umur terhadap konsentrasi
hormon DHT. Huruf yang sama dalam satu baris yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda
nyata (p>0.05). Subskrip menyatakan signifikansi dosis terhadap konsentrasi hormon DHT.
Superskrip menyatakan signifikansi umur terhadap konsentrasi hormon DHT.
Pembahasan
Spermatogenesis melibatkan empat proses dasar yang dimulai dari
pengembangan spermatogonium (sel germinal dan pembelahan sel mitosis
berikutnya), meiosis (sintesis DNA dan dua kali pembelahan meiosis untuk
menghasilkan spermatid haploid), spermiogenesis (pengembangan spermatid yang
melibatkan diferensiasi kepala dan struktur ekor), dan spermiasi (proses pelepasan
sperma matang ke dalam lumen tubulus). Pada umur pubertas meskipun individu
hewan belum menunjukan perilaku bereproduksi, jaringan testisnya telah
memproduksi spermatozoa walau masih banyak didapati lumen yang belum
maksimal dipenuhi oleh spermatozoa. Jika dilihat pada foto hasil pengamatan,
umur dewasa menunjukan spermatogenesis yang teratur dan terlihat dari
banyaknya spermatozoa pada lumen tubulus seminiferus. Terbentuknya spermatid
dan adanya spermatozoa yang memadati lumen tubulus seminiferus serta sel-sel
29
epitel tubuli seminiferus yang telah mengalami siklus menunjukan perbedaan
derajat spermatogenesis antara pubertas dan dewasa.
Spermatositogenesis dikendalikan atas pengaruh hormon-hormon yang
berasal dari adenohipofisa (pituitari anterior), terutama FSH dan spermiogenesis
berlangsung di bawah pengaruh LH dan testosteron. FSH dan androgen bertindak
baik secara terpisah dan sinergis untuk mendukung tahapan spermatogenesis, dari
pembelahan sel spermatogonium sampai akhir tahapan yaitu perilisan
spermatozoa. Hal ini dikarenakan peran hormon LH, FSH dan testosteron dalam
proses spermatogenesis. Mekanisme peningkatan hormon ini diduga dimediasi
oleh GnRH like substance atau saponin yang berupa steroid yang terkandung
dalam tanaman. Steroid mampu meningkatkan jumlah sel spermatogonia,
spermatosit, dan spermatid tanpa meningkatkan sekresi FSH (Taufiqqurachman
1999).
Penelitian-penelitian sebelumnya menyatakan bahwa adanya kandungan
senyawa sterol pada tanaman purwoceng menjadi justifikasi terhadap peningkatan
aktifitas hormon steroid yaitu dengan adanya stigmasterol dan golongan flavonoid
(Sidik et al. 1975, Rostiana 2003, dan Suzery 2004). Pemberian ekstrak
purwoceng yang dapat menstimulasi peningkatan hormon testosteron memberikan
pengaruh yang paling berarti terhadap perkembangan sel-sel spermatogenik pada
tubuli seminiferi. Diduga, hal ini terjadi akibat meningkatnya kadar hormon
testosteron hasil konversi senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak
purwoceng yang terdeteksi dalam darah sebagai substrat dasar yang dibutuhkan
sebagai prekusor hormon steroid sehingga mampu mendukung berlangsungnya
peningkatan derajat spermatogenesis. Senyawa-senyawa bioaktif yang terkandung
dalam ekstrak purwoceng seperti keberadaan senyawa golongan sterol dan
flavonoid dianggap sebagai pemacu gonadotropin eksogen yang akan merangsang
gonadotropin endogen dari kelenjar hipofisa dan merangsang steroid secara alami
serta senyawa-senyawa lain yang ada dalam gonad. Sekresi testosteron oleh sel
Leydig memberikan konsentrasi testosteron yang tinggi di sekitar tubulus
seminiferus yang sangat penting untuk spermatogenesis.
Menurunnya konsentrasi testosteron atau ketidakseimbangan yang terjadi
dapat mempengaruhi proses spermatogenesis. Selain itu, dapat menyebabkan
spermatozoa tidak dapat mencapai pendewasaan, bahkan dapat menyebabkan
azospermia (Jhonson, et al. 2008). Tingginya konsentrasi androgen juga akan
mempengaruhi mekanisme yang terjadi pada target organ yang memiliki reseptor
adrogen. Hormon yang bertanggung jawab dalam mempengaruhi proses
spermatogenesis adalah hormon androgen, akan tetapi kerja hormon androgen
tidak sendiri. Hormon FSH atau LH dengan FSH juga mempunyai peran dalam
mempertahankan spermatogenesis.
Ekstrak purwoceng mengandung beberapa senyawa yang dapat menjadi
triger atau pemacu meningkatnya hormon testosteron. Kandungan senyawa
bioaktif dari golongan steroid menjadi susbtrat utama yang mampu dikonversi
menjadi hormon androgen (hormon steroid). Selain senyawa golongan steroid,
senyawa golongan flavonoid yang terdapat dalam tanaman juga akan diserap oleh
tubuh melalui pembuluh darah, senyawa tersebut mampu berikatan dengan
reseptor estrogen alfa (REα) pada testis dan epididimis yang dapat menggantikan
fungsi estrogenik dan bekerja sama dengan testosteron untuk pematangan
spermatozoa (Akiles 2011).
30
Beberapa literatur menjelaskan bahwa periode pubertas dikaitkan dengan
pertumbuhan testis yang cepat, perubahan pola sekresi LH yang meningkat secara
bertahap dalam darah, dan inisiasi spermatogenesis. Hal tersebut mendukung hasil
penelitian ini bahwa pada saat pubertas (kontrol), hormon testosteron lebih tinggi
dibanding umur dewasa. Kesiapan hipotalamus sebagai poros pusat yang secara
fisiologis telah memerlihatkan fungsinya, secara alami diikuti oleh peningkatan
sirkulasi testosteron pada perubahan steroidogenesis di dalam testis, diferensiasi
sel sertoli sampai terjadi spermatogenesis. Pada saat pubertas hewan menjadi
kurang sensitif terhadap penghambatan umpan balik pada kompleks hipotalamushipofisis oleh steroid gonad. Diduga, bahwa hal ini memberikan informasi adanya
peningkatan GnRH dan respon yang lebih besar oleh kelenjar pituitari. Faktor
lingkungan (internal maupun eksternal) juga dapat menjadi pengaruh penting
dalam sistem saraf pusat untuk memodulasi sistem endokrin. Hal tersebut dapat
menjadi faktor yang mampu menganggu bahkan mengubah kesiapan hewan
dalam mencapai pubertas.
Pada saat mencapai dewasa morfologi dan spermatogenesis telah
berlangsung dengan sempurna. Kondisi yang berbeda diperlihatkan pada umur
tua, adanya faktor fisiologis seperti penuaan diduga menjadi salah satu faktor
utama penyebab terjadinya penurunan fungsi hypotalamus pituitary gonad axis
yang menimbulkan ketidakteraturan hormononal dalam suatu siklus. Hal itu
dapat memengaruhi pembentukan epitel germinal pada proses spermatogenesis.
Terjadinya penuaan menjadi faktor penting dalam pengaruhnya terhadap
reproduksi. Hal tersebut berkaitan dengan menurunnya fungsi sel, sekresi
gonadotropin, dan sekresi steroid (Garner dan Hafez 2000).
Spermatogenesis dipengaruhi oleh hormon yang dihasilkan oleh
hipotalamus, hipofisa anterior dan gonad. Oleh karena itu spermatogenesis dapat
berlangsung dengan baik jika hubungan fungsional hipotalamus-pituitari-gonad
berjalan normal. Pengaruh pemberian ekstrak purwoceng pada umur tua dapat
terlihat pada kelompok kontrol (T0) yaitu adanya jarak lumen kosong antara
spermatogonium dengan spermatosit dan berbeda dengan keadaan tubulus
seminiferus pada kelompok T50. Hasil pengamatan histomorfologi memberikan
informasi adanya stimulasi yang terjadi secara fisioloigis terhadap proses
spermatogenesis dalam tubulus seminiferus yang memberikan perbaikan
perkembangan sel epitel seminiferus. Berkurangnya sintesis GnRH dapat
memengaruhi stimulasi hipofisis anterior dalam mensekresikan hormon
gonadotropin, yang secara langsung dapat menyebabkan berkurangnya
konsentrasi hormon testosteron sehingga menghambat proses spermatogenesis
(Kaspul 2007).
Hasil pengamatan aktivitas kelenjar prostat membuktikan bahwa antara
kontrol, dosis 25 dan 50 mg pada masing-masing kelompok umur hewan, yang
memerlihatkan persentase tertinggi dalam memproduksi sekreta adalah kelompok
umur dewasa. Berdasarkan hasil pengamatan histomorfologi perbedaan morfologi
sel pada ujung kelenjar terlihat antar umur dan antar dosis. Pada umur pubertas
ukuran ujung kelenjar terlihat lebih kecil, bentuknya rapat dan homogen,
sedangkan pada umur tua ukuran pada ujung kelenjar sudah bervariasi menyebar
di seluruh lobus.
Persentase kelompok umur dewasa yang menunjukan ujung kelenjar aktif
yang tertinggi. Pada saat dewasa proses fisiologis yang terjadi dalam tubuh
31
memperlihatkan respon maksimal terhadap proses reproduksi, jika dibandingkan
kelompok pubertas yang masih berada pada tingkat optimum dan masih
memungkinkan untuk dapat ditingkatkan. Meskipun morfologi dan aktivitas
kelenjar prostat pada umur pubertas sudah memerlihatkan sekresi kelenjar prostat
dan menunjukkan perkembangan yang sempurna, akan tetapi persentase aktivitas
kelenjar prostat tertinggi diperlihatkan pada umur dewasa.
Keberadaan kelenjar aksesoris berperan penting pada proses reproduksi.
Kelenjar prostat menghasilkan sekreta yang merupakan bagian dari plasma semen,
berfungsi sebagai nutrisi dan media transpor bagi spermatozoa. Selain itu, menjadi
perlindungan terhadap berbagai kuman infeksi, pembilas saluran uretra terhadap
sisa-sisa urin, dan berperan dalam proses netralisasi pH saluran reproduksi jantan
dan betina sebelum dilewati spermatozoa. Terwarnainya lumen ujung kelenjar
prostat mengindikasikan bahwa cairan prostat telah disekresikan ke daerah lumen,
(sel-sel epitel kelenjar dalam bentuk aktif). Selain itu, aktivitas sel kelenjar prostat
juga dapat dikatakan aktif pada ujung kelenjar dengan mukosa laminal sel
meninggi yang mengindikasikan bahwa sedang terjadi produksi cairan prostat
namun belum disekresikan ke lumen kelenjar. Semakin tinggi pemberian dosis
ekstrak purwoceng ternyata mampu meningkatkan aktivitas kelenjar prostat jika
dibandingkan dengan masing-masing kontrol. Lipatan mukosa pada dinding
asinus juga membuktikan adanya aktivitas yang ekstra pada pemberian dosis 50
mg.
Kelenjar prostat tidak akan berkembang dan aktif dengan normal tanpa
keberadaan hormon testikular androgen. Sesuai dengan Mohamad et al. (2001)
morfologi dan aktifitas dari kelenjar aksesoris berbeda antara kelenjar dan antar
umur, kelenjar prostat pada umur empat minggu sudah mulai memperlihatkan
adanya aktivitas dalam memproduksi cairan prostat, akan tetapi sekreta yang
dihasilkan kedalam lumen belum maksimal. Sebelum pubertas, kelenjar prostat
tikus memperlihatkan baru sebagian lumennya yang telah menunjukan sekresi
dengan adanya sekreta. Setelah pubertas, semua kelenjar asesoris menunjukan
aktifitas sekresi yang sempurna. Setelah hewan mencapai pubertas atau dewasa,
hampir semua lumen mengandung sekreta. Terlihat pada Gambar 11, kelenjar
prostat dewasa banyak memperlihatkan dinding asinus yang mengalami lipatan
mukosa. Harmelin (2005) menyimpulkan bahwa terjadinya lipatan mukosa berada
pada permukaan datar luminal pada bagian dorsolateral dan ventral prostat.
Peningkatan jumlah lipatan mukosa pada dinding asinus kelenjar dalam 5 lapang
pandang, lebih banyak diperlihatkan pada prostat hewan yang diberikan dosis 50
mg. Hal tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian Mohamad et al. (2001),
ketika umur dewasa kelenjar prostat tikus memperlihatkan lipatan mukosa yang
lebih banyak dibanding sebelum pubertas.
Gambaran histomorfologis kelenjar prostat membuktikan terjadinya
penebalan dan penipisan mukosa epitel luminal prostat pada dinding ujung
kelenjar. Penebalan mukosa tersebut banyak diperlihatkan pada kelompok umur
hewan yang diberikan dosis tertinggi yaitu dosis 50 mg. Hal tersebut diduga
bahwa ketika hewan diberikan ekstrak purwoceng dengan dosis 50 mg, mampu
memberikan pengaruh untuk mengaktifkan atau merangsang sel-sel sekretori
kelenjar prostat untuk mensekresikan sekreta. Walaupun pada beberapa ujung
kelenjar prostat memperlihatkan lumen yang tidak terwarnai, akan tetapi terjadi
penebalan mukosa epitel laminal di sepanjang dinding asinus.
32
Penipisan sel epitel terlihat pada kelompok umur tua khususnya pada
kelompok kontrol dimana tidak adanya rangsangan dalam meningkatkan kerja sel
epitel. Metabolisme yang semakin menurun seiring bertambahnya umur
memengaruhi fisiologis masing-masing individu. Sesuai dengan Harmelin (2005),
histologi normal prostat tikus bagian ventral memperlihatkan mukosa laminal sel
yang meninggi sepanjang dinding asinus yang diisi dengan sekresi secara
homogen. Morfologi sel epitel pada kelompok tua memerlihatkan mulai menipis
atau memipih dan tidak terlihat adanya cairan prostat dalam lumen, keadaan
tersebut dapat dinyatakan bahwa tidak berfungsinya sel epitel dalam aktivitasnya
memproduksi sekreta (Sluchzanowska 2006).
Pada umur tua terlihat ujung kelenjar yang tidak menyerap pewarnaan HE
dan memipihnya sel epitel serta mukosa di sepanjang dinding, hal tersebut
menyatakan bahwa kontrol serta pemberian dosis 25 dan 50 mg, memengaruhi
aktivitas kelenjar prostat untuk kembali menghasilkan cairan prostat. Informasi
yang diperoleh dari penelitian Sluchzanowska (2006) adanya penurunan ekspresi
AR pada sel epitel lobus dorsal prostat disebabkan oleh tingkat testosteron yang
menurun. Hal ini dapat dianalogikan bahwa ketika umur tua, adanya penurunan
fungsi fisiologis yang diindikasikan dengan adanya sel-sel epitel telah menjadi
kurang sensitif bahkan tidak aktif dalam memproduksi sekreta. Diferensiasi dan
pertumbuhan sel epitel bergantung pada faktor sensitif androgen yang dihasilkan
oleh stroma-stroma mesenkim embriologis (Wright et al. 2000).
Menurut Tenzer (1996), hasil penelitiannya membuktikan bahwa tidak
adanya kelenjar prostat terutama pada rodensia, khususnya bagian dorsolateral
menyebabkan berkurangnya viabilitas dan motilitas sperma yang berakibat pada
infertilitas. Hal ini membuktikan bahwa kelenjar prostat merupakan kelenjar
asesoris yang penting dalam menentukan fertilitas, tanpa sekreta dari kelenjarkelenjar aksesoris khususnya prostat dan sel-sel spermatozoa tidak dapat
mempertahankan potensi fertilitasnya. Pemberian ekstrak purwoceng dapat
meningkatkan serta memperbaiki aktivitas kelenjar prostat dan memberikan
pengaruh yang baik terhadap kerja kelenjar prsotat dalam memproduksi cairan
prostat khususnya kelompok umur tua. Pada kelompok umur tua sistem hormonal
dan fungsional organ target telah menurun, dengan adanya pemberian ekstrak
purwoceng dapat memberikan perbaikan produktifitas dalam menghasilkan
sekreta.
Hasil pengamatan yang diperoleh pada kelompok umur pubertas
memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi hormon testosteron jika
dibandingkan antara kontrol, dosis 25 dan 50 mg menunjukan peningkatan, yaitu
semakin tingginya pemberian dosis maka respon yang terjadi terhadap produksi
testosteron semakin meningkat. Hasil tersebut sesuai dengan teori hormonal pada
saat pubertas sistem endokrin telah bekerja dan dikontrol oleh mekanisme–
mekanisme fisiologik tertentu yang melibatkan gonad dan kelenjar
adenohypophisa. Pada umur pubertas, neuron hipotalamus sudah mampu
melepaskan GnRH dengan frekuensi dan amplitudo yang tinggi, karena pada saat
memasuki usia puber hipotalamus menjadi semakin kurang sensitivitasnya
terhadap umpan balik negatif. Hal itu memberikan respon terhadap tingginya
stimulasi ke hipotalamus yang mampum mensekresikan GnRH yang tinggi dan
mempengarui stimulasi terhadap hipofisa anterior dalam mensekresi hormon
gonadotropin. Mekanisme yang terjadi mempengaruhi stimulasi terhadap sel-sel
33
intersisial (sel leydig) dalam memproduksi testosteron. Hasil penelitian
konsentrawsi hormon testosteron mendukung hasil derajat spermatogenesis
dimana kemampuan hipotalamus-putitari-gonad mempengaruhi peningkatan
derajat spermatogenesis.
Pengaruh pemberian ekstrak purwoceng terhadap hormon androgen yaitu
testosteron terhadap umur dan dosis terbaik ialah pada kelompok umur dewasa
yang diberikan dosis 25 mg. Pada kelompok umur dewasa, dosis 25 mg cenderung
memberikan efek terhadap peningkatan dan penurunan pada kelompok hewan
yang diberikan dosis 50 mg. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dengan adanya
senyawa-senyawa bioaktif yang dapat dikonversi sebagai substrat dasar hormon
testosteron, akan tetapi jika konsentrasi tinggi maka terjadi umpan balik negatif
terhadap hipofisa anterior sehingga terjadi penekanan terhadap sekresi LH, hal
tersebut akan memengaruhi sel leydig dalam mensekresi testosteron (El-tantawy
2007). Testosteron merupakan androgen yang secara langsung mempunyai aksi
genomik dengan berikatan pada reseptor androgen (RA). Reseptor androgen
memiliki reseptor inti yang bertindak sebagai ligand-responsive transcription
factor. Pada testis RA ada pada sel leydig, sel peritubular, dan sel Sertoli.
Mekanisme testosteron secara bebas berdifusi melalui membran plasma dan
mengikat RA membentuk komplek yang kemudian berinteraksi dengan androgen
reseptor element (ARE) pada bagian promotor gen target (Amalia 2007).
Pendugaan menurunnya konsentrasi testosteron ketika diberikan dosis 50
mg adalah adanya mekanisme umpan balik negatif terhadap syaraf pusat yaitu
pada kelenjar hipotalamus dan hipofisa anterior. Menurut McLachlan (2002),
secara hormonal akan terjadi penekanan terhadap gonadotropin hormon dalam
serum ketika produksi mencapai maksimum. Penekanan pada GnRH cenderung
penting dalam memperbaiki jumlah sperma karena ketika produksi jumlah sperma
yang terlalu cepat maka akan terjadi penekanan terhadap mekanisme
spermatogenesis McLachlan (2002). Oleh karena itu, pada D50 tidak memberikan
pengaruh terhadap peningkatan konsentrasi.
Pada umur dewasa diketahui bahwa pemberian ekstrak purwoceng dengan
dosis 25 mg cenderung memberikan efek tertinggi tapi jika dikaitkan dengan
derajat spermatogenesis pada umur dewasa yang diberikan dosis 25 mg, tidak
memperlihatkan respon tertinggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa meskipun
adanya peningkatan konsentrasi hormon androgen sebagai akibat rangsangan dari
senyawa bioaktif yang sebagian dikonversi menjadi hormon androgen, namun
belum cukup untuk meningkatkan fungsi reproduksi pada testis
(spermatogenesis). Keadaan tersebut juga dapat disebabkan jika individu hewan
memiliki reproduksi cukup rendah yang berkaitan dengan faktor herediter atau
lingkungan. Kandungan saponin merupakan salah satu komponen tanaman di
afrodisiak yang diketahui dapat meningkatkan hormon gonadotropin. Efek dari
peningkatan tersebut mampu menstimulasi produksi androgen. Saponin sebagai
agen bioaktif yang mungkin bertanggung jawab untuk efek afrodisiaka, yang
berkontribusi terhadap peningkatan kadar testosteron endogen dengan
meningkatkan LH seperti yang dilaporkan oleh Taufiqurrachman (1999).
Hasil konsentrasi DHT pada kelompok umur kontrol memerlihatkan
bahwa semakin meningkatnya umur berkolerasi dengan penurunan konsentrasi
DHT. Pada pubertas pemberian ekstrak purwoceng tidak memberikan pengaruh
terhadap peningkatan hormon DHT. Pada umur dewasa, pemberian ekstrak
34
purwoceng memberikan pengaruh peningkatan produksi hormon dalam sirkulasi
darah. Hal tersebut juga terjadi pada kelompok umur tua, yaitu antara dosis
memperlihatkan peningkatan konsentrasi hormon DHT. Hasil penelitian pada
variabel konsentrasi androgen (DHT) pada kelompok hewan kontrol, terjadi
penurunan konsentrasi hormon tersebut dalam sirkulasi darah sesuai dengan
peningkatan umur.
Menurut Santamaria et al. (2007) produksi estradiol meningkat perlahan
pada pria usia lanjut ketika testis menjadi kurang responsif terhadap LH sehingga
diperlukan lebih banyak LH untuk mempertahankan androgen. Menurut hasil
penelitian Taufiqqachman (1999), pemberian ekstrak purwoceng lebih
memberikan peningkatan yang berarti pada konsentrasi LH. Diduga, kadar LH
yang tinggi secara tidak proporsional menstimulasi produksi estrogen.
Peningkatan estrogen yang bersirkulasi meningkatkan sintesis globulin pengikat
SHBG dan peningkatan SHBG menurunkan konsentrasi testosteron bebas dalam
sirkulasi. Hal ini menurunkan jumlah testosteron yang siap dikonversi menjadi
DHT pada plasma. Hal tersebut dapat mendukung hasil penelitian bahwa semua
kelompok hewan antar umur baik kontrol ataupun yang diberikan perlakuan dosis
25 dan 50 mg memperlihatkan penurunan persentase kelenjar prostat non aktif.
Menurut Mohler 2011, hormon DHT berperan penting dalam aktivitas kelenjar
prostat, namun sejauh ini masih sangat jarang penelitian mengenai mekanisme
yang terjadi di dalam kelenjar prostat selain keberadaan hormon androgen.
Pada umur pubertas terlihat adanya penurunan konsentrasi DHT, diduga
peningkatan testosteron yang terjadi disebabkan level yang berada dalam darah
terlalu tinggi. Taufiqurachman (1999) menyatakan bahwa ekstrak purwoceng
lebih meningkatkan kadar LH dalam darah jika dibandingkan dengan kadar
testosteron. Selain itu faktor stress, pencekokan atau penimbangan bobot badan
(teknis) yang dilakukan secara berkala dapat menjadi salah satu pemicu
peningkatan hormon lain yang menjadi lebih tinggi dalam darah. Teori yang telah
dikemukakan menurut Santamaria dan Taufiqurachman tersebut dapat dijadikan
dasar sistem hormonal terhadap penurunan kadar hormon DHT pada umur
pubertas. Secara hormonal ketika kadar LH tinggi dan testosteron dalam darah
meningkat melebihi keadaan yang normal pada saat pubertas, akan memengaruhi
ketidaknormalan keberadaan metabolit aktif dari hormon testosteron tersebut.
Wright et al. (2000) menyatakan bahwa meskipun testosteron merupakan hormon
androgen utama yang bersirkulasi, namun terlebih dahulu harus direduksi menjadi
dihidrotestosteron (DHT) oleh enzim 5a-reductase untuk aktivitas androgenik
yang maksimal pada kelenjar prostat.
Penelitian yang dilakukan oleh Wright et al. (1999) menyatakan
pentingnya kemampuan DHT dalam prostat untuk merangsang terjadinya
proliferasi sel. Walaupun testosteron dengan level yang lebih tinggi dibanding
DHT, tetapi DHT tetap menjadi hormon androgen yang lebih poten dalam
aktivitasnya menstimulasi sekresi (massa duktus), proliferasi sel (tingkat
DNA/prostat) serta berat dari prostat. Hal ini menjelaskan bahwa 5a-reductase
memperkuat sinyal androgen yang berada dalam prostat (Wright et al. 1999).
Potensi hormon DHT bergantung pada afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor
androgen inti prostat untuk DHT jika dibandingkan untuk testosteron. Diduga
ketidakstabilan reseptor androgen terhadap peningkatan hormon testosteron dapat
menyebabkan penurunan konsentrasi DHT pada pubertas.
35
DHT memiliki afinitas yang lebih tinggi atas reseptor androgen.
Testosteron akan dianggap sebagai androgen aktif karena rendahnya aktivitas 5aR dan rendahnya konsentrasi DHT dalam jaringan, mekanisme tersebut dapat
menjadi penyebabnya menurunnya konsentrasi pada hewan. Pada jalur akhir,
DHT bertindak secara tidak langsung pada produksi estrogen oleh sinyal
hipotalamus dan kelenjar hipofisis untuk mengurangi sekresi gonadotropin.
Aktivitas reseptor androgen tergantung pada tingginya afinitas mengikat
testosteron atau DHT, yang stabil pada saat reduktif dan oksidatif enzim.
Peredaran androgen utama yaitu testosteron disintesis di testis dari androstenedion
oleh reduksi 17b-HSD yang sifatnya reversibel dan dikonversi menjadi DHT oleh
5 alfa reduktase (Mohler 2011).
Menurut Mclachlan (2012), penelitian yang dilakukan oleh Anderson et al.
(1996) menunjukkan bahwa level DHT dalam plasma meningkat mencapai
oligospermia secara signifikan lebih besar daripada pria azoospermia. Hal tersebut
menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara metabolit hormon testosteron
dengan spermatogenesis. Pada semua kelompok umur hewan yang tidak diberikan
perlakuan (kontrol), terlihat penurunan konsentrasi hormon androgen baik
testosteron ataupun DHT. Hal tersebut mendukung teori dasar yang menyatakan
bahwa sesuai dengan meningkatkan umur maka akan terjadi penurunan hormon
androgen. Kelompok hewan yang diberikan perlakuan menunjukan adanya variasi
konsentrasi hormon androgen, oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa secara
umum pengaruh pemberian ekstrak purwoceng baik dosis 25 mg/kg ataupun 50
mg/kg dapat mempengaruhi konsentrasi hormon androgen pada setiap kelompok
umur.
Selain adanya faktor penuaan diduga terjadinya disfungsi reproduksi dari
individu tertentu yang dapat menyebabkan penurunan fungsional organ-organ
reproduksi. Hal tersebut dianalogikan karena adanya perubahan faal reproduksi
antara lain kerusakan saluran reproduksi, perubahan integritas gen, interaksi
hipotalamus-hipofisa-testis (gonad) yang mempengaruhi spermatogenesis melalui
disfungsi sertoli, sintesis dan aktivitas hormon-hormon seks yang berkaitan
dengan libido dan potensi ejakulasi, perubahan fungsi kelenjar-kelenjar seks
asesoris yang berkaitan dengan libido sampai menurunnya potensi ejakulasi. Akan
tetapi dengan adanya penelitian ini dapat dikatakan bahwa ekstrak purwoceng
khususnya dosis 50 mg mempunyai kecenderungan mampu meningkatkan fungsi
poros hipotalamus-hipofisis-target organ (testis dan kelenjar prostat) bagi
kelompok hewan pubertas dan dewasa dan sebagai tonik yang diduga dapat
mengaktifkan poros hipotalamus-hipofisis-target organ hormon androgen bagi
kelompok hewan tua.
36
37
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa terjadi
peningkatan derajat spermatogenesis dalam tubulus seminiferus dan aktivitas
kelenjar prostat pada semua kelompok umur tikus pasca pemberian ekstrak
purwoceng. Pemberian ekstrak purwoceng cenderung memberikan efek terhadap
peningkatan terhadap produksi hormon androgen pada semua umur, sedangkan
pada umur pubertas produksi hormon DHT cenderung menurun setelah pemberian
ekstrak purwaceng. Secara umum, dosis 50 mg merupakan dosis yang
memberikan respon tertinggi pada semua kelompok umur.
Saran
Hasil yang telah diperoleh dalam penelitian ini masih membuka peluang
untuk dilakukannya penelitian yang lebih lanjut seperti pengujian pada saraf pusat
untuk membuktikan keberadaan GnRH dan gonadotropin hormon baik
menggunakan pewarnaan khusus ataupun keberadaan enzim menggunakan teknik
PCR. Selain itu masih terdapat kemungkinan untuk meningkatkan dosis serta
perpanjangan lama waktu perlakuan khususnya pada umur tua.
38
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi P. 2011. Kajian androgenik ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella
alpina KDS) terhadap kinerja reproduksi tikus putih (Rattus norvegicus).
Tesis. Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Adyana KK. 2008. Dasar-dasar anatomi dan fisiologi tubuh manusia. Jurusan
Pendidikan Biologi FPMIPA UPI. Bandung.
Akiles AJ, Inara C. 2011. Potensi rumput Kebar (Biophytum petersianum
klotzsch) dalam meningkatkan kinerja reproduksi. Prosiding Seminar
Nasional : Pengembangan Pulau-Pulau Kecil.
Amalia R. 2007. Faktor-faktor risiko terjadinya pembesaran prostat jinak. Tesis.
Program Pascasarjana Universitas diponegoro Semarang.
Ballenger L. 2000. Rattus norvegicus. [internet]. [diacu 2012 September 24].
Tersediadari:http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/rattus/r._n
orvegicus$narrative.html
Brinkmann AO. 2009. Androgen Physiology: Receptor and Metabolic Disorders.
Chapter 3. University Medical Center Rotterdam. [internet].[diacu 2012
Oktober 2]. http://www.endotext.org/male/male3/maleframe3.htm
Caropeboka AM, Lubis I. 1975. Pemeriksaan pendahuluan kandungan kimia akar
Pimpinella alpine (Purwoceng). Simposium Tanaman Obat I, 8-9
Desember, Bagian Farmakologi. FKH, Institut Pertanian Bogor.
Caropeboka AM. 1980. Pengaruh ekstrak akar Pimpinella alpina Koord. terhadap
sistem reproduksi tikus. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Desiani H et al. 2000. Studi morfologi kelenjar aksesoris kelamin jantan tupai
(Tupaia glis) dengan tinjauan khusus pada sebaran karbohidrat. Media
Veteriner. 7(4):6-10.
El-Tantawy WH, Temraz A, El-Gindi OD. 2007. Free Serum Testosterone Level
in Male Rats Treated with Tribulus Alatus Extracts. International Braz J
Urol 33(4):554-559.
Garner DL, Hafez ESE. 2000. Spermatozoa and Seminal Plasma. In : Hafez ESE ,
B. Hafez (Ed). Reproduction in Farm Animal 7th Ed. Baltimore :
Lippincot Williams & Wilkins. hlm 96-99.
Guyton AC, Joh EH. 1997. Buku ajar fisiologi kedokteran ; editor edisi bahasa
Indonesia, Irawati S. Edisi 9. EGC. Jakarta. hlm 1269.
Hapsari S. 2011. Efektifitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella
alpina) selama 1-13 hari kebuntingan terhadap bobot ovarium dan uterus
tikus putih (Rattus sp.). Skripsi. Fakultas Kedokteran IPB.
Harmelin A, Danon T, Kela I, Brenner O. 2005. Biopsy of the mouse prostate.
The Weizmann Institute of Science, Israel. Laboratory Animals 39:215–
220.
39
Hernani, Rostiana O. 2004. Analisis kimia akar purwoceng (Pimpinella pruatjan).
Prosiding Fasilitasi Forum Kerjasama Pengembangan Biofarmaka.
Yogyakarta: Ditjen Hortikultura, Departemen Pertanian. hlm 10.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Diterjemahkan oleh Badan
Litbang Kehutanan. Jakarta. 3:1550.
Heyns W, De Moor P. 1976. Prostatic Binding Protein: A Steroid-Binding Protein
Secreted By Rat Prostate. Eur J Biochemical 89:221-230.
Hidayat S, Risna RA. 2007. Kajian ekologi tumbuhan obat langka di taman
nasional Bromo Tengger Semeru. Biodiversitas. ISSN: 1412-033X 8
(3):169-173
Darmawati I, Roostika I. 2006. Status Penelitian Purwoceng (Pimpinella alpina
Molk.) di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah. 12(1):9-15
Juniarto AZ. 2004. Perbedaan Pengaruh Pemberian Ekstrak Eurycoma longifolia
dan Pimpinella alpina Pada Spermatogenesis Tikus Sprague dawley.
Tesis. Pascasarjana Ilmu Biomedik Universitas Diponegoro, Semarang.
Johnson L, Donald L, Thompson Jr, Varner DD. 2008. Role of sertoli cell number
and function on regulation of spermatogenesis. Animal Reproduction
Science. 105:23–51.
Johnson MH, Everitt BJ. 1995. Testicular Function in Essential Reproduction 4th
ed. Chapter 3. Alden press. Oxford. hlm 45-60.
Johnson L, Varner DD, Roberts ME, Smith TL, Keillor GE, Scrutchfield WL.
2000. Eficiency of spermatogenesis: a comparative approach. Elsevier
Animal Reproduction Science 60-61. hlm 471-480.
Kaspul. 2007. Kadar Testosteron Tikus Putih (Ratus norvegicus L) Setelah
Mengkonsumsi Buah Terong Tukak (Solanum Torvum Sw). Bioscientiae.
4(1):1-8.
Lindzey J, Korach KS. 1997. Developmental and physiological effects of estrogen
receptor gene disruption in mice. Trends Endocrinol Metabolism. 8:137–
145.
Marks LS. 2004. 5 alfa reductase : History and clinical importance. Review in
Urology. 6 Suppl(9):S11-S21.
McConnell JD. 1999. Etiology, Pathophisiology and Diagnosis of Benign
Prostatic Hiperplasia. In : Campbell’s Urology, W.B. Saunders. hlm
1432-1433, 1437-1444.
McLachlan RI, O’ Doonel L, Meachem SJ, Stanton PG, De Kretser{dagger} DM,
Pratis K, Robertson DM. 2002. Identification of Specific Sites of
Hormonal Regulation in Spermatogenesis in Rats, Monkeys, and Man.
Journals of Endocrinology. 57(1):149-165.
Mohamad K, Novelina S, Adnyane IKM, Agungpriyono S. 2001. Morfologi dan
kandungan karbohidrat kelenjar aksesoris organ reproduksi tikus jantan
40
pada umur sebelum pubertas dan setelah pubertas. Jurnal Hayati IPB
Bogor. Hal 91-97.
Mohler JL, Titus MA, Suxia B. 2011. Bioconversion of Androstanediol to
Dihydrotestosterone in Activation of the Androgen Receptor by
Intratumoral Prostate Cancer Cancer Research. Page:1486-1496.
Murray RK, Ganner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Edisi
25. Jakarta EGC. hlm 547-566.
Myers P, Armitage D. 2004. “Rattus norvegicus” animal diversity web.
http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/information/Rattus_nor
vegicus.html [12 Juli 2012].
Nevalainen MT, Ahonen TJ, Yamashita H, Chandrashekar V, Bartke A, Grimley
PM, Robinson GW, Hennighausen L, Rui H. 2000. Epithelial Defect in
Prostates of Stat5a-Null Mice. Laboratory Investigation. 8(7):993-1006.
Pineda MH, Faulkner LC. 1980. Veterinary Endocrinology and Reproduction.
Edited by Mc Donald. Lea and Febiger, Philadelphia. hlm 235.
Rahardjo M. 2003. Purwoceng tanaman obat aprodisiak yang langka. Warta
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 9(2):4-7.
Rahardjo MS, Wahyuni O, Trisilawati, Djauhariya E. 2006. Ciri agronomis, mutu
dan lingkungan tumbuh tanaman obat langka purwoceng (Pimpinella
pruatjan Molk.). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia
XXVIII; Bogor: Balittro-POKJANAS TOI-Dir. Tanaman Sayuran dan
Biofarmaka. 62-71.
Rifai MA, Rugayah, Widjaja EA. 1992. Tiga puluh tumbuhan obat langka
Indonesia. Floribunda. hlm 2:15.
Robertson DM, Pruysers E, Stephenson T, Pettersson K, Morton S, McLachlan R
I. 2001. Sensitive LH dan FSH assays for monitoring low serum levels in
men undergoing steroidal contraception. Clinic Endocrinology 55:331–
339.
Ross MH, Kaye GI, Pawlina W. 2006. Histology a text and atlas.
Rostiana O, Rosita SM, Muhammad H, Hernani, Syahid SF, Haryudin W,
Miftakhurohmah, Seswita D, Surahman, Nasrun. 2003. Ekplorasi potensi
purwoceng dan cabe jawa serta perbaikan potenis genetik menunjang
industri obat tradisional afrodisiak. Laporan Teknis Penelitian
Penguasaan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat Tahun 2003. Bogor:
Balittro.
Roth MY, Page ST. 2011. A Role For Dihydrotestosterone Treatment In Older
Men. Asian Journal of Andrology. 13:199–200.
Santamaria L, Ingelmo I, Alonso L, Pozuelo JM, Rodríguez R. 2007.
Neuroendocrine Cells and Peptidergic Innervation in Human and Rat
Prostrate. Adv Anatomy Embriology Cell Biology XII 80:31.
Shappell Scott B et al. 2004. Prostate pathology of genetically engineered mice;
definition ad classification. The consensus report from the bar harbor
41
meeting of the mouse models of human cancer consortium prostate
pathology commitee. Cancer research 64:2270-2305.
Shaw G, Fenelon J, Sichlau M, Auchus RJ, Wilson JD, Renfree MB. 2005. Role
of the Alternate Pathway of Dihydrotestosterone Formation in
Virilization of the Wolffian Ducts of the Tammar Wallaby, Macropus
eugenii. Endocrinology 147(5):2368–2373.
Sidik, Sasongko, Kurnia E, Ursula. 1975. Usaha Isolasi Turunan Kumarin dari
Akar Purwoceng (Pimpinella alpina. Molk.) Asal Dataran Tinggi Dieng.
Simposium Tanaman Obat I, 8-9 Desember, Bagian Farmakologi. FKH,
Institut Pertanian Bogor.
Smith MF. 2006. Reproductive Physiology Animal Science 304. [internet]. [diacu
2013
Januari
18].
Tersedia
dari:
http://animalsciences.missouri.edu/courses/4314/microscope_slides/prost
ate_gland.htm. (18 Januari 2013)
Słuczanowska S, Laszczyn´ska M, Głabowski W, Wylot M. 2006. Morphology of
the epithelial cells and expression of androgen receptor in rat prostate
dorsal lobe in experimental hyperprolactinemia. Folia histochemica Et
cytobiologica. 44(1):25-30.
Sunanto H, Kuncoro S. 2009. Obat tradisional untuk pasangan suami istri. PT.
Elex Media Komputindo. Jakarta. hlm 56-57.
Suzery MB, Cahyono, Ngadiwiyana, Nurhasnawati H. 2004. Senyawa
stigmasterol dari Pimpinella alpina Molk. Suplemen. 39(1):39-41.
Sjamsuhidajat R, Wim de Jong, 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC
Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Taufiqqurrachman. 1999. Pengaruh ekstrak Pimpinella alpina. Molk.
(purwoceng) dan akar Eurycoma longifolia. Jack. (pasak bumi) terhadap
peningkatan kadar testosteron, LH, dan FSH serta perbedaan
peningkatannya pada tikus jantan Sprague Dawley. Tesis. Pascasarjana
Ilmu Biomedik, Universitas Diponegoro, Semarang.
Taufiqurrachman, Wibowo S. 2000. Pengaruh ekstrak akar Eurycoma longofolia
Jack (Eurycoma longifolia) terhadap peningkatan kadar testosteron, LH
dan FSH pada tikus jantan Sprague dawley. Media Medika Indonesiana.
Hlm 35(2):81-86.
Tenzer A. 1996. Peranan kelenjar seks asesoris dalam menentukan fertilitas
mamalia. Chimera 1. No.2.
Usmiati S, Yuliani S. 2010. Efek androgenik dan anabolik ekstrak akar Pimpinella
alpina Molk. (Purwoceng) pada anak ayam jantan. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. hlm 744-755.
Walker WH. 2010. Non-classical actions of testosterone and spermatogenesis.
Philosophycal transaction of the royal society. Biology science 365:
1557-1569.
42
Widotama, Gupta IGB. 2008. Pengaruh Isolat Herba Vernonia cinerea Terhadap
Spermatogenesis Tikus Putih (Rattus Norwegicus). Jurnal Kimia. 2
(2):117-124.
Wright AS et al. 2000. Androgen-Induced Regrowth in the Castrated Rat Ventral
Prostate: Role of 5a-Reductase. Endocrynology. 140(10):4509-4515.
Yuhono JT. 2004. Usaha tani purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk), potensi,
peluang dan masalah pengembangannya. Buletin Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat. 15(1):25-32.
43
LAMPIRAN
44
Lampiran 1
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis
(Dosis-umur pubertas)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Derajat Spermatogenesis
Source
Type III Sum
of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
.654
626.668
.654
.026
25.609
2.452E4
25.609
.001
.000
.001
Corrected Model
1.309a
2
Intercept
626.668
1
Dosis-Pubertas
1.309
2
Error
.153
6
Total
628.130
9
Corrected Total
1.462
8
a. R Squared = ,895 (Adjusted R Squared = ,860)
Descriptive Statistics
Dosis – Pubertas
Mean
Std. Deviation
N
D0P
D25P
D50P
Total
7.9667
8.2000
8.8667
8.3444
.05774
.26458
.05774
.42753
3
3
3
9
Post hoc
Dosis – Pubertas
Subset
N
1
2
D0P
3
7.9667
D25P
3
8.2000
D50P
3
8.8667
Sig.
.124
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means. The error term is mean square
(Error) = ,026.
45
Lampiran 2
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis
(Dosis-umur dewasa)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Derajat_spematogenesis
Source
Type III Sum
of Squares
df
Mean Square
Corrected Model .542a
2
.271
Intercept
763.601
1
763.601
Dosis - Dewasa
.542
2
.271
Error
.287
6
.048
Total
764.430
9
Corrected Total
.829
8
a. R Squared = ,654 (Adjusted R Squared = ,539)
F
Sig.
5.674
.041
1.598E4 .000
5.674
.041
Descriptive statistics
Dosis - Dewasa
Mean
Std. Deviation
N
D25D
D50D
D0D
Total
9.2333
9.5000
8.9000
9.2111
.25166
.10000
.26458
.32189
3
3
3
9
Post hoc
Dosis – Dewasa
N
Subset
1
2
D0D
3
8.9000
D25D
3
9.2333
9.2333
D50D
3
9.5000
Sig.
.111
.186
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
46
Lampiran 3
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis
(Dosis-umur tua)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Derajat_spermatogenesis
Source
Type III Sum
of Squares
df
Mean Square
Corrected
.336a
2
.168
Model
Intercept
522.884
1
522.884
Dosis - Tua
.336
2
.168
Error
.360
6
.060
Total
523.580
9
Corrected Total .696
8
a. R Squared = ,482 (Adjusted R Squared = ,310)
Descriptive statistics
Dosis - Tua
Mean
Std. Deviation
N
D0T
D25T
D50T
Total
7.3667
7.6667
7.8333
7.6222
.32146
.11547
.25166
.29486
3
3
3
9
Post Hoc
Dosis - Tua
N
Subset
1
D0T
3
7.3667
D25T
3
7.6667
D50T
3
7.8333
Sig.
.065
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
F
Sig.
2.796
.139
8.715E3
2.796
.000
.139
47
Lampiran 4
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis (UmurDosis 0)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Derajat_spermatogenesis
Type III Sum
of Squares
Source
df
Mean Square
a
Corrected Model
3.582
2
1.791
Intercept
587.254
1
587.254
Umur - D0
3.582
2
1.791
Error
.353
6
.059
Total
591.190
9
Corrected Total
3.936
8
a. R Squared = ,910 (Adjusted R Squared = ,880)
Descriptive statistics
Umur_-_D0
Mean
Std. Deviation
N
P0
D0
T0
Total
7.9667
8.9000
7.3667
8.0778
.05774
.26458
.32146
.70139
3
3
3
9
Post hoc
Umur - D0
N
Subset
1
2
3
T0
3
7.3667
P0
3
7.9667
D0
3
8.9000
Sig.
1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
F
Sig.
30.415
9.972E3
30.415
.001
.000
.001
48
Lampiran 5
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis
(Umur-dosis 25 mg)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Derajat_spermatogenesis
Source
Type III Sum of
Squares
df
Mean Square
Corrected Model
3.807a
2
Intercept
630.010
1
Umur - D25
3.807
2
Error
.293
6
Total
634.110
9
Corrected Total
4.100
8
a. R Squared = ,928 (Adjusted R Squared = ,905)
1.903
630.010
1.903
.049
Descriptive statistics
Umur_-_D25
Mean
Std. Deviation
N
P25
D25
T25
Total
8.2000
9.2333
7.6667
8.3667
.26458
.25166
.11547
.71589
3
3
3
9
Post hoc
Subset
Umur - D25
N
1
2
3
T25
3
7.6667
P25
3
8.2000
D25
3
9.2333
Sig.
1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
F
Sig.
38.932 .000
1.289E4 .000
38.932 .000
49
Lampiran 6
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis
(Umur-dosis 50 mg)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Derajat spermatogenesis
Source
Type III Sum
of Squares
df
Mean Square
Corrected Model
4.247a
2
Intercept
686.440
1
Umur - D50
4.247
2
Error
.153
6
Total
690.840
9
Corrected Total
4.400
8
a. R Squared = ,965 (Adjusted R Squared = ,954)
2.123
686.440
2.123
.026
F
83.087 .000
2.686E4 .000
83.087 .000
Descriptive statistics
Umur - D50
Mean
Std. Deviation
N
P50
D50
T50
Total
8.8667
9.5000
7.8333
8.7333
.05774
.10000
.25166
.74162
3
3
3
9
Post hoc
Umur - D50
N
Subset
1
2
Sig.
3
T50
3
7.8333
P50
3
8.8667
D50
3
9.5000
Sig.
1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed
means.
50
Lampiran 7
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(testosteron) (Dosis-umur pubertas)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Konsentrasi_Testosteron
Source
Type III Sum of
Squares
df
Corrected Model
.001a
2
Intercept
13.225
1
Dosis - Pubertas
.001
2
Error
2.762
6
Total
15.988
9
Corrected Total
2.763
8
a. R Squared = ,000 (Adjusted R Squared = -,333)
Mean Square
.000
13.225
.000
.460
.001
28.734
.001
Descriptive statistics
Dosis - Pubertas
Mean
Std. Deviation
N
D0P
D25P
D50P
Total
1.2033
1.2067
1.2267
1.2122
.50013
.65287
.83931
.58764
3
3
3
9
Post hoc
Dosis – Pubertas
N
Subset
1
D0P
3
1.2033
D25P
3
1.2067
D50P
3
1.2267
Sig.
.969
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed. Based on observed means.
F
Sig.
.999
.002
.999
51
Lampiran 8
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(testosteron) (Dosis-umur dewasa)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Konsentrasi Testosteron
Type III Sum
of Squares
df
Source
a
Corrected Model
.407
2
Intercept
16.430
1
Dosis - Dewasa
.407
2
Error
1.180
6
Total
18.017
9
Corrected Total
1.587
8
a. R Squared = ,257 (Adjusted R Squared = ,009)
Mean Square F
Sig.
.204
16.430
.204
.197
.411
.000
.411
Descriptive statistics
Dosis - Dewasa
Mean
Std. Deviation
N
D25D
D50D
D0D
Total
1.5367
1.4633
1.0533
1.3511
.59079
.37421
.31770
.44541
3
3
3
9
Post Hoc
Dosis - Dewasa
N
Subset
1
D0D
3
1.0533
D50D
3
1.4633
D25D
3
1.5367
Sig.
.244
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed. Based on observed means.
1.035
83.540
1.035
52
Lampiran 9
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(testosteron) (Dosis-umur tua)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Konsentrasi_Testosteron
Type III Sum of
Squares
Source
Mean
Square
df
Corrected Model
.131a
2
Intercept
6.639
1
Dosis - Tua
.131
2
Error
1.593
6
Total
8.363
9
Corrected Total
1.724
8
a. R Squared = ,076 (Adjusted R Squared = -,232)
.065
6.639
.065
.266
Descriptive statistics
Dosis - Tua
Mean
Std. Deviation
N
D0T
D25T
D50T
Total
.7300
.8267
1.0200
.8589
.33719
.32083
.76151
.46420
3
3
3
9
Post hoc
Dosis - Tua
N
Subset
1
D0T
3
.7300
D25T
3
.8267
D50T
3
1.0200
Sig.
.529
Means for groups in homogeneous
subsets are displayed. Based on observed
means.
F
Sig.
.246
25.005
.246
.789
.002
.789
53
Lampiran 10
Analisis varian dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(testosteron) (Umur-dosis 0)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Konsentrasi_Testosteron
Source
Type III Sum
of Squares
df
Mean Square F
a
Corrected Model .351
2
.176
Intercept
8.920
1
8.920
Umur - D0
.351
2
.176
Error
.930
6
.155
Total
10.201
9
Corrected Total
1.281
8
a. R Squared = ,274 (Adjusted R Squared = ,032)
Descriptive statistics
Umur - D0
Mean
Std. Deviation
N
P0
D0
T0
Total
1.2033
1.0533
.7300
.9956
.50013
.31770
.33719
.40010
3
3
3
9
Post hoc
Umur - D0
N
Subset
1
T0
3
.7300
D0
3
1.0533
P0
3
1.2033
Sig.
.204
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed. Based on observed means.
1.133
57.578
1.133
Sig.
.382
.000
.382
54
Lampiran 11
Analisis varian dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(testosteron) (Umur-dosis 25 mg)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Konsentrasi_Testosteron
Type III Sum
of Squares
Source
df
Mean Square
Corrected Model
.757a
2
Intercept
12.745
1
Umur – D25
.757
2
Error
1.756
6
Total
15.259
9
Corrected Total
2.514
8
a. R Squared = ,301 (Adjusted R Squared = ,068)
Descriptive statistics
Umur – D25
Mean
Std. Deviation
N
P25
D25
T25
Total
1.2067
1.5367
.8267
1.1900
.65287
.59079
.32083
.56056
3
3
3
9
Post hoc
Umur - U25
N
T25
P25
D25
Sig.
3
3
3
Subset
1
.8267
1.2067
1.5367
.171
.379
12.745
.379
.293
F
Sig.
1.294
43.538
1.294
.341
.001
.341
55
Lampiran 12
Analisis varian dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(testosteron) (Umur-dosis 50 mg)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Konsentrasi_Testosteron
Source
Type III Sum
of Squares
df
Mean
Square
Corrected Model
.295a
2
.148
Intercept
13.764
1
13.764
Umur – D50
.295
2
.148
Error
2.849
6
.475
Total
16.908
9
Corrected Total
3.144
8
a. R Squared = ,094 (Adjusted R Squared = -,208)
Descriptive statistics
Umur – D50
Mean
Std. Deviation
N
P50
D50
T50
Total
1.2267
1.4633
1.0200
1.2367
.83931
.37421
.76151
.62690
3
3
3
9
Post hoc
Umur – D50
N
Subset
1
T50
3
1.0200
P50
3
1.2267
D50
3
1.4633
Sig.
.474
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed. Based on observed means.
F
Sig.
.311
28.990
.311
.744
.002
.744
56
Lampiran 13 Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(DHT) (Dosis-umur pubertas)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Konsentrasi_DHT
Type III Sum
of Squares
df
Source
a
Corrected Model
.065
2
Intercept
2.232
1
Dosis - Pubertas
.065
2
Error
.273
6
Total
2.570
9
Corrected Total
.338
8
a. R Squared = ,193 (Adjusted R Squared = -,075)
Mean Square F
Sig.
.033
2.232
.033
.045
.525
.000
.525
Descriptive statistics
Dosis - Pubertas
Mean
Std. Deviation
N
D0P
D25P
D50P
Total
.6173
.4233
.4533
.4980
.19951
.07767
.30089
.20560
3
3
3
9
Post hoc
Dosis - Pubertas
N
Subset
1
D25P
3
.4233
D50P
3
.4533
D0P
3
.6173
Sig.
.322
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed. Based on observed means.
.720
49.103
.720
57
Lampiran 14 Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(DHT) (Dosis-umur dewasa)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Konsentrasi_DHT
Type III Sum
of Squares
df
Source
a
Corrected Model
.082
2
Intercept
3.770
1
Dosis – Dewasa
.082
2
Error
.100
6
Total
3.952
9
Corrected Total
.182
8
a. R Squared = ,452 (Adjusted R Squared = ,270)
Mean Square F
.041
3.770
.041
.017
Descriptive statistics
Dosis - Dewasa
Mean
Std. Deviation
N
D0D
D25D
D50D
Total
.5173
.6797
.7447
.6472
.14760
.11337
.12322
.15079
3
3
3
9
Post hoc
Dosis - Dewasa
N
Subset
1
D0D
3
.5173
D25D
3
.6797
D50D
3
.7447
Sig.
.082
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed. Based on observed means.
Sig.
2.477
.164
227.017 .000
2.477
.164
58
Lampiran 15
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(DHT) (Dosis-umur tua)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Konsentrasi_DHT
Source
Type III Sum
of Squares
df
Mean Square
Corrected Model
.002a
2
.001
Intercept
1.748
1
1.748
Dosis – Tua
.002
2
.001
Error
.428
6
.071
Total
2.177
9
Corrected Total
.429
8
a. R Squared = ,004 (Adjusted R Squared = -,329)
Descriptive statistics
Dosis – Tua
Mean
Std. Deviation
N
D0T
D25T
D50T
Total
.4263
.4380
.4577
.4407
.28251
.27109
.24598
.23160
3
3
3
9
Post hoc
Dosis - Tua
N
Subset
1
D0T
3
.4263
D25T
3
.4380
D50T
3
.4577
Sig.
.894
Means for groups in homogeneous
subsets are displayed. Based on observed
means.
F
Sig.
.011
24.523
.011
.990
.003
.990
59
Lampiran 16
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(DHT) (Umur-dosis 0)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Konsentrasi_DHT
Source
Type III Sum
of Squares
df
Mean Square
Corrected Model
.055a
2
.027
Intercept
2.437
1
2.437
Umur - D0
.055
2
.027
Error
.283
6
.047
Total
2.774
9
Corrected Total
.338
8
a. R Squared = ,162 (Adjusted R Squared = -,117)
Descriptive statistics
Umur - D0
Mean
Std. Deviation
N
P0
D0
T0
Total
.6173
.5173
.4263
.5203
.19951
.14760
.28251
.20541
3
3
3
9
Post hoc
Umur - D0
N
Subset
1
TD0
3
.4263
D0
3
.5173
P0
3
.6173
Sig.
.337
Means for groups in homogeneous
subsets are displayed. Based on
observed means.
F
Sig.
.581
51.699
.581
.588
.000
.588
60
Lampiran 17
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(DHT) (Umur-dosis 25 mg)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Konsentrasi_DHT
Type III Sum of
Squares
df
Source
a
Corrected Model
.124
2
Intercept
2.375
1
Umur - D25
.124
2
Error
.185
6
Total
2.684
9
Corrected Total
.309
8
a. R Squared = ,402 (Adjusted R Squared = ,203)
Mean Square F
Sig.
.062
2.375
.062
.031
.214
.000
.214
2.019
77.121
2.019
Descriptive statistics
Umur - D25
Mean
Std. Deviation
N
P25
D25
T25
Total
.4233
.6797
.4380
.5137
.07767
.11337
.27109
.19656
3
3
3
9
Post hoc
Umur - D25
N
Subset
1
P25
3
.4233
T25
3
.4380
D25
3
.6797
Sig.
.135
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed. Based on observed means.
Lampiran 18
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen
(DHT) (Umur-dosis 50 mg)
61
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variable : Konsentrasi_DHT
Type III Sum of
Squares
Source
df
Mean Square
F
Sig.
.084
2.741
.084
.055
1.509
49.474
1.509
.294
.000
.294
Corrected Model
.167a
2
Intercept
2.741
1
Umur - D50
.167
2
Error
.332
6
Total
3.241
9
Corrected Total
.500
8
a. R Squared = ,335 (Adjusted R Squared = ,113)
Descriptive Statistics
Umur – Dosis 50 mg
Mean
Std. Deviation
N
P50
D50
T50
Total
.4533
.7447
.4577
.5519
.30089
.12322
.24598
.24993
3
3
3
9
Umur – Dosis 50 mg
N
Post hoc
Subset
1
P50
3
.4533
T50
3
.4577
D50
3
.7447
Sig.
.193
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based
on observed means.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Juli 1987 dari Ayahanda
Piter Markus Simanjuntak, SH., M.Si. dan Alm. Ibunda Dumaria Siahaan. Penulis
merupakan putri ketiga dari empat bersaudara. Pada tahun 1993, penulis tercatat
sebagai siswi Sekolah Dasar Kristen (SDK) Pa Van Der STEUR, Bekasi. Penulis
menyelesaikan pendidikannya di SD tersebut pada tahun 1999. Penulis
melanjutkan pendidikannya ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri
24 Jakarta Timur pada tahun 1999 dan menyelesaikan kewajibannya sebagai siswi
SMP 24 Jakarta Timur pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan ke
jenjang Sekolah Menengah Umum (SMU) Yadika 4 dan menyelesaikan
kewajibannya pada tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan
pendidikannya di Perguruan Tinggi Negeri, Universitas Padjadjaran. Penulis
diterima sebagai mahasiswi Program Studi S1 (Reguler), Jurusan Ilmu
Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, dan mengambil minat
Produksi Ternak dengan fokus penelitian reproduksi ternak jantan. Penulis lulus
sebagai Sarjana Peternakan Universitas Padjadjaran pada bulan Juli 2009. Pada
tahun 2010, penulis melanjutkan Program Pascasarjana Mayor Biologi
Reproduksi Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB dengan fokus penelitian
yang sama yaitu reproduksi pada hewan jantan.
Download