ABSTRAKSI HIDUP SELIBAT PADA KOMUNITAS CALON BIARAWAN (Studi kasus : Komunitas Calon Biarawan di Biara ST. Fransiskus Asisi Seminari Tinggi Filsafat Teologi ST. Yohanes kab. Simalungun Pematang Siantar) Selibat atau hidup tidak kawin merupakan perkembangan dari gagasan berpantang sexual atau tarak seksual. Pantang seksual ini pada umumnya dibuat berkaitan dengan upacara religius. Sedang selibat atau hidup tidak kawin yang terdapat dalam Gereja Katolik Roma sungguh lain artinya. Selibat disini berarti pantang sementara saja. Letak bedanya adalah pada kata sementara dan seumur hidup. Pantang seksual itu sifatnya aksidental, sedang selibat sifatnya tetap. Penulis berangkat dari pengertian leksikal dan pengertian pada umumnya, artinya bagaimana orang pada umumnya mengerti selibat itu. Maka selibat dapat diartikan sebagai sikap seseorang yang diambil secara sadar dan bebas untuk tidak mengikat diri dalam hubungan seksual bersifat sosial, yaitu hubungan yang diucapkan baik kepada pasangan maupun kepada masayarakat yang menyaksikan. Selibat berarti tidak mengikat diri dalam hubungan seksual yang bersifat sosial. Ini berarti tidak terikat oleh perkawinan. Agar tidak ditafsirkan secara keliru maka perlu diterangkan. Hidup selibat juga berarti tidak melakukan hubungan seksual, karena di dalam selibat terkandung pantang seksual untuk seumur hidup. Maka hidup selibat perlu diberi arti teologis. Secara khsusus banyak orang mengartikan bahwa selibat berarti tidak kawin. Sebenarnya selibat itu bukan hanya tidak kawin. Pengertian Selibat dari sudut pandang Teologis berarti tertangkap oleh Kristus. Kristus begitu mempesona, sehingga karenanya orang tidak dapat kawin. Sebagaimana Paulus seorang rasul Kristen menyatakan bahwa : “…. segala sesuatu kuanggap rugi karena pengenalan akan Kristus Yesus. Tuhanku lebih mulia dari pada semuanya” (Fil.3:7.8). dan Yesus yang merupakan tokoh Sentral dalam agama Kristen pun mengatakan, “…. ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemaunnya sendiri oleh karena kerajaan surga” (Mat 19 : 12). Selibat itu mempunyai dua jenis yang berlainan yaitu : selibat religius atau regula dan hidup selibat eklesiastik. Selibat Religius atau Regula adalah mereka / klerikus yang menjalankan hidup selibat dan telah menerima tahbisan suci, seperti Uskup, Imam, dan Diakon. Sedangkan hidup selibat eklesiastik adalah mereka yang tidak menerima tahbisan suci, anatara selibat regula dan hidup selibat eklesiastik itu sendiri memiliki cara atau bentuk hidup yang berbeda. Selibat yang dimaksud Gereja Katolik adalah selibat yang dihidupi oleh para imam yang mau menyerahkan diri demi nama Kristus serta kaum religius (Biarawan-Biarawati) yang ingin mengabdikan diri lewat pelayanan kepada sesama. Selain itu juga harus mentaati kaul – kaul yang ada, ketiga kaul yang harus dijalankan itu adalah : Kaul Kemurnian, Kaul Ketaatan, Kaul Kemiskinan. Selibat telah diatur dalam hukum Gereja dan Gereja telah kerap kali mengukuhkannya. Namun begitu masih terdapat upaya-upaya agar hukum yang mengikat itu dicabut kembali dengan alasan dasar yaitu pelaksanaannya sukar. Hal ini dekemukakan pada Konsili Trente tahun 1545.- 1563. Mengacu pada tulisan keterangan diatas, penelitian ini menggunakan metode studi kasus tipe deskriptif dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini mengangkat keberadaan komunitas Biarawan yang menjalani Hidup Selibat di Seminari Tinggi ST. Yohanes (STFT). Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk menjalani hidup selibat di STFT haruslah memilih motivasi yang kuat agar dapat menjalaninya, bukan dengan motivasi yang hanya sebagai pelampiasan saja. Karena selibat itu sungguh – sungguh merupakan keputusan yang telah dipertimbangkan. Selibat itu bukanlah sesuatu yang gampang untuk dilaksanakan. Terlalu banyak tantangan – tantangan yang akan dihadapi kedepannya terutama tantangan dari luar. Dengan banyaknya tantangan ini membuat kaum Biarawan diharapkan dapat memiliki kematangan dalam hal berfikir atau pun juga kematangan biologis dan psikologis. Selain itu didalam komunitas Biarawan tidak selamanya ada kedamaian. Justru di Seminari ST. Yohanes ini intensitas konflik itu cukup besar, konflik yang terjadi itu terbagi dua, ada konflik besar dan ada konflik kecil. Terkadang ketidakmatangan fraksis dengan hidup selibat merupakan persoalan yang paling sering terjadi, sehingga berujung sengketa atau konflik dengan sesame selibater. Untuk itu keutuhan selibat harus dijaga agar tidak goyah, jauhkan diri dari hal – hal yang merusak keutuhan hidup selibat. Dapat diambil kesimpulan bahwa konflik yang terjadi di Seminari ST. Yohanes ini adalah konflik Laten. iii Universitas Sumatera Utara