BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Cipta 1. Pengertian, Fungsi dan Pembatasan Hak Cipta Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang antara lain dapat terdiri dari buku, program komputer, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu, serta hak terkait dengan hak cipta. Rekaman suara dan/atau gambar pertunjukan seorang pelaku, misalnya seorang penyanyi atau penari diatas panggung, merupakan hak terkait yang dilindungi hak cipta31. Istilah hak cipta merupakan pengganti auteusrechts atau copyrights yang kandungan artinya lebih tepat dan luas, istilah Auteurs Rechts sendiri disadur dari istilah bahasa Belanda yang mempunyai arti hak pengarang. Secara yuridis, istilah hak cipta telah dipergunakan dalam Undang-undang Hak Cipta Tahun 1982 sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dipergunakan dalam Auteurswet 1912. Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1, yang dimaksud dengan hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin 31 Tim Lindsey et. all, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar,Alumni, Bandung, 2003, hal 6 21 untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan yang dimaksud dengan hak terkait dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002 adalah hak yang berkaitan dengan hak cipta, yaitu hak eksklusif bagi pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya dan bagi lembaga penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya seninya. Terdapat dua unsur penting yang terkandung dalam rumusan pengertian hak cipta yang termuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, yaitu32: a. Hak yang dapat dipindahkan atau dialihkan kepada pihak lain; b. Hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun dan dengan jalan apapun tidak dapat ditinggalkan daripadanya, seperti mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya, mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan atau integritas ceritanya. Sifat hukum hak cipta berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 1 Undang-undang Hak Cipta No.19 Tahun 2002, yaitu33: a. Hak cipta itu merupakan hak yang bersifat khusus, istimewa, atau eksklusif (exclusive rights) yang diberikan kepada pencipta atau pemegang hak cipta. Hak yang bersifat khusus ini berarti tidak ada 32 Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual Perlindungan Dan Dimensi Hukumnya Di Indonesia, Alumni, Bandung ,2003, hal 86 33 Ibid 22 orang lain yang boleh menggunakan hak tersebut, kecuali dengan ijin pencipta atau pemegang hak cipta tersebut; b. Hak yang bersifat khusus, tunggal, atau monopoli yang merupakan hak pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan ciptaannya, memperbanyak ciptaannya dan memberi ijin kepada orang lain untuk mengumumkan atau memperbanyak hasil ciptaannya tersebut; c. Pencipta atau pemegang hak cipta maupun orang lain yang telah diberi ijin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, dalam melaksanakan hak yang bersifat khusus tersebut harus melakukannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang merupakan pembatasan-pembatasan tertentu; d. Hak cipta tersebut dianggap sebagai benda bergerak yang bersifat immateriil yang dapat beralih atau dialihkan kepada orang lain, baik untuk seluruh maupun sebagian. Hak cipta mengandung beberapa prinsip dasar (basic principles) yang secara konseptual digunakan sebagai landasan pengaturan hak cipta di semua negara, baik itu yang menganut Civil Law System maupun Common Law System. Beberapa prinsip yang dimaksud adalah34: a. Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli. Prinsip ini adalah prinsip yang paling mendasar dari perlindungan hak cipta, maksudnya yaitu bahwa hak cipta hanya berkenaan dengan bentuk perwujudan dari suatu ciptaan. Prinsip ini dapat diturunkan 34 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta UUHC No.19 Tahun 2002, Alumni, Bandung , 2004, hal 98 23 menjadi beberapa prinsip lain sebagai prinsip-prinsip yang berada lebih rendah atau sub-principles, yaitu: 1) Suatu ciptaan harus mempunyai keaslian (orisinil) untuk dapat menikmati hak-hak yang diberikan oleh Undang-undang. Keaslian sangat erat hubungannya dengan bentuk perwujudan suatu ciptaan. 2) Suatu ciptaan mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan diwujudkan dalam bentuk tulisan atau bentuk material yang lain, ini berarti suatu ide atau pemikiran belum merupakan suatu ciptaan. 3) Karena hak cipta adalah hak eksklusif dari pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, hal tersebut berarti bahwa tidak ada orang lain yang boleh melakukan hak tersebut tanpa seijin pencipta atau pemegang hak cipta. b. Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis) Suatu hak cipta akan eksis pada saat seorang pencipta mewujudkan idenya dalam bentuk yang berwujud, dengan adanya wujud dari suatu ide maka suatu ciptaan akan lahir dengan sendirinya. Ciptaan tersebut dapat diumumkan atau tidak diumumkan, tetapi jika suatu ciptaan tidak diumumkan maka hak ciptanya tetap ada pada pencipta. c. Suatu ciptaan tidak selalu perlu diumumkan untuk memperoleh suatu hak cipta 24 d. Hak cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui hukum yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan. e. Hak cipta bukan hak mutlak Hak cipta bukan merupakan suatu monopoli mutlak melainkan hanya suatu monopoli terbatas. Hak cipta yang secara konseptual tidak mengenal konsep monopoli penuh, sebab mungkin saja seorang pencipta menciptakan suatu ciptaan yang sama dengan ciptaan yang telah tercipta lebih dahulu, dengan syarat tidak terjadi suatu bentuk peniruan atau plagiat secara murni. Hak cipta merupakan hak istimewa yang hanya dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta, penggunaan atau pemanfaatannya hendaknya berfungsi sosial. Hal ini dikarenakan adanya pembatasanpembatasan tertentu yang diatur dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hasil karya cipta atau ciptaan bukan saja hanya dapat dinikmati oleh penciptanya saja, tetapi juga dapat dinikmati, dimanfaatkan, dan digunakan oleh masyarakat luas, sehingga ciptaan itu mempunyai nilai guna, disamping nilai moral dan ekonomis. 25 Pembatasan terhadap penggunaan hak cipta berikutnya dapat dilihat dalam pasal-pasal berikut ini: a. Pasal 14 Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002. Pasal-pasal tersebut menyebutkan pembatasan mengenai penggunaan hak cipta dengan tanpa syarat , yaitu35: 1) Lambang negara dan lagu kebangsaan; 2) Segala sesuatau yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh pemerintah; 3) Berita aktual. b. Pasal 16 Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 yang mengatur lisensi wajib (compulsory licensing). Fungsi sosial hak cipta secara efektif akan lebih mudah dilaksanakan melalui mekanisme lisensi wajib. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa hak cipta yang bersifat khusus atau eksklusif itu, baik bagi pencipta maupun bagi pemegang hak cipta atau orang lain, harus dilakukan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku dan merupakan pembatasan-pembatasan tertentu, artinya Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 telah memberikan sarana guna mewujudkan prinsip fungsi sosial yang harus melekat pada hak milik sebagaimana lazimnya yang memberikan kemungkinan kepada 35 Ibid, hal 98 26 masyarakat luas untuk memanfaatkan atau menikmati suatu ciptaan yang dilindungi hak ciptanya sebagai salah satu hak milik. Pembatasan-pembatasan menurut Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 bertujuan agar setiap penggunaan hak cipta harus sesuai dengan tujuannya. Pembatasan hak cipta bertujuan agar setiap orang atau badan hukum tidak menggunakan haknya secara sewenang-wenang. Setiap penggunaan hak cipta harus diperhatikan terlebih dahulu apakah hal itu tidak bertentangan atau tidak merugikan kepentingan umum. Indonesia tidak menganut paham individualis, dengan kata lain hak individu tetap dihormati sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Penggunaan hak cipta harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari hak cipta itu sendiri, sehingga mendatangkan manfaat bagi kepentingan umum dan kepentingan negara dan bangsa. Pembatasan terhadap hak cipta bukan berarti hak individu terhadap hak cipta akan terdesak oleh kepentingan umum. Undangundang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 memperhatikan pula kepentingankepentingan perseorangan, oleh karena itu kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan harus saling mengimbangi sehingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok yang hendak dicapai dalam pemanfaatan atau penggunaan hak cipta. 27 2. Sejarah Pengaturan Hukum Hak Cipta a. Sejarah Pengaturan Hukum Hak Cipta di Dunia Internasional Sejarah konsepsi perlindungan di bidang hak cipta mulai tumbuh dengan jelas sejak diketemukannya mesin cetak pada abad pertengahan di Eropa. Kebutuhan di bidang hak cipta timbul karena dengan mesin cetak, karya-karya cipta dengan mudah diperbanyak secara mekanikal. Hal inilah yang pada awalnya menumbuhkan copyright. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, isi dan lingkup perlindungan hukum tersebut memperoleh kritik yang keras, sebab yang dianggap menikmati perlindungan hanyalah pengusaha percetakan dan penerbitan, sedangkan pencipta karya cipta itu sendiri (authors) praktis tidak memperoleh perlindungan hukum yang semestinya 36. Para filsuf Eropa yang mengkritik hal tersebut berargumentasi bahwa karya-karya cipta pada dasarnya merupakan refleksi pribadi atau alter ego dari penciptanya. Kemudian tumbuhlah konsep baru yaitu authors right yang menggantikan copyright37. Faktor sosial juga mendukung terjelmanya hak cipta yang melekat atas karya tulis para pengarang dan penulis. Pada tahun 1690, John Locke mengutarakan dalam bukunya Two Treaties on Civil Government, bahwa pengarang atau penulis mempunyai hak dasar (natural right) atas karya ciptaannya. Pandangan ini pada hakekatnya didahului dengan adanya gerakan renaissance yang menjunjung tinggi 36 37 Rahmadi Usman, Op.Cit, hal 55 Ibid 28 kemampuan manusia sebagai pribadi yang mandiri, yang ingin membebaskan diri dari kungkungan raja dan gereja38. Perlindungan yang diberikan kepada hasil ciptaan dan penciptanya, bukan saja sekedar sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap hasil karya cipta seseorang di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, tetapi juga diharapkan akan dapat membangkitkan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di bidang ilmu pengetahuan, seni dan satra. Karya-karya ini tidak sekedar memiliki arti sebagai hasil akhir, tetapi juga merupakan kebutuhan yang bersifat lahiriah dan batiniah, baik bagi penciptanya maupun orang lain yang memerlukannya. Oleh karena itu, dibutuhkan perlindungan hukum yang memadai terrhadap hasil ciptaan dan penciptanya di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra39. Berkembangnya sudut pandang yang menganggap perlu adanya bentuk perlindungan hukum terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) memacu dilakukannya perundingan internasional yang membahas tentang perlindungan hukum atas Hak Kekayaan Intelektual. Hal ini membuktikan bahwa permasalahan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) bukan lagi menjadi urusan suatu negara saja, akan tetapi sudah menjadi urusan masyarakat internasional, terlebih lagi sejak ditandatanganinya Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO), dengan dibentuknya 38 39 Ibid, hal 56 Ibid 29 World Trade Organization maka perlindungan terhadap HaKI semakin ketat dan penegakan hukumnya dapat dilaksanakan melalui suatu badan yang bernaung dibawah payung WTO yang dinamakan Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body). Upaya perlindungan hukum terhadap HaKI dapat dilaksanakan seefisien dan seefektif mungkin, untuk itu diperlukan suatu kerjasama antara negara-negara anggota WTO yang bersifat regional maupun internasional. Atas dasar pemikiran ini maka negara-negara yang berada dikawasan Asia Pasifik membentuk suatu forum kerjasama yang terdiri dari para ahli dibidang HaKI, forum ini bertujuan agar upaya perlindungan hukum terhadap HaKI sesuai dengan standar perlindungan yang ditetapkan dalam Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). b. Sejarah Pengaturan Hukum Hak Cipta di Indonesia Secara yuridis formal, Indonesia diperkenalkan dengan masalah hak cipta pada tahun 1912, yaitu pada saat diundangkannya Auteurswet (Wet van 23 September 1912, Staatsblad 1912 Nomor 600), yang mulai berlaku sejak tanggal 23 September 1912. Meskipun pada waktu itu Indonesia telah memberlakukan Auteurswet 1912, untuk kepentingan pendidikan dibolehkan menyimpang dari aturanaturan Auteurswet 1912 tersebut. Hal ini tampak dari adanya bukubuku terbitan Balai Pustaka berupa terjemahan buku-buku yang para pengarangnya berasal dari beberapa negara Eropa, tanpa meminta izin 30 menerjemahkan terlebih dahulu dari pengarang aslinya. Penerbit Balai Pustaka merupakan suatu badan usaha milik negara. Penerjemahan yang dilakukan penerbit Balai Pustaka dilakukan dengan maksud baik, yaitu untuk memperkaya khasanah pustaka bagi bangsa Indonesia yang belum memiliki jumlah yang memadai. Menurut Auteurswet 1912, penerjemahan tanpa izin dari penciptanya merupakan pelanggaran. Bahkan, penerjemahan dilakukan dari buku-buku yang sudah menjadi milik umum (public domain), penyebutan nama pencipta dan judul aslinya harus tetap dilakukan, mengingat masih adanya hak-hak moral (moral rights) yang melekat pada ciptaan-ciptaan yang bersangkutan40. Setelah Indonesia merdeka, ketentuan Auteurswet 1912 ini masih dinyatakan berlaku sesuai dengan ketentuan peralihan yang terdapat dalam Pasal I Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, yaitu segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini41. Keikutsertaan Indonesia dalam upaya perlindungan terhadap HaKI sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1950. Upaya perlindungan ini dimulai sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Paris, yaitu perjanjian internasional dibidang hak kekayaan industri, Indonesia kemudian bergabung dalam Putaran Uruguay (1986-1994) 40 41 Ibid, hal 57 Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 31 yang merupakan salah satu rangkaian terakhir perundingan perdagangan multilateral. Perundingan Putaran Uruguay menetapkan sebuah paket komprehensif yang mencakup aturan-aturan perdagangan dan pembentukan WTO, yang merupakan sebuah lembaga formal untuk administrasi dan perundingan lebih lanjut dari aturan-aturan yang telah dihasilkan. Selanjutnya Indonesia juga ikut menjadi negara peserta dalam organisasi HaKI dunia atau lebih dikenal dengan World Intellectual Property Organization (WIPO). Ketika WIPO mengadakan perundingan mengenai perjanjian internasional dalam bidang hak cipta dalam lingkungan digital, atau dikenal sebagai perjanjian internasional Hak Cipta WIPO (WIPO Copyrights Treaty/WTC), Indonesia merupakan negara pertama yang meratifikasi perjanjian tersebut. Keseriusan pemerintah Indonesia dalam upaya perlindungan terhadap HaKI dapat dilihat pula dari penyusunan berbagai perundang-undangan dibidang HaKI. Komitmen Indonesia terhadap mekanisme regional maupun internasional yang berkaitan dengan HaKI meliputi42: 1) Keanggotaan aktif di WTO, diperkuat oleh ratifikasi konvensi pembentukan WIPO pada tahun 1979; 2) Kepatuhan terhadap perjanjian-perjanjian internasional yang bersifat mendasar mengenai hukum HaKI secara substansif yang dikelola oleh 42 Tim Lindsey et. al, Op. Cit, hal 26 32 WIPO khususnya Paris Convention tentang perlindungan kekayaan industri (Konvensi Paris disahkan pertama kali pada tahun 1883). Perubahan terakhir dilakukan melalui Stockholm Act tanggal 16 Juli 1967. Indonesia menjadi pihak dalam Stockholm Act sejak 24 Desember 1950. Konvensi Bern memberikan perlindungan terhadap karya-karya artistik, Konvensi Bern disahkan pertama kali pada tahun 1886, perubahan terakhir dilakukan melalui Paris Act tanggal 24 Juli 1971. Indonesia menjadi pihak dalam Paris Act sejak 5 September 1997 dan Traktat Hak Cipta WIPO (WTC) Indonesia adalah negara pertama yang meratifikasi WTC tanggal 5 September 1997; 3) Kepatuhan terhadap perjanjian internasional yang diselenggarakan oleh WIPO yang bersifat teknis dan administratif, meliputi: a) Traktat Kerjasama Paten (PTC) diratifikasi pada tanggal 5 September 1997 b) Traktat Hukum Merek (TLT) diratifikasi tanggal 5 September 1997 c) Traktat Hukum Paten (Indonesia mengambil bagian dalam konferensi diplomatik yang mengadopsi naskah traktat ini tanggal 1 Juni 2000 d) Perjanjian Den Haag tentang Penyimpanan Desain Industri Secara Internasional (Indonesia telah meratifikasi London Act 1934 tanggal 24 Desember 1950, perubahannya); 33 tetapi belum meratifikasi 4) Keikutsertaan dalam proses pembuatan kebijakan WIPO, misalnya panitia kerja mengenai berbagai aspek hukum HaKI internasional, dan konsultasi mengenai isu-isu yang baru muncul, misalnya perdagangan elektronik, pengetahuan tradisional dan perlindungan database, dan di dalam kegiatan-kegiatan kerjasama WIPO secara teknis baik ditingkat nasional, regional maupun internasional; 5) Keikutsertaan dalam kegiatan kerjasama regional, misalnya: a) Perjanjian kerangka kerja ASEAN mengenai kerjasama dibidang HaKI, yang diputuskan di Bangkok pada tanggal 15 Desember 1995 b) Kelompok Ahli Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik tentang HaKI (IPEG) c) Deklarasi politik yang dibuat bersama misalnya Agenda Kerja OSAKA APEC tahun 1995. d) Pernyataan bersama APEC mengenai pelaksanaan WTO/Perjanjian TRIPs, yang dikeluarkan di Darwin pada tanggal 6-7 Juni 2000. 6) Kepatuhan terhadap instrumen-instrumen internasional mengenai permasalahan terkait dengan sistem HaKI, misalnya: a) Konvensi Keanekaragaman Hayati yang diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 23 Agustus 1994. b) Deklarasi HAM se-Dunia (Pasal 27 ayat 7 Deklarasi ini menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak terhadap 34 perlindungan secara moral dan material atas karya-karya baik keilmuan, sastra, maupun sastra yang diciptakan). Dasar Hukum Perlindungan Hak Cipta 3. Keseluruhan peraturan perundang-undangan untuk perlindungan hak cipta yang berlaku dalam hukum positif Indonesia sampai saat ini dianggap sudah memadai meskipun tetap diperlukan beberapa perubahan dimasa datang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sejak Auterswet Staatsblad No. 600 Tahun 1912 dicabut dengan Undangundang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, telah dilakukan beberapa kali perubahan dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1987 dan Undangundang No. 12 Tahun 199743. Secara umum pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang hak cipta di Indonesia didasarkan pada ratifikasi terhadap perjanjian-perjanjian internasional di bidang hak cipta, beberapa perjanjian itu adalah : a. Konvensi Bern 1886; b. Konvensi Hak Cipta Universal 1955; c. Konvensi Roma 1961; d. Konvensi Jenewa 1967; e. TRIPs 1994 (Trade Related Aspects on Intellectual Property Rights 1994). 43 Rachmani Puspitadewi, Seminar Hak Atas Kekayaan Intelektual,Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia, Bandung ,5 April 2003, hal 7 35 Keikutsertaan Indonesia dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), serta diratifikasinya lampiran-lampiran persetujuan WTO termasuk TRIPs menimbulkan implikasi harus adanya penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan dibidang hak cipta agar sejalan dengan TRIPs, dengan adanya pemahaman ini maka pemerintah Indonesia mengantisipasinya dengan mengundangkan delapan perundang-undangan, yaitu44; a. Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undangundang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1987; b. Undang-undang No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undangundang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten; c. Undang-undang No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undangundang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek; d. Kepres No. 15 Tahun 1997 tentang Perubahan Keppres No. 24 Tahun 1979 tentang Pengesahan Paris Convention for The Protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization; e. Keppres No. 16 Tahun 1997 tentang Pengesahan Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulations under The PCT; f. Keppres No. 17 Tahun 1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty; 44 Eddy Damian, Op. Cit, hal 91 36 g. Keppres No. 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Bern Convention for The Protection of Literary and Artistic Work; h. Keppres No. 19 Tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO Copyright Treaty. Konsekuensi ikut sertanya Indonesia pada perjanjian WTO yang memuat Lampiran IC: Persetujuan TRIPs, menimbulkan kebutuhan untuk menyempurnakan dan mengubah beberapa peraturan perundangundangan dalam bidang hak cipta yaitu Undang-undang Hak Cipta tahun 1987 melalui perundang-undangan baru berkenaan dengan beberapa ciri pokok dan unsur-unsur yang dimaksud dalam persetujuan TRIPs, bentuknya berupa45: a. Memberlakukan Konvensi Bern 1971 yang belum berlaku bagi Indonesia; b. Mencabut ketentuan-ketentuan hak cipta yang tidak sesuai dan menggantinya dengan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan Persetujuan TRIPs; c. Menetapkan penambahan ciptaan-ciptaan yang diatur dalam Persetujuan TRIPs yang dinamakan hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta. Selain perjanjian-perjanjian internasional dibidang hak cipta yang dijadikan sebagai dasar hukum pembentukan undang-undang hak cipta, hukum positif Indonesia juga dijadikan sebagai dasar hukum. Sila 45 Ibid, hal 92 37 ke-5 Pancasila dikatakan sebagai jiwa dari pembentukan perundangundangan hak cipta, karena tujuan pembuatan undang-undang hak cipta adalah terciptanya suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, karena dengan adanya undang-undang hak cipta maka terdapat pula suatu bentuk kepastian dan perlindungan hukum terhadap karya-karya, baik itu seni maupun ilmu pengetahuan, sehingga tercapai suatu rasa keadilan bagi pencipta. Upaya pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan materi-materi dari berbagai konvensi atau perjanjian internasional di bidang hak cipta yang telah diratifikasi, yaitu dengan memberlakukan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hal ini juga merupakan upaya pemerintah Indonesia dalam mengantisipasi proses globalisasi yang terjadi dalam bidang perdagangan, industri dan investasi, tanpa mengesampingkan kepentingan masyarakat. B. Perjanjian Lisensi 1. Pengertian Lisensi Lisensi adalah suatu bentuk pemberian izin oleh pemilik lisensi kepada penerima lisensi untuk memanfaatkan dan menggunakan suatu kekayaan intelektual yang dipunyai pemilik lisensi berdasarkan syaratsyarat tertentu dan dalam jangka waktu tertentu, yang umumnya disertai dengan imbalan berupa royalti46 46 Tim Lindsey et. al, Op. Cit, hal 330 38 Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-undang Republik Indonesia No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, yang dimaksud dengan lisensi yaitu izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu. Lisensi bisa merupakan suatu tindakan hukum berdasarkan kesukarelaan atau kewajiban. Lisensi sukarela adalah salah satu cara pemegang Hak Kekayaan Interlektual memilih untuk memberikan hak berdasarkan perjanjian keperdataan hak-hak ekonomi kekayaan intelektualnya kepada pihak lain sebagai pemegang hak lisensi untuk mengeksploitasinya. Lisensi wajib umumnya merupakan salah satu cara pemberian hak-hak ekonomi yang diharuskan perundang-undangan, tanpa memperhatikan apakah pemilik menghendakinya atau tidak. 2. Peraturan Perundang-Undangan Perjanjian Lisensi Perjanjian lisensi teknologi di negara berkembang banyak diatur dalam peraturan perundang-undangan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan undang-undang penanaman modal. Pemerintah akan meneliti apakah perjanjian lisensi sesuai dengan47: a. Hukum Perjanjian; Berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 47 Ibid, hal 334 39 Serta Pasal 1338 Kitab Undang undang Hukum Perdata yang berbunyi bahwa : 1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bbagi mereka yang membuatnya. 2. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan uang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. 3. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Mengenai syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang isinya yaitu: 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Sepakat adalah bahwa kedua belah pihak atau subjek yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan tersebut. 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil balig dan sehat pikirannyaadalah cakap menurut hukum. 3) Suatu hal tertentu. Suatu hal tetentu adalah apa yang diperjanjikan mengenai hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak. 4) Suatu sebab yang halal. Sebab yang halal yaitu apa yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. 40 Selain sahnya syarat perjanjian sebagaimana telah dijelaskan diatas, kita juga harus mengetahui unsur-unsur perjanjian menurut Ilmu Hukum Perdata yaitu : 1. Unsur Essentialia, yaitu Unsur-unsur pokok yang mutlak harus ada dalam suatu perjanjian, seperti identitas para pihak, kesepakatan dalam perjanjian. 2. Unsur Naturalia, yaitu Unsur-unsur yang dianggap telah ada dalam perjanjian sekalipun para pihak tidak menentukan secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik dalam perjanjian, tidak ada cacat tersembunyi dalam objek perjanjian. 3. Unsur Accedentialia, yaitu Unsur-unsur yang ditambahkan kedalam perjanjian oleh para pihak, seperti klausul ”barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”. b. Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual; Secara substantif makna lisensi telah diatur dalam 7 perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual Indonesia yang terdiri dari: 1) Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman; 2) Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang; 3) Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri; 4) Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirluit Terpadu; 41 5) Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten; 6) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek; 7) Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta c. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terdapat kontradiksi antara pengaturan lisensi disatu pihak dan Undang-undang Anti Monopoli atau hukum persaingan dilain pihak. Hal ini dikarenakan secara definitif pemberian lisensi memungkinkan Hak Kekayaan Intelektual tersedia untuk sejumlah pengguna48, antara lain misalnya pengembangan software bebas yang dapat mengurangi monopoli pencipta software tertentu. Banyak negara menjadikan persetujuan lisensi sebagai perkecualian dari penerapan hukum anti monopoli atau persaingan usaha lainnya, karena hak-hak pemilik Hak Kekayaan Intelektual merupakan jenis monopoli terbatas. Oleh karena itu, pemilik Hak Kekayaan Intelektual berhak untuk mengeksploitasi kekayaan intelektual miliknya dan pengontrolan akses atas Hak Kekayaan Intelektual dapat mengakibatkan efek yang bersifat anti kompetitif. d. Kebijakan publik dan kepentingan umum. Penelitian atas kebijakan publik meliputi isu-isu seperti kesesuaian teknologi dan kandungannya serta alih teknologi tersebut 48 ibid, hal 337 42 dialihkan kepada pemegang lisensi49. Contohnya kebijakan pemerintah dalam hal alih teknologi software komputer. 3. Para Pihak Dalam Perjanjian Lisensi Para pihak yang terkait dalam perjanjian lisensi adalah: a. Licensor (pemberi lisensi); Kewajiban yang harus dipenuhi oleh licensor kepada licensee diantaranya adalah menyerahkan atau mengalihkan hak cipta sesuai dengan apa yang diperjanjikan dalam perjanjian lisensi yang telah disepakati. Hak-hak yang dapat diperoleh licensor dari licensee, diantaranya yaitu50: 1) Hak eksklusif untuk memanfaatkan, menggunakan atau melaksanakan sendiri Hak Kekayaan Intelektual yang telah dilisensikan; 2) Pemegang hak cipta, dalam hal ini licensor berhak untuk memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi51; 3) Mendapatkan kompensasi dari penerima lisensi (licensee) Ada 2 (dua) macam kompensasi yang dapat diminta oleh licensor dari licensee, yaitu52: 49 Ibid, hal 334 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Lisensi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 20 51 Pasal 45 ayat (1) Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 52 Gunawan Widjaja, Op. Cit, hal 25 50 43 a) Direct monetary compensation Direct monetary compensation adalah kompensasi langsung dalam bentuk materi atau sejumlah uang. Kompensasi yang termasuk ke dalam direct monetary compensation adalah: (i) Lump-sum payment Lump-sum payment adalah suatu jumlah uang yang telah dihitung terlebih dahulu (pre-calculated amount) yang wajib dibayarkan oleh licensee pada saat persetujuan pemberian lisensi disepakati untuk diberikan oleh penerima lisensi. Pembayaran ini dapat dilakukan sekaligus maupun dalam beberapa kali pembayaran; (ii) Royalti Royalti adalah jumlah pembayaran dikaitkan dengan suatu persentase tertentu yang dihitung dari jumlah produksi, penjualan dari barang dan atau jasa yang mengandung Hak Kekayaan Intelektual yang dilisensikan, baik yang disertai dengan ikatan suatu jumlah minimum atau maksimum jumlah royalti tertentu atau tidak b) Indirect and non monetary compensation Indirect and non monetary compensation adalah kompensasi yang diberikan tidak dalam bentuk sejumlah uang atau materi secara langsung. Kompensasi yang termasuk ke dalam indirect and non monetary compensation yaitu: 44 (i) Keuntungan sebagai akibat dari penjualan barang modal atau bahan mentah, bahan setengah jadi, termsuk barang jadi, yang merupakan satu paket dengan pemeberian lisensi; (ii) Pembayaran dalam bentuk dividen ataupun bunga pinjaman dalam hal pemberi lisensi juga turut memberikan bantuan finansial; (iii)Cost shifting atau pengalihan atas sebagian biaya yang harus dikeluarkan oleh pemberi lisensi; (iv) Adanya kemungkinan bahwa pemberi lisensi akan memperoleh feedback atas modifikasi, pengembangan atau penyempurnaan yang dilakukan oleh penerima lisensi dalam berbagai segi Hak atas kekayaan Intelektual yang dilisensikan tersebut; b. Licensee (penerima lisensi) 1) Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh licensee kepada licensor diantaranya yaitu: a) Memberikan kompensasi kepada licensor, sebagaimana dijelasan diatas mengenai kompensasi; b) Menjaga kerahasiaan semua informasi yang telah diperoleh licensee dari licensor; dan sebagainya. 45 2) Hak-hak yang dapat diperoleh licensee dari licensor, diantaranya yaitu: a) Menerima segala macam informasi mengenai hak cipta yang dilisensikan sesuai dengan perjanjian lisensi yang telah disepakati; b) Licensee berhak untuk melaksanakan seluruh atau sebagian hak eksklusif pencipta sesuai dengan wewenang yang diberikan untuk mengeksploitasi hak cipta pencipta, misalnya hak untuk menuntut; dan sebagainya. Hak-hak tersebut harus jelas hak mana yang diberikan hak eksploitasinya kepada licensee serta wewenang-wewenang apa yang dapat dilakukan oleh licensee, misalnya53: a) Jenis hak eksploitasi mana yang diserahkan; b) Apa maksud dan tujuan dari eksploitasi tersebut diberikan; c) Dalam bentuk apa penggandaan akan dilakukan, dan berapa banyak jumlah ciptaan boleh digandakan serta berapa kali hak itu boleh digandakan (mechanical rights); d) Bagaimana dengan masalah pengumumannya, termasuk pengumuman yang dilakukan oleh pihak ketiga (performing rights); e) Untuk jangka waktu berapa lama hak eksploitasi tersebut berlaku (dalihkan secara langgeng atau sementara); 53 Ibid 46 f) Hasil penggandaan dijual diwilayah mana saja; g) Berapa royalti dan hak lain akan diterima penciptanya; h) Apa ada peruntukkan lain, misalnya apakah ciptaan bersangkutan boleh dialihwujudkan atau ditransformasikan dalam bentuk ciptaan lain (ciptaan derivatif); i) Bagaimana jika terjadi pelanggaran hak cipta; j) Bagaimana cara penyelesaian sengketa. b. User atau pengguna 1) Kewajiban-kewajiban pengguna atau user software, yaitu tidak boleh menggunakan, merubah atau memodifikasi software tersebut untuk digunakan dalam suatu tindakan atau perbuatan yang melanggar hukum; 2) Hak-hak dari pengguna atau user software, yaitu mendapatkan software yang sesuai dengan apa yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian lisensi. Hal tersebut diatas harus sudah disepakati dan dimengerti bersama dengan jelas, disamping itu kewajiban-kewajiban licensee-pun harus jelas tercantum di dalam akta perjanjian lisensi dengan bahasa yang baik dan benar. Licensee berhak untuk melaksanakan seluruh atau sebagian hak eksklusif pencipta tersebut sesuai dengan wewenang yang diberikan untuk mengeksploitasi hak cipta pencipta tersebut, misalnya hak untuk menuntut. Kewajiban licensee adalah memberi imbalan dengan jumlah dan pembayaran yang telah ditetapkan di dalam perjanjian 47 lisensi. Perjanjian lisensi harus dibuat secara tertulis dan tidak boleh secara lisan. C. Aspek Hukum Mengenai Karya Cipta Lagu 1. Pengertian Karya Cipta Lagu Istilah lagu dan musik dalam kehidupan sehari-hari cenderung digunakan untuk maksud yang sama. Secara etimologi lagu merupakan satu kesatuan musik yang terdiri atas susunan berbagai nada yang berurutan. Setiap lagu ditentukan oleh panjang-pendek dan tinggirendahnya nada-nada tersebut, di samping itu, irama juga memberi corak tertentu pada suatu lagu. Sebuah lagu terdiri dari beberapa unsur, yaitu54: a. Melodi Melodi adalah suatu deretan nada yang karena kekhususan dalam penyusunan menurut jarak dan tinggi nada, memperoleh suatu watak tersendiri dan menurut kaidah musik yang berlaku membulat jadi suatu kesatuan organik. b. Lirik Lirik adalah syair atau kata-kata yang disuarakan mengiringi melodi. c. Aransemen Aransemen adalah penataan terhadap melodi. d. Notasi Notasi adalah penulisan melodi dalam bentuk not balok atau not angka. 54 Van Hoeve, Ensiklopedia Indonesia,Buku 4, Ichtiar Baru, Jakarta, Tanpa Tahun dan Penerbit, hlm 194 48 Pengertian musik menurut Ensiklopedia Indonesia adalah seni menyusun suara atau bunyi55. Musik tidak bisa dibatasi dengan seni menyusun bunyi atau suara indah semata-mata, suara atau bunyi sumbang telah lama digunakan, dan banyak komponis modern bereksperimen dengan suara atau bunyi semacam itu. Musik dan lagu memiliki pengertian yang berbeda, namun di dalam Konvensi bern menyebutkan istilah yang digunakan untuk menyebutkan lagu atau musik adalah musical work56. Salah satu work (karya) yang dilindungi adalah komposisi musik atau lagu (music compositions) dengan atau tanpa kata-kata (with or without words). Konvensi Bern tidak menjelaskan uraian yang tegas mengenai musical work, namun dari ketentuan yang dapat disimpulkan bahwa ada dua jenis ciptaan lagu atau musik yang dilindungi hak cipta, yaitu lagu atau musik dengan kata-kata dan lagu atau musik tanpa kata-kata57. Musik dengan kata-kata adalah lagu yang unsurnya terdiri dari melodi, lirik, aransemen dan notasi, sedangkan musik tanpa kata-kata adalah musik yang hanya terdiri dari unsur melodi, aransemen dan notasi58. Penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf d UUHC terdapat rumusan pengertian lagu atau musik sebagai berikut: “Lagu atau musik dalam undang-undang ini diartikan sebagai karya yang bersifat utuh sekalipun terdiri atas unsur lagu atau melodi, syair atau lirik, 55 Ibid Ibid 57 Ibid 58 Ibid 56 49 dan aransemennya termasuk notasi. Yang dimaksud dengan utuh adalah bahwa lagu atau musik tersebut merupakan satu kesatuan karya cipta”. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa59: a. Lagu atau musik dianggap sama pengertiannya; b.Lagu atau musik bisa dengan teks, bisa juga tanpa teks; c. Lagu atau musik merupakan suatu karya cipta yang utuh, jadi unsur melodi, lirik, aransemen, notasi dan bukan merupakan ciptaan yang berdiri sendiri. 2. Sejarah Pengaturan Perlindungan Karya Cipta Lagu Mochtar Kusumaatmadja dalam teorinya yaitu teori hukum dalam pembangunan menyebutkan bahwa salah satunya hukum itu tidak boleh menghambat modernisasi, maksudnya bahwa hukum itu berorientasi ke masa depan dan menciptakan manusia modern yang ukurannya adalah rasional, jujur, tepat waktu, efisien, status timbul (tidak gengsi). Perlindungan hak cipta lagu belum begitu lama dibandingkan dengan usia budaya lagu atau musik itu sendiri. Perkembangan pengaturan perlindungan karya cipta lagu di Indonesia pada tahun 1912, yaitu pada saat diundangkannya Auteurswet (Wet van 23 September 1912, Staatsblaad 1912 Nomor 600), yang mulai berlaku 23 September 1912. Setelah Indonesia Merdeka, ketentuan Auteurswet 1912 dirasakan sangat ketinggalan jaman karena dalam praktiknya banyak merugikan 59 Ibid, hlm 141 50 kepentingan pihak-pihak yang hidupnya bergantung di bidang hak cipta lagu, kurang mendorong penciptaan dan penyebarluasan dari karya intelektual, sehingga kurang mendorong meningkatkan kemajuan ilmu dan seni yang berguna untuk mempercepat pertumbuhan kecerdasan hidup bangsa dan pengaturannya kurang menggariskan keseimbangan yang adil antara hak pencipta untuk mengawasi penyebaran karyanya dan kepentingan umum dalam memelihara penyebaran yang luas60. Undang-Undang Hak Cipta bersifat nasional dibentuk pertama kali setelah Indonesia merdeka pada tahun 1982, yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang mulai berlaku pada tanggal 12 April 1982. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 ini menggantikan Auteurswet 1912, yang dinilai sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan cita-cita hukum nasional dan setelah itu Undang-undang tentang hak cipta mengalami beberapa perubahan beberapa kali hingga Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang berlaku saat ini, karya cipta lagu tetap tercantum sebagai ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta61. 3. Syarat Untuk Memperoleh Perlindungan Hukum Pasal 2 ayat (1) UUHC menyatakan bahwa: “Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 60 61 Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm 56-57 Otto Hasibuan, Op.Cit, hlm 2 51 Mengenai ciptaan yang dilindungi, Pasal 12 ayat (1) UUHC menyatakan bahwa : “Dalam undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: a. buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; b. ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu; c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks; e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; g. arsitektur; h. peta; i. seni batik; j. fotografi; k. sinematografi; l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. Mengacu pada ketentuan Pasal 12 ayat (1) UUHC tersebut, maka lagu merupakan salah satu ciptaan yang mendapat perlindungan 52 hukum. Syarat untuk dapat dilindungi sebagai ciptaan adalah ide yang telah berwujud dan asli. Salah satu prinsip yang paling fundamental dari perlindungan hak cipta adalah konsep bahwa hak cipta hanya berkenaan dengan bentuk perwujudan dari suatu ciptaan. Prinsip dasar ini telah melahirkan dua subprinsip, yaitu62: a. Suatu ciptaan harus mempunyai keaslian untuk dapat menikmati hakhak yang diberikan Undang-undang keaslian, sangat erat hubunganya dengan bentuk perwujudan suatu ciptaan; b. Suatu ciptaan mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan diwujudkan dalam bentuk tertulis atau bentuk material yang lain, ini berarti bahwa suatu ide atau suatu pikiran atau suatu gagasan atau citacita belum merupakan suatu ciptaan Sebuah lagu dapatlah ditegaskan bahwa adanya suatu bentuk yang nyata dan berwujud (exspression) dan sesuatu yang berwujud itu asli (original) atau bukan hasil plagiat merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menikmati perlindungan hukum hak cipta63. Sebuah lagu (ada syair dan melodi) yang dinyanyikan seseorang secara spontan dan kemudian suara dan syair yang terucapkan hilang ditelan udara tidak mendapat hak cipta, akan tetapi bila lagu tersebut direkam (dalam pita rekaman) atau dituliskan dan terbukti tidak sebagai jiplakan, barulah mendapat perlindungan hak cipta64. 62 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm 8-9 63 Otto Hasibuan,Op.Cit, hlm 65-66 64 Ibid. 53 4. Jangka Waktu Perlindungan Karya Cipta Lagu UUHC mengartikan sebuah lagu sebagai karya yang bersifat utuh walaupun terdiri dari beberapa unsur (lagu/melodi, syair/lirik, aransemen, termasuk notasi), dengan demikian jangka waktu perlindungannya pun tidak dapat dihitung masing-masing secara terpisah, melainkan harus dihitung sebagai satu kesatuan lagu. Pasal 29 ayat (1) UUHC menjelaskan mengenai ciptaan yang dimiliki oleh 1 (satu) orang pencipta, yaitu: “Hak cipta atas ciptaan: a. buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain; b. drama atau drama musikal, tari, koreografi; c. segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung; d. seni batik; e. lagu atau musik dengan atau tanpa teks; f. arsitektur; g. ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan sejenis lain; h. alat peraga; i. peta; j. terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai,berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia”. 54 Mengenai ciptaan yang dimiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih, Pasal 29 ayat (1) UUHC menyatakan bahwa: “Untuk ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih, hak cipta berlaku selama hidup pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya”. 5. Pemegang Hak Cipta atas Lagu Pasal 1 angka 4 UUHC menyatakan bahwa: “Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut”. Berdasarkan ketentuan dalam pasal diatas, maka yang dimaksud sebagai pemegang hak cipta adalah: a. Pencipta Pasal 1 angka 2 UUHC menyatakan bahwa: “Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi”. Lagu atau musik terdiri dari beberapa unsur sehingga dimungkinkan pencipta suatu lagu terdiri lebih dari 1 (satu) orang. Pada umumnya pencipta lagu terdiri dari: 1) Pencipta 55 Yaitu orang yang menciptakan melodi suatu lagu atau musik 2) Pencipta lirik lagu (lirikus) Yaitu orang yang menciptakan lirik suatu lagu 3) Penata lagu (arranger) Yaitu orang yang mengubah lagu ciptaan orang lain sampai ke tingkat tertentu, atau menambah sedemikian rupa, sehingga dengan kontribusi kreatifnya karya orang lain atau lagu tersebut diwarnai dimensi yang khas dan bersifat pribadi. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa lagu terdiri dari beberapa unsur, maka penciptanya dimungkinkan lebih dari satu orang, namun hal ini tidak menutup kemungkinan hak cipta atas lagu tersebut dipegang oleh satu orang, dalam hal ini orang tersebut bertindak sebagai pencipta melodi dan lirik lagu, serta penata lagu. Berdasarkan Pasal 5-9 UUHC, yang dianggap sebagai pencipta, kecuali terbukti sebaliknya, adalah: 1) Orang yang namanya terdaftar dalam ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta; 2) Penceramah; 3) Orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan atau orang yang menghimpun ciptaan; 4) Orang yang merancang ciptaan; 5) Pihak yang untuk dan dalam dinasnya ciptaan itu dikerjakan; 56 6) Pihak yang membuat ciptaan berdasarkan hubungan kerja atau pesanan; 7) Badan hukum. b. Penerima hak Cipta Pasal 3 ayat (2) UUHC menjelaskan bahwa hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian, karena: 1) Pewarisan; 2) Hibah; 3) Wasiat; 4) Perjanjian tertulis; atau 5) Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundangundangan. 6. Hak Ekonomi, Hak Moral, dan Hak Terkait Hak ekonomi adalah hak yang dimiliki oleh seorang pencipta untuk mendapatkan keuntungan atas ciptaannya65. Hak cipta atas lagu menjadi ekonomis karena dimanfaatkan dengan media lain. Negara memberikan perlindungan terhadap hak ekslusif pencipta atas lagu dengan memberikan jangka waktu perlindungan untuk memanfaatkan karya cipta lagu miliknya kepada pihak lain untuk mendapatkan keuntungan ekonomis berupa imbalan dari pihak yang memanfaatkan karya cipta lagunya. Imbalan tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan 65 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 67 57 kembali hal-hal yang dikeluarkan dalam proses penciptaan karya cipta lagu. Berkaitan dengan hak ekslusif yang dimiliki oleh pencipta untuk memanfaatkan karya cipta lagu miliknya, maka ada beberapa hak ekslusif yang dikenal dalam perlindungan hak cipta, diantaranya 66: a. Hak Reproduksi atau Penggandaan (Reproduction Right) Hak pencipta untuk menggandakan ini merupakan penjabaran dari hak ekonomi pencipta. Berdasarkan pengertian dalam UUHC, hak reproduksi sama dengan perbanyakan, yaitu menambah jumlah sesuatu ciptaan dengan pembuatan yang sama, hampir sama atau menyerupai ciptaan tersebut dengan mempergunakan bahan-bahan yang sama maupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan sesuatu ciptaan. Hak reproduksi ini juga mencakup perubahan bentuk ciptaan satu ke ciptaan lainnya, misalnya rekaman musik, pertunjukan drama, pembuatan duplikat dalam rekaman suara dan film. b. Hak Adaptasi (Adaptation Right) Hak untuk mengadakan adaptasi, dapat berupa penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain, aransemen musik, dramatisasi dari nondramatik, mengubah menjadi cerita fiksi dari karangan nonfiksi, atau sebaliknya. c. Hak Distribusi (Distribution Right) 66 Ibid , hlm 67-73 58 Hak yang dimiliki pencipta untuk menyebarkan kepada masyarakat setiap hasil ciptaannya. Penyebaran tersebut dapat berupa bentuk penjualan, penyewaan, atau bentuk lain yang maksudnya agar ciptaan tersebut dikenal oleh masyarakat. d. Hak Pertunjukan (Public Performance Right) Hak ini dimiliki para pemusik, dramawan, maupun seniman lainnya yang karyanya dapat terungkapkan dalam bentuk pertunjukan. Pengaturan ini dikenal dalam konvensi Bern, bahkan diatur tersendiri pada Konvensi Roma. e. Hak Penyiaran (Broadcasing Right) Hak untuk menyiarkan bentuknya berupa mentransmisikan suatu ciptaan oleh perlatan tanpa kabel. Hak penyiaran ini meliputi penyiaran ulang dan mentransmisikan ulang. f. Hak Program Kabel (Cable Casting Right) Hak ini hampir mentransmisikannya sama dengan melalui hak kabel. penyiaran, Badan hanya penyiaran saja televisi mempunyai suatu studio tertentu, yang menyiarkan program-program melalui kabel kepada pesawat para pelanggan dan siarannya bersifat komersial. g. Droit de Suite Droit de Suite adalah hak pencipta dan hak ini bersifat kebendaan. h. Hak Pinjam Masyarakat (Public Lending Right) 59 Hak ini dimiliki oleh pencipta yang karyanya tersimpan di perpustakaan. Pencipta berhak atas suatu pembayaran dari pihak tertentu karena karya yang diciptakannya sering dipinjam oleh masyarakat dari perpustakaan milik pemerintah tersebut. Hak ekonomi termasuk juga hak untuk pengabungan dengan karya cipta lainnya yang dikenal dengan Hak Sinkronisasi (Hak Pengalihwujudan). Hak sinkronisasi adalah suatu proses untuk mensinkronkan/mengalihwujudkan sebuah karya lagu kedalam rekaman visual/gambar yang bergerak (contoh: film, video klip lagu, video karaoke, iklan televisi)67. Pihak-pihak yang ingin mempergunakan karya cipta lagu, maka harus meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dan timbal balik dari pemanfaatan hak-hak yang telah disebutkan pada penjelasan sebelumnya ialah pencipta mendapatkan imbalan. Hak-hak yang dimanfaatkan dan menghasilkan uang disebut juga dengan hak ekonomis. Pencipta selain memiliki hak ekonomi, juga memiliki hak moral atas karya ciptanya. Hak moral merupakan hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apapun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Hakhak ini menggambarkan hidupnya hubungan berkelanjutan dari pencipta dengan karyanya walaupun kontrol ekonomi atas karya tersebut hilang 67 Rooseno Hardjowidigdo, Perlindungan Hukum Terhadap Artis, Produser Rekaman, dan Organisasi Penyiaran, Karya Ilmiah Proyek Pengembangan Hukum Nasional BPHN, 1999, hlm 38 60 karena telah dialihkan kepada pemegang hak cipta atau jangka waktu perlindungannya telah lewat seperti diatur dalam UUHC. Karya cipta lagu yang telah dimanfaatkan dan dialihwujudkan ke dalam suatu media penghantar apapun oleh pihak yang menggunakannya harus tetap mencantumkan nama pencipta atas karya cipta lagu. Sistem hak moral pada dasarnya bersumber dari kenyataan bahwa karya cipta adalah refleksi kepribadian pencipta68. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Konvensi Bern, keberadaan hak moral dapat dibagi kedalam dua kelompok, yaitu69: 1. Attribution right, yang bertujuan meyakinkan nama pencipta dicantumkan dalam ciptaannya; 2. Integrity right, yang bertujuan untuk melindungi ciptaan pencipta dari penyimpangan, pemenggalan, atau pengubahan yang merusak integritas pencipta. Berdasarkan uraian di atas, tidak satupun dari hak-hak di atas dipindahkan selama penciptanya masih hidup, kecuali atas wasiat pencipta berdasarkan peraturan-perundang-undangan. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 UUHC, menyatakan bahwa: “Hak terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman. bunyinya; dan bagi 68 69 Tim Lindsey, Op.Cit., hlm 118 Rooseno, Op.Cit, hlm 117 61 Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya”. Secara internasional dalam Konvensi Roma hingga kini terdapat tiga kelompok pemegang hak cipta atas hak-hak yang berkaitan dan masing-masing mempunyai hak-hak tersendiri, diantarannya70: 1. Artis-artis Pelaku (penyanyi, aktor, musisi, penari, dan lain-lain) Artis-artis pelaku (performers) mempunyai hak dilindungi terhadap tindakan tertentu menyangkut penyiaran dan pertunjukan hidup (live performance) kepada khalayak ramai, fiksasi (pertunjukan hidup direkam untuk dikomersialkan dengan pita film atau laser disk). 2. Produser Rekaman Suara Mempunyai hak memberi izin atau melarang reproduksi secara langsung rekaman suara yang dilakukan produser rekaman suara. 3. Lembaga-lembaga Penyiaran Mempunyai hak untuk memberi izin atau melarang dilakukan tindakan-tindakan tertentu, misalnya penyiaran ulang siarannya, reproduksi siaran. 7. Eksploitasi atau Pemanfaatan Karya Cipta Lagu Pencipta dalam mengeksploitasi karya cipta lagu dapat mengelolanya dengan cara71: a. Mengeksploitasi Sendiri Hak Cipta Lagu 70 71 Otto Hasibuan, Op.Cit, hlm 125-126 Rooseno, Op.Cit, hlm 66 62 Seorang pencipta dapat mengeksploitasi sendiri hak ciptanya. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 1 UUHC, seorang pencipta lagu memiliki hak ekslusif untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya ataupun memberikan ijin kepada pihak lain untuk melakukan hal tersebut. b. Menjual Hak Cipta Lagu Pasal 26 UUHC memberi kemungkinan kepada pencipta untuk hak cipta sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain. Melakukan penjualan hak cipta sebagian atau seluruhnya harus dituangkan dalam bentuk akta dengan menyebutkan bagian-bagian mana yang dijualnya itu. c. Lisensi Hak Cipta Lagu Di bidang hak cipta, lisensi diartikan seagai izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk menggunakan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu. Terdapat 2 (dua) macam lisensi yang dikenal dalam praktek atau hukum positif, yaitu72: 1) Lisensi Umum Lisensi Umum adalah suatu bentuk lisensi yang sudah umum dikenal yaitu lisensi yang timbul karena perjanjian di antara pemberi lisensi dengan penerima lisensi untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum tertentu atas hak-hak tertentu seperti 72 Gunawan Widjaja, Op.Cit, hlm 17 63 terhadap merek, hasil karya cipta, hasil karya desain industri dan lain-lain. Lisensi umum dapat dibagi atas 2 (dua) macam yaitu lisensi noneksklusif dan lisensi eksklusif73. Lisensi non-eksklusif adalah suatu bentuk lisensi yang memberi kesempatan kepada pemilik lisensi yang memberikan lisensi HKI-nya pada pemakai lisensi lainnya dan juga menambah jumlah pemakai lisensi dalam daerah yang sama. Lisensi non-eksklusif dapat diberikan kepada berbagai pihak oleh pemegang atau pemilik lisensi sesuai dengan perjanjian. Lisensi seperti ini hanya dapat diperoleh seseorang semata-mata berdasarkan suatu perjanjian dengan pihak pemilik atau pemegang lisensi. Lisensi eksekutif adalah sebuah perjanjian dengan pihak lain untuk melisensikan sebagian HKI tertentu kepada penerima lisensi untuk jangka waktu yang ditentukan dan biasanya lisensi diberlakukan untuk daerah yang ditentukan. Pemberi lisensi biasanya memutuskan untuk tidak memberikan HKI tersebut pada pihak lain dalam daerah tersebut untuk jangka waktu berlakunya lisensi kecuali kepada pemegang lisensi eksklusif. 2) Lisensi Paksa atau Lisensi Wajib Lisensi paksa atau lisensi wajib adalah terjemahan dari Compulsory License yaitu: 73 Tim Lindsey et al, Op.Cit, hlm.97 64 “An authorization given by a national authority to a person, without or against the consent of the title-holder, for the exploitation of subject matter protected by a patent or other intellectual property rights”74. Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas dapat diketahui dalam lisensi wajib, seseorang dapat memiliki lisensi (perbolehan atau ijin) untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual, paten dan lain-lain, bukan berdasarkan perjanjian dengan pemilik hak tetapi berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh negara atau pejabat yang berwenang, sekalipun pemilik hak tidak memberikan persetujuannya atau bertentangan dengan kehendaknya tetapi negara atau pejabat yang berwenang dapat memberikan lisensi kepada pihak lain. Pemberian lisensi wajib bagi pemegang hak lisensi bersifat pemberian yang terpaksa. Jadi, sebenarnya lisensi wajib merupakan bentuk lisensi yang diberikan secara tidak suka rela oleh pemilik atau pemegang suatu HKI tertentu yang dilisensikan secara paksa oleh pejabat berwenang. Pemberian lisensi wajib tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang oleh negara atau pejabat pemerintah yang berwenang. Akan tetapi harus berdasarkan alasan-alasan tertentu yang diatur dalam undangundang seperti antara lain alasan bahwa pemegang lisensi tidak 74 Ibid, hlm 33 65 menggunakan haknya atau karena pemegang lisensi mempergunakan haknya dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat (kepentingan umum). Pihak yang hendak menggunakan lagu (user) wajib meminta izin kepada pencipta atau pemegang hak cipta, atau secara kolektif melalui penerbit lagu atau musik (music publisher) atau melalui lembaga manajemen kolektif (collective management organization). Pada umumnya pengguna dalam karya lagu terdiri dari75: a) Untuk hak memperbanyak (Mechanical Rights) Pengguna (user) adalah perusahan rekaman (recording company) b) Untuk hak mengumumkan (performing rights) Pengguna (user) adalah pihak yang menggunakan karya lagu untuk keperluan komersial (hotel, restaurant, karaoke, diskotik). Beberapa manfaat pengumuman lagu oleh pengguna: 1) Featured music Lagu sebagai komoditas utama, misalnya diskotik, konser, karaoke. 2) Entertaintment music Lagu bukan sebagai komoditas utama, namun pelengkap utama, misalnya televisi dan radio. 3) Background music 75 Husein Audah, Hak Cipta dan Karya Cipta Lagu atau Musik, Pustaka Litera Antar Nusa, Bogor, 2003, hlm 21 66 Lagu sebagai pelengkap nilai tambah kegiatan usaha, misalnya restaurant, pertokoan, perkantoran, taman hiburan. c) Untuk Printing Rights Pengguna (user) adalah badan yang menerbitkan karya lagu dalam bentuk cetakan, baik notasi maupun liriknya untuk kepentingan komersial. d) Untuk synchronization Rights Pengguna (user) adalah pelaku yang menggabungkan karya cipta lagu kedalam gambar/film (visual) untuk kepentingan komersial. D. Bentuk-bentuk Pelanggaran Karya Cipta Lagu Berdasarkan uraian bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa hak cipta dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu hak moral (moral rights) dan hak ekonomi (economic rights), kemudian dikembangkan lagi menjadi beberapa hak. Berbicara mengenai pelanggaran hak cipta, berarti berkaitan dengan pelanggaran hak moral dan hak ekonomi. 1. Pelanggaran Hak Moral Pencipta Lagu, Penyanyi, dan Pemusik Berdasarkan Pasal 24 UUHC junto Pasal 55 UUHC, perbuatanperbuatan yang termasuk pelanggaran hak moral pencipta lagu adalah apabila76: a. Meniadakan atau tidak menyebutkan nama pencipta lagu ketika lagu dipublikasikan; 76 Otto Hasibuan, Op.Cit, hlm 232 67 b. Mencantukan namanya sebagai pencipta lagu padahal bukan sebagai pencipta lagu tersebut (misalnya ada orang yang mengaku sebagai pencipta lagu tertentu danmenyerahkan lagu itu kepada produser untuk direkam dan direproduksi, padahal lagu tersebut bukanlah ciptaannya); c. Mengganti atau mengubah judul lagu; d. Mengubah isi lagu (satu atau lebih dari unsur lagu yang terdiri dari melodi, lirik, aransemen, dan notasi). Perbuatan-perbuatan diatas yang merupakan pelanggaran hak moral pencipta sebagaimana disebut di atas diancam dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (6) UUHC, yang selengkapnya berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)”. 2. Pelanggaran Hak ekonomi Pencipta Lagu, Penyanyi, dan Pemusik Rumusan hak ekslusif pencipta sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUHC dan penjelasannya, perbuatan-perbuatan yang tergolong dalam pelanggaran hak ekonomi pencipta lagu adalah77: a. Perbuatan tanpa izin mengumumkan ciptaan lagu, seperti: 1) Menyanyikan dan mempertunjukan lagu di depan umum (misalnya dalam konser, kafe dan pertunjukan musik hidup lainnya); 77 Ibid, hlm 234 68 2) Memperdengarkan lagu kepada umum (memutarkan lagu yang ditujukan untuk umum, misalnya di diskotik, karaoke, mall, plaza, dan lain-lain); 3) Menyiarkan lagu kepada umum (radio dan televisi yang menyiarkan acara pertunjukan musi/lagu atau menyiarkan rekaman lagu); 4) Mengedarkan lagu kepada umum (mengedarkan lagu yang sudah direkam dalam kaset, CD (Compact Disk), dan lain-lain atau mengedarkan syair dan notasi lagu yag dicetak/diterbitkan atau mengedarkan melalui internet, mengedarkan sebagian lagu sebagai nada dering telepon atau ringtone, dan sebagainya); 5) Menyebarkan lagu kepada umum; 6) Menjual lagu. b. Perbuatan tanpa izin memperbanyak ciptaan lagu: 1) Merekam lagu (dengan maksud untuk direproduksi); 2) Menggandakan atau mereproduksi lagu secara mekanik atau secara tertulis/cetak (misalnya memperbanyak kaset atau CD atau mencetak dalam jumlah banyak lagu secara tertulis atau yang berupa syair dan notasi); 3) Mengadaptasi atau mengalihwujudkan lagu (misalnya dari lagu pop menjadi lagu dangdut); 4) Mengaransemen lagu (membuat aransemen lagu); 69 5) Menerjemahkan lagu (menerjemahkan syair lagu dari bahasa tertentu ke bahasa lainnya). Berkaitan dengan hak penyanyi dan pemusik sebagai pelaku, yang tergolong perbuatan yang melanggar hak ekonomi mereka berdasarkan Pasal 49 ayat (1) UUHC, yaitu: 1. Membuat rekaman suara dan/atau gambar pertujukan; 2. Memperbanyak rekaman suara dan/atau gambar pertunjukan; 3. Menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukan. Perbuatan yang melanggar hak ekonomi pencipta lagu dan hak ekonomi pelaku, sebagaimana diuraikan di atas dan kemudian ditambah dengan pelanggaran terhadap hak ekonomi produser rekaman suara sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) UUHC hanya diatur dalam satu pasal ketentuan pidana, yakni Pasal 72 ayat (1) UUHC yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Berkaitan dengan pelanggaran hak ekonomi pencipta lagu, selama ini pelanggaran yang paling banyak mendapat mendapat sorotan 70 adalah pembajakan (piracy). Secara umum, pembajakan lagu atau pembajakan karya rekaman dibagi atas beberapa kategori78: 1. Pirate Bentuk pembajakan ini dilakukan dengan memproduksi album rekaman rekaman yang merupakan gabungan dari beberapa album rekaman tertentu. Bentuk pembajakan ini dalam industri musik dikenal dengan unlegitimated compilation atau merupakan kumpulan dari berbagai album rekaman yang sedang populer dari berbagai masyarakat. 2. Counterfeit Bentuk pembajakan ini dilakukan dengan menggandakan ulang album rekaman tertentu (sama persis dengan bentuk album, susunan lagu hingga ilustrasi, cover, bentuk kemasan album). Album pembajakanjenis ini merupakan pembajakan atas sebuah album dengan sekaligus menjiplak cover album sama persis dengan album yang sah (legitimate), sehingga susunan lagu sampai detail, smpul album dibuat sama dengan album yang asli. 3. Bootleging Bentuk pembajakan ini dilakukan dengan cara merekam langsung (direct dubbing) sebuah karya musikal pada saat pementasan seorang penyanyi (live show). 78 Ibid, hlm 237-238 71 3. Pelanggaran Hak Cipta Lainnya di Bidang Karya Cipta Lagu Salah satu bentuk pelanggaran hak cipta yang sudah sangat lama adalah peniruan ciptaan. Di bidang ciptaan lagu, banyak kasus menunjukan bahwa dua buah lagu yang berbeda judulnya, namun syairnya memiliki persamaan dan ada juga lagu yang melodinya sama persis dengan lagu yang sudah ada sebelumnya, namun syairnya berbeda sama sekali. Penjelasan umum UUHC menyatakan bahwa: “Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar”. Berdasarkan penjelasan tersebut, keaslian merupakan unsur mutlak dari suatu ciptaan. Sebuah ciptaan yang merupakan hasil peniruan atas ciptaan yang sudah ada sebelumnya tidak mendapat perlindungan hak cipta. Peniruan atau penjiplakan lagu yang dianggap melanggar hak cipta adalah apabila sebuah komposisi lagu79: a. Motif dan karakternya sama dengan motif dan karakter komposisi lagu yang sudah ada/diumumkan; b. Temanya sama dengan tema ada/diumumkan; 79 Ibid, hlm 248-249. 72 komposisi lagu yanhg sudah c. Struktur melodinya mengandung lebih dari 10% secara berturut-turut melodi asli komposisi lagu yang sudah ada/diumumkan; d. Mempunyai kesamaan lebih dari 10% jumlah ruas secara berturutturut dari komposisi lagu yang sudah ada/diumumkan; e. Liriknya lebih dari 10% secara berturut-turut sama dengan lirik komposisi lagu yang sudah ada/diumumkan. E. Teori Kesadaran Hukum Kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilainilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan80. Di dalam ilmu hukum dikenal adanya beberapa pendapat tentang kesadaran hukum. Perihal kata atau pengertian kesadaran hukum,ada juga yang merumuskan bahwa sumber satu-satunya dari hukum dan kekuatan mengikatnya adalah kesadaran hukum dan keyakinan hukum individu di dalam masyarakat yang merupakan kesadaran hukum individu, merupakan pangkal dari pada kesadaran hukum masyarakat. Selanjutnya pendapat tersebut menyatakan bahwa 80 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Edisi Pertama, CV. Rajawali, Jakarta, 2002, hlm, 152 73 kesadaran hukum masyarakat adalah jumlah terbanyak dari pada kesadaran kesadaran hukum individu sesuatu peristiwa yang tertentu81. Sudikno Mertokusumo juga mempunyai pendapat tentang pengertian Kesadaran Hukum.Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa: Kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masing-masing terhadap orang lain82. Paul Scholten juga mempunyai pendapat tentang arti kesadaran hukum. Paul Scholten menyatakan bahwa : Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak dilakukan83. Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, jelas bahwa kesadaran hukum mempunyai peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat, oleh karena itu, hendaklah setiap insan mempunyai kesadaran hukum. Kesadaran hukum mempunyai beberapa konsepsi, salah satunya konsepsi mengenai kebudayaan 81 hukum. Konsepsi ini Ibid, hlm. 247 Sudikno Mertokusumo, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, Cetakan Pertama, Edisi Pertama, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm. 3 83 Ibid, hlm. 2 82 74 mengandung ajaran- ajaran kesadaran hukum lebih banyak mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai mediator antara hukum dengan perilaku manusia, baik secara individual maupun kolektif. (Soerjono Soekanto, 1987, hlm. 217). Konsepsi ini berkaitan dengan aspek-aspek kognitif dan perasaan yang sering kali dianggap sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara hukum dengan pola-pola perilaku manusia dalam masyarakat. Setiap masyarakat senantiasa mempunyai kebutuhan-kebutuhan utama atau dasar, dan para warga masyarakat menetapkan pengalamanpengalaman tentang faktor-faktor yang mendukung dan yang mungkin menghalang-halangi usahanya untuk memenuhi kebutuhan utama atau dasar tersebut. Apabila faktor-faktor tersebut dikonsolidasikan, maka terciptalah sistem nilai-nilai yang mencakup konsepsi-konsepsi atau patokan-patokan abstrak tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Hukum yang dipandang sebagai salah satu aspek penting dalam masyarakat yang bertujuan merealisasikan terbentuknya sebuah masyarakat yang nyaman dan berkeadilan, terkadang oleh segelintir orang tidak diindahkan sebagaimana yang dimaksud di atas. Tidak jarang hukum itu dicederai, dilanggar bahkan dimanipulasi fungsinya oleh orang yang memang mempunyai kepentingan, atau orang yang masih menganggap tidak pentingnya sebuah hukum yang ada di masyarakat. Para pelaku-pelaku pelanggar ataupun pencedera hukum inilah yang 75 dalam kajian sosiologi hukum dapat disebut sebagai orang-orang yang tidak sadar dan tidak patuh hukum. F. Teori Perbuatan Melawan Hukum Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. “Setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undang-undang, sehingga sifatnya terbatas. Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum adalah tidak demikian. Undang-undang hanya menetukan satu pasal umum, yang memberikan akibat-akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum.”84 Perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan onrechmatige daad dan dalam bahasa Inggeris disebut tort. Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya berarti salah (wrong). Akan tetapi, khususnya dalam bidang hukum, kata tort itu sendiri berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi dalam suatu perjanjian kontrak. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum disebut onrechmatige daad dalam sistem hukum Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya. 84 Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 15 76 Kata ” tort ” berasal dari kata latin ” torquere ” atau ” tortus ” dalam bahasa Perancis, seperti kata ” wrong ” berasal dari kata Perancis ” wrung ” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury). Sehingga pada prinsipnya, tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum ini adalah untuk dapat mencapai seperti apa yang dikatakan dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya). Onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum), pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Pasal 1401 KUHPerdata, yang menetapkan: “Elke onrecthamatigedaad, waardoor aan een ander schade wordt toegebragt, stelt dengene door wiens shuld die schade veroorzaakt is in de verpligting om dezelve te vergoeden”. Soebekti dan Tjitrosudibio menterjemahkannya sebagai berikut: “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.85 Para pihak yang melakukan perbuatan hukum itu disebut sebagai subjek hukum yaitu manusia sebagai subjek hukum dan juga badan hukum sebagai subjek hukum. Semula, banyak pihak meragukan, 85 R. Subekti dan R. Tjitrisudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2002, hlm 346 77 apakah perbuatan melawan hukum memang merupakan suatu bidang hukum tersendiri atau hanya merupakan keranjang sampah, yakni merupakan kumpulan pengertian-pengertian hukum yang berserakserakan dan tidak masuk ke salah satu bidang hukum yang sudah ada, yang berkenaan dengan kesalahan dalam bidang hukum perdata. Baru pada pertengahan abad ke 19 perbuatan melawan hukum, mulai diperhitungkan sebagai suatu bidang hukum tersendiri, baik di negaranegara Eropa Kontinental, misalnya di Belanda dengan istilah Onrechmatige Daad, ataupun di negara-negara Anglo Saxon, yang dikenal dengan istilah tort.86 Perbuatan Melawan Hukum diatur dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH Perdata. Pasal 1365 menyatakan, bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain menyebabkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut. Perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata berasal dari Code Napoleon. Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang, yang karena kesalahannya itu telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. 86 Ibid, hlm. 346 78 Pasal 1365 KUHPerdata berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Istilah “melanggar” menurut MA Moegni Djojodirdjo hanya mencerminkan sifat aktifnya saja sedangkan sefiat pasifnya diabaikan. Pada istilah “melawan” itu sudah termasuk pengertian perbuatan yang bersifat aktif maupun pasif.87 Seseorang dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain, maka nampaklah dengan jelas sifat aktif dari istilah melawan tersebut. Sebaliknya kalau seseorang dengan sengaja tidak melakukan sesuatu atau diam saja padahal mengetahui bahwa sesungguhnya harus melakukan sesuatu perbuatan untuk tidak merugikan orang lain atau dengan lain perkataan bersikap pasif saja, bahkan enggan melakukan kerugian pada orang lain, maka telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badannya. Inilah sifat pasif daripada istilah melawan. Ketentuan dalam Pasal 1365 BW kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 1366 BW yaitu: “Setiap orang bertanggung jawab tidak hanya untuk kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya tetapi juga disebabkan oleh kelalaiannya.” 87 MA. Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2002, hlm. 13 79 Kedua pasal tersebut di atas menegaskan bahwa perbuatan melawan hukum tidak saja mencakup suatu perbuatan, tetapi juga mencakup tidak berbuat. Pasal 1365 BW mengatur tentang “perbuatan” dan Pasal 1366 BW mengatur tentang “tidak berbuat”. Dilihat dari sejarahnya maka pandangan-pandangan mengenai perbuatan melawan hukum selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Menurut Rachmat Setiawan dalam bukunya “Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum”, perbuatan melawan hukum dapat dibedakan menjadi 2 interpretasi, yaitu interpretasi sempit atau lebih dikenal dengan ajaran legisme dan interpretasi luas. Menurut ajaran Legisme (abad 19), suatu perbuatan melawan hukum diartikan sebagai beruat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat atau melanggar hak orang lain. Sehingga menurut ajaran Legistis suatu perbuatan melawan hukum harus memenuhi salah satu unsure yaitu: melanggar hak orang lain bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat yang telah diatur dalam undang-undang. Ajaran Legistis lebih menitik beratkan bahwa tidak semua perbuatan yang menimbulkan kerugian dapat dituntut ganti rugi melainkan hanya terhadap perbuatan melawan hukum saja yang dapat memberikan dasar untuk menuntut ganti rugi. Pandangan tersebut kemudian lebih dikenal sebagai pandangan sempit. 80 Ajaran Legistis tersebut mendapat tantangan dari beberapa sarjana diantarnya adalah Molengraaf yang mana menurut pandangan beliau, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum tidak hanya terpaku pada melanggar undang-undang semata, tetapi juga jika perbuatan tersebut melanggar kaedah-kaedah kesusilaan dan kepatutan. Pada tahun 1919, Hoge Raad merumuskan pandangan luas mengenai perbuatan melawan hukum. Pada rumusannya, Hoge Raad mempergunakan rumusan yang terdapat dalam rancangan Heemskerk yang mana yang dimaksud perbuatan melawan hukum tidak sama dengan melawan undang-undang tetapi perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai “berbuat” atau “tidak berbuat” yang memperkosa hak oranglain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat atau bertentangan dengan asas kesusilaan dan kepatuhan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain. Rumusan tersebut dituangkan dalam “Standart Arrest” 31 Januari 119 dalam perkara Cohen dan Lindenbaum: “…. Penafsiran tersebut tidak beralasan karena melawan hukum tidak sama dengan melawan undang-undang. Menurut Hoge Raad perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai “berbuat” atai “tidak berbuat” yang memperkosa hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat atau kesusilaan atau kepatuhan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain.” 81 Sejak tahun 1919, Hoge Raad mulai menafsirkan Perbuatan Melawan Hukum dalam arti luas pada perkara Lindenbaum v. Cohen dengan mengatakan Perbuatan Melawan Hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan88 : 1. Hak Subyektif orang lain. 2. Kewajiban hukum pelaku. 3. Kaedah kesusilaan. 4. Kepatutan dalam masyarakat Pertanggungjawaban yang harus dilakukan berdasarkan perbuatan melawan hukum ini merupakan suatu perikatan yang disebabkan dari undang-undang yang mengaturnya (perikatan yang timbul karena undang-undang). Pada ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut: 1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan 2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian). 3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Bila dilihat dari model pengaturan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata tentang perbuatan melawan hukum lainnya, dan seperti juga di negaranegara dalam sistem hukum Eropa Kontinental, maka model tanggung jawab hukum di Indonesia adalah sebagai berikut: 88 Setiawan, Empat Kriteria Perbuatan Melawan Hukum dan Perkembangan dalam Yurisprudensi, Varia Peradilan No. 16 Tahun II (Januari 1987), hlm. 176 82 1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), seperti terdapat dalam Pasal 1365 Kitab UndangUndang Hukum Perdata Indonesia. 2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian seperti terdapat dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. 3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas seperti dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut: 1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi contractual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti rugi. 2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum yang mana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bias juga merupakan suatu kecelakaan. 3. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi. 83 4. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak atau wanprestasi terhadap kewajiban trust ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya. 5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak atau lebih tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual 6. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum dan karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan. 7. Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak seperti juga kimia buka suatu fisika atau matematika89. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, suatu perbuatan melawan hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Ada Suatu Perbuatan Perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku. Secara umum perbuatan ini mencakup berbuat sesuatu (dalam arti aktif) dan tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal pelaku 89 Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari sudut pandang hukum bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm. 4 84 mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat, kewajiban itu timbul dari hukum. (ada pula kewajiban yang timbul dari suatu kontrak). Dalam perbuatan melawan hukum ini , harus tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat serta tidak ada pula unsur kausa yang diperberbolehkan seperti yang terdapat dalarn suatu perjanjian kontrak. 2. Perbuatan Itu Melawan Hukum Perbuatan yang dilakukan itu, harus melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum diartikan dalam arti seluasluasnya. Menurut Standaard Arest Tahun 1919, berbuat atau tidak berbuat merupakan suatu perbuatan melawan hukum jika: a. Perbuatan melanggar undang-undang b. Perbuatan melanggar hak orang lain yang dilindungi hukum Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain termasuk salah satu perbuatan yang dilarang oleh Pasal 1365 KUHPerdata. Hak yang dilanggar tersebut adalah hak-hak seseorang yang diakui oleh hukum, termasuk tetapi tidak terbatas pada hak-hak sebagai berikut: Hak-hak Pribadi Hak-hak Kekayaan Hak-hak Kebebasan Hak atas Kehormatan dan Nama Baik 85 Yang dimaksud dengan melanggar hak orang lain adalah melanggar hak subjektif orang lain, yaitu wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang untuk digunakan bagi kepentingannya. Menurut Meyers dalam bukunya “Algemene Begrippen” mengemukakan: “Hak subjektif menunjuk kepada suatu hak yang diberikan oleh hukum kepada seseorang secara khusus untuk melindungi kepentingannya.” c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku Perbuatan ini juga termasuk ke dalam kategori perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelakunya. Istilah “kewajiban hukum ini yang dimaksudkan adalah bahwa suatu kewajiban yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Jadi, bukan hanya bertentangan dengan hukum tertulis melainkan juga bertentangan dengan hak orang lain menurut undang-undang karena itu pula istilah yang dipakai untuk perbuatan melawan hukum adalah onrechtmatige daad, bukan onwetmatige daad. d. Perbuatan yang bertentangan kesusilaan (geode zeden ). Dapat dinyatakan sebagai norma-norma moral yang dalam pergaulan masyarakat telah diterima sebagai norma-norma hukum. Tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah 86 diakui sebagai hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, manakala dengan tindakan melanggar kesusilaan tersebut telah terjadi kerugian bagi pihak lain, maka berdasarkan atas perbuatan melawan hukum. Dalam putusan terkenal Lindebaum v. Cohen (1919), Hoge Raad menganggap tindakan Cohen untuk membocorkan rahasia perusahaan dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan, sehingga dapat digolongkan sebagai suatu perbuatan melawan hukum. e. Perbuatan yang bertentangan sikap baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu-lintas masyarakat terhadap diri atau barang oranglain). Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik ini juga dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Jadi, jika seseorang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara melanggar pasal-pasal dari hukum tertulis, mungkin masih dapat dijerat dengan perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat. Keharusan dalam masyarakat tersebut tentunya tidak tertulis, tetapi diakui oleh masyarakat yang bersangkutan. 87 Pada garis besarnya dapat dinyatakan bahwa suatu perbuatan adalah bertentangan dengan kepatutan, jika: Perbuatan tersebut dangat merugikan orang lain Perbuatan yang tidak berfaedah yang menimbulkan bahaya terhadap orang lain, yang menurut menusia yang normal hal tersebut harus diperhatikan. 3. Ada Kesalahan dari Pelaku Jika dilihat kembali dalam Pasal 1365 KUHPerdata terdapat dua faktor penting dari perbuatan melawan hukum, yaitu adanya factor kesalahan dan kerugian. Kesalahan adalah perbuatan dan akibat-akibat yang dapat dipertanggung jawabkan kepada diri si pelaku. Menurut Asser’s ia tetap pada pendirian untuk memberikan pengertian atas istilah kesalahan sebagai perbuatan dan akibatakibat yang dapat dipertanggung jawabkan si pelaku90. “Dalam hukum pidana telah diterima asas tidak dipidana tanpa kesalahan. Sedang dalam hukum perdata asas tersebut dapat diuraikan: tidak ada pertanggung jawaban untuk akibat-akibat dari perbuatan hukum tanpa kesalahan.” Kesalahan dipakai untuk menyatakan bahwa seseorang dinyatakan bertanggung jawab untuk akibat yang merugikan yang terjadi dari perbuatannya yang salah. Si Pelaku adalah bertanggung jawab untuk kerugian tersebut apabila perbuatan melawan hukum 90 Rachmat Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, Bandung, 2009, hlm. 65 88 yang dilakukan dan kerugian yang ditimbulkannya dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Syarat kesalahan ini dapat diukur secara objektif dan subjektif. Secara objektif yaitu harus dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan mencegah manusia yang baik untuk berbuat atau tidak berbuat. Secara subjekif, harus diteliti apakah si pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akibat dari perbuatannya. Pasal 1365 KUHPerdata kesalahan dinyatakan sebagai pengertian umum, dapat mencakup kesengajaan maupun kelalaian. Menurut H.F Vollmar, bahwa untuk adanya kesalahan ada pertanyaan sebagai berikut:91 Kesalahan dalam arti subjektif atau abstrak, yaitu apakah orang yang bersangkutan umumnya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu? Kesalahan dalam arti objektif atau konkrit, yaitu apakah ada keadaan memaksa (noodoestand). (overmacht) Dalam hal ini atau orang keadaan tersebut darurat dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya namun karena ada keadaan memaksa maka tidak ada kesalahan. 91 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm. 82 89 Undang-Undang dan Yurisprudensi mensyaratkan untuk dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka pada pelaku harus mengandung unsur kesalahan (schuldelement) dan melakukan perbuatan tersebut. Karena itu, tanggungjawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung jawab dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Bilamana dalam hal-hal tertentu berlaku tanggungjawab tanpa kesalahan (strict ZiabiZity), hal demikian bukan berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Karena Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia mensyaratkan untuk dikategorikan perbuatan melawan hukum harus ada kesalahan, maka perlu mengetahui bagaimana cakupan unsur kesalahan itu. Suatu tindakan dianggap mengandung unsur kesalahan, sehingga dapat diminta pertanggungjawaban hukum, jika memenuhi unsur- unsur sebagai berikut: 1. Ada unsur kesengajaan 2. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa) 3. Tidak ada alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond), seperti atau keadaan membela diri, tidak waras dan lain-lain. 90 alasan pemaaf overmacht, Perlu atau tidak, perbuatan melawan hukum mesti ada unsur kesalahan, selain unsur melawan hukum , di sini terdapat 3 (tiga) aliran teori sebagai berikut: a. Aliran yang menyatakan cukup hanya ada unsur melawan hukum. Aliran ini menyatakan, dengan unsur melawan hukum dalam arti luas, sudah mencakup unsur kesalahan di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi ada unsur kesalahan dalam perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda, aliran ini dianut oleh Van Oven. b. Aliran yang menyatakan cukup hanya ada unsur kesalahan Aliran ini sebaliknya menyatakan, dalam unsur kesalahan, sudah mencakup juga unsur perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda, aliran ini dianut oleh Van Goudever. c. Aliran yang menyatakan, diperlukan unsur melawan hukum dan unsur kesalahan. Aliran ini mengajarkan, suatu perbuatan melawan hukum mesti ada unsur perbuatan melawan hukum dan unsur kesalahan, karena unsur melawan hukum saja belum tentu mencakup unsur kesalahan. Di negeri Belanda, aliran ini dianut oleh Meyers. Kesalahan yang diharuskan dalam perbuatan melawan hukum adalah kesalahan dalam arti ” kesalahan hukum ” dan ” kesalahan sosial “. Dalam hal ini, hukum 91 menafsirkan kesalahan itu sebagai suatu kegagalan seseorang untuk hidup dengan sikap yang ideal, yaitu sikap yang biasa dan normal dalam pergaulan masyarakat. Sikap demikian, kemudian mengkristal yang disebut manusia yang normal dan wajar (reasonable man). 4. Ada Kerugian Korban Ada kerugian (schade) bagi korban merupakan unsur perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 Kitab UndangUndang Hukum Perdata Indonesia. Dalam pengertian bahwa kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa : a. Kerugian materiil. Kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharunya diperoleh. Jadi pada umumnya diterima bahwa si pembuat perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian tidak hanya untuk kerugian yang nyata-nyata diderita, juga keuntungan yang seharusnya diperoleh. b. Kerugian immaterial/idiil. Perbuatan melawan hukum pun dapat menimbulkan kerugian yang bersifat immaterial/idiil seperti ketakutan, sakit dan kehilangan kesenangan hidup. 92 Pengganti kerugian karena perbuatan melawan hukum tidak diatur oleh undang-undang. Oleh karena itu aturan yang dipakai untuk ganti rugi ini adalah dengan cara analogis. Mengenai hal ini mempergunakan peraturan ganti rugi akibat ingkar janji yang diatur dalam Pasal 1243-1252 KUHPerdata di samping itu, pemulihan kembali ke keadaan semula. Untuk menentukan luasnya kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian tersebut, untuk itu pada asasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika terjadi perbuatan melawan hukum. Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada waktu diajukan tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada waktu yang akan datang. G. Tinjauan umum Yayasan Karya Cipta Indonesia Yayasan Karya Cipta Indonesia (KCI) didirikan oleh Paguyuban Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia ( PAPPRI) dengan didukung oleh para sarjana hukum yang menaruh perhatian terhadap persoalan-persoalan hak cipta. KCI merupakan suatu badan pengelola performing right (hak mengumumkan) dari para pencipta lagu di Indonesia, sehingga dengan adanya badan ini hak 93 pencipta lagu khususnya hak mengumumkan lagu tersebut dapat direalisasikan pelaksanaannya Pendirian badan hukum yayasan ini dengan campur tangan penguasa (pemerintah). Dengan demikian kedudukan sebagai badan hukum itu diperoleh bersama-sama dengan berdirinya yayasan itu. Dalam hal ini KCI memperoleh kedudukannya sebagai badan hukum bersamaan dengan pendirian yayasan tersebut sesuai dengan akta pendirian yang dilakukan dihadapan notaris Abdul Latief, SH di Jakarta dengan nomor 42 tanggal 12 Juni 1990 tentang pendirian Yayasan Karya Cipta Indonesia. KCI bertugas untuk mengumumkan dan mendistribusikan royalti, tetapi KCI bukan publisher,sebab KCI mengelola performing right dan tidak menjadi pemegang hak cipta. Justru royalti yang terkumpul dibagikan kepada para pemegang hak cipta terdaftar yang lagunya digunakan. Dan KCI adalah non-profit organization yang tidak mengadakan perjanjian pembagian keuntungan dengan para pemegang hak cipta. KCI dibentuk sebagai suatu jembatan antara pencipta lagu di satu sisi dan pemakai lagu di sisi lainnya92. KCI adalah suatu yayasan, artinya adalah suatu organisasi yang tidak mengambil keuntungan dalam arti memupuk laba sebagaimana suatu perseroan terbatas. Selain itu distribusi royalti juga berdasarkan prinsip non diskriminatif, artinya tidak membedakan jenis musik maupun 92 Batoro, Andreas Argo. http://www.pustakasripsi.com/pelaksanaan-perjanjian-lisensihak-cipta-atas-lagu-antara-pencipta dengan- user-di-indonesia-3017.httml.2005.hal 62 94 kewarganegaraan, pencipta maupun mutu lagu. Prinsip kedua untuk pembagian berdasarkan prestasi, artinya semakin banyak diputar/digunakan semakin banyak pointnya untuk royalti yang akan didapat. Seluruh royalti yang dikumpulkan selama satu tahun akan didistribusikan kepada peserta KCI setelah dipotong Real Cost. Real Cost ini adalah suatu biaya nyata untuk menagih, sebagaimana tersebut dalam perjanjian kerjasama antara KCI dengan para pencipta sebagai biaya administrasi. Real Cost adalah biaya yang diperlukan untuk membayar pegawai, sewa kantor, konsultan hukum, computer dan sebagainya dengan tidak menahan keuntungan Hal khusus lainnya sebagai alasan pendirian KCI adalah adanya pemikiran ketidakmungkinan para Pencipta lagu atau pemegang hak cipta lagu secara perorangan mendatangi setiap pemakai lagu atau penyelanggara musik di Indonesia dan secara satu persatu untuk menagih hak ekonominya. Demikian pula pihak yang ingin memakai lagupun akan sangat sulit untuk meminta izin pemakaian lagu kalau harus mendatangi Pencipta lagu secara langsung. Maksud dan tujuan berdirinya KCI sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 4 Anggaran Dasarnya adalah: 1. Mengurus kepentingan para pencipta Indonesia yang hak ciptanya dikuasakan kepada yayasan, terutama dalam rangka pemungutan fee/royalti bagi pemakaian hak ciptanya oleh orang lain untuk 95 kepentingan penggunaan yang bersifat komersial baik di dalam maupun luar negeri. 2. Mewakili kepentingan para Pencipta luar negeri, terutama dalam rangka pemungutan fee/royalti atas pemakaian hak cipta asing oleh orang lain untuk kepentingan penggunaan yang bersifat komersial di wilayah Indonesia. 3. Mewakili dalam mempertahankan dan melindungi kepentingan para Pencipta atas pelanggaran hak cipta; dan 4. Meningkatkan kreativitas para pencipta melalui pendidikan, pembinaan, pengembangan, dan kemampuan pengetahuan dalam bidang musik93. Menurut Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah dari KCI tersebut. Berdasarkan kuasa yang diberikan oleh para pencipta lagu/music KCI mempunyai wewenang untuk memberi izin kepada penerima lisensi untuk melakukan kegiatan mempertunjukkan (mengumumkan) musik asing maupun Indonesia di tempat yang dikelola oleh penerima lisensi baik sebagian maupun seluruh musik yang hak ciptanya dikelola oleh KCI. Berdasarkan hal tersebut kewenangan KCI dapat diperinci sebagai berikut: 1. KCI mempunyai hak untuk mengeluarkan sertifikat lisensi yang merupakan jaminan izin untuk mengumumkan musik dari para 93 Otto Hassibuan, Op.Cit, hal 199 96 pencipta maupun pemegang hak-hak cipta yang repertoir-nya dikelola oleh KCI. Sertifikat lisensi ini biasanya dikeluarkan dan ditanda tangani oleh bagian Membership and HRD Departemen selaku penerima kuasa dari pencipta lagu. 2. KCI berhak/berwenang memungut royalti dari penerima lisensi secara teratur setiap tahunnya. 3. KCI berwenang untuk meminta daftar lagu-lagu yang dipergunakan oleh penerima lisensi. 4. KCI dapat melakukan revisi, perubahan, penambahan, ataupun pengurangan tarif dengan pemberitahuan secara tertulis kepada penerima lisensi selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum berakhirnya tahun lisensi yang sedang berjalan. Ketiga wewenang tersebut di atas biasanya ditangani oleh bagian Users Departement. 5. KCI berhak menyesuaikan tarif, sesuai dengan inflasi setiap tahun secara otomatis. 6. KCI berhak memasuki tempat pertunjukan yang dikelola penerima lisensi dalam waktu dan jumlah yang wajar untuk melakukan penghitungan maupun pendistribusian royalti yang harus dibayar oleh penerima lisensi. Hal ini merupakan wewenang dari bagian Documentation and Distribution Departement yang ada di KCI. 7. KCI berhak memberikan izin kepada penerima lisensi untuk memindahkan, mengalihkan, mensub-lisensikan perjanjian lisensi maupun segala hak yang diberikan dalam sertifikat lisensi. 97 8. KCI berhak mengeluarkan surat pemberitahuan. 9. KCI berhak mengeluarkan surat tagihan untuk para penerima lisensi bila jatuh tempo pembayaran royalti. 10. KCI berhak mengeluarkan surat peringatan apabila, penerima lisensi tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. 11. KCI berhak mengeluarkan surat tuntutan sehubungan dengan hal tersebut di atas. 12. KCI berhak menahan uang yang disetorkan oleh penerima lisensi apabila penerima lisensi melanggar perjanjian oleh karenanya hak untuk mengumumkan musik tersebut gugur. 13. Terjadinya pengakhiran perjanjian ini oleh sebab apapun tidak mengurangi hak KCI atas hak-hak tuntutan-tuntutan yang ada terhadap penerima lisensi dan KCI berhak untuk memperoleh setiap jumlah uang yang harus dibayarkan penerima lisensi berdasarkan perjanjian ini dan setiap imbalan untuk jasa dibidang hukum serta ongkos-ongkos lain apapun yang akan dipikul oleh KCI termasuk biaya untuk melakukan penyelidikan yang diperlukan guna menentukan besarnya royalti yang seharusnya dibayar berdasarkan perjanjian lisensi94. 94 Batoro, Andreas Argo. Op.Cit. hal 59 98