BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran

advertisement
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian
4.1.1. Sejarah Kompas
Kalau Kompas didirikan oleh pengurus organisasi Katolik, dan
pada awal didirikannya itu untuk kepentingan umat Katolik, memang
diakui oleh para pendirinya. Presiden Soekarno sendiri
yang
mendesak agar Partai Katolik mendirikan koran.
Foto 4
Gedung Kompas
Foto : Dok. Kompas
90
Sebagai tindak lanjut keinginan Presiden Soekarno itu, maka
sejumlah tokoh Katolik terkemuka, seperti P.K. Ojong, Jakob
Oetama, R.G. Doeriat, Frans Xaverius Seda, Policarpus Swantoro,
dan R. Soekarsono, mengadakan pertemuan bersama dengan
elemen hierakis Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI), yang
terdiri dari Partai Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik
Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik, dan Wanita Katolik.
Mereka
sepakat membentuk Yayasan Bentara Rakyat, yang kelak jadi
penerbit Kompas.
Maka, tekad Partai Katolik menerbitkan koran sudah final,
meski mereka tahu ini tidak selalu mudah, karena harus menempuh
beberapa prosedur. Optimisme para pendiri hanya satu : mendapat
izin prinsip dari Presiden Soekarno, dan memang sebagai desakan
Presiden Soekarno. Langkah berikutnya Partai
Katolik ini, P.K.
Ojong dan Jakob Oetama ditugasi membangun perusahaan.
Mulailah mereka bekerja
mempersiapkan penerbitan koran baru,
corong Partai Katolik. Tapi, suhu politik yang memanas saat itu,
membuat pekerjaan ini tidak mudah. Rencananya, koran ini diberi
nama Bentara Rakyat. (Majalah Pantau, Edisi April 2001).
Jenderal Ahmad Yani (Menteri Panglima Angkatan Darat)
menyambut kelahiran Kompas dengan memuji orang Katolik “Kalau
orang Katolik memulai sesuatu, pasti baik,” puji
Yani (Majalah Pantau, April 2001).
91
Jenderal Ahmad
Pendiri Kompas, Frans Seda, menyebutkan, “Kebetulan,
waktu itu belum ada harian Katolik, yang ada adalah harian Sinar
harapan, harian Kristen, “ kata Frans Seda (Majalah Pantau, April
2001).
Partai Komunis Indonesia (PKI) membanguan rintangan, agar
koran baru ini (Kompas) tidak bisa terbit. PKI termasuk parpol besar
ketika tahun 1950 – 1960-an, sehingga punya basis kekuatan politik
yang cukup signifikan. Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat,
menulis dalam pojok kirinya, bahwa Kompas adalah akronim dari
“komando pastur”.
Di lain pihak, Kompas pun (dalam kelakar),
dianggap kepanjangan dari Komandan Pak Seda,
seperti diakui
Frans Seda sendiri. Kompas pun ketika itu sering terlambat terbit
sehingga diplesetkan jadi komt pas morgen, bahasa Belanda, yang
berarti, Kompas datang keesokan harinya.
Menurut data di Pusat Informasi Kompas (PIK) , Frans Seda
bertemu dengan Presiden Soekarno di Istana Merdeka, suatu hari,
untuk keperluan dinas. Di luar dinas, pembicaraan mereka sampai
pada penerbitan koran. Presiden Soekarno sendiri sudah mendengar
sebelumnya bahwa Frans Seda akan menerbitkan koran.
Nama Kompas kemudian lahir di sini, atas saran Presiden
Soekarno, untuk menggantikan nama Bentara Rakyat yang sudah
disepakati para pendiri. Makna filosofi Kompas adalah : “pemberi arah
dan jalan dalam mengarungi lautan atau hutan rimba”.
92
Nama Bentara Rakyat kemudian digunakan untuk
yayasan,
Yayasan Bentara Rakyat, yang kini satu dari kepemilikan kolektif
bersama-sama Yayasan Kompas Gramedia, PT Gramedia, dan PT
Transito Asri Media.
Meski izin
prinsip sudah terbit, dengan restu dari Presiden
Soekarno, tetapi pada praktiknya sulit ditempuh. Kompas tidak bisa
segera terbit karena harus memenuhi beberapa tahapan lagi, dari
pengurusan izin prinsip ke Departemen Penerangan RI, konfirmasi
ke Kodam V Jaya, sampai syarat adanya
(paling sedikit) 3.000
pelanggan yang dibuktikan dengan tanda tangan pelanggan. Frans
Seda kemudian berinisiatif mengumpulkan 3.000 tanda tangan itu
dengan menghubungi anggota partai, guru, dan anggota koperasi,
di Kabupaten Ende Lio, Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Flores
Timur (Provinsi Nusa Tenggara Timur).
Kompas
edisi pertama
(28 Juni 1965), terbit
empat
halaman, dengan tiras 4.800 eksamplar. Sekarang, Kompas terbit di
kisaran 500.000 eksamplar dari Senin sampai Jumat dan 600.000
eksamplar dari Sabtu sampai
Ahad. Tiras tertinggi Kompas,
750.000 eksamplar, dicapai saat ulang tahun Bung Karno ke-100.
Berita utamanya
yang kali pertama terbit
berjudul
“KAA
Ditunda Empat Bulan”. Pojok Kompas pertama pun lahir, dengan
tokohnya, Mang Usil. : “Mari ikat hati. Mulai hari ini, dengan…Mang
Usil”.
93
Pengasuh Kompas
pertama pun muncul, teridiri dari
Pemimpin Redaksi Drs. Jakob Oetama, dengan para staf redaksi
terdiri dari Drs. J. Adisubrata, Lie Hwat Nio, S.H., Marcel Beding, Th.
Susilartuti, Tan Soei Sing, J. Lambangdjaja, Tan Tik Hong, Th. Ponis
Purba, Tinon Prabawa, dan Eduard Liem.
Jakob Oetama dan P.K. Ojong diakui paling penting dalam
penerbitan Kompas. Kedua tokoh Kompas ini punya latar belakang
yang sama : guru, peminat sejarah, pegiat asimilasi, dan sama-sama
bergerak di dunia pers, dengan jabatan yang sama. P.K. Ojong,
pemimpin redaksi Star Weekly, sedangkan Jakob Oetama pemimpin
redaksi majalah Penabur.
tokoh ini
Sebelum menerbitkan Kompas, kedua
bekerja sama menerbitkan majalah Intisari. Pemimpin
redaksinya adalah Jakob Oetama, sedangkan P.K. Ojong
tidak
tercantum dalam boks pengasuh. Bersama Adi Subrata, P.K. Ojong
jadi “penulis luar” Intisari. Majalah Intisari itu sendiri terbit kali
pertama pada tanggal 07 Agustus 1963, dengan tirasnya 10.000
eksamplar. Penulis
di Intisari terbitan perdana
itu, antara lain,
Nugroho Notosusanto, Soe Hok Gie, Ajip Rosidi, dan Rijono Pratikto.
Kalau sekarang
Kompas disebut sebagai koran harian
terbesar dan termodern di Indonesia, tidak bisa disangkal lagi. Ini
bisa dilihat dari
dari berbagai segi dan sisi,
seperti
aset
kekayaannya, oplagnya, proses produksinya, teknologi informasinya,
manajemennya, diversifikasinya, dan lain-lain.
94
Data yang diperoleh dari Pusat Informasi Kompas (PIK)
menyebutkan, Kompas yang semula didirikan sebagai multiple
media, sebagai core business, tetapi kemudian berkembang jadi
multibusiness group of companies yang terdiri atas
related
diversification dan unrelated diversivication.
Dalam perkembangnnya kemudian, Kompas yang sejak terbit
punya motto “Amanat Hati Nurani Rakyat” ini ingin berkembang
sebagai
institusi
pers
yang
mengedepankan
keterbukaan,
meninggalkan pengkotakan latar belakang suku, agama, ras, dan
golongan.
Sebagai lembaga yang terbuka, kolektif, dan ingin ikut serta
dalam upaya mencerdaskan bangsa, Kompas ingin menjadi
“Indonesia
mini”, seperti sering disampaikan Jakob Oetama.
Kompas ingin menempatkan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi,
mengarahkan fokus perhatian dan tujuan pada nilai-nilai yang
transcendental atau mengatasi kepentingan kelompok. Rumusan
baku filosofis tersebut adalah humanisme transcendental (persatuan
dalam perbedaan, atau sama dengan bhineka tunggal ika).
“Kata hati Mata Hari”. Pepatah yang kemudian ditemukan,
menegaskan semangat emphaty dan compassion Kompas. Soal
“Indonesia mini”, Redaktur Senior Kompas, Ninok Leksono, menulis
artikel dengan judul “Pak Jakob dan Indonesia Mini’-nya.
95
Artikel itu berisi pemikiran Jakob Oetama tentang Indonesia
pluralistik yang bersatu, yang disebut Ninok, selalu menyertai Jakob
Oetama ke mana pun dan kapan pun memberi sambutan (Majalah
internal Kompas Gramedia, Infokita, No. 06/XXXIII/Juni/2010).
Kompas Gramedia sendiri, menurut Jakob Oetama, telah
menjadi satu model “Indonesia mini”. Jakob Oetama menginginkan
Indonesia seperti “Indonesia mini” yang telah berhasil diterapkan
di lingkungan Kompas Gramedia.
Sebagai lembaga pers, Kompas punya visi “Menjadi Institusi
Yang Memberikan Pencerahan Bagi Perkembangan Masyarakat
Indonesia Yang Demokratis Dan Bermartabat Serta Menjunjung
Tinggi Asas Dan Nilai Kemanusiaan”.
Kompas memerinci visinya menjadi lima butir, yakni (a)
Kompas adalah lembaga pers yang bersifat umum dan terbuka, (b)
Kompas tidak melibatkan diri dalam kelompok-kelompok tertentu
baik politik, agama, sosial, atau golongan, ekonomi, (c) Kompas
secara aktif membuka dialog dan berinteraksi positif dengan segala
cita bangsa, (d) Kompas adalah koran nasional yang berusaha
mewujudkan aspirasi dan cita-cita bangsa, (e) Kompas bersifat luas
dan bebas dalam pandangan yang dikembangkan tetapi selalu
memperhatikan konteks struktur kemasyarakatan dan pemerintahan
yang menjadi lingkungan.
96
Selain visi, Kompas pun punya misi, yakni “Mengantisipasi
dan Merespon Dinamika Masyarakat Secara Profesional, Sekaligus
Memberi Arah Perubahan (Trend Setter) Dengan Menyediakan Dan
Menyebarluaskan Informasi Terpercya”.
Rincian misi Kompas diturunkan menjadi lima butir variabel,
yakni (a) Kompas memberikan informasi yang berkualitas dengan
ciri : cepat, cermat, utuh, dan selalu mengandung makna, (b)
Kompas
memiliki
bobot
jurnalistik
yang
tinggi
dan
terus
dikembangkan untuk mewujudkan aspirasi dan selera terhormat
yang dicerminkan
dalam gaya kompak, komunikatif, dan kaya
nuansa kehidupan dan kemanusiaan, (c) Kualitas informasi dan
bobot jurnalistik dicapai melalui upaya intelektual yang penuh empati
dengan
pendekatan
rasional,
memahami
jalan
pikiran
dan
argumentasi pihak lain, selalu berusaha mendudukkan persoalan
dengan penuh pertimbangan tetapi tetap kritis dan teguh pada
prinsip, (d) Berusaha menyebarkan informasi seluas-luasnya dengan
meningkatkan tiras, (e) Untuk dapat merealisasikan visi dan misi,
Kompas harus memperoleh keuntungan dari usaha.
Namun, keuntungan yang dicapai bukan sekadar demi
keuntungan itu sendiri tetapi menunjang kehidupan layak bagi
karyawan
dan
pengembangan
usaha
sehingga
mampu
melaksanakan tanggung jawab sosialnya sebagai perusahaan.
97
Visi dan misi Kompas di atas dilengkapi dengan nilai-nilai
dasar Kompas, terdiri dari (a) Menghargai manusia dan nilai-nilai
kemanusiaan
sesuai
dengan
harkat
dan
martabatnya,
(b)
Mengutamakan watak baik, (c) Profesionalisme, (d) Semangat kerja
tim,
(e)
Berorientasi
pada
kepuasaan
konsumen
(pembaca,
pengiklan, mitra kerja – penerima proses selanjutnya), dan (f)
tanggung jawab sosial, (g) Bertingkah laku mengikuti nilai-nilai
tersebut,
dengan
begitu
kita
akan
memberikan
jasa
yang
memuaskan bagi pelanggan.
Kompas sudah menjadi media massa cetak terbesar di
Indonesia, dengan oplagnya yang juga terbesar. “Anak terbit”nya
tersebar di banyak provinsi. Kompas disebut-sebut pernah menjadi
pembayar pajak terbesar ke-32 secara nasional, pada tahun 1980.
Dalam perjalanannya, Kompas memilih sangat berhati-hati
atau melunak daripada
karyawan yang harus
posisinya
secara
harus ditutup penguasa dengan ribuan
menganggur.
Jakob Oetama, dengan
yang sentral lebih memilih menyelamatkan perusahaan
keseluruhan. Salah satu contohnya adalah, wartawan
Kompas Satrio Arismunandar, diminta mengundurkan diri dari
Kompas, daripada Kompas dibreidel penguasa. Tekanan penguasa
Orde Baru ketika itu amat kuat terhadap media massa. Kompas
tersudut di pilihan sulit : melepas wartawannya, atau Kompas
dibreidel penguasa.
98
Departemen Penerangan RI
penerbitan pers. “Dosa” Satrio
mendirikan Aliansi Jurnalis
sangat berkuasa terhadap
Arismunandar, ketika itu,
ikut
Independen (AJI), padahal organisasi
wartawan hanya boleh ada
satu, dan satu-satunya organisasi
wartawan yang diakui, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Satrio Arismunandar sendiri kemudian diberi pesangon yang
cukup besar oleh Kompas, sebagai ucapan
pengunduran dirinya. Uang
terima kasih atas
pesangon itu, kabarnya, terutama
digunakan untuk meneruskan kuliah. Sampai tesis ini ditulis, Satrio
Arismunandar bekerja di Trans
TV
sebagai executive producer
news division - urusan berita pula.
4.1.2. Manajemen Redaksional Kompas
Media massa cetak, dalam struktur klasik,
orang pemimpin, atau
mempunyai tiga
kalangan praktisi pers lazim menyebutnya
sebagai “jenderal”, yakni pemimpin umum, pemimpin redaksi, dan
pemimpin perusahaan. Umumnya, pemimpin umum itu langsung
membawahkan pemimpin redaksi dan pemimpin perusahaan.
Tetapi,
oleh karena
Kompas sudah menjadi penerbitan
besar, dan semakin luasnya garapan pekerjaan, maka diperlukan
jabatan lain,
yakni wakil pemimpin umum nonbisnis (wapu
nonbisnis) dan wakil pemimpin umum bisnis (wapu bisnis).
99
Wapu
nonbisnis
sedangkan wapu bisnis
merupakan
jalur
redaksional
(berita),
merupakan jalur nonredaksional, seperti
iklan, pemasaran, pembukuan, sirkulasi, dan lain-lain.
Wapu nonbisnis sendiri membawahkan dua pemimpin yang
setara, tetapi tidak mempunyai garis koordinasi, yakni pemimpin
redaksi/wakil pemimpin redaksi dan kepala
Litbang/wakil kepala
Litbang.
Ada empat manajer
di Litbang ini,
yakni manajer pusat
penelitian Kompas, manajer pusat penelitian bisnis, manajer
database, dan manajer pusat informasi Kompas (PIK). Di Litbang
inilah, terutama di PIK, peneliti mengumpulkan data dan bahan yang
diperlukan untuk penelitian tesis. Dari jalur wapu nonbisnis inilah
berita diproduksi, dari lapangan (laporan wartawan) sampai wapu
nonbisnis. Pemimpin redaksi/wakil pemimpin redaksi punya bawahan
para kepala desk, seperti Desk Nusantara, Desk Artikel & Surat
Pembaca, Desk Internasional, Desk Politik dan Hukum, dan lain-lain.
Bawahan langsung pemimpin redaksi adalah manajer produksi,
dengan dua bawahan, yakni wakil manajer produksi redaksi bidang
sunting (seperti penyelarasan bahasa), dan wakil manajer produksi
bidang
artistik
(seperti
desain
grafis).
Dengan
demikian,
keterpaduan kerja para manajer menghasilkan karya jurnalistik yang
baik dengan dukungan bahasa yang benar dan grafis yang menarik.
100
Wapu
bisnis
mempunyai
bawahan
yakni
pemimpin
perusahaan. Ada tiga bawahan pemimpin perusahaan, yakni grand
manager (GM) iklan, grand manager (GM) sirkulasi, dan grand
manager (GM) marketing communication.
Kompas membedakan betul antara jalur pekerjaan wapu
nonbisnis dan jalur pekerjaan wapu bisnis. Berita tidak mempunyai
hubungan dengan iklan. Pengusaha yang berkali-kali memasang
iklan, dalam jumlah yang besar, dan terus-menerus, belum tentu
profil perusahaannya ditulis Kompas dalam bentuk berita atau
laporan.
Kompas membatasi
diri :
berita adalah satu hal dan iklan
adalah hal yang lain. Meski begitu, majalah Pantau, seperti ditulis
Andreas Harsono,
pernah menelusuri bahwa
ada berita yang
berbentuk berita tetapi sebetulnya iklan, sehingga Kompas dianggap
melanggar wallfire (pagar api).
Manajemen redaksional
Kompas selengkapnya, bisa dilihat
pada struktur organisasi PT Kompas Media Nusantara (penerbit
Kompas), yang mulai berlaku tahun 2006.
4.1.3. Sejarah Republika
Sejak kelahirannya, Republika tegas-tegas menyatakan diri
sebagai koran Islam. Pemimpin Redaksi Republika, Ikhwanul Kiram
Mashuri (2005 - sekarang) menegaskan, “Republika dinilai mewakili
101
umat Islam”. Jika ingin tahu sikap politik umat Islam, referensinya
Republika”. ( Utomo, 2010 : 30). Oleh karena itu, identitas Islam
dalam Republika selalu tampak, apalagi pada hari Jumat, dengan
suplemen “Dialog Jumat”.
Kelahiran Republika tidak bisa dilepaskan dari Ikatan
Cendekiawan
Muslim
se-Indonesia
(ICMI)
sebagai
“ibu
kandung”nya. ICMI sendiri merencanakan penerbitan koran itu pada
kesempatan acara silaturahmi kerja nasional (Silaknas) I ICMI di
Jakarta, 5 – 7 Desember. Pemimpin proyek penerbitan Republika
adalah Sekretaris Umum ICMI sendiri, Wardiman Joyonegoro.
Wardiman pula yang mengawal penerbitan surat izin usaha
penerbitan pers (SIUUP), day to day. ( Utomo, 2010 : 22).
Foto 5
Gedung Republika
Foto : http://thephenomena.wordpress.com
102
Program ICMI meliputi semua bidang, meliputi politik, ekonomi,
dan sosial. Di sektor ekonomi, tidak lama setelah ICMI berdiri,
menyusul berdiri pula Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sampai
kini merupakan satu-satunya bank yang murni dikelola secara syariah.
Untuk mendirikan bank syariah ini, seperti terungkap dalam buku 17
Tahun Republika, ternyata tidak mudah, antara lain, karena belum
ada acuan dan aturannya. Tetapi, oleh karena banyaknya menteri
yang menjadi anggota ICMI, maka akhirnya BMI bisa pula didirikan,
dan sekaligus sebagai bank syariah pertama di Indonesia.
Dalam buku ICMI Bergerak (2000) ditulis Zaim Uchrowi (kini,
Direktur Balai Pustak, dosen, penceramah) dan Usman Ks (kini,
Direktur Pemberitaan Media Indonesia, dosen), disebutkan tiga tujuan
penerbitan media (koran) yang akan diterbitkan ICMI itu. Ketiga tujuan
ini, (a) mewadahi aspirasi umat Islam sebagai bagian terbesar bangsa
ini, (b) mendorong umat Islam makin kritis dan bermoral, dan (c)
mendidik umat bersikap partisipatif sebagai pembaca aktif. Meski
perencanaan penerbitan koran sudah jelas dan matang, ICMI masih
tetap meminta diadakan survai.
Maka, Lembaga Riset Surindo Utama, dengan komandan Yanti
Sugarda, melakukan survai, selama kurang lebih tiga bulan. Hasil
survai : masih ada peluang untuk mendirikan koran bernuansa Islam.
Pada saat itu, media massa Islam yang sudah ada, antara lain, harian
Pelita dan majalah Panji Masyarakat.
103
Republika terbit di bawah Yayasan Abdi Bangsa, yang didirikan
pada tanggal 17 Agustus 1992. Ada tiga program prioritas yayasan
ini, yakni pengembangan Islamic centre, pengembangan Centre for
Information and Depelovment Studies (CIDES), dan penerbitan
Republika.
Mengenai perkembangan terakhir CIDES, sejak awal tahun
2009, diubah namanya jadi Yayasan CIDES Indonesia, dan sebagai
kelanjutan CIDES yang sudah ada sebelumnya.
Ketua Dewan Kehormatan CIDES Indonesia (2009 – 2014)
adalah B.J. Habibie. Ketua Dewan Penasihat, Adi Sasono. Sejumlah
kegiatan CIDES Indonesia, meliputi studi ekonomi, politik, lingkungan,
budaya, dan hukum.
Nama Republika sendiri berasal dari gagasan Zaim Uchrowi
(Pemimpin Redaksi Republika 200 – 2001). Ketika itu, Zaim ditugasi
Wardiman Joyonegoro untuk memilih nama yang cocok.
Zaim menyusun
yang kemudian
10 nama untuk diajukan kepada Habibie,
disampaikan kepada Presiden Soeharto.
Nama-
nama yang diajukan Zaim, antara lain, Republik, Nasional, dan Sinar
Baru.
“Nama Republik, sengaja disimpan di nomor urut satu dengan
harapan nama ini yang akan dipilih,” kata Zaim. Selanjutnya,
dibuatkan mock up koran, dengan nama yang dipilih Republik.
104
Presiden Soeharto menilainya cukup bagus,
tetapi meminta
agar nama Republik ditambah dengan huruf /a/ sehingga menjadi
Republika. Maka, nama inilah yang kemudian dipakai, sampai
sekarang.
Pencarian nama,
tidak terlalu sulit. Tetapi, mencari orang
yang akan menjadi pemimpin redaksinya, ternyata harus melewati
disuksi dan
konsultasi yang cukup lama.
seorang pemimpin redaksi haruslah mutlak
Maklum,
ketika itu,
orang yang disetujui
Pemerintah, yang dalam hal ini oleh Departemen Penerangan RI.
Beberapa nama muncul
sebagai calon pemimpin redaksi,
seperti Nasir Tamara dan Damawan Rahardjo. Ketika itu, sudah
diformat dua nama : Dawam Rahardjo sebagai pemimpin redaksi
dan Adi Sasono sebagai pemimpin umum.
Ternyata, kedua-duanya ditolak Menteri Penerangan RI H.
Harmoko.
Atas penolakan terhadap Dawam Rahardjo,
Harmoko
beralasan, “Saya rasa, Pak Dawam kurang cocok. Koran itu bukan
hanya harus dipelototi dari pagi sampai malam, tapi juga ngurusi
sirkulasi, iklan. Pak Dawam membesarkan Ulumul Quran saja, nanti
kita bantu,” kata Harmoko. Selain menolak Dawam Rahardjo sebagai
pemimpin redaksi, Harmoko pun menolak orang-orang bekas Berita
Buana. “Saya tidak mau ada orang-orang eks Berita Buana-nya
Sutrisno Bachir yang ikut koran itu nanti,” tegas Harmoko.
105
Pembicaraan selanjutnya mengenai calon pemimpin redaksi,
akhirnya melibatkan pula Habibie. Dalam satu kesempatan, Habibie
mengajak Wardiman, Jimly Asshiddiqie, Parni Hadi, dan Makmur
Makka untuk berkunjung ke rumah dinas Harmoko.
Habibie membuka pembicaraan dengan menyebut Parni Hadi
dan Makmur Makka. Masalahnya, kata Habibie kepada Harmoko,
Parni Hadi masih aktif di Kantor Berita Antara dan Makmur Makka
sudah lama tidak aktif di dunia pers. Harmoko diam, dan berpikir.
Tangan kanannya memegang dahi. Matanya terpejam, dan tiba-tiba,
“Parni saja”. “Ok…gimana Parni,” kata Habibie yang disambut kaget
oleh Parni Hadi.
Parni Hadi baru beberapa hari kemudian menerima tawaran
itu. Parni Hadi sendiri sebelumnya sudah bertekad akan memajukan
Antara. Pagi-pagi, Parni Hadi menelepon Makmur Makka, “Bos, saya
sudah istikharah dan saya putuskan terima,” kata Parni Hadi kepada
Makmur Makka, teman dekatnya. Makmur Makka sendiri kemudian
menjadi Pemimpin Redaksi Republika (1997 – 2000), menggantikan
Parni Hadi yang turun dari jabatannya akibat intervensi penguasa.
Ketika itu,
Republika menurunkan opini Amien Rais, dengan
judul “Kejujuran”, dalam rubrik “Resonansi”. Dalam opininya, Amien
Rais mengajak
agar masyarakat untuk tidak memilih statusquo
dalam pemilu nanti.
106
Rupanya, Presiden Soeharto marah. Presiden meminta agar
Prabowo (menantunya, ketika itu) menegur. “Ini berbahaya, tidak
boleh dibiarkan,” kata Prabowo. “Kenapa tulisan seperti ini lolos! ”
kata Prabowo pula. Interpretasi dari opini Amien Rais itu, yakni
ajakan agar rakyat tidak lagi memilih Golkar. Lambang statusquo
ketika itu, tidak lain adalah Golkar.
Sebetulnya, Parni Hadi ketika itu sedang ada di Korea, untuk
suatu perjalanan jurnalistik. Parni Hadi tidak tahu-menahu adanya
kemarahan Presiden, tidak tahu pula ada kemarahan Prabowo. Tak
pelak lagi, Parni Hadi mendadak diganti. Penggantinya adalah
Makmur Makka. “Makmur, kau ganti Parni,” tegas Habibie. “Tapi,
Pak, saya sudah lama tidak di pers. Terakhir, menjadi redaktur
pelaksana di harian Kami tahun 1997,” jawab Makmur Makka.
“Hanya nama kamu yang muncul waktu saya shalat,” jawab Habibie.
Ketika itu, Habibie langsung menelepon Harmoko. Persoalannya
kemudian, Makmur Makka tidak mempunyai kartu PWI.
ketika itu,
Maklum,
punya kartu PWI jadi salah satu syarat mutlak untuk
menduduki jabatan pemimpin redaksi. Soal tidak punya kartu PWI,
ternyata kemudian diurus sendiri oleh Dirjen Pembinaan Pers dan
Grafika, Subrata, atas perintah Harmoko. Maka, Makmur Makka pun
punya kartu PWI,
dan siap jadi pemimpin redaksi Republika,
menggantikan Parni Hadi. “Saya lega begitu tahu Bos Makmur yang
menggantikan,” komentar Parni Hadi.
107
Jabatan pemimpin umum Republika, masih tetap dipegang
Parni Hadi. Dalam sebuah penerbitan pers, hakikatnya, pemimpin
redaksi-lah yang lebih bergengsi daripada pemimpin umum. Ketika
itu pula, kartu pers ditandatangani hanya oleh pemimpin redaksi,
bukan oleh pemimpin umum. Oleh karena itu, pemimpin redaksi,
ketika itu, seperti jadi “mahkota” penerbitan pers.
Republika media massa cetak berideologi Islam dan menyebut
diri sebagai koran komunitas umat Islam. Paham Islam Republika
adalah Islam
mazhab ahlu sunnah wal jamaah,
seperti dianut
Muhammadiyah, NU, dan Persatuan Islam (Persis).
Di dunia ini, selain ada mazhab Sunny (Ahlu sunnah wal jamaah),
juga ada
mazhab Syiah. Perbedaan kedua mazhab ini, awalnya
hanyalah pada pemilihan khalifah setelah Nabi Muhammad S.A.W.
wafat : antara dipilih dan dari kalangan mana saja atau ditetapkan
secara turun-temurun dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra
(putri Nabi Muhammad S.A.W.).
Republika menegaskan keislaman mazhab ahlu sunnah wal
jamaah itu ditambah dengan nasionalisme, Islamis nasionalis. Bagi
Republika, negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga
mati yang harus dibela dan dipertahankan. Keislaman Republika
adalah keislaman yang rahmatan lil ‘aalamiin, yang memberi manfaat
kepada semua orang, termasuk nonmuslim.
108
Untuk itu, jurnalisme yang diusung adalah jurnalisme damai
dan mendamaikan. Jurnalisme
ini merupakan inspirasi dari
doa
salam setelah attahiyyat akhir, dalam salat, sambil menengok ke
kanan dan ke kiri. Artinya, pesan damai ke sekeliling kita.
4.1. 4. Manajemen Redaksional Republika
Jabatan tertinggi dalam stuktur
organisasi PT Republika
Mandiri (penerbit Republika) diduduki direktur utama. Direktur utama
membawahkan wakil direktur utama/CEO. Wakil direktur utama
mempunyai empat
bawahan, yakni grand manager keuangan &
admin, direktur operasional/COO, Buss. Dev. & Traffic. SUPP, dan
pemimpin redaksi. Menyangkut redaksi, pemimpin redaksi/wakil
pemimpin redaksi membawahkan redaktur pelaksana dan redaktur
senior. Tugas redaktur senior ini menangani daerah dan Republika
Online (ROL).
Di bawah wakil redaktur pelaksana pula ada wakil
redaktur pelaksana I dan wakil redaktur pelaksana II. Wakil redaktur
pelaksana I membawahkan asisten redaktur pelaksana I (berita) dan
asisten redaktur pelaksana II (berita). Ruang lingkup tugas asisten
redaktur pelaksana I meliputi berita halaman I, halaman internasional,
halaman ekonomi, dan halaman olahraga. Ruang lingkup asisten
redaktur pelaksana II meliputi “Dialog Jumat”, halaman “City News”, “
Iptek”, berita edisi Ahad, dan halaman nasional yang mencakup politik
3 Berita Harian, hukum, kesra, dan berita halaman 12.
109
Wakil redaktur pelaksana II (nonberita, desain, dan foto)
mempunyai tiga
bawahan, yakni asisten redaktur pelaksana III
(nonberita), asisten redaktur pelaksana IV (nonberita), dan redaktur
foto. Asisten redaktur pelaksana III menangani beberapa rubrik,
yakni (a) Berita halaman I Ahad, “Cerpen”,
“Puisi”, “Wacana”,
“Horizon”, “Cerber”, “Pustaka”, dan “Senggang”, (b) Ficer halaman I,
“Analisis”, “Resonansi”, “Refleksi”, “Opini”, dan “Tajuk Suara”, (c)
“Warna”, “Ihwal”, dan “TV Guid”, (d) “Laporan Utama Minggu”, (e)
“Perilaku”, “Di Balik Layar”, “Hobi & Habit”, “Layar Perak dan DV”,
dan “Gaya”. (f) “Sosok”, “Wawancara”, “Dari Kami”, “Korcil”, “Belia”,
“Remaja”. . “Griya”, “Jalan-jalan”, “Wanita”, “Kesehatan”,
“Boga”,
dan (g) “Ayah Bunda”.
Asisten redaktur pelaksana IV tidak menangani naskah, tetapi
khusus menangani desain. Bawahan lain wakil redaktur pelaksana
II adalah redaktur foto. Tugasnya, menangani dokumentasi foto dan
laboratorium scanner.
Dalam perkembangan manajemen redaksional, dokumentasi
semakin penting, antara lain, sebagai bahan referensi ketika harus
menulis kembali peritiwa terbaru yang berkaitan dengan peristiwa
lama. Beberapa media massa cetak mempunyai perpustakaan,
bahkan melakukan riset perpustakaan untuk laporan/liputan tertentu.
Hal ini, tentu saja, akan menambah bobot tulisan atau laporan.
Kompas dan Republika biasa melakukan riset seperti itu.
110
Redaktur senior (daerah dan ROL ) hanya mempunyai dua
bawahan, yakni redaktur daerah dan redaktur Republika Online
(ROL).
Khusus diagram alur proses kerja redaksi hingga pembaca,
Republika membagi dua bagian besar, yakni proses kerja redaksi
dan rencana redaksi untuk terbitan berikutnya.
Proses
redaksi
merupakan
tempat
pertimbangan
dan
keputusan dimuat tidaknya berita. Kebijakan redaksional ada di
wilayah proses kerja redaksi. Dari proses kerja redaksi, kemudian
beralih
ke proses kerja visual, proses kerja pracetak, kemudian
berlanjut ke proses kerja cetak dan proses kerja distribusi, dan
akhirnya sampai kepada pembaca.
Bagian kedua. Rencana redaksi untuk terbitan berikutnya
mempunyai beberapa item proses meliputi rencana halaman redaksi,
rencana halaman iklan, rencana halaman koran, dummy/partitur
halaman yang meliputi materi foto dan materi grafis/ilustrasi.
Dari rencana halaman redaksi pula, turun ke wilayah naskah
redaksi, setting, paste up/layout, reprografi, cetak, distribusi, dan
akhirnya sampai ke tangan pembaca.
Struktur redaksi Republika selengkapnya
diperbaharui dan
mulai diberlakukan mulai tanggal 08 Maret 2010. Struktur redaksi
Republika ada pada lampiran.
111
4.1.5. Kandidat Presiden dan Wakil Presiden
Dari sebanyak bakal
kandidat presiden dan wakil presiden
yang menghiasi media massa, juga iklan-iklan terbuka di tempattempat umum,
hanya tiga pasangan
yang kemudian maju jadi
kandidat presiden dan wakil presiden.
Ketiga kandidat presiden dan wakil presiden itu (sesuai
dengan
nomor
urut
Soekarnoputri/Prabowo
hasil
undian
Subianto,
di
KPU),
Susilo
Megawati
Bambang
Yudhoyono/Boediono, dan Jusuf Kalla/Wiranto.
Nomor urut kandidat presiden dan wakil presiden itu sendiri
hasil undian resmi yag dilakukan KPU di hadapan para kandidat
presiden dan wakil presiden sendiri.
Nomor urut ini dikukuhkan
dalam keputusan KPU.
Foto 6
Tiga Pasangan Kandidat Presiden dan Wakil Presiden
Foto : Media Centre KPU
112
Media massa cetak memuat pasangan kandidat presiden dan
wakil
presiden itu, dengan berita, judul berita, dan foto dari sudut
pandang masing-masing. Tidak sedikit pula, media massa elektronik
yang kemudian memuat karikatur mereka, seperti contoh karikatur
kandidat presiden dan wakil presiden seperi di bawah ini:
Gambar 3
Karikatur Nomor Urut Kandidat Presiden dan Wakil Presiden
Pasangan kandidat presiden dan wakil presiden Megawati
Soekarnoputri/Prabowo Subianto mengusung slogan “Pilihan kita”.
Dalam bahasa populernya, kandidat ini sering diakronimkan jadi
Mega-Pro.
Pasangan
kandidat
Yudhoyono/Boediono mengusung
Rakyat. Lanjutkan!”.
113
slogan
Susilo
Bambang
“Terus Berjuang untuk
Pasangan kandidat Jusuf Kalla/Wiranto mengusung slogan
“Pasangan Nusantara”. Tetapi, pasangan ini lebih dikenal dengan
slogan “Lebih Cepat Lebih Baik” yang dipopulerkan Jusuf Kalla.
Dari
tiga kandidat presiden itu, dua orang di antaranya,
berpengalaman jadi presiden :
Megawati Soekarnoputri (2001 –
2004) dan Susilo Bambang Yudhoyono (2004 – 2009). Megawati
Soekarnoputri pun berpengalaman jadi wakil presiden (1999 – 2001).
Ketika itu, presidennya, K.H. Abdurrahman Wahid.
Jusuf Kalla berpengalaman jadi wakil presiden (2004 – 2009),
dengan
presidennya
Susilo
Bambang
Yudhoyono.
Prabowo
Subianto, baru menjadi kandidat wakil presiden pada pemilu tahun
2009,
sama halnya dengan Boediono.
Kecuali Wiranto, pernah
menjadi kandidat presiden (pemilu 2004) bersama kandidat wakil
presiden K.H. Salahuddin Wahid.
Semua kandidat presiden dan wakil presiden berasal dari
partai politik (parpol), kecuali presiden Boediono, yang berasal dari
kalangan profesional (ekonom).
Para
kandidat
yang
berasal
dari
parpol,
Megawati
Soekarnoputri (ketua DPP PDI Perjuangan), Jusuf Kalla (ketua DPP
Partai Golkar),
Prabowo Subianto (ketua Dewan Pembina DPP
Partai Gerindra, Wiranto (ketua DPP Partai Hati Nurani Rakyat), dan
Susilo Bambang Yudhoyono (ketua Pembina DPP Partai Demokrat).
114
Dari enam kandidat presiden dan wakil presiden itu, tiga orang
di antaranya berasal dari kalangan militer (jenderal purnawirawan
Tentara
Nasional
Indonesia,
TNI),
yakni
Susilo
Bambang
Yudhoyono, Wiranto, dan Prabowo Subianto. Radio Nederland
Wireld Omroep (RNW)
mengadakan
dalam siaran kata “Dimensi”, pernah
jajak pendapat kepada para pendengarnya,
terkait
dengan latar belakang kandidat presiden dan wakil presiden pada
pemilu 2009. Hasil jajak pendapat itu,
ternyata
militer masih
dibutuhkan untuk menjadi presiden di Indonesia.
Dari enam kandidat presiden dan wakil presiden itu pula,
semuanya berstatus kawin, kecuali Prabowo Subianto. Dalam buku
Visi
Misi dan Program
Calon Presiden dan Wakil Presiden,
diterbitkan KPU, tertulis Prabowo Subianto berstatus pernah kawin.
Salah satu syarat kandidat presiden dan wakil presiden telah
melaporkan kekayaan kepada instansi yang berwenang memeriksa
laporan kekayaan penyelengagar negara (Huruf f, Pasal V, Bab III,
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden). Harta kekayaan kandidat presiden dan wakil
presiden, sebagaimana diumumkan KPU, di Media Center KPU,
Jakarta, (2905/2009), sesuai
dengan nomor urut, Megawati
Soekarnoputri sebesar Rp 256.447.223.594, Prabowo Subianto
sebesar Rp 1.579.376.223.359 dan US$ 7.572.916, Susilo Bambang
Yudhoyono sebesar Rp 6.848.049.611 dan US$ 246.389, Boediono
115
sebesar Rp 22.067.815.019 dan US$ 15.000, Jusuf Kalla sebesar
Rp 314.530.794.307 dan US$ 25.668, dan Wiranto sebesar Rp
81.748.591.938 dan US$ 378.625.
Pada saat yang sama, KPU mengumumkan pula jumlah dana
awal kampanye pasangan kandidat presiden dan wakil presiden,
masing-masing, Megawati Soekarnoputri/Prabowo Subianto sebesar
Rp15,5 miliar, Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono sebesar
Rp20,075 miliar, dan Jusuf Kalla/Wiranto sebesar Rp10 miliar.
Dalam pencalonan presiden dan wakil presiden, pasangan
Megawati Soekarnoputri/Prabowo Subianto diusung oleh sembilan
(9) parpol (20,60% kursi dari 560 kursi di DPR), terdiri dari (a)
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), (b) Partai Gerakan
Indonesia
Raya
(Gerindra),
(c)
Partai
Nasional
Indonesia
Marhaenisme (PNI Marhaenisme), (d) Partai Buruh, (e) Partai Karya
Perjuangan
(Pakar
Pangan),
(f)
Partai Merdeka,
(g)
Partai
Kedaulatan, (h) Partai Sarikat Indonesia (PSI), dan (i) dan Partai
Persatuan Nahdlatul ummah Indonesia (PPNUI).
Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono diusung oleh
delapan belas (18) parpol (56,07% kursi dari 560 kursi di DPR),
terdiri dari (a) Partai Demokrat, (b) Partai KeadilanSejahtera (PKS),
(c)
Partai
Amanat
Nasional
(PAN),
(d)
Partai
Persatuan
Pembangunan (PPP), (e) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), (f)
116
Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS), (g) Partai
Karya Peduli Bangsa (PKPB), (h) Partai Bintang Reformasi (PBR),
(i) Partai RepulikaN, (j) Partai Patriot, (k) Partai Nasional Benteng
Kerakyatan Indonesia (PNBKI), (l) Partai Matahari Bangsa (PMB),
(m) Partai Pemuda Indonesia (PPI), (n) Partai Pelopor, (o) Partai
Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), (p) Partai Indonesia Sejahtera
(PIS), (q) Partai Perjuangan Indonesia Baru (PIB), dan (r) Partai
Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI). Pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono/Boediono mengantongi dukungan parpol terbanyak.
Pasangan Jusuf Kalla/Wiranto diusung oleh 2 (dua) parpol
(22,32% kursi dari 560 kursi di DPR), terdiri dari
Golongan Karya (Golkar)
(a) Partai
dan (b) Partai Hati Nurani Rakyat
(Hanura).
Ketiga pasangan tersebut memenuhi syarat jadi calon presiden
dan wakil presiden karena memenuhi ketentuan paling sedikit
didukung oleh 20% kursi di DPR atau 25% suara sah dari pemilu
DPR, sebagaimana bunyi Pasal 9, Bab III, Undang-undang Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Jumlah kursi DPR sendiri sebanyak 560 (lima ratus enam puluh)
buah (Pasal 21, Bab V, Undang-undang Nomor 10 tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD). Suara
sah hasil pemilu DPR tahun 2009, sebesar
104.099.785 lembar
surat suara, dari 77 daerah pemilihan di 33 provinsi se-Indonesia.
117
Hasil pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2009 tersebut,
kandidat presiden dan wakil presiden (nomor urut
Bambang Yudhoyono/Boediono,
memperoleh
2),
Susilo
suara terbanyak,
dengan dukungan 73.876.562 suara (60.80%).
Dua
pasangan
kandidat
lainnya,
Megawati
Soekarnoputri/Prabowo Subianto memperoleh dukungan 32.548
suara (26,79 suara) dan Jusuf Kalla/Wiranto memperoleh dukungan
15.081.818 suara (12,41%).
KPU, dalam rapat pleno penetapan calon presiden dan wakil
presiden,
menetapkan
pasangan
Susilo
Bambang
Yudhoyono/Boediono sebagai kandidat presiden dan wakil presiden
terpilih karena sudah memenuhi syarat Ayat 1, Pasal 159, Bab XII,
Undang-undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden.
Hasil rapat pleno itu kemudian dituangkan ke dalam Berita
Acara No. 133/BA/VIII/2009 dan Surat Keputusan KPU No.
373/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Pasangan Calon
Presiden dan Wakil Presiden.
Maka, dengan peta
perolehan suara seperti itu, tidak ada
pemilu presiden dan wakil presiden putaran kedua, seperti pada
pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004. KPU pun akhirnya
bisa menghemat dana sampai Rp40 miliar.
118
Foto 7
Rapat Pleno KPU dalam Penetapan
Kandidat Presiden dan Wakil Presiden Terpilih
Foto : Media Centre KPU
Foto 8
Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono,
Kandidat Presiden dan Wakil Presiden Terpilih
Foto : Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Ottawa
Riwayat hidup para kandidat presiden dan wakil
presiden selengkapnya, terlampir.
119
4.2.
Hasil Penelitian
4.2.1. Analisis Wacana Kritis Debat Kandidat di Kompas
1. Dimensi Teks
1)
Tematik
Tematik
untuk menjawab apa yang dikatakan.
Sebuah berita, sebagaimana lazimnya, terdiri dari judul
berita, dateline (baris tanggal) tubuh berita yang lazim
pula didahului lead, dan diakhiri dengan inisial (penulis
berita/editor berita). Berita berunsurkan 5W (who, what,
when, where, why) dan 1H (how).
Dalam penulisan berita, kelima unsur berita bisa
dipastikan ada, termasuk di Kompas dan di Republika.
Perbedaannya adalah penonjolan.
Sekali waktu, Kompas dan Republika menonjolkan
atau mendahulukan what (apa) dan sekali waktu yang lain
menonjolkan who (siapa).
Oleh karena itu, sering sekali ditemukan kutipan
peneliti, pengamat, atau bahkan kandidat presiden dan
wakil presiden untuk mengawali sebuah berita.
Kompas dan Republika tidak
dalam
penonjolan ini.
akan selalu sama
Kutipan penting bagi Kompas,
belum tentu dianggap kutipan penting bagi
dan sebaliknya.
120
Republika,
Sebagai contoh, Kompas mendahulukan what untuk
berita
yang berjudul “MODERATOR ISU PENTING”
dengan onder cop (judul bawah) “Debat Tak Bisa Penuhi
Semua Ekspektasi Publik”.
Berita itu dimulai dengan what, yakni “Dari tiga kali
debat antarcalon presiden dan wakil presiden yang telah
dilangsungkan,
kualitas
debat
masih
tetap
dipersoalkan…”(Kompas, 29/06/209).
Tetapi, di berita lain, Kompas mendahulukan who
(siapa), seperti dalam judul berita “Pelayanan Publik”
(boven cop = judul atas) dan judul berita “PAPARAN
JUSUF KALLA
SEJALAN DENGAN KONSEP UU
PELAYANAN PUBLIK”.
Berita itu dimulai dengan unsur who, yakni “Sejak
awal, calon presiden M. Jusuf Kalla telah menekankan
keterukuran pelayanan yang harus diberikan…” (Kompas,
26/06/2009).
Pada umumnya, Kompas mendahulukan what
dalam menulis berita, dan hanya beberapa berita saja
yang mendahulukan who (kandidat presiden dan wakil
presiden). Kompas mendahulukan who dengan menyebut
kandidat presiden Jusuf Kalla.
121
Ditulis dalam lead berita, “Calon presiden Jusuf
Kalla menegaskan komitmennya untuk menghormati dan
menjaga kemajemukannya dengan dasar Pancasila….”
(Kompas, 25/06/2009).
Dengan mendahulukan unsur who itu, Kompas
sebetulnya berkepentingsan dengan pernyataan Jusuf
Kalla yang akan memelihara kemajemukan. Ideologi
Kompas sendiri adalah humanisme transcendental, yang
kurang lebih sama dengan pemeliharaan kemajemukan.
Di tengah-tengah kemajemukan Indonesia, meliputi suku,
agama, etnis, daerah, dan strata sosial, Jusuf Kalla (kalau
terpilih
nanti)
akan
berlaku
seadil-adilnya
untuk
Indonesia. Prinsip Jusuf Kalla, semua warga punya hak
yang sama sesuai dengan undang-undang (Kompas,
25/06/2009).
alinea
kedua
Pernyataan Jusuf Kalla ini dimuat
untuk
lebih
menegaskan
pada
eksistensi
humanisme transcendental Kompas.
Dalam menyajikan tema debat kandidat, Kompas
menempatkan wacana ke dalam 10 rubrik, meliputi (a)
berita, (b) tajuk, (c) opini, (d) jajak pendapat, (e) surat
pembaca, (f) feature/profile, (g) pojok, (h) kartun/karikatur,
(i) foto, dan (j) liputan khusus penajaman visi dan misi
kandidat.
122
Berita adalah hasil liputan wartawan di lapangan,
ditulis lengkap lengkap dengan rumusan klasik
what,
who, when, where, why dan how (5W dan 1H).
Tajuk
merupakan sikap resmi institusi
media
massa cetak, dimuat khusus dalam kolum tajuk rencana.
Opini merupakan karangan yang datang dari luar institusi
media
massa
cetak,
tetapi
pemuatannya
selalu
disesuaikan dengan kebijakan jajaran redaksi. Sebuah
opini yang dimuat di Kompas, belum tentu dimuat di
Republika, dan sebaliknya.
Atau, bisa pula kedua-duanya menilai laik
naik
cetak atau kedua-duanya pula menilai tidak pantas naik
cetak. Jajak pendapat atau survai pembaca
untuk
mengetahui ukuran/parameter ketika ada momentum yang
dianggap strategis, seperti pemilu presiden dan wakil
presiden.
Hasil jajak pendapat ini
biasanya ditulis dalam
bentuk laporan. Ini merupakan jurnalisme baru (laporan
jurnalistik yang
berbasis hasil penelitian), disebut
jurnalistik presisi.
Surat
pembaca
berupa
ungkapan,
tanggapan,
komentar, koreksi, dan lain-lain, dari pembaca. Pihak
redaksi,
umumnya
123
meminta
melampirkan
identitas
pengirim surat pembaca, seperti kartu tanda penduduk
(KTP), sebagai salah satu syarat pemuatan surat
pembaca.
Features (sebagian menulis tanpa huruf /s/) adalah
berita kisah. Ditulis ringan. Bukan berita, bukan pula opini,
tetapi kedua-duanya bisa masuk dalam tubuh features.
Unsur subjektivitas wartawan bebas muncul dalam tubuh
features.
Anggota Dewan Redaksi Pos Kota, Sjaiful Rachim,
membandingkan berita dan features : kalau membaca
berita, orang akan “melipatkan jidat”, maka features hadir
untuk melepaskan “lipatan jidat” itu.
Pojok merupakan kolum
opini media massa cetak
khas di Indonesia. Isinya berupa kritik atau sindiran yang
isinya serius, tetapi disampaikan secara jenaka, dengan
kalimat yang ringan dan ringkas.
Foto adalah fakta gambar di lapangan, dimuat baik
untuk melengkapi berita maupun foto lepas. Setiap foto
diberi
keterangan,
istilah
jurnalistiknya,
caption
(keterangan foto).
Pada zaman sekarang ini, ketika surat kabar harus
bersaing dengan televisi yang bisa menyiarkan apa pun
secara langsung, maka features jadi andalan surat kabar.
124
Sekarang ini, media massa cetak jarang memuat
straight news (berita lempang) karena memang sudah
kehilangan efektivitasnya akibat perkembangan teknologi
komunikasi.
Opini adalah karangan yang dikirim para ahli,
dimuat
dalam
rubrik
khusus
“Opini”. Permuatan
karangan disesuaikan dengan garis kebijakan redaksional.
Jajak pendapat hasil penelitian lapangan, yang
kemudian dijadikan berita. Ini merupaka jurnalistik baru,
ditandai dengan berita yang berbasiskan penelitian,
disebut
jurnalisme presisi. Tajuk rencana
adalah
pemuatan opini atau garis kebijakan Kompas. Surat
pembaca adalah ungkapan, kritik, saran, dan lain-lain
yang dikirim para pembaca, yang kemudian dimuat dalam
kolum “Redaksi Yth.”
Jumlah
wacana
sebanyak sebanyak
debat
kandidat
di
Kompas,
110 buah wacana, sepanjang
01
Juni 2009 sampai 08 Juli 2009.Periode ini periode media
massa cetak menyajikan wacana kampanye pemilu
presiden dan wakil presiden, termasuk wacana debat
kandidat presiden dan wakil presiden. Berikut ini, namanama rubrik yang berisi jenis wacana dan jumlah wacana
yang dimuat Kompas.
125
Tabel 9
Wacana Debat kandidat di Kompas
No.
Wacana
Jumlah
01.
Berita
26
02.
Tajuk rencana
4
03.
Opini
6
04.
Pojok
6
05.
Features
6
06.
Profil
6
07.
1
08.
Jajak Pendapat
Kartun
09.
Komik
1
10.
11.
Redaksi Yth.
Foto
58
12.
Jumlah
110
1
1
Diolah dari Pusat Informasi Kompas (2010)
Kompas
memilah tema debat kandidat ke dalam
tiga bagian, (a) pelaksanaan debat kandidat, (b) iklan
komersial, dan (c) pelaku debat kandidat. Narasumber
yang dikutip Kompas cukup berbobot dan punya kapasitas
dalam bidangnya.
a.
Pelaksanaan Debat Kandidat.
Media massa, politisi, akademisi,
aktivis LSM,
dan lain-lain mengeritik/mengomentari
pelaksanaan
debat kandidat presiden dan wakil presiden,
samping
mereka
pun
di
mengeritik/mengomentari
materi debatnya itu sendiri. Ada 10 narasumber yang
diwawancarai
Kompas
kritik/komentarnya.
126
untuk
diminta
Para narasumber itu, Susie Berindra (wartawan),
Airlangga Pribadi Kusman (dosen UGM), Arie Sujito
(dosen UGM), Indra J. Piliang (juru bicara Tim JKWin), Jeirry Sumampau (koordinator
Choeri
(mantan
anggota
Pansus
KPI), Effendi
RUU
Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden, angora DPR), Ahmad
Fauzi Ray Rangkuti (direktur eksekutif LIMA), Nur
Hidayat Sardini (ketua Bawaslu), Zaenal Arifin (Pusat
Kajian
Antikorupsi
UGM),
dan
Happy
Salma
(selebritas).
Susie
sebetulnya
Berindra
bukan
menilai,
debat
debat
kandidat,
kandidat
melainkan
semacam uraian pendapat calon presiden dan wakil
presiden.
Airlangga Pribadi
Kusman
menilai debat
kandidat hanya ajang para calon untuk menjaga imaji
diri agar terlihat tampak paling baik.
Ari Sujito menilai penampilan
kandidat
para
calon presiden seperti manajer saja. Jeirry sumampau
menyebut debat kandidat sebagai percakapan yang
sangat normatif.
127
Effendi
kehilangan
Choeri
esensi.
menyebut
Agun
debat
kandidat
Gunanjar
Sudarsa
merasakan debat kandidat seperti cerdas cermat.
Ahmad Fauzi Rangkuti melihat debat kandidat tidak
berkembang.
Hidayat Nur Wahid menilai,
berlangsung
monoton.
debat kandidat
Zaenal
Arifin
Mochtar
menganggap debat kandidat tidak perlu karena hanya
mendengarkan pembicaraan belaka, padahal yang
dibutuhkan aksi nyata.
Happy Salma menganggap debat kandidat
seperti lomba pidato atau cerdas cermat. Kompas
sendiri,
untuk
menunjukkan
sikap
resminya,
menurunkan tajuk rencana mengenai debat kandidat
itu, dengan judul “Format Debat Capres” (Kompas, 22
Juni 2009).
b. Iklan Komersial dalam Debat Kandidat
Kompas
kompeten
mengambil narasumber yang cukup
untuk
diminta
pendapatnya
tentang
pelaksanaan debat kandidat, di bawah judul berita
“Esensi Debat Malah Hilang. Tayangan
Didominasi iklan Komersial”.
128
Debat
Banyak pihak
dalam
debat
yang mengeritik iklan komersial
kandidat.
Iklan
dinilai
sangat
mengganggu. Para pengeritik mengakui, debat perlu,
tetapi harus dibiayai sepenuhnya oleh KPU (APBN)
sesuai dengan Undang-undang Nomor
42 Tahun
2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Anggota KPU Andi Nurpati (kini, pengurus DPP
Partai Demokrat) mengatakan,
bahwa KPU hanya
menganggarkan honor untuk pembicara, sedangkan
televisi sanggup menyediakan tempatnya. (Kompas,
29/06/09). Dengan demikian, anggaran debat kandidat
presiden dan wakil presiden itu ditanggung bersama
oelh KPU dan televisi.
Ke depan, seperti aspirasi para ahli, debat
kandidat
presiden
dan
wakil
presiden
harus
sepenuhnya dibiayai KPU (APBN), sehingga tidak ada
lagi iklan komersial. Ketua KPU, Prof. Dr. H.A. Hafidz
Anshary, M.A., dalam wawancara dengan peneliti, di
Kota Cilegon (Provinsi Banten), Rabu 25/11/2010,
mengakui ke depan sangat mungkin debat kandidat
presiden dan wakil presiden itu sepenuhnya didanai
APBN, sehingga tidak ada iklan komersial.
129
Dari tujuh narasumber yang dikutip Kompas,
sehubungan dengan pelaksanaan debat kandidat
presiden dan wakil presiden, tidak menyetujui adanya
iklan komersial.
Effendi Choiri secara tersirat tidak menyetujui
adanya iklan komersial dalam debat kandidat presiden
dan wakil presiden. Oleh karena itu, anggota DPR
dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga
mantan anggota Pansus Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden ini mengusulkan agar debat dipertimbangkan
di Televisi
Republik Indonesia (TVRI) saja karena
televisi publik, yang nantinya bisa tanpa iklan
komersial, karena didirikan negara, independen, dan
tidak komersial, sebagaimana bunyi Ayat (1), Pasal
14, Bab III, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran. Direktur Eksekutif LIMA, Fauzy
Ray Rangkuti menyayangkan debat kandidat presiden
dan wakil presiden itu disuguhi iklan yang menjurus
pada komersialisasi acara.
Ekonom, Aviliani, (yang juga jadi moderator debat
kandidat presiden dan wakil presiden), mengusulkan
agar debat kandidat itu dibiayai APBN saja.
130
Hal yang sama diusulkan pula oleh Direktur
Eksekutif
Reform Institute,
Yudi Latif.
Kehadiran
iklan komersial dalam debat kandidat itu disesalkan
Direktur Budget Indonesia
Centre, Arif Nur Alam,
karena posisi KPU jadi tidak independen.
Direktur LIMA, Fauzi Ray Rangkuti meminta agar
KPU berani meniadakan iklan komersial dalam debat
kandidat.
Juru
Presiden
Bicara
Jusuf
Kandidat
Presiden
Kalla/Wiranto,
Juddy
dan
Wakil
Chrisnandi
menyebut bahwa jawaban kandidat harus lebih
panjang dari iklan.
Para pengamat sepakat, debat kandidat presiden
dan wakil presiden diperlukan, tetapi tidak boleh
dibiayai iklan.
Seperti sudah disebutkan terdahulu, televisi
swasta sangat mengandalkan iklan. Siaran televisi
tidak dijual kepada khalayak. Berbeda dengan media
massa cetak yang dijual eceran atau dibeli pelanggan.
Berikut ini, tabel tentang iklan komersial dalam
debat kandidat yang dimuat Kompas.
131
Tabel 10
Iklan Komersial dalam Debat Kandidat
di Kompas
No.
Tanggal
Nama
Jabatan/Pekerjaan
Kritik/Kamentar
Debat
dipertimbangkan
di TVRI yang
merupakan
televisi publ k
Rakyat disuguhi
iklan yang
menjurus pada
komersialisasi
acara
Debat
seharusnya
dibiayai penuh
oleh KPU
(APBN), bukan
oleh televisi
01.
25/06/09
Effendi
Choeri
Mantan anggota
Pansus Pemilu
Presiden
02.
25/06/09
Fauzi Ray
Rangkuti
Direktur Eksekutif
LIMA
03.
02/07/09
Aviliani
Ekonom
04.
02/07/09
Yudi Latif
Direktur Eksekutif
Reform Insitute
05.
29/06/09
Arif Nur
Alam
06.
29/06/09
Fauzi Ray
Rangkuti
Direktur LIMA
07.
25/06/09
Yuddy
Chrisnandi
Juru bicara Tim
Kampanye JK-Win
Direktur Indonesia
Budget Centre (IBC)
Debat
seharusnya
dibiayai APBN
Adanya iklan,
posisi KPU tidak
indepeden
KPU harus
meniadakan
iklan komersial
dalam setiap
acara debat
Jawaban capres
harus lebih
banyak dari iklan
Diolah dari Pusat Informasi Kompas (2010)
c. Kritik Terhadap Para Kandidat di Kompas
Di samping itu, Kompas melalui rubrik “Timun”,
menyambut debat
kandidat presiden
dan wakil
presiden itu, tetapi kemudian dianggap tidak menarik
dengan
sindiran,
“Kok…bikin
ngantuk…ya??...”
(Kompas, 27/06/09).
Di rubrik , “Pojok” pun, dengan tokohnya Mang
Usil, Kompas menyebut debat kandidat presiden dan
132
wakil
presiden
itu
sebagai
debat
kusir
minus
argumentasi (Kompas, 20/06/09).
Mang Usil pun menyebut debat kandidat presiden
dan wakil presiden itu “Maunya impresif, kok, malah
kurang ekspresif!” (Kompas, 27/06/09).
Mang Usil pula ingin agar debat itu seru,
bertanding, sehingga tampak ada yang kalah debat
dan ada yang menang debat.
Mang Usil kesal, dan katanya, .”Namanya debat,
harus ada yang kalah dan yang menang!” (Kompas,
22/06/09).
Meski begitu, melalui tajuk rencananya, Kompas
memandang perlu adanya debat kandidat presiden
dan wakil presiden, tetapi dengan catatan betul-betul
terjadi perdebatan.
Soal
kalau
adanya
ketegangan
dalam
perdebatan, Kompas mengingatkan bahwa
tak akan lantas kiamat. Debat
dunia
yang diinginkan
Kompas adalah minimal dialog yang aktif (Kompas
22/06/09). Komentar/kritik para narasumber terhadap
pelaksanaan
debat
kandidat
Kompas, sebagai berikut:
133
yang
diturunkan
Tabel 11
Kritik Terhadap Para Kandidat di Kompas
No.
Tanggal
Nama
Jabatan/Pekerjaan
01
20/06/09
Susie Berindra
Wartawan
02.
22/06/09
Airlannga
Pribadi
Kusman
Dosen Unair
Komentar/Kritik
Bukan debat,
namun
semacam uraian
pendapat capres
Debat belum
memenuhi rasa
keingintahuan
masyarakat
Debat hanya jadi
ajang calon
untuk menjaga
imaji diri agar
terlihat yang
paling baik
03.
22/06/09
Arie Sujito
Dosen UGM
04.
23/06/09
Indra J. Piliang
Juru bicara Tim JkWin
05.
24/06/09
Jeirry
Sumampau
06.
25/06/09
Effendi Choeri
Mantan anggota
Pansus RUU Pemilu
Acara debat
kehilangan
esensi
07.
25/06/09
Agun
Gunanjar
Sudarsa
Mantan anggota
Panitia Khusus RUU
Pemilu Presiden
Itu bukan debat,
malah seperti
cerdas cermat
08.
25/06/09
Ahmad Fauzi
Ray Rangkuti
Direktur Eksekutif
Lingkar madani
(LIMA)
Debat sama
sekali tidak
berkembang
09.
25/06/09
Nur Hidayat
Sardini
Ketua Bawaslu
Debat capres
dan cawapres
masih monoton
Koordinator
Nasional Komite
Pemilih Indonesia
(KPI)
10.
25/06/09
Zaenal Arifin
Mochtar
Pusat Kajian
Ant korupsi UGM
11.
27/06/09
Happy Salma
Selebritas
Penampilan
para capres
seperti manajer
saja
Percakapan
sangat
normative
Tak perlu lagi
mendengarkan
debat. Itu Cuma
bicara kata,
yang dibutuhkan
aksi nyata
Debat seperti
lomba pidato
atau cerdas
cermat
Sumber : Pusat Informasi Kompas, ( 2010)
134
2)
Skematik
Skematik
adalah
untuk
menjawab
pertanyaan
bagaimana wacana disusun dan dirangkai. Kompas dalam
menyusun atau
merangkai
wacana debat kandidat
presiden dan wakil presiden disampikan melalui berita,
tajuk rencana, wawancara, foto, tajuk, karikatur, liputan
khusus, dan opini.
Untuk penelitian opini, Kompas menampilkan para
pakar di bidangnya. Pengamat politik, ahli hukum tata
negara, bahkan mantan anggota KPU diajak ikut beropini
tetang debat kandidat, seperti Valina Singka Subekti.
Dalam tajuk rencana, Kompas hanya menginginkan
debat kandidat yang berkualitas dan jawaban-jawaban
para kandididat yang cerdas. KPU pun diminta lebih
profesional dalam penyelenggaraan debat kandidat itu.
Secara keseluruhan, Kompas tidak mengarahkan
atau mengisyaratkan agar pembaca memilih salah satu
kandidat. Semua diberi porsi yang sama dalam
dan opini.
berita
Kompas tidak mengeritik pasangan kandidat,
tidak pula menonjolkan salah satu pasangan kandidat,
tetapi
mengeritik
secara
tajam
pelaksanaan
debat
kandidat, jawaban para kandidat, dan bahkan mengeritik
135
tajam iklan komersial yang ditayangkan di tengah-tengah
debat kandidat.
Kompas tidak secara langsung mengeritik, tetapi
melalui wacana berita dengan narasumber para ahli di
bidangnya. Pemilihan narasumber ini jelas penting karena
untuk meraih kepercayaan khalayak pembaca.
Kompas menyajikan wacana debat kandidat dengan
bahasa yang jelas, lugas, baik dalam tajuk rencana, opini,
berita, sehingga mudah dipahami khalayak pembaca.
Kompas lebih banyak menulis liputan wartawan dengan
melibatkan banyak narasumber
daripada beropini di
rubrik “tajuk rencana”.
3)
Semantik
Semantik
untuk
menjawab
makna
yang
ingin
disampaikan. Wacana debat kandidat di Kompas selalu
mendahulukan pentingnya pemilihan presiden dan wakil
presiden secara umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Kompas tidak mendahulukan unsur who (siapa), tetapi
lebih banyak mendahulukan unsur how (bagaimana)
proses debat kandidat dengan puncaknya penggunaan
hak pilih.
136
“Jajak Pendapat”
Kompas, misalnya, diberi judul
yang bernafaskan how, yakni judul “Kekuatan Gagasan
dan Kemasan dalam kampanye” (Kompas, 22/06/2009).
Kampanye di sini termasuk debat kandidat. Kompas ingin
mengajak khalayak pembaca menilai siapa di antara
kandidat yang lebih kuat gagasannya sehingga pantas jadi
presiden
dan
wakil
presiden,
dan
tanpa
harus
menyebutkan kandidat presiden dan wakil presiden itu,
baik secara tersurat maupun secara tersirat.
Jajak pendapat Kompas tidak untuk menyebutkan
pasangan kandidat mana yang lebih unggul menurut
khalayak pembaca. Sebetulnya, Kompas bisa dan biasa
melakukan jajak pendapat ini.
Tetapi, hasil jajak pendapat bisa merugikan Kompas
sendiri yang
nantinya akan dijadikan bahan kampanye
salah satu pasangan kandidat.
Hasil jajak pendapat,
mesti saja ada pasangan kandidat yang unggul dalam
jajak pendapat itu. Tidak adanya jajak pendapat perolehan
dukungan ini, tentu lebih aman bagi Kompas, dan untuk
mengamankan pemasaran. Hasil jajak pendapat bisa
dianggap sebagai pesan tesirat
salah satu pasangan
kandidat, yang nantinya bias berdampak negatif pada
pemasaran.
137
Dalam
“Tajuk
menonjolkan
format
debat
Rencana”
pula,
Kompas,
pasangan mana pun, kecuali
kandidat.
Kompas
tidak
mengeritik
mengeritik
ketiga
pasangan kandidat, karena yang terjadi sebetulnya bukan
debat, melainkan
lebih cenderung
sebagai dialog.
Kompas menginginkan, setidaknya yang terjdi adalah
dialog yang aktif (Kompas, 22/06/2009).
4) Sintaksis
Sintaksis
untuk
menjawab
bagaimana
wacana
disampaikan. Dalam banyak wacana, Kompas
memilih
kalimat-kalimat yang sangat hati-hati agar tidak terkesan
berpihak pada salah satu pasangan kandidat. Sudah jadi
garis kebijakan Kompas yang tidak boleh berpihak, baik
langsung maupun tidak langsung, baik tersurat maupun
tersirat. Kompas sering mengutip opini para ahli untuk
mendasarkan berita-beritanya. Ini sebagai bukti bahwa
Kompas tidak menulis berita secara imajiner, tetapi
berdasarkan opini yang datang dari orang yang memang
ahlinya.
Dalam beberapa opini, kalau saja Kompas menyebut
satu pasangan kandidiat, mesti saja diikuti dengan dua
pasangan kandidat lainnya.
138
Sekadar contoh, Kompas menulis, “Kita menunggu
munculnya bentuk paralelisme dan bahasa figuratif Bung
Karno dari Megawati untuk memukau pemilih, varietas
kromo dan disklaimer dari SBY, guna menarik pilihan
rakyat, dan kata-kata bijak Amanagappa dan legaligo dari
JK untuk meyakinkan pemilih spirit perjuangan (Kompas,
07/07/2009).
Tiga anak kalimat terakhir dari ketiga kandidat
presiden : “untuk memukau pemilih”
(Megawati), untuk
menarik pilihan rakyat (SBY), dan untuk
meyakinkan
pemilih (JK) menunjukkan kesetaraan “pilih salah satu”.
Kompas tidak memilih untuk tidak memilih salah satu
kandidat.
Di sini, tidak ada satu pun kalimat yang digunakan
Kompas untuk menekankan atau mengarahkan
pilihan
khalayak pembacanya. Penyebutan nama dari ketiga
kandidat itu pun bukan untuk mendahulukan salah satu
kandidat presiden, melainkan memang itulah nomor urut
yang dimiliki masing-masing, sesuai dengan hasil undian
di KPU. Menempatkan salah satu kandidat presiden yang
tidak sesuai dengan nomor urut, bisa ditafsirkan khalayak
pembaca sebagai kecenderungan atau bahkan dukungan.
139
Sampai urusan tepuk tangan spontan hadirin debat
kanddiat, ditulis pula Kompas. Kandidat Jusuf Kalla
memperoleh tiga kali tepuk tangan, kandidat Megawati
Soekarnoputri memperoleh sekali tepuk tangan, dan
kandidat Susilo Bambang Yudhoyono tanpa tepuk tangan
(Kompas,
03/07/2009).
Penulisan
nama
kandidat
presiden itu berdasarkan jumlah tepuk tangan, dari yang
paling banyak memperoleh tepuk tangah sampai yang
tidak memperoleh tepuk tangan.
Soal
pelanggaran waktu, para kandidat ditulis
melanggar semua, sesuai dengan fakta. Kandidat Susilo
Bambang Yudhoyono melanggar satu (1) kali, kandidat
Jusuf Kalla melanggar tiga (3) kali, dan kandidat
Megawati Soekarnoputri melanggar delapan (8) kali
(Kompas, 03/07/2009).
Penulisan nama kandidat tidak berdasarkan nomor
urut kandidat, tetapi berdasarkan urut-urutan dari yang
paling sedikit melanggar
sampai yang paling banyak
melanggar. Kompas menulis ketiga-tiganya, bukan dalam
penekanan siapa yang paling banyak tepuk tangan atau
siapa yang melainkan
untuk
menunjukkan
banyak melanggar, melainkan
kesetaraan
kandidat presiden dan wakil presiden.
140
penyebutan
ketiga
Penyebutan
Kompas
untuk
kesetaraan
ketiga
pasangan kandidat tercermin pula dalam debat kandidat
dengan topik pengentasan kemiskinan
dan lapangan
kerja.
Kompas memasukkan topik ini ke dalam item jajak
pendapat, sedangkan item debat kandidat lainnya hanya
merupakan berita biasa.
Kompas
melihat,
pengentasan
kemiskinan
lapangan kerja merupakan problem nasional
dan
dan
program yang harus didahulukan oleh presiden dan wakil
presiden terpilih.
Dalam setiap kampanye, kandidat presiden dan wakil
presiden mesti saja berbicara masalah pengentasan
kemiskinan dan lapangan kerja.
Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan bahwa
kandidat presiden dan wakil presiden Susilo Bambang
Yudhoyono/Boediono dipersepsikan
lebih bagus dalam
paparan usaha pengentasan kemiskinan dan lapangan
kerja, sedangkan dua pasangan kandidat presiden dan
wakil presiden lainnya, Jusuf Kalla/Wiranto dipersepsikan
dianggap
bagus
dan
pasangan
Megawati
Soekarnoputri/Prabowo Subianto dipersepsikan bagus.
141
Tabel 12
Konstruksi Kompas terhadap Kandidat
No.
01.
Kandidat
Konstruksi
Megawati Soekarnoputri/Prabowo
Dipersepsikan bagus
Subianto
Susilo Bambang
Lebih bagus
Yudhoyono/Boediono
Jusuf Kalla/Wiranto
Dianggap bagus
Sumber : Diolah dari “Jajak Pendapat Kompas”, 22/06/200
02.
03.
5) Stilistik
Stilistik untuk menjawab pilihan kata yang dipakai.
Bahasa
yang digunakan Kompas
adalah bahasa
jurnalistik, dengan berpedoman pada bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Kompas mempunyai perhatian
khusus pada bahasa, ditandai
dengan adanya
rubrik
“Bahasa”, yang ditulis para ahli bahasa.
Bahasa yang digunakan Kompas bahasa Indonesia
jurnalistik baku, terutama bisa terbaca pada judul (cop)
atau anak-anak judul, baik boven cop (anak judul di atas)
maupun under cop (anak judul di bawah). Pemenggalan
awalan kata, seperti /me/ pada judul berita, sudah biasa
dilakukan media massa cetak. Ini digolongkan ke dalam
bahasa Indonesia jurnalistik (bahasa jurnalistik Indonesia).
Untuk
memelihara
kualitas
bahasa,
Kompas
mempunyai redaksi bahasa, di bawah pimpinan manajer
redaksi. Manajer redaksi ini mempunyai tiga bawahan,
142
yakni editor bahasa, supervisor penyelaras bahasa, dan
penyelaras
bahasa.
Di
sinilah
bahasa
Kompas
diselaraskan dengan kebijakan Kompas sendiri. Seluruh
naskah Kompas dimasukkan ke manajer bidang redaksi
sebelum kemudian diserahkan ke bagian produksi.
Gaya bahasa Kompas, dalam beberapa wacana
debat
kandidat,
mengadopsi
istilah-istilah
nonpolitik,
seperti migrasi dan mesin dalam judul “Pilpres 2009 :
Migrasi
Politik
dan
Hasil
Mesin
Partai”
(Kompas,
08/07/2009). Berita ini ditulis persis pada hari penggunaan
hak pilih pemilu presiden dan wakil presiden (08/07/009).
Judul
yang
ditulis
Kompas itu
pun
mengutip
pengamat politik, dari Reform Institute, Yudi Latief, dalam
acara diskusi publik bertajuk “Membedah Akurasi Hasil
Survei dan Prediksi Pilpres” (Kompas, 08//07/2009).
Kompas mengutip pengamat komunikasi politik,
Effendi Ghazali, bahwa hasil pilpres akan menentukan
nasib sejumlah lembga riset yang memprediksi hasil
pilpres (Kompas, 03/07/2009).
Di sini, Kompas lebih tertarik mengutip
nasib
lembaga riset pascapilpres daripada memprediksi siapa
yang akan menjadi pemenang pilpres.
143
6)
Retoris
Retoris untuk menjawab pertanyaan bagaimana dan
dengan
cara
apa
penekanan
dilakukan.
menampilkan debat kandidat, Kompas
Dalam
di antaranya
menggunakan kalimat atraktif sensasional, seperti judul
”anak tiri pembangunan” untuk olahraga karena kurang
diwacanakan
para
kandidat
(Kompas,
03/07/09).
Penggunaan “anak tiri” merupakan hiperbolik.
Olahraga, sepi dari wacana debat kandidat, dan lebih
banyak dikuasai dengan tawaran-tawaran pembangunan
ekonomi
dan
kesejahteraan
rakyat.
Kompas
ingin
menekankan perlunya olahraga diperhatikan. Oleh karena
selama
ini
tidak
serius
diperhatikan,
Kompas
mengibaratkan olahraga dengan “anak tiri” yang dalam
struktur keluarga menempati urutan “kedua” setelah anak
kandung.
Ada kalimat lain yang digunakan Kompas sebagai
penekanan,
dan
tergolong
hiperbolik
yakni
kalimat
“…andaikan dalam debat yang sempat bersitegang
terbawa emosi, dunia tidak lantas kiamat..” (Kompas,
22/06/09). Penggunaan kalimat “dunia tidak akan lantas
kiamat”
terhitung
hiperbolik,
144
dan
digunakan
untuk
menekankan pentingnya debat kandidat itu betul-betul
terjadi perdebatan, bukannya dialog antarkandidat.
Kompas menulis bahwa pemilu presiden dan wakil
presiden adalah sebagai “industri kekuasaan”, karena
sebagai proses politik
untuk memperoleh hasil berupa
kekuasaan dan legitimasi publik (Kompas, 04/07/09),
Kekuasaan itu, pada akhirnya hanya untuk keuntungan
kelompok tertentu. Kompas menginginkan, kekuasaan itu
harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat secara
keseluruhan, siapa pun penguasanya. Inilah pula yang
diusung Kompas
dalam pemberitaan-pemberitaannya.
(Wawancara dengan Kepala Desk Hukum dan Politik
Kompas, Tri Agung Kristanto).
Dengan menggunakan kalimat “industri kekuasaan”,
Kompas ingin mengingatkan bahwa pemilu presiden dan
wakil presiden tidak boleh dianggap sebagai mesin untuk
memproses kekuasaan yang kemudian digunakan hanya
untuk kepentingan kelompok tertentu. Selebritas Happy
Salma menyebut debat kandidat sebagai teater politik.
Menurutnya, teater-teater lainnya muncul, seperti teater
ilmu, teater pers, dan teater agama sebagai akibat adanya
kepalsuan (Kompas, 27/0/209).
145
2.
Dimensi Kognisi Sosial
Berita debat kandidat presiden dan wakil presiden di
bawah tanggung jawab Kepala Desk Politik dan Hukum
Kompas, Tri Agung Kristanto. Kompas memberi wewenang
kepada Tri Agung untuk memuat secara utuh atau dengan
penulisan ulang atau malah sama sekali tidak memuat sama
sekali berita debat kandidat presiden dan wakil presiden yang
dikirim wartawan di lapangan.
Tri
Agung
redaksional
sendiri
sudah
dibekali
garis
kebijakan
agar berita-berita debat kandidat presiden dan
wakil presiden tetap
netral, tidak memihak, baik secara
tersembunyi atau apalagi secara terang-terangan terhadap
salah satu kandidat presiden dan wakil presiden.
Tri Agung dilahirkan di Yogyakarta, 04 Maret 1969.
Pendidikan
terakhir
Pendidikan dari SD
Yogyakarta.
Lulus
S-2
sampai
dari
Manajemen
Prasetya
Mulya.
perguruan tinggi ditempuh di
Jurusan
Ilmu
Pemerintahan
Universitas Gajah Mada, tahun 1997.
Meski beragama Kristen Katolik, Tri Agung diterima juga
jadi wartawan Radio INISI milik Universitas Islam Indonesia
(UII), tahun 2002-an. Di radio ini, Tri Agung bertahan sekitar
1,5 tahun.
146
Teman-temannya di Radio INISI sedikit heran, karena
seorang Kristen Katolik mau masuk ke radio Islam. Waktu
itu, Tri Agung menjawab, “Kalau radio mau besar, harus
terbuka untuk siapa saja”.
Tri Agung sendiri belajar agama Islam, baik secara
formal maupun secara nonformal. Tri
Agung pun belajar
agama Hindu. Di lingkungan Kompas sendiri, Tri Agung
sering diminta
pendapatnya tentang berita-berita
yang
menyangkut Islam dan umat Islam. Tri Agung terhitung fasih
tentang Islam dan Hindu. Untuk pencarian keyakinan?
“Untuk pengetahuan,” jawab Tri Agung.
Sebelum bekerja di Kompas pula, Tri Agung pernah jadi
wartawan Bernas (Yogyakarta) dan Surya (Surabaya). Tri
Agung bertugas jadi kepala Biro Kompas Yogyakarta dan
Jateng, tahun 2003. – 2004. Dari tahun 2004 – 2006, jadi
kepala Biro Jateng, setelah Biro dipecah jadi dengan Biro
Yogyakarta.
Dari tahun 2006 – 2010, Tri Agung diangkat jadi wakil
kepala Desk Politik dan Hukum. Mulai tahun 2010, Tri Agung
diangkat jadi kepala Desk Politik dan Hukum. Jabatannya ini
cukup strategis, terutama untuk berita-berita politik, termasuk
berita-berita debat-debat calon presiden dan wakil presiden.
147
Tri Agung
agar
tidak
menyaring berita-berita politik dan hukum
ditunggangi
kepentingan
pihak
eksternal,
melainkan semata-mata kepentingan publik.
Kompas mempunyai standar tersendiri dalam proses
peliputan dan pemuatan berita. Hal ini belum tentu berlaku
untuk media massa cetak yang lain.
Ada dua
hal
di sini, yakni wartawan sebagai pihak
yang mencari, menulis, dan mengirimkan berita ke kantor
redaksi, dan pihak yang mengedit atau menyeleksi laporan
itu sehingga laik muat sesuai dengan kebijakan Kompas.
Sekurang-kurangnya, sebuah berita lolos untuk dicetak
setelah menempuh pertimbangan di tingkat redaktur, di
tingkat redaktur pelaksana/redaktur senior, dan di tingkat
pemimpin redaksi. Untuk berita-berita yang terpenting,
biasanya sampai didiskusikan di tingkat pemimpin redaksi
(dewan redaksi). Seorang redaktur di Kompas berhak untuk
mengedit, menyesuaikan, dan bahkan mempertimbangkan
dimuat atau tidak dimuat sesuatu berita hasil liputan
wartawan. Berita debat kandidat ditangani oleh Desk Politik
dan Hukum, sebagai
jenjang
pertama sebelum naik ke
jenjang yang lainnya, sampai akhirnya berita itu muncul
keesokan harinya di Kompas.
148
Dalam wawancara dengan peneliti, Tri Agung mengaku
sering menerima liputan wartawan yang berpihak kepada
salah satu pasangan kandidat. Menurut Tri Agung, liputan
berita seperti itu tentu saja ditulis ulang agar tidak berpihak.
Ada liputan berita yang memang sudah memenuhi standar
Kompas, ada yang ditulis ulang agar
memenuhi standar
Kompas, dan ada pula liputan yang tidak dimuat karena tidak
memenuhi standar Kompas.
Terutama dalam
peliputan
berita, Kompas menerapkan humanisme transcendental
(persatuan
dalam
keberagaman)
sehingga
menempatkan diri sebagai partner atau
tidak
berpihak kepada
salah satu pasangan kandidat.
Meski
begitu,
diakui
Tri
Agung,
sering
terjadi
perdebatan di kalangan internal bahwa Kompas berpihak
kepada salah satu pasangan kandidat. Suatu waktu, Kompas
disebut
kemerah-merahan
(berpihak
kepada
Megawati
Soekarnoputri/Prabowo Subianto), disebut pula kebiru-biruan
(berpihak kepada Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono),
dan suatu waktu yang lain disebut kekuning-kuningan
(berpihak
kepada
memastikan, bahwa
Jusuf
Kalla/Wiranto).
Tri
Agung
keberpihakan terhadap pasangan
kandidat tidak ada. Kalaupun ada penafsiran dari kalangan
internal, itu merupakan tafsiran pribadi, bukan institusi.
149
Kebijakan humanisme transcendental diterapkan pula
pada opini yang dikirim para penulis ahli yang kemudian
dimuat dalam kolum “Opini”.
“Tajuk Rencana”, yang merupakan tempat
(kebijakan Kompas sendiri)
tidak
opini
pula digunakan untuk
mengarahkan pilihan kepada salah satu pasangan kandidat.
Pesan
“Tajuk Rencana” yang ada, malah kritik
terhadap KPU selaku penyelenggara debat kandidat dan
kritik terhadap para kandidat yang tidak mau berdebat,
padahal perdebatan antarkandidat ditunggu-tunggu khalayak
pemirsa.
3.
Dimensi Konteks Sosial
Hari-hari menjelang penggunaan hak pilih (08/07/2009),
Kompas menyajikan halaman khusus penajaman visi dan
misi para kandidat, di bawah kolum “Kandidat”, lengkap
dengan foto setiap kandidat.
Setiap kandidat diberi halaman yang cukup, delapan (8)
halaman, kecuali kandidat presiden dan wakil presiden
Megawati Soekarnoputri/Prabowo Subianto yang memakan
10 (sepuluh) halaman. Perlakuan istimewa dengan lebihnya
jumlah halaman di “Kandidat” ini bisa dimaklumi karena
Kompas
dan
Megawati
150
Soekarnoputri
khususnya
mempunyai hubungan
khusus berupa kedekatan karena
kaitan sejarah.
Nama Kompas sendiri pemberian Presiden Soekarno
(ayah Megawati Soekarnoputri),
dan Presiden Soekarno
pula yang merestui penerbitan Kompas. Semula, koran ini
akan diberi nama Bentara Rakyat, tetapi Presiden Soekarno
menggantinya dengan nama Kompas.
Dengan
restu
Presiden
Soekarno,
meski
harus
menempuh prosedur yang tidak mudah, akhirnya Kompas
bisa terbit. Para pendiri Kompas, ketika itu, seperti Frans
Seda,
mengusahakan persyaratan administratif, sampai
jauh menempuh perjalanan
dari Jakarta ke
tempat di Nusa Tenggara Timur (NTT),
beberapa
hanya untuk
memperoleh dukungan tertulis, karena memang izin prinsip
dari Presiden Soekarno sudah dikantongi.
Meski begitu, pihak Kompas membantah kalau ada
perlakukan istimewa terhadap salah satu kandidat presiden
dan
wakil presiden. Sudah jadi kebijakan redaksi, bahwa
kandidat presiden dan wakil presiden akan diperlakukan
sama. Salah satu contohnya, saat ketiga kandidat presiden
(Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan
Jusuf Kalla), berkunjung secara bergantian ke Kompas.
151
Ketiga kandidat presiden itu diterima oleh orang nomor
satu di Kompas, Jakob Oetama. Berita kunjungan kandidat
presiden itu semua dimuat di halaman pertama, dilengkapi
foto warna Jakob Oetama dan kandidat presiden yang
berkunjung ke Kompas.
Demikian pula dalam berita, opini, dan karya jurnalistik
yang lain,
ketiga kandidat presiden dan wakil presiden
selalu diberi porsi atau ruang yang sama, sehingga tidak ada
kesan mengistimewakan salah satu kandidat presiden dan
wakil presiden.
Soal ada kecenderungan di jajaran redaksi
atau di
kalangan wartawan, diakui Kepala Desk Hukum dan Politik
Kompas, Tri Agung Kristanto, dalam wawancara mendalam
dengan peneliti, memang ada, tetapi tidak boleh muncul
dalam berita. Di sinilah perlunya filter. Liputan wartawan
mengenai
kandidat presiden dan wakil
yang tampak
berpihak, kemudian disunting agar sesuai dengan kebijakan
redaksional. Sudah lumrah memang menyunting berita di
kalangan redaksi.
Tulis ulang pun mungkin dilakukan,
misalnya, berita yang asalnya mendahuklukan who (siapa),
kemudian ditukar dengan mendahulukan what (apa). Who
atau what jadi penting dalam penulisan berita.
152
Kompas tidak mau terjebak dalam pengkotak-kotakan,
baik politik, agama, atau aliran apa pun. Dengan memilih
atau berpihak pada salah satu kandidat presiden dan wakil
presiden, Kompas merasa mengisolasikan diri, yang kelak
akan dikhawatirkan berakibat buruk pada pasar juga.
Di sini, artinya, ada kepentingan ekonomi di balik jaga
jarak yang sama dengan para kandidat presiden dan wakil
presiden itu. Ini sejalan dengan sikap Jakob Oetama, yang
sejak lama selalu memikirkan pula tentang keberlangsungan
Kompas dan para awaknya yang sudah semakin besar.
Sebuah berita, di halaman pertama yang menyebut
bahwa
Presiden
Susilo
Bambang
Yudhoyono
gagal
menyelenggarakan pemerintahan.
Ada yang menelepon, menyayangkan judul berita itu.
Pihak Kompas yang ditelepon adalah Jakob Oetama, bukan
pemimpin redaksi Kompas, karena memang Kompas ada
“di tangan”nya.
Kompas mempunyai
semacam alat kontrol untuk
memelihara kebijakan humanisme transendental-nya melalui
pembentukan
perkumpulan
resmi
Kompas dan perkumpulan yang
di
bawah
tidak resmi
naungan
yang
merupakan partisipasi komunitas pembaca setia Kompas.
153
Suara mereka sangat didengar, dan masukan mereka
sangat diperhatikan. Kompas tidak mau ideologi humanisme
transcendental sebagai klaim pihak internal saja, tetapi juga
ada
semacam
legitimasi
dari
pihak
eksternal
yang
merupakan kelompok independen. Perkumpulan resmi dan
tidak resmi itulah yang menempati posisi independen.
Surat pembaca dalam kolum “Redaksi Yth”
ditemukan
yang
berisi
kekecewaan
bahwa
tidak
Kompas
berpihak kepada salah satu pasangan kandidat. Surat
pembaca yang ada menginginkan agar
debat kandidat
berlangsung dengan mengedepankan etika kalau mengeritik
dan kritik
harus dilontarkan para kandidat sambil tidak
melupakan etika. Pembaca Kompas menilai, debat politik di
televisi sering menjatuhkan citra lawan
tanpa fakta.
Pembaca pun mengharapkan agar semua tim sukses
pemenangan menjaga etika (Kompas, 20/06/2009).
Banyak para peneliti yang tampil di Kompas, dan
khusus
mengomentari
debat
kandidat.
Kompas
pun
menampilkan features debat kandidat, seperti yang ditulis
Maria Hartiningsih, di bawah judul “Kesantunan Anies R.
Baswedan”,
moderator
saat
debat
kandidat
presiden
Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan
Jusuf Kalla (Kompas, 21/06/2009).
154
Kompas
menurunkan
features
ini
karena
Maria
Hartiningsih hanya memunculkan pesona moderator Anis
R. Baswedan semata, dan sama sekali tidak terkait dengan
salah satu kandidat presiden.
Kalau saja features Maria menonjolkan salah satu,
kandidat presiden, pastilah ditulis ulang agar
atau
sama sekali
tidak
dimuat.
Oleh
berimbang,
karena
Maria
Hartiningsih “orang dalam” Kompas, maka sudah pasti
mengetahui persis kebijakan redaksional Kompas.
Penyanyi
Caroline
Zachrie,
di
tengah-tengah
kesibukannya mempromosikan single perdananya “So Right”
(Selalu di Hatiku), sempat pula berkomentar soal kandidat
presiden dan wakil presiden.
Perempuan
Belanda
ini
keturunan
Palembang,
menginginkan
pemimpin
Padang,
dan
yang
bisa
membangkitkan rakyat Indonesia dan bisa membangun
infrastruktur, dan bisa pula melakukan perubahan ke arah
yang lebih baik, termasuk perubahan yang lebih baik untuk
penyanyi (Kompas, 05/07/2009).
Selebritas
Happy
Salma,
mengaku
kecewa
atas
pelaksanaan debat kandidat karena yang terjadi hanyalah
semacam lomba pidato atau cerdas cermat.
155
Happy Salma menilai, debat kandidat itu sama saja
dengan beberapa judul reality show, sinetron, atau film.
Happy Salma merasa tidak menemukan perdebatan dalam
debat kandidat (Kompas, 27/06/2009).
4.2.2. Analisis Wacana Kritis Debat Kandidat di Republika
1. Dimensi Teks
1) Tematik
Tematik untuk menjawab apa yang dikatakan.
Seperti
halnya
Kompas,
Republika
pun
dalam
menyajikan berita sewaktu-waktu mendahulukan what,
dan sewaktu-waktu pula mendahulkukan who, tergantung
mana yang dianggap paling penting untuk didahulukan.
Dalam tubuh berita, lead amat strategis, paling penting,
dan sering jadi agenda setting, jadi media agenda.
Contoh berita debat kandidat di Republika yang
mendahulukan what, di bawah judul “Tim SBY Tantang
Debat”.
Berita
dimulai
dengan,
“Perdebatan
antarkandidat capres/cawapres dan dua tim kampanye
kandidat selama ini dinilai tidak berbobot” (Republika,
16/06/2009).
156
Dalam opini pun, ada yang didahulukan what,
seperti opini yang ditulis Iman Sugema. Opini wacana di
Republika yang mendahulukan what, di bawah judul
“Debat Capres dan Masalah Pengangguran”. Wacana
opini itu dimulai
menyaksikan
dengan what, yakni “Kita telah
debat
antarcapres
tentang
good
governance yang tidak begitu menarik untuk ditonton”.
Republika pun mendahulukan who dalam beberapa
beritanya, seperti dalam judul “Pilih yang Aspiratif
terhadap Umat”. Who yang didahulukan merupakan
lembaga, yakni sekitar 40 organisasi masyarakat Islam.
Beritanya, “Sekitar 40 organisasi masyarakat Islam
yang tergabung dalam Forum Ukhuwwah Islamiyyah
(FUI) berkumpul di gedung Majlis Ulama Indonesia
(MUI)…” (Republika, 07/07/2009). Berkumpulnya sekitar
40 organisasi masyarakat Islam itu
berkaitan dengan
tausiyah (nasihat) tentang pasangan mana yang harus
dipilih umat Islam. Republika mengisyaratkan agar
memilih yang aspiratif terhadap umat. Tidak jelas, umat
yang mana dalam judul berita itu, tetapi kemudian bisa
diperjelas ketika membaca tubuh berita.
Di situ tertulis
dalam alinea ketiga, yakni aspirasi umat Islam.
157
Menjadi penting dalam hal ini, setidak-tidaknya
dalam tiga
point.
Pertama, berita
ditulis
sehari
menjelang penggunaan hak pilih (08 Juli 2009). Kedua,
who berita adalah sekitar 40 organisasi masyarakat
Islam. Ketiga, where (tempat) pertemuan, yakni di MUI,
yang merupakan tempat berkumpulnya para ulama
Islam.
Dari ketiga point tadi, sudah bisa ditebak, ke mana
Republika mengarahkan pilihan warga pada tanggal 08
Juli 2009. Republika menghendaki agar pasangan
kandidat yang dipilih adalah yang aspiratif terhadap umat
Islam. Ini berkaitan dengan ideologi Islam (ahlu sunnah
wal jamaah) yang dianut Republika.
Republika, dalam mendistribusikan wacana debat
kandidat ke dalam beberapa rubrik, sesuai dengan
klasifikasi wacana debat kandidat itu sendiri. Republika
membagi-bagi wacana debat kandidat ke dalam berita,
kebijakan redaksi, opini, surat pembaca, survai, pojok,
features, dan profil. Wacana berupa berita dan tajuk
dipastikan
datang
dari
pihak
internal
Republika,
sedangkan opini datang dari pihak eksternal, dari penulis
yang mengirimkan opininya ke Republika.
158
Tabel 13
Wacana Debat Kandidat di Republika
No.
01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09
10.
11.
12.
Wacana
Jumlah
Berita
20
Tajuk rencana
2
Opini
3
Pojok
1
Features
4
Profil
6
Jajak Pendapat
1
Surat Pembaca
2
Kartun
Komik
1
Surat Pembaca
2
Foto
41
Jumlah
73
Sumber : Diolah dari Pusat Data Republika,( 2010)
Wacana
debat kandidat di Republika terbagi
kepada beberapa kategori besar, (a) pelaksanaan debat
kandidat, (b) kritik terhadap para kandidat, dan (c) iklan
komersial.
a.
Pelaksanaan Debat Kandidat
Republika
debat
menurunkan wacana pelaksanaan
kandidat
presiden
dan
wakil
sebanyak 3 (tiga) narasumber, yakni
(ketua
Tim
Kampanye
presiden
Hatta Rajasa
Susilo
Bambang
Yudhoyono/Boediono), Hidayat Nur Wahid (ketua
Bawaslu), dan Dodi Ambardi (ketua LSI). Hatta
Rajasa menyebut debat kandidat presiden dan wakil
presiden
tidak
berbobot.
Hidayat
Nur
Wahid
menganggap tidak perlu saling klaim keberhasilan
159
oleh para kandidat. Ambardi menilai, debat kandidat
itu tidak akan mengubah peta dukungan.
Para pengamat politik hampir semua menyebut
pelaksanaan debat kandidat presiden dan wakil
presiden
belum memuaskan, bahkan cenderung
tenggang rasa untuk saling berdebat. Khalayak
pemirsa ingin menyaksikan perdebatan yang aktif.
Pelaksanaan debat
kandidat
belum memenuhi
harapan. Kritik/komentar para narsumber
yang
diturunkan Republika, sebagai berikut:
Tabel 14
Pelaksanaan Debat Kandidat di Republika
No.
Tanggal
Nama
Jabatan
Kritik
01.
16/06/09
Hatta Rajasa
Ketua Tim
Kampanye SBYBoediono
Debat tidak
berbobot
02.
16/06/09
Hidayat Nur Wahid
Ketua MPR
Saling klaim
atas hasilhasil
pembangun
an tidak
perlu
03.
04/07/09
Dodi Ambardi
Direktur LSI
Debat tidak
mampu
mengubah
peta
dukungan
04.
20/06/09
Fajar Nur Sahid
LP3ES
Debat
normatif
dan
monoton
Sumber : Diolah dari Pusat Data Republika, (2010)
160
b.
Iklan Komersial dalam Debat Kandidat
Republika menurunkan berita
mengenai iklan
komersial di televisi saat debat kandidat presiden dan
wakil presiden itu
narasumber
sebanyak 5 (lima) kali.
Republika
itu,
Yulianto,
Kelima
Danang
Widoyoko, Ray Rangkuti, Daniel Zuchron, dan Hadar
N. Gumay. Wakil Ketua Konsorsium Reformasi
Hukum Nasioal (KRHN), Yulianto meminta agar iklan
dalam debat kandidat itu dievaluasi.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)
Danang Widoyoko meminta agar
KPU
transparan
dalam kontrak kerja KPU dan televisi. Tanpa adanya
transparansi, kata Danang, dikhawatirkan adanya
dugaan-dugaan
miring,
apalagi
kalau
sudah
menyangkut uang.
Koordinator JPPR, Daniel Zuchron menilai iklan
dalam
debat kandidat itu
mengganggu jalannya
debat. Direktur LIMA, Ray Rangkuti, menilai
porsi
iklan dalam debat kandidat itu berlebihan.
Direktur Cetro, Hadar N. Gumay, mengusulkan
agar iklan komersial itu ditempatkan di awal atau akhir
debat kandidat.
161
Dari
kelima narsumber yang diwawancarai
Republika
kandidat
itu,
semua
menginginkan
debat
tetap ada, tetapi intinya tidak boleh
terganggu oleh iklan komersial. Permintaan Direktur
Cetro Hadar N. Gumay
agar iklan komersial itu
ditempatkan di awal atau di akhir saja. Intinya, iklan
tidak boleh mengganggu jalannya debat kandidat.
Tabel 15
Iklan Komersial dalam Debat Kandidat
di Republika
No.
Tanggal
Nama
01.
22/06/09
Yulianto
Jabatan
Wakil Ketua
Konsorsium
Reformasi
Hukum
Nasional
(KRHN)
03.
25/06/09
Danang
Widoyoko
Koordinator
ICW
04.
25/06/09
Ray
Rangkuti
Direktur LIMA
05.
25/06/09
Daniel
Zuchron
Koordinator
Nasional
JPPR
06.
25/06/09
Kritik
Keberadana
iklan perlu
dievaluasi
Transparansi
atas kontrak
kerja sama
harus dilakukan
KPU
Porsi iklan
berlebihan
Iklan
mengganggu
jalannya debat
Iklan di awal
Hadar N.
Direktur
atau akhir acara
Gumay
CETRO
debat
Sumber : Diolah dari Pusat Data Republika, (2010)
Para narasumber yang diwawancarai Republika
sepakat dengan para narasumber yang diwawancarai
Kompas. Debat kandidat perlu, tetapi debat yang lebih
berbobot, tanpa iklan komersial pula.
162
2)
Skematik
Skematik untuk menjawab pertanyaan bagaimana
wacana disusun. Wacana
debat kandidat disajikan
Republika disampaikan melalui beberapa rubrik, dengan
para
pakar
sebagai
mempertimbangkan
narasumbernya.
kualitas
narasumber
Republika
untuk
menanamkan kepercayaan dari khalayak pembaca, dan
diharapkan para narasumber itu mewakili pula khalayak
pembaca. Moderator memandu debat, dan para kandidat
melaksanakan perdebatan. Pemirsa bisa mengetahui
bagaimana setiap kandidat menyusun kalimat.
Republika menurunkan wacana secara tersirat agar
khalayak pembaca memilih pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono/Boediono atau pasangan Jusuf Kalla/Wiranto.
Wacana kandidat presiden dan wakil presiden Megawati
Soekarnoputri/Prabowo Subianto dimuat pula secara
profesional, tetapi tidak ada isyarat agar khalayak
pembaca memilihnya.
Meski begitu, Republika mengemas semua wacana
atau pesan-pesan itu dengan berpatokan pada kaidahkaidah jurnalistik. Profil Megawati Soekarnoputri pun
ditulis dalam bentuk features.
163
Rapublika tidak ingin terjebak dalam pusaran politik
praktis sehingga tampak jelas sebagai “juru kampanye”
kedua
pasangan
kandidat
itu
(Susilo
Bambang
Yudhoyono/Boediono dan Jusuf Kalla/Wiranto).
Wacana debat kandidat
di Republika disusun
sedemikian rupa, secara professional, lalu didistribusikan
ke dalam rubrik-rubrik yang tersedia.
Seluruh
wacana ditulis secara profesional, dan
sekilas tidak tampak adanya pesan-pesan khusus yang
tersurat, yang diarahkan agar khalayak pembaca memilih
kandidat presiden dan wakil presiden tertentu.
3)
Semantik
Semantik
untuk
ditekankan. Dalam
itu,
menjawab
makna
yang
ingin
menyajikan wacana debat kandidat
Republika menekankan pentingnya pemilu presiden
dan wakil presiden, secara langsung, dan pentingnya
debat kandidat. Penekanan agar khalayak pembaca
memilih pasangan kandidat presiden dan wakil presiden
Susilo
Bambang
Yudhoyono/Boediono
atau
Jusuf
Kalla/Wiranto, ditunjukkan dengan angka-angka hasil
survai dan ramalan para pengamat atau politisi.
164
Peneliti senior Lembaga Survey Indnesia (LSI), Arbi
Sanit, misalnya, menyebut bahwa pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono/Boediono bisa saja terpilih dalam
satu putaran. Kata Arbi Sanit, “…pasangan ini yang
mempunyai relatif sedikit mempunyai dosa politik…”.
Beritanya berjudul, ”Arbi : SBY Bisa Saja Menangi Satu
Putaran”
(Republika,
Republika, melainkan
05/07/2009).
Ini
bukan
opini
opini Arbi Sanit yang kemudian
dijadikan judul berita.
Pada berita yang sama, Republika mengunggulkan
Jusuf
Kalla/Wiranto,
berdasarkan
hasil
wawancara
dengan peneliti LSI yang lain, Burhanuddin Muhtadi.
“Asosiasi masyarakat selama ini selalu
memberi nilai
tertinggi pada JK karena tampil relatif lebih baik di tengah
debat” (Republika, 05/07 //2009).
Setelah dua kali debat di televisi, Republika
melaporkan bahwa
pemilih pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono/Boediono tetap tinggi yakni 63%, pasangan
Megawati Soekarnoputri/Prabowo Subianto cenderung
stabil 20%, dan pasangan Jusuf Kalla/Wiranto naik dari
7% menjadi 11%. (Republika, 05/07/2009).
165
Dari
paragraf
di
Yudhoyono/Boediono
atas,
dan
Susilo
Jusuf
Bambang
Kalla/Wiranto
diunggulkan, dengan bahasa tetap tinggi (Susilo Bambang
Yudhoyono/Boediono),
cenderung
Soekarnoputri),
kenaikan
Kalla/Wiranto).
dan
stabil
(Megawati
perseratus
(Jusuf
Berita lain yang ditulis Republika tampak
mengedepankan
pasangan
Yudhoyono/Boediono dan
Susilo
Bambang
Jusuf Kalla/Wiranto, dengan
judul berita, “SBY dan JK Diprediksi Lolos Putaran Kedua
(Republika, 04/07/2009).
Berita
tersebut
mengutip
pernyataan
pakar
marketing politik, Firmanzah. Menurut hasil pengamatan
Firmanzah dalam beberapa kali debat kandidat. “Saya
kira, yang akan maju ke putaran kedua adalah SBY dan
JK”
(Republika,
pernyataan
Ekonomi UI
04/07/2009).
Firmanzah,
yang
Dengan
juga
dekan
mengutip
Fakultas
itu, Republika menonjolkan SBY dan JK,
sedangkan Megawati Soekarnoputri disebut tak pernah
dapat menunjukkan langkah kongkret dan janjinya.
Republika
mengadakan jajak pendapat melalui
online. Hasilnya, Jusuf Kalla unggul dibandingkan dengan
kandidat presiden yang lain (Republika, 28/06/209).
166
Ekonom dari The Indonesian Economic Intelligence
(TIEI), Sunarsip, menilai debat kandidat presiden dengan
angka tujuh (7) untuk Susilo Bambang Yudhoyono, dan
Jusuf Kalla, dan angka enam (6) untuk Megawati
Soekarnoputri. Ekonom Purbaya Sadewa
sembilan
koma
lima
(9,5)
untuk
member nilai
Susilo
Bambang
Yudhoyono, nilai delapan (8) untuk Jusuf Kalla, dan nilai
enam koma lima (6,5) untuk Megawati Soekarnoputri.
Ekonom senior, Ichsanuddin Noorsyi memberi nilai enam
(6) untuk Jusuf Kalla, nilai lima (5) untuk Susilo Bambang
Yudhoyono,
dan
nilai
Soekarnoputri. Pengamat
empat
(4)
untuk
Megawati
politik Burhanuddin Muhtadi
tidak memberi nilai angka, tetapi nilai tuturan, yakni Susilo
Bambang Yudhoyono berbicara sistematis, artikulatif, dan
responsif. Jusuf Kalla berbicara argumentatif, eksploratif,
berbicara normatif, tidak fokus, dan selalu melihat ke
belakang. Burhanuddin Muhtadi pun menyebut Megawati
sebagai kandidat penggembira (Republika, 28/06/2009).
Republika pun
melaporkan perseratus hasil jajak
pendapat Republika Online mengenai penampilan debat
kandidat yang
paling baik. Hasilnya, Jusuf Kalla 59%,
Susilo Bambang Yudhoyono 36,9%, dan Megawati
Soekarnoputri 4,1%.
167
Republika menulis berita dengan judul “SBY 7, JK 7,
Mega 6,5 (Republika, 19/06/2009). Dalam tubuh berita itu,
pakar administrasi pemerintahan daerah FISIP UI, Eko
Prasojo member nilai
tujuh (7) untuk Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla, dan nilai enam koma lima
(6,5) untuk Megawati Soekarnoputri. Berita Republika
berjudul “SBY dan JK
Naik Tipis, Mega Turun”
(Republika, 20/06/2009). Judul berita itu berasal dari hasil
penelitian Fajar Nur Sahid, kepala Divisi
Lembaga
Pendidikan,
Penelitian,
dan
Penelitian
Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Penilaian LP3ES ini
berdasarkan hasil penelitian setelah debat kandidat
presiden ditayangkan televisi pada tanggal 18 Juni 2009.
Fajar
Nur
Sahid
menyebutkan,
Susilo
Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla saat menjawab pertanyaan
mampu menjawab
rasional.
Dalam
Soekarnoputri
dan meyakinkan sebagian pemilih
menjawab
dinilai
tidak
pertanyaan,
mampu
Megawati
menampakkan
kecerdasan berpikir sehingga bisa bisa ditinggalkan
pemilih rasional. Pemilih rasional sendiri rata-rata tinggal
di kota. Di bawah ini, nilai angka yang diberikan para
pengamat/peneliti terhadap para kandidat presiden dan
wakil presiden:
168
Tabel 16
Nilai Angka Para Kandidat Presiden di Republika
No.
Hari/Tgl
Peneliti
01.
02.
03.
19/06/09
28/06/09
28/06/09
Eko Prasojo
Sunarsip
Purbaya Sadewa
04.
Nilai
Megawati
6,5
6
6,5
28/06/09
Ichsanuddin N.
Jumlah NIlai (Rata-rata Nilai)
Dari
SBY
7
7
8
JK
7
7
9,5
4
5
6
23 (5,75)
27 (6,75)
29,5 (7,4)
Diolah dari Pusat Data Republika, ( 2010)
data nilai tersebut di atas, kalau nilai setiap
kandidat presiden dijumlahkan, masing-masing, Megawati
Soekarnoputri = 23, Susilo Bambang Yudhoyono = 27,
dan Jusuf Kalla = 29,5. Lalu, kalau dibagi empat (sesuai
dengan jumlah peneliti),
sebagai nilai akhir rata-rata,
maka nilai Megawati Soekarnoputri = 5,75, nilai Susilo
Bambang Yudhoyono = 6,75, dan nilai Jusuf Kalla = 7,4.
4)
Sintaksis
Sintaksis
untuk
menjawab
bagaimana
wacana
disampaikan. Oleh karena Republika media massa yang
berideologi Islam, dan mendukung kandidat presiden dan
wakil presiden Susilo Bambang Yudhotono/Boediono atau
Jusuf Kalla/Wiranto
maka
berita-berita yang dimuat
terutama menjelang hari-hari penggunaan hak pilih adalah
aspirasi umat Islam untuk memilih kandidat presiden dan
wakil presiden tertentu.
169
Republika,
seperti
sudah dikemukan
terdahulu,
menulis bahwa 40 ormas Islam yang tergabung dalam
Forum Ukhuwwah Islamiyah (FUI)
meminta
agar
segenap bangsa Indonesia menggunakan hak pilihnya
dan memilih kandidat presiden dan wakil presiden diyakini
dapat menjamin, melindungi, dan menampung aspirasi
umat Islam, seperti disampaikan Penasihat FUI,
H.
Amidan (Republika, 07/06/2009).
5) Stilistik
Stilistik untuk menjawab pilihan kata yang dipakai .
Untuk menunjukkan bahwa
Yudhoyono/Boediono
pasangan Susilo Bambang
atau
pasangan
Jusuf
Kalla/Wiranto, pantas terpilih jadi presiden dan wakil
presiden, Republika menggunakan pilihan kata menang
(Republika, 05/06/2009), lolos (Republika, 04/07/2009),
dan unggul (Republika, 28/06/2009), untuk meyakinkan
khalayak pembaca.
Dalam
pelaksanakan
menggunakan
menantang
16/09/2009).
kata
debat
perdebatan,
tantang,
kandidat
Kata
keberanian.
170
tantang
Tim
maksudnya
yang
lain.
untuk
Tim
SBY
SBY
(Republika,
menunjukkan
6) Retoris
Retoris untuk menjawab pertanyaan bagaimana dan
dengan cara apa penekanan dilakukan. Republika tidak
secara terus terang menekankan agar khalayak pembaca
memilih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono
atau Jusuf Kalla/Wiranto, tetapi pesan-pesan Republika
dititipkan pada rubrik-rubrik tertentu seperti suplemen.
Isi suplemen, mengangkat profil seorang kandidat
wakil presiden Boediono dengan segala kelebihannya,
baik dalam skill kelimuannya, ketenangan keluarganya,
dan kesalehan pribadi dan keluarganya.
Dengan
profil
seperti
itu,
Republika
ingin
menyampaikan pesan bahwa Boediono pantas jadi wakil
presiden.
Pemilihan terhadap Boediono, pada surat
suara, otomatis itu pula pilihan terhadap Susilo Bambang
Yudhoyono.
Kandidat wakil presiden Boediono disebut sebagai
imam, baik imam dalam keluarga maupun imam dalam
salat berjamaah (Republika, 03/07/2009). Istilah imam,
lekat dengan ajaran Islam, terutama ibadah wajib salat
berjamaah.
171
Dalam salat berjamaah,
ada imam dan ada pula
makmum. Islam mengharamkan rokok, dan sebagiannya
lagi menjatuhkan hukum makruh (diberi pahala kalau
ditinggalkan, tetapi tidak disiksa kalau dilakukan). Hukum
makruh ini
yang menjadi sikap Boediono, setidak-
tidaknya dalam debat kandidat dengan pokok bahasan
kesehatan,
bertemakan
bahaya merokok. Republika
menulis judul “Lingkaran Setan Rokok” (Republika,
04/07/2009). Kalimat “lingkaran setan” tampak bombastis
dan sensasional untuk sebuah judul, dan isi tajuk
menunjukkan bahwa rokok perlu dilarang atau sangat
dibatasi di Indonesia karena membahayakan kesehatan
tubuh. Oleh karena itu, sepantasnya kalau rokok dilarang,
atau minimal dibatasi.
Republika lebih mendukung kandidat wakil presiden
Boediono
yang
meminta
dipertegas
pembatasan
penggunaan dan iklan rokok. Kandidat wakil presiden
yang lain, Prabowo Soebianto dan
Wiranto, meminta
dipertimbangkan kalau ada Undang-undang Larangan
Merokok. Ketiga kandidat wakil presiden dalam posisi
yang sama : tidak berani
mengajukan Undang-undang
Larangan Merokok (Republika, 04/07/2009).
172
Tetapi, Boediono
lebih maju selangkah karena
mengajukan pembatasan dalam penggunaan dan iklan
rokok. Republika lebih menguatkan sikap Boediono,
dengan
berbagai
argumentasi,
tetapi
dengan
judul
“Lingkaran Setan Rokok”, karena rokok tidak sederhana
kalau dilarang, terutama di Indonesia.
Larangan merokok ini sejalan pula dengan hasil
ijtihad
ormas
Islam
seperti
Muhammadiyyah
yang
mengharamkannya, atau Persatuan Islam (Persis) yang
sejauh ini menempatkan rokok di atas halal, tetapi di
bawah haram alias lebih terpuji kalau tidak merokok atau
hukumnya
makruh
Sikap Republika dalam tajuknya
mengenai rokok, itu setidak-tidaknya sejalan pula dengan
hasil ijtihad ormas Islam yang ada. “Pemilik” ideologis
Republika di antaranya ormas-ormas Islam.
2.
Dimensi Kognisi Sosial
Republika menerapkan standar
peliputan yang hampir
sama dengan media massa cetak yang sudah profesional
lainnya. Jabatan tertinggi untuk urusan isi adalah pemimpin
redaksi yang dibantu oleh wakil pemimpin redaksi,
kemudian
untuk
jabatan terdistribusikan ke beberapa bidang di
bawah redaktur pelaksana dan redaktur senior.
173
Bedanya dengan media massa cetak yang lain, redaktur
senior membawahkan redaktur daerah dan redaktur Republika
online. Di media massa cetak yang lain, redaktur senior seperti
jadi seorang pengarah atau tempat meminta pertimbangan.
Berita debat kandidat presiden dan wakil presiden jadi
tanggung jawab pula Wakil Redaktur Pelaksana Republika, M.
Irwan Ariefyanto. Jabatan wakil redaktur pelaksana terhitung
strategis, karena
menjadi pendamping redaktur pelaksana
yang mempunyai wewenang eksekusi dimuat tidaknya sesuatu
berita,
sebelum kemudian
menjadi keputusan
pemimpin
redaksi.
Pengalaman Irwan di beberapa jabatan di Republika,
terutama redaktur politik, redaktur hukum, dan redaktur politik
dan hukum, serta asisten redaktur pelaksana politik, hukum,
dan investigasi sangat membantu untuk melaksanakan tugastugas sebagai wakil redaktur pelaksana.
Irwan Ariefyanto mempunyai satu istri dan dua anak.
Pendidikan, S-1 dan magister manajemen di Universitas
Padjajaran (Bandung). Pernah menjadi reporter di olahraga,
hiburan, gaya hidup,
politik dan hukum., di DKI Jakarta.
Bekerja di Republika sejak tahun 1996.
174
Jadi redaktur wilayah tahun 2000, redaktur hiburan dan
gaya hidup 2001, redaktur politik 2002-2004, redaktur hukum
2005-2008, asisten redaktur pelaksana politik, hukum, dan
investigasi 2008 - 2010. Mulai tahun 2010, jadi wakil redaktur
pelaksana.
Irwan mengetahui persis tugas-tugasnya, dan memahami
betul bahwa Republika
berideologi
koran komunitas umat Islam.
Islam dan merupakan
Oleh karena itu, Irwan tahu
persis apa yang harus dilakukannya sebagai wakil redaktur
pelaksana.
Dalam peliputan debat kandidat
presiden, Republika meminta
seluruh
presiden dan wakil
wartawannya netral
dalam menuliskan laporannnya. Baru di tingkat redaksi, berita
dipoles untuk kepentingan
kandidat presiden dan wakil
presiden Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono atau Jusuf
Kalla/Wiranto (Wawancara dengan Wakil Redaktur Pelaksana
Republika, Moh. Irwan Ariefiyanto).
3.
Dimensi Konteks Sosial
Republika jelas dan tegas menyebut media massa cetak
Islam, dan tempat menampung aspirasi umat Islam.
karena itu, Republika
Oleh
selalu membela kepentingan umat
Islam melalui berita-beritanya maupun melalui tajuknya.
175
Pembelaan Republika
terhadap umat Islam itu bisa
dimaklumi karena memang kelahirananya dari ”rahim” ICMI.
Salah satu dari tiga program ICMI adalah menerbitkan media
massa cetak
Republika sendiri menyebut sebagai koran
komunitas muslim. Keislaman Republika diformat sebagai
rumah yang nyaman bagi seluruh kelompok.
Republika di atas dan untuk semua golongan, seperti
ormas-ormas Islam, lembaga, majlis taklim, partai politik, dan
seterusnya.
Lebih spesifik lagi, kelompok-kelompok
Islam yang
dimaksud adalah yang mempunyai kesamaan akidah atau
ideologi, yakni ahlusunnah wal jamaah, seperti yang dianut
Muhammadiyyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam (Persis),
Al-Irsyad, dan seterusnya.
Republika menekankan bahwa Islam Republika adalah
Islam nasionalis, Islam rahmatan li ‘l’aalamiin yang juga
bermanfaat untuk nonmuslim (Utomo : 2010 : 4 -5)
Ideologi Islam yang dianut Republika
tercermin dalam
karya jurnalistiknya, seperti berita atau tajuk rencana. Setiap
lembar koran Republika
ideologi Islam.
176
diusahakan merupakan cermin
Pada awal kelahirannya, Republika didanai umat Islam
melalui pembelian saham
PT Abdi Bangsa, penerbit
Republika ketika itu (kini, penerbitnya Mahaka Media).
Pembeli saham perdananya
adalah Haji Muhammad
Soeharto dan Hj. Ny. Fatimah Tien Soeharto (Republika,
19/01/’93).
Pilihan Republika
terhadap dua pasangan
kandidat
presiden dan wakil presiden itu didasarkan pada keyakinan
bahwa kedua pasangan kandidat presiden dan wakil presiden
itu
lebih menguntungkan umat Islam daripada kandidat
presiden dan wakil presiden Megawati Soekarnoputri/Prabowo
Subianto. Meski Megawati Soekarnoputri seorang hajjah, juga
Prabowo
Subianto
mendahulukan
seorang
haji,
pasangan
Republika
lebih
Susilo
Bambang
Yudhoyono/Boediono atau Jusuf Kalla/Wiranto.
Kandidat presiden dan wakil presiden itu semuanya haji,
kecuali Boediono.Kalau dikaitkan dengan ideologi ahlu sunnah
wal jamaah
yang dianut Republika,
ke-tidak berpihak-an
kepada Megawati Soekanoputri bisa dimaklumi.
dalam
beberapa
wacana
yang
diturunkan
Tetapi,
Republika,
terungkap bahwa Republika sendiri ada di pihak ahlu sunnah
wal jamaah yang membolehkan perempuan jadi presiden.
177
Republika mengambil tiga pendekatan dalam hal ini,
yakni (a) pendekatan sosial, (b) pendekatan historis, dan (c)
pendekatan masalahat, sebagai berikut:
a. Pendekatan Sosial
“Menurut cara pandang atau perspektif gender, adanya
pengharaman wanita menjadi presiden adalah
pandangan bias gender yang cenderung menempatkan
posisi wanita di bawah pria. Hal ini merupakan
penindasan atas hak wanita yang pada dasarnya
memiliki hak yang sama dengan pria termasuk dalam
bidang politik. Berangkat dari pandangan demikian,
maka wajar apabila kemudian muncul pertanyaan
bahwa penyumbatan hak perempuan menjadi
pemimpin, jelas-jelas berlatar belakang politik”
(Republika, 27 November 1998).
b. Pendekatan Historis
“Bahwa perdebatan soal kepemimpinan perempuan
seakan tidak melihat fakta sejarah yang memberi
kebebasan perempuan di masa lalu duduk menjadi
pemimpin. Misalnya dalam sejarah Aceh yang pada
jamannya pernah dipimpin oleh wanita. Hal ini diperkuat
oleh pernyataan Quraish Shihab (Staf pengajar IAIN
Syarif Hidayatullah) yang menegaskan bahwa kaum
perempuan sebenarnya memiliki hak politik yang sama
dengan kaum pria. Terlalu banyak bukti yang
menyebutkan perempuan terlibat dalam kepemimpinan
di jaman Rasulullah saw. Misalnya istri Rasulullah,
Aisyah pernah memimpin perang. Oleh karenanya
sangat keliru kalau kita hanya berdasar pada satu dua
hadist soal kepemimpinan wanita. Oleh karena itu
selama perempuan mampu mempersatukan bangsa
dan memimpin bangsa dan negara dengan baik maka
tak ada larangan bagi wanita untuk menjadi pemimpin
negara. Ungkapan senada diutarakan oleh pengasuh
pondok pesantren Daruttafsir Arjowinangun Cirebon,
KH A. Husein Muhammad. Pakar fiqih ini
mengemukakan bahwa pandangan semua ahli fiqih ,
peran politik dalam arti amar ma’ruf nahi munkar
memberi kesempatan yang sama bagi laki-laki dan
perempuan.
Namun
dalam
berpolitik
praktis
178
kesempatan itu tdiak sama. Oleh karenanya perlu
melihat realita sosial. Dimana sudah banyak
perempuan yang menjadi pemimpin negara dan
pemerintahan” (Republika , 27 November 1998).
c. Pendekatan Maslahat
“Bahwa
semua
pertimbangan
yang
memberi
kesempatan kaum perempuan memimpin bangsa ini
harus didasarkan pada kemaslahatan umat. Dra
Keusnendar, mantan anggota DPR dari PPP
menyatakan bahwa perlu ada persyaratan yang sesuai
dengan kondisi bangsa dan negara agar kepemimpinan
umat ini membawa manfaat bagi umat. Dalam konteks
ini ia sepakat bila saat ini lebih baik kaum lelaki yang
menjadi pemimpin. Dengan kata lain tidak menutup
kemungkinan suatu saat wanita bisa menjadi seorang
pemimpin”.(Republika,27November1998).(
http://www.angelfire.com/md/alihsas/haramnya.html
,30/01/11).
Ketua Persatuan Ulama Internasional, Syekh Yusuf AlQardhawy, memfatwakan bahwa perempuan boleh jadi
presiden. Fatwa Syekh Yusuf Al-Qardhawy itu kontan menuai
krtitik dari organisasi Ikhwanul Muslimin yang selama ini dibina
Syekh Yusuf
Al-Qardhawy sendiri. Pendekatan syariah
tentang tidak bolehnya perempuan jadi presiden sudah
banyak diungkapkan para ulama terdahulu, berdasarkan
Alquran dan Sunnah, seperti Syekh Taqiyuddin An-Nabhany
dan Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab klasik Nizhamul
Hukum fil Islaami.
179
Di kitab itu disebutkan bahwa ada tujuh syarat mutlak
khalifah, yakni muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka,
dan mampu.
Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya Al-Jaami’ul Ahkaamil
Qur’an (Juz I, Hal. 270) menyebut laki-laki sebagai salah
satu syarat khalifah.
Perkara yang diperdebatkan adalah boleh tidaknya
perempuan
jadi
hakim.
terkenalnya,
Mukaddimah,
Ibnu
Khaldun
dalam
kitab
(terjemahan Osman Raliby,
penerbit CV Bulan Bintang, Jakarta) juga menyebut laki-laki
sebagai salah satu syarat khalifat.
Imam Al-Qasqasyandi menyebutkan bahwa sahnya
khalifah menurut mazhab As-Syafi’iy adalah adanya syarat
laki-laki sebagai syarat pertama.
Hubungan Republika
dengan Prabowo Subianto
pernah buruk ketika Orde Baru masih berjaya. Tulisan
Amien Rais dalam rubrik “Resonansi” , edisi 29 Mei 1977,
dengan judul “Kejujuran”, sangat menyentak penguasa, dan
menyebabkan
“jatuh
korban”
di
lingkungan
internal
Republika. Kalimat yang tidak berkenan bagi penguasa
ketika itu adalah ajakan Amien Rais untuk tidak memilih
180
statusquo.
Artinya, bisa dipahami, bahwa rakyat sudah
saatnya tidak lagi memilih Golkar. Ketika itu, Golkar adalah
lambang statusquo.
Di
sebuah
ruangan
di
Balai
Penelitian
dan
Pengembangan Teknologi (BPPT), Prabowo marah. Di
ruangan ini, ada Haryanto Danutirto, Adi Sasono, Habibie,
dan Nasir Tamara. Prabowo
menilai, tulisan Amien Rais
berbahaya “Ini berbahaya, tidak boleh dibiarkan,” kata
Prabowo, tegang. “Kenapa tulisan seperti ini lolos!” kata
Prabowo pula.
Dari empat kandidat presiden dan wakil presiden itu
(Susilo
Bambang
Yudhoyono/Boediono
Kalla/Wiranto), hanya jusuf Kalla saja yang
dan
Jusuf
berlatar
belakang NU.
Bagi Republika, meskipun para kandidat
umumnya
bukan dari kalangan ormas Islam, (kecuali Jusuf Kalla,
seperti disebut di
atas) tetapi diyakini akan lebih
menguntungkan umat Islam dibandingkan dengan kandidat
presiden
dan
wakil
Soekarnoputri/Prabowo subianto.
181
presiden
Megawati
Keluarga
beragama,
Wiranto
termasuk
disebut-sebut
dalam
terhitung
berpakaian
muslimah
taat
di
lingkungan keluarganya. Dukungan Republika terhadap
Boediono, antara lain, karena perannya yang cukup besar
dalam mendorong perbankan syariah.
Pada saat menduduki jabatan gubernur Bank Sentral,
meski hanya setahun,
(17 Mei 2008 – 17 Mei 2009),
Boediono mendukung perkembangan industri perbankan
Islam, dan Boediono pula yang mendukung pengesahan
RUU Perbankan Syariah. (Republika, 03/07/2009).
Boediono disebutkan
pula sangat memperhatikan
agama dan menempatkannya di atas kepentingan politik,
seperti terungkap dalam debat kandidat wakil presiden di
SCTV (23/09/09).
Boediono ingin menempatkan agama di posisi sakral,
dan tidak boleh dipermainkan. Boediono, menurut istrinya,
Herawati, selalu memonitor keluarga untuk memastikan
pelaksanaan salat lima waktu. Boediono pun sering salat
berjamaah
dengan
anggota
03/07/2009).
182
keluarganya
(Republika,
Salat berjamaah sekeluarga (dengan diikuti anak dan
istri), sekaligus menunjukkan bahwa Herawati
muslimah, bukan nonmuslimah
seorang
seperti yang diisukan
selama ini oleh beberapa media massa cetak. Telah
disebutkan pada BAB I, bahwa agama yang dipeluk istri
Boediono, Herawati, disebut-sebut Kristen, tetapi kemudian
dibantah, dan Republika nemampilkan keislaman Herawati.
4.3. Pembahasan
4.3.1. Konstruksi Realitas di Kompas dan Republika
Baik Kompas maupun Republika
tidak jauh berbeda dalam prosesi
menerapkan
cara yang
pemuatan berita, sejak dari
lapangan sampai tercetak di media massa. Di lapangan, wartawan
diminta objektif, netral, dan tidak memihak kepada salah satu
pasangan kandidat presiden dan wakil presiden.
Kompas menggariskan ideologi humanisme transcendental
(persatuan dalam perbedaan), sedangkan Republika menggariskan
ideologi Islam.
Perbedaan
ideologi
tersebut pada akhirnya
memengaruhi kebijakan redaksional.
Di Kompas, memang, ada aturan ketat di tingkat
jajaran
redaksi. Wartawan Kompas, meki sudah dibekali ketentuan harus
netral dalam menulis laporan debat kandidat, ternyata tetap ada saja
183
wartawan yang berpihak kepada salah satu kandidat presiden dan
wakil presiden.
Liputan wartawan seperti ini, kalau tidak ditulis ulang, tentu
saja tidak dimuat karena tidak sejalan dengan ideologi humanisme
transcendental yang dianut Kompas. Republika menerapkan hal
yang
sama dengan Kompas untuk tingkat wartawan di lapangan.
Wartawan diminta objektif, netral, dan tidak berpihak.
Bedanya kemudian, Republika memoles laporan dengan
melengkapi data atau fakta liputan tertentu. Berita, features, dan
opini Republika diarahkan untuk kepentingan kandidat presiden dan
wakil presiden tertentu yang
diyakini akan lebih menguntungkan
umat Islam.
Apa yang dilakukan Kompas dan Republika itu adalah samasama
menceritakan
peristiwa-peristiwa,
dan
sekaligus
merekonstruksikan fakta, sesuai dengan kepentingan masingmasing.
Ibnu Hamad, sebagaimana sudah dikemukakan terdahulu
pada BAB II,
mengungkapkan bahwa seluruh isi media adalah
realitas yang telah direkonstruksi (constructed reality) dalam bentuk
wacana yang bermakna.
184
Maka, dengan sendirinya, ditambah dengan fakta-fakta di atas,
wacana yang dimuat Kompas dan Republika pun adalah realitas
yang telah direkonstruksikan. Kalau dihubungkan dengan perspektif
positivisme dan perspektif teori kritis, maka jelas media massa di
sini ada di pihak perspektif teori kritis, karena hasil liputan adalah
cermin ideologi atau kepentingan-kepentingan
tertentu.
Berbeda
dengan perspektif positivisme yang justru liputan wartawan harus
dua sisi, dua pihak, kredibel, objektif, dan menyingkirkan opini dan
pandangan subjektif dari pemberitaan.
4.3.2. Perilaku Media Massa Cetak
Media massa cetak di Indonesia diatur oleh undang-undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini merupakan
lompatan terbesar selama ini, sejak terbit Undang-undang Nomor
11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
Media massa cetak sekarang ini tidak lagi diwajibkan punya
surat
izin
usaha
penerbitan
pers
(SIUUP).
Tanpa SIUPP, pada zaman Orde Baru, mustahil sebuah media
massa cetak bisa terbit.
Demikian pula, seorang pemimpin redaksi mustahil bisa lolos
kalau tidak ada rekomendasi dari Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI). Ketika itu, satu-satunya organisasi wartawan yang direstui
185
Pemerintah adalah PWI. Salah satu kekuatan PWI, berwenang
menerbitkan
rekomendasi untuk seseorang yang akan menjadi
pemimpin redaksi. Sekarang, rekomendasi PWI itu tidak ada lagi.
Dewan Pers ketika itu, otomatis diketuai Menteri Penerangan
RI. Pers langsung di bawah pembinaan Dirjen Pembinaan Pers dan
Grafika, Departemen Penerangan RI.
Hal yang paling besar dan mendasar pascareformasi adalah
tidak ada lagi breidel terhadap media massa cetak seperti zaman
Orde Lama atau zaman Orde Baru.
Kompas dan Republika
mengalami masa-masa zaman Orde
Baru, dan merasakan “pahit”nya zaman Orde Baru. Tetapi, Kompas,
jauh lebih dari itu, karena terbit pada zaman Orde Lama, dan
merasakan pula “pahit”nya Orde Lama, antara lain,
ketika harus
berhenti terbit untuk beberapa lama.
Media massa cetak memperoleh kemerdekaannya yang luar
biasa sejak zaman Orde Reformasi, atau tepatnya sejak terbitnya
undang-undang tentang pers yang reformatif.
Media massa cetak tumbuh subur, karena tidak ada lagi
aturan seketat pada zaman Orde Baru. Pada zaman Orde Baru,
penerbitan pers sekitar 290-an buah, lalu tumbuh subur jadi 2.000an buah pada zaman Orde Reformasi, meski kemudian penerbitan
186
pers itu satu per satu bergururan, antara lain, karena tidak bisa
bersaing dengan penerbitan pers yang sudah mapan atau karena
memang modalnya lemah.
Terbitnya undang-undang tentang pers yang reformatif itu,
selain menyebabkan tumbuh suburnya media massa cetak, seperti
disebut di atas, juga keberanian pers jauh lebih besar, karena tidak
akan ada lagi breidel pers seperti pada zaman-zaman sebelumnya.
Jargon “pers pembangunan”, “pers Pancasila”, “budaya telepon”, dan
lain-lain sudah tidak ada lagi pada zaman Orde Reformasi.
Oleh
karena
seringnya
telepon
digunakan
Penerangan RI terhadap pemimpin redaksi
Departemen
yang “nakal”,
zaman Orde Baru, Menteri Penerangan RI H. Harmoko
pada
pernah
ditanya, dalam sebuah kesempatan pertemuan. Jawab H. Harmoko
ringan saja, “Telepon memang gunanya untuk menelepon”. Kompas
dan Republika termasuk media massa cetak yang memanfaatkan
kemerdekaan pers itu, dengan lebih berani menyampaikan kritik,
termasuk kritik terhadap kandidat presiden dan wakil presiden. Debat
kandidat presiden dan wakil presiden itu sendiri merupakan
fenomena baru dalam sejarah pemilihan
presiden dan wakil
presiden di Indonesia.
Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung baru
dilakukan dua kali (2004 dan 2009), dan debat kandidat baru satu
187
kali
dilakukan (2009). Pada tahun 2004, lebih debat kandidat
difokuskan pada dialog dan penajaman visi dan misi para kandidat.
Pada zaman Orde Baru, mustahil sebuah media massa aman
kalau tidak mendukung statusquo. Amien Rais yang “berkampanye”
agar tidak memilih statusquo, melalui tulisannya di “Resonansi”
Republika, ternyata berakibat buruk bagi Republika.
Pemimpin Redaksi Parni Hadi dan Redaktur Pelaksana Zaim
Uchrowi dicopot dari jabatan masing-masing. Mereka dianggap
paling bertanggung jawab atas lolosnya tulisan tersebut.
Media massa cetak sekarang boleh terkotak-kotak dalam
dukung-mendukung pasangan presiden dan wakil presiden, seperti
tercermin dalam liputannya atau tajuk rencananya. Ketua PWI Pusat
H. Margiono menilai dukung-mendukung itu sah sepanjang hasil
“ijtihad” media massa cetak itu sendiri, dan bukan merupakan
paksaan atau desakan dari pihak eksternal. Tidak ada penguasa
atau pihak yang mencela atas sikap media massa cetak itu, apalagi
kalau dukungan itu dikemas dalam karya jurnalistik yang apik dan
profesional, sehingga pesan-pesan terselubung tidak terlihat.
Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, mengaku tidak pernah
menerima keluhan khalayak pembaca sehubungan dengan dukung-
188
mendukung oleh media massa cetak terhadap kandidat presiden dan
wakil presiden.
Kata Bagir Manan, pemberitaan media massa cetak
masih
dalam batas wajar dan normal. Kata Bagir Manan pula, yang ada
adalah pengaduan khalayak pembaca dari daerah atas perilaku
media massa cetak daerah yang berperan sebagai “juru kampanye”
seseorang calon kepala daerah.
Media
massa
cetak
boleh
seluas-luasnya
sekarang
ini
memasang iklan. Pada zaman Orde Baru, iklan dibatasi, tidak boleh
melebihi 30% dari seluruh halaman media massa cetak. Halaman
media massa cetak pun dibatasi, tidak boleh lebih dari 12 halaman.
Zaman sekarang, pembatasan itu tidak ada. Media massa
cetak, termasuk Kompas dan Republika, memperoleh banyak iklan,
dan boleh memuat iklan lebih dari 30% dari jumlah halaman media
massa cetak. Media massa cetak khususnya, temasuk Kompas dan
Republika, terhitung meraih untung yang cukup besar dari perolehan
iklan kandidat presiden dan wakil presiden. Terutama Iklan “jaket”
(iklan kulit luar media cetak) dipastikan mahal, dan para kandidat
berani membayar mahal iklan itu. Baik Kompas maupun Republika
pernah memuat iklan “jaket”
ini. Kompas pernah memuat iklan
“jaket” Susilo Bambang Yudhoyono,
Kompas
mengeritik
kebijakan
189
tetapi keesokan harinya,
Presiden
Susilo
Bambang
Yudhoyono.
“Kami tidak punya hubungan dengan iklan,“ kata
Kepala Desk Politik dan Hukum Kompas, Tri Agung Kristanto.
Republika pun sama, iklan “jaket” Susilo Bambang Yudhoyo dimuat,
tetapi kemudian hanya diprotes pembaca melalui surat pembaca.
Penerbitan pers di suatu negara, termasuk di Indonesia, tidak
boleh bertentangan dengan dasar atau ideolog negara. Indonesia
tidak menganut salah satu teori pers dunia tetapi mempunyai “teori”
pers sendiri, Pers Pancasila. Ada dua teori pers baru dari Denis
McQuail, teori pers pembangunan dan teori pers partisipan
demokratik. Teori pers pembangunan berkaitan dengan negaranegara Dunia Ketiga, Denis McQuail dalam Kusumaningrat (2006 :
25).
Soal
wartawan di Dunia Ketiga,
menyebutkan bahwa
Al Hester (1997 : 18)
mereka memiliki hasrat untuk memperoleh
kepuasan pribadi dalam melakukan sesuatu yang berguna.
Katanya, “Jika kita tidak memperoleh kepuasan pribadi dari
pekerjaan, kita akan merasakan bahwa yang kita lakukan
tidak
mempunyai arti”.
Teori partisipan demokratik, masih menurut Denis McQuail,
lahir sebagai reaksi atas komersialisasi dan monopolisasi media
190
yang dimiliki oleh swasta dan sebagai reaksi atas komersialisasi dan
sentralisme dan birokratisasi institusi-institusi siaran publik yang
timbul dari tuntutan norma tanggung jawab sosial.
Indonesia, yang masih tergolong ke dalam kelompok negara
berkembang,
pernah
secara
gencar
mempopulerkan
pers
pembangunan pada zaman Orde Baru.
Di samping itu, dikenal pula istilah pers Pancasila, yang inti dan
isinya merupakan bahasa lain dari pers pembangunan.
Dalam
setiap undang-undang pers di Indonesia, selalu saja tercantum tidak
ada sensor atau pembreidelan, seperti bunyi Pasal 4, Bab II,
undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan
pokok Pers.
Hal yang sama juga “dibunyikan” dalam
Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1967, Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982, dan
Undang-undang Nomor 40 tahun 1999. Tetapi dalam perjalanannya,
pers sering dibreidel.
Barulah pada zaman Orde
Reformasi, sensor dan breidel
benar-benar tidak ada dan tidak pernah dialami oleh penerbitan pers
khususnya.
191
Pers Indonesia yang bebas dan bertanggung jawab
mulai
betul-betul dilaksanakan, meski Indonesia tidak menganut salah satu
dari empat teori pers dunia.
4.3.3. Pers Industri dan Ekonomi Politik Media
Perkembangan pers Indonesia kemudian, terutama pascaOrde Reformasi, ditandai dengan tiga pemikiran seperti dilukiskan
Ibnu Hamad (dalam Waluyo : 2007 : 13), yakni (a) memberi basis
yang kuat bagi lahirnya pers industri dengan menggeser gejala pers
idealis, (b) mengundang para pemodal untuk masuk ke dunia pers
yang
belum
tentu
menjadi
bisnis
utama
mereka,
dan
(c)
memunculkan kelompok-kelompok usaha penerbitan pers.
Gejala pers jadi industri, lahirnya kelompok bisnis pers, sudah
dirasakan banyak wartawan senior yang bekerja di lingkungan bisnis
pers tersebut.
Peneliti buku Jurnalisme Investigasi dan Indonesia for Sale,
Dhandy Dwi Laksono, menulis surat untuk Dewan Pers, pada
tertanggal 16 November 2008.
Isi surat, antara lain, ungkapan
wartawan senior di beberapa industri media. Kata mereka, harus
punya seni bekerja di industri media. Wartawan harus punya pilihan
: kalau tidak suka di-intervensi pemilik, maka pilihannya adalah
melawan atau mundur, atau ganti profesi.
Dalam suratnya itu pula,
Dhandy merisaukan masih tetap adanya sensor di ruang redaksi.
192
Kalau dulu sensor dilakukan oleh rezim penguasa otoriter, kini
sensor dilakukan oleh pemilik yang juga merangkap
bisnis.
jadi pelaku
Suasana di ruang redaksi dilukiskan Dandhy sudah
sedemikian gawat menurut idealisme pers.
Pebisnis
yang
memasuki
dunia
memunculkan konflik kepentingan. Pihak
pers,
pada
akhirnya
yang menjadi korban
akibat konflik kepentingan itu adalah wartawan, antara lain, karena
tidak bisa lagi leluasa menerbitkan atau menayangkan laporannya
secara
utuh. Kalau rezim Orde Baru pernah jadi musuh
kemerdekaan pers, maka kini musuh kemerdekaan pers itu
hakikatnya
ada di lingkungan internal, yang
tidak lain
adalah
pemilik pers itu sendiri yang merangkap jadi pelaku bisnis. Zaman
sekarang, memang banyak pengusaha yang terjun ke dunia pers.
Mungkin dianggap bisnis yang menjanjikan, atau justru untuk
melindungi induk bisnisnya yang nonpers.
Untuk itulah, melalui surat kepada Dewan Pers, Dandhy
mengusulkan agar pelaku bisnis pers dilarang memiliki bisnis yang
lain untuk menghindari konflik kepentingan seperti selama ini terjadi,
dan cukup meresahkan kalangan wartawan yang mengedepankan
idealisme pers.
Larangan itu harus dituangkan dalam undang-
undang pers. Artinya, Undang-undang Nomor 40 tahun 1999
tentang Pers yang selama ini masih berlaku perlu diubah.
193
4.3.4. Analisis Komunikasi Politik
Harold D. Lasswell merumuskan komunikasi sebagai who
says what, in which channel, to whom, with effect, sedangkan politik
dirumuskannya sebagai who gets what, when and how.
Rumusan
Laswell mengenai komunikasi ini,
dengan kata
lain, merupakan rangkuman unsur komunikasi yaitu komunikator,
media, pesan,
komunikan, dan efek. Dengan rumusan itu, kalau
dihubungkan dengan politik,
maka unsur
komunikasi dalam
komunikasi politik adalah komunikator politik, bahasa politik, media
komunikasi politik, komunikan (khalayak)
komunikasi politik, dan
pengaruh komunikasi politik. Komunikasi dan politik bertemu dalam
satu titik bahwa kedua-duanya tidak bisa dipisahkan dari pengertian
proses. Komunikasi politik, di dalamnya melibatkan bicara dalam arti
yang cukup luas, meliputi gambar, gerakan, isyarat, pakaian,
lambang, dan penampilan.
INT”L ENCLY OF Communication dalam Arrianie (2009 : 14)
mendefinisikan
penyampaian
komunikasi
pesan
yang
politik
disusun
sebagai
secara
berikut,
sengaja
“Setiap
untuk
mendapatkan pengaruh atas penyebaran atau penggunaan power di
dalam masyarakat”.
194
Dari batasan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa ada empat
bentuk
komunikasi
communication,
yakni
petitionary
elite
communication,
communication,
dan
hegemonic
associational
communication. (Arrianie, 2009 : 14).
Komunikasi politik didefinisikan pula
bahwa setiap jenis
penyampaian pesan, khususnya yang bermuatan informasi politik
dari suatu sumber kepada sejumlah penerima pesan.
Kandidat presiden dan wakil presiden memanfaatkan betul
media massa, baik cetak maupun elektronik, untuk
kegiatan
komunikasi politik.
Termasuk, debat kandidat presiden dan wakil presiden di televisi,
yang disiarkan secara langsung, jadi ajang komunikasi politik. Media
masa memang ampuh dijadikan media komunikasi politik.
Para
kandidat tahu persis bahwa media massa mempunyai kemampuan
membentuk citra dan opini. Citra positif para kandidat jadi modal
besar untuk memenangkan pemilihan.
Para kandidat presiden dan wakil presiden memanfaatkan pula
Kompas dan Republika untuk pemasaran politik dengan berkunjung
langsung ke kantor redaksi.
Dari sebanyak media massa cetak yang terbit di Jakarta
khususnya, Kompas dan Republika
195
memperoleh kehormatan
dengan mendapatkan kunjungan kandidat presiden.
Kunjungan itu
sendiri menguntungkan kedua belah pihak, baik para kandidat
presiden maupun media massa cetak.
Pemilihan kedua media massa cetak itu bukan tanpa alasan
karena memang cukup penting dan strategis jadi media komunikasi
politik. Terlebih-lebih, Kompas dan Republika sebagai media massa
cetak besar, dengan tingkat reputasi dan kredibiltas yang cukup
besar pula.
Pemilihan tempat kunjungan itu pun tidak lepas dari berbagai
perhitungan, termasuk perhitungan efek positif yang ingin diperoleh
setiap kandidat presiden atau wakil presiden. Pemilihan tempat
kunjungan itu pun akhirnya bisa pula jadi politis, dan media massa
cetak, seperti Kompas, berusaha menerima kunjungan itu secara
proporsional. Kunjungan para kandidat presiden ke Kompas dimuat
keesokan harinya, dan penting untuk para kandididat presiden
khususnya.
Jakob
Oetama,
mewakili
Kompas,
selalu
tampil
mendampingi para kandidat presiden itu.
Bukan
sekadar foto, melainkan juga sosok, visi dan
misi
setiap kandidat presiden terekam pula dalam laporan kunjungan ke
media. Kompas sangat berhati-hati
dalam memuat berita para
kandidat presiden ini. Semua dimuat di halaman utama (halaman
satu), semua didampingi Jakob Oetama, semua foto berwarna.
196
Menurut pakar komunikasi politik UI, Fauzie Syuaib, bahwa
media massa
kredibilitas
yang memiliki cakupan pembaca yang luas
serta
sebuah media massa sangat memengaruhi tingkat
kepercayaan publik terhadap sajian media massa itu sendiri.
4.3.5. Analisis Political Marketing
Pemasaran (marketing), menurut Kotler dan Levy
Firmanzah (2009),
dalam
tidak hanya terbatas pada institusi bisnis,
Pemasaran adalah proses yang memungkinkan adanya pertukaran
(exchange) (Bagozzi, 1947, 1975). Marketing pun diterapkan dalam
institusi pemerintahan, organisasi sosial,
dan organisasi politik
dalam mentransfer produk, pelayanan kepada masyarakat, meliputi
simbol dan ide.
Political marketing dapat didefinsikan pula sebagai serangkaian
aktivitas terencana, strategis, tetapi juga taktis, berdimensi jangka
panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna politik
kepada para pemilih (Nursal, 2004 : 23)
Dalam
kampanye
presiden
dan
wakil
presiden,
yang
dihubungkan dengan pemasaran politik, maka presiden dan wakil
presiden, ibarat produk, parpol pengusung sebagai produsen, media
massa sebagai pasar, dan khalayak sebagai konsumen politik.
197
Tetapi, dalam kampanye presiden dan wakil presiden, parpol
pengusung bersikap statis karena yang lebih aktif adalah kandidat
presiden dan wakil presiden.
Padahal, sesungguhnya, kandidat presiden dan wakil presiden
adalah produk yang sedang dipasarkan parpol pengusung. Dalam
terminologi ekonomi, pengusung bisa disebut sebagai produsen.
Parpol pengusung kandidat presiden dan wakil presiden jelas
memasarkan dan
membangun citra positif kandidat usungannya
agar bisa dipilih oleh khalayak.
Di samping itu, kandidat presiden dan wakil presiden turut
pula membangun citra positif dirinya sendiri demi dan untuk dipilih
khalayak.
Pembangunan
citra,
bukan
saja
saat-saat
masa
kampanye, melainkan juga jauh sebelum kampanye dimulai. Parpol
pengusung sengaja menggelar acara-acara dengan beragam nama,
tetapi hakikatnya bermuara ke arah pengenalan calon presiden dan
wakil presiden. Para kandidat berlomba-lomba memanfaatkan
kesempatan ini, karena masih leluasa, dan tidak ada larangan.
4.3.6. Budaya Massa Politainment
Menurut Heru Sutadi
dari Kelompok Studi
Komunikasi
Pascasarajana UNPAD, debat kandidat presiden dan wakil presiden
198
2009 itu sebagai budaya massa politainment, yakni kegiatan politik
yang diselingi iklan komersial.
Politainment ini terdiri dari dua kata politic (politik) dan
entertainment (hiburan). Di Indonesia, politainment kalah terkenal
dengan infotainment yang cenderung lebih
laku dijual daripada
penting ditonton.
Debat kandidat pada pemilukada pun kini banyak disiarkan
televisi secara langsung. Boleh jadi, ini diilhami debat kandidat
presiden dan wakil presiden. Sekaligus, ada iklannya pula.
Debat kandidat presiden dan wakil presiden di televisi jelas
diselang-selingi iklan komesial, sehingga diprotes banyak kalangan
karena iklan-iklan itu sangat mengganggu jalannya debat kandidat.
Kompas
dan
Republika
menurunkan
banyak
laporan
mengenai protes-protes terhadap iklan dalam siaran debat kandidat
presiden dan wakil presiden. Kehadiran iklan-iklan itu, diakui KPU,
karena masih terbatasnya anggaran, sehingga biaya debat kandidat
ditanggung bersama oleh KPU dan televisi yang berhak menyiarkan
iklan, bahkan di tengah-tengah debat kandidat sedang seru-serunya.
Biaya debat kandidat presiden dan wakil presiden itu memang
dibiayai oleh APBN Ayat (7), Pasal 39, Bab VII, Undang-undang
Nomor 42
Tahun 2008
tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden. Tetapi, nyatanya, biayai dari APBN belum cukup.
199
4.3.7. Politik Pencitraan
Media massa jadi ajang pertarungan kandidat presiden dan
wakil presiden, juga jadi panglima komunikasi politik. Para kandidat
presiden dan wakil presiden, sebelumnya bertarung pencitraan, di
lapangan, seperti melalui media massa cetak, penerbitan buku, dan
lain-lain. Sejumlah buku terbit menjelang pemilu presiden dan wakil
presiden. Misalnya, buku Prabowo : Dari Cijantung Bergerak ke
Istana, (Galangpress, 2009), Para Komando (PT Kompas Gramedia
Utama, 2009), Perang Sejarah Para Jenderal (Pustaka Timur, 2009),
Sintong dan Prabowo Dari “Kudeta L.B. Murdani” Sampai “Kudeta
Prabowo” (MedPress, 2009). Sebelumnya, terbit buku Menegakkan
Civil Society (Relawan Bangsa, 2004), yang berisi tentang pemikiran
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Buku-buku itu (kecuali
Menegakkan Civil
Society) terbit
pada tahun yang sama, tahun
2009, tahun adanya pemilu presiden dan wakil presiden. Isi buku,
umumnya kritik, pembelaan, sekaligus pertahanan nama baik. Bukubuku itu pun kemudian melahirkan istilah “Perang Bintang” bahasa
di media massa, karena memang yang diceritakan dalam buku-buku
itu para jenderal berbintang. Para jenderal bergerak menuju istana.
Gambar 4
Pencitraan Melalui Buku
200
Ketiga jenderal purnawirawan itu (Prabowo Subianto, Wiranto,
Susilo Bambang Yudhoyono) kemudian memang tampil jadi kandidat
presiden dan wakil presiden. Isi buku, pada akhirnya pencitraan, karena
kandidat presiden dan wakil presiden harus bercitra positif kalau ingin
memperoleh dukungan rakyat (pemilih). Segala hal yang dianggap negatif
sebelumnya, diklarifikasi atau dibersihkan melalui penerbitan buku.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sering sekali diposisikan sebagai
presiden yang mengedepankan politik pencitraan.
201
Pertandingan sepak bola se-Asean, Asean Football Federation
(AFF) pun, beberapa waktu lalu, disebut sebagai ajang pencitraan
politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pengamat politik, Ray Rangkuti misalnya, mencatat bahwa
Susilo Bambang Yudhoyono sampai lima kali menonton langsung
pertandingan sepak bola AFF itu (Harian Pelita, Kamis 30/12/10).
Analisis Ray Rangkuti, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mencoba menarik perhatian publik dengan harapan memperoleh
dukungan rakyat melalui sepak bola.
Pencitraan politik dilakukan pula oleh Partai Golkar ketika
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) menurunkan harga
tiket pada final leg 2, di Jakarta.
Dalam wawancara dengan sebuah televisi, Ketua Umum PSSI
Nurdin Halid mengaku diminta menurunkan harga tiket oleh Ketua
Umum DPP Golkar Ir. Aburizal Bakri. “Sebagai kader, saya patuh,”
kata Nurdin Halid, yang memang kader Partai Golkar itu.
Maka, lewat Nurdin Halid, Partai Golkar punya citra positif,
terutama di kalangan pecandu sepak bola. Perintah Aburizal Bakri
sendiri,
sebetulnya,
berasal
dari
Presiden
Susilo
Bambang
Yudhoyono yang meminta PSSI menurunkan harga tiket. Urusan
sepak bola, akhirnya, jadi pula urusan politik.
202
Politik pencitraan dilakukan pula oleh tiga kandidat presiden
dan wakil presiden saat-saat mereka mendeklarasikan diri sebagai
bakal kandidat presiden dan wakil presiden.
Tempat deklarasi mereka, Megawati Soekarnoputri/Prabowo
Subianto di Bantargebang, Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono di
Bandung, dan Jusuf Kalla/Wiranto di Tugu Proklamasi.
Para bakal kandidat presiden dan wakil presiden itu pun tampil
sedang menginvestasikan citra. Media massa cetak, termasuk
Kompas dan Republika, menyiarkan deklarasi para bakal kandidat
presiden dan wakil presiden itu dengan cara dan ciri masing-masing.
Bagi ketiga bakal kandidat presiden dan wakil
deklarasi
presiden itu, tempat
punya makna strategis yang berhubungan dengan
pencitraan.
Bagi
Megawati
Soekarnoputri/Prabowo
Subianto,
Bantargebang sebagai ungkapan keberpihakan kepada rakyat kecil.
Bantargebang sendiri merupakan tempat pembuangan sampah
akhir, dan di situ banyak sekali pemulung (rakyat kecil) yang
mencari nafkah.
PDI Perjuangan yang mengusung Megawati
Soekarnoputri/Prabowo dicitrakan sebagai
partai wong cilik atau
partai rakyat kecil. Ada dua sisi penting di sini. Pertama, pemilih
umumnya lebih banyak rakyat kecil. Kedua, citra yang baik
menarik rasa simpatik dan dukungan.
203
pasti
Konsep
pembangunan
yang
ditawarkan
Soekarnoputri/Prabowo Soebianto adalah
Megawati
pembangunan bangsa
yang tidak akan melepaskan unsur kerakyatan. “Nah, Bantargebang
sebagai simbol masyarakat kelas bawah yang justru kita perhatikan,”
kata
Sekretaris
Deklarasi
Mega-Pro,
Haerudin,
yang
juga
fungsionaris DPP Partai Gerindra.
Khusus
untuk
pencitraan
Soekarnoputri, misalnya,
kandidat
Republika
presiden
menulis features
Megawati
berjudul
“Merah Hitam Kostum Mega” (Republika, 04/06/09).
Maka, dengan sangat detail,
Republika melukiskan busana
Megawati Soekarnoputri seperti berikut:
“Megawati mengenakan blus tunik berwarna hitam. Panjangnya
sebatas lutut, dengan corak bunga warna merah di dada
sebelah kiri. Kostum ini terlihat cocok dengan dua warna utama
partainya, yakni merah dan hitam. Dalam beberapa event
kepartaian, Mega sering mengenakan blus tunik, meski dengan
corak dan kombinasi warna berbeda” (Republika, 04/06/09).
Sebagai representasi PDI Perjuangan dan figur tokoh nasional,
Megawati Soekarnoputri perlu memelihara penampilan dan citra,
termasuk dalam berbusana. Apa pun mode busananya, warna
merah dan hitam tidak penah lepas. “Sudah lama, Ibu
memiliki
desainer pribadi,” kata Ketua Bidang Advokasi Tim Kampanye MegaPrabowo, Gayus Lumbuun. (Republika, 04/06/09).
204
Bandung kota bersejarah, dan oleh karena itu dipilih Susilo
Bambang Yudhoyono/Boediono sebagai tempat deklarasi. Di Kota
Kembang atau Paris van Java ini, pernah ada konferensi Asia Afrika
yang terkenal. Peristiwa itu kemudian diabadikan jadi nama jalan di
Bandung, Jalan Asia Afrika.
Bandung pula sebagai Kota Bandung Lautan Api, yang pernah
menyulut
“api”
semangat
nasionalisme kebangsaan, seperti
keterangan Andi Mallarangeng, (TVOne, 09/05/2009). Masih kata
Andi
Mallarangeng,
separuh
karier
militer
Susilo
Yudhoyono dihabiskan di Bandung. Kedua anaknya
Bambang
dilahirkan di
sini. Itulah sebabnya, Bandung dipilih jadi tempat deklarasi,” kata
Andi Mallarangeng.
Pasangan
Jusuf
Kalla/Wiranto
memilih
Tugu
Proklamasi
(Jakarta) sebagai tempat deklarasi karena nilai-nilai sejarah. “Di sini
ada inspirasi kepemimpinan bangsa. Di sini pula,
negara kita
dideklarasikan. Semua itu sebagai semangat untuk memenangkan
pasangan Kalla-Wiranto," kata fungsiaonaris DPP Golkar, Zainal
Bintang (vivanews.com, 09/05/2009).
Pemilihan tempat deklarasi oleh para bakal kandidat presiden
dan wakil presiden itu, kata pengamat politik dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Samsudin Haris, bukan tanpa alasan,
dan berhubungan dengan pencitraan politik.
205
Menurut Samsudin Haris pula, “Pemilihan tempat-tempat itu
bukan kebetulan. Semua pasangan punya alasan deklarasinya
dimana” (Tempo Interaktif, 22/05/2009).
Di bawah ini, tabel pencitraan saat ketiga kandidat presiden
dan wakil presiden menggelar deklarasi pencalonan.
Tabel 17
Pencitraan Melalui Deklarasi
No.
1.
2.
3.
Kandidat
Megawati Soekarnoputri/Prabowo
Subianto
Tempat
Pencitraan
Kerakyatan, berpihak dan
Bantargebang
berjuang untuk rakyat
kecil
Susilo Bambang
Bandung
Bandung “Lautan Api”,
Yudhoyono/Boediono
semangat nasionalisme
Semangat
Jusuf Kalla/Wiranto
Tugu Proklamasi,
memperjuangkan citaJakarta
cita proklamasi
kemerdekaan RI
Diolah dari Pusat Informasi Kompas dan Pusat Data Republika, (2010)
206
207
208
209
Download