BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian 4.1.1. Sejarah Kompas Kalau Kompas didirikan oleh pengurus organisasi Katolik, dan pada awal didirikannya itu untuk kepentingan umat Katolik, memang diakui oleh para pendirinya. Presiden Soekarno sendiri yang mendesak agar Partai Katolik mendirikan koran. Foto 4 Gedung Kompas Foto : Dok. Kompas 90 Sebagai tindak lanjut keinginan Presiden Soekarno itu, maka sejumlah tokoh Katolik terkemuka, seperti P.K. Ojong, Jakob Oetama, R.G. Doeriat, Frans Xaverius Seda, Policarpus Swantoro, dan R. Soekarsono, mengadakan pertemuan bersama dengan elemen hierakis Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI), yang terdiri dari Partai Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik, dan Wanita Katolik. Mereka sepakat membentuk Yayasan Bentara Rakyat, yang kelak jadi penerbit Kompas. Maka, tekad Partai Katolik menerbitkan koran sudah final, meski mereka tahu ini tidak selalu mudah, karena harus menempuh beberapa prosedur. Optimisme para pendiri hanya satu : mendapat izin prinsip dari Presiden Soekarno, dan memang sebagai desakan Presiden Soekarno. Langkah berikutnya Partai Katolik ini, P.K. Ojong dan Jakob Oetama ditugasi membangun perusahaan. Mulailah mereka bekerja mempersiapkan penerbitan koran baru, corong Partai Katolik. Tapi, suhu politik yang memanas saat itu, membuat pekerjaan ini tidak mudah. Rencananya, koran ini diberi nama Bentara Rakyat. (Majalah Pantau, Edisi April 2001). Jenderal Ahmad Yani (Menteri Panglima Angkatan Darat) menyambut kelahiran Kompas dengan memuji orang Katolik “Kalau orang Katolik memulai sesuatu, pasti baik,” puji Yani (Majalah Pantau, April 2001). 91 Jenderal Ahmad Pendiri Kompas, Frans Seda, menyebutkan, “Kebetulan, waktu itu belum ada harian Katolik, yang ada adalah harian Sinar harapan, harian Kristen, “ kata Frans Seda (Majalah Pantau, April 2001). Partai Komunis Indonesia (PKI) membanguan rintangan, agar koran baru ini (Kompas) tidak bisa terbit. PKI termasuk parpol besar ketika tahun 1950 – 1960-an, sehingga punya basis kekuatan politik yang cukup signifikan. Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat, menulis dalam pojok kirinya, bahwa Kompas adalah akronim dari “komando pastur”. Di lain pihak, Kompas pun (dalam kelakar), dianggap kepanjangan dari Komandan Pak Seda, seperti diakui Frans Seda sendiri. Kompas pun ketika itu sering terlambat terbit sehingga diplesetkan jadi komt pas morgen, bahasa Belanda, yang berarti, Kompas datang keesokan harinya. Menurut data di Pusat Informasi Kompas (PIK) , Frans Seda bertemu dengan Presiden Soekarno di Istana Merdeka, suatu hari, untuk keperluan dinas. Di luar dinas, pembicaraan mereka sampai pada penerbitan koran. Presiden Soekarno sendiri sudah mendengar sebelumnya bahwa Frans Seda akan menerbitkan koran. Nama Kompas kemudian lahir di sini, atas saran Presiden Soekarno, untuk menggantikan nama Bentara Rakyat yang sudah disepakati para pendiri. Makna filosofi Kompas adalah : “pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan atau hutan rimba”. 92 Nama Bentara Rakyat kemudian digunakan untuk yayasan, Yayasan Bentara Rakyat, yang kini satu dari kepemilikan kolektif bersama-sama Yayasan Kompas Gramedia, PT Gramedia, dan PT Transito Asri Media. Meski izin prinsip sudah terbit, dengan restu dari Presiden Soekarno, tetapi pada praktiknya sulit ditempuh. Kompas tidak bisa segera terbit karena harus memenuhi beberapa tahapan lagi, dari pengurusan izin prinsip ke Departemen Penerangan RI, konfirmasi ke Kodam V Jaya, sampai syarat adanya (paling sedikit) 3.000 pelanggan yang dibuktikan dengan tanda tangan pelanggan. Frans Seda kemudian berinisiatif mengumpulkan 3.000 tanda tangan itu dengan menghubungi anggota partai, guru, dan anggota koperasi, di Kabupaten Ende Lio, Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Flores Timur (Provinsi Nusa Tenggara Timur). Kompas edisi pertama (28 Juni 1965), terbit empat halaman, dengan tiras 4.800 eksamplar. Sekarang, Kompas terbit di kisaran 500.000 eksamplar dari Senin sampai Jumat dan 600.000 eksamplar dari Sabtu sampai Ahad. Tiras tertinggi Kompas, 750.000 eksamplar, dicapai saat ulang tahun Bung Karno ke-100. Berita utamanya yang kali pertama terbit berjudul “KAA Ditunda Empat Bulan”. Pojok Kompas pertama pun lahir, dengan tokohnya, Mang Usil. : “Mari ikat hati. Mulai hari ini, dengan…Mang Usil”. 93 Pengasuh Kompas pertama pun muncul, teridiri dari Pemimpin Redaksi Drs. Jakob Oetama, dengan para staf redaksi terdiri dari Drs. J. Adisubrata, Lie Hwat Nio, S.H., Marcel Beding, Th. Susilartuti, Tan Soei Sing, J. Lambangdjaja, Tan Tik Hong, Th. Ponis Purba, Tinon Prabawa, dan Eduard Liem. Jakob Oetama dan P.K. Ojong diakui paling penting dalam penerbitan Kompas. Kedua tokoh Kompas ini punya latar belakang yang sama : guru, peminat sejarah, pegiat asimilasi, dan sama-sama bergerak di dunia pers, dengan jabatan yang sama. P.K. Ojong, pemimpin redaksi Star Weekly, sedangkan Jakob Oetama pemimpin redaksi majalah Penabur. tokoh ini Sebelum menerbitkan Kompas, kedua bekerja sama menerbitkan majalah Intisari. Pemimpin redaksinya adalah Jakob Oetama, sedangkan P.K. Ojong tidak tercantum dalam boks pengasuh. Bersama Adi Subrata, P.K. Ojong jadi “penulis luar” Intisari. Majalah Intisari itu sendiri terbit kali pertama pada tanggal 07 Agustus 1963, dengan tirasnya 10.000 eksamplar. Penulis di Intisari terbitan perdana itu, antara lain, Nugroho Notosusanto, Soe Hok Gie, Ajip Rosidi, dan Rijono Pratikto. Kalau sekarang Kompas disebut sebagai koran harian terbesar dan termodern di Indonesia, tidak bisa disangkal lagi. Ini bisa dilihat dari dari berbagai segi dan sisi, seperti aset kekayaannya, oplagnya, proses produksinya, teknologi informasinya, manajemennya, diversifikasinya, dan lain-lain. 94 Data yang diperoleh dari Pusat Informasi Kompas (PIK) menyebutkan, Kompas yang semula didirikan sebagai multiple media, sebagai core business, tetapi kemudian berkembang jadi multibusiness group of companies yang terdiri atas related diversification dan unrelated diversivication. Dalam perkembangnnya kemudian, Kompas yang sejak terbit punya motto “Amanat Hati Nurani Rakyat” ini ingin berkembang sebagai institusi pers yang mengedepankan keterbukaan, meninggalkan pengkotakan latar belakang suku, agama, ras, dan golongan. Sebagai lembaga yang terbuka, kolektif, dan ingin ikut serta dalam upaya mencerdaskan bangsa, Kompas ingin menjadi “Indonesia mini”, seperti sering disampaikan Jakob Oetama. Kompas ingin menempatkan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi, mengarahkan fokus perhatian dan tujuan pada nilai-nilai yang transcendental atau mengatasi kepentingan kelompok. Rumusan baku filosofis tersebut adalah humanisme transcendental (persatuan dalam perbedaan, atau sama dengan bhineka tunggal ika). “Kata hati Mata Hari”. Pepatah yang kemudian ditemukan, menegaskan semangat emphaty dan compassion Kompas. Soal “Indonesia mini”, Redaktur Senior Kompas, Ninok Leksono, menulis artikel dengan judul “Pak Jakob dan Indonesia Mini’-nya. 95 Artikel itu berisi pemikiran Jakob Oetama tentang Indonesia pluralistik yang bersatu, yang disebut Ninok, selalu menyertai Jakob Oetama ke mana pun dan kapan pun memberi sambutan (Majalah internal Kompas Gramedia, Infokita, No. 06/XXXIII/Juni/2010). Kompas Gramedia sendiri, menurut Jakob Oetama, telah menjadi satu model “Indonesia mini”. Jakob Oetama menginginkan Indonesia seperti “Indonesia mini” yang telah berhasil diterapkan di lingkungan Kompas Gramedia. Sebagai lembaga pers, Kompas punya visi “Menjadi Institusi Yang Memberikan Pencerahan Bagi Perkembangan Masyarakat Indonesia Yang Demokratis Dan Bermartabat Serta Menjunjung Tinggi Asas Dan Nilai Kemanusiaan”. Kompas memerinci visinya menjadi lima butir, yakni (a) Kompas adalah lembaga pers yang bersifat umum dan terbuka, (b) Kompas tidak melibatkan diri dalam kelompok-kelompok tertentu baik politik, agama, sosial, atau golongan, ekonomi, (c) Kompas secara aktif membuka dialog dan berinteraksi positif dengan segala cita bangsa, (d) Kompas adalah koran nasional yang berusaha mewujudkan aspirasi dan cita-cita bangsa, (e) Kompas bersifat luas dan bebas dalam pandangan yang dikembangkan tetapi selalu memperhatikan konteks struktur kemasyarakatan dan pemerintahan yang menjadi lingkungan. 96 Selain visi, Kompas pun punya misi, yakni “Mengantisipasi dan Merespon Dinamika Masyarakat Secara Profesional, Sekaligus Memberi Arah Perubahan (Trend Setter) Dengan Menyediakan Dan Menyebarluaskan Informasi Terpercya”. Rincian misi Kompas diturunkan menjadi lima butir variabel, yakni (a) Kompas memberikan informasi yang berkualitas dengan ciri : cepat, cermat, utuh, dan selalu mengandung makna, (b) Kompas memiliki bobot jurnalistik yang tinggi dan terus dikembangkan untuk mewujudkan aspirasi dan selera terhormat yang dicerminkan dalam gaya kompak, komunikatif, dan kaya nuansa kehidupan dan kemanusiaan, (c) Kualitas informasi dan bobot jurnalistik dicapai melalui upaya intelektual yang penuh empati dengan pendekatan rasional, memahami jalan pikiran dan argumentasi pihak lain, selalu berusaha mendudukkan persoalan dengan penuh pertimbangan tetapi tetap kritis dan teguh pada prinsip, (d) Berusaha menyebarkan informasi seluas-luasnya dengan meningkatkan tiras, (e) Untuk dapat merealisasikan visi dan misi, Kompas harus memperoleh keuntungan dari usaha. Namun, keuntungan yang dicapai bukan sekadar demi keuntungan itu sendiri tetapi menunjang kehidupan layak bagi karyawan dan pengembangan usaha sehingga mampu melaksanakan tanggung jawab sosialnya sebagai perusahaan. 97 Visi dan misi Kompas di atas dilengkapi dengan nilai-nilai dasar Kompas, terdiri dari (a) Menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan harkat dan martabatnya, (b) Mengutamakan watak baik, (c) Profesionalisme, (d) Semangat kerja tim, (e) Berorientasi pada kepuasaan konsumen (pembaca, pengiklan, mitra kerja – penerima proses selanjutnya), dan (f) tanggung jawab sosial, (g) Bertingkah laku mengikuti nilai-nilai tersebut, dengan begitu kita akan memberikan jasa yang memuaskan bagi pelanggan. Kompas sudah menjadi media massa cetak terbesar di Indonesia, dengan oplagnya yang juga terbesar. “Anak terbit”nya tersebar di banyak provinsi. Kompas disebut-sebut pernah menjadi pembayar pajak terbesar ke-32 secara nasional, pada tahun 1980. Dalam perjalanannya, Kompas memilih sangat berhati-hati atau melunak daripada karyawan yang harus posisinya secara harus ditutup penguasa dengan ribuan menganggur. Jakob Oetama, dengan yang sentral lebih memilih menyelamatkan perusahaan keseluruhan. Salah satu contohnya adalah, wartawan Kompas Satrio Arismunandar, diminta mengundurkan diri dari Kompas, daripada Kompas dibreidel penguasa. Tekanan penguasa Orde Baru ketika itu amat kuat terhadap media massa. Kompas tersudut di pilihan sulit : melepas wartawannya, atau Kompas dibreidel penguasa. 98 Departemen Penerangan RI penerbitan pers. “Dosa” Satrio mendirikan Aliansi Jurnalis sangat berkuasa terhadap Arismunandar, ketika itu, ikut Independen (AJI), padahal organisasi wartawan hanya boleh ada satu, dan satu-satunya organisasi wartawan yang diakui, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Satrio Arismunandar sendiri kemudian diberi pesangon yang cukup besar oleh Kompas, sebagai ucapan pengunduran dirinya. Uang terima kasih atas pesangon itu, kabarnya, terutama digunakan untuk meneruskan kuliah. Sampai tesis ini ditulis, Satrio Arismunandar bekerja di Trans TV sebagai executive producer news division - urusan berita pula. 4.1.2. Manajemen Redaksional Kompas Media massa cetak, dalam struktur klasik, orang pemimpin, atau mempunyai tiga kalangan praktisi pers lazim menyebutnya sebagai “jenderal”, yakni pemimpin umum, pemimpin redaksi, dan pemimpin perusahaan. Umumnya, pemimpin umum itu langsung membawahkan pemimpin redaksi dan pemimpin perusahaan. Tetapi, oleh karena Kompas sudah menjadi penerbitan besar, dan semakin luasnya garapan pekerjaan, maka diperlukan jabatan lain, yakni wakil pemimpin umum nonbisnis (wapu nonbisnis) dan wakil pemimpin umum bisnis (wapu bisnis). 99 Wapu nonbisnis sedangkan wapu bisnis merupakan jalur redaksional (berita), merupakan jalur nonredaksional, seperti iklan, pemasaran, pembukuan, sirkulasi, dan lain-lain. Wapu nonbisnis sendiri membawahkan dua pemimpin yang setara, tetapi tidak mempunyai garis koordinasi, yakni pemimpin redaksi/wakil pemimpin redaksi dan kepala Litbang/wakil kepala Litbang. Ada empat manajer di Litbang ini, yakni manajer pusat penelitian Kompas, manajer pusat penelitian bisnis, manajer database, dan manajer pusat informasi Kompas (PIK). Di Litbang inilah, terutama di PIK, peneliti mengumpulkan data dan bahan yang diperlukan untuk penelitian tesis. Dari jalur wapu nonbisnis inilah berita diproduksi, dari lapangan (laporan wartawan) sampai wapu nonbisnis. Pemimpin redaksi/wakil pemimpin redaksi punya bawahan para kepala desk, seperti Desk Nusantara, Desk Artikel & Surat Pembaca, Desk Internasional, Desk Politik dan Hukum, dan lain-lain. Bawahan langsung pemimpin redaksi adalah manajer produksi, dengan dua bawahan, yakni wakil manajer produksi redaksi bidang sunting (seperti penyelarasan bahasa), dan wakil manajer produksi bidang artistik (seperti desain grafis). Dengan demikian, keterpaduan kerja para manajer menghasilkan karya jurnalistik yang baik dengan dukungan bahasa yang benar dan grafis yang menarik. 100 Wapu bisnis mempunyai bawahan yakni pemimpin perusahaan. Ada tiga bawahan pemimpin perusahaan, yakni grand manager (GM) iklan, grand manager (GM) sirkulasi, dan grand manager (GM) marketing communication. Kompas membedakan betul antara jalur pekerjaan wapu nonbisnis dan jalur pekerjaan wapu bisnis. Berita tidak mempunyai hubungan dengan iklan. Pengusaha yang berkali-kali memasang iklan, dalam jumlah yang besar, dan terus-menerus, belum tentu profil perusahaannya ditulis Kompas dalam bentuk berita atau laporan. Kompas membatasi diri : berita adalah satu hal dan iklan adalah hal yang lain. Meski begitu, majalah Pantau, seperti ditulis Andreas Harsono, pernah menelusuri bahwa ada berita yang berbentuk berita tetapi sebetulnya iklan, sehingga Kompas dianggap melanggar wallfire (pagar api). Manajemen redaksional Kompas selengkapnya, bisa dilihat pada struktur organisasi PT Kompas Media Nusantara (penerbit Kompas), yang mulai berlaku tahun 2006. 4.1.3. Sejarah Republika Sejak kelahirannya, Republika tegas-tegas menyatakan diri sebagai koran Islam. Pemimpin Redaksi Republika, Ikhwanul Kiram Mashuri (2005 - sekarang) menegaskan, “Republika dinilai mewakili 101 umat Islam”. Jika ingin tahu sikap politik umat Islam, referensinya Republika”. ( Utomo, 2010 : 30). Oleh karena itu, identitas Islam dalam Republika selalu tampak, apalagi pada hari Jumat, dengan suplemen “Dialog Jumat”. Kelahiran Republika tidak bisa dilepaskan dari Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) sebagai “ibu kandung”nya. ICMI sendiri merencanakan penerbitan koran itu pada kesempatan acara silaturahmi kerja nasional (Silaknas) I ICMI di Jakarta, 5 – 7 Desember. Pemimpin proyek penerbitan Republika adalah Sekretaris Umum ICMI sendiri, Wardiman Joyonegoro. Wardiman pula yang mengawal penerbitan surat izin usaha penerbitan pers (SIUUP), day to day. ( Utomo, 2010 : 22). Foto 5 Gedung Republika Foto : http://thephenomena.wordpress.com 102 Program ICMI meliputi semua bidang, meliputi politik, ekonomi, dan sosial. Di sektor ekonomi, tidak lama setelah ICMI berdiri, menyusul berdiri pula Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sampai kini merupakan satu-satunya bank yang murni dikelola secara syariah. Untuk mendirikan bank syariah ini, seperti terungkap dalam buku 17 Tahun Republika, ternyata tidak mudah, antara lain, karena belum ada acuan dan aturannya. Tetapi, oleh karena banyaknya menteri yang menjadi anggota ICMI, maka akhirnya BMI bisa pula didirikan, dan sekaligus sebagai bank syariah pertama di Indonesia. Dalam buku ICMI Bergerak (2000) ditulis Zaim Uchrowi (kini, Direktur Balai Pustak, dosen, penceramah) dan Usman Ks (kini, Direktur Pemberitaan Media Indonesia, dosen), disebutkan tiga tujuan penerbitan media (koran) yang akan diterbitkan ICMI itu. Ketiga tujuan ini, (a) mewadahi aspirasi umat Islam sebagai bagian terbesar bangsa ini, (b) mendorong umat Islam makin kritis dan bermoral, dan (c) mendidik umat bersikap partisipatif sebagai pembaca aktif. Meski perencanaan penerbitan koran sudah jelas dan matang, ICMI masih tetap meminta diadakan survai. Maka, Lembaga Riset Surindo Utama, dengan komandan Yanti Sugarda, melakukan survai, selama kurang lebih tiga bulan. Hasil survai : masih ada peluang untuk mendirikan koran bernuansa Islam. Pada saat itu, media massa Islam yang sudah ada, antara lain, harian Pelita dan majalah Panji Masyarakat. 103 Republika terbit di bawah Yayasan Abdi Bangsa, yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1992. Ada tiga program prioritas yayasan ini, yakni pengembangan Islamic centre, pengembangan Centre for Information and Depelovment Studies (CIDES), dan penerbitan Republika. Mengenai perkembangan terakhir CIDES, sejak awal tahun 2009, diubah namanya jadi Yayasan CIDES Indonesia, dan sebagai kelanjutan CIDES yang sudah ada sebelumnya. Ketua Dewan Kehormatan CIDES Indonesia (2009 – 2014) adalah B.J. Habibie. Ketua Dewan Penasihat, Adi Sasono. Sejumlah kegiatan CIDES Indonesia, meliputi studi ekonomi, politik, lingkungan, budaya, dan hukum. Nama Republika sendiri berasal dari gagasan Zaim Uchrowi (Pemimpin Redaksi Republika 200 – 2001). Ketika itu, Zaim ditugasi Wardiman Joyonegoro untuk memilih nama yang cocok. Zaim menyusun yang kemudian 10 nama untuk diajukan kepada Habibie, disampaikan kepada Presiden Soeharto. Nama- nama yang diajukan Zaim, antara lain, Republik, Nasional, dan Sinar Baru. “Nama Republik, sengaja disimpan di nomor urut satu dengan harapan nama ini yang akan dipilih,” kata Zaim. Selanjutnya, dibuatkan mock up koran, dengan nama yang dipilih Republik. 104 Presiden Soeharto menilainya cukup bagus, tetapi meminta agar nama Republik ditambah dengan huruf /a/ sehingga menjadi Republika. Maka, nama inilah yang kemudian dipakai, sampai sekarang. Pencarian nama, tidak terlalu sulit. Tetapi, mencari orang yang akan menjadi pemimpin redaksinya, ternyata harus melewati disuksi dan konsultasi yang cukup lama. seorang pemimpin redaksi haruslah mutlak Maklum, ketika itu, orang yang disetujui Pemerintah, yang dalam hal ini oleh Departemen Penerangan RI. Beberapa nama muncul sebagai calon pemimpin redaksi, seperti Nasir Tamara dan Damawan Rahardjo. Ketika itu, sudah diformat dua nama : Dawam Rahardjo sebagai pemimpin redaksi dan Adi Sasono sebagai pemimpin umum. Ternyata, kedua-duanya ditolak Menteri Penerangan RI H. Harmoko. Atas penolakan terhadap Dawam Rahardjo, Harmoko beralasan, “Saya rasa, Pak Dawam kurang cocok. Koran itu bukan hanya harus dipelototi dari pagi sampai malam, tapi juga ngurusi sirkulasi, iklan. Pak Dawam membesarkan Ulumul Quran saja, nanti kita bantu,” kata Harmoko. Selain menolak Dawam Rahardjo sebagai pemimpin redaksi, Harmoko pun menolak orang-orang bekas Berita Buana. “Saya tidak mau ada orang-orang eks Berita Buana-nya Sutrisno Bachir yang ikut koran itu nanti,” tegas Harmoko. 105 Pembicaraan selanjutnya mengenai calon pemimpin redaksi, akhirnya melibatkan pula Habibie. Dalam satu kesempatan, Habibie mengajak Wardiman, Jimly Asshiddiqie, Parni Hadi, dan Makmur Makka untuk berkunjung ke rumah dinas Harmoko. Habibie membuka pembicaraan dengan menyebut Parni Hadi dan Makmur Makka. Masalahnya, kata Habibie kepada Harmoko, Parni Hadi masih aktif di Kantor Berita Antara dan Makmur Makka sudah lama tidak aktif di dunia pers. Harmoko diam, dan berpikir. Tangan kanannya memegang dahi. Matanya terpejam, dan tiba-tiba, “Parni saja”. “Ok…gimana Parni,” kata Habibie yang disambut kaget oleh Parni Hadi. Parni Hadi baru beberapa hari kemudian menerima tawaran itu. Parni Hadi sendiri sebelumnya sudah bertekad akan memajukan Antara. Pagi-pagi, Parni Hadi menelepon Makmur Makka, “Bos, saya sudah istikharah dan saya putuskan terima,” kata Parni Hadi kepada Makmur Makka, teman dekatnya. Makmur Makka sendiri kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Republika (1997 – 2000), menggantikan Parni Hadi yang turun dari jabatannya akibat intervensi penguasa. Ketika itu, Republika menurunkan opini Amien Rais, dengan judul “Kejujuran”, dalam rubrik “Resonansi”. Dalam opininya, Amien Rais mengajak agar masyarakat untuk tidak memilih statusquo dalam pemilu nanti. 106 Rupanya, Presiden Soeharto marah. Presiden meminta agar Prabowo (menantunya, ketika itu) menegur. “Ini berbahaya, tidak boleh dibiarkan,” kata Prabowo. “Kenapa tulisan seperti ini lolos! ” kata Prabowo pula. Interpretasi dari opini Amien Rais itu, yakni ajakan agar rakyat tidak lagi memilih Golkar. Lambang statusquo ketika itu, tidak lain adalah Golkar. Sebetulnya, Parni Hadi ketika itu sedang ada di Korea, untuk suatu perjalanan jurnalistik. Parni Hadi tidak tahu-menahu adanya kemarahan Presiden, tidak tahu pula ada kemarahan Prabowo. Tak pelak lagi, Parni Hadi mendadak diganti. Penggantinya adalah Makmur Makka. “Makmur, kau ganti Parni,” tegas Habibie. “Tapi, Pak, saya sudah lama tidak di pers. Terakhir, menjadi redaktur pelaksana di harian Kami tahun 1997,” jawab Makmur Makka. “Hanya nama kamu yang muncul waktu saya shalat,” jawab Habibie. Ketika itu, Habibie langsung menelepon Harmoko. Persoalannya kemudian, Makmur Makka tidak mempunyai kartu PWI. ketika itu, Maklum, punya kartu PWI jadi salah satu syarat mutlak untuk menduduki jabatan pemimpin redaksi. Soal tidak punya kartu PWI, ternyata kemudian diurus sendiri oleh Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, Subrata, atas perintah Harmoko. Maka, Makmur Makka pun punya kartu PWI, dan siap jadi pemimpin redaksi Republika, menggantikan Parni Hadi. “Saya lega begitu tahu Bos Makmur yang menggantikan,” komentar Parni Hadi. 107 Jabatan pemimpin umum Republika, masih tetap dipegang Parni Hadi. Dalam sebuah penerbitan pers, hakikatnya, pemimpin redaksi-lah yang lebih bergengsi daripada pemimpin umum. Ketika itu pula, kartu pers ditandatangani hanya oleh pemimpin redaksi, bukan oleh pemimpin umum. Oleh karena itu, pemimpin redaksi, ketika itu, seperti jadi “mahkota” penerbitan pers. Republika media massa cetak berideologi Islam dan menyebut diri sebagai koran komunitas umat Islam. Paham Islam Republika adalah Islam mazhab ahlu sunnah wal jamaah, seperti dianut Muhammadiyah, NU, dan Persatuan Islam (Persis). Di dunia ini, selain ada mazhab Sunny (Ahlu sunnah wal jamaah), juga ada mazhab Syiah. Perbedaan kedua mazhab ini, awalnya hanyalah pada pemilihan khalifah setelah Nabi Muhammad S.A.W. wafat : antara dipilih dan dari kalangan mana saja atau ditetapkan secara turun-temurun dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra (putri Nabi Muhammad S.A.W.). Republika menegaskan keislaman mazhab ahlu sunnah wal jamaah itu ditambah dengan nasionalisme, Islamis nasionalis. Bagi Republika, negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati yang harus dibela dan dipertahankan. Keislaman Republika adalah keislaman yang rahmatan lil ‘aalamiin, yang memberi manfaat kepada semua orang, termasuk nonmuslim. 108 Untuk itu, jurnalisme yang diusung adalah jurnalisme damai dan mendamaikan. Jurnalisme ini merupakan inspirasi dari doa salam setelah attahiyyat akhir, dalam salat, sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Artinya, pesan damai ke sekeliling kita. 4.1. 4. Manajemen Redaksional Republika Jabatan tertinggi dalam stuktur organisasi PT Republika Mandiri (penerbit Republika) diduduki direktur utama. Direktur utama membawahkan wakil direktur utama/CEO. Wakil direktur utama mempunyai empat bawahan, yakni grand manager keuangan & admin, direktur operasional/COO, Buss. Dev. & Traffic. SUPP, dan pemimpin redaksi. Menyangkut redaksi, pemimpin redaksi/wakil pemimpin redaksi membawahkan redaktur pelaksana dan redaktur senior. Tugas redaktur senior ini menangani daerah dan Republika Online (ROL). Di bawah wakil redaktur pelaksana pula ada wakil redaktur pelaksana I dan wakil redaktur pelaksana II. Wakil redaktur pelaksana I membawahkan asisten redaktur pelaksana I (berita) dan asisten redaktur pelaksana II (berita). Ruang lingkup tugas asisten redaktur pelaksana I meliputi berita halaman I, halaman internasional, halaman ekonomi, dan halaman olahraga. Ruang lingkup asisten redaktur pelaksana II meliputi “Dialog Jumat”, halaman “City News”, “ Iptek”, berita edisi Ahad, dan halaman nasional yang mencakup politik 3 Berita Harian, hukum, kesra, dan berita halaman 12. 109 Wakil redaktur pelaksana II (nonberita, desain, dan foto) mempunyai tiga bawahan, yakni asisten redaktur pelaksana III (nonberita), asisten redaktur pelaksana IV (nonberita), dan redaktur foto. Asisten redaktur pelaksana III menangani beberapa rubrik, yakni (a) Berita halaman I Ahad, “Cerpen”, “Puisi”, “Wacana”, “Horizon”, “Cerber”, “Pustaka”, dan “Senggang”, (b) Ficer halaman I, “Analisis”, “Resonansi”, “Refleksi”, “Opini”, dan “Tajuk Suara”, (c) “Warna”, “Ihwal”, dan “TV Guid”, (d) “Laporan Utama Minggu”, (e) “Perilaku”, “Di Balik Layar”, “Hobi & Habit”, “Layar Perak dan DV”, dan “Gaya”. (f) “Sosok”, “Wawancara”, “Dari Kami”, “Korcil”, “Belia”, “Remaja”. . “Griya”, “Jalan-jalan”, “Wanita”, “Kesehatan”, “Boga”, dan (g) “Ayah Bunda”. Asisten redaktur pelaksana IV tidak menangani naskah, tetapi khusus menangani desain. Bawahan lain wakil redaktur pelaksana II adalah redaktur foto. Tugasnya, menangani dokumentasi foto dan laboratorium scanner. Dalam perkembangan manajemen redaksional, dokumentasi semakin penting, antara lain, sebagai bahan referensi ketika harus menulis kembali peritiwa terbaru yang berkaitan dengan peristiwa lama. Beberapa media massa cetak mempunyai perpustakaan, bahkan melakukan riset perpustakaan untuk laporan/liputan tertentu. Hal ini, tentu saja, akan menambah bobot tulisan atau laporan. Kompas dan Republika biasa melakukan riset seperti itu. 110 Redaktur senior (daerah dan ROL ) hanya mempunyai dua bawahan, yakni redaktur daerah dan redaktur Republika Online (ROL). Khusus diagram alur proses kerja redaksi hingga pembaca, Republika membagi dua bagian besar, yakni proses kerja redaksi dan rencana redaksi untuk terbitan berikutnya. Proses redaksi merupakan tempat pertimbangan dan keputusan dimuat tidaknya berita. Kebijakan redaksional ada di wilayah proses kerja redaksi. Dari proses kerja redaksi, kemudian beralih ke proses kerja visual, proses kerja pracetak, kemudian berlanjut ke proses kerja cetak dan proses kerja distribusi, dan akhirnya sampai kepada pembaca. Bagian kedua. Rencana redaksi untuk terbitan berikutnya mempunyai beberapa item proses meliputi rencana halaman redaksi, rencana halaman iklan, rencana halaman koran, dummy/partitur halaman yang meliputi materi foto dan materi grafis/ilustrasi. Dari rencana halaman redaksi pula, turun ke wilayah naskah redaksi, setting, paste up/layout, reprografi, cetak, distribusi, dan akhirnya sampai ke tangan pembaca. Struktur redaksi Republika selengkapnya diperbaharui dan mulai diberlakukan mulai tanggal 08 Maret 2010. Struktur redaksi Republika ada pada lampiran. 111 4.1.5. Kandidat Presiden dan Wakil Presiden Dari sebanyak bakal kandidat presiden dan wakil presiden yang menghiasi media massa, juga iklan-iklan terbuka di tempattempat umum, hanya tiga pasangan yang kemudian maju jadi kandidat presiden dan wakil presiden. Ketiga kandidat presiden dan wakil presiden itu (sesuai dengan nomor urut Soekarnoputri/Prabowo hasil undian Subianto, di KPU), Susilo Megawati Bambang Yudhoyono/Boediono, dan Jusuf Kalla/Wiranto. Nomor urut kandidat presiden dan wakil presiden itu sendiri hasil undian resmi yag dilakukan KPU di hadapan para kandidat presiden dan wakil presiden sendiri. Nomor urut ini dikukuhkan dalam keputusan KPU. Foto 6 Tiga Pasangan Kandidat Presiden dan Wakil Presiden Foto : Media Centre KPU 112 Media massa cetak memuat pasangan kandidat presiden dan wakil presiden itu, dengan berita, judul berita, dan foto dari sudut pandang masing-masing. Tidak sedikit pula, media massa elektronik yang kemudian memuat karikatur mereka, seperti contoh karikatur kandidat presiden dan wakil presiden seperi di bawah ini: Gambar 3 Karikatur Nomor Urut Kandidat Presiden dan Wakil Presiden Pasangan kandidat presiden dan wakil presiden Megawati Soekarnoputri/Prabowo Subianto mengusung slogan “Pilihan kita”. Dalam bahasa populernya, kandidat ini sering diakronimkan jadi Mega-Pro. Pasangan kandidat Yudhoyono/Boediono mengusung Rakyat. Lanjutkan!”. 113 slogan Susilo Bambang “Terus Berjuang untuk Pasangan kandidat Jusuf Kalla/Wiranto mengusung slogan “Pasangan Nusantara”. Tetapi, pasangan ini lebih dikenal dengan slogan “Lebih Cepat Lebih Baik” yang dipopulerkan Jusuf Kalla. Dari tiga kandidat presiden itu, dua orang di antaranya, berpengalaman jadi presiden : Megawati Soekarnoputri (2001 – 2004) dan Susilo Bambang Yudhoyono (2004 – 2009). Megawati Soekarnoputri pun berpengalaman jadi wakil presiden (1999 – 2001). Ketika itu, presidennya, K.H. Abdurrahman Wahid. Jusuf Kalla berpengalaman jadi wakil presiden (2004 – 2009), dengan presidennya Susilo Bambang Yudhoyono. Prabowo Subianto, baru menjadi kandidat wakil presiden pada pemilu tahun 2009, sama halnya dengan Boediono. Kecuali Wiranto, pernah menjadi kandidat presiden (pemilu 2004) bersama kandidat wakil presiden K.H. Salahuddin Wahid. Semua kandidat presiden dan wakil presiden berasal dari partai politik (parpol), kecuali presiden Boediono, yang berasal dari kalangan profesional (ekonom). Para kandidat yang berasal dari parpol, Megawati Soekarnoputri (ketua DPP PDI Perjuangan), Jusuf Kalla (ketua DPP Partai Golkar), Prabowo Subianto (ketua Dewan Pembina DPP Partai Gerindra, Wiranto (ketua DPP Partai Hati Nurani Rakyat), dan Susilo Bambang Yudhoyono (ketua Pembina DPP Partai Demokrat). 114 Dari enam kandidat presiden dan wakil presiden itu, tiga orang di antaranya berasal dari kalangan militer (jenderal purnawirawan Tentara Nasional Indonesia, TNI), yakni Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, dan Prabowo Subianto. Radio Nederland Wireld Omroep (RNW) mengadakan dalam siaran kata “Dimensi”, pernah jajak pendapat kepada para pendengarnya, terkait dengan latar belakang kandidat presiden dan wakil presiden pada pemilu 2009. Hasil jajak pendapat itu, ternyata militer masih dibutuhkan untuk menjadi presiden di Indonesia. Dari enam kandidat presiden dan wakil presiden itu pula, semuanya berstatus kawin, kecuali Prabowo Subianto. Dalam buku Visi Misi dan Program Calon Presiden dan Wakil Presiden, diterbitkan KPU, tertulis Prabowo Subianto berstatus pernah kawin. Salah satu syarat kandidat presiden dan wakil presiden telah melaporkan kekayaan kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelengagar negara (Huruf f, Pasal V, Bab III, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden). Harta kekayaan kandidat presiden dan wakil presiden, sebagaimana diumumkan KPU, di Media Center KPU, Jakarta, (2905/2009), sesuai dengan nomor urut, Megawati Soekarnoputri sebesar Rp 256.447.223.594, Prabowo Subianto sebesar Rp 1.579.376.223.359 dan US$ 7.572.916, Susilo Bambang Yudhoyono sebesar Rp 6.848.049.611 dan US$ 246.389, Boediono 115 sebesar Rp 22.067.815.019 dan US$ 15.000, Jusuf Kalla sebesar Rp 314.530.794.307 dan US$ 25.668, dan Wiranto sebesar Rp 81.748.591.938 dan US$ 378.625. Pada saat yang sama, KPU mengumumkan pula jumlah dana awal kampanye pasangan kandidat presiden dan wakil presiden, masing-masing, Megawati Soekarnoputri/Prabowo Subianto sebesar Rp15,5 miliar, Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono sebesar Rp20,075 miliar, dan Jusuf Kalla/Wiranto sebesar Rp10 miliar. Dalam pencalonan presiden dan wakil presiden, pasangan Megawati Soekarnoputri/Prabowo Subianto diusung oleh sembilan (9) parpol (20,60% kursi dari 560 kursi di DPR), terdiri dari (a) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), (b) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), (c) Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme), (d) Partai Buruh, (e) Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan), (f) Partai Merdeka, (g) Partai Kedaulatan, (h) Partai Sarikat Indonesia (PSI), dan (i) dan Partai Persatuan Nahdlatul ummah Indonesia (PPNUI). Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono diusung oleh delapan belas (18) parpol (56,07% kursi dari 560 kursi di DPR), terdiri dari (a) Partai Demokrat, (b) Partai KeadilanSejahtera (PKS), (c) Partai Amanat Nasional (PAN), (d) Partai Persatuan Pembangunan (PPP), (e) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), (f) 116 Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS), (g) Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), (h) Partai Bintang Reformasi (PBR), (i) Partai RepulikaN, (j) Partai Patriot, (k) Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI), (l) Partai Matahari Bangsa (PMB), (m) Partai Pemuda Indonesia (PPI), (n) Partai Pelopor, (o) Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), (p) Partai Indonesia Sejahtera (PIS), (q) Partai Perjuangan Indonesia Baru (PIB), dan (r) Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI). Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono mengantongi dukungan parpol terbanyak. Pasangan Jusuf Kalla/Wiranto diusung oleh 2 (dua) parpol (22,32% kursi dari 560 kursi di DPR), terdiri dari Golongan Karya (Golkar) (a) Partai dan (b) Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Ketiga pasangan tersebut memenuhi syarat jadi calon presiden dan wakil presiden karena memenuhi ketentuan paling sedikit didukung oleh 20% kursi di DPR atau 25% suara sah dari pemilu DPR, sebagaimana bunyi Pasal 9, Bab III, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Jumlah kursi DPR sendiri sebanyak 560 (lima ratus enam puluh) buah (Pasal 21, Bab V, Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD). Suara sah hasil pemilu DPR tahun 2009, sebesar 104.099.785 lembar surat suara, dari 77 daerah pemilihan di 33 provinsi se-Indonesia. 117 Hasil pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2009 tersebut, kandidat presiden dan wakil presiden (nomor urut Bambang Yudhoyono/Boediono, memperoleh 2), Susilo suara terbanyak, dengan dukungan 73.876.562 suara (60.80%). Dua pasangan kandidat lainnya, Megawati Soekarnoputri/Prabowo Subianto memperoleh dukungan 32.548 suara (26,79 suara) dan Jusuf Kalla/Wiranto memperoleh dukungan 15.081.818 suara (12,41%). KPU, dalam rapat pleno penetapan calon presiden dan wakil presiden, menetapkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono sebagai kandidat presiden dan wakil presiden terpilih karena sudah memenuhi syarat Ayat 1, Pasal 159, Bab XII, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Hasil rapat pleno itu kemudian dituangkan ke dalam Berita Acara No. 133/BA/VIII/2009 dan Surat Keputusan KPU No. 373/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Maka, dengan peta perolehan suara seperti itu, tidak ada pemilu presiden dan wakil presiden putaran kedua, seperti pada pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004. KPU pun akhirnya bisa menghemat dana sampai Rp40 miliar. 118 Foto 7 Rapat Pleno KPU dalam Penetapan Kandidat Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Foto : Media Centre KPU Foto 8 Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono, Kandidat Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Foto : Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Ottawa Riwayat hidup para kandidat presiden dan wakil presiden selengkapnya, terlampir. 119 4.2. Hasil Penelitian 4.2.1. Analisis Wacana Kritis Debat Kandidat di Kompas 1. Dimensi Teks 1) Tematik Tematik untuk menjawab apa yang dikatakan. Sebuah berita, sebagaimana lazimnya, terdiri dari judul berita, dateline (baris tanggal) tubuh berita yang lazim pula didahului lead, dan diakhiri dengan inisial (penulis berita/editor berita). Berita berunsurkan 5W (who, what, when, where, why) dan 1H (how). Dalam penulisan berita, kelima unsur berita bisa dipastikan ada, termasuk di Kompas dan di Republika. Perbedaannya adalah penonjolan. Sekali waktu, Kompas dan Republika menonjolkan atau mendahulukan what (apa) dan sekali waktu yang lain menonjolkan who (siapa). Oleh karena itu, sering sekali ditemukan kutipan peneliti, pengamat, atau bahkan kandidat presiden dan wakil presiden untuk mengawali sebuah berita. Kompas dan Republika tidak dalam penonjolan ini. akan selalu sama Kutipan penting bagi Kompas, belum tentu dianggap kutipan penting bagi dan sebaliknya. 120 Republika, Sebagai contoh, Kompas mendahulukan what untuk berita yang berjudul “MODERATOR ISU PENTING” dengan onder cop (judul bawah) “Debat Tak Bisa Penuhi Semua Ekspektasi Publik”. Berita itu dimulai dengan what, yakni “Dari tiga kali debat antarcalon presiden dan wakil presiden yang telah dilangsungkan, kualitas debat masih tetap dipersoalkan…”(Kompas, 29/06/209). Tetapi, di berita lain, Kompas mendahulukan who (siapa), seperti dalam judul berita “Pelayanan Publik” (boven cop = judul atas) dan judul berita “PAPARAN JUSUF KALLA SEJALAN DENGAN KONSEP UU PELAYANAN PUBLIK”. Berita itu dimulai dengan unsur who, yakni “Sejak awal, calon presiden M. Jusuf Kalla telah menekankan keterukuran pelayanan yang harus diberikan…” (Kompas, 26/06/2009). Pada umumnya, Kompas mendahulukan what dalam menulis berita, dan hanya beberapa berita saja yang mendahulukan who (kandidat presiden dan wakil presiden). Kompas mendahulukan who dengan menyebut kandidat presiden Jusuf Kalla. 121 Ditulis dalam lead berita, “Calon presiden Jusuf Kalla menegaskan komitmennya untuk menghormati dan menjaga kemajemukannya dengan dasar Pancasila….” (Kompas, 25/06/2009). Dengan mendahulukan unsur who itu, Kompas sebetulnya berkepentingsan dengan pernyataan Jusuf Kalla yang akan memelihara kemajemukan. Ideologi Kompas sendiri adalah humanisme transcendental, yang kurang lebih sama dengan pemeliharaan kemajemukan. Di tengah-tengah kemajemukan Indonesia, meliputi suku, agama, etnis, daerah, dan strata sosial, Jusuf Kalla (kalau terpilih nanti) akan berlaku seadil-adilnya untuk Indonesia. Prinsip Jusuf Kalla, semua warga punya hak yang sama sesuai dengan undang-undang (Kompas, 25/06/2009). alinea kedua Pernyataan Jusuf Kalla ini dimuat untuk lebih menegaskan pada eksistensi humanisme transcendental Kompas. Dalam menyajikan tema debat kandidat, Kompas menempatkan wacana ke dalam 10 rubrik, meliputi (a) berita, (b) tajuk, (c) opini, (d) jajak pendapat, (e) surat pembaca, (f) feature/profile, (g) pojok, (h) kartun/karikatur, (i) foto, dan (j) liputan khusus penajaman visi dan misi kandidat. 122 Berita adalah hasil liputan wartawan di lapangan, ditulis lengkap lengkap dengan rumusan klasik what, who, when, where, why dan how (5W dan 1H). Tajuk merupakan sikap resmi institusi media massa cetak, dimuat khusus dalam kolum tajuk rencana. Opini merupakan karangan yang datang dari luar institusi media massa cetak, tetapi pemuatannya selalu disesuaikan dengan kebijakan jajaran redaksi. Sebuah opini yang dimuat di Kompas, belum tentu dimuat di Republika, dan sebaliknya. Atau, bisa pula kedua-duanya menilai laik naik cetak atau kedua-duanya pula menilai tidak pantas naik cetak. Jajak pendapat atau survai pembaca untuk mengetahui ukuran/parameter ketika ada momentum yang dianggap strategis, seperti pemilu presiden dan wakil presiden. Hasil jajak pendapat ini biasanya ditulis dalam bentuk laporan. Ini merupakan jurnalisme baru (laporan jurnalistik yang berbasis hasil penelitian), disebut jurnalistik presisi. Surat pembaca berupa ungkapan, tanggapan, komentar, koreksi, dan lain-lain, dari pembaca. Pihak redaksi, umumnya 123 meminta melampirkan identitas pengirim surat pembaca, seperti kartu tanda penduduk (KTP), sebagai salah satu syarat pemuatan surat pembaca. Features (sebagian menulis tanpa huruf /s/) adalah berita kisah. Ditulis ringan. Bukan berita, bukan pula opini, tetapi kedua-duanya bisa masuk dalam tubuh features. Unsur subjektivitas wartawan bebas muncul dalam tubuh features. Anggota Dewan Redaksi Pos Kota, Sjaiful Rachim, membandingkan berita dan features : kalau membaca berita, orang akan “melipatkan jidat”, maka features hadir untuk melepaskan “lipatan jidat” itu. Pojok merupakan kolum opini media massa cetak khas di Indonesia. Isinya berupa kritik atau sindiran yang isinya serius, tetapi disampaikan secara jenaka, dengan kalimat yang ringan dan ringkas. Foto adalah fakta gambar di lapangan, dimuat baik untuk melengkapi berita maupun foto lepas. Setiap foto diberi keterangan, istilah jurnalistiknya, caption (keterangan foto). Pada zaman sekarang ini, ketika surat kabar harus bersaing dengan televisi yang bisa menyiarkan apa pun secara langsung, maka features jadi andalan surat kabar. 124 Sekarang ini, media massa cetak jarang memuat straight news (berita lempang) karena memang sudah kehilangan efektivitasnya akibat perkembangan teknologi komunikasi. Opini adalah karangan yang dikirim para ahli, dimuat dalam rubrik khusus “Opini”. Permuatan karangan disesuaikan dengan garis kebijakan redaksional. Jajak pendapat hasil penelitian lapangan, yang kemudian dijadikan berita. Ini merupaka jurnalistik baru, ditandai dengan berita yang berbasiskan penelitian, disebut jurnalisme presisi. Tajuk rencana adalah pemuatan opini atau garis kebijakan Kompas. Surat pembaca adalah ungkapan, kritik, saran, dan lain-lain yang dikirim para pembaca, yang kemudian dimuat dalam kolum “Redaksi Yth.” Jumlah wacana sebanyak sebanyak debat kandidat di Kompas, 110 buah wacana, sepanjang 01 Juni 2009 sampai 08 Juli 2009.Periode ini periode media massa cetak menyajikan wacana kampanye pemilu presiden dan wakil presiden, termasuk wacana debat kandidat presiden dan wakil presiden. Berikut ini, namanama rubrik yang berisi jenis wacana dan jumlah wacana yang dimuat Kompas. 125 Tabel 9 Wacana Debat kandidat di Kompas No. Wacana Jumlah 01. Berita 26 02. Tajuk rencana 4 03. Opini 6 04. Pojok 6 05. Features 6 06. Profil 6 07. 1 08. Jajak Pendapat Kartun 09. Komik 1 10. 11. Redaksi Yth. Foto 58 12. Jumlah 110 1 1 Diolah dari Pusat Informasi Kompas (2010) Kompas memilah tema debat kandidat ke dalam tiga bagian, (a) pelaksanaan debat kandidat, (b) iklan komersial, dan (c) pelaku debat kandidat. Narasumber yang dikutip Kompas cukup berbobot dan punya kapasitas dalam bidangnya. a. Pelaksanaan Debat Kandidat. Media massa, politisi, akademisi, aktivis LSM, dan lain-lain mengeritik/mengomentari pelaksanaan debat kandidat presiden dan wakil presiden, samping mereka pun di mengeritik/mengomentari materi debatnya itu sendiri. Ada 10 narasumber yang diwawancarai Kompas kritik/komentarnya. 126 untuk diminta Para narasumber itu, Susie Berindra (wartawan), Airlangga Pribadi Kusman (dosen UGM), Arie Sujito (dosen UGM), Indra J. Piliang (juru bicara Tim JKWin), Jeirry Sumampau (koordinator Choeri (mantan anggota Pansus KPI), Effendi RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, angora DPR), Ahmad Fauzi Ray Rangkuti (direktur eksekutif LIMA), Nur Hidayat Sardini (ketua Bawaslu), Zaenal Arifin (Pusat Kajian Antikorupsi UGM), dan Happy Salma (selebritas). Susie sebetulnya Berindra bukan menilai, debat debat kandidat, kandidat melainkan semacam uraian pendapat calon presiden dan wakil presiden. Airlangga Pribadi Kusman menilai debat kandidat hanya ajang para calon untuk menjaga imaji diri agar terlihat tampak paling baik. Ari Sujito menilai penampilan kandidat para calon presiden seperti manajer saja. Jeirry sumampau menyebut debat kandidat sebagai percakapan yang sangat normatif. 127 Effendi kehilangan Choeri esensi. menyebut Agun debat kandidat Gunanjar Sudarsa merasakan debat kandidat seperti cerdas cermat. Ahmad Fauzi Rangkuti melihat debat kandidat tidak berkembang. Hidayat Nur Wahid menilai, berlangsung monoton. debat kandidat Zaenal Arifin Mochtar menganggap debat kandidat tidak perlu karena hanya mendengarkan pembicaraan belaka, padahal yang dibutuhkan aksi nyata. Happy Salma menganggap debat kandidat seperti lomba pidato atau cerdas cermat. Kompas sendiri, untuk menunjukkan sikap resminya, menurunkan tajuk rencana mengenai debat kandidat itu, dengan judul “Format Debat Capres” (Kompas, 22 Juni 2009). b. Iklan Komersial dalam Debat Kandidat Kompas kompeten mengambil narasumber yang cukup untuk diminta pendapatnya tentang pelaksanaan debat kandidat, di bawah judul berita “Esensi Debat Malah Hilang. Tayangan Didominasi iklan Komersial”. 128 Debat Banyak pihak dalam debat yang mengeritik iklan komersial kandidat. Iklan dinilai sangat mengganggu. Para pengeritik mengakui, debat perlu, tetapi harus dibiayai sepenuhnya oleh KPU (APBN) sesuai dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Anggota KPU Andi Nurpati (kini, pengurus DPP Partai Demokrat) mengatakan, bahwa KPU hanya menganggarkan honor untuk pembicara, sedangkan televisi sanggup menyediakan tempatnya. (Kompas, 29/06/09). Dengan demikian, anggaran debat kandidat presiden dan wakil presiden itu ditanggung bersama oelh KPU dan televisi. Ke depan, seperti aspirasi para ahli, debat kandidat presiden dan wakil presiden harus sepenuhnya dibiayai KPU (APBN), sehingga tidak ada lagi iklan komersial. Ketua KPU, Prof. Dr. H.A. Hafidz Anshary, M.A., dalam wawancara dengan peneliti, di Kota Cilegon (Provinsi Banten), Rabu 25/11/2010, mengakui ke depan sangat mungkin debat kandidat presiden dan wakil presiden itu sepenuhnya didanai APBN, sehingga tidak ada iklan komersial. 129 Dari tujuh narasumber yang dikutip Kompas, sehubungan dengan pelaksanaan debat kandidat presiden dan wakil presiden, tidak menyetujui adanya iklan komersial. Effendi Choiri secara tersirat tidak menyetujui adanya iklan komersial dalam debat kandidat presiden dan wakil presiden. Oleh karena itu, anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga mantan anggota Pansus Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ini mengusulkan agar debat dipertimbangkan di Televisi Republik Indonesia (TVRI) saja karena televisi publik, yang nantinya bisa tanpa iklan komersial, karena didirikan negara, independen, dan tidak komersial, sebagaimana bunyi Ayat (1), Pasal 14, Bab III, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Direktur Eksekutif LIMA, Fauzy Ray Rangkuti menyayangkan debat kandidat presiden dan wakil presiden itu disuguhi iklan yang menjurus pada komersialisasi acara. Ekonom, Aviliani, (yang juga jadi moderator debat kandidat presiden dan wakil presiden), mengusulkan agar debat kandidat itu dibiayai APBN saja. 130 Hal yang sama diusulkan pula oleh Direktur Eksekutif Reform Institute, Yudi Latif. Kehadiran iklan komersial dalam debat kandidat itu disesalkan Direktur Budget Indonesia Centre, Arif Nur Alam, karena posisi KPU jadi tidak independen. Direktur LIMA, Fauzi Ray Rangkuti meminta agar KPU berani meniadakan iklan komersial dalam debat kandidat. Juru Presiden Bicara Jusuf Kandidat Presiden Kalla/Wiranto, Juddy dan Wakil Chrisnandi menyebut bahwa jawaban kandidat harus lebih panjang dari iklan. Para pengamat sepakat, debat kandidat presiden dan wakil presiden diperlukan, tetapi tidak boleh dibiayai iklan. Seperti sudah disebutkan terdahulu, televisi swasta sangat mengandalkan iklan. Siaran televisi tidak dijual kepada khalayak. Berbeda dengan media massa cetak yang dijual eceran atau dibeli pelanggan. Berikut ini, tabel tentang iklan komersial dalam debat kandidat yang dimuat Kompas. 131 Tabel 10 Iklan Komersial dalam Debat Kandidat di Kompas No. Tanggal Nama Jabatan/Pekerjaan Kritik/Kamentar Debat dipertimbangkan di TVRI yang merupakan televisi publ k Rakyat disuguhi iklan yang menjurus pada komersialisasi acara Debat seharusnya dibiayai penuh oleh KPU (APBN), bukan oleh televisi 01. 25/06/09 Effendi Choeri Mantan anggota Pansus Pemilu Presiden 02. 25/06/09 Fauzi Ray Rangkuti Direktur Eksekutif LIMA 03. 02/07/09 Aviliani Ekonom 04. 02/07/09 Yudi Latif Direktur Eksekutif Reform Insitute 05. 29/06/09 Arif Nur Alam 06. 29/06/09 Fauzi Ray Rangkuti Direktur LIMA 07. 25/06/09 Yuddy Chrisnandi Juru bicara Tim Kampanye JK-Win Direktur Indonesia Budget Centre (IBC) Debat seharusnya dibiayai APBN Adanya iklan, posisi KPU tidak indepeden KPU harus meniadakan iklan komersial dalam setiap acara debat Jawaban capres harus lebih banyak dari iklan Diolah dari Pusat Informasi Kompas (2010) c. Kritik Terhadap Para Kandidat di Kompas Di samping itu, Kompas melalui rubrik “Timun”, menyambut debat kandidat presiden dan wakil presiden itu, tetapi kemudian dianggap tidak menarik dengan sindiran, “Kok…bikin ngantuk…ya??...” (Kompas, 27/06/09). Di rubrik , “Pojok” pun, dengan tokohnya Mang Usil, Kompas menyebut debat kandidat presiden dan 132 wakil presiden itu sebagai debat kusir minus argumentasi (Kompas, 20/06/09). Mang Usil pun menyebut debat kandidat presiden dan wakil presiden itu “Maunya impresif, kok, malah kurang ekspresif!” (Kompas, 27/06/09). Mang Usil pula ingin agar debat itu seru, bertanding, sehingga tampak ada yang kalah debat dan ada yang menang debat. Mang Usil kesal, dan katanya, .”Namanya debat, harus ada yang kalah dan yang menang!” (Kompas, 22/06/09). Meski begitu, melalui tajuk rencananya, Kompas memandang perlu adanya debat kandidat presiden dan wakil presiden, tetapi dengan catatan betul-betul terjadi perdebatan. Soal kalau adanya ketegangan dalam perdebatan, Kompas mengingatkan bahwa tak akan lantas kiamat. Debat dunia yang diinginkan Kompas adalah minimal dialog yang aktif (Kompas 22/06/09). Komentar/kritik para narasumber terhadap pelaksanaan debat kandidat Kompas, sebagai berikut: 133 yang diturunkan Tabel 11 Kritik Terhadap Para Kandidat di Kompas No. Tanggal Nama Jabatan/Pekerjaan 01 20/06/09 Susie Berindra Wartawan 02. 22/06/09 Airlannga Pribadi Kusman Dosen Unair Komentar/Kritik Bukan debat, namun semacam uraian pendapat capres Debat belum memenuhi rasa keingintahuan masyarakat Debat hanya jadi ajang calon untuk menjaga imaji diri agar terlihat yang paling baik 03. 22/06/09 Arie Sujito Dosen UGM 04. 23/06/09 Indra J. Piliang Juru bicara Tim JkWin 05. 24/06/09 Jeirry Sumampau 06. 25/06/09 Effendi Choeri Mantan anggota Pansus RUU Pemilu Acara debat kehilangan esensi 07. 25/06/09 Agun Gunanjar Sudarsa Mantan anggota Panitia Khusus RUU Pemilu Presiden Itu bukan debat, malah seperti cerdas cermat 08. 25/06/09 Ahmad Fauzi Ray Rangkuti Direktur Eksekutif Lingkar madani (LIMA) Debat sama sekali tidak berkembang 09. 25/06/09 Nur Hidayat Sardini Ketua Bawaslu Debat capres dan cawapres masih monoton Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia (KPI) 10. 25/06/09 Zaenal Arifin Mochtar Pusat Kajian Ant korupsi UGM 11. 27/06/09 Happy Salma Selebritas Penampilan para capres seperti manajer saja Percakapan sangat normative Tak perlu lagi mendengarkan debat. Itu Cuma bicara kata, yang dibutuhkan aksi nyata Debat seperti lomba pidato atau cerdas cermat Sumber : Pusat Informasi Kompas, ( 2010) 134 2) Skematik Skematik adalah untuk menjawab pertanyaan bagaimana wacana disusun dan dirangkai. Kompas dalam menyusun atau merangkai wacana debat kandidat presiden dan wakil presiden disampikan melalui berita, tajuk rencana, wawancara, foto, tajuk, karikatur, liputan khusus, dan opini. Untuk penelitian opini, Kompas menampilkan para pakar di bidangnya. Pengamat politik, ahli hukum tata negara, bahkan mantan anggota KPU diajak ikut beropini tetang debat kandidat, seperti Valina Singka Subekti. Dalam tajuk rencana, Kompas hanya menginginkan debat kandidat yang berkualitas dan jawaban-jawaban para kandididat yang cerdas. KPU pun diminta lebih profesional dalam penyelenggaraan debat kandidat itu. Secara keseluruhan, Kompas tidak mengarahkan atau mengisyaratkan agar pembaca memilih salah satu kandidat. Semua diberi porsi yang sama dalam dan opini. berita Kompas tidak mengeritik pasangan kandidat, tidak pula menonjolkan salah satu pasangan kandidat, tetapi mengeritik secara tajam pelaksanaan debat kandidat, jawaban para kandidat, dan bahkan mengeritik 135 tajam iklan komersial yang ditayangkan di tengah-tengah debat kandidat. Kompas tidak secara langsung mengeritik, tetapi melalui wacana berita dengan narasumber para ahli di bidangnya. Pemilihan narasumber ini jelas penting karena untuk meraih kepercayaan khalayak pembaca. Kompas menyajikan wacana debat kandidat dengan bahasa yang jelas, lugas, baik dalam tajuk rencana, opini, berita, sehingga mudah dipahami khalayak pembaca. Kompas lebih banyak menulis liputan wartawan dengan melibatkan banyak narasumber daripada beropini di rubrik “tajuk rencana”. 3) Semantik Semantik untuk menjawab makna yang ingin disampaikan. Wacana debat kandidat di Kompas selalu mendahulukan pentingnya pemilihan presiden dan wakil presiden secara umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Kompas tidak mendahulukan unsur who (siapa), tetapi lebih banyak mendahulukan unsur how (bagaimana) proses debat kandidat dengan puncaknya penggunaan hak pilih. 136 “Jajak Pendapat” Kompas, misalnya, diberi judul yang bernafaskan how, yakni judul “Kekuatan Gagasan dan Kemasan dalam kampanye” (Kompas, 22/06/2009). Kampanye di sini termasuk debat kandidat. Kompas ingin mengajak khalayak pembaca menilai siapa di antara kandidat yang lebih kuat gagasannya sehingga pantas jadi presiden dan wakil presiden, dan tanpa harus menyebutkan kandidat presiden dan wakil presiden itu, baik secara tersurat maupun secara tersirat. Jajak pendapat Kompas tidak untuk menyebutkan pasangan kandidat mana yang lebih unggul menurut khalayak pembaca. Sebetulnya, Kompas bisa dan biasa melakukan jajak pendapat ini. Tetapi, hasil jajak pendapat bisa merugikan Kompas sendiri yang nantinya akan dijadikan bahan kampanye salah satu pasangan kandidat. Hasil jajak pendapat, mesti saja ada pasangan kandidat yang unggul dalam jajak pendapat itu. Tidak adanya jajak pendapat perolehan dukungan ini, tentu lebih aman bagi Kompas, dan untuk mengamankan pemasaran. Hasil jajak pendapat bisa dianggap sebagai pesan tesirat salah satu pasangan kandidat, yang nantinya bias berdampak negatif pada pemasaran. 137 Dalam “Tajuk menonjolkan format debat Rencana” pula, Kompas, pasangan mana pun, kecuali kandidat. Kompas tidak mengeritik mengeritik ketiga pasangan kandidat, karena yang terjadi sebetulnya bukan debat, melainkan lebih cenderung sebagai dialog. Kompas menginginkan, setidaknya yang terjdi adalah dialog yang aktif (Kompas, 22/06/2009). 4) Sintaksis Sintaksis untuk menjawab bagaimana wacana disampaikan. Dalam banyak wacana, Kompas memilih kalimat-kalimat yang sangat hati-hati agar tidak terkesan berpihak pada salah satu pasangan kandidat. Sudah jadi garis kebijakan Kompas yang tidak boleh berpihak, baik langsung maupun tidak langsung, baik tersurat maupun tersirat. Kompas sering mengutip opini para ahli untuk mendasarkan berita-beritanya. Ini sebagai bukti bahwa Kompas tidak menulis berita secara imajiner, tetapi berdasarkan opini yang datang dari orang yang memang ahlinya. Dalam beberapa opini, kalau saja Kompas menyebut satu pasangan kandidiat, mesti saja diikuti dengan dua pasangan kandidat lainnya. 138 Sekadar contoh, Kompas menulis, “Kita menunggu munculnya bentuk paralelisme dan bahasa figuratif Bung Karno dari Megawati untuk memukau pemilih, varietas kromo dan disklaimer dari SBY, guna menarik pilihan rakyat, dan kata-kata bijak Amanagappa dan legaligo dari JK untuk meyakinkan pemilih spirit perjuangan (Kompas, 07/07/2009). Tiga anak kalimat terakhir dari ketiga kandidat presiden : “untuk memukau pemilih” (Megawati), untuk menarik pilihan rakyat (SBY), dan untuk meyakinkan pemilih (JK) menunjukkan kesetaraan “pilih salah satu”. Kompas tidak memilih untuk tidak memilih salah satu kandidat. Di sini, tidak ada satu pun kalimat yang digunakan Kompas untuk menekankan atau mengarahkan pilihan khalayak pembacanya. Penyebutan nama dari ketiga kandidat itu pun bukan untuk mendahulukan salah satu kandidat presiden, melainkan memang itulah nomor urut yang dimiliki masing-masing, sesuai dengan hasil undian di KPU. Menempatkan salah satu kandidat presiden yang tidak sesuai dengan nomor urut, bisa ditafsirkan khalayak pembaca sebagai kecenderungan atau bahkan dukungan. 139 Sampai urusan tepuk tangan spontan hadirin debat kanddiat, ditulis pula Kompas. Kandidat Jusuf Kalla memperoleh tiga kali tepuk tangan, kandidat Megawati Soekarnoputri memperoleh sekali tepuk tangan, dan kandidat Susilo Bambang Yudhoyono tanpa tepuk tangan (Kompas, 03/07/2009). Penulisan nama kandidat presiden itu berdasarkan jumlah tepuk tangan, dari yang paling banyak memperoleh tepuk tangah sampai yang tidak memperoleh tepuk tangan. Soal pelanggaran waktu, para kandidat ditulis melanggar semua, sesuai dengan fakta. Kandidat Susilo Bambang Yudhoyono melanggar satu (1) kali, kandidat Jusuf Kalla melanggar tiga (3) kali, dan kandidat Megawati Soekarnoputri melanggar delapan (8) kali (Kompas, 03/07/2009). Penulisan nama kandidat tidak berdasarkan nomor urut kandidat, tetapi berdasarkan urut-urutan dari yang paling sedikit melanggar sampai yang paling banyak melanggar. Kompas menulis ketiga-tiganya, bukan dalam penekanan siapa yang paling banyak tepuk tangan atau siapa yang melainkan untuk menunjukkan banyak melanggar, melainkan kesetaraan kandidat presiden dan wakil presiden. 140 penyebutan ketiga Penyebutan Kompas untuk kesetaraan ketiga pasangan kandidat tercermin pula dalam debat kandidat dengan topik pengentasan kemiskinan dan lapangan kerja. Kompas memasukkan topik ini ke dalam item jajak pendapat, sedangkan item debat kandidat lainnya hanya merupakan berita biasa. Kompas melihat, pengentasan kemiskinan lapangan kerja merupakan problem nasional dan dan program yang harus didahulukan oleh presiden dan wakil presiden terpilih. Dalam setiap kampanye, kandidat presiden dan wakil presiden mesti saja berbicara masalah pengentasan kemiskinan dan lapangan kerja. Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan bahwa kandidat presiden dan wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono dipersepsikan lebih bagus dalam paparan usaha pengentasan kemiskinan dan lapangan kerja, sedangkan dua pasangan kandidat presiden dan wakil presiden lainnya, Jusuf Kalla/Wiranto dipersepsikan dianggap bagus dan pasangan Megawati Soekarnoputri/Prabowo Subianto dipersepsikan bagus. 141 Tabel 12 Konstruksi Kompas terhadap Kandidat No. 01. Kandidat Konstruksi Megawati Soekarnoputri/Prabowo Dipersepsikan bagus Subianto Susilo Bambang Lebih bagus Yudhoyono/Boediono Jusuf Kalla/Wiranto Dianggap bagus Sumber : Diolah dari “Jajak Pendapat Kompas”, 22/06/200 02. 03. 5) Stilistik Stilistik untuk menjawab pilihan kata yang dipakai. Bahasa yang digunakan Kompas adalah bahasa jurnalistik, dengan berpedoman pada bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kompas mempunyai perhatian khusus pada bahasa, ditandai dengan adanya rubrik “Bahasa”, yang ditulis para ahli bahasa. Bahasa yang digunakan Kompas bahasa Indonesia jurnalistik baku, terutama bisa terbaca pada judul (cop) atau anak-anak judul, baik boven cop (anak judul di atas) maupun under cop (anak judul di bawah). Pemenggalan awalan kata, seperti /me/ pada judul berita, sudah biasa dilakukan media massa cetak. Ini digolongkan ke dalam bahasa Indonesia jurnalistik (bahasa jurnalistik Indonesia). Untuk memelihara kualitas bahasa, Kompas mempunyai redaksi bahasa, di bawah pimpinan manajer redaksi. Manajer redaksi ini mempunyai tiga bawahan, 142 yakni editor bahasa, supervisor penyelaras bahasa, dan penyelaras bahasa. Di sinilah bahasa Kompas diselaraskan dengan kebijakan Kompas sendiri. Seluruh naskah Kompas dimasukkan ke manajer bidang redaksi sebelum kemudian diserahkan ke bagian produksi. Gaya bahasa Kompas, dalam beberapa wacana debat kandidat, mengadopsi istilah-istilah nonpolitik, seperti migrasi dan mesin dalam judul “Pilpres 2009 : Migrasi Politik dan Hasil Mesin Partai” (Kompas, 08/07/2009). Berita ini ditulis persis pada hari penggunaan hak pilih pemilu presiden dan wakil presiden (08/07/009). Judul yang ditulis Kompas itu pun mengutip pengamat politik, dari Reform Institute, Yudi Latief, dalam acara diskusi publik bertajuk “Membedah Akurasi Hasil Survei dan Prediksi Pilpres” (Kompas, 08//07/2009). Kompas mengutip pengamat komunikasi politik, Effendi Ghazali, bahwa hasil pilpres akan menentukan nasib sejumlah lembga riset yang memprediksi hasil pilpres (Kompas, 03/07/2009). Di sini, Kompas lebih tertarik mengutip nasib lembaga riset pascapilpres daripada memprediksi siapa yang akan menjadi pemenang pilpres. 143 6) Retoris Retoris untuk menjawab pertanyaan bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan. menampilkan debat kandidat, Kompas Dalam di antaranya menggunakan kalimat atraktif sensasional, seperti judul ”anak tiri pembangunan” untuk olahraga karena kurang diwacanakan para kandidat (Kompas, 03/07/09). Penggunaan “anak tiri” merupakan hiperbolik. Olahraga, sepi dari wacana debat kandidat, dan lebih banyak dikuasai dengan tawaran-tawaran pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Kompas ingin menekankan perlunya olahraga diperhatikan. Oleh karena selama ini tidak serius diperhatikan, Kompas mengibaratkan olahraga dengan “anak tiri” yang dalam struktur keluarga menempati urutan “kedua” setelah anak kandung. Ada kalimat lain yang digunakan Kompas sebagai penekanan, dan tergolong hiperbolik yakni kalimat “…andaikan dalam debat yang sempat bersitegang terbawa emosi, dunia tidak lantas kiamat..” (Kompas, 22/06/09). Penggunaan kalimat “dunia tidak akan lantas kiamat” terhitung hiperbolik, 144 dan digunakan untuk menekankan pentingnya debat kandidat itu betul-betul terjadi perdebatan, bukannya dialog antarkandidat. Kompas menulis bahwa pemilu presiden dan wakil presiden adalah sebagai “industri kekuasaan”, karena sebagai proses politik untuk memperoleh hasil berupa kekuasaan dan legitimasi publik (Kompas, 04/07/09), Kekuasaan itu, pada akhirnya hanya untuk keuntungan kelompok tertentu. Kompas menginginkan, kekuasaan itu harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan, siapa pun penguasanya. Inilah pula yang diusung Kompas dalam pemberitaan-pemberitaannya. (Wawancara dengan Kepala Desk Hukum dan Politik Kompas, Tri Agung Kristanto). Dengan menggunakan kalimat “industri kekuasaan”, Kompas ingin mengingatkan bahwa pemilu presiden dan wakil presiden tidak boleh dianggap sebagai mesin untuk memproses kekuasaan yang kemudian digunakan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Selebritas Happy Salma menyebut debat kandidat sebagai teater politik. Menurutnya, teater-teater lainnya muncul, seperti teater ilmu, teater pers, dan teater agama sebagai akibat adanya kepalsuan (Kompas, 27/0/209). 145 2. Dimensi Kognisi Sosial Berita debat kandidat presiden dan wakil presiden di bawah tanggung jawab Kepala Desk Politik dan Hukum Kompas, Tri Agung Kristanto. Kompas memberi wewenang kepada Tri Agung untuk memuat secara utuh atau dengan penulisan ulang atau malah sama sekali tidak memuat sama sekali berita debat kandidat presiden dan wakil presiden yang dikirim wartawan di lapangan. Tri Agung redaksional sendiri sudah dibekali garis kebijakan agar berita-berita debat kandidat presiden dan wakil presiden tetap netral, tidak memihak, baik secara tersembunyi atau apalagi secara terang-terangan terhadap salah satu kandidat presiden dan wakil presiden. Tri Agung dilahirkan di Yogyakarta, 04 Maret 1969. Pendidikan terakhir Pendidikan dari SD Yogyakarta. Lulus S-2 sampai dari Manajemen Prasetya Mulya. perguruan tinggi ditempuh di Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gajah Mada, tahun 1997. Meski beragama Kristen Katolik, Tri Agung diterima juga jadi wartawan Radio INISI milik Universitas Islam Indonesia (UII), tahun 2002-an. Di radio ini, Tri Agung bertahan sekitar 1,5 tahun. 146 Teman-temannya di Radio INISI sedikit heran, karena seorang Kristen Katolik mau masuk ke radio Islam. Waktu itu, Tri Agung menjawab, “Kalau radio mau besar, harus terbuka untuk siapa saja”. Tri Agung sendiri belajar agama Islam, baik secara formal maupun secara nonformal. Tri Agung pun belajar agama Hindu. Di lingkungan Kompas sendiri, Tri Agung sering diminta pendapatnya tentang berita-berita yang menyangkut Islam dan umat Islam. Tri Agung terhitung fasih tentang Islam dan Hindu. Untuk pencarian keyakinan? “Untuk pengetahuan,” jawab Tri Agung. Sebelum bekerja di Kompas pula, Tri Agung pernah jadi wartawan Bernas (Yogyakarta) dan Surya (Surabaya). Tri Agung bertugas jadi kepala Biro Kompas Yogyakarta dan Jateng, tahun 2003. – 2004. Dari tahun 2004 – 2006, jadi kepala Biro Jateng, setelah Biro dipecah jadi dengan Biro Yogyakarta. Dari tahun 2006 – 2010, Tri Agung diangkat jadi wakil kepala Desk Politik dan Hukum. Mulai tahun 2010, Tri Agung diangkat jadi kepala Desk Politik dan Hukum. Jabatannya ini cukup strategis, terutama untuk berita-berita politik, termasuk berita-berita debat-debat calon presiden dan wakil presiden. 147 Tri Agung agar tidak menyaring berita-berita politik dan hukum ditunggangi kepentingan pihak eksternal, melainkan semata-mata kepentingan publik. Kompas mempunyai standar tersendiri dalam proses peliputan dan pemuatan berita. Hal ini belum tentu berlaku untuk media massa cetak yang lain. Ada dua hal di sini, yakni wartawan sebagai pihak yang mencari, menulis, dan mengirimkan berita ke kantor redaksi, dan pihak yang mengedit atau menyeleksi laporan itu sehingga laik muat sesuai dengan kebijakan Kompas. Sekurang-kurangnya, sebuah berita lolos untuk dicetak setelah menempuh pertimbangan di tingkat redaktur, di tingkat redaktur pelaksana/redaktur senior, dan di tingkat pemimpin redaksi. Untuk berita-berita yang terpenting, biasanya sampai didiskusikan di tingkat pemimpin redaksi (dewan redaksi). Seorang redaktur di Kompas berhak untuk mengedit, menyesuaikan, dan bahkan mempertimbangkan dimuat atau tidak dimuat sesuatu berita hasil liputan wartawan. Berita debat kandidat ditangani oleh Desk Politik dan Hukum, sebagai jenjang pertama sebelum naik ke jenjang yang lainnya, sampai akhirnya berita itu muncul keesokan harinya di Kompas. 148 Dalam wawancara dengan peneliti, Tri Agung mengaku sering menerima liputan wartawan yang berpihak kepada salah satu pasangan kandidat. Menurut Tri Agung, liputan berita seperti itu tentu saja ditulis ulang agar tidak berpihak. Ada liputan berita yang memang sudah memenuhi standar Kompas, ada yang ditulis ulang agar memenuhi standar Kompas, dan ada pula liputan yang tidak dimuat karena tidak memenuhi standar Kompas. Terutama dalam peliputan berita, Kompas menerapkan humanisme transcendental (persatuan dalam keberagaman) sehingga menempatkan diri sebagai partner atau tidak berpihak kepada salah satu pasangan kandidat. Meski begitu, diakui Tri Agung, sering terjadi perdebatan di kalangan internal bahwa Kompas berpihak kepada salah satu pasangan kandidat. Suatu waktu, Kompas disebut kemerah-merahan (berpihak kepada Megawati Soekarnoputri/Prabowo Subianto), disebut pula kebiru-biruan (berpihak kepada Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono), dan suatu waktu yang lain disebut kekuning-kuningan (berpihak kepada memastikan, bahwa Jusuf Kalla/Wiranto). Tri Agung keberpihakan terhadap pasangan kandidat tidak ada. Kalaupun ada penafsiran dari kalangan internal, itu merupakan tafsiran pribadi, bukan institusi. 149 Kebijakan humanisme transcendental diterapkan pula pada opini yang dikirim para penulis ahli yang kemudian dimuat dalam kolum “Opini”. “Tajuk Rencana”, yang merupakan tempat (kebijakan Kompas sendiri) tidak opini pula digunakan untuk mengarahkan pilihan kepada salah satu pasangan kandidat. Pesan “Tajuk Rencana” yang ada, malah kritik terhadap KPU selaku penyelenggara debat kandidat dan kritik terhadap para kandidat yang tidak mau berdebat, padahal perdebatan antarkandidat ditunggu-tunggu khalayak pemirsa. 3. Dimensi Konteks Sosial Hari-hari menjelang penggunaan hak pilih (08/07/2009), Kompas menyajikan halaman khusus penajaman visi dan misi para kandidat, di bawah kolum “Kandidat”, lengkap dengan foto setiap kandidat. Setiap kandidat diberi halaman yang cukup, delapan (8) halaman, kecuali kandidat presiden dan wakil presiden Megawati Soekarnoputri/Prabowo Subianto yang memakan 10 (sepuluh) halaman. Perlakuan istimewa dengan lebihnya jumlah halaman di “Kandidat” ini bisa dimaklumi karena Kompas dan Megawati 150 Soekarnoputri khususnya mempunyai hubungan khusus berupa kedekatan karena kaitan sejarah. Nama Kompas sendiri pemberian Presiden Soekarno (ayah Megawati Soekarnoputri), dan Presiden Soekarno pula yang merestui penerbitan Kompas. Semula, koran ini akan diberi nama Bentara Rakyat, tetapi Presiden Soekarno menggantinya dengan nama Kompas. Dengan restu Presiden Soekarno, meski harus menempuh prosedur yang tidak mudah, akhirnya Kompas bisa terbit. Para pendiri Kompas, ketika itu, seperti Frans Seda, mengusahakan persyaratan administratif, sampai jauh menempuh perjalanan dari Jakarta ke tempat di Nusa Tenggara Timur (NTT), beberapa hanya untuk memperoleh dukungan tertulis, karena memang izin prinsip dari Presiden Soekarno sudah dikantongi. Meski begitu, pihak Kompas membantah kalau ada perlakukan istimewa terhadap salah satu kandidat presiden dan wakil presiden. Sudah jadi kebijakan redaksi, bahwa kandidat presiden dan wakil presiden akan diperlakukan sama. Salah satu contohnya, saat ketiga kandidat presiden (Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jusuf Kalla), berkunjung secara bergantian ke Kompas. 151 Ketiga kandidat presiden itu diterima oleh orang nomor satu di Kompas, Jakob Oetama. Berita kunjungan kandidat presiden itu semua dimuat di halaman pertama, dilengkapi foto warna Jakob Oetama dan kandidat presiden yang berkunjung ke Kompas. Demikian pula dalam berita, opini, dan karya jurnalistik yang lain, ketiga kandidat presiden dan wakil presiden selalu diberi porsi atau ruang yang sama, sehingga tidak ada kesan mengistimewakan salah satu kandidat presiden dan wakil presiden. Soal ada kecenderungan di jajaran redaksi atau di kalangan wartawan, diakui Kepala Desk Hukum dan Politik Kompas, Tri Agung Kristanto, dalam wawancara mendalam dengan peneliti, memang ada, tetapi tidak boleh muncul dalam berita. Di sinilah perlunya filter. Liputan wartawan mengenai kandidat presiden dan wakil yang tampak berpihak, kemudian disunting agar sesuai dengan kebijakan redaksional. Sudah lumrah memang menyunting berita di kalangan redaksi. Tulis ulang pun mungkin dilakukan, misalnya, berita yang asalnya mendahuklukan who (siapa), kemudian ditukar dengan mendahulukan what (apa). Who atau what jadi penting dalam penulisan berita. 152 Kompas tidak mau terjebak dalam pengkotak-kotakan, baik politik, agama, atau aliran apa pun. Dengan memilih atau berpihak pada salah satu kandidat presiden dan wakil presiden, Kompas merasa mengisolasikan diri, yang kelak akan dikhawatirkan berakibat buruk pada pasar juga. Di sini, artinya, ada kepentingan ekonomi di balik jaga jarak yang sama dengan para kandidat presiden dan wakil presiden itu. Ini sejalan dengan sikap Jakob Oetama, yang sejak lama selalu memikirkan pula tentang keberlangsungan Kompas dan para awaknya yang sudah semakin besar. Sebuah berita, di halaman pertama yang menyebut bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono gagal menyelenggarakan pemerintahan. Ada yang menelepon, menyayangkan judul berita itu. Pihak Kompas yang ditelepon adalah Jakob Oetama, bukan pemimpin redaksi Kompas, karena memang Kompas ada “di tangan”nya. Kompas mempunyai semacam alat kontrol untuk memelihara kebijakan humanisme transendental-nya melalui pembentukan perkumpulan resmi Kompas dan perkumpulan yang di bawah tidak resmi naungan yang merupakan partisipasi komunitas pembaca setia Kompas. 153 Suara mereka sangat didengar, dan masukan mereka sangat diperhatikan. Kompas tidak mau ideologi humanisme transcendental sebagai klaim pihak internal saja, tetapi juga ada semacam legitimasi dari pihak eksternal yang merupakan kelompok independen. Perkumpulan resmi dan tidak resmi itulah yang menempati posisi independen. Surat pembaca dalam kolum “Redaksi Yth” ditemukan yang berisi kekecewaan bahwa tidak Kompas berpihak kepada salah satu pasangan kandidat. Surat pembaca yang ada menginginkan agar debat kandidat berlangsung dengan mengedepankan etika kalau mengeritik dan kritik harus dilontarkan para kandidat sambil tidak melupakan etika. Pembaca Kompas menilai, debat politik di televisi sering menjatuhkan citra lawan tanpa fakta. Pembaca pun mengharapkan agar semua tim sukses pemenangan menjaga etika (Kompas, 20/06/2009). Banyak para peneliti yang tampil di Kompas, dan khusus mengomentari debat kandidat. Kompas pun menampilkan features debat kandidat, seperti yang ditulis Maria Hartiningsih, di bawah judul “Kesantunan Anies R. Baswedan”, moderator saat debat kandidat presiden Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jusuf Kalla (Kompas, 21/06/2009). 154 Kompas menurunkan features ini karena Maria Hartiningsih hanya memunculkan pesona moderator Anis R. Baswedan semata, dan sama sekali tidak terkait dengan salah satu kandidat presiden. Kalau saja features Maria menonjolkan salah satu, kandidat presiden, pastilah ditulis ulang agar atau sama sekali tidak dimuat. Oleh berimbang, karena Maria Hartiningsih “orang dalam” Kompas, maka sudah pasti mengetahui persis kebijakan redaksional Kompas. Penyanyi Caroline Zachrie, di tengah-tengah kesibukannya mempromosikan single perdananya “So Right” (Selalu di Hatiku), sempat pula berkomentar soal kandidat presiden dan wakil presiden. Perempuan Belanda ini keturunan Palembang, menginginkan pemimpin Padang, dan yang bisa membangkitkan rakyat Indonesia dan bisa membangun infrastruktur, dan bisa pula melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, termasuk perubahan yang lebih baik untuk penyanyi (Kompas, 05/07/2009). Selebritas Happy Salma, mengaku kecewa atas pelaksanaan debat kandidat karena yang terjadi hanyalah semacam lomba pidato atau cerdas cermat. 155 Happy Salma menilai, debat kandidat itu sama saja dengan beberapa judul reality show, sinetron, atau film. Happy Salma merasa tidak menemukan perdebatan dalam debat kandidat (Kompas, 27/06/2009). 4.2.2. Analisis Wacana Kritis Debat Kandidat di Republika 1. Dimensi Teks 1) Tematik Tematik untuk menjawab apa yang dikatakan. Seperti halnya Kompas, Republika pun dalam menyajikan berita sewaktu-waktu mendahulukan what, dan sewaktu-waktu pula mendahulkukan who, tergantung mana yang dianggap paling penting untuk didahulukan. Dalam tubuh berita, lead amat strategis, paling penting, dan sering jadi agenda setting, jadi media agenda. Contoh berita debat kandidat di Republika yang mendahulukan what, di bawah judul “Tim SBY Tantang Debat”. Berita dimulai dengan, “Perdebatan antarkandidat capres/cawapres dan dua tim kampanye kandidat selama ini dinilai tidak berbobot” (Republika, 16/06/2009). 156 Dalam opini pun, ada yang didahulukan what, seperti opini yang ditulis Iman Sugema. Opini wacana di Republika yang mendahulukan what, di bawah judul “Debat Capres dan Masalah Pengangguran”. Wacana opini itu dimulai menyaksikan dengan what, yakni “Kita telah debat antarcapres tentang good governance yang tidak begitu menarik untuk ditonton”. Republika pun mendahulukan who dalam beberapa beritanya, seperti dalam judul “Pilih yang Aspiratif terhadap Umat”. Who yang didahulukan merupakan lembaga, yakni sekitar 40 organisasi masyarakat Islam. Beritanya, “Sekitar 40 organisasi masyarakat Islam yang tergabung dalam Forum Ukhuwwah Islamiyyah (FUI) berkumpul di gedung Majlis Ulama Indonesia (MUI)…” (Republika, 07/07/2009). Berkumpulnya sekitar 40 organisasi masyarakat Islam itu berkaitan dengan tausiyah (nasihat) tentang pasangan mana yang harus dipilih umat Islam. Republika mengisyaratkan agar memilih yang aspiratif terhadap umat. Tidak jelas, umat yang mana dalam judul berita itu, tetapi kemudian bisa diperjelas ketika membaca tubuh berita. Di situ tertulis dalam alinea ketiga, yakni aspirasi umat Islam. 157 Menjadi penting dalam hal ini, setidak-tidaknya dalam tiga point. Pertama, berita ditulis sehari menjelang penggunaan hak pilih (08 Juli 2009). Kedua, who berita adalah sekitar 40 organisasi masyarakat Islam. Ketiga, where (tempat) pertemuan, yakni di MUI, yang merupakan tempat berkumpulnya para ulama Islam. Dari ketiga point tadi, sudah bisa ditebak, ke mana Republika mengarahkan pilihan warga pada tanggal 08 Juli 2009. Republika menghendaki agar pasangan kandidat yang dipilih adalah yang aspiratif terhadap umat Islam. Ini berkaitan dengan ideologi Islam (ahlu sunnah wal jamaah) yang dianut Republika. Republika, dalam mendistribusikan wacana debat kandidat ke dalam beberapa rubrik, sesuai dengan klasifikasi wacana debat kandidat itu sendiri. Republika membagi-bagi wacana debat kandidat ke dalam berita, kebijakan redaksi, opini, surat pembaca, survai, pojok, features, dan profil. Wacana berupa berita dan tajuk dipastikan datang dari pihak internal Republika, sedangkan opini datang dari pihak eksternal, dari penulis yang mengirimkan opininya ke Republika. 158 Tabel 13 Wacana Debat Kandidat di Republika No. 01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09 10. 11. 12. Wacana Jumlah Berita 20 Tajuk rencana 2 Opini 3 Pojok 1 Features 4 Profil 6 Jajak Pendapat 1 Surat Pembaca 2 Kartun Komik 1 Surat Pembaca 2 Foto 41 Jumlah 73 Sumber : Diolah dari Pusat Data Republika,( 2010) Wacana debat kandidat di Republika terbagi kepada beberapa kategori besar, (a) pelaksanaan debat kandidat, (b) kritik terhadap para kandidat, dan (c) iklan komersial. a. Pelaksanaan Debat Kandidat Republika debat menurunkan wacana pelaksanaan kandidat presiden dan wakil sebanyak 3 (tiga) narasumber, yakni (ketua Tim Kampanye presiden Hatta Rajasa Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono), Hidayat Nur Wahid (ketua Bawaslu), dan Dodi Ambardi (ketua LSI). Hatta Rajasa menyebut debat kandidat presiden dan wakil presiden tidak berbobot. Hidayat Nur Wahid menganggap tidak perlu saling klaim keberhasilan 159 oleh para kandidat. Ambardi menilai, debat kandidat itu tidak akan mengubah peta dukungan. Para pengamat politik hampir semua menyebut pelaksanaan debat kandidat presiden dan wakil presiden belum memuaskan, bahkan cenderung tenggang rasa untuk saling berdebat. Khalayak pemirsa ingin menyaksikan perdebatan yang aktif. Pelaksanaan debat kandidat belum memenuhi harapan. Kritik/komentar para narsumber yang diturunkan Republika, sebagai berikut: Tabel 14 Pelaksanaan Debat Kandidat di Republika No. Tanggal Nama Jabatan Kritik 01. 16/06/09 Hatta Rajasa Ketua Tim Kampanye SBYBoediono Debat tidak berbobot 02. 16/06/09 Hidayat Nur Wahid Ketua MPR Saling klaim atas hasilhasil pembangun an tidak perlu 03. 04/07/09 Dodi Ambardi Direktur LSI Debat tidak mampu mengubah peta dukungan 04. 20/06/09 Fajar Nur Sahid LP3ES Debat normatif dan monoton Sumber : Diolah dari Pusat Data Republika, (2010) 160 b. Iklan Komersial dalam Debat Kandidat Republika menurunkan berita mengenai iklan komersial di televisi saat debat kandidat presiden dan wakil presiden itu narasumber sebanyak 5 (lima) kali. Republika itu, Yulianto, Kelima Danang Widoyoko, Ray Rangkuti, Daniel Zuchron, dan Hadar N. Gumay. Wakil Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasioal (KRHN), Yulianto meminta agar iklan dalam debat kandidat itu dievaluasi. Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko meminta agar KPU transparan dalam kontrak kerja KPU dan televisi. Tanpa adanya transparansi, kata Danang, dikhawatirkan adanya dugaan-dugaan miring, apalagi kalau sudah menyangkut uang. Koordinator JPPR, Daniel Zuchron menilai iklan dalam debat kandidat itu mengganggu jalannya debat. Direktur LIMA, Ray Rangkuti, menilai porsi iklan dalam debat kandidat itu berlebihan. Direktur Cetro, Hadar N. Gumay, mengusulkan agar iklan komersial itu ditempatkan di awal atau akhir debat kandidat. 161 Dari kelima narsumber yang diwawancarai Republika kandidat itu, semua menginginkan debat tetap ada, tetapi intinya tidak boleh terganggu oleh iklan komersial. Permintaan Direktur Cetro Hadar N. Gumay agar iklan komersial itu ditempatkan di awal atau di akhir saja. Intinya, iklan tidak boleh mengganggu jalannya debat kandidat. Tabel 15 Iklan Komersial dalam Debat Kandidat di Republika No. Tanggal Nama 01. 22/06/09 Yulianto Jabatan Wakil Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) 03. 25/06/09 Danang Widoyoko Koordinator ICW 04. 25/06/09 Ray Rangkuti Direktur LIMA 05. 25/06/09 Daniel Zuchron Koordinator Nasional JPPR 06. 25/06/09 Kritik Keberadana iklan perlu dievaluasi Transparansi atas kontrak kerja sama harus dilakukan KPU Porsi iklan berlebihan Iklan mengganggu jalannya debat Iklan di awal Hadar N. Direktur atau akhir acara Gumay CETRO debat Sumber : Diolah dari Pusat Data Republika, (2010) Para narasumber yang diwawancarai Republika sepakat dengan para narasumber yang diwawancarai Kompas. Debat kandidat perlu, tetapi debat yang lebih berbobot, tanpa iklan komersial pula. 162 2) Skematik Skematik untuk menjawab pertanyaan bagaimana wacana disusun. Wacana debat kandidat disajikan Republika disampaikan melalui beberapa rubrik, dengan para pakar sebagai mempertimbangkan narasumbernya. kualitas narasumber Republika untuk menanamkan kepercayaan dari khalayak pembaca, dan diharapkan para narasumber itu mewakili pula khalayak pembaca. Moderator memandu debat, dan para kandidat melaksanakan perdebatan. Pemirsa bisa mengetahui bagaimana setiap kandidat menyusun kalimat. Republika menurunkan wacana secara tersirat agar khalayak pembaca memilih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono atau pasangan Jusuf Kalla/Wiranto. Wacana kandidat presiden dan wakil presiden Megawati Soekarnoputri/Prabowo Subianto dimuat pula secara profesional, tetapi tidak ada isyarat agar khalayak pembaca memilihnya. Meski begitu, Republika mengemas semua wacana atau pesan-pesan itu dengan berpatokan pada kaidahkaidah jurnalistik. Profil Megawati Soekarnoputri pun ditulis dalam bentuk features. 163 Rapublika tidak ingin terjebak dalam pusaran politik praktis sehingga tampak jelas sebagai “juru kampanye” kedua pasangan kandidat itu (Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono dan Jusuf Kalla/Wiranto). Wacana debat kandidat di Republika disusun sedemikian rupa, secara professional, lalu didistribusikan ke dalam rubrik-rubrik yang tersedia. Seluruh wacana ditulis secara profesional, dan sekilas tidak tampak adanya pesan-pesan khusus yang tersurat, yang diarahkan agar khalayak pembaca memilih kandidat presiden dan wakil presiden tertentu. 3) Semantik Semantik untuk ditekankan. Dalam itu, menjawab makna yang ingin menyajikan wacana debat kandidat Republika menekankan pentingnya pemilu presiden dan wakil presiden, secara langsung, dan pentingnya debat kandidat. Penekanan agar khalayak pembaca memilih pasangan kandidat presiden dan wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono atau Jusuf Kalla/Wiranto, ditunjukkan dengan angka-angka hasil survai dan ramalan para pengamat atau politisi. 164 Peneliti senior Lembaga Survey Indnesia (LSI), Arbi Sanit, misalnya, menyebut bahwa pasangan Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono bisa saja terpilih dalam satu putaran. Kata Arbi Sanit, “…pasangan ini yang mempunyai relatif sedikit mempunyai dosa politik…”. Beritanya berjudul, ”Arbi : SBY Bisa Saja Menangi Satu Putaran” (Republika, Republika, melainkan 05/07/2009). Ini bukan opini opini Arbi Sanit yang kemudian dijadikan judul berita. Pada berita yang sama, Republika mengunggulkan Jusuf Kalla/Wiranto, berdasarkan hasil wawancara dengan peneliti LSI yang lain, Burhanuddin Muhtadi. “Asosiasi masyarakat selama ini selalu memberi nilai tertinggi pada JK karena tampil relatif lebih baik di tengah debat” (Republika, 05/07 //2009). Setelah dua kali debat di televisi, Republika melaporkan bahwa pemilih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono tetap tinggi yakni 63%, pasangan Megawati Soekarnoputri/Prabowo Subianto cenderung stabil 20%, dan pasangan Jusuf Kalla/Wiranto naik dari 7% menjadi 11%. (Republika, 05/07/2009). 165 Dari paragraf di Yudhoyono/Boediono atas, dan Susilo Jusuf Bambang Kalla/Wiranto diunggulkan, dengan bahasa tetap tinggi (Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono), cenderung Soekarnoputri), kenaikan Kalla/Wiranto). dan stabil (Megawati perseratus (Jusuf Berita lain yang ditulis Republika tampak mengedepankan pasangan Yudhoyono/Boediono dan Susilo Bambang Jusuf Kalla/Wiranto, dengan judul berita, “SBY dan JK Diprediksi Lolos Putaran Kedua (Republika, 04/07/2009). Berita tersebut mengutip pernyataan pakar marketing politik, Firmanzah. Menurut hasil pengamatan Firmanzah dalam beberapa kali debat kandidat. “Saya kira, yang akan maju ke putaran kedua adalah SBY dan JK” (Republika, pernyataan Ekonomi UI 04/07/2009). Firmanzah, yang Dengan juga dekan mengutip Fakultas itu, Republika menonjolkan SBY dan JK, sedangkan Megawati Soekarnoputri disebut tak pernah dapat menunjukkan langkah kongkret dan janjinya. Republika mengadakan jajak pendapat melalui online. Hasilnya, Jusuf Kalla unggul dibandingkan dengan kandidat presiden yang lain (Republika, 28/06/209). 166 Ekonom dari The Indonesian Economic Intelligence (TIEI), Sunarsip, menilai debat kandidat presiden dengan angka tujuh (7) untuk Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jusuf Kalla, dan angka enam (6) untuk Megawati Soekarnoputri. Ekonom Purbaya Sadewa sembilan koma lima (9,5) untuk member nilai Susilo Bambang Yudhoyono, nilai delapan (8) untuk Jusuf Kalla, dan nilai enam koma lima (6,5) untuk Megawati Soekarnoputri. Ekonom senior, Ichsanuddin Noorsyi memberi nilai enam (6) untuk Jusuf Kalla, nilai lima (5) untuk Susilo Bambang Yudhoyono, dan nilai Soekarnoputri. Pengamat empat (4) untuk Megawati politik Burhanuddin Muhtadi tidak memberi nilai angka, tetapi nilai tuturan, yakni Susilo Bambang Yudhoyono berbicara sistematis, artikulatif, dan responsif. Jusuf Kalla berbicara argumentatif, eksploratif, berbicara normatif, tidak fokus, dan selalu melihat ke belakang. Burhanuddin Muhtadi pun menyebut Megawati sebagai kandidat penggembira (Republika, 28/06/2009). Republika pun melaporkan perseratus hasil jajak pendapat Republika Online mengenai penampilan debat kandidat yang paling baik. Hasilnya, Jusuf Kalla 59%, Susilo Bambang Yudhoyono 36,9%, dan Megawati Soekarnoputri 4,1%. 167 Republika menulis berita dengan judul “SBY 7, JK 7, Mega 6,5 (Republika, 19/06/2009). Dalam tubuh berita itu, pakar administrasi pemerintahan daerah FISIP UI, Eko Prasojo member nilai tujuh (7) untuk Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, dan nilai enam koma lima (6,5) untuk Megawati Soekarnoputri. Berita Republika berjudul “SBY dan JK Naik Tipis, Mega Turun” (Republika, 20/06/2009). Judul berita itu berasal dari hasil penelitian Fajar Nur Sahid, kepala Divisi Lembaga Pendidikan, Penelitian, dan Penelitian Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Penilaian LP3ES ini berdasarkan hasil penelitian setelah debat kandidat presiden ditayangkan televisi pada tanggal 18 Juni 2009. Fajar Nur Sahid menyebutkan, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla saat menjawab pertanyaan mampu menjawab rasional. Dalam Soekarnoputri dan meyakinkan sebagian pemilih menjawab dinilai tidak pertanyaan, mampu Megawati menampakkan kecerdasan berpikir sehingga bisa bisa ditinggalkan pemilih rasional. Pemilih rasional sendiri rata-rata tinggal di kota. Di bawah ini, nilai angka yang diberikan para pengamat/peneliti terhadap para kandidat presiden dan wakil presiden: 168 Tabel 16 Nilai Angka Para Kandidat Presiden di Republika No. Hari/Tgl Peneliti 01. 02. 03. 19/06/09 28/06/09 28/06/09 Eko Prasojo Sunarsip Purbaya Sadewa 04. Nilai Megawati 6,5 6 6,5 28/06/09 Ichsanuddin N. Jumlah NIlai (Rata-rata Nilai) Dari SBY 7 7 8 JK 7 7 9,5 4 5 6 23 (5,75) 27 (6,75) 29,5 (7,4) Diolah dari Pusat Data Republika, ( 2010) data nilai tersebut di atas, kalau nilai setiap kandidat presiden dijumlahkan, masing-masing, Megawati Soekarnoputri = 23, Susilo Bambang Yudhoyono = 27, dan Jusuf Kalla = 29,5. Lalu, kalau dibagi empat (sesuai dengan jumlah peneliti), sebagai nilai akhir rata-rata, maka nilai Megawati Soekarnoputri = 5,75, nilai Susilo Bambang Yudhoyono = 6,75, dan nilai Jusuf Kalla = 7,4. 4) Sintaksis Sintaksis untuk menjawab bagaimana wacana disampaikan. Oleh karena Republika media massa yang berideologi Islam, dan mendukung kandidat presiden dan wakil presiden Susilo Bambang Yudhotono/Boediono atau Jusuf Kalla/Wiranto maka berita-berita yang dimuat terutama menjelang hari-hari penggunaan hak pilih adalah aspirasi umat Islam untuk memilih kandidat presiden dan wakil presiden tertentu. 169 Republika, seperti sudah dikemukan terdahulu, menulis bahwa 40 ormas Islam yang tergabung dalam Forum Ukhuwwah Islamiyah (FUI) meminta agar segenap bangsa Indonesia menggunakan hak pilihnya dan memilih kandidat presiden dan wakil presiden diyakini dapat menjamin, melindungi, dan menampung aspirasi umat Islam, seperti disampaikan Penasihat FUI, H. Amidan (Republika, 07/06/2009). 5) Stilistik Stilistik untuk menjawab pilihan kata yang dipakai . Untuk menunjukkan bahwa Yudhoyono/Boediono pasangan Susilo Bambang atau pasangan Jusuf Kalla/Wiranto, pantas terpilih jadi presiden dan wakil presiden, Republika menggunakan pilihan kata menang (Republika, 05/06/2009), lolos (Republika, 04/07/2009), dan unggul (Republika, 28/06/2009), untuk meyakinkan khalayak pembaca. Dalam pelaksanakan menggunakan menantang 16/09/2009). kata debat perdebatan, tantang, kandidat Kata keberanian. 170 tantang Tim maksudnya yang lain. untuk Tim SBY SBY (Republika, menunjukkan 6) Retoris Retoris untuk menjawab pertanyaan bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan. Republika tidak secara terus terang menekankan agar khalayak pembaca memilih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono atau Jusuf Kalla/Wiranto, tetapi pesan-pesan Republika dititipkan pada rubrik-rubrik tertentu seperti suplemen. Isi suplemen, mengangkat profil seorang kandidat wakil presiden Boediono dengan segala kelebihannya, baik dalam skill kelimuannya, ketenangan keluarganya, dan kesalehan pribadi dan keluarganya. Dengan profil seperti itu, Republika ingin menyampaikan pesan bahwa Boediono pantas jadi wakil presiden. Pemilihan terhadap Boediono, pada surat suara, otomatis itu pula pilihan terhadap Susilo Bambang Yudhoyono. Kandidat wakil presiden Boediono disebut sebagai imam, baik imam dalam keluarga maupun imam dalam salat berjamaah (Republika, 03/07/2009). Istilah imam, lekat dengan ajaran Islam, terutama ibadah wajib salat berjamaah. 171 Dalam salat berjamaah, ada imam dan ada pula makmum. Islam mengharamkan rokok, dan sebagiannya lagi menjatuhkan hukum makruh (diberi pahala kalau ditinggalkan, tetapi tidak disiksa kalau dilakukan). Hukum makruh ini yang menjadi sikap Boediono, setidak- tidaknya dalam debat kandidat dengan pokok bahasan kesehatan, bertemakan bahaya merokok. Republika menulis judul “Lingkaran Setan Rokok” (Republika, 04/07/2009). Kalimat “lingkaran setan” tampak bombastis dan sensasional untuk sebuah judul, dan isi tajuk menunjukkan bahwa rokok perlu dilarang atau sangat dibatasi di Indonesia karena membahayakan kesehatan tubuh. Oleh karena itu, sepantasnya kalau rokok dilarang, atau minimal dibatasi. Republika lebih mendukung kandidat wakil presiden Boediono yang meminta dipertegas pembatasan penggunaan dan iklan rokok. Kandidat wakil presiden yang lain, Prabowo Soebianto dan Wiranto, meminta dipertimbangkan kalau ada Undang-undang Larangan Merokok. Ketiga kandidat wakil presiden dalam posisi yang sama : tidak berani mengajukan Undang-undang Larangan Merokok (Republika, 04/07/2009). 172 Tetapi, Boediono lebih maju selangkah karena mengajukan pembatasan dalam penggunaan dan iklan rokok. Republika lebih menguatkan sikap Boediono, dengan berbagai argumentasi, tetapi dengan judul “Lingkaran Setan Rokok”, karena rokok tidak sederhana kalau dilarang, terutama di Indonesia. Larangan merokok ini sejalan pula dengan hasil ijtihad ormas Islam seperti Muhammadiyyah yang mengharamkannya, atau Persatuan Islam (Persis) yang sejauh ini menempatkan rokok di atas halal, tetapi di bawah haram alias lebih terpuji kalau tidak merokok atau hukumnya makruh Sikap Republika dalam tajuknya mengenai rokok, itu setidak-tidaknya sejalan pula dengan hasil ijtihad ormas Islam yang ada. “Pemilik” ideologis Republika di antaranya ormas-ormas Islam. 2. Dimensi Kognisi Sosial Republika menerapkan standar peliputan yang hampir sama dengan media massa cetak yang sudah profesional lainnya. Jabatan tertinggi untuk urusan isi adalah pemimpin redaksi yang dibantu oleh wakil pemimpin redaksi, kemudian untuk jabatan terdistribusikan ke beberapa bidang di bawah redaktur pelaksana dan redaktur senior. 173 Bedanya dengan media massa cetak yang lain, redaktur senior membawahkan redaktur daerah dan redaktur Republika online. Di media massa cetak yang lain, redaktur senior seperti jadi seorang pengarah atau tempat meminta pertimbangan. Berita debat kandidat presiden dan wakil presiden jadi tanggung jawab pula Wakil Redaktur Pelaksana Republika, M. Irwan Ariefyanto. Jabatan wakil redaktur pelaksana terhitung strategis, karena menjadi pendamping redaktur pelaksana yang mempunyai wewenang eksekusi dimuat tidaknya sesuatu berita, sebelum kemudian menjadi keputusan pemimpin redaksi. Pengalaman Irwan di beberapa jabatan di Republika, terutama redaktur politik, redaktur hukum, dan redaktur politik dan hukum, serta asisten redaktur pelaksana politik, hukum, dan investigasi sangat membantu untuk melaksanakan tugastugas sebagai wakil redaktur pelaksana. Irwan Ariefyanto mempunyai satu istri dan dua anak. Pendidikan, S-1 dan magister manajemen di Universitas Padjajaran (Bandung). Pernah menjadi reporter di olahraga, hiburan, gaya hidup, politik dan hukum., di DKI Jakarta. Bekerja di Republika sejak tahun 1996. 174 Jadi redaktur wilayah tahun 2000, redaktur hiburan dan gaya hidup 2001, redaktur politik 2002-2004, redaktur hukum 2005-2008, asisten redaktur pelaksana politik, hukum, dan investigasi 2008 - 2010. Mulai tahun 2010, jadi wakil redaktur pelaksana. Irwan mengetahui persis tugas-tugasnya, dan memahami betul bahwa Republika berideologi koran komunitas umat Islam. Islam dan merupakan Oleh karena itu, Irwan tahu persis apa yang harus dilakukannya sebagai wakil redaktur pelaksana. Dalam peliputan debat kandidat presiden, Republika meminta seluruh presiden dan wakil wartawannya netral dalam menuliskan laporannnya. Baru di tingkat redaksi, berita dipoles untuk kepentingan kandidat presiden dan wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono atau Jusuf Kalla/Wiranto (Wawancara dengan Wakil Redaktur Pelaksana Republika, Moh. Irwan Ariefiyanto). 3. Dimensi Konteks Sosial Republika jelas dan tegas menyebut media massa cetak Islam, dan tempat menampung aspirasi umat Islam. karena itu, Republika Oleh selalu membela kepentingan umat Islam melalui berita-beritanya maupun melalui tajuknya. 175 Pembelaan Republika terhadap umat Islam itu bisa dimaklumi karena memang kelahirananya dari ”rahim” ICMI. Salah satu dari tiga program ICMI adalah menerbitkan media massa cetak Republika sendiri menyebut sebagai koran komunitas muslim. Keislaman Republika diformat sebagai rumah yang nyaman bagi seluruh kelompok. Republika di atas dan untuk semua golongan, seperti ormas-ormas Islam, lembaga, majlis taklim, partai politik, dan seterusnya. Lebih spesifik lagi, kelompok-kelompok Islam yang dimaksud adalah yang mempunyai kesamaan akidah atau ideologi, yakni ahlusunnah wal jamaah, seperti yang dianut Muhammadiyyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad, dan seterusnya. Republika menekankan bahwa Islam Republika adalah Islam nasionalis, Islam rahmatan li ‘l’aalamiin yang juga bermanfaat untuk nonmuslim (Utomo : 2010 : 4 -5) Ideologi Islam yang dianut Republika tercermin dalam karya jurnalistiknya, seperti berita atau tajuk rencana. Setiap lembar koran Republika ideologi Islam. 176 diusahakan merupakan cermin Pada awal kelahirannya, Republika didanai umat Islam melalui pembelian saham PT Abdi Bangsa, penerbit Republika ketika itu (kini, penerbitnya Mahaka Media). Pembeli saham perdananya adalah Haji Muhammad Soeharto dan Hj. Ny. Fatimah Tien Soeharto (Republika, 19/01/’93). Pilihan Republika terhadap dua pasangan kandidat presiden dan wakil presiden itu didasarkan pada keyakinan bahwa kedua pasangan kandidat presiden dan wakil presiden itu lebih menguntungkan umat Islam daripada kandidat presiden dan wakil presiden Megawati Soekarnoputri/Prabowo Subianto. Meski Megawati Soekarnoputri seorang hajjah, juga Prabowo Subianto mendahulukan seorang haji, pasangan Republika lebih Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono atau Jusuf Kalla/Wiranto. Kandidat presiden dan wakil presiden itu semuanya haji, kecuali Boediono.Kalau dikaitkan dengan ideologi ahlu sunnah wal jamaah yang dianut Republika, ke-tidak berpihak-an kepada Megawati Soekanoputri bisa dimaklumi. dalam beberapa wacana yang diturunkan Tetapi, Republika, terungkap bahwa Republika sendiri ada di pihak ahlu sunnah wal jamaah yang membolehkan perempuan jadi presiden. 177 Republika mengambil tiga pendekatan dalam hal ini, yakni (a) pendekatan sosial, (b) pendekatan historis, dan (c) pendekatan masalahat, sebagai berikut: a. Pendekatan Sosial “Menurut cara pandang atau perspektif gender, adanya pengharaman wanita menjadi presiden adalah pandangan bias gender yang cenderung menempatkan posisi wanita di bawah pria. Hal ini merupakan penindasan atas hak wanita yang pada dasarnya memiliki hak yang sama dengan pria termasuk dalam bidang politik. Berangkat dari pandangan demikian, maka wajar apabila kemudian muncul pertanyaan bahwa penyumbatan hak perempuan menjadi pemimpin, jelas-jelas berlatar belakang politik” (Republika, 27 November 1998). b. Pendekatan Historis “Bahwa perdebatan soal kepemimpinan perempuan seakan tidak melihat fakta sejarah yang memberi kebebasan perempuan di masa lalu duduk menjadi pemimpin. Misalnya dalam sejarah Aceh yang pada jamannya pernah dipimpin oleh wanita. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Quraish Shihab (Staf pengajar IAIN Syarif Hidayatullah) yang menegaskan bahwa kaum perempuan sebenarnya memiliki hak politik yang sama dengan kaum pria. Terlalu banyak bukti yang menyebutkan perempuan terlibat dalam kepemimpinan di jaman Rasulullah saw. Misalnya istri Rasulullah, Aisyah pernah memimpin perang. Oleh karenanya sangat keliru kalau kita hanya berdasar pada satu dua hadist soal kepemimpinan wanita. Oleh karena itu selama perempuan mampu mempersatukan bangsa dan memimpin bangsa dan negara dengan baik maka tak ada larangan bagi wanita untuk menjadi pemimpin negara. Ungkapan senada diutarakan oleh pengasuh pondok pesantren Daruttafsir Arjowinangun Cirebon, KH A. Husein Muhammad. Pakar fiqih ini mengemukakan bahwa pandangan semua ahli fiqih , peran politik dalam arti amar ma’ruf nahi munkar memberi kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Namun dalam berpolitik praktis 178 kesempatan itu tdiak sama. Oleh karenanya perlu melihat realita sosial. Dimana sudah banyak perempuan yang menjadi pemimpin negara dan pemerintahan” (Republika , 27 November 1998). c. Pendekatan Maslahat “Bahwa semua pertimbangan yang memberi kesempatan kaum perempuan memimpin bangsa ini harus didasarkan pada kemaslahatan umat. Dra Keusnendar, mantan anggota DPR dari PPP menyatakan bahwa perlu ada persyaratan yang sesuai dengan kondisi bangsa dan negara agar kepemimpinan umat ini membawa manfaat bagi umat. Dalam konteks ini ia sepakat bila saat ini lebih baik kaum lelaki yang menjadi pemimpin. Dengan kata lain tidak menutup kemungkinan suatu saat wanita bisa menjadi seorang pemimpin”.(Republika,27November1998).( http://www.angelfire.com/md/alihsas/haramnya.html ,30/01/11). Ketua Persatuan Ulama Internasional, Syekh Yusuf AlQardhawy, memfatwakan bahwa perempuan boleh jadi presiden. Fatwa Syekh Yusuf Al-Qardhawy itu kontan menuai krtitik dari organisasi Ikhwanul Muslimin yang selama ini dibina Syekh Yusuf Al-Qardhawy sendiri. Pendekatan syariah tentang tidak bolehnya perempuan jadi presiden sudah banyak diungkapkan para ulama terdahulu, berdasarkan Alquran dan Sunnah, seperti Syekh Taqiyuddin An-Nabhany dan Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab klasik Nizhamul Hukum fil Islaami. 179 Di kitab itu disebutkan bahwa ada tujuh syarat mutlak khalifah, yakni muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan mampu. Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya Al-Jaami’ul Ahkaamil Qur’an (Juz I, Hal. 270) menyebut laki-laki sebagai salah satu syarat khalifah. Perkara yang diperdebatkan adalah boleh tidaknya perempuan jadi hakim. terkenalnya, Mukaddimah, Ibnu Khaldun dalam kitab (terjemahan Osman Raliby, penerbit CV Bulan Bintang, Jakarta) juga menyebut laki-laki sebagai salah satu syarat khalifat. Imam Al-Qasqasyandi menyebutkan bahwa sahnya khalifah menurut mazhab As-Syafi’iy adalah adanya syarat laki-laki sebagai syarat pertama. Hubungan Republika dengan Prabowo Subianto pernah buruk ketika Orde Baru masih berjaya. Tulisan Amien Rais dalam rubrik “Resonansi” , edisi 29 Mei 1977, dengan judul “Kejujuran”, sangat menyentak penguasa, dan menyebabkan “jatuh korban” di lingkungan internal Republika. Kalimat yang tidak berkenan bagi penguasa ketika itu adalah ajakan Amien Rais untuk tidak memilih 180 statusquo. Artinya, bisa dipahami, bahwa rakyat sudah saatnya tidak lagi memilih Golkar. Ketika itu, Golkar adalah lambang statusquo. Di sebuah ruangan di Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi (BPPT), Prabowo marah. Di ruangan ini, ada Haryanto Danutirto, Adi Sasono, Habibie, dan Nasir Tamara. Prabowo menilai, tulisan Amien Rais berbahaya “Ini berbahaya, tidak boleh dibiarkan,” kata Prabowo, tegang. “Kenapa tulisan seperti ini lolos!” kata Prabowo pula. Dari empat kandidat presiden dan wakil presiden itu (Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono Kalla/Wiranto), hanya jusuf Kalla saja yang dan Jusuf berlatar belakang NU. Bagi Republika, meskipun para kandidat umumnya bukan dari kalangan ormas Islam, (kecuali Jusuf Kalla, seperti disebut di atas) tetapi diyakini akan lebih menguntungkan umat Islam dibandingkan dengan kandidat presiden dan wakil Soekarnoputri/Prabowo subianto. 181 presiden Megawati Keluarga beragama, Wiranto termasuk disebut-sebut dalam terhitung berpakaian muslimah taat di lingkungan keluarganya. Dukungan Republika terhadap Boediono, antara lain, karena perannya yang cukup besar dalam mendorong perbankan syariah. Pada saat menduduki jabatan gubernur Bank Sentral, meski hanya setahun, (17 Mei 2008 – 17 Mei 2009), Boediono mendukung perkembangan industri perbankan Islam, dan Boediono pula yang mendukung pengesahan RUU Perbankan Syariah. (Republika, 03/07/2009). Boediono disebutkan pula sangat memperhatikan agama dan menempatkannya di atas kepentingan politik, seperti terungkap dalam debat kandidat wakil presiden di SCTV (23/09/09). Boediono ingin menempatkan agama di posisi sakral, dan tidak boleh dipermainkan. Boediono, menurut istrinya, Herawati, selalu memonitor keluarga untuk memastikan pelaksanaan salat lima waktu. Boediono pun sering salat berjamaah dengan anggota 03/07/2009). 182 keluarganya (Republika, Salat berjamaah sekeluarga (dengan diikuti anak dan istri), sekaligus menunjukkan bahwa Herawati muslimah, bukan nonmuslimah seorang seperti yang diisukan selama ini oleh beberapa media massa cetak. Telah disebutkan pada BAB I, bahwa agama yang dipeluk istri Boediono, Herawati, disebut-sebut Kristen, tetapi kemudian dibantah, dan Republika nemampilkan keislaman Herawati. 4.3. Pembahasan 4.3.1. Konstruksi Realitas di Kompas dan Republika Baik Kompas maupun Republika tidak jauh berbeda dalam prosesi menerapkan cara yang pemuatan berita, sejak dari lapangan sampai tercetak di media massa. Di lapangan, wartawan diminta objektif, netral, dan tidak memihak kepada salah satu pasangan kandidat presiden dan wakil presiden. Kompas menggariskan ideologi humanisme transcendental (persatuan dalam perbedaan), sedangkan Republika menggariskan ideologi Islam. Perbedaan ideologi tersebut pada akhirnya memengaruhi kebijakan redaksional. Di Kompas, memang, ada aturan ketat di tingkat jajaran redaksi. Wartawan Kompas, meki sudah dibekali ketentuan harus netral dalam menulis laporan debat kandidat, ternyata tetap ada saja 183 wartawan yang berpihak kepada salah satu kandidat presiden dan wakil presiden. Liputan wartawan seperti ini, kalau tidak ditulis ulang, tentu saja tidak dimuat karena tidak sejalan dengan ideologi humanisme transcendental yang dianut Kompas. Republika menerapkan hal yang sama dengan Kompas untuk tingkat wartawan di lapangan. Wartawan diminta objektif, netral, dan tidak berpihak. Bedanya kemudian, Republika memoles laporan dengan melengkapi data atau fakta liputan tertentu. Berita, features, dan opini Republika diarahkan untuk kepentingan kandidat presiden dan wakil presiden tertentu yang diyakini akan lebih menguntungkan umat Islam. Apa yang dilakukan Kompas dan Republika itu adalah samasama menceritakan peristiwa-peristiwa, dan sekaligus merekonstruksikan fakta, sesuai dengan kepentingan masingmasing. Ibnu Hamad, sebagaimana sudah dikemukakan terdahulu pada BAB II, mengungkapkan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang telah direkonstruksi (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna. 184 Maka, dengan sendirinya, ditambah dengan fakta-fakta di atas, wacana yang dimuat Kompas dan Republika pun adalah realitas yang telah direkonstruksikan. Kalau dihubungkan dengan perspektif positivisme dan perspektif teori kritis, maka jelas media massa di sini ada di pihak perspektif teori kritis, karena hasil liputan adalah cermin ideologi atau kepentingan-kepentingan tertentu. Berbeda dengan perspektif positivisme yang justru liputan wartawan harus dua sisi, dua pihak, kredibel, objektif, dan menyingkirkan opini dan pandangan subjektif dari pemberitaan. 4.3.2. Perilaku Media Massa Cetak Media massa cetak di Indonesia diatur oleh undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini merupakan lompatan terbesar selama ini, sejak terbit Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Media massa cetak sekarang ini tidak lagi diwajibkan punya surat izin usaha penerbitan pers (SIUUP). Tanpa SIUPP, pada zaman Orde Baru, mustahil sebuah media massa cetak bisa terbit. Demikian pula, seorang pemimpin redaksi mustahil bisa lolos kalau tidak ada rekomendasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ketika itu, satu-satunya organisasi wartawan yang direstui 185 Pemerintah adalah PWI. Salah satu kekuatan PWI, berwenang menerbitkan rekomendasi untuk seseorang yang akan menjadi pemimpin redaksi. Sekarang, rekomendasi PWI itu tidak ada lagi. Dewan Pers ketika itu, otomatis diketuai Menteri Penerangan RI. Pers langsung di bawah pembinaan Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, Departemen Penerangan RI. Hal yang paling besar dan mendasar pascareformasi adalah tidak ada lagi breidel terhadap media massa cetak seperti zaman Orde Lama atau zaman Orde Baru. Kompas dan Republika mengalami masa-masa zaman Orde Baru, dan merasakan “pahit”nya zaman Orde Baru. Tetapi, Kompas, jauh lebih dari itu, karena terbit pada zaman Orde Lama, dan merasakan pula “pahit”nya Orde Lama, antara lain, ketika harus berhenti terbit untuk beberapa lama. Media massa cetak memperoleh kemerdekaannya yang luar biasa sejak zaman Orde Reformasi, atau tepatnya sejak terbitnya undang-undang tentang pers yang reformatif. Media massa cetak tumbuh subur, karena tidak ada lagi aturan seketat pada zaman Orde Baru. Pada zaman Orde Baru, penerbitan pers sekitar 290-an buah, lalu tumbuh subur jadi 2.000an buah pada zaman Orde Reformasi, meski kemudian penerbitan 186 pers itu satu per satu bergururan, antara lain, karena tidak bisa bersaing dengan penerbitan pers yang sudah mapan atau karena memang modalnya lemah. Terbitnya undang-undang tentang pers yang reformatif itu, selain menyebabkan tumbuh suburnya media massa cetak, seperti disebut di atas, juga keberanian pers jauh lebih besar, karena tidak akan ada lagi breidel pers seperti pada zaman-zaman sebelumnya. Jargon “pers pembangunan”, “pers Pancasila”, “budaya telepon”, dan lain-lain sudah tidak ada lagi pada zaman Orde Reformasi. Oleh karena seringnya telepon digunakan Penerangan RI terhadap pemimpin redaksi Departemen yang “nakal”, zaman Orde Baru, Menteri Penerangan RI H. Harmoko pada pernah ditanya, dalam sebuah kesempatan pertemuan. Jawab H. Harmoko ringan saja, “Telepon memang gunanya untuk menelepon”. Kompas dan Republika termasuk media massa cetak yang memanfaatkan kemerdekaan pers itu, dengan lebih berani menyampaikan kritik, termasuk kritik terhadap kandidat presiden dan wakil presiden. Debat kandidat presiden dan wakil presiden itu sendiri merupakan fenomena baru dalam sejarah pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia. Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung baru dilakukan dua kali (2004 dan 2009), dan debat kandidat baru satu 187 kali dilakukan (2009). Pada tahun 2004, lebih debat kandidat difokuskan pada dialog dan penajaman visi dan misi para kandidat. Pada zaman Orde Baru, mustahil sebuah media massa aman kalau tidak mendukung statusquo. Amien Rais yang “berkampanye” agar tidak memilih statusquo, melalui tulisannya di “Resonansi” Republika, ternyata berakibat buruk bagi Republika. Pemimpin Redaksi Parni Hadi dan Redaktur Pelaksana Zaim Uchrowi dicopot dari jabatan masing-masing. Mereka dianggap paling bertanggung jawab atas lolosnya tulisan tersebut. Media massa cetak sekarang boleh terkotak-kotak dalam dukung-mendukung pasangan presiden dan wakil presiden, seperti tercermin dalam liputannya atau tajuk rencananya. Ketua PWI Pusat H. Margiono menilai dukung-mendukung itu sah sepanjang hasil “ijtihad” media massa cetak itu sendiri, dan bukan merupakan paksaan atau desakan dari pihak eksternal. Tidak ada penguasa atau pihak yang mencela atas sikap media massa cetak itu, apalagi kalau dukungan itu dikemas dalam karya jurnalistik yang apik dan profesional, sehingga pesan-pesan terselubung tidak terlihat. Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, mengaku tidak pernah menerima keluhan khalayak pembaca sehubungan dengan dukung- 188 mendukung oleh media massa cetak terhadap kandidat presiden dan wakil presiden. Kata Bagir Manan, pemberitaan media massa cetak masih dalam batas wajar dan normal. Kata Bagir Manan pula, yang ada adalah pengaduan khalayak pembaca dari daerah atas perilaku media massa cetak daerah yang berperan sebagai “juru kampanye” seseorang calon kepala daerah. Media massa cetak boleh seluas-luasnya sekarang ini memasang iklan. Pada zaman Orde Baru, iklan dibatasi, tidak boleh melebihi 30% dari seluruh halaman media massa cetak. Halaman media massa cetak pun dibatasi, tidak boleh lebih dari 12 halaman. Zaman sekarang, pembatasan itu tidak ada. Media massa cetak, termasuk Kompas dan Republika, memperoleh banyak iklan, dan boleh memuat iklan lebih dari 30% dari jumlah halaman media massa cetak. Media massa cetak khususnya, temasuk Kompas dan Republika, terhitung meraih untung yang cukup besar dari perolehan iklan kandidat presiden dan wakil presiden. Terutama Iklan “jaket” (iklan kulit luar media cetak) dipastikan mahal, dan para kandidat berani membayar mahal iklan itu. Baik Kompas maupun Republika pernah memuat iklan “jaket” ini. Kompas pernah memuat iklan “jaket” Susilo Bambang Yudhoyono, Kompas mengeritik kebijakan 189 tetapi keesokan harinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Kami tidak punya hubungan dengan iklan,“ kata Kepala Desk Politik dan Hukum Kompas, Tri Agung Kristanto. Republika pun sama, iklan “jaket” Susilo Bambang Yudhoyo dimuat, tetapi kemudian hanya diprotes pembaca melalui surat pembaca. Penerbitan pers di suatu negara, termasuk di Indonesia, tidak boleh bertentangan dengan dasar atau ideolog negara. Indonesia tidak menganut salah satu teori pers dunia tetapi mempunyai “teori” pers sendiri, Pers Pancasila. Ada dua teori pers baru dari Denis McQuail, teori pers pembangunan dan teori pers partisipan demokratik. Teori pers pembangunan berkaitan dengan negaranegara Dunia Ketiga, Denis McQuail dalam Kusumaningrat (2006 : 25). Soal wartawan di Dunia Ketiga, menyebutkan bahwa Al Hester (1997 : 18) mereka memiliki hasrat untuk memperoleh kepuasan pribadi dalam melakukan sesuatu yang berguna. Katanya, “Jika kita tidak memperoleh kepuasan pribadi dari pekerjaan, kita akan merasakan bahwa yang kita lakukan tidak mempunyai arti”. Teori partisipan demokratik, masih menurut Denis McQuail, lahir sebagai reaksi atas komersialisasi dan monopolisasi media 190 yang dimiliki oleh swasta dan sebagai reaksi atas komersialisasi dan sentralisme dan birokratisasi institusi-institusi siaran publik yang timbul dari tuntutan norma tanggung jawab sosial. Indonesia, yang masih tergolong ke dalam kelompok negara berkembang, pernah secara gencar mempopulerkan pers pembangunan pada zaman Orde Baru. Di samping itu, dikenal pula istilah pers Pancasila, yang inti dan isinya merupakan bahasa lain dari pers pembangunan. Dalam setiap undang-undang pers di Indonesia, selalu saja tercantum tidak ada sensor atau pembreidelan, seperti bunyi Pasal 4, Bab II, undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Pers. Hal yang sama juga “dibunyikan” dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967, Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982, dan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999. Tetapi dalam perjalanannya, pers sering dibreidel. Barulah pada zaman Orde Reformasi, sensor dan breidel benar-benar tidak ada dan tidak pernah dialami oleh penerbitan pers khususnya. 191 Pers Indonesia yang bebas dan bertanggung jawab mulai betul-betul dilaksanakan, meski Indonesia tidak menganut salah satu dari empat teori pers dunia. 4.3.3. Pers Industri dan Ekonomi Politik Media Perkembangan pers Indonesia kemudian, terutama pascaOrde Reformasi, ditandai dengan tiga pemikiran seperti dilukiskan Ibnu Hamad (dalam Waluyo : 2007 : 13), yakni (a) memberi basis yang kuat bagi lahirnya pers industri dengan menggeser gejala pers idealis, (b) mengundang para pemodal untuk masuk ke dunia pers yang belum tentu menjadi bisnis utama mereka, dan (c) memunculkan kelompok-kelompok usaha penerbitan pers. Gejala pers jadi industri, lahirnya kelompok bisnis pers, sudah dirasakan banyak wartawan senior yang bekerja di lingkungan bisnis pers tersebut. Peneliti buku Jurnalisme Investigasi dan Indonesia for Sale, Dhandy Dwi Laksono, menulis surat untuk Dewan Pers, pada tertanggal 16 November 2008. Isi surat, antara lain, ungkapan wartawan senior di beberapa industri media. Kata mereka, harus punya seni bekerja di industri media. Wartawan harus punya pilihan : kalau tidak suka di-intervensi pemilik, maka pilihannya adalah melawan atau mundur, atau ganti profesi. Dalam suratnya itu pula, Dhandy merisaukan masih tetap adanya sensor di ruang redaksi. 192 Kalau dulu sensor dilakukan oleh rezim penguasa otoriter, kini sensor dilakukan oleh pemilik yang juga merangkap bisnis. jadi pelaku Suasana di ruang redaksi dilukiskan Dandhy sudah sedemikian gawat menurut idealisme pers. Pebisnis yang memasuki dunia memunculkan konflik kepentingan. Pihak pers, pada akhirnya yang menjadi korban akibat konflik kepentingan itu adalah wartawan, antara lain, karena tidak bisa lagi leluasa menerbitkan atau menayangkan laporannya secara utuh. Kalau rezim Orde Baru pernah jadi musuh kemerdekaan pers, maka kini musuh kemerdekaan pers itu hakikatnya ada di lingkungan internal, yang tidak lain adalah pemilik pers itu sendiri yang merangkap jadi pelaku bisnis. Zaman sekarang, memang banyak pengusaha yang terjun ke dunia pers. Mungkin dianggap bisnis yang menjanjikan, atau justru untuk melindungi induk bisnisnya yang nonpers. Untuk itulah, melalui surat kepada Dewan Pers, Dandhy mengusulkan agar pelaku bisnis pers dilarang memiliki bisnis yang lain untuk menghindari konflik kepentingan seperti selama ini terjadi, dan cukup meresahkan kalangan wartawan yang mengedepankan idealisme pers. Larangan itu harus dituangkan dalam undang- undang pers. Artinya, Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang selama ini masih berlaku perlu diubah. 193 4.3.4. Analisis Komunikasi Politik Harold D. Lasswell merumuskan komunikasi sebagai who says what, in which channel, to whom, with effect, sedangkan politik dirumuskannya sebagai who gets what, when and how. Rumusan Laswell mengenai komunikasi ini, dengan kata lain, merupakan rangkuman unsur komunikasi yaitu komunikator, media, pesan, komunikan, dan efek. Dengan rumusan itu, kalau dihubungkan dengan politik, maka unsur komunikasi dalam komunikasi politik adalah komunikator politik, bahasa politik, media komunikasi politik, komunikan (khalayak) komunikasi politik, dan pengaruh komunikasi politik. Komunikasi dan politik bertemu dalam satu titik bahwa kedua-duanya tidak bisa dipisahkan dari pengertian proses. Komunikasi politik, di dalamnya melibatkan bicara dalam arti yang cukup luas, meliputi gambar, gerakan, isyarat, pakaian, lambang, dan penampilan. INT”L ENCLY OF Communication dalam Arrianie (2009 : 14) mendefinisikan penyampaian komunikasi pesan yang politik disusun sebagai secara berikut, sengaja “Setiap untuk mendapatkan pengaruh atas penyebaran atau penggunaan power di dalam masyarakat”. 194 Dari batasan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa ada empat bentuk komunikasi communication, yakni petitionary elite communication, communication, dan hegemonic associational communication. (Arrianie, 2009 : 14). Komunikasi politik didefinisikan pula bahwa setiap jenis penyampaian pesan, khususnya yang bermuatan informasi politik dari suatu sumber kepada sejumlah penerima pesan. Kandidat presiden dan wakil presiden memanfaatkan betul media massa, baik cetak maupun elektronik, untuk kegiatan komunikasi politik. Termasuk, debat kandidat presiden dan wakil presiden di televisi, yang disiarkan secara langsung, jadi ajang komunikasi politik. Media masa memang ampuh dijadikan media komunikasi politik. Para kandidat tahu persis bahwa media massa mempunyai kemampuan membentuk citra dan opini. Citra positif para kandidat jadi modal besar untuk memenangkan pemilihan. Para kandidat presiden dan wakil presiden memanfaatkan pula Kompas dan Republika untuk pemasaran politik dengan berkunjung langsung ke kantor redaksi. Dari sebanyak media massa cetak yang terbit di Jakarta khususnya, Kompas dan Republika 195 memperoleh kehormatan dengan mendapatkan kunjungan kandidat presiden. Kunjungan itu sendiri menguntungkan kedua belah pihak, baik para kandidat presiden maupun media massa cetak. Pemilihan kedua media massa cetak itu bukan tanpa alasan karena memang cukup penting dan strategis jadi media komunikasi politik. Terlebih-lebih, Kompas dan Republika sebagai media massa cetak besar, dengan tingkat reputasi dan kredibiltas yang cukup besar pula. Pemilihan tempat kunjungan itu pun tidak lepas dari berbagai perhitungan, termasuk perhitungan efek positif yang ingin diperoleh setiap kandidat presiden atau wakil presiden. Pemilihan tempat kunjungan itu pun akhirnya bisa pula jadi politis, dan media massa cetak, seperti Kompas, berusaha menerima kunjungan itu secara proporsional. Kunjungan para kandidat presiden ke Kompas dimuat keesokan harinya, dan penting untuk para kandididat presiden khususnya. Jakob Oetama, mewakili Kompas, selalu tampil mendampingi para kandidat presiden itu. Bukan sekadar foto, melainkan juga sosok, visi dan misi setiap kandidat presiden terekam pula dalam laporan kunjungan ke media. Kompas sangat berhati-hati dalam memuat berita para kandidat presiden ini. Semua dimuat di halaman utama (halaman satu), semua didampingi Jakob Oetama, semua foto berwarna. 196 Menurut pakar komunikasi politik UI, Fauzie Syuaib, bahwa media massa kredibilitas yang memiliki cakupan pembaca yang luas serta sebuah media massa sangat memengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap sajian media massa itu sendiri. 4.3.5. Analisis Political Marketing Pemasaran (marketing), menurut Kotler dan Levy Firmanzah (2009), dalam tidak hanya terbatas pada institusi bisnis, Pemasaran adalah proses yang memungkinkan adanya pertukaran (exchange) (Bagozzi, 1947, 1975). Marketing pun diterapkan dalam institusi pemerintahan, organisasi sosial, dan organisasi politik dalam mentransfer produk, pelayanan kepada masyarakat, meliputi simbol dan ide. Political marketing dapat didefinsikan pula sebagai serangkaian aktivitas terencana, strategis, tetapi juga taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna politik kepada para pemilih (Nursal, 2004 : 23) Dalam kampanye presiden dan wakil presiden, yang dihubungkan dengan pemasaran politik, maka presiden dan wakil presiden, ibarat produk, parpol pengusung sebagai produsen, media massa sebagai pasar, dan khalayak sebagai konsumen politik. 197 Tetapi, dalam kampanye presiden dan wakil presiden, parpol pengusung bersikap statis karena yang lebih aktif adalah kandidat presiden dan wakil presiden. Padahal, sesungguhnya, kandidat presiden dan wakil presiden adalah produk yang sedang dipasarkan parpol pengusung. Dalam terminologi ekonomi, pengusung bisa disebut sebagai produsen. Parpol pengusung kandidat presiden dan wakil presiden jelas memasarkan dan membangun citra positif kandidat usungannya agar bisa dipilih oleh khalayak. Di samping itu, kandidat presiden dan wakil presiden turut pula membangun citra positif dirinya sendiri demi dan untuk dipilih khalayak. Pembangunan citra, bukan saja saat-saat masa kampanye, melainkan juga jauh sebelum kampanye dimulai. Parpol pengusung sengaja menggelar acara-acara dengan beragam nama, tetapi hakikatnya bermuara ke arah pengenalan calon presiden dan wakil presiden. Para kandidat berlomba-lomba memanfaatkan kesempatan ini, karena masih leluasa, dan tidak ada larangan. 4.3.6. Budaya Massa Politainment Menurut Heru Sutadi dari Kelompok Studi Komunikasi Pascasarajana UNPAD, debat kandidat presiden dan wakil presiden 198 2009 itu sebagai budaya massa politainment, yakni kegiatan politik yang diselingi iklan komersial. Politainment ini terdiri dari dua kata politic (politik) dan entertainment (hiburan). Di Indonesia, politainment kalah terkenal dengan infotainment yang cenderung lebih laku dijual daripada penting ditonton. Debat kandidat pada pemilukada pun kini banyak disiarkan televisi secara langsung. Boleh jadi, ini diilhami debat kandidat presiden dan wakil presiden. Sekaligus, ada iklannya pula. Debat kandidat presiden dan wakil presiden di televisi jelas diselang-selingi iklan komesial, sehingga diprotes banyak kalangan karena iklan-iklan itu sangat mengganggu jalannya debat kandidat. Kompas dan Republika menurunkan banyak laporan mengenai protes-protes terhadap iklan dalam siaran debat kandidat presiden dan wakil presiden. Kehadiran iklan-iklan itu, diakui KPU, karena masih terbatasnya anggaran, sehingga biaya debat kandidat ditanggung bersama oleh KPU dan televisi yang berhak menyiarkan iklan, bahkan di tengah-tengah debat kandidat sedang seru-serunya. Biaya debat kandidat presiden dan wakil presiden itu memang dibiayai oleh APBN Ayat (7), Pasal 39, Bab VII, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi, nyatanya, biayai dari APBN belum cukup. 199 4.3.7. Politik Pencitraan Media massa jadi ajang pertarungan kandidat presiden dan wakil presiden, juga jadi panglima komunikasi politik. Para kandidat presiden dan wakil presiden, sebelumnya bertarung pencitraan, di lapangan, seperti melalui media massa cetak, penerbitan buku, dan lain-lain. Sejumlah buku terbit menjelang pemilu presiden dan wakil presiden. Misalnya, buku Prabowo : Dari Cijantung Bergerak ke Istana, (Galangpress, 2009), Para Komando (PT Kompas Gramedia Utama, 2009), Perang Sejarah Para Jenderal (Pustaka Timur, 2009), Sintong dan Prabowo Dari “Kudeta L.B. Murdani” Sampai “Kudeta Prabowo” (MedPress, 2009). Sebelumnya, terbit buku Menegakkan Civil Society (Relawan Bangsa, 2004), yang berisi tentang pemikiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Buku-buku itu (kecuali Menegakkan Civil Society) terbit pada tahun yang sama, tahun 2009, tahun adanya pemilu presiden dan wakil presiden. Isi buku, umumnya kritik, pembelaan, sekaligus pertahanan nama baik. Bukubuku itu pun kemudian melahirkan istilah “Perang Bintang” bahasa di media massa, karena memang yang diceritakan dalam buku-buku itu para jenderal berbintang. Para jenderal bergerak menuju istana. Gambar 4 Pencitraan Melalui Buku 200 Ketiga jenderal purnawirawan itu (Prabowo Subianto, Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono) kemudian memang tampil jadi kandidat presiden dan wakil presiden. Isi buku, pada akhirnya pencitraan, karena kandidat presiden dan wakil presiden harus bercitra positif kalau ingin memperoleh dukungan rakyat (pemilih). Segala hal yang dianggap negatif sebelumnya, diklarifikasi atau dibersihkan melalui penerbitan buku. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sering sekali diposisikan sebagai presiden yang mengedepankan politik pencitraan. 201 Pertandingan sepak bola se-Asean, Asean Football Federation (AFF) pun, beberapa waktu lalu, disebut sebagai ajang pencitraan politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pengamat politik, Ray Rangkuti misalnya, mencatat bahwa Susilo Bambang Yudhoyono sampai lima kali menonton langsung pertandingan sepak bola AFF itu (Harian Pelita, Kamis 30/12/10). Analisis Ray Rangkuti, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencoba menarik perhatian publik dengan harapan memperoleh dukungan rakyat melalui sepak bola. Pencitraan politik dilakukan pula oleh Partai Golkar ketika Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) menurunkan harga tiket pada final leg 2, di Jakarta. Dalam wawancara dengan sebuah televisi, Ketua Umum PSSI Nurdin Halid mengaku diminta menurunkan harga tiket oleh Ketua Umum DPP Golkar Ir. Aburizal Bakri. “Sebagai kader, saya patuh,” kata Nurdin Halid, yang memang kader Partai Golkar itu. Maka, lewat Nurdin Halid, Partai Golkar punya citra positif, terutama di kalangan pecandu sepak bola. Perintah Aburizal Bakri sendiri, sebetulnya, berasal dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta PSSI menurunkan harga tiket. Urusan sepak bola, akhirnya, jadi pula urusan politik. 202 Politik pencitraan dilakukan pula oleh tiga kandidat presiden dan wakil presiden saat-saat mereka mendeklarasikan diri sebagai bakal kandidat presiden dan wakil presiden. Tempat deklarasi mereka, Megawati Soekarnoputri/Prabowo Subianto di Bantargebang, Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono di Bandung, dan Jusuf Kalla/Wiranto di Tugu Proklamasi. Para bakal kandidat presiden dan wakil presiden itu pun tampil sedang menginvestasikan citra. Media massa cetak, termasuk Kompas dan Republika, menyiarkan deklarasi para bakal kandidat presiden dan wakil presiden itu dengan cara dan ciri masing-masing. Bagi ketiga bakal kandidat presiden dan wakil deklarasi presiden itu, tempat punya makna strategis yang berhubungan dengan pencitraan. Bagi Megawati Soekarnoputri/Prabowo Subianto, Bantargebang sebagai ungkapan keberpihakan kepada rakyat kecil. Bantargebang sendiri merupakan tempat pembuangan sampah akhir, dan di situ banyak sekali pemulung (rakyat kecil) yang mencari nafkah. PDI Perjuangan yang mengusung Megawati Soekarnoputri/Prabowo dicitrakan sebagai partai wong cilik atau partai rakyat kecil. Ada dua sisi penting di sini. Pertama, pemilih umumnya lebih banyak rakyat kecil. Kedua, citra yang baik menarik rasa simpatik dan dukungan. 203 pasti Konsep pembangunan yang ditawarkan Soekarnoputri/Prabowo Soebianto adalah Megawati pembangunan bangsa yang tidak akan melepaskan unsur kerakyatan. “Nah, Bantargebang sebagai simbol masyarakat kelas bawah yang justru kita perhatikan,” kata Sekretaris Deklarasi Mega-Pro, Haerudin, yang juga fungsionaris DPP Partai Gerindra. Khusus untuk pencitraan Soekarnoputri, misalnya, kandidat Republika presiden menulis features Megawati berjudul “Merah Hitam Kostum Mega” (Republika, 04/06/09). Maka, dengan sangat detail, Republika melukiskan busana Megawati Soekarnoputri seperti berikut: “Megawati mengenakan blus tunik berwarna hitam. Panjangnya sebatas lutut, dengan corak bunga warna merah di dada sebelah kiri. Kostum ini terlihat cocok dengan dua warna utama partainya, yakni merah dan hitam. Dalam beberapa event kepartaian, Mega sering mengenakan blus tunik, meski dengan corak dan kombinasi warna berbeda” (Republika, 04/06/09). Sebagai representasi PDI Perjuangan dan figur tokoh nasional, Megawati Soekarnoputri perlu memelihara penampilan dan citra, termasuk dalam berbusana. Apa pun mode busananya, warna merah dan hitam tidak penah lepas. “Sudah lama, Ibu memiliki desainer pribadi,” kata Ketua Bidang Advokasi Tim Kampanye MegaPrabowo, Gayus Lumbuun. (Republika, 04/06/09). 204 Bandung kota bersejarah, dan oleh karena itu dipilih Susilo Bambang Yudhoyono/Boediono sebagai tempat deklarasi. Di Kota Kembang atau Paris van Java ini, pernah ada konferensi Asia Afrika yang terkenal. Peristiwa itu kemudian diabadikan jadi nama jalan di Bandung, Jalan Asia Afrika. Bandung pula sebagai Kota Bandung Lautan Api, yang pernah menyulut “api” semangat nasionalisme kebangsaan, seperti keterangan Andi Mallarangeng, (TVOne, 09/05/2009). Masih kata Andi Mallarangeng, separuh karier militer Susilo Yudhoyono dihabiskan di Bandung. Kedua anaknya Bambang dilahirkan di sini. Itulah sebabnya, Bandung dipilih jadi tempat deklarasi,” kata Andi Mallarangeng. Pasangan Jusuf Kalla/Wiranto memilih Tugu Proklamasi (Jakarta) sebagai tempat deklarasi karena nilai-nilai sejarah. “Di sini ada inspirasi kepemimpinan bangsa. Di sini pula, negara kita dideklarasikan. Semua itu sebagai semangat untuk memenangkan pasangan Kalla-Wiranto," kata fungsiaonaris DPP Golkar, Zainal Bintang (vivanews.com, 09/05/2009). Pemilihan tempat deklarasi oleh para bakal kandidat presiden dan wakil presiden itu, kata pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Samsudin Haris, bukan tanpa alasan, dan berhubungan dengan pencitraan politik. 205 Menurut Samsudin Haris pula, “Pemilihan tempat-tempat itu bukan kebetulan. Semua pasangan punya alasan deklarasinya dimana” (Tempo Interaktif, 22/05/2009). Di bawah ini, tabel pencitraan saat ketiga kandidat presiden dan wakil presiden menggelar deklarasi pencalonan. Tabel 17 Pencitraan Melalui Deklarasi No. 1. 2. 3. Kandidat Megawati Soekarnoputri/Prabowo Subianto Tempat Pencitraan Kerakyatan, berpihak dan Bantargebang berjuang untuk rakyat kecil Susilo Bambang Bandung Bandung “Lautan Api”, Yudhoyono/Boediono semangat nasionalisme Semangat Jusuf Kalla/Wiranto Tugu Proklamasi, memperjuangkan citaJakarta cita proklamasi kemerdekaan RI Diolah dari Pusat Informasi Kompas dan Pusat Data Republika, (2010) 206 207 208 209