BAB I PENDAHULUAN Pengertian penanaman modal kadangkala menimbulkan perbedaan penafsiran. Sebagian pendapat menyatakan bahwa pengertian penanaman modal secara langsung (direct investment) memiliki penafsiran yang sama dengan penanaman secara tidak langsung atau melalui pasar modal (indirect investment). Salah satu contoh perbedaan penafsiran pengertian penanaman modal terlihat pada penyikapan terhadap pembelian 40% saham PT Indosat oleh perusahaan asing. Jika mengacu pada Peraturan BAPEPAM-LK Nomor IX.H.1, perusahaan asing tersebut diwajibkan melaksanakan penawaran tender. Permasalahannya, apakah perusahaan asing tersebut dapat memiliki saham lebih dari 49%. Sementara itu, jika mengacu pada Peraturan Presiden No.111 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, sektor telekomunikasi dan informatika penyeleggaraan jaringan telekomunikasi yang tetap, kepemilikan modal asing maksimal 49%. Untuk mengatasi perbedaan penafsiran tersebut, maka harus dilihat pada pengertian yang tercantum dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penananam Modal (selanjutnya disebut dengan UU PM). Pada bagian Penjelasan umum alinea kelima UU PM disebutkan "Undang-undang ini mencakupi semua kegiatan penanaman modal langsung di semua sektor" Selanjutnya, pada Pasal 2 disebutkan, “ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi penanaman modal di semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia”. Sementara itu, pada Penjelasan Pasal 2 UU PM menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penanaman modal di semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia” adalah penanaman modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio. 1 Ketentuan dalam UU PM yang juga dapat digunakan untuk menafsirkan pengertian tentang penanaman modal adalah batasan berlakunya UU PM. Dalam UU PM tidak mencakup investasi yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor minyak dan gas bumi, lembaga keuangan non bank, asuransi, sewa guna usaha, pertambangan dalam kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara, investasi yang dikeluarkan oleh instansi teknis/sektor, investasi portofolio (pasar modal) dan investasi rumah tangga. Penafsiran di atas dipengaruhi oleh kebijakan penanaman modal sebelumnya. Pada Pasal 2 Keputusan Presiden R.I No.17 Tahun 1986 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing Untuk Diberikan Perlakuan Yang Sama Seperti Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri. Syarat-syarat agar modal asing mendapat perlakuan yang sama dengan modal dalam negeri adalah “perusahaan modal asing minimal 75% (tujuh puluh lima persen) sahamnya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional, atau; minimal 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dijual melalui pasar modal, atau; minimal 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional dan yang dijual melalui pasar modal, dengan ketentuan bahwa saham yang ditawarkan untuk dijual melalui pasar modal tersebut minimal 20% (dua puluh satu persen). Jika memenuhi syarat tersebut, perusahaan modal asing diberikan perlakuan sama seperti perusahaan yang dibentuk dalam rangka Undang-Undang No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapat dinyatakan bahwa kebijakan penanaman modal Indonesia pada masa sebelumnya sampai dengan lahirnya UU PM, memberikan pengertian yang berbeda antara penanaman modal langsung dengan penanaman tidak langsung atau penanaman melalui pasar modal. Dalam rangka lebih memberikan kepastian hukum, maka dalam perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal perlu dirumuskan perbedaan yang jelas dan tegas pengertian penanaman modal yang secara langsung 2 dengan penanaman modal melalui pasar modal. Dengan demikian tidak terjadi multi tafsir terhadap pengertian penanaman modal. 3 BAB II BENTUK-BENTUK PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL Dalam melakukan kegiatan penanaman modal diperlukan suatu bentuk badan usaha. Pilihan bentuk badan usaha akan mempengaruhi terhadap pengembangan usaha, bentuk pertanggung jawaban, akses permodalan, pembagian keuntungan, pembubaran perusahaan, dan lain-lain. Bentuk perusahaan dalam penanaman modal dibedakan antara pemodal asing dan pemodal dalam negeri. Ketentuan ini diatur pada bab IV Pasal 5 UU PM, yang berbunyi: 1) Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2) Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. 3) Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilakukan dengan: a. mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas; b. membeli saham; dan c. melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pengertian di atas mengandung makna bahwa penanaman dalam negeri dalam melakukan investasi dapat membentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum. Sedangkan bagi penanaman modal asing wajib berbadan hukum yang berbentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia. Selain itu, baik penanam 4 modal dalam negeri maupun asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dapat dilakukan dengan mengambil bagian saham atau membeli saham. Dengan demikian, Pasal 5 ayat (2) UU PM mensyaratkan penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, bukan dalam bentuk CV atau bentuk yang lain. Dasar hukum pembentukan PT mengacu pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Pembentukan PT sebagai pilihan dalam melakukan usaha dipengaruhi oleh perkembangan PT dalam perekonomian di banyak negara. Secara historis PT telah ikut meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia, baik melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri, sehingga PT merupakan salah satu pilar pekonomian nasional. Pertimbangan lain dipilihnya PT sebagai bentuk perusahaan dibandingkan dengan bentuk yang lain adalah PT merupakan asosiasi modal dan sekaligus sebagai badan hukum yang mandiri. Sebagai asosiasi modal maka ada kemudahan bagi pemegang saham PT untuk mengalihkan sahamnya kepada orang lain, sedangkan sebagai badan hukum yang mandiri berdasarkan UU PT menentukan bahwa pertanggungjawaban pemegang saham hanya terbatas pada nilai saham yang dimiliki. Unsur pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham PT tersebut merupakan faktor yang penting sebagai pendorong bagi kesediaan para calon penanam modal untuk menanamkan modalnya dalam PT. Perusahaan yang berbentuk PT secara fungsional dituntut memberikan nilai tambah (value added), baik berbentuk financial return bagi para pemegang saham (shareholders) maupun socialwelfare, yang sekurang-kurangnya value added bagi stakeholders. Pertimbangan yang sangat menonjol orang lebih memilih PT sebagai bentuk hukum bagi kegiatan bisnisnya adalah dikarenakan pemegang saham PT hanya 5 bertanggung jawab sebesar nilai saham yang diambilnya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. UU PT menegaskan prinsip tanggung jawab terbatas tersebut dengan menetapkan bahwa pemegang saham PT tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya. Namun demikian prinsip tanggung jawab terbatas pemegang saham tidak berlaku mutlak. Dalam hukum positif Indonesia, kemungkinan untuk mengecualikan prinsip tanggung jawab terbatas tersebut dimungkinkan jika: (a) persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; (b) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi; (c) pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; (d) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan. Organ PT yang memiliki kedudukan strategis adalah Direksi. Direksi dituntut untuk menjadi organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan PT untuk kepentingan dan tujuan PT serta mewakili baik di dalam maupun di luar pengadilan. Secara umum Direksi merupakan agent dari PT. UUPT menetapkan hal demikian dalam pasal-pasal berikut: pertama, Pasal 1 butir 4 jo. Pasal 82 UUPT, yang berbunyi: “Direksi merupakan organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar”. Kedua, Pasal 79 ayat (1) UUPT yang berbunyi “Kepengurusan perseroan dilakukan oleh Direksi”. Ketentuan ini, sebagaimana disebutkan dalam 6 penjelasannya, adalah menugaskan Direksi untuk mengurus perseroan yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari dari perseroan. Selain Direksi, karyawan (officer) atau orang lain juga diberikan kemungkinan untuk mewakili PT (agent). Berkenaan dengan hal tersebut, UUPT membatasi dengan ketentuan bahwa kemungkinan tersebut diberikan dengan kuasa tertulis dari Direksi kepada 1 (satu) orang karyawan PT atau lebih atau orang lain untuk dan atas nama PT melakukan perbuatan hukum tertentu. Dalam hal ini Direksi bertindak selaku principal dari karyawan atau orang lain yang diberi kuasa. Berkenaan dengan ketentuan mengenai agent, UU PT tidak mengaturnya secara lebih lanjut, tetapi aturan mengenai kewenangan mewakilkan dari Direksi selaku principal diatur dalam masing-masing Anggaran Dasar PT yang bersangkutan, dan itupun terbatas hanya mengenai pengangkatan dan pemberhentian pegawai, pemberian penghargaan atau pengenaan sanksi. Berkaitan dengan pelaksanaan prinsip GCG, seharusnya terdapat penetapan sistem yang resmi dan transparan bagi pengangkatan pegawai, penetapan gaji dan penilaian yang adil atas kinerja pegawai. Selanjutnya UU PT menetapkan kewajiban Direksi dan Komisaris untuk dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Keduanya dapat digugat ke pengadilan bilamana atas dasar kesalahan dan kelalaiannya menimbulkan kerugian pada PT. Untuk anggota Direksi terdapat tambahan ketentuan bahwa jika melakukan kesalahan atau kelalaiannya tersebut dapat dituntut pertanggungjawaban penuh secara pribadi. Begitu pula dalam hal kepailitan yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan PT tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian dimaksud. Namun untuk mendukung terlaksananya prinsip-prinsip Good Corporate Covernance (GCG), ketentuan-ketentuan yang dimuat UU PT tersebut di atas masih menghadapi kendala. Karena, ketentuan UU PT dimaksud baru menjelaskan 7 tanggung jawab Direksi secara umum, yang secara teoritis lahir dari hubungan antara PT dengan Direksi yang merupakan hubungan yang didasarkan atas kepercayaan (Fiduciary of Relationship). Bila hanya berpegang pada ketentuan UU PT, dapat menimbulkan permasalahan dalam menentukan kapan dan bagaimana Direksi dianggap telah melanggar prinsip-prinsip GCG. Hal ini mengingat adanya justifikasi dan fleksibilitas yang diberikan kepada Direksi dalam melaksanaan tugas dan wewenangnya. Secara konseptual fleksibilitas ini dikenal sebagai the Business Judgement Rule. Berdasarkan prinsip ini, Direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab secara pribadi sekalipun tindakannya mengakibatkan kerugian pada PT, baik karena salah perhitungan atau hal lain di luar kemampuan yang menyebabkan kegagalan dari tindakan tersebut, dengan syarat tindakan tersebut dilakukan dalam kerangka keputusan bisnis yang tulus dan dibuat berdasarkan itikad baik. Dalam prakteknya ada penyalahgunaan fungsi PT, misalnya munculnya praktik-praktik pendirian PT yang hanya dimaksudkan sebagai “paper company”, yakni suatu perusahaan yang di atas kertas berbentuk PT, namun hanya bertujuan sebagai penarik dana pinjaman bagi perusahaan lain dalam satu kelompok untuk mengelabui peraturan perundang-undangan. Pada sisi lain, dalam prakteknya ada kemungkinan badan hukum asing yang ”beroperasi” di Indonesia tidak menggunakan PT. Berdasarkan Pasal 2 Ayat (5) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan yang telah mengalami berbagai perubahan, perubahan terakhir dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, badan usaha tersebut dapat berbentuk, (a) sebagai tempat kedudukan manajemen, (b) cabang perusahaan, (c) kantor perwakilan, (d) gedung kantor, (e) pabrik, (f) bengkel, (g) gudang, (h) ruang untuk promosi dan penjualan, (i) pertambangan dan penggalian sumber alam, (j) wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, perikanan, peternakan,pertanian, perkebunan, dan kehutanan, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apa pun 8 oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukan tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia. Ketentuan lain yang mengatur tentang pembentukan kantor perwakilan asing, antara lain; pertama, Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2000 tentang kantor Perwakilan Wilayah Perusahaan Asing dan Surat Keputusan Ketua BKPM No. 22/SK/2001 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keppres No. 90 Tahun 2000 tentang Kantor Perwakilan Perusahaan Asing); kedua, menjadi mitra asing dalam eksplorasi pertambangan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batu Bara. Ketiga, menjadi kontraktor proyek. Dalam konteks proses pendirian dari suatu PT yang merupakan penanaman modal asing sedikit berbeda dengan pendirian PT biasa. Ada beberapa proses awal yang mesti dilalui dan beberapa instansi pemerintah yang terkait sehubungan dengan penanaman modal asing ini, seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Proses untuk mendirikan PT yang merupakan penanaman modal asing (PT PMA) mengacu kepada Surat Keputusan BKPM No. 38 Tahun 1999 Tanggal 6 Oktober 1999 (Skep BKPM). Proses tersebut dimulai dengan menyampaikan permohonan penanaman modal asing kepada BKPM. Bentuk surat permohonan ini (formulir Model I PMA) sudah ada standarnya yang dapat diperoleh di toko buku atau di BKPM. Formulir Model I PMA ini merupakan lampiran dari Skep BKPM di atas. Tahap selanjutnya setelah surat persetujuan BKPM diterbitkan adalah mempersiapkan anggaran dasar perusahaan PMA. Anggaran dasar PMA tersebut disampaikan melalui Notaris kepada Menteri hukum dan Hak Asasi Manusia untuk 9 mendapatkan pengesahan. Setelah pengesahan diperoleh, PT PMA diumumkan dalam berita negara RI. 10 BAB III PERUSAHAAN JOINT VENTURE DALAM PENANAMAN MODAL Badan usaha dalam rangka kegiatan penanaman modal dapat membentuk perusahaan joint venture. Struktur kerja sama bisnis berdasarkan joint venture masing-masing pihak akan mengatur permasalahan kontrol dan tanggung jawab operasi usaha. Dimulai dengan perhitungan besaran kontrol dari jumlah perbandingan penyertaan modal saham. Hasilnya adalah komposisi pemilikan saham dari para pemegang saham. Ada pemegang saham mayoritas dan ada minoritas. Biasanya investor/pihak Indonesia menjadi pemegang saham minoritas. Komposisi pemilikan saham seperti ini diterapkan langsung dan seketika di tingkat kebijakan kontrol pada rapat umum pemegang saham (RUPS) sebagai organ dengan kekuasaan tertinggi. Pelaksanaan atas keputusannya didasarkan pada perhitungan hak suara dengan ketentuan satu saham adalah satu hak suara. Tingkat kebijakan kontrol kedua ada pada komposisi susunan direksi sebagai pengurus dan komisaris sebagai pengawas. Komposisi susunan di tingkat tersebut merefleksikan “kebijakan kontrol” atas komposisi pemilikan saham. Jika pemilikan saham 70% asing dan 30% Indonesia, berapa pun jumlah anggota direksi dan komisaris yag disepakati akan merefleksikan perbandingan yang sama. Area tanggung jawab di tingkat direksi pun biasanya terimbas. Dalam kasus dengan asumsi tersebut, posisi direktur utama dan direktur keuangan biasanya menjadi posisi strategis dan milik pihak asing. Dalam kegiatan perekonomian, Joint Venture adalah suatu unit terpisah yang melibatkan dua atau lebih peserta aktif sebagai mitra. Kadang-kadang juga disebut sebagai aliansi strategis, yang meliputi berbagai mitra, termasuk organisasi nirlaba, sektor bisnis dan umum. 11 Menurut Erman Rajagukguk ialah suatu kerja sama antara pemilik modal asing dengan pemilik modal nasional berdasarkan perjanjian, jadi pengertian tersebut lebih condong pada joint venture yang bersifat internasional.1 Kedua pengertian tersebut mempunyai satu kesepakatan bahwasanya joint venture ialah suatu perjanjian, maka harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian menurut ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun dalam pengaturan joint venture tersebut berada di luar KUH Perdata, karena joint venture termasuk ke dalam perjanjian yang tidak bernama serta tidak diatur dalam KUH Perdata. Unsur-unsur yang terdapat dalam joint venture ialah: kerjasama antara pemilik modal asing dan nasional, membentuk perusahaan baru antara pengusaha asing dan nasional, didasarkan pada kontraktual atau perjanjian. Akan tetapi tidak semua usaha wajib didirikan joint venture antara pemilik modal asing dengan pemilik modal nasional. Jenis perjanjian joint venture juga dimungkinkan joint venture domestik. Joint venture domestik didirikan antara perusahaan yang terdapat di dalam negeri dan joint venture Internasional yang didirikan di Indonesia oleh dua perusahaan dimana salah satunya perusahaan asing. Dalam perkembangannya, pemerintah mengharuskan perusahaan penanaman modal asing membentuk perusahaan joint venture. Hal ini terjadi setelah peristiwa Malari. Sebelumnya, pembentukan perusahaan joint venture bukanlah sesuatu yang bersifat imperatif dan tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Namun demikian, bentuk perusahaan joint venture secara implisit dapat dilihat pada Pasal 23 Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. 1. Dalam bidang-bidang usaha yang terbuka bagi modal asing dapat diadakan kerjasama antara modal asing dengan modal nasional. 2. Pemerintah menetapkan lebih lanjut bidang-bidang usaha, bentuk-bentuk dan cara-cara kerjasama antara modal asing dan modal nasional dengan 1 Erman Rajagukguk, Hukum Penanaman Modal di Indonesia (Jakarta: Universitas Al Azhar Indonesia, 2008) 12 memanfaatkan modal dan keahlian asing dalam bidang ekspor serta produksi barang-barang dan jasa-jasa. Ketentuan yang menunjukkan bahwa pembentukan perusahaan joint venture bukan suatu keharusan juga dapat dilihat pada Pasal 27 UU PMA, yang berbunyi: 1. Perusahaan yang seluruh modal adalah modal asing wajib memberi kesempatan partisipasi bagi modal nasional secara efektif setelah jangka waktu tertentu dan menurut imbangan yang ditetapkan oleh Pemerintah. 2. Jikalau partisipasi termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan penjualan saham-saham yang telah ada maka hasil penjualan tersebut dapat ditransfer dalam valuta asli dari modal asing yang bersangkutan. Pada bagian penjelasan UU PMA, dapat dilihat pada penjelasan Pasal 8, yang berbunyi: untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan ekonomi maka Pemerintah menentukan bentuk-bentuk kerjasama antara modal asing dan modal nasional yang paling menguntungkan untuk tiap bidang usaha. Mungkin bentuk kerjasama ini berwujud kontrak karya, joint venture atau bentuk lainnya. Ketentuan lebih lanjut yang menunjukkan perusahaan joint venture bukan suatu keharusan dapat dilihat pada Instruksi Presidium Kabinet No. 36/U/IN/6/1967 tentang Pemberian Perangsang-Perangsang Khusus Bagi Penanaman Modal Asing Yang Mengadakan Kerjasama Modal Inodonesia Dalam Bentuk Joint Enterprises. Ketentuan yang memberikan perangsang jika perusahaan asing berbentuk joint venture menunjukkan bahwa perusahaan joint venture pada dasarnya bersifat sukarela dan pemerintah hanya mendorong agar perusahaan modal asing membentuk perusahaan joint venture dengan memberikan insentif. Menurut Instruksi Presidium Kabinet No. 36/U/IN/6/1967, suatu perusahaan joint venture dapat dibebaskan dari kewajiban untuk menanam modal sebesar minimum 2,5 juta dollar untuk mendapatkan pembebasan pajak perseroan dan pajak deviden. Selain itu, perusahaan yang berbentuk joint venture dapat diberikan lagi 13 tambahan pembebasan pajak perseroan dan pajak deviden selama satu tahun dengan ketentuan jumlah pembebasan kedua pajak tidak akan melebihi lima tahun.2 Ketentuan UU PMA yang menyebutkan terbukanya kerjasama antara modal asing dan modal nasional ditafsirkan sebagai tidak adanya suatu keharusan bagi investor asing untuk mengadakan kerjasama dengan pengusaha Indonesia. Ketentuan tersebut menunjukkan pada dasarnya pemerintah tidak mewajibkan perusahaan penanaman modal asing membentuk perusahaan joint venture tetapi hanya mendorong kerjasama tersebut, baik kerjasama pengusaha asing dengan swasta Indonesia atau pemerintah, dengan memberikan perangsang tambahan berupa pembebasan pajak perusahaan dan pajak keuntungan.3 Pada waktu itu, Pemerintah mendorong penanaman modal asing membentuk perusahaan joint venture, terutama pada sektor-sektor yang produksinya belum mencukupi kebutuhan dalam negeri, sektor-sektor yang memperluas ekspor, sektorsektor yang membuka kesempatan kerja yang cukup besar, sektor-sektor yang memungkinkan pengalihan keterampilan dan teknologi dan sektor-sektor untuk memelihara keseimbangan kualitas tata lingkungan. Pada tanggal 15 Januari 1974, bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri kedatangan Perdana Menteri Kakuei Tanaka, Jakarta dilanda demonstrasi dan kerusuhan-kerusuhan. Kerusuhan tersebut telah menimbulkan pembakaran- pembakaran terutama terhadap mobil-mobil buatan Jepang. Hanya satu minggu setelah peristiwa 15 Januari 1974, Pemerintah mengumumkan kebijaksanaan baru dalam penanaman modal asing. Berdasarkan Keputusan Sidang Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional yang diselenggarkan 22 Januari 1974, penanaman modal asing di Indonesia harus berbentuk joint venture dengan modal nasional. 2 Instruksi Presidium Kabinet No.36/U/IN/1967 Tentang Pemberian PerangsangPerangsang Khusus Penanaman Modal Asing yang Mengadakan Kerjasama Dalam Bentuk Joint Eenterprises tertanggal 3 Juni 1967. 3 Erman Rajagukguk, Indonesianisasi Saham, (Jakarta : Bina Aksara, 1985) hal. 11. 14 Keputusan ini ditindaklanjuti dengan beberapa peraturan pelaksana, yaitu Surat Edaran Ketua BKPM No.B-1195/A/BK/X/1974. Kebijakan ini menentukan perbandingan jumlah saham antara pihak asing dengan modal nasional yaitu setelah 10 tahun, perbandingannya saham nasional minimal 51% sementara pihak asing maksimal 49%.4 Ketentuan ini akhirnya tidak berlaku lama, karena telah keluar Keputusan Ketua BKPM No.5/SK/1987 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing. Dalam ketentuan ini, perusahaan penanaman modal asing harus berbentuk patungan dengan penyertaan modal nasional minimal 20% dan meningkat menjadi paling kurang 51% dalam waktu 15 tahun.5 Namun demikian, penyertaan modal nasional tidak harus dilakukan untuk perusahaan penanaman modal asing yang berlokasi di kawasan berikat dan mengekspor 100% hasil produksinya dapat didirikan dengan penyertaan nasional 5% atau lebih tanpa keharusan peningkatan saham nasional.6 Keputusan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal No.5/SK/1987 diperbarui dengan Keputusan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal No.08/SK/1989 tanggal 5 Mei 1989. Berdasarkan Ketua BKPM ini, perusahaan penanaman modal asing yang mengekspor 100% hasil produksinya dan berlokasi di kawasan berikat atau yang memiliki status entreport partikelir dapat didirikan dengan penyertaan nasional 5% atau lebih tanpa keharusan peningkatan saham nasional. Keputusan BKPM ini juga mengarahkan terjadinya perlakuan yang sama antara perusahaan penanaman modal asing dengan perusahaan penanaman modal dalam negeri. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan yang menyebutkan: pertama, 4 Keputusan Ketua BKPM No.5/SK/1987 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing. 5 Pasal 1 Keputusan Ketua BKPM No.5/SK/1987 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing. 6 Pasal 2 Keputusan Ketua BKPM No.5/SK/1987 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing. 15 perusahaan penanaman modal asing yang menjual sahamnya minimal 20% melalui pasar modal sebagai saham atas nama sehingga minimal 45% sahamnya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional diberi perlakuan yang sama seperti Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri sehingga tidak diwajibkan meningkatkan saham nasionalnya menjadi sekurang-kurangnya 51%. Kedua, Perusahaan penanaman modal asing juga tidak diwajibkan mengikutsertakan partisipasi nasional, jika memenuhi beberapa persyaratan. Hal ini dapat dilihat dari Keputusan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal No.16/SK/1989 tanggal 24 Oktober 1989 tentang Perubahan dan Tambahan Keputusan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5/SK/1987 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing. Pasal 1 menyebutkan bahwa perusahaan penanaman modal asing dapat didirikan dengan penyertaan saham seluruhnya 100% (seratus persen) dimiliki oleh peserta asing, dengan syarat: berlokasi di Pulau Batam yang merupakan suatu kawasan berikat, seluruh 100% hasil produksinya untuk diekspor dan dalam waktu 5 (lima) tahun sesudah berproduksi secara komersial paling sedikit 5% dari sahamnya di jual kepada mitra usaha nasional, tanpa keharusan peningkatan saham nasional. Pengaturan penanaman modal asing diharuskan membentuk perusahaan joint venture juga dapat dilihat pada Surat Keputusan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 15/SK/1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa penyertaan modal saham dalam perusahaan patungan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing, ditetapkan atas dasar kesepakatan para pihak dalam pendirian perusahaan patungan tersebut. Kewajiban mendirikan perusahaan patungan diperuntukkan pada sektor-sektor tertentu. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 8 ayat (1) yaitu, bidang pelabuhan; produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum; telekomunikasi; pelayaran; penerbangan; air minum; kereta api umum; 16 pembangkit tenaga atom; dan mass media. Ayat (2) menyebutkan bahwa perusahaan patungan didirikan dengan modal saham perusahaan yang disetor dan ditempatkan sekurang-kurangnya 5% (lima perseratus) dari jumlah modal saham perusahaan diambil bagian oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan/atau warga negara Indonesia. Berdasarkan perkembangan pengaturan tentang joint venture di Indonesia, keharusan bagi penanam modal asing agar berbentuk joint venture dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut.7 Pertama, Peningkatan modal dalam bentuk modal kerja ataupun modal investasi untuk mesin-mesin, peralatan-peralatan spareparts, dan lain-lain. Hal ini dapat terjadi karena bentuk usaha joint venture merupakan jenis usaha baru, sehingga akan membawa modal baik yang berupa modal kerja ataupun modal investasi. Kedua, dengan keahlian dan pengalaman terbatas di bidang “processing” dari barang-barang yang selama ini hanya dikenal sebagai “barang jadi”, para pengusaha nasional dapat mempertahankan fungsi dagangnya dan dapat mengambil alih fungsifungsi teknologis dari pihak investor asing pada suatu waktu tertentu. Ketiga, investor asing ikut serta dalam joint venture dalam usaha untuk mendapatkan saluran-saluran distribusi di daerah-daerah dimana jaringan-jaringan distribusi yang telah ada tidak dapat mencapainya. Keempat, dengan adanya keharusan investasi asing berbentuk joint venture, maka perusahaan asing tersebut akan berusaha untuk menjaga hubungan yang baik dengan pemerintah setempat, sehingga pemerintah dapat membantu dengan memberikan kemudahan-kemudahan dalam usaha atau tidak menghambat berbagai proyek perusahaan. Peluang ini juga didukung dengan adanya fakta bahwa perusahaan lokal mempunyai kelebihan untuk bisa mengatasi hambatan-hambatan 7 Lihat Laurence J Brahm, Foreign Investment and Trade Law Invesment (California : Stanford University Press, 2000) hal.74. 17 dalam birokrasi dan lebih jauhnya dapat mempengaruhi birokrasi sesuai dengan tujuan atau kepentingan perusahaannya. Pada waktu itu, ketentuan mengenai keharusan peningkatan penyertaan modal nasional merupakan sesuatu yang wajar, oleh karena sering dominasi modal asing dilihat sebagai simbol penguasaan ekonomi oleh negara-negara industri yang maju, yang dianggap sebagai ancaman terhadap otonomi dan kedaulatan bangsa-bangsa sedang berkembang. Misalnya, di Amerika Latin, Mexico adalah negara yang juga mewajibkan para investor asing untuk melakukan kerja sama dengan perusahaanperusahaan Mexico, dimana penanaman modal asing hanya memegang posisi kepemilikan minoritas. Sebelumnya, Mexico menerapkan kebijakan penanaman modal asing yang liberal.8 Perusahaan penanaman modal asing di Indonesia dalam membentuk perusahaan joint venture di Indonesia dapat bermitra dengan, pribumi, non pribumi dan perusahaan negara. Dalam kenyataannya, perusahaan joint venture seringkali agak sukar untuk mengetahui apakah partner Indonesia adalah pribumi atau nonpribumi. Karena, pada dasarnya modal milik non pribumi dan pengusaha-pengusaha pribumi hanya bertindak sebagai wakil. Perusahaan ini dikenal dengan nama “perusahaan Ali Baba”.9 Perusahaan Ali (pengusaha pribumi) bertugas untuk memperoleh lisensi dan Baba (Cina peranakan atau totok) menyediakan modal dan keahlian usaha. Perusahaan Ali Baba sudah ada sejak tahun 1950, tetapi jumlahnya meningkat pesat pada masa Kabinet Ali pertama. Praktek kepemilikan saham seperti ini dilakukan melalui nominee. Pada satu pihak yang oleh karena sesuatu pertimbangan tidak dapat atau dapat tetapi tidak menjadi pemilik saham pada suatu perseroan menggunakan pihak lain sebagai nominee-nya. Pengertian tidak dapat digambarkan dengan suatu keadaan dimana pihak-pihak tertentu, berdasarkan 8 Said El-Nagar (ed), Investment Policies in The Arab Countries (International Monetery Fund: 1990) hal. 75. 9 Charles Himawan, The Foreign Investment Process in Indonesia (Singapore: Gunung Agung, 1980) hal.230. 18 ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak dibenarkan menjadi pemegang saham pada perseroan tertentu (misal PT lokal atau PT PMDN). Dalam keadaan yang lain, pihak-pihak tertentu sebenarnya dapat menjadi pemegang saham PT Indonesia tertentu karena yang bersangkutan warga negara Indonesia, namun dengan berbagai pertimbangan (diantaranya menghindari public exposure yang berkelebihan) memutuskan tidak mau memunculkan nama sendiri sebagai pemegang saham pada suatu perseroan, namun memilih sebaiknya dan menggunakan nominee mewakili kepentingannya.10 Pemerintah Indonesia mengharapkan agar partner asing dapat menemukan partner pribumi dalam perusahaan-perusahaan joint venture secara seimbang. Namun, dengan kekecualian perusahaan-perusahaan negara, bukan pengusaha pribumi yang menanamkan modalnya, melainkan perusahaan “Ali-Baba” yang lebih banyak berperanan dalam perusahaan-perusahaan joint venture. Praktek-praktek “Ali Baba” merupakan sesuatu hal yang biasa bukan hanya dalam kasus perusahaan asing, tetapi juga diantara perusahaan-perusahaan yang dimiliki orang-orang setempat, sebagai contohnya perusahaan-perusahaan pribumi yang sangat terbatas secara efektif dikendalikan oleh kelompok-kelompok non pribumi. Pada tahun 1950 ada cerita yang popular di kalangan rakyat Indonesia mengenai seorang bernama Ali Baba, seorang cerdik dan banyak akalnya dan sudah terbiasa mempermainkan raja dan memperalatnya untuk cepat kaya dan memperoleh kekuasaan. Pemerintah menyadari adalah tidak mudah untuk menemukan pengusahapengusaha pribumi mampu mengambil bagian dalam saham-saham joint venture, sekalipun sebagai pemegang saham minoritas. Oleh karenanya, pemegang saham kosong untuk pengusaha-pengusaha pribumi merupakan praktek umum. Dalam banyak hal, partner asing meminjamkan uang kepada partner lokal untuk penyertaannya dalam joint venture. Pinjaman mana diharapkan akan dapat dibayar dari keuntungan yang diperoleh kemudian hari. Kadang-kadang partner lokal 10 Felix Oentong Soebagjo, Hukum Tentang Akuisisi Perusahaan di Indonesia, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2006), hal.17. 19 memasukkan panyertaannya dalam bentuk hak atas tanah yang dipakai dalam usaha joint venture tersebut. Bentuk lain dari penyertaannya adalah imbalan yang diberikan berdasarkan hubungan baik partner lokal dengan birokrasi, sehingga urusan-urusan perusahaan dengan birokrasi dapat diselesaikan dengan baik. Kebijakan pemerintah yang mengharuskan perusahaan penanaman modal asing membentuk perusahaan joint venture setelah peristiwa Malari 15 Januari 1974 tidak membawa hasil yang signifikan. Jumlah proyek penanaman modal asing dalam bentuk joint venture setelah tahun 1974 justru terus mengalami kemunduran, yaitu tahun 1974 berjumlah 126, tahun 1975 berjumlah 91, tahun 1976 berjumlah 43, tahun 1977 berjumlah 34 dan tahun 1978 berjumlah 7.11 Di samping itu, kebijakan pemerintah yang bersifat restriktif tersebut, menyebabkan terjadinya penurunan perkembangan persetujuan penanaman modal asing. Setidak-tidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan tidak efektifnya kebijakan tentang pembentukan perusahaan joint venture, yaitu: Pertama, kesulitan menemukan partner Indonesia yang memiliki modal yang cukup besar untuk mengimbangi pemilik modal asing sehingga mencapai perimbangan sekurang-kurangnya 50:50. Kedua, persetujuan-persetujuan dalam perjanjian joint venture lebih banyak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ad hoc bukan pertimbangan- pertimbangan yang bersifat jangka panjang, sehingga tidak membawa pengaruh yang berkesinambungan bagi pembangunan ekonomi. Ketiga, harapan pemerintah dan pengusaha swasta nasional bahwa semakin banyaknya joint venture pengusaha Indonesia akan menarik manfaat yang lebih besar dengan cara-cara produksi yang lebih modern, ternyata meleset dari yang diperkirakan sebelumnya, karena justru produksi yang lebih shopisticated (modern) itu merupakan cara yang padat modal (capital insentive). 12 11 Badan Koordinasi Penanaman Modal, 1977 Sumantoro, Aspek-Aspek Pengembangan Dunia Usaha Indonesia. (Jakarta : Penerbit Binacipta,1977).hal.147. 12 20 Selain tidak membawa hasil yang signifikan dalam peningkatan investasi, kebijakan yang yang mengharuskan perusahaan penanaman modal asing membentuk joint venture juga membawa dampak yang kurang kondusif bagi iklim investasi. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh negatif kebijakan tersebut, yaitu: Pertama, membuka peluang terjadinya “creeping” nasionalisasi. Pembentukan perusahaan joint venture merupakan hasil dari perasaan nasionalisme di bidang perekonomian. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi nasional baik di sektor publik maupun swasta dalam pemilikan perusahaan-perusahaan penanaman modal asing dengan cara membatasi aktivitas perusahaan-perusahaan asing di sektor-sektor tertentu dan bentuk-bentuk larangan yang lain. Kebijakan ini dapat dikategorikan sebagai “creeping” nasionalisasi atau erosi pemilikan dan kontrol terhadap manajemen dari perusahaan-perusahaan penanaman modal tersebut.13 Kedua, menyebabkan terjadinya benturan kepentingan partner asing dengan partner dalam negeri, karena masing-masing pihak merasa mendapat kerugian. Partner lokal merasa dirugikan karena tidak dapat menguasai sepenuhnya manajemen perusahaan karena harus dibagi dengan pihak asing yang lebih mempunyai kemampuan. Jika joint venture dilaksanakan oleh suatu MNC, maka strategi dan pasar akan ditentukan menurut cara-cara yang berlaku di dalam MNC tersebut. Selain itu, kebijakan training, alih teknologi dan manajemen juga tidak diberikan secara optimal. Ketiga, partner asing juga merasa dirugikan perusahaan penanaman modal asing harus berbentuk joint venture. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor, yaitu; manajemen tidak seluruhnya berada di tangannya melainkan harus dibagi kewenangannya dengan pihak domestik, teknologi harus terbuka bagi mitra lokal, dan strategi pemasaran dari barang-barang produksi mungkin tidak sepenuhnya dapat dikuasai karena tidak seluruhnya dapat disebarkan atau dipasarkan. Selain itu, 13 Masao Sakurai, Legal Problems of International Joint Ventures In Asia (Tokyo : Institue of Developing Economies, 1980),hal. 97. 21 seringkali perusahaan joint venture terjadi pertentangan kepentingan antara pemerintah penerima modal asing dengan penanam modal asing. BAB IV PENGATURAN BIDANG USAHA UNTUK PENANAMAN MODAL Pasal 12 ayat (1) UU PM menyebutkan bahwa semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. Ada bidang-bidang yang tertutup karena alasan non-ekonomi dan ada bidang-bidang yang dibuka dengan persyaratan karena kepentingan nasional secara khusus. UU PM itu memberi kesempatan berusaha dengan kepastian hukum yang lebih kuat. Undang-undang ini pada dasarnya sebagai pendorong bagi penanaman modal. Dengan harapan adalah tambahan investasi yang lebih besar agar perekonomian bertambah baik. Pada gilirannya, pertambahan investasi dan dinamika ekonomi tersebut dapat menyelesaikan masalah pengangguran dan kemiskinan. Pada Penjelasan Pasal 12 Ayat (1): Bidang usaha atau jenis usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan ditetapkan melalui Peraturan Presiden disusun dalam suatu daftar yang berdasarkan standar klasifikasi tentang bidang usaha atau jenis usaha yang berlaku di Indonesia, yaitu klasifikasi berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dan/atau Internasional Standard for Industrial Classification (ISIC) Selanjutnya, pada ayat 2, secara tegas undang-undang itu menyatakan beberapa bidang usaha yang tertutup karena alasan tertentu. Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah: a) produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan b) bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. 22 Mengingat semua bidang tidak bisa ditarik ke dalam bidang usaha ekonomi yang dikelola oleh penanam modal atau perusahaan, maka dengan pertimbanganpertimnbangan strategis, pemerintah dapat menutup bidang usaha tersebut. Pada ayat 3, undang-undang itu menyebutkan: "Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya." Presiden diberi kewenangan untuk membuat kebijakan itu dan mengatur bidang usaha. Pada Pasal 4 disebutkan: "Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden." Sementara itu, juga penting adalah bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. Disebutkan bahwa: "Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah." Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa undang-undang ini sangat memperhatikan kepentingan domestik. Faktor perlindungan sumber daya alam, perlindungan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, serta peningkatan kapasitas teknologi sudah didiskusikan sebagai hal penting untuk menjadi bagian dari kebijakan negara. Ketentuan ini oleh sebagian kalangan masyarakat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945, karena Pasal 12 ayat (4) menyebutkan bahwa kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan 23 persyaratan akan diatur dengan Peraturan Presiden. Ketentuan ini dianggap memberikan kebebasan penuh kepada Presiden untuk menentukan kriteria dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dalam suatu Peraturan Presiden. Di samping itu, menurut Pemohon, seharusnya bidang-bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan harus disebutkan secara jelas dalam undang-undang a quo, sedangkan yang diatur dalam Peraturan Presiden hanyalah masalah-masalah teknis pengaturan. Pemerintah memberikan jawaban bahwa Pasal 12 ayat (1), (3) dan (4) UU PM tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2), (3) dan (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.14 Pemerintah mengemukakan beberapa alasan, bahwa bidang-bidang usaha yang masuk kriteria tersebut di atas diatur dengan Peraturan Presiden, dengan pertimbangan masalah tekhnis. Dengan Peraturan Presiden, dapat dikurangi atau ditambah, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ekonomi.15 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa ketentuan tidak bertentangan UUD 1945. Alasannya, kata-kata “berdasarkan undang-undang”, sama pengertiannya dengan “oleh undang-undang” Ketentuan Pasal 12 ayat (1), (3) dan (4) UU PM dapat dinyatakan sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Keputusan Mahkamah Konstitusi telah sesuai dengan konstitusi, karena memang tidak ada muatan dalam Pasal 12 ayat (1), (3) dan (4) UU PM yang bertentangan dengan UUD 1945. Kekhawatiran bahwa dengan Peraturan Presiden akan memberi kesempatan yang besar kepada Presiden untuk menentukan bidang usaha yang tertutup atau terbuka, sangat tidak beralasan. Karena, penentuan bidangbidang usaha tersebut telah “dipagari” dengan ketentuan yang lain, yaitu harus 14 Lihat Keterangan Pemerintah pada Sidang Mahkamah Konstitusi, pada 3 November 2007. b15 Jawaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.I Dalam Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 5 Desember 2007. 24 melindungi sumber daya alam, mengembangkan UMKM dan dapat meningkatkan kapasitas teknologi. Ketentuan lebih lanjut mengenai daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal dapat dilihat dalam peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 dengan beberapa perubahan pada Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007. Dalam peraturan presiden tersebut terdapat ketentuan bahwa pihak asing dapat menanamkan modalnya di Indonesia di bidang periklanan, karena bidang usaha periklanan tidak termasuk dalam bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal dalam negri dan penanaman modal asing [] 25 BAB V PENANAMAN MODAL DI BIDANG PERTAMBANGAN Penanaman modal di bidang pertambangan, pada awalnya diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-undang tersebut sudah berlaku selama empat dasawarsa. Pada masa diberlakukannya telah dapat memberikan sumbangan yang penting bagi pembangunan nasional. Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut yang materi muatannya bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum, ekonomi dan politik. Pembangunan pertambangan menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional maupun internasional. Untuk menghadapi tantangan lingkungan strategis telah disusun Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut UU Minerba). UU Minerba diharapkan dapat memberikan landasan hukum bagi langkahlangkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Paling tidak UU ini memiliki 6 (enam) kelebihan dibandingkan dengan UU No. 11 Tahun 1967.16 Pertama, pengusahaan dan pengelolaan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin oleh pemerintah. Dengan pola ini, posisi negara berada di atas perusahaan pertambangan, sehingga negara memiliki kewenangan untuk mendorong perubahan kesepakatan bila ternyata merugikan bangsa Indonesia. Kewenangan ini tidak ditemukan dalam pola perjanjian kontrak karya. Pada pola ini, perusahaan pertambangan berada dalam posisi sejajar dengan negara sehingga perubahan atas kontrak hanya dapat dilakukan dengan kesepakatan kedua pihak. Kedua, undang-undang ini memperluas kewenangan pemerintah kota dan kabupaten dalam memberikan izin pertambangan. Artinya, pemerintah provinsi dan 16 Lihat Bisnis Indonesia, Kamis 18 Desember 2008. 26 kabupaten/kota juga diberi kewenangan untuk mengeluarkan izin pertambangan di wilayahnya. Kewenangan tersebut memungkinkan daerah memiliki kesempatan untuk memperoleh penghasilan dari pengusahaan terhadap pertambangan minerba tersebut. Hal ini pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah. Ketiga, mengakui kegiatan pertambangan rakyat dalam suatu wilayah pertambangan. Pengakuan ini penting mengingat selama ini kegiatan pertambangan rakyat dikategorikan liar dan ilegal, sehingga dilarang dengan ancaman hukuman yang cukup berat. Padahal, kegiatan ini sudah berlangsung lama dan dilakukan secara turun-temurun di sekitar lokasi pertambangan yang diusahakan, baik oleh BUMN maupun swasta. Keempat, UU Minerba mewajibkan perusahaan pertambangan yang sudah berproduksi untuk membangun pabrik pengolahan di dalam negeri. Kehadiran pabrik itu penting dalam upaya meningkatkan nilai tambah dari bahan tambang minerba, selain membuka lapangan kerja baru bagi rakyat Indonesia. Pembangunan pabrik pengolahan itu juga akan menimbulkan trickle down effect bagi masyarakat di sekitar lokasi pabrik. Kondisi ini pada akhirnya dapat meningkatkan aktivitas ekonomi dan kesejahteraan rakyat di sekitar lokasi pabrik. Kelima, UU Minerba ini juga mencantumkan batasan luas wilayah kegiatan pertambangan sebagai berikut : luas wilayah pemegang IUP Eksplorasi mineral logam tidak melebihi 100.000 ha dan untuk operasi produksi mineral logam tidak melebihi 25.000 ha,17 luas wilayah pemegang IUP Eksplorasi batubara tidak melebihi 50.000 ha dan untuk operasi produksi batubara tidak melebihi 15.000 ha,18 luas wilayah pemegang IUP Eksplorasi mineral non logam tidak melebihi 25.000 ha dan 17 Lihat Pasal 50 dan Pasal 51Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara . 18 Lihat Pasal 59 dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara . 27 untuk operasi produksi tidak melebihi 5.000 ha,19, luas wilayah pemegang IUP Eksplorasi batuan tidak melebihi 5.000 ha dan untuk operasi produksi batubara tidak melebihi 1000 ha.20 Keenam, dalam UU Minerba beberapa ketentuan fiskal sebagai berikut, tarif perpajakan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dari waktu ke waktu/prevailing law,21 adanya kewajiban perpajakan tambahan sekitar 10%, yakni 6% untuk pemerintah pusat dan 4% untuk pemerintah daerah, 22 besaran tarif iuran produksi (royalty) ditetapkan berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi dan harga.23 Selain beberapa kelebihan di atas, UU Minerba ini juga membawa perubahan yang sangat fundamental, misalnya perubahan sistem Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi izin usaha pertambangan, masa peralihan bagi kontrak karya yang sedang berjalan, dan kewajiban pembangunan smelter (pengolahan) di dalam negeri. Sebelumnya, berdasarkan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, pengusahaan dan pengelolaan pertambangan menggunakan pola kontrak karya. Dengan pola ini, manfaat yang diperoleh bangsa Indonesia dari pengusahaan dan pengelolaan pertambangan minerba dinilai tidak maksimal, karena posisi negara yang sejajar dengan perusahaan pertambangan. Padahal, negara merupakan pemilik seluruh deposit minerba yang ada di perut bumi Indonesia. Seluruh kekayaan tambang itu harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Pada pasal 170 UU Minerba menyebutkan bahwa Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang telah 19 Lihat Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara . 20 Lihat Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara . 21 Lihat Pasal 133 Ayat (3) dan Ayat (5), Pasal 136 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara . 22 Lihat Pasal 134 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara . 23 Lihat Pasal 137 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara . 28 ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian. UU tersebut juga mengatur bahwa meskipun KK dan PKP2B yang berjalan tetap berlaku, namun ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalamnya harus disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU Minerba diberlakukan. Tapi tidak semua ketentuan yang disesuaikan, ketentuan yang terkait penerimaan negara tetap dipertahankan dan tidak perlu diubah. Sementara itu, Pasal 33 UU Minerba menyebutkan bahwa pengusahaan pertambangan yang sebelumnya menggunakan rezim kontrak dan perjanjian selanjutnya dilakukan melalui tiga bentuk, yaitu (a) Izin Usaha Pertambangan (IUP), (b) Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan (c) Perjanjian Usaha Pertambangan (PUP). Bedanya, jika menggunakan bentuk kontrak dan perjanjian, maka pemerintah dan perusahaan tambang merupakan dua pihak yang setara. Dengan metode bentuk izin, posisi pemerintah bisa dikatakan lebih 'tinggi atau berkuasa' karena berlaku sebagai pihak yang memberi izin kepada perusahaan tambang untuk melakukan aktivitas tambang. Dengan begitu, pemerintah punya 'kuasa' untuk mencabut izin jika dirasa perlu melalui prosedur yang ada. Pemberian izin juga dibagi menjadi tiga, yaitu (a) untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin diberikan kepada perusahaan tambang yang bisa melakukan pertambangan skala besar. (b) Izin Pertambangan Rakyat (IPR) diberikan untuk komunitas atau koperasi yang melakukan aktivitas pertambangan skala kecil. (c) Perjanjian Usaha Pertambangan (PUP) dilakukan perusahaaan tambang dengan badan pelaksana yang dibentuk pemerintah. Dalam sektor migas, badan tersebut bersifat seperti BP Migas. PUP diharapkan lebih memberikan kepastian hukum dibandingkan IUP dalam berusaha karena hingga saat ini Indonesia belum memiliki prevailling law system yang baik. Mengingat secara ekonomis, pengelolaan pertambangan di Indonesia dinilai kurang menguntungkan negara karena banyak produk tambang dalam negeri yang diekspor sebagai produk mentah, sehingga harganya murah. Setelah diolah di luar 29 negeri, banyak produk setengah jadi atau yang sudah jadi kembali diimpor ke Indonesia. Dengan begitu, nilai tambah produk-produk tambang justru dinikmati negara-negara lain. Maka dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, maka UU Minerba menerapkan beberapa kewajiban bagi pemegang IUP dan PUP dalam melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri tercantum pada UU Minerba Pasal 110. Sementara itu, pada Pasal 171 disebutkan pelaksanaan ketentuan tentang pemurnian terhadap pemegang Kontrak Karya yang telah berproduksi dilaksanakan selambat-lambatnya 5 tahun sejak Undang-undang Minerba disahkan. Kelayakan suatu tambang juga harus menjadi pertimbangan dalam menentukan sejauh mana tingkat downstream industri yang wajib dilakukan oleh perusahaan. Namun demikian, belum ada penjelasan rinci tentang penetapan batasan minimum suatu tambang telah menjalankan kewajiban pengolahan dan pemurnian dalam rangka peningkatan nilai tambah. Sebab jika tidak dibatasi tingkat minimum downstream industri yang harus dijalankan dapat saja perusahaan tambang kembali menjual raw material dalam bentuk bulk yang tidak dapat dikategorikan sebagai komoditi. Selain itu jangka waktu 5 tahun untuk memenuhi kewajiban melakukan pengolahan di dalam negeri dinilai tidak efektif, mengingat pendirian pabrik harus mempertimbangkan berbagai hal, diantaranya kapasitas minimum, batasan teknologi, infrastruktur, energi, lokasi, biaya, sumber daya manusia, dan sebagainya. Dalam UU Minerba juga tercantum mengenai kewajiban pembangunan pengolahan (smelter) di dalam negeri. Hal ini ditetapkan untuk meningkatkan nilai tambah produk-produk tambang dalam negeri. Selain itu, undang-undang ini juga memperluas pemberian izin kepada perorangan selain badan usaha dan koperasi. Perluasan ketentuan ini akan mendorong penerbitan izin lebih banyak lagi. Saat ini sudah 8.375 KP diterbitkan pemerintah daerah.24 Mudahnya memperoleh izin pertambangan membuka kemungkinan penguasaan produksi oleh pihak luar. Pada 24 Lihat Kompas, 19 Februari 2009. 30 saat ini, China sudah menjadi investor bagi perusahaan lokal dan kemungkinan India akan segera menyusul. Selain upaya penguasaan saham perusahaan pertambangan seperti dilakukan Tata Power dengan mengakuisisi 30 persen saham PT Arutmin dan PT KPC, kerja sama dengan mendirikan perusahaan berbadan hukum Indonesia juga akan semakin banyak. Indonesia memiliki cadangan batu bara sekitar 120 miliar ton. Dalam lima tahun terakhir, produksi nasional naik signifikan. Tahun 2009 produksi batu bara nasional 250 juta ton, naik 175 juta ton dari produksi tahun 2004 sebesar 184,8 juta ton. Kenaikan produksi terutama disebabkan kenaikan permintaan dunia dan harga batu bara yang dipengaruhi kenaikan harga minyak. Dari total produksi tersebut, 190 juta ton diekspor dan sisanya 60 juta ton digunakan untuk kebutuhan dalam negeri. Hanya dalam waktu satu tahun Indonesia menempati posisi pertama pengekspor batu bara, menggeser Australia. Konsumen utama Indonesia antara lain Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan China. Perusahaan-perusahaan swasta yang memproduksi batu bara antara lain perusahaan yang memegang Perjanjian Karya Penguasaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), diikuti pemegang kuasa pertambangan (KP) sekitar 7 persen. Badan usaha milik negara hanya menyumbang 5 persen produksi nasional. Group Bumi Resources melalui dua anak usahanya, Kaltim Prima Coal (KPC) dan Arutmin Indonesia menempati urusan teratas dengan total produksi 58 juta ton diikuti Adaro Indonesia (41 juta ton) dan PT Tambang Batu Bara Bukit Asam (15 juta ton).25 Saat ini sektor pertambangan memiliki kaitan dengan 16 UU sektor lain dan berpotensi akan lebih banyak terjadi ketidaksinkronan. Hal ini disebabkan 16 UU sektor lain tersebut belum mengakomodasikan secara spesifik berkaitan dengan sektor pertambangan. Implementasi UU Minerba juga tidak berdiri sendiri tetapi harus dikaitkan dengan undang-undang lainnya seperti UU Kehutanan dan UU Lingkungan Hidup 25 Lihat Kompas, 19 Februari 2010 31 yang berlaku. Penerapan undang-undang lainnya terkait dengan masalah perlindungan masyarakat korban yang terkena dampak usaha tambang. Berikut ini akan diperbandingkan sisi perubahan yang terkandung dalam undang-undang baru. Keterkaitan dengan undang-undang yang lain akan mempengaruhi bagaimana nanti implementasi yang lebih pasti dari UU Minerba ini dan bagaimana arah serta gambaran pengelolaan sektor pertambangan ke depan yang lebih pasti. Implementasinya akan sangat tergantung pada situasi, kondisi, dan kepentingan pengambil kebijakan pada saat peraturan pemerintah (PP) dan Perda dibuat. Pada dasarnya substansi UU No.4 Tahun 2009, berusaha menggunakan arah baru kebijakan pertambangan yang mengakomodasikan prinsip kepentingan nasional (national interest) , kemanfaatan untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi pengelolaan dan pengelolaan pertambangan yang baik (good mining practies). Dengan sejumlah prinsip tersebut, maka dalam terjemahannya pada tingkat konstruksi pasal-pasal terdapat beberapa point maju meski disertai dengan cukup banyaknya klausul yang masih membutuhkan klarifikasi. Menguatnya Hak Penguasaan Negara (HPN), termasuk penguasaan SDA, Pemerintah menyelenggarakan asas tersebut lewat kewenangan mengatur, mengurus dan mengawasi pengelolaan usaha tambang. Untuk itu dimulai dari perubahan sistem/rezim kontrak menjadi sistem/rezim perijinan. Dalam sistem/rezim kontrak sebagaimana diterapkan selama ini berdasarkan UU No.11 Tahun 1967, posisi pemerintah tidak saja mendua yaitu sebagai regulator dan pihak yang melakukan kontrak, tetapi secara mendasar juga merendahkan posisi Negara setara (level) kontraktor. Oleh sebab itu implikasi hukum perubahan sistem/rezim dalam undang-undang yang baru (UU Minerba) ini adalah mengembalikan asas HPN pada posisi secara ketatanegaraan. 32 BAB VI PENGATURAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN PENANAMAN MODAL Tanah mempunyai fungsi yang sangat penting untuk mendukung kegiatan penanaman modal. Secara umum, masalah tanah diatur dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria (UUPA). Ketentuan lebih lanjut, diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1980 tentang Pemanfaatan Tanah Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan untuk Usaha Patungan dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Keputusan Presiden No.23 Tahun 1980 menyebutkan bahwa hak guna usaha dalam rangka penanaman modal asing dipegang oleh peserta Indonesia atas nama badan hukum peserta Indonesia dalam usaha patungan yang bersangkutan. Jika dalam usaha patungan terdapat lebih dari satu peserta Indonesia, maka hak guna usaha diberikan atas nama salah satu dari peserta Indonesia tersebut. Permohonan untuk memperoleh hak guna usaha harus diajukan oleh peserta Indonesia yang dapat diperoleh dalam jangka waktu 35 tahun dengan kemungkinan diperpanjang paling lama menjadi 60 tahun.26 Pemegang hak guna usaha yang peserta Indonesia dapat menyerahkan tanah hak guna usaha dalam bentuk serah terima kepada usaha patungan, dengan ketentuanketentuan sebagai berikut: a. Serah pakai tanah hak guna usaha berlaku untuk jangka waktu selama berlangsungnya usaha patungan, akan tetapi tidak boleh melebihi jangka waktu berlakunya hak guna usaha yang bersangkutan. b. Untuk serah pakai tanah hak guna usaha tersebut pemegang hak guna usaha dapat memperoleh nilai pengganti sebesar nilai kumulatif pengganti 26 Lihat Pasal 1 ayat (6) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1980 tentang Pemanfaatan Tanah Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan untuk Usaha Patungan dalam Rangka Penanaman Modal Asing. 33 pemanfaatan tanah hak guna usaha yang bersangkutan dan dapat memasukkan jumlah tersebut sekaligus atau secara bertahap ke dalam usaha patungan sebagai penyertaan modal. c. Usaha patungan berkewajiban mengusahakan dengan baik tanah hak guna usaha yang diserahpakaikan sesuai dengan kelayakan usaha. d. Apabila tanah hak guna usaha yang diserahpakaikan itu dinilai tidak diusahakan dengan baik, berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, maka dengan izin Ketua BKPM pihak peserta Indonesia pemegang hak guna usaha dapat membatalkan serah pakai tersebut. e. Serah pakai tanah hak guna usaha tersebut tidak boleh dibatalkan secara sepihak oleh pemegang hak guna usaha, selama usaha patungan yang bersangkutan memenuhi kewajiban kepada pemerintah maupun kepada pemegang hak guna usaha.27 Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1980 dicabut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1992 tentang Pemanfaatan Tanah Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan Untuk Usaha Patungan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Pasal 1 ayat (4) menyebutkan, Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun sepanjang perusahaan yang bersangkutan masih menjalankan usahanya dengan baik dan dapat diperbaharui. Selanjutnya, Pasal 2 ayat (1) menyebutkan, Hak Guna Usaha yang dipegang oleh Perusahaan Patungan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Pasal 3 ayat (1) menyebutkan, bahwa dalam hal perusahaan patungan memerlukan tanah untuk keperluan emplasemen, bangunan pabrik, gudang, perumahan karyawan dan bangunan-bangunan lainnya, maka kepada usaha patungan tersebut dapat diberikan 27 Lihat Pasal 2 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1980 tentang Pemanfaatan Tanah Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan untuk Usaha Patungan dalam Rangka Penanaman Modal Asing. 34 Hak Guna Bangunan atas tanah yang bersangkutan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan ketentuan tanah yang dimohon tersebut terletak di luar areal yang sudah ada Hak Guna Usahanya. Ayat (2), dalam hal tanah yang dikehendaki untuk diberikan dengan Hak Guna Bangunan atas nama Perusahaan Patungan tersebut termasuk dalam areal yang sudah Hak Guna Usahanya, maka status haknya harus tetap Hak Guna Usaha dan tidak dapat diberikan Hak Guna Bangunan. Mengenai tanah-tanah perkebunan, Pasal 6 menyebutkan bahwa perusahaan penanaman modal asing yang memiliki/menguasai tanah-tanah perkebunan yang dikembalikan kepemilikannya/pengusahaannya berdasarkan Instruksi Kabinet Ampera Nomor 28/U/IN/17/1966 dan yang status haknya sudah dan/atau akan berakhir dapat diberikan perpanjangan dan/atau memohon hak baru dengan ketentuan mengubah statusnya menjadi Perusahaan Patungan dengan pihak Indonesia. Pengaturan masalah hak atas tanah diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Latar belakang lahirnya peraturan pemerintah ini adalah terjadinya persaingan dengan negara-negara lain dalam menarik investasi asing. Karenanya, pemerintah Indonesia melakukan deregulasi peraturan pertanahan agar investor asing masuk ke Indonesia. Pasal 8 menyebutkan bahwa jangka waktu HGU adalah 35 tahun dan dapat diperpanjang selama 25 tahun serta diperbaharui sekaligus untuk 35 tahun lagi sehingga total 85 tahun. Selanjutnya, pasal 11 menyebutkan bahwa untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Usaha. Kemudian Pasal 28 menyebutkan bahwa untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan. 35 Ketentuan tentang hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 menimbulkan kontroversi karena dianggap bertentangan dengan UndangUndang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Menurut Maria S.W. Sumardjono, ketentuan Peraturan Pemerintah 40 Tahun 1996 tidak bertentangan dengan UUPA. Setidak-tidaknya ada dua alasan yang dikemukakan. Pertama, Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sendiri tidak mengatur apakah yang akan terjadi setelah HGU dan HGB itu berakhir setelah diperpanjang jangka waktunya kecuali menyebutkan bhawa HGU dan HGB akan hapus apabila jika jangka waktunya berakhir. Logikanya adalah, dengan hapusnya HGU dan HGB tersebut, di atas tanah bekas HGU dan HGB yang statusnya kini menjadi tanah Negara dapat diberikan suatu hak atas tanah, termasuk kemungkinan diberikan HGU dan HGB baru, baik kepada pemohon baru, maupun pemohon bekas pemegang hak. Jika pemohonya adalah bekas pemegang hak yang lama yang masih memenuhi persyaratan, maka istilah lebih tepat digunakan adalah pembaharuan hak, mengingat bahwa HGU dan HGB itu tidak dimohon menjelang berakhirnya perpanjangan waktu HGU dan HGB tersebut. Kedua, penggunaan istilah pembaharuan hak, yang tentunya juga masih membuka kemungkinan untuk diberi perpanjangan apabila syarat-syaratnya dipenuhi, adalah sesuai dengan metode interpretasi terhadap pasal 29 dan pasal 35 UUPA sebagai salah satu cara pembangunan hukum dengan jalan penemuan hukum (rechtsvinding).28 Selanjutnya, Peraturan Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Menurut peraturan pemerintah ini, orang asing yang berkedudukan di Indonesia diperkenankan memiliki satu rumah untuk tempat tinggal, baik berupa rumah yang berdiri sendiri atau satuan rumah susun, sepanjang dibangun atas tanah berstatus Hak Pakai. Lihat Maria Sumardjono, “Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996”, Kompas, 24 September 1996. 28 36 Pengaturan masalah tanah dalam UU PM diatur pada Pasal 22 ayat (1) yang menyebutkan bahwa perizinan hak atas tanah dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa: a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun. Selanjutnya, ayat (2) menyebutkan bahwa hak atas tanah dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain: a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekenomian Indonesia yang lebih berdaya saing; b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan; c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas; d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum. 37 Selain itu, ayat (3) menyebutkan bahwa, hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. Akhirnya, ayat (4) menyebutkan bahwa Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pertanahan. Fasilitas hak atas tanah dalam UU PM, pada dasarnya lebih moderat jika dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Memang kalau dibandingkan dengan UndangUndang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, jangka waktu hak atas tanah dalam UU PM, lebih lama sehingga terkesan liberal. Pasal 14 Undang-undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menyebutkan bahwa, untuk keperluan perusahaan-perusahaan modal asing dapat diberikan tanah dengan hak guna-bangunan, hak guna-usaha dan hak pakai menurut peraturan perudangan yang berlaku. Hak atas tanah dalam UU PM, juga terkesan liberal jika dibandingkan dengan UUPA. Hal ini dipengaruhi dari faktor yang mempengaruhi lahirnya undang-undang ini yang anti modal asing, sebagaimana tercantum dalam jawaban Menteri Agraria Mr.Sadjarwo yang mewakili pemerintah atas pemandangan umum Anggota DPR-RI terhadap naskah RUU Pokok Agraria di muka Sidang Pleno DPR-GR, 14 September 196029: “...Rancangan Undang-Undang ini selain akan menumbangkan puncak kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan 29 Sadjarwo dalam Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, cetakan ke XIX (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003) hal.607-614. 38 tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan sengketa-sengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing, dengan aparat-aparatnya yang mengadu-dombakan aparat-aparat pemerintah dengan rakyatnya sendiri, yang akibatnya mencetus sebagai peristiwa berdarah dan berkali-kali pentraktoran-pentraktoran yang sangat menyedihkan”. Selanjutnya dalam sidang terakhir untuk pembahasan UUPA, Sadjarwo menegaskan bahwa UUPA mengeleminasi investasi asing. Undang-Undang ini menyebutkan bahwa hak atas tanah paling lama 35 tahun dan setelah itu dapat diperpanjang 25 tahun lagi. Jangka waktu hak atas tanah dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, tidak memadai lagi, sehingga pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal 11 menyebutkan tentang perpanjangan dan pembaruan Hak Guna Usaha, bahwa: (1) Untuk kepentingan penanam modal, permintaan perpanjangan atas pembaruan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Usaha. (2) Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud ayat (1), untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha hanya dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. (3) Persetujuan untuk dapat membeikan perpanjangan atau pembaruan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud Pasal 9 dan perincian uang pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Guna Usaha yang bersangkutan. 39 Mengenai perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah untuk Hak Guna Bangunan diatur lebih lanjut Pasal 28 yang berbunyi: (1) Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan. (2) Dalam hal pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk perpanjangan atau pembaruan Hak Guna Bangunan hanya dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetuan dari Menteri Keuangan. (3) Persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan perincian uang pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Guna Bangunan. Ketentuan mengenai perpanjangan dan pembaruan Hak Pakai lebih lanjut disebutkan pada Pasal 48 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaruan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dapat dilakukan sekaligus dengan pembayaran uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Pakai. (2) Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk perpanjangan atau pembaruan Hak Pakai hanya dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. (3) Persetujuan untuk pemberian perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) serta perincian uang 40 pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Pakai. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka hak atas tanah dalam UUPM tidak jauh berbeda dengan Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996. Kedua peraturan ini mengatur tentang jangka dan pembaharuan hak atas tanah. Meskipun ketentuan ini tidak diatur dalam UUPA, Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 dan UUPM, tidak bisa dinyatakan bertentangan dengan UUPA. Setidak-tidaknya ada dua alasan bahwa Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 dan UUPM tidak bertentangan dengan UUPA. Pertama, UUPA tidak mengatur tindak lanjut setelah berakhirnya HGU dan HGB. Dengan demikian, memberi kemungkinan adanya perpanjangan dan pembaruan. Kedua, UUPA tidak melarang adanya perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah. Ketiga, dalam hukum dikenal metode penemuan hukum, artinya jika tidak diatur secara jelas, maka memberikan ruang untuk melakukan interpretasi.30 Ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf a, b dan c dan Pasal 22 ayat (2) UUPM oleh sebagian kalangan dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 C ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945. Alasannya, antara lain: Pertama, penguasaan hak atas tanah kepada penanam modal dalam bentuk HGU selama 90 tahun, HGB selama 80 tahun, dan Hak Pakai selama 70 tahun, mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia. Kedua, ketentuan ini akan membatasi akses petani untuk mendapatkan tanah garapan yang berakibat pada meningkatnya jumlah petani gurem yang tidak mendapatkan jaminan untuk mengembangkan diri. Jangka waktu yang sangat lama akan mengakibatkan masyarakat terjauhkan dari peluang untuk mengakses tanah guna pertanian atas tanah negara, sementara pertumbuhan dan tingkat populasi masyarakat terus bertambah. Ketiga, ketentuan ini lebih lama daripada atas tanah yang diatur dalam UUPA bahkan lebih lama dari pada hak atas 30 Maria Sumardjono, Kompas, 24 September 1993 41 tanah yang diberikan Pemerintah Kolonial Belanda dalam Agrarische Wet 1870 yang hanya membolehkan jangka waktu penguasaan selama 75 tahun. Sebagai perbandingan HGU dan HGB yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 selama 60 tahun untuk HGU dan 50 tahun untuk HGB sedangkan untuk HGU dalam UUPM diberikan paling lama 95 tahun dan untuk HGB diberikan paling lama 80 tahun dan Hak Pakai paling lama 70 tahun. Keempat, tanah sebagai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus mengacu pada UndangUndang Dasar 1945 Pasal 33. Ketentuan ini memberikan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Kelima, menimbulkan ketidakpastian hukum karena bertentangan dengan Politik Pertanahan Nasional dan aturan perundang-undangan lainnya. Keenam, menempatkan Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan menjadi individualistik dan melupakan fungsi sosialnya serta meniadakan kedaulatan rakyat. Pemerintah memberikan jawaban bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf a, b dan c dan Pasal 22 ayat (2) UUPM, tidak bertentangan dengan UUD 1945.31 Pertama, perpanjangan sekaligus pada waktu pemberian hak-hak atas tanah tersebut bagi penanam modal adalah merupakan insentif. Pelaksanaannya harus memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 ayat (2) UUPM. Kedua, hak atas tanah tersebut baru dapat diperbaharui setelah dilakukan evaluasi. Evaluasi ini meliputi, apakah tanah tersebut masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak. Pemerintah menegaskan, tidak benar bahwa pemberian, perpanjangan, dan pembaharuan hak atas tanah tersebut diberikan dimuka sekaligus, sehingga tidak otomatis Hak Guna Usaha (HGU) berjangka waktu 95 (sembilan puluh lima tahun) tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) 80 (delapan puluh) tahun dan Hak Pakai 70 (tujuh puluh) tahun. Ketiga, hak atas tanah tersebut setiap saat dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah. Pembatalan hak atas tanah ini, jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan 31 Jawaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.I Dalam Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Penanaman Modal, 5 Desember 2007. 42 umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya. Keempat, perpanjangan yang diberikan dimuka adalah berupa jaminan dari negara bagi penanam modal untuk mendapatkan jangka waktu yang cukup guna pengembalian modalnya. Ini berlaku untuk penanam modal asing dan dalam negeri. Jawaban pemerintah diperkuat dengan pendapat Felix Untung Soebagjo yang menyatakan bahwa, kebijakan pertanahan dalam UUPM tidak bertentangan dengan politik pertanahan nasional. Ketentuan ini pada dasarnya sama dengan apa yang diatur dalam UUPA. Bedanya hanya dalam cara penyajian. Undang-undang Penanaman Modal kelihatan “seksi”, pantas dilirik oleh calon penanam modal baik dalam maupun luar negeri, pantas dijadikan acuan, pantas dijadikan sebagai pedoman, pantas dijadikan sebagai alat bahwa kepastian hukum ada di Indonesia, maka bisa dibuat dengan cara yang lebih manis, lebih bisa menggoda orang lain. Lebih lanjut Felix Untung Soebagjo, bahwa ketentuan yang mengatur dan memungkinkan pemberian hak guna usaha sampai dengan jumlah 95 tahun, HGB sampai dengan jumlah 80 tahun, hak pakai sampai dengan 70 tahun kalau menurut saya adalah ”rumusan sexy ” baru.32 Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996, lebih liberal dibandingkan dengan Pasal 22 UU PM. Di samping itu, hak atas tanah dalam UU PM tidak bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang 1945 dan Pasal 27 ayat (2) dari Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini sesuai dengan adanya putusan-putusan dari Mahkamah Konstitusi tiga perkara sebelumnya yang meliputi uji materil terhadap UndangUndang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Migas, Undang-Undang tentang Sumber Daya Air. 32 Lihat, pendapat Dr.Felix Untung Soebagjo pada Sidang di Mahkamah Konstitusi, tanggal 20 November 2007. 43 Pandangan tersebut diperkuat dengan pandangan ahli pemerintah yang lain, yaitu Kurnia Toha yang menyatakan hak atas tanah dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, pemberian hak tersebut tetap tidak mengurangi kedaulatan negara untuk melaksanakan mandat mengadakan kebijakan dan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Pendapat ini didasarkan pada argumentasi sebagai berikut: Pertama, jaminan sangat penting berkaitan dengan hak atas tanah. Menurut Nicholas McPurell, hak-hak ini tidak banyak artinya kalau kurang adanya jaminan dari Pemerintah. Aaron Barzel mengatakan jaminan atas hak-hak atas tanah ini dalam bentuk peraturan, aparatur pelaksana yang konsisten dan penyelesaian sengketa yang adil di pengadilan atau arbitrase. Kedua, jangka waktu hak atas tanah merupakan salah satu aspek dalam jaminan hak atas tanah. Semakin lama jangka waktu atas suatu hak, maka semakin terjamin hak tersebut. Sebagai perbandingan, jangka waktu hak atas tanah untuk penanam modal di Malaysia adalah 99 tahun, di Vietnam 70 tahun, di Thailand 90 tahun, di Kamboja 70 tahun dan di Cina 70 tahun. Ketiga, pemberian hak atas tanah kepada penanam modal tidaklah berarti Pemerintah kehilangan kontrol atau melepaskan pengawasan terhadap pelaksanaan hak atas tanah tersebut. Keempat, di dalam Undang-Undang Pokok Agraria dikatakan bahwa hak guna usaha bisa diberikan dalam 25 tahun dan diperpanjang kemudian 35 tahun dan dapat diperbaharui kemudian 35 tahun. Sementara PP Nomor 40 Tahun 1996 mengatakan, 35 tahun ditambah 25 tahun dan bisa diperbaharui 35 tahun sekaligus. Sedangkan, Undang-Undang Penanaman Modal Pasal 22 memberikan 60 tahun dan dapat diperbaharui selama 35 tahun, jadi tidak langsung 95 tahun. Tetapi 60 tahun kemudian dievaluasi apakah masih memenuhi syarat, kalau masih memenuhi syarat maka bisa diperbaharui. Kelima, UU PM memberikan jaminan dan memperkuat perlindungan kepada penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri, besar maupun kecil. 44 Pendapat senada disampaikan oleh Ahli Pemerintah Bungaran Saragih, yang menyatakan UUPM menelantarkan petani kecil, tidak tepat. UU PM akan memfasilitasi adanya HGU pada sektor pertanian justru dapat memberi kesempatan kepada petani kecil melalui program inti plasma. Pendapat ini didasarkan pada pemikiran: Pertama, Hak Guna Usaha (HGU) khususnya dalam pertanian diberikan yang cukup luas atau besar dan jangka waktu yang panjang, pertanian pada umumnya merupakan bisnis yang mempunyai resiko yang besar, tetapi resiko yang paling berat adalah menyangkut resiko kepastian tentang kepemilikan dan penguasaan lahan. Kalau hal ini tidak dapat diselesaikan ataupun dijamin, maka tidak akan ada orang yang akan mau melakukan investasi di bidang pertanian, bukan hanya yang besar atau yang kecil juga tidak mau investasi karena tidak ada kepastian mengenai kepemilikan dan penguasaan lahan ini. Kedua, di bidang pertanian pemberian HGU adalah usaha untuk mengurangi resiko ketidakpastian tersebut. Waktu dulu kepemilikan lahan perkebunan dan tambak udang oleh petani kecil sangat sulit sekali tetapi dengan adanya pemilik HGU perusahaan besar dengan model inti plasma tersebut mereka menjadi ikut di dalam proses itu. Dari pengalaman inti plasma ini, sebenarnya tidak perlu adanya istilah diskriminasi. Untuk penanggulangan kemiskinan dan pengangguran di pedesaan, bukan di pertanian saja, solusinya adalah di sektor jasa dan industri. Selanjutnya, keterangan Ahli Pemerintah Umar Juoro, menyatakan sebagai berikut33: Pertama, UUPM adalah dalam rangka untuk memfasilitasi perkembangan investasi baik investasi dalam negeri maupun investasi dari luar negeri. Indonesia tergolong sebagai under performance menurut laporan UNCTAD bersama-sama dengan Bangladesh, Myanmar, Nepal, dan Philipina. Kedua, Indonesia masih jauh relatif aman 33 Lihat, pendapat Umar Juoro pada Sidang di Mahkamah Konstitusi, tanggal 20 November 2007. 45 dibandingkan Malaysia atau bahkan Cina dalam peran modal asing relatif terhadap kemampuan kita memproduksi ekonomi. Di negara-negara Asia Tenggara adalah persentasenya stok modal penanaman modal asing atau FDI adalah 39,5%. Jadi 40% itu adalah bentuk FDI dari total PDB-nya kembali untuk Indonesia hanya 5,2%. Jadi dari stock-nya itu data ini menunjukkan bahwa kurang lebih sama stock yang masuk dengan stock yang keluar. Ketiga, ada korelasi yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dengan modal asing atau foreign direct investment terutama di industri manufaktur. Karena dia akumulasi modalnya bisa berjalan lalu kemudian juga penyerapan tenaga kerja dibandingkan dengan sektor primer maupun sektor sekunder. Perusahaan yang dimiliki oleh modal asing itu membayar tenaga kerja baik itu tenaga kerja blue collar atau tenaga kerja yang tidak berketrampilan, itu adalah lebih tinggi. Kemudian untuk white collar atau pekerja-pekerja profesional adalah lebih tinggi 22%. Jadi pada umumnya adalah perusahaan asing dapat membayar upah yang lebih tinggi dari perusahaan-perusahaan yang lainnya, ini yang korelasi antara upah kesempatan kerja dengan modal asing. Keempat, dalam menciptakan kesempatan kerja yang berupah tinggi dan juga meningkatkan keterampilan serta menciptakan spill over dalam teknologi. Jadi dengan kata lain adalah semakin baik memfasilitasi aliran modal dan juga semakin kredibilitas kebijakan Pemerintah semakin tinggi, maka semakin banyak pekerja yang akan dapat masuk ke sektor yang berupah tinggi dan juga mempunyai keterampilan, tetapi kembali tidak taken for granted. Harus dilakukan upaya-upaya lebih lanjut. Peran modal asing adalah kalau dikelola dengan baik itu akan menimbulkan efek yang lebih banyak positifnya daripada negatifnya. Kemudian Cahtib Basri menyampaikan pendapat sebagai berikut34: Pertama, Penciptaan lapangan kerja yang banyak sekali terjadi sebetulnya diciptakan oleh UKM. Perusahaan yang di sektor formal itu penciptaan lapangan pekerjaannya 34 Lihat, pendapat Dr.Chatib Basri, pada Sidang di Mahkamah Konstitusi, tanggal 20 November 2007. 46 terbatas, tetapi kalau UKM yang perusahaan kecil menengah penciptaannya lapangan kerjanya banyak, sayangnya yang bekerja di bawah sektor menengah gajinya itu relatif kecil. Kemiskinan dapat diatasi kalau ada penciptaan lapangan kerja, penciptaan lapangan kerja hanya dapat menolong kalau upahnya tinggi, upahnya tinggi hanya dapat terjadi pada sektor formal, yang terjadi pada industri manufaktur di Indonesia. Kedua, sebelum krisis Indonesia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan manufaktur tertinggi di Asia, tetapi sayangnya setelah krisis Indonesia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan manufaktur terendah di Asia. Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), yang menyatakan bahwa pemberian hak-hak atas tanah “dapat diperpanjang di muka sekaligus maupun kata-kata “sekaligus di muka” telah mengurangi, memperlemah, atau bahkan dalam keadaan tertentu menghilangkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi sehingga dianggap bertentangan dengan konstitusi.35 Pendapat Mahkamah Konstitusi didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: Pertama, ketentuan yang memungkinkan negara, in casu Pemerintah, untuk menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah menghadapi kesulitan, karena sudah ada perpanjangan di muka sekaligus. Kedua, kewenangan negara yang terdapat dalam Pasal 22 Ayat (4) UU PM bersifat sangat eksepsional dan terbatas. Dikatakan eksepsional dan terbatas karena negara tidak boleh menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah tersebut di luar alasan-alasan yang secara terbatas (limitatif) telah ditentukan dalam Pasal 22 Ayat (4) UU PM. Dengan kata lain, negara tidak lagi bebas menjalankan kehendaknya untuk menghentikan atau tidak memperpanjang hak-hak atas tanah sebagaimana jika perpanjangan hakhak atas tanah itu tidak diberikan secara di muka sekaligus. Ketiga, negara akan menghadapi persoalan hukum, karena perusahaan penanaman modal akan mempersoalkan keabsahan tindakan negara, yang menghentikan atau membatalkan perpanjangan hak-hak atas 35 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, No.21-22/PUU-V/2007 mengenai Pengujian Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 47 tanah yang sudah diberikan perpanjangan di muka sekaligus. Keempat, pemerintah tidak dapat menggunakan alasan pemerataan kesempatan, untuk menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah. Kelima, berkurang atau melemahnya kedaulatan rakyat di bidang ekonomi sebagai akibat dari adanya kata-kata “dapat diperpanjang di muka sekaligus” makin jelas jika dihubungkan dengan ketentuan tentang penyelesaian sengketa, diantaranya melalui arbitrase. Keputusan Mahkamah Konstitusi mengembalikan pengaturan izin hak atas tanah kepada UU PA menimbulkan ketidakpastian hukum,36 dan menimbulkan kekecewaan investor lokal dan investor asing, karena akan menambah biaya investasi.37 Keputusan ini dapat dikatakan merupakan jalan tengah atau “win-win solution”. Setidak-tidaknya, ada empat alasan, sebagai berikut: Pertama, perpanjangan di muka sekaligus hak atas tanah, sama sekali tidak mengurangi kedaulatan negara. Karena, negara masih tetap memiliki hak untuk merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheerdaad) dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad). Landasan konstitusional hak menguasai negara terdapat pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat” Ketentuan lebih lanjut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diatur dengan Pasal 2 ayat (2) UUPA, yang berbunyi: (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan halhal sebagai dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk 36 “Pengusaha Kecewa Atas Putusan Mahkamah Konstitusi”, Tempo, 27 Maret 2008. Lihat “Mahkamah Konstitusi Matikan Daya Saing Ekonomi”, Media Indonesia, Senin, 7 April 2008. 37 48 kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan wewenang untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; b. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan perbuatan Hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejateraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Pada Memori Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agaria di bawah angka II/2 mengenai dasar daripada hak agraria nasional disebutkan bahwa: Undang-undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tidak perlu dan tidak pula pada tempatnya bahwa bangsa Indonesia ataupun negara bertindak sebagai pemilih. Berdasarkan rumusan ini, maka dapat dinyatakan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat bertindak selaku penguasa. Dengan demikian perkataan dikuasai bukan berarti dimiliki, akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada negara 49 sebagai organisasi kekuasaan bangsa Indonesia untuk pada tingkatan tertinggi melakukan wewenang-wewenang seperti disebutkan dalam pasal 2 ayat 2 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agaria.38 Ditinjau dari teori tentang hubungan negara dengan tanah dengan bertolak dari pengakuan bahwa bumi, air dan ruang angkasa adalah kepunyaan bersama, kepunyaan rakyat yang bersatu sebagai bangsa Indonesia, paling tidak ada dua pendekatan yang dapat dikemukakan. Pendekatan pertama menyatakan bahwa apabila Negara, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agaria, mempunyai hak menguasai, maka Negara sebagai badan penguasa diberi wewenang dalam bidang publik oleh bangsa Indonesia, sebagaimana halnya penguasa adat yang diberi wewenang oleh masyarakat hukumnya.39 Pendekatan kedua, menggunakan model Notonegoro mengenai hubungan yang langsung antara negara dengan bumi dan sebagainya, menjelaskan bahwa Negara mempunyai wewenang untuk menguasai tersebut karena Negara itu merupakan perwujudan (personifikasi) dari rakyat, dengan perkataan lain, hak menguasai itu sudah melekat dengan sendirinya pada Negara dalam kedudukannya selaku wakil rakyat yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Wewenang negara ini pada gilirannya dapat didelegasikan kepada daerahdaerah sebagai pelaksanaan asas medebewind. Dalam hal ini, tata letak hubungan antara rakyat, bangsa, dan negara dilihat sebagai suatu kontinum. Menurut Notonagoro, mengenai hubungan langsung antara negara dengan bumi, air dan ruang angkasa itu dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu: 1. Negara sebagai subyek, diberi kedudukan tidak sebagai perseorangan, tetapi sebagai negara, jadi sebagai badan kenegaraan, sebagai badan yang 38 Maria Sumardjono, SW, Puspita Serangkum Aneka Masalah Hukum Agraria, (Yogyakarta: Andi Offset, 1982), hal.11. 39 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1962), hal.6 50 publiekrechteijk. Dalam bentuk ini negara tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan perseorangan. 2. Negara sebagai subyek yang dipersamakan dengan perorangan, sehingga dengan demikian hubungan antara negara dengan bumi dan sebagainya itu sama dengan hak perorangan atas tanah. 3. Hubungan antara negara langsung dengan bumi dan sebagainya tidak sebagai subyek perorangan dan tidak dalam kedudukannya sebagai negara yang memiliki akan tetapi sebagai negara yang menjadi personifikasi dari rakyat seluruhnya, sehingga dalam konsepsi ini negara tidak terlepas daripada rakyat, negara hanya menjadi pendiri, menjadi pendukung daripada kesatuan-kesatuan rakyat. Kedua pendekatan ini pada hakekatnya mempunyai orientasi yang sama, yaitu penguasaan tanah itu bersifat kolektif dan kepada perorangan atau badan hukum dapat diberikan sebagian dari hak bersama tersebut sesuai dengan kebutuhan masingmasing. Mengenai hak menguasai negara dapat juga dilihat dari pendapat Mohammad Hatta yang menyatakan bahwa hak menguasai negara mengandung makna bahwa negara mengatur, bukan memiliki.40 Dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondenemer. Pada waktu itu, Panitia keuangan dan perekonomian bentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang diketuai oleh Mohammad Hatta merumuskan pengertian dikuasai oleh Negara : a. Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman keselamatan rakyat. 40 Sri Edi Swasono, Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, (Jakarta : UI Pres, 1987), hal. 17 51 b. Semakin besarnya Perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya maka semakin besar mestinya peran serta Pemerintah. c. Tanah haruslah dibawah kekuasaan Negara. d. Perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagai usaha Negara. Berdasarkan perspektif historis di atas, hak atas tanah dalam kurun waktu yang panjang sama sekali tidak mengurangi kedaulatan suatu negara untuk menguasai tanah. Misalnya, Malaysia memberikan hak atas tanah bagi penanaman modal sampai selama 99 tahun, Thailand memberikan hak atas tanah bagi penanaman modal sampai selama 90 tahun (30 tahun x 3), Vietnam memberikan hak atas tanah bagi penanaman modal sampai selama 70 tahun, China memberikan hak atas tanah bagi penanaman modal sampai selama 70 tahun dan bisa lebih dari itu dengan pertimbangan tertentu. Sementara itu, Kamboja memberikan hak atas tanah bagi penanaman modal sampai selama 70 tahun. 41 Negara-negara ini tetap memiliki kedaulatan atas tanah. Demikian pula Indonesia. Karena, pemerintah atau negara, sewaktu-waktu dapat mencabut hak atas tanah, jika peruntukan hak tersebut tidak sesuai dengan permintaannya. Misalnya suatu perusahaan meminta hak guna usaha sampai 75 tahun, tapi kemudian tanah tersebut ditelantarkan hak tadi bisa dicabut. Di samping itu, penanam modal tidak mempunyai kedaulatan di atas tanah tadi, karana penanam modal diharuskan membayar pajak kepada negara. Hak atas tanah tersebut diberikan kepada penanaman modal yang mendirikan perusahaan badan hukum Indonesia (Perseroan Terbatas) dan tunduk pada hukum Indonesia.42 Kedua, argumentasi Mahkamah Kontitusi yang menyatakan bahwa ketika negara menghentikan atau membatalkan perpanjangan hak-hak atas tanah, akan menghadapi persoalan gugatan keabsahan, sekali lagi menunjukkan bahwa 41 Lihat Risalah Persidangan di Mahkamah Konstitusi tanggal 17 November 2007. Penjelasan pemerintah atas pertanyaan Hakim Natabaya. 42 Erman Rajagukguk, Nyanyi Sunyi Kemerdekaan, (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006).hal.223. 52 Mahkamah Konstitusi mempermasalahkan sesuatu yang sebenarnya bukan suatu inkonstitusionalitas. Tetapi, hanya sesuatu kekhawatiran yang semestinya tidak perlu dikhawatirkan. Mekanisme penyelesaian hukum adalah suatu mekanisme yang wajar dan dibenarkan oleh hukum. Pihak manapun, akan diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan, jika haknya diambil alih dengan cara-cara yang melanggar peraturan-perundang-undangan. Dengan demikian, tidak perlu dikhawatirkan, jika suatu saat Indonesia menghadapi gugatan hukum, selama tindakan-tindakan hukum yang dilakukan telah sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan. Ketiga, Mahkamah Kontitusi menggunakan pertimbangan bahwa pemerintah tidak dapat menggunakan alasan pemerataan kesempatan, untuk menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah. Argumentasi ini kurang tepat untuk digunakan menyatakan bahwa perpanjangan di muka sekaligus bertentangan dengan UUD 1945. Program pemerataan sangat berbeda konteksnya, dengan perpanjangan di muka sekaligus hak atas tanah bagi penanam modal. Sesuatu yang tidak proporsional, jika suatu saat negara akan membagi tanah yang secara empiris sudah dimanfaatkan dan mendatangkan kemanfaatan bagi negara dan masyarakat. Pemerintah, tentunya dalam melaksanakan program pemerataan tanah, akan mencari tanah-tanah yang secara empiris belum memberikan keuntungan ekonomis bagi masyarakat. Keempat, pendapat Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan perpanjangan di muka sekaligus, kurang memiliki basis konstitusional yang kuat. Karena yang dipersoalkan hanya prosedur perpanjangan. Dalam perpanjangan ini, pemerintah tidak serta merta akan memberikan perpanjangan di muka sekaligus. Tetapi, pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh tentang efektifitas pengunggunaan tanah tersebut, sebelum mengabulkan permohonan perpanjangan tersebut. Artinya, pemerintah memiliki kedaulatan untuk mengabulkan atau menolak permohonan dari penanam modal [] 53 BAB VII FASILITAS BAGI PENANAM MODAL Fasilitas bagi penanam modal merupakan insentif atau kemudahankemudahan yang dapat diterima para penanam modal. Bentuk-bentuk fasilitas bagi penanam modal disebutkan pada Pasal 18 ayat (4) UU PM yang berbunyi: a. Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu. b. Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri. c. Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu. d. Pembebasan atau Penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi d dalam negeri selama jangka waktu tertentu. e. Penyusutan atau Amortisasi yang dipercepat, dan f. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.43 Fasilitas pajak sebagaimana dimaksud di atas diberikan secara selektif, karena penanam modal akan mendapat insentif jika perusahaan tersebut melakukan investasi pada sektor yang menyerap tenaga kerja, bidang usaha termasuk skala prioritas 43 Lihat Penjelasan Pasal 18 ayat 3 huruf e Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang dimaksud industri pionir adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. 54 tinggi dan membangun infrastruktur. Selain itu, perusahaan tersebut harus melakukan alih teknologi, industri tersebut merupakan industri pionir dan usahanya dilakukan di daerah terpencil/daerah tertinggal/daerah perbatasan. Selanjutnya, perusahaan tersebut harus menjaga kelestarian lingkungan hidup dan bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi.44 Jika dibandingkan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, insentif dalam UU PM pada dasarnya tidak terlalu jauh berbeda. Undang-undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menyebutkan, bahwa penanam modal asing diberikan insentif perpajakan, berupa, pembebasan dari pajak perseroan atas keuntungan untuk jangka waktu tertentu yang tidak melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari saat usaha mulai berproduksi dan pembebasan pajak devisa atas bagian laba yang dibayarkan kepada pemegang saham dengan syarat laba tersebut diperoleh dalam jangka waktu yang tidak melebihi waktu 5 (lima) tahun. Selain itu, perusahaan modal asing juga diberikan pembebasan pajak perseroan atas keuntungan yang ditanam untuk jangka waktu tertentu, tidak melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari saat penanaman modal kembali. Akhirnya, perusahaan modal asing dibebaskan dari bea masuk pada waktu perusahaan barang-barang perlengkapan tetap ke dalam wilayah Indonesia, dan bea materai modal atas penempatan modal yang berasal dari penanaman modal asing. Selain fasilitas pajak sebagaimana diuraikan di atas, Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing juga menyediakan keringanan berupa pengenaan pajak perseroan. Tarifnya dilakukan secara proporsional dan setinggitingginya lima puluh perseratus, dengan jangka waktu tidak melebihi 5 (lima) tahun sudah jangka waktu pembebasan. Kemudian, pada Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 tentang Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, fasilitas 44 Lihat, Pasal 18 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 55 perpajakan diberikan dalam bentuk pembebasan dari bea materai modal atas penempatan modal yang berasal dari penanaman modal asing. Selain itu, perusahaan modal asing juga dibebaskan atau mendapat keringanan bea masuk dan pajak penjualan pada waktu pemasukan barang-barang perlengkapan tetap ke dalam wilayah Indonesia. Selanjutnya, perusahaan modal asing dibebaskan dari bea balik nama atas akta pendaftaran kapal, sampai dengan 2 tahun setelah saat mulai produksi. Dalam sejarah kebijakan penanaman modal Indonesia, tax holiday pernah diberikan pada tahun 1970-an. Fasiltas ini dicabut pada tahun 1980-an ketika terjadi rerfomasi perpajakan. Hal ini dipengaruhi pendapat bahwa pemberian fasilitas tax holiday dinilai tidak adil karena yang dapat menikmati hanya sebagian pengusaha tertentu sedangkan pengusaha kecil yang jumlahnya sangat banyak tidak dapat menikmati dan malah memikul bebannya. Selain itu, pemberian tax holiday dianggap bukan merupakan peralatan yang ampuh untuk menarik minat para investor memasuki suatu industri,45 dan tax holiday terbukti bukan merupakan suatu kebijakan yang efektif dalam menarik investor asing. Kemudian, pada tahun 1996 pemberian insentif tax holiday dihidupkan kembali melalui Peraturan Pemerintah No.45 tahun 1996 yang antara lain pemberian insentif kepada industri-industri tertentu.46 Insentif pajak dalam UUPM, jika dibandingkan dengan undang-undang negara lain, dapat dinyatakan kalah bersaing. Karena, Undang-Undang ini tidak memberikan fasilitas tax holiday. Sementara di negara-negara lain memberikan insentif berupa tax holiday. Misalnya, Cina memberikan tax holiday selama 2 tahun ditambah dengan PPh 50% sampai tahun ke 5, dan reinvestasi uang pajak dikembalikan 40%.47 Thailand Pande Radja Silalahi, “menghidupkan kembali tax holiday”, Tempo, edisi 22/01, 26 Juli 1996. Lihat juga, “Tax Holiday Bukan Jaminan untuk Tarik Minat Investor” Harian Ekonomi Neraca, Sabtu, 9 Agustus 2003. 45 46 Lihat juga Keputusan Presiden No.45 tahun 1996 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Insentif Kepada Perusahaan. 47 Lihat Equity Joint Venture Law (EJV Law) 1979 yang diamandemen pada tahun 2001 dan lihat juga Contractual Joint Venture Law (CJV), 1988. 56 memberikan insentif kepada penanam modal tax holiday berupa pembebasan bea masuk pada impor barang modal dan bahan baku selama 3-8 tahun.48 Dalam Investment Promotion Act diatur kriteria insentif yang diberikan kepada penanam modal asing, yaitu: memberikan keuntungan secara ekonomis dan teknologi. Pemberian insentif ini juga mempertimbangkan jumlah produsen yang sudah ada, kapasitas produksi nasional dan proyek yang dipromosikan. Kemudian perusahaan tersebut harus mempertimbangkan sumber daya nasional bahan baku dan tenaga kerja, serta jumlah mata uang asing yang tersimpan.49 Vietnam memberikan tax holiday berupa, pembebasan dan/atau pengurangan pajak 10%-20% selama 2-4 tahun dan pembebasan bea masuk atas impor barang modal dan bahan baku. Insentif pajak ini diatur dalam Law on Investment 2004. Kriteria untuk mendapatkan insentif ini, antara lain, termasuk dalam sektor tertentu dan kawasan tertentu. 50 Sedangkan Singapura memberikan tax holiday berupa pengurangan pajak kepada perusahaan (corporate tax) untuk jangka waktu antara 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) tahun. Keringanan pajak perusahaan tersebut berlaku sejak tahun pruduksi dari perusahaan yang bersangkutan.51 Sementara itu, Malaysia memberikan insentif berupa insentif pokok dan insentif tambahan. Insentif ini diberikan dalam sektor tertentu, yaitu manufaktur, pertanian, pariwisata dan hotel, riset dan pengembangan, pelatihan teknik dan kejujuran, multimedia dan kegiatan komersial lain. 48 Lihat The Investment Promotion Act of 1997 perubahan terakhir 2002. Mencakup pemberian insentif fiscal maupun non fiscal bagi penanaman modal asing maupun domestic yang dipromosikan oleh Pemerintah. 49 Lihat The Investment Promotion Act of 1997. 50 Lihat Law on Investment No.59-2005, menggantikan Law on Investment 1996 jo 2000 tentang Foreign Investment dan Law on Promotion of Domestic Investment 1998, berlaku efektif sejak 2006. Secara rinci diatur dalam Law on Tax, Law on Export and Import Duty. 51 Lihat, The Economic Expansion Insentives Act, yang diperkenalkan pada tahun 1967 dan telah dilakukan perubahan pada tahun 1994. 57 Insentif pokok diberikan dalam bentuk pembebasan PPh sebesar 70% selama 5 tahun dan pemberian keringanan Investment Tax Allowance (ITA) sebesar 60% selama 5 tahun. Sedangkan, insentif tambahan biasanya berupa pemotongan pajak (tax dediction) atau keringanan pajak (tax allowance) yang ketentuannya tergantung pada masing-masing sektor.52 Selain fasilitas pajak, UU PM juga memberikan fasilitas berupa hak transfer dan repatriasi. Dibandingkan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, hak transfer dan repatriasi tersebut, lebih rinci dan lebih komprehensif. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 8 yang berbunyi: (1) Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Aset yang tidak termasuk aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan aset yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai aset yang dikuasai oleh negara. (3) Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing, antara lain terhadap: a. modal; b. keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain; c. dana yang diperlukan untuk: 1. pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi; atau 2. penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman modal; d. tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal; e. dana untuk pembayaran kembali pinjaman; f. royalti atau biaya yang harus dibayar; 52 Lihat Industrial Coordination Act 1975 dan Promotion of Investment Act 1996, diamandemen 1997. 58 g. pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam perusahaan penanaman modal; h. hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal; i. kompensasi atas kerugian; j. kompensasi atas pengambilalihan; k. pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan l. hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pengalihan aset pada prinsipnya memang dapat dilakukan oleh penanam modal sesuai dengan keinginannya, tetapi tidak sepenuhnya “bebas” karena masih harus mengacu pada peraturan perundang-undangan, misalnya, peraturan tentang pelaporan kepada Bank Indonesia.53 Selain itu, kebebasan pengalihan aset juga dibatasi dari jenis asetnya, yaitu aset yang dikuasai negara tidak diijinkan dialihkan, misalnya hutan, pertambangan, kekayaan laut dan energi yang lain. Selanjutnya, ayat (5) menyebutkan bahwa hak transfer dan repatriasi tidak mengurangi: a. kewenangan Pemerintah untuk memberlakukan ketentuan peraturan perundangundangan yang mewajibkan pelaporan pelaksanaan transfer dana; b. hak Pemerintah untuk mendapatkan pajak dan/atau royalti dan/atau pendapatan Pemerintah lainnya dari penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. pelaksanaan hukum yang melindungi hak kreditor; dan d. pelaksanaan hukum untuk menghindari kerugian negara. Di samping itu, untuk mengantisipasi terhadap beberapa investor yang meninggalkan begitu saja perusahaan di Indonesia, tanpa menyelesaikan kewajiban 53 Lihat , Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 59 mereka membayar upah buruh dan kewajiban lainnya, Pasal 9 ayat (1) menyebutkan, bahwa dalam hal adanya tanggung jawab hukum yang belum diselesaikan oleh penanam modal: a) penyidik atau Menteri Keuangan dapat meminta bank atau lembaga lain untuk menunda hak melakukan transfer dan/atau repatriasi; dan b) pengadilan berwenang menetapkan penundaan hak untuk melakukan transfer dan/atau repatriasi berdasarkan gugatan. Selanjutnya, ayat (2) menyebutkan, bahwa Bank atau lembaga lain melaksanakan penetapan penundaan berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hingga selesainya seluruh tanggung jawab penanam modal. Pengaturan yang memberikan kepada penanam modal, hak untuk melakukan transfer dan repatriasi itu didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu; pertama, merupakan konsekuensi dari pelaku usaha untuk dan di dalam melaksanakan kegiatan usahanya; kedua, konsekuensi dari melakukan tindakan korporasi.54 Penanaman modal diperbolehkan melaksanakan repatriasi. Hal ini sesuai dengan peraturan tentang lalu lintas devisa sejak tahun 1970 dimana Indonesia menganut sistem lalu lintas devisa bebas. Jadi dengan demikian apa yang diatur di dalam UU PM, bukan hal yang baru, tidak ada sesuatu yang istimewa tentang transfer dan repatriasi. Itu semuanya sudah dijamin bisa dilakukan oleh setiap penduduk Indonesia untuk bisa menggunakan, memanfaatkan devisa secara bebas. Hal ini hanya penegasan khusus kepada mereka yang menanam modal di Indonesia. Ini adalah salah satu cara dalam rangka melakukan promosi, karena UU PM bukan hanya undang-undang yang mengatur norma-norma yang berlaku bagi pelaku usaha yang berada di Indonesia, bukan hanya mengatur norma-norma hukum bagi penduduk Indonesia, tetapi juga mempromosikan bahwa Indonesia adalah salah 54 Lihat, Felix Untung Soebagjo, Pendapat Pada Sidang di Mahkamah Konstitusi, tanggal 20 November 2007. 60 satu negara yang layak dikunjungi untuk dijadikan tempat untuk melakukan investasi[] 61 BAB VIII KEDUDUKAN TENAGA KERJA DALAM KEGIATAN PENANAMAN MODAL Pengertian tenaga kerja dapat dilihat secara makro maupun mikro. Secara makro, tenaga kerja atau manpower adalah kelompok yang menduduki usia kerja. Pengertian ini bersifat kuantitas, yaitu jumlah penduduk yang mampu bekerja. Secara mikro, tenaga kerja adalah karyawan atau employee yang mampu memberikan jasa dalam proses produksi. Memasuki abad ke -21 atau disebut era milenium ketiga, kehidupan dunia bisnis ditandai berbagai perubahan. Beberapa pakar telah mengidentifikasi perubahan tersebut. Naisbitt dan Aburdence (1985) mencatat berbagai perubahan tersebut ditandai oleh pergeseran dari masyarakat industri ke arah masyarakat informasi, pergeseran dari teknologi yang mengunakan banyak tenaga kerja (forced technology) menjadi teknologi tinggi dan teknologi tekan tombol (high tech and high touch), pergeseran dari ekonomi nasional menjadi perekonomian dunia, pergeseran dari perencanaan jangka pendek ke arah perencanaan jangka panjang dan pergeseran dari organisasi yang bersifat sentralisasi ke organisasi yang bersifat desentralisasi. Adanya berbagai perubahan tersebut telah membawa dampak nyata terhadap lingkungan bisnis yang dihadapi. Perubahan itu ditandai dengan tingkat persaingan semakin tajam yang cenderung menjadi sesuatu yang konstan. Artinya, persaingan itu tidak akan pernah berhenti, bahkan akan dirasakan semakin tajam. Jadi, persaingan yang semakin tajam adalah fakta yang harus dihadapi oleh setiap perusahaan. Oleh karena itu, jika ingin maju, persaingan itu harus ditanggapi sebagai suatu tantangan yang harus ditaklukan, bukan untuk dihindari. Dengan demikian, faktor tenaga kerja tidak semata-mata dipandang sebagai faktor produksi sebagaimana halnya faktor-faktor produksi lainnya, tetapi merupakan aset atau kekayaan perusahaan utama. Karena itu, dalam upaya untuk memenangkan 62 persaingan, maka faktor tenaga kerja sebagai asset perusahaan utama perlu dikelola dengan benar. Mengelola tenaga kerja dengan benar berarti mewujudkan tenaga kerja yang mampu bekerja dengan produktivitas kerja tinggi melalui pelaksanaan fungsi administratif dan fungsi operasional. Fungsi administratif dan fungsi operasional adalah dua hal yang terdapat dalam pengelolaan tenaga kerja, sedangkan produktivitas kerja yang tinggi adalah tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan tenaga kerja. Produktivitas kerja dapat diartikan sebagai proses dan juga sebagai hasil. Sebagai proses, pengertianproduktivitas kerja mengandung makna “the will” (keinginan) dan “effort” (upaya) manusia untuk selalu meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupannya di segala bidang. Oleh karena itu, makna utama pengertian produktivitas kerja adalah sikap mental yang selalu memandang bahwa kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Kaitannya dengan pekerjaan, produktivitas berarti cara kerja hari ini harus lebih baik dari cara kerja kemarin, hasil yang dicapai hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hasil dicapai besok harus lebih banyak atau lebih baik dari yang diperoleh hari ini. Sebagai hasil, produktivitas telah dimaknai sebagai kinerja yang mencakup efektivitas dan efisiensi. Efektivitas berhubungan dengan sejauhmana tujuan dapat dicapai, sedangkan efisiensi berhubungan dengan sejauhmana sumber daya yang dimiliki dapat digunakan secara tepat dan benar. Masalah tenaga kerja dalam penanaman modal diatur pada Pasal 10 UU PM menyebutkan bahwa: (1) Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia. (2) Perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 63 (3) Perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan yang diatur dalam UU PM pada dasarnya hampir sama dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang sebelumnya. Undang-Undang No.1 Tahun 1967 juga menyebutkan perusahaan asing mempunyai kewajiban untuk menggunakan tenaga kerja warga negara Indonesia dan menyelenggarakan dan/atau memberikan fasilitas-fasilitas latihan dan pendidikan.55 Sebagai perbandingan, Vietnam juga melakukan pembatasan penggunaan tenaga kerja asing. Investor asing mempunyai hak untuk merekrut tenaga kerja Vietnam dan tenaga kerja kerja asing untuk jabatan management, tenaga ahli dan tenaga teknisi sesuai dengan kebutuhan usaha.56 Sementara itu, Thailand juga membatasi penggunaan tenaga kerja asing. Pada dasarnya Thailand agak membatasi penggunaan tenaga kerja asing dan amat mendorong penggunaan tenaga kerja lokal. Beberapa jenis pekerjaan dan profesi tidak diijinkan bagi tenaga kerja asing antara lain buruh, penjaga toko, penata rambut. Kebijakan penggunaan tenaga kerja asing, antara lain: dapat menggunakan tenaga kerja asing sepanjang jabatan terbuka, perusahaan asing diwajibkan menyelenggarakan training atau mengirimkan karyawan lokal untuk mengikuti training, perusahaan yang menyelenggarakan training atau mengirimkan tenaga kerja lokal untuk mengikuti training baik di dalam maupun luar negeri mendapatkan 55 Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. 56 Lihat, Investment Law, 2004. 64 keringanan pajak dan perusahaan yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut mendapat sanksi berupa kewajiban membayar 50% dari biaya training.57 Sedangkan Malaysia, ketentuan memperkerjakan tenaga kerja antara lain sebagai berikut: perusahaan dengan modal disetor US$ 2 juta diijinkan untuk lima posisi tenaga kerja asing, perusahaan dengan modal disetor kurang dari US$ 2 juta akan dipertimbangkan dalam pemakaian tenaga kerja asing berdasarkan kriteria tertentu dan tenaga kerja asing diperbolehkan untuk sektor konstruksi, perkebunan dan jasa. Kemudian, Cina memperbolehkan perusahaan penanaman modal asing mempekerjakan tenaga kerja asing dengan syarat mendapat persetujuan labor administrative department dan pada posisi serta kualifikasinya belum mampu diisi oleh tenaga lokal.58 [] BAB IX KEWAJIBAN ALIH TEKNOLOGI BAGI PENANAM MODAL Dalam era pembangunan dan modernisasi, Negara Dunia Ketiga memiliki hasrat besar untuk menguasai teknologi, selayaknya yang terjadi di negara-negara 57 Lihat, Alien Business Act 1999, yang diamandemen pada tahun 2000. 58 The Investment Promotion Act of 1997. 65 maju. Teknologi sering disamakan dengan teknik-teknik produksi atau alat-alat semata. Diasumsikan bahwa jika teknologi tersebut berhasil dalam negara tempat teknologi tersebut diciptakan dan dikembangkan, maka teknologi tersebut akan berhasil pula di daerah lain manapun. Asumsi tersebut tidak dapat dibenarkan, sebab teknologi tidak berfungsi dalam sebuah ‘vacuum social‘. Tetapi bergantung pada kondisi sosial, infrastruktur baik fisik maupun tenaga kerja, serta ketersediaan bahan baku. Menyederhanakan alih teknologi menjadi sekadar alih alat-alat dan teknik-teknik produksi sama halnya mengharapkan hal-hal tersebut cukup efektif untuk menyelesaikan segala permasalahan. Alih teknologi sama sekali bukan hal yang sederhana, karena seringkali menghadapi dilema, antara lain: Pertama, teknologi itu bukan sesuatu yang murah. Dilema terletak pada sejauh mana Negara Dunia Ketiga bersedia membayar harga teknologi yang cukup mahal itu. Untuk industri tinggi, pembelian teknologi secara terpisah (partial) hampir mustahil. Kedua, pada satu pihak Negara Dunia Ketiga ingin memelihara dan mempertahankan kemerdekaan, tetapi di pihak lain, dengan alih teknologi ini bukan mustahil negara akan melepaskan sebagian kemerdekaan tersebut. Sangat besar kemungkinan, teknologi yang dimasukkan tersebut menimbulkan ketergantungan teknologi (technological dependency). Ketiga, apabila ketergantungan teknologi ini sudah semakin tinggi, maka kreativitas masyarakat dan anak sekolah akan merosot. Kemalasan untuk bersusah payah pun muncul. Akibat yang paling jelek adalah berkurangnya lapangan pekerjaan sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan. Inilah wajah tidak manusiawi dari alih teknologi. Ketentuan tentang alih teknologi dalam UU PM disebutkan pada Pasal 15. Ayat (3) menyebutkan bahwa perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Selanjutnya pada ayat (4) 66 menyebutkan Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Alih teknologi pada dasarnya sulit diimplementasikan, sebab biasanya teknologi bukannya di’alih’kan, melainkan diperdagangkan (jual-beli) secara luas dalam pasar internasional. Kalau kita bicara mengenai alih teknologi, maka sesungguhnya kita bicara mengenai importasi teknologi dari negara-negara industri, dalam hal ini negara-negara Barat. Secara historis, perkembangan teknologi modern akibat revolusi industri kapitalis di Barat telah membunuh teknologi yang telah berkembang sedemikian lama di Negara Dunia Ketiga. Untuk mewujudkan kepentingan kapitalis imperialis, mereka melabeli pandangan hidup yang berbeda dengan mereka sebagai tidak modern, bahkan tidak beradab. Mereka mendekonstruksi nilai-nilai tradisional dan mempengaruhi secara mental agar Negara Dunia Ketiga mau menerima hegemoni pandangan hidup Barat. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern berperan besar dalam hal ini. Secara teknis ada beberapa jenis dan cara alih teknologi. Korporasi transnasional menjadi aktor kunci dalam proses ini, antara lain: Pertama, Foreign Direct Investment, yaitu investasi jangka panjang yang ditanamkan oleh perusahaan asing. Investor memegang kendali atas pengelolaan aset dan produksi. Untuk menarik minat investor asing, Negara Dunia Ketiga menjalankan berbagai kebijakan seperti liberalisasi, privatisasi, menjaga stabilitas politik, dan meminimalkan campur tangan pemerintah. Padahal, kepemilikan asing atas modal sama saja dengan membentangkan jalan lebar menuju keuntungan dan pelayanan bagi korporasi transnasional. Mereka mengeksploitasi banyak keuntungan dengan resiko yang ditanggung oleh Negara Dunia Ketiga. Kedua, Joint Ventures, yaitu kerjasama (partnership) antara perusahaan yang berasal dari negara yang berbeda dengan tujuan mendapat keuntungan. Dalam model 67 seperti ini, kepemilikan diperhitungkan berdasarkan saham yang dimiliki. Jenis alih teknologi ini menjadi menarik sebab perusahaan-perusahaan asing dapat menghindari terjadinya nasionalisasi atas perusahaan. Perlu diketahui bahwa dalam model FDI (Foreign Direct Investment) resiko terjadinya nasionalisasi secara tiba-tiba adalah cukup tinggi. Selain itu investor asing juga merasa riskan bila harus melakukan joint ventures dengan perusahaan nasional Negara Dunia Ketiga. Ketiga, Licensing Agreements, yaitu izin dari sebuah perusahaan kepada perusahaan-perusahaan lain untuk menggunakan nama dagangnya (brand name), merek, teknologi, paten, hak cipta, atau keahlian-keahlian lainnya. Pemegang lisensi harus beroperasi di bawah kondisi dan ketentuan tertentu, termasuk dalam hal pembayaran upah dan royalti. Biasanya cara ini digunakan oleh perusahaan asing dengan mitra Negara Dunia Ketiga. Cara ini adalah yang paling memungkinkan terjadinya alih pembayaran atau larinya modal dari Negara Dunia Ketiga kepada perusahaan-perusahaan asing. Keempat, Turnkey Projects, yaitu membangun infrastruktur dan konstruksi yang diperlukan perusahaan asing untuk menyelenggarakan proses produksi di Negara Dunia Ketiga. Bila segala fasilitas telah siap dioperasikan, perusahaan asing menyerahkan ‘kunci’ kepada perusahaan domestik atau organisasi lainnya. Perusahaan asing juga menyelenggarakan pelatihan pekerja dalam negeri agar suatu saat dapat mengambil alih segenap proses produksi yang dibutuhkan. Kecil kemungkinan terjadi alih teknologi sebab perusahaan domestik hanya bisa mengoperasikan tanpa mengerti kepentingan pengembangan teknologi tersebut. Perusahaan domestik juga tidak bisa membangunnya, sehingga peran mereka sekadar menjadi budak suruhan. Sementara itu, teknologi dapat dipindahkan dengan cara memperkerjakan tenaga-tenaga ahli asing perorangan, menyelenggarakan suplai dari mesin-mesin dan perlengkapan lainnya, perjanjian lisensi dalam teknologi si pemilik teknologi dapat 68 memudahkan teknologi dengan memberikan hak kepada setiap orang/badan untuk melaksanakan teknologi dengan suatu lisensi. Kebanyakan proses alih teknologi dilaksanakan melalui investasi asing langsung yakni dengan pendirian anak cabang usaha, joint venture atau jenis kerjasama lain dengan pengikutsertaan saham perusahaan asing yang merata. Inti dari pengalihan teknologi adalah adanya kebutuhan teknologi dari pihak yang memerlukan teknologi dengan pemilik teknologi yang menawarkan teknologi serta proses pengaturan pengalihan teknologi. Pengalihan teknologi ini memberikan sumbangan yang besar dalam meningkatkan modernisasi industri di negara sedang berkembang. Negara-negara sedang berkembang dapat mengambil keuntungan dari kerja sama yang diadakan yakni meningkatkan dan mengembangkan kemampuan dalam mengkombinasikan ataupun memobiliasi secara efektif. Jenis pemindahan atau dapat dibagi menjadi 3 kelompok, antara lain : (a) transfer material, yakni suatu pemindahan teknologi dalam wujud lahiriah dan harfiah dari suatu daerah atau bangsa ke dalam daerah atau bangsa lain; (b) transfer desain, yakni suatu pemindahan teknologi yang terbatas kepada rancangan teknologi dari suatu daerah atau bangsa ke daerah atau bangsa lain; dan (c) transfer kemampuan, yakni suatu pemindahan teknologi dari suatu daerah atau bangsa ke daerah atau bangsa lainnya dalam suatu bentuk keahlian atau keterampilan dan bukan dalam bentuk jasmaniah atau rancangannya. Selain itu, konsep alih teknologi dapat dibedakan antara tingkat nasional dan tingkat perusahaan. Pada tingkat nasional, terdapat empat macam konsep alih teknologi, yakni : pertama, alih teknologi secara geografis. Konsep ini menganggap alih teknologi telah terjadi jika teknologi tersebut telah digunakan di tempat baru. Kedua, alih teknologi kepada tenaga kerja lokal. Dalam konsep ini alih teknologi terjadi jika tenaga kerja lokal sudah mampu menanganai teknologi impor dengan efisien. Ketiga, transmisi dan difusi teknologi, yaitu alih teknologi terjadi jika teknologi menyebar ke unit-unit produksi lokal lainnya di negara penerima teknologi. 69 Keempat, pengembangan dan adaptasi teknologi, yaitu alih teknologi baru terjadi jika tenaga kerja lokal yang memahami teknologi tersebut mulai dapat mengadaptasi untuk keperluan-keperluan spesifik setempat atau modifikasinya untuk berbagai keperluan. Dalam pelaksanaannya, alih teknologi seringkali menghadapi beberapa hambatan, seperti ; pertama, hambatan yang timbul dari ketidaksempurnaan pasar teknologi; kedua, hambatan yang disebabkan oleh kurangnya pengalaman dan keterampilan Indonesia dalam menyelesaikan perjanjian hukum yang memadai untuk memperoleh teknologu tersebut, karena alih teknologi merupakan hubungan hukum antara pemberi teknologi dan penerima teknologi; ketiga, hambatan dari sikap pemerintah baik legislatif maupun administratif dari negara pemilik teknologi dan atau negara penerima teknologi; dan keempat, hambatan sumber keuangan karena tingginya biaya alih teknologi. Faktor lain yang punya andil terhambatnya proses alih teknologi (technical know-how) adalah pembatasan modal dalam negeri dalam penguasaan minoritas dan ketidaksempurnaan pengetahuan. Oleh karena itu, perlu ada campur tangan untuk menjamin bahwa penerima lisensi setempat yang potensial tidak meningkatkan harga lisensi asing yang dicari. Beberapa negara di ASEAN menerapkan campur tangan yang jauh lebih menyeluruh. Sebagai contohnya, Filiphina membentuk Badan Alih Teknologi (The Technology Transfer Board) dengan tujuan untuk mengatur jumlah royalty sifat dari teknologi produksi dan retriksi-retiksi yang dikenakan dalam penggunaannya. Ada tiga hal yang perlu dianalisis dalam mencermati luas dan sifat alih teknologi, yaitu; pertama, sampai seberapa jauhkah investasi asing dan bentuk kerjasama lain memberikan kontribusi pada kenaikan produktivitas di negara penerima; kedua, seberapa besarkah spin-off teknologi (yang biasa disebut sebagai kebocoran dan keterkaitan) terhadap faktor-faktor produksi Indonesia, dan dengan cara bagaimana manfaat teknologi baru dapat dinikmati. Ketiga, kelompok manakah 70 di negara penerima yang merupakan penerima manfaat utama : kelompok bisnis tertentu, konsumen, pekerja atau kelompok lainnya. Mekanisme pengalihan teknologi dari perusahaan modal asing/pemilik teknologi pada negara penerima modal dan teknologi menimbulkan beberapa pertentangan-pertentangan; perusahaan modal asing/multinasional mewakili satu aparat yang permanem dari struktur produksi terutama di bidang manufacturing ; kebanyakan negara sedang berkembang akan secara terus menerus tergantung pada teknologi yang dihasilkan, negara sedang berkembang akan menjadi tidak puas, bukan saja karena persyaratan dan kondisi dari pengalihan teknologi oleh perusahaan modal asing/multinasional yang berat sebelah akan tetapi juga dengan hasil dari pengalihan teknologi tersebut. Untuk mengurangi pertentangan sebagai akibat dari proses pengalihan teknologi tersebut, perlu ddirumuskan aliran dan pengaruh teknologi, keuangan atau aspek-aspek teknik pengalihan teknologi serta bentuk organisasi dan mekanisme yang berkaitan dengan pengalihan teknologi tersebut, peningkatkan kemampuan teknologi nasional, dan memperhatikan perencanaan pembentukan pusat teknologi sehingga dapat dikembangkan secara lebih progresif [] 71 Bab X TANGGUNG JAWAB SOSIAL BAGI PENANAM MODAL Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu konsep bahwa perusahaan memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang. Beberapa investor dan perusahaan manajemen investasi telah mulai memperhatikan kebijakan CSR dari suatu perusahaan dalam membuat keputusan investasi mereka, sebuah praktek yang dikenal sebagai "Investasi bertanggung jawab sosial" (socially responsible investing). Banyak pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan sosial dan "perbuatan baik". Namun sesungguhnya sumbangan sosial merupakan bagian kecil saja dari CSR. Perusahaan di masa lampau seringkali mengeluarkan uang untuk proyek-proyek komunitas, pemberian bea siswa dan pendirian yayasan sosial. Mereka juga seringkali menganjurkan dan mendorong para pekerjanya untuk sukarelawan (volunteer) dalam mengambil bagian pada proyek komunitas sehingga menciptakan suatu itikad baik dimata komunitas tersebut yang secara langsung akan meningkatkan reputasi perusahaan serta memperkuat merek perusahaan. Dengan diterimanya konsep CSR, terutama triple bottom line, perusahaan mendapatkan kerangka baru dalam menempatkan berbagai kegiatan sosial di atas. Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan 72 posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal. "dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi paling berkuasa diatas planet ini. Institusi yang dominan di masyarakat manapun harus mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama….setiap keputusan yang dibuat, setiap tindakan yang diambil haruslah dilihat dalam kerangka tanggung jawab tersebut” Sebuah definisi yang luas oleh World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) yaitu suatu suatu asosiasi global yang terdiri dari sekitar 200 perusahaan yang secara khusus bergerak dibidang "pembangunan berkelanjutan" ( sustainable development) yang menyatakan bahwa: "CSR adalah merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh keluarganya". Tanggung jawab sosial perusahaan sering didefinisikan secara sempit sebagai akibat belum tersosialisasinya standar baku bagi perusahaan. Tanggung jawab sosial perusahaan masih anggap sebagai suatu kosmetik belaka untuk menaikkan pamor perusahaan atau menjaga reputasi perusahaan di masyarakat. Oleh karenanya ada asumsi jika perusahaan sudah memberikan sumbangan atau donasi kepada suatu institusi sosial berarti sudah melakukan tanggung jawab sosial sebagai sebuah perusahaan. 73 Penerapan dan isu tanggung jawab sosial perusahaan yang dilakukan pada saat ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan, sebagai berikut: 1. Pengaruh dari globalisasi dan internasionalisasi yang memaksa perusahaan untuk dapat menerapkan fungsi tanggung jawab sosial perusahaan. Bentuk globalisasi dan internasionalisasi ini dapat berupa tekanan dari pihak ketiga (distributor, buyer, client, dan shareholder) yang menjadi bagian atau mitra kerja dari perusahaan lokal. Mereka dapat menetapkan suatu kondisi yang harus diikuti oleh perusahaan lokal dalam memenuhi tanggung jawab sosialnya. Kondisinya ini biasanya dialami oleh perusahaan yang berada di negara miskin dan berkembang dimana memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi kepada investor dari negara maju. 2. Ditinjau dari jenis perusahaan, umumnya yang menjalankan fungsi tanggung jawab sosial adalah perusahaan yang bergerak dalam usaha ekplorasi alam (tambang, minyak, hutan). Perusahan tambang lebih mendapatkan perhatian dari masyarakat dibandingkan dengan perusahaan non tambang (terutama LSM). Perusahaan tersebut diwajibkan untuk melakukan penyeimbangan sebagai dampak dari eksplorasi yang dilakukan seperti melakukan reklamasi alam, reboisasi, mendukung pencinta alam, berpartisipasi dalam pengolahan limpah dan sebagainya. Kenyataannya apakah perusahaan tersebut benar-benar menaruh perhatian terhadap alam dan lingkungan sekitarnya, bukankah mungkin tanggung jawab sosial yang diakukan oleh perusahaan hanya sebagai kedok untuk melegalkan dan mengamankan kegiatan perusahaan sehingga tidak dikritik oleh masyarakat. 3. Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang biasanya dilakukan adalah pemberian fasilitas kepada para pekerja atau buruh. Kenyataannya bahwa pemberian fasilitas baru akan terealisasi jika adanya ancaman mogok atau 74 unjuk rasa dari para buruh. Ini berarti tanggung jawab sosial perusahaan terhadap para buruh didasarkan sebagai suatu negosiasi antara manajemen dengan para buruh. Manajemen tentunya akan memperhitungkan dampak yang ditimbulkan dengan adanya ancaman tersebut jika dinilai akan merugikan perusahaan, maka (biasanya) tuntutan akan direalisasikan. 4. Bentuk lainya dari tanggung jawab sosial perusahaan sebatas pemberian sumbangan, hibah, bantuan untuk bencana alam yang sifatnya momentum. Musibah, bencana, atau malapetaka yang terjadi dapat dijadikan sebagai momentum bagi perusahaan yang membentuk citra dan reputasi baik di mata masyarakat. 5. Masih banyak contoh penerapaan tanggung jawab sosial perusahaan pada saat ini yang bertujuan untuk memenuhi persyaratan atau mengikuti aturan main supaya perusahaan dapat tetap menjaga citra dan existensinya di hadapan para stakeholdernya. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka perlu dilakukan perubahan paradigma perspektif bahwa tanggung jawab sosial perusahaan sering dijadikan atribut bagi perusahan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan caranya mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh masyarakat, asosiasi, dan pemerintah. Seperti perusahaan tambang, perusahan kayu, perusahaan pengelola hasil bumi, dan sejenisnya. Dampak yang ditimbulkan perusahan tidak seimbang dengan usaha untuk merehabilitasi alam. Selain itu, untuk bisnis tertentu, tanggung jawab sosial perusahaan dapat dijadikan perisai sebagai penetralisir dampak dari bisnis yang dijalankan sekalipun bertentangan, misalkan perusahaan rokok sebagai sponsor event olah raga. Sekalipun masyarakat mengetahui bahayanya rokok di lain pihak masyarakat membutuhkan olahraga. Ketentuan mengenai tanggung jawab sosial bagi perusahaan diatur dalam Pasal 16 UUPM yang berbunyi bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab: 75 a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara; d. menjaga kelestarian lingkungan hidup; e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan tersebut setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Jika tidak dilaksanakan maka perseroan tersebut akan dikenakan sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dengan diterbitkannya Undang Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), akan membawa perubahan besar terhadap managemen PT. Dimana PT didorong untuk mengelola usahanya secara profesional. Selain itu, dalam UU tersebut perusahaan harus memiliki komitmen tanggungjawab sosial dan lingkungan dalam bentuk memperhatikan Corporate Social Responsibility(CSR). Selama ini aturan CSR ini belum termuat dalam UU sebelumnya, yakni UU No.1 Tahun 1995 tentang PT. Dalam UU PT yang baru ini, perusahaan tidak lagi hanya sekedar berbicara profit, tapi juga kondisi lingkungan, serta pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan. Sehingga UU No. 1 Tahun 1995 tidak lagi memenuhi kebutuhan hukum masyarakat seiring dengan perubahan ekonomi, politik dan kemajuan teknologi, komunikasi dan era globalisasi. Sementara dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang PT ini sangat mendukung terselenggaranya good corporate government dikalangan dunia usaha. Beberapa hal 76 penting yang menjadi perubahan, yakni soal tanggung jawab direksi dan komisaris, tanggung jawab sosial dan lingkungan. Walau belum keluar Peraturan Pemerintah (PP) tentang UU No. 40 Tahun 2007 ini, namun perusahaan diminta untuk menyiapkan diri untuk menyesuaikan dengan UU ini. Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing mempunyai tanggung jawab hukum dan kewajiban menaati hukum Indonesia. Jika ada kewajiban hukum yang harus diselesaikan, kewajiban pajak, dan kewajiban lainnya, maka Bank Indonesia atas permintaan Pemerintah atau Badan Koordinasi Penanaman Modal dapat menunda hak untuk melakukan transfer atau repatriasi. Selain itu, penyidik atau Menteri Keuangan dapat meminta bank atau lembaga lain untuk menunda hak melakukan transfer dan/atau repatriasi, dan pengadilan berwenang menetapkan penundaan hak untuk melakukan transfer dan/atau repatriasi berdasarkan gugatan. Ketentuan tentang tanggung jawab penanaman modal didasarkan pada fakta adanya investor yang kabur meninggalkan berbagai persoalan saat usahanya bermasalah. Pada tahun 2006-2007 ada beberapa investor yang meninggalkan Indonesia dan belum menyelesaikan kewajibannya, antara lain; pertama, PT Dong Joe yang tutup Oktober 2006, jumlah karyawan 6.000 orang, kedua, PT Tong Yang juga tutup pada Oktober 2006, jumlah karyawan 8.300 orang; ketiga, PT Tirai Tapak Tiara dan PT Tampuk Yudha Inti yang tutup Oktober 2006, jumlah karyawan 3.000 orang dan keempat, PT.Bridor Indonesia tutup sejak bulan Desember 2007, jumlah karyawan 38 orang;59 kelima, PT Livatech Eletronik Indonesia yang bergerak di bidang perakitan komponen elektronik hengkang dari Indonesia sehingga menyebabkan 1.300 buruh terlantar.60 Perusahaan-perusahaan yang kabur tersebut sangat merugikan Indonesia, karena buruh belum menerima upah dan belum mendapatkan hak pemutusan hubungan “Pemerintah Belum Pernah Tuntaskan Kasus Investor Pengemplang”, Kompas, Selasa, 8 April 2008. 59 60 Lihat, “1.300 Buruh Telantar akibat PMA Hengkang”, Kompas, Kamis, 8 Februari 2007. 77 kerja. Kerugian yang sangat besar juga dialami dunia perbankan, karena investor tersebut belum menyelesaikan kewajibannya terhadap perbankan. Pasal 15 ayat (2) UU PM menyebutkan, bahwa penanam modal memiliki kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).61 Selanjutnya, penjelasan Pasal 15 huruf b menyebutkan bahwa, yang dimaksud dengan "tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanam modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat" Ketentuan ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.62 Pasal 74 Undang-undang ini menyebutkan: 1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. 2) Kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya dengan memperhatikan asas kepatutan dan kewajaran. 3) Perseroan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.63 61 Lihat, Tajuk Utama, “Mengapa CSR diwajibkan”, Bisnis Indonesia, Selasa, 3 Juli 2007. 62 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756. 63 "Kadin; Wajib CSR "kerikil" dunia usaha", Bisnis Indonesia, 21 Juli 2007. 78 Penjelasan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas menyebutkan bahwa, kewajiban CSR ini bertujuan untuk menciptakan hubungan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya setempat.64 Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas dan untuk memperhatikan penolakan sebagian kalangan, perlu dirumuskan format ideal tanggung jawab sosial perusahaan sehingga dapat diperoleh mutual benefit antara perusahan dengan stakeholdernya?. Untuk mendapatkan format ideal tanggung jawab sosial perusahaan, beberapa hal yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Perusahan harus melakukan gap analisis antara apa yang ideal harus dilakukan dengan apa yang telah dilakukan (existing) saat ini. Hasil dari gap analisis ini dapat menjadi acuan bagi perusahaan untuk mendapatkan solusi yang benarbenar dibutuhkan sehingga kehadiran perusahaan tersebut memberikan dampak positif bagi stakeholder. 2. Konsistensi dalam menjalankan komitmen harus menjadi bagian dan gaya hidup dari semua level manajemen perusahaan. Oleh karenanya tanggung jawab sosial perusahaan harus menjadi bagian dalam strategic plan perusahaan mulai di mulai dari penentuan visi, misi, strategi, core belief, core value, program, penyusunan anggaran sampai kepada evaluasi. Tujuan dengan adanya strategic plan ini adalah untuk menjaga kesinambungan perusahaan di masa yang akan datang. Di dalam strategic plan faktor tanggung jawab sosial harus menjadi bagian dari road map perusahaan dalam rangka mencapai good corporate governance (GCG). Untuk mengevalusi penerapan strategic plan ini diperlukan tool yang dapat menjadi dashboard perusahaan di dalam menilai kinerja yang dihasilkan. Tool yang digunakan dapat berupa metode balanced scorecard atau hanya penerapan key performance indicator disetiap objektif yang ingin dicapai. 64 Lihat “Jalan tengah CSR”, Bisnis Indonesia”, Rabu, 18 Juli 2007. 79 3. Sudah saatnya tanggung jawab sosial perusahaan dikelola oleh suatu divisi tersendiri secara professional sehingga pertanggungjawaban terhadap manajemen dan stakeholder dapat transparan dan terukur kinerjanya. Divisi ini diberikan otoritas untuk dapat memutuskan secara cepat dan tuntas semua perkara (isu) yang berhubungan dengan para stakeholder. Divisi ini harus dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan pemerintah sebagai regulator, lembaga swadaya masyarakat, asosiasi yang berhubungan, dan masyarakat sehingga keputusan yang diambil dapat mengakomodir semua kepentingan. Dalam prakteknya staff dari divisi ini dapat diisi oleh personal dari berbagai perwakilan yang ada di stakeholder. 4. Idealnya, pemerintah juga harus memiliki department yang berfokus untuk menagani regulasi tanggung jawab sosial perusahaan sehingga dapat menjadi mediator dan fasilitator bagi semua pihak yang berkepentingan. Fungsi lainnya dari department ini adalah sebagai auditor yang memberikan rangking dalam periode tertentu bagi semua perusahaan sesuai dengan bidang dan kelasnya, dengan adanya ranking ini memicu perusahaan untuk serius menangani masalah tanggung jawab sosial perusahaan. Departemen ini harus juga melibatkan institusi pendidikan dan akademisi untuk menjaga transparansi dalam proses audit. 5. Pada era teknologi saat ini, peranan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sudah menjadi keharusan bukan lagi sebagai pendukung perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan dapat memanfaatkan TIK semaksimal mungkin untuk menciptakan proses yang efisien, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Misalkan dengan menggunakan software, internet, portal, dan teleconference sebagai alat komunikasi dengan stakeholder yang terintegrasi dengan proses bisnis yang ada dalam perusahaan. 80 BAB XI PENYELENGGARAAN URUSAN PENANAMAN MODAL Pasal 25 ayat (4) UU PM menyebutkan bahwa perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha, wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam UU. Ayat (5) menyebutkan izin diperoleh melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).65 Selanjutnya pada Pasal 26 berbunyi: (1) Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal. (2) Pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh lembaga atau instansi yang berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang berwenang mengeluarkan perizinan dan non perizinan di provinsi atau kabupaten/kota.66 Pada Pasal 28 ayat (1) huruf j, disebutkan bahwa Badan Koordinasi Penanaman Modal mempunyai tugas dan fungsi mengkoordinasi dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu. Penyelenggaraan pelayanan perizinan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan dan non perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat. 65 Pada Pasal 1 ayat (10) disebutkan bahwa PTSP adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dna non perizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. 66 Lihat, “Pelayanan investasi disepakati satu pintu”, Bisnis Indonesia, Senin, 26 Februari 2007, hal. 2. 81 atau dengan kata lain terjadinya pemangkasan tahapan dan prosedur, transparansi biaya, penyederhanaan persyaratan, pengurangan waktu rata-rata dalam proses perizinan dan Pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam kaitannya dengan penyelengaaraan pelayanan. Pelayanan Terpadu Satu Pintu dimaksudkan untuk mempermudah perizinan investasi di Indonesia yang selama ini dikenal high cost karena banyaknya korupsi birokrasi atau pungutan liar. Oleh karena itu, UU PM mencoba menghilangkan atau mencegah korupsi birokrasi dengan cara menerapkan pelayanan terpadu satu pintu.67 Dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu diharapkan akan mempermudah proses perizinan yang harus dimiliki dalam pendirian proyek penanaman modal asing/penanaman modal dalam negeri di Indonesia. Pelayanan Terpadu Satu Pintu akan menghadapi masalah koordinasi antar instansi. Sebagai contohnya, investasi di sektor migas harus melalui tiga pintu, yaitu izin dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kepala Badan Pelaksana Kegitan Usaha Migas dan Kementerian Keuangan (Dirjen Bea Cukai). Ketiga instansi kadangkala terjadi umpang tindih koordinasi penanaman modal. Sebetulnya, sebelum lahir Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, dengan mengacu pada Keputusan Presiden No.29 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.24 Tahun 2006. Beberapa daerah telah menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yaitu Kota Padangpanjang, Kabupaten Serang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Sragen, Kota Yogyakarta, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gianyar, Kota Balikpapan dan Kota Makasar. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.24 Tahun 2006 mewajibkan kepada Bupati atau Walikota untuk melakukan penyederhanaan penyelenggaraan perizinan 67 Lihat Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dasar hukum pelaksanaan pelayanan satu atap sebelumnya diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. 82 melalui pelayanan terpadu satu pintu. Penyederhanaan pelayanan tersebut meliputi pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan, percepatan waktu proses penyelesaian, kepastian biaya pelayanan, kejelasan prosedur pelayanan, mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan, pembebasan biaya perizinan bagi usaha kecil, mikro dan menengah, dan akses informasi bagi masyarakat. Secara teknis, pelayanan terpadu dilakukan dengan pemberian kewenangan kepada Kepala PPTSP untuk menandatangani perizinan dan non perizinan sebagai delegasi kewenangan dari Bupati atau Walikota dengan tujuan untuk mempercapat proses pelayanan. Selain itu, Pelayanan Terpadu Satu Pintu juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pada sub bidang pelayanan penanaman modal telah dilakukan pembagian antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah mempunyai urusan mengkaji, merumuskan dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal. Pemerintah pusat mempunyai kewenangan melayani dan memfasilitasi pelayanan modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dan memiliki tingkat resiko yang tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi. Pemerintah pusat juga melayani penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional dan penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi. Selanjutnya, pemerintah pusat juga memiliki kewenangan untuk penanaman modal yang terkait dengan pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional, menggunakan modal asing yang berasal dari pemerintah negara lain dan berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh pemerintah. Selain itu, pemerintah pusat juga mempunyai urusan dalam pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang menjadi kewenangan 83 pemerintah, melaksanakan pelayananan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki wewenang perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan pemerintah. Sementara itu, pemerintah daerah provinsi mempunyai kewenangan untuk merumuskan dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang bersifat lintas kabupaten/kota. Selain itu, Pemerintah daerah provinsi juga mempunyai urusan dalam hal pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang menjadi kewenangan provinsi dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan kewenangan perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan provinsi. Sedangkan, Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk merumuskan dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. Selain itu, Pemerintah daerah kabupaten/kota juga mempunyai urusan dalam hal pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan kewenangan perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. Penyusunan Peraturan Presiden tentang pembentukan pelayanan terpadu satu pintu bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum iklim investasi dan kenyamanan berusaha, meningkatkan peran pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dalam memberikan pelayanan di bidang penanaman modal dan perizinan; menyederhanakan proses penanaman modal dan berbagai perizinan lainnya; mempercepat proses penanaman modal dan pengurusan berbagai perizinan, sehingga menjadi faktor keunggulan tambahan dalam persaingan global; menurunkan biayabiaya yang terkait dengan perizinan sehingga tidak merugikan daya saing 84 internasional dan memperkuat konsistensi pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang menyangkut iklim investasi. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, pembentukan pelayanan terpadu satu pintu, paling tidak harus memenuhi empat prinsip, yaitu; pertama, non diskriminasi, bahwa unit pelayanan terpadu wajib memberikan perlakuan sama bagi semua penanam modal atau setiap pihak yang akan mengurus perizinan; kedua, transparansi, pelayanan terpadu satu pintu wajib memberikan informasi secara jelas setidaktidaknya mengenai persyaratan, proses, jangka waktu, dan biaya pelayanan penanaman modal dan perizinan lainnya; ketiga, akuntabilitas, bahwa proses penanaman modal dan proses pengurusan perizinan lainnya harus menciptakan kepastian tentang pertanggungan jawaban pelaksana kebijakan penanaman modal; dan; keempat, keadilan yaitu bahwa setiap penanaman modal atau pihak yang mengurus perizinan dilindungi hak-hak sesuai dengan hukum yang berlaku. Pada akhirnya, sistem ini harus dapat mengatasi tantangan-tantangan yang komplek, antara lain, paradigma yang masih mengedepankan pendekatan kekuasaan. Paradigma ini harus diubah menjadi paradigma yang mengutamakan pelayanan publik. Di samping itu, harus diakhiri dualisme misi pengawas atau penegak hukum dengan misi pelayanan dan harus ditanamkan pemahaman bahwa high cost economy di tahap investasi akan berimplikasi menghambat minat investasi. Berkaitan dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di daerah, di setiap Provinsi harus didorong untuk membentuk Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi (BKPMP). Begitu juga pada setiap Kabupaten/Kota harus dibentuk Badan Koordinasi Penanaman Modal Kabupaten/Kota atau Kantor Penanaman Modal Kabupaten/Kota. Lembaga ini melaksanakan fungsi Pelayanan Terpadu Satu Pintu di daerah. BKPM melimpahkan pelaksanaan pelayanan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota, sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh BKPM. Mulai awal tahun 2010, pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan peraturan baru dalam melayani kebutuhan investor di bidang layanan perizinan dan 85 nonperizinan penanaman modal. Layanan itu meliputi kinerja layanan investasi melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), penggunaan layanan investasi secara digital dan online melalui Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE atau National Single Window for Investment), serta penyederhanaan dalam birokrasi penanaman modal lainnya. Penetapan PTSP sesuai dengan amanat Peraturan Presiden No.27 tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal. Diharapkan pelayanan penanaman modal bisa dilakukan lebih cepat, mudah, murah yang dilakukan secara transparan dan akuntabel. Sampai sekarang, baru 314 kabupaten dan kota yang telah mendirikan PTSP. Artinya, masih ada sejumlah daerah yang sampai sekarang belum menerapkan sistem pelayanan satu atap tersebut. Pelayanan terpadu seperti ini terbukti mampu memangkas panjangnya birokrasi dan regulasi yang ada. Selama ini masyarakat kesulitan dengan sistem kepengurusan birokrasi dan relugasi berbelit itu. Kebijakan sistem PTSP dapat saja sebagai alternatif perbaikan dari Sistem Pelayanan Satu Atap. Namun demikian, sistem baru ini tidak akan memberikan perubahan yang diharapkan, jika tidak dapat menunjukan adanya efisien dalam pelayanan, memiliki standar waktu dan biaya yang jelas, memiliki prosedur pelayanan yang sederhana, dan mudah diakses oleh yang membutuhkan. Beranjak dari tujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan PTSP di Bidang Penanaman Modal sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 27Tahun 2009 tentang PTSP di Bidang Penanaman Modal; pelayanan perizinan dan nonperizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan, dan akuntabel; integrasi data dan pelayanan perizinan dan nonperizinan; dan keselarasan kebijakan dalam pelayanan penanaman modal antar sektor di pusat dan antara pusat dengan daerah,kemudahan pelayanan perizinan dan nonperizinan penanaman modal baik bagi investor dalam negeri dan investor asing yang membutuhkan pelayanan penanaman modal, maka penggunaan SPIPISE inidiharapkan dapat memberikan kemudahan pelayanan perizinan dan 86 nonperizinan penanaman modal baik bagi investor dalam negeri dan investor asing yang membutuhkan pelayanan penanaman modal. Dengan penggunaan SPIPISE ini pundiharapkan investor dapat mengajukan permohonan perizinan dan non perizinanmelalui internet dan disisi lain dengan penggunaan sistem ini akan membantu Pemerintah dalam mengintegrasikan data realisasi penanaman modal di berbagai daerah di Indonesia secara online [] 87 BAB XII NASIONALISASI TERHADAP PERUSAHAAN ASING Nasionalisasi mengandung makna pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal. Pada dasarnya substansi tentang nasionalisasi bukan hal baru, karena substansi ini juga diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Hal yang membedakan adalah nilai kompensasi jika terjadi nasionalisasi. Menurut UU PMA, jumlah kompensasi didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak, sedangkan menurut UU PM nilai kompensasi berdasarkan harga pasar yaitu harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk oleh para pihak.68 Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang. Ayat (2) menyebutkan, bahwa dalam hal pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. Kemudian ayat (3) menjelaskan, jika diantara dua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. Selanjutnya, penjelasan pasal 7 ayat (3) menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan “arbitrase” adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada kesepakatan tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Jika pemerintah melakukan nasionalisasi dan tidak tercapai kesepakatan mengenai besarnya ganti rugi dan bagaimana cara pembayarannya, maka sengketa ini akan dibawa kepada Arbitrase.69 68 Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. 88 Kemungkinan besar sengketa akan diselesaikan melalui ICSID, karena Indonesia sudah meratifikasi konvensi International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal. Di samping itu, Pemerintah Indonesia juga menjadi anggota Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Luar Negeri dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on The Recognizition and Enforcement of Arbitral Awards. Jaminan tidak ada nasionalisasi bagi perusahaan penanam modal asing di Indonesia sangat penting. Karena, Indonesia pernah dua kali melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Pertama, pemerintah mengambil alih perusahaan- perusahaan Belanda pada tahun 1958, berkaitan dengan perjuangan mengembalikan Irian Barat dari pendudukan Belanda. Berkaitan dengan nasionalisasi ini, timbul gugatan perusahaan tembakau Belanda di Bremen (German), ketika tembakau dari perkebunan di Deli akan dilelang pada pasar tembakau di Bremen. Kasus ini terkenal dengan kasus tembakau Bremen. Pokok permasalahannya bermula dari penjualan tembakau dari bekas perusahaan Belanda yang dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Pemilik perusahaan yang dinasionalisasi tersebut mengklaim tembakau tersebut sebagai miliknya. Pengadilan Bremen dalam putusannya, antara lain, menyatakan nasionalisasi yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah hak yang berdaulat.70 Kedua, pemerintah melakukan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Inggris dan Amerika, pada waktu Indonesia mengadakan konfrontasi dengan Malaysia. Pada tahun 1962 Indonesia menganggap Amerika dan Inggris sebagai pendukung utama pembentukan Negara Malaysia, yang oleh pemerintah Soekarno 69 Indonesia dengan undang-undang No. 5 tahun 1968 telah meratifikasi Konvensi ICSID ini. Konvensi ICSID mengatur tentang penyelesiaian sengketa antara pemerintah dan Investor Asing berkaitan dengan penanaman Modal. 70 Erman Rajagukguk, Hukum Investasi di Indonesia, Anatomi Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas AlAzhar Indonesia, 2007) hal.48. 89 dianggap neo kolonialisme dan neo imperialisme. Politik luar negeri Indonesia pada waktu itu anti Barat. Amerika dan Inggris dianggap menjadi pendukung utama neo kolonialisme dan neo imperialisme sehingga Indonesia membuka hubungan erat dengan Soviet Uni, negara-negara Eropa Timur, Cuba, China, Vietnam Utara dan Korea Utara. Dengan adanya ketentuan dalam UU PM dan pengalaman nasionalisasi yang pernah dilakukan Indonesia, maka pada masa yang akan datang diperkirakan Indonesia tidak akan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, berdasarkan alasan-alasan berikut ini: Pertama, sejak pemerintah Indonesia membuka diri kepada modal asing dengan lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang telah digantikan dengan UUPM, tidak ada indikasi atau tanda-tanda pemerintah berencana melakukan nasionalisasi. Kedua, keadaan sosial ekonomi Indonesia masih memiliki besarnya pengangguran dan kerusakan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, pembangkit tenaga listrik, penggalian sumbersumber daya alam baru, memerlukan modal asing yang tidak sedikit. Ketiga, keanggotaan Indonesia dalam organisasi perdagangan internasional dan perjanjian bilateral mengenai promosi dan perlindungan penanaman modal dengan berbagai negara, membuat tipis kemungkinan Pemerintah Indonesia akan melakukan nasionalisasi perusahaan asing. Selain itu, Indonesia juga telah menandatangani perjanjian keamanan berinvestasi dengan 60 negara. Praktik perlindungan investasi berupa jaminan tidak ada nasionalisasi merupakan praktik internasional. Syarat-syarat untuk melakukan nasionaliasasi yang berlaku secara internasional sangat ketat, yaitu; harus dilakukan melalui suatu undang-undang, harus ada kompensasi terhadap perusahaan yang dinasionalisasi sesuai dengan harga pasar dan nasionalisasi tidak boleh didasarkan pada alasan politis, tetapi semata-mata alasan ekonomis.71 Kaj Hober, “Investment Arbitration In Eastern Europe: Recent Cases On Expropriation”, American Review of International Arbitration, Vol.14 (2003) hal.383-384. 71 90 Vietnam perlindungan investasi diatur dalam Investment Law 2004 yang menyebutkan tidak ada tindakan nasionalisasi, kecuali dalam kondisi tertentu dan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara.72 Thailand memberikan jaminan dan perlindungan investasi diatur dalam Investment Promotion Act. Negara tidak akan melakukan nasionalisasi terhadap kegiatan usaha individual/perusahaan yang telah menerima sertifikat berdasarkan Investment Promotion Act.73 Sementara itu, pemerintah Malaysia juga menjamin tidak ada nasionalisasi atau pengambialihan. Apabila hal tersebut harus dilakukan, pemerintah akan memberi ganti rugi yang memadai.74 Cina juga memberikan jaminan tidak akan menasionalisasi perusahaan asing.75 72 Lihat, Law on Investment No.59-2005 73 Lihat, The Investment Promotion Act of 1997. 74 Lihat, Promotion of Investment Act 1996, diamandemen 1997. 75 Lihat, Equity Joint Venture Law (EJV Law), 1979. 91 BAB XIII MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL Pasal 32 ayat (1) UU PM menyebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat. Selanjutnya, ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian, ayat (3) pasal ini menyebutkan bahwa, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanaman modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesiakan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan. Ayat (4) mengatur dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanaman modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak. Ketentuan ini pada dasarnya bukan merupakan substansi baru, karena pada Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing juga diatur tentang mekanisme arbitrase dalam penyelesaian ketidaksepakatan mengenai jumlah, macam dan cara pembayaran kompensasi tersebut.76 Pasal 22 ayat (2) menyebutkan, bahwa jikalau antara kedua belah pihak tidak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak. 76 Lihat Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. 92 Sebagai tindak lanjut UU PMA, Indonesia meratifikasi konvensi ICSID atau International Centre for Settlement of Investment Disputes dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal. Indonesia menjadi anggota konvensi ini untuk meyakinkan dunia internasional, bahwa bila terjadi sengketa dengan Pemerintah Indonesia mengenai penanaman modal, kasus tersebut tidak harus diselesaikan lewat pengadilan di Indonesia yang oleh penanam modal asing dapat dinilai akan bersifat subjektif atau tidak obyektif. Walaupun Indonesia menjadi anggota konvensi ini, tidak serta merta semua sengketa penanaman modal antara penanam modal asing dengan Pemerintah Indonesia diselesaikan melalui ICSID karena harus ada kesepakatan antara para pihak yang bersengketa secara tertulis bahwa mereka sepakat akan menyelesaikan sengketa melalui ICSID tersebut. Selanjutnya, Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on The Recognizition and Enforcement of Arbitral Awards, menjadi anggota Konvensi New York 1958 tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri. Namun demikian, keikutsertaan tersebut tidak menjadikan Indonesia serta merta melaksanakan keputusan arbitrase luar negeri. Hal ini sesuai dengan Konvensi New York yang menyatakan bahwa negara peserta dapat menolak pelaksanaan arbitrase luar negeri apabila perjanjian pokok yang berisi penyelesaian sengketa arbitrase tersebut bertentangan dengan undang-undang nasionalnya atau public policy negara tersebut. Sampai saat ini, setidak-tidaknya ada lima kasus yang penyelesainnya dibawa ke arbitrase luar negeri. Pertama, Bakrie Brothers vs. Trading Corporation of Pakistan. 93 Perkara ini terdaftar di Mahkamah Agung No.4231K/PDT/1986. Putusan Mahkamah Agung RI memperkuat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menolak pelaksanaan keputusan arbitrase London dengan alasan bahwa Bakrie Brothers tidak cukup didengar di dalam proses arbitrase dan Bakrie Brothers telah membayar performance bond. Kedua, Yani Heriyanto vs. E.D & F Man Sugar. Perkara ini ditangani oleh Mahkamah Agung RI, dengan nomor 1205K/PDT/1990. Putusan Mahkamah Agung menolak melaksanakan putusan arbitrase London dengan alasan perjanjian pokok yang memuat klausula pokok administrasi tersebut bertentangan dengan public policy Indonesia karena perjanjian tersebut tidak sah atau melanggar peraturan perundang-undangan. Pada waktu itu berdasarkan Keppres Nomor 33 tahun 1971, tanggal 14 Juli 1971 hanya Bulog yang boleh melakukan impor gula. Artinya pihak swasta tidak boleh melakukan impor gula seperti yang diperjanjikan antara Yani Heriyanto dengan E.D & F Man sugar suatu perusahaan Inggris. Ketiga, Kalimantan Timur Coal (KPC) vs. Pemprov Kalimantan Timur Penyelesaian sengketa melalui ICSID juga dipergunakan untuk perkara antara Kalimantan Timur Coal (KPC) vs. Pemerintah Provinsi Kaltim. Dalam perkara ini, ICSID mengabulkan permohonan Pemprov Kaltim. Gugatan ini terjadi di tengah proses seleksi atas enam calon pembeli saham KPC dan Arutmin Indonesia yang diduga mengganggu jalannya proses divestasi yang dilakukan oleh induk perusahaannya, PT.Bumi Resources Tbk. Persetujuan pengajuan arbitrase internasional yang diajukan oleh Pemprov Kaltim itu disampaikan melalui surat dari ICSID dengan nomor kasus ARB/07/3 yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderalnya Ana Palacio, pada 18 Januari 2007. Persetujuan itu merupakan jawaban atas permohonan Pemprov Kaltim, pada 5 April 94 2006 kepada ICSID yang berkedudukan di Washington DC untuk menggugat KPC, Kalimantan Coal Limited, BP International Limited, dan Sanggata Kolding Ltd.77 Keempat, Karaha Bodas vs. Pertamina. Sengketa ini bermula dari adanya Kontrak Operasi Bersama (Joint Operatioan Contract) dimana Karaha Bodas Company, suatu perusahaan yang didirikan di Cayman Islands, diberikan kuasa untuk mengembangkan proyek Geotremal Karaha Bodas di Jawa Barat. Karena krisis ekonomi, dengan Keputusan Presiden No.5 Tahun 1998, proyek tersebut ditunda. Penundaan proyek inilah yang kemudian dijadikan dasar Karaha Bodas mengajukan masalah tersebut ke badan arbitrase. Pada 18 Desember 2000, Dewan Arbitrase di Jenewa memenangkan Karaha Bodas dan mewajibkan Pertamina membayar ganti kerugian US$ 2666,166,654 berikut bunga 4% setahun. Selanjutnya, Pertamina mengajukan permohonan pembatalan putusan Arbitrase Jenewa tersebut kepada Pengadilan Negeri. Tanggal 27 Agustus 2002, Pengadilan Negeri mengabulkan tuntutan Pertamina. Namun demikian, keputusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung, dengan pertimbangan bahwa, pengadilan yang berwenang membatalkan putusan arbitrase adalah pengadilan di tempat mana putusan tersebut diambil. Kelima, Pemerintah Indonesia vs Cemex Sengketa antara pemerintah Indonesia dan Cemex, suatu perusahaan semen Mexico adalah berkaitan dengan PT. Semen Gresik. Perselisihan ini terjadi karena, pertama, Semen Padang dan Semen Tonasa ingin melepaskan diri dari PT. Semen Gresik, dengan alasan agar dapat lebih berkembang. PT. Semen Gresik keberatan 77 Erman Rajagukguk, ibid, hal.113. 95 dengan rencana ini, karena pemisahan tersebut menyangkut pemilikan saham kedua perusahaan tersebut oleh PT. Semen Gresik. Kedua, gugatan Cemex untuk membeli sebagian saham Pemerintah dalam PT.Semen Gresik. Menurut Cemex berdasarkan hak opsi dalam Perjanjian Jual Beli Saham, tahun 1998. Untuk menyelesaikan sengketa ini, Cemex mengajukan ke Arbitrase ICSID, 10 Desember 2003[] BAB XIV SANKSI BAGI PENANAM MODAL Sanksi bagi penanam modal diatur pada Pasal 33 ayat (1) dalam UU PM, yang berbunyi: Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.78 Ayat (2) menyebutkan bahwa, dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum. Selanjutnya, ayat (3) menyebutkan bahwa, dalam hal penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan 78 Lihat Penjelasan Pasal 33 ayat (1) UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Tujuan pengaturan ayat ini adalah menghindari terjadinya perseroan yang secara normatif dimiliki seseorang, tetapi secara materi atau substansi pemilik perseroan tersebut adalah orang lain. 96 pemerintah melakukan kejahatan korporasi berupa tindak pidana perpajakan,79 penggelembungan biaya pemulihan,80 dan bentuk penggelembungan biaya lainnya untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhiri perjanjian atau kontrak kerja sama dengan penanam modal yang bersangkutan. Sementara itu, Pasal 34 menyebutkan bentuk sanksi, yaitu peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan atau fasilitas penanaman modal atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal. Ketentuan tentang sanksi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan ketentuan yang baru, karena baik dalam Undang-Undang Penanaman Modal Asing maupun Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri, masalah sanksi tidak diatur[] 79 Pada Penjelasan ayat (3) Pasal 33 Undang-Undang No.25 Tahun 2007 disebutkan; Yang dimaksud dengan ”tindak pidana perpajakan” adalah informasi yang tidak benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara dan kejahatan lain yang diatur dalam undang-undang yang mengatur perpajakan. 80 Pada Penjelasan ayat (3) Pasal 33 Undang-Undang No.25 Tahun 2007 disebutkan: Yang dimaksud dengan ”penggelembungan biaya pemulihan” adalah biaya yang dikeluarkan di muka oleh penanam modal yang jumlahnya tidak wajar dan kemudian diperhitungkan sebagai biaya pengeluaran kegiatan penanaman modal pada saat penentuan bagi hasil dengan Pemerintah. 97 BAB XV KAWASAN EKONOMI KHUSUS UNTUK MENINGKATKAN PENANAMAN MODAL Peraturan perundang-undangan yang juga mengatur tentang KEK adalah UU PM. Pasal 31 UU PM mentebutkan bahwa pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus akan diatur dalam Undang-Undang tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Kawasan Ekonomi Khusus , KEK merupakan kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Fungsi KEK adalah untuk melakukan dan mengembangkan usaha di bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi, maritim dan perikanan, pos dan telekomunikasi, pariwisata , dan bidang lain. Kriteria yang harus dipenuhi agar suatu daerah dapat ditetapkan sebagai KEK adalah sesuai dengan Rencana mengganggu kawasan lindung, Tata Ruang Wilayah, tidak berpotensi didukung pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam pengelolaan KEK, terletak pada posisi yang strategis, mempunyai potensi sumber daya unggulan di bidang kelautan dan perikanan, perkebunan, pertambangan dan pariwisata , serta mempunyai batas yang jelas. Sesuai dengan kriteria tersebut,pemerintah memutuskan hanya memprioritaskan pembentukan lima KEK dari 48 daerah kabupaten/kota yang mengajukan usulan. Lima kawasan KEK tersebut diharapkan sudah dapat dibentuk 98 sampai dengan 2014. Lima Kawasan tersebut akan masuk dalam lima koridor yang sebelumnya telah ditetapkan. Lima koridor tersebut Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Masing-masing KEK akan memiliki fokus sektor Industri yang berbeda-beda. Sementara di masing-masing KEK akan didirkan klaster-klaster tersendiri. Misalkan ditetapkan klaster sawit, ya maka itu sawit dan rumpunnya, untuk KEK yang berada di Jawa, maka fokusnya bisa ke arah sektor industri manufaktur. Kemudian Sumatra bisa masuk untuk industri oilchemical dan yang berbasis mineral. Papua bisa untuk sektor energi dan pangan. Di sulawesi, DonggiSenoro yang bisa menjadi kawasan khusus untuk bangun pabrik pupuk ataupun Industri methanol. Salah satu daerah yang sudah ditetapkan untuk terus dikembangkan sebagai perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sehingga dapat dikatakan pioner Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah Pulau Batam. Pulau Batam merupakan salah satu daerah industri dan perdagangan di Provinsi Kepulauan Riau yang telah melakukan kegiatan pembangunan ekonomi dengan pesat.81 Selama 30 tahun Batam telah berkembang dengan pesat sebagai kawasan industri dengan status Bonded Zone yang kemudian ingin ditingkatkan menjadi Free Trade Zone.82 Letak geografisnya yang sangat strategis di Selat Malaka dan sangat berdekatan dengan Singapura memungkinkannya mempunyai prospek yang sangat baik sebagai kawasan perdagangan bebas. Pengembangan Batam sebagai kawasan bebas tidak terlepas dari hasil kesepakatan Indonesia, Singapura dan Malaysia tahun 1990 ketika membentuk 81 Pulau Batam memiliki luas 415 km2 merupakan bagian dari wilayah kepulaun Riau. Lokasinya sangat strategis, sebelah utara berbatasan dengan Singapura, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Moro, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Karimun dan sebelah timur dengan Kecamatan Bintan Utara dan Bintan Selatan. Jarak dengan Singapura hanya 12,5 mil laut dan dapat ditempuh melalui jalur laut dan udara. 82 Keputusan Presiden No.41 Tahun 1978, tanggal 24 November 1978 menetapkan seluruh Pulau Batam sebagai Bonded Warehouse berdasarkan Peraturan Pemerintah tanggal 19 Juni 1992 mengubah status Pulau Batam dari Bonded Ware house menjadi Bonded Zone. Bonded Zone merupakan salah satu bentuk SEZ. 99 segitiga pertumbuhan yang melibatkan Riau, Singapura dan Malaysia (Sijori). Tujuannya adalah untuk meningkatkan daya saing masing-masing kawasan dan untuk memajukan ekspor perdagangan di pasar dunia.83 Keputusan Presiden No.74/1971 yang diperbaharui dengan Keputusan Presiden No.41/1973, menetapkan Batam sebagai daerah khusus industri yang dikendalikan langsung oleh pemerintah pusat, yaitu dengan dibentuknya Badan Otorita Batam (BOB) sebagai pengelola kawasan industri. Pembentukan BOB dan penetapan Batam sebagai kawasan industri pada tahun 1971, mempunyai dasar pertimbangan strategi nasional dan internasional, di mana pemerintah Republik Indonesia berkeinginan untuk melakukan pembangunan dan pengembangan ekonomi skala internasional di wilayah Batam dan sekitarnya. Langkah ini diambil dalam rangka mengantisipasi perkembangan serta hubungan dengan negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Keberhasilan Kawasan Perdagangan Bebas Batam selama 30 tahun, telah mendorong Indonesia untuk mengembangkan kawasan SEZ. Mengacu pada UndangUndang No.36 Tahun 2000 tentang Penetapan Perpu No.1 Tahun 2000 sebagai Undang-Undang tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, seharusnya suatu kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas ditetapkan melalui undang-undang. Namun demikian, Pemerintah kemudian menerbitkan Perpu No.1 tahun 2007 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Perpu No.1 Tahun 2007, yang kemudian oleh DPR RI ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tanggal 2 November 2007. Berdasarkan Undang-Undang ini, pengembangan perdagangan dan pelabuhan bebas ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Selain Batam, Indonesia juga mengembangkan kawasan Pulau Sabang sebagai perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Pemerintah bersama DPR-RI telah 83 Mya Than, The Experience of Growth Zones in South-East Asia : Indonesia-MalaysiaSingapura”, Asia-Pasific Development Journal, Vol.7, No.1 Juni 2000,hal.4. 100 mengeluarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Pulau Sabang. Kendatipun sudah ditetapkan regulasinya, kawasan Pulau Sabang dinilai lamban perkembangannya. Hal ini disebabkan adanya kendala dalam implementasinya dan tidak terwujudnya kepastian hukum. Di samping itu, kondisi perekonomian negara secara menyeluruh ikut mempengaruhi minat investor untuk berinvestasi di Pulau Sabang. Masalah keamanan di Aceh juga menjadi kendala bagi pengembangan Pulau Sabang. Namun demikian, adanya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Pulau Sabang, merupakan satu kebijakan regulasi yang dapat memberikan kepastian hukum. Tugas pemerintah selanjutnya adalah melakukan promosi yang sungguh-sungguh menjamin keamanan dalam negeri, khususnya di Aceh (pasca MOU antara Pemerintah dengan GAM), serta menjamin kepastian hukum dalam berinvestasi sesuai dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2000 tersebut. Berbeda halnya dengan pengaturan Pulau Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (FTZ-FP). Pembahasan RUU tentang Penetapan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam tidak sempat dirampungkan oleh DPR-RI periode 1999-2004, dan sampai saat ini DPR-RI maupun pemerintah belum mengagendakan pembahasan kembali RUU tersebut dalam Prolegnas, namun Batam sebagai FTZ-FP sudah berkembang pesat melalui kebijakan regulasi lainnya. Sebagai perbandingan, dalam penyelenggaraan KEK perlu diperhatikan penyelenggaraan kawasan ekonomi khusus di negara lain. Misalnya, Cina telah memulai membentuk KEK sejak tahun 1979 di Zhuhai, Shantao dan Shenzen di Provinsi Guangdong dan Zianen di Provinsi Fujian. Pada kawasan ini, pemerintah setempat diizinkan untuk mengambil langkah-langkah untuk mendorong pengembangan ekonomi tanpa perlu persetujuan. Selain itu, kepemilikan swasta dan investasi asing disahkan di kawasan-kawasan ini. Pembangunan KEK ini membawa 101 pengaruh yang signifikan dalam pertumbuhan investasi di Cina. Dalam membuka diri ke dunia luar, Cina telah membangun berbagai jenis daerah ekonomi khusus meliputi sebagai berikut : Special Economic Zones di Shenzen, Zhuhai, Xian-Men, Shantou, Hainan dan Pudong di Shanghai, Kota pelabuhan pantai di 14 kota, 49 State-level Economic and Technological Development Areas di 31 provinsi, 53 State-Level High and New Technological Industrial Areas di 31 provinsi. China bisa dikatakan sebagai negara yang paling sukses memikat investasi asing dengan KEK. Pada Juli 1979, China melansir kebijakan membentuk kawasan ekspor khusus di Zhuhai, Shantou, dan Shenzhen di Provinsi Guangdong serta Xiamen di Provinsi Fujian. Mei 1980, zona kawasan ini diganti namanya menjadi KEK. Pada April 1988, Hainan yang sebelumnya bagian dari Provinsi Guangdong dimekarkan menjadi provinsi sendiri, dimasukkan ke KEK. Selanjutnya pada tahun 1984, 14 kota pantai terbuka terhadap dunia luar. Kota-kota terbukani tidak diberi status sebagai KEK. Kegiatan dunia usaha dipusatkan pertama-tama di KEK dan kemudian di kota-kota terbuka. Di kawasankawasan tersebut, pemerintah setempat (pemda) diizinkan untuk mengambil langkahlangkah untuk mendorong pengembangan ekonomi tanpa perlu persetujuan dari pemerintah pusat. Selain itu, kepemilikan swasta dan investasi asing disahkan di kawasan-kawasan ini. KEK dan kota-kota terbuka ini secara efektif menjadi laboratorium bagi investasi asing dan campuran (modal ventura). Setelah membuat KEK, China membuka 54 kawasan pengembangan ekonomi dan teknologi tingkat nasional serta kawasan industri yang menikmati kebijakan khusus. Dari jumlah itu, 27 kawasan berada di kota dan provinsi di sepanjang pantai timur China, sembilan kawasan berlokasi di daerah tengah, dan 13 lainnya di daerah barat China. Di samping itu, terdapat lima kawasan industri yang menikmati kebijakan khusus tingkat nasional, yaitu Kawasan Pengolahan Ekspor Jinqiao (Shanghai), Kawasan Pengolahan Ekspor Haichang (Xiamen, Provinsi Fujian), Kawasan 102 Pengembangan Daxie (Ningbo, Provinsi Zhejiang), dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Yangpu (Provinsi Hainan), dan Taman Industri Suzhou (Provinsi Jiangsu). Kebijakan pembangunan kawasan-kawasan ekonomi khusus tentunya ditopang juga oleh stabilitas sosial-politik dan kebijakan-kebijakan lainnya (fiskal dan moneter) yang membuat iklim investasi China tidak hanya kondusif, tetapi unggul bila dibanding negara-negara pesaing. Selain itu, pemerintah China tak ketinggalan membangun infrastruktur yang memadai. Sebab mereka menyadari seberapa hebat apapun potensi ekonomi suatu wilayah, bila tidak ditunjung infrastruktur yang memadai tidak akan dilirik investor [] 103 DAFTAR KEPUSTAKAAN A. BUKU Aminuddin, Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia. Ujung Pandang; Lephas, 1990. Anaroga, Pandji, Perusahaan Multi Nasional, Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1985. Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Penerbit Alumni, 1994. Barton, John H & Fisher, Bart S. International Trade and Investment, Regulating International Business. Toronto : Little, Brown and Company, 1986. Baum, Warren C., Investasi Dalam Pembangunan: Pelajaran dari Pengalaman Bank Dunia. Jakarta : UI Press, 1988. Brittan, Sir Leon “Building on the Singapore Minesterial: Trade, Investment and Competition,” Berlin, New York: Springer, 1998. Beeson, Mark, Competing Capitalism : Australia, Japan and Economic Cooperation in Asia-Pasific, Lonon : Macmillan,1999. Booth, Anne dan McCawley, Peter, The Indonesian Economy During The Soeharto Era. Malaysia : Oxford University Press, 1981. 104 Bowie, Alasdair and Unger, Danny. The Politics of Open Economies : Indonesia, Malaysia, the Philippines and Thailand. Cambridge : United Kingdom at the University Press. 1997. Bresnan, John. Managing Indonesia : The Modern Political Economy. New York : Columbia University Press. 1993 Brahm Laurence, Foreign Investment and Trade Law Investment, California: University Press, 2000. Cross, Frank B” Law and Economic Growth”, Texas Review, Vol.80 (2002). Campbell, Dennis, International Business Transactions, Commentary, Forms and Documents, including World-Processing Software, Netherlands: Kluwer Law and Taxation Publisers, 1988. Caporaso, James A.Theories of Political Economy. Cambridge : Cambridge University Press,1992. Caves, Richard. Multinational Enterprise and Economic Analysis. Cambridge : University Press Cambridge. 1982. Chilcote, Ronald H. Theories of Development and Underdevelopment. Colorado : Westview Press, 1984. Cribb, Robert, Indonesia Beyond Soeharto : Polity, Economy, Transition, New York, London : M.E.Sharpe,1998. 105 Darmanto Latip, Yansen. Pilihan Hukum dan Pilihan Forum. Jakarta : UI Press, 2002. Darto, Mariman. Investasi Antara Pertumbuhan dan Keadilan. Jakarta : The ARC, 2003. Deyo, Frederick C. Dependent Development and Industrial Order, New York : Praeger Publishers,1981. Dobson, Wendy. Japan in East Asia : Trading and Investment Strategies, Singapore: ISEAS,1993. Edi Swasono, Sri. Ekspose Ekonomika Globalissme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi. Yogyakarta : Pustep UGM,2003. Evans, Peter. Dependent Development : The Alliance of Multinational State, and Capital in Barzil. New Jersey : Pricenton University Press. Friedman, Lawrence M. American Law An Introduction. New York, London : W.W.Norton & Company, 1984. Fuady, Munir. Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek. Bandung: Citra Adiyta Bhakti, 1986. G. Wolgang.Friedman and George Kalmanoff. Joint International Ventures. New York.1961. 106 Giddens, Anthony, The Consequence of Modernity, Cambridge : Cambridge University Press,1990. Gilpin, Robert. Global Political Economy: Understanding the International Economic Order, Pricenton and Oxford : Pricenton University Press, 2001. Hadi, Syamsul, Strategi Pembangunan Mahathir & Soeharto, Politik Industrialisasi dan Modal Jepang di Malaysia dan Indonesia,Jakarta: Japan Foundation, 2005. Hadiz, Vedi and Ian Chalmers (ed), The Politics of Economic Development in Indonesia: Contending Perspectives. London and New York : Routledge,1997. Haggard, Stephan, Pathways from the Periphery : the Politics of Growth in the Newly Industrializing Countries, Ithaca and London : Cornell University Press,1990. Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1962. Hartono, C.F.G Sunaryati.(1) Masalah-Masalah Dalam Joint Ventures Antara Modal Asing dan Modal I ndonesia. Bandung : Alumni 1974. ______________________. (2) Beberapa Masalah Transnasional Penanaman Modal Asing di Indonesia. Bandung : Binacipta,1979. Hewitt, John, Joint Ventures.London : FT Law & Tax,1997. 107 Dalam Hewison, Kevin, Richard Robison, and Garry Rodan (ed), South-east Asia in 1990s : Autroritarinism, Democracy and Capitalisme, Sidney : Allen & Unwin. Hill, Hal. (1) Industrialisasi di Indonesia : Indonesia’s Industrial Transformation. Singapore : Institute of Southeast Asean Studies, 1977. ___________.(2) Investasi Asing dan Industrialisasi di Indonesia. Jakarta : LP3ES, 1990. ___________. (3) Foreign Investment and Industrialization in Indonesia. Singapore : Oxford University Press,1988. ___________. (4) The Indonesian Economy in Crisis. Singapore : Institut of South East Asian Studies, 1999. ___________. (5) Ekonomi Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001. Himawan, Charles. The Foreign Investment Proces of Law in Indonesia. Jakarta Singapore : Gunung Agung, 1980. Houtte, Hans Van. The Law of International Trade. London : Sweet&Maxwell, 1995. Hudson. Alastair. The Law on Investment Entities. London : Sweet&Maxwell, 2000. JICA, JICA in Indonesian : Review of Our Program in 1999, Tokyo : 2000. 108 Juwana, Hikmahanto. Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. Jakarta : Lentera Hati, 2002. ___________. “Putusan Hakim dan Iklim Investasi”. Forum Keadilan : No.34,22 Desember 2002. Jean Raymond Homere,” Intelectual Property Rights Can Help Stimulate The Economic Development Of Least Developed Countries”,Columbia Journal of Law & the Arts, Vol. 27 (2004). Kahin, George Mc.Turnan. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca : Cornell University Press, 1952. Kahin, Audrey R. dan George McT.Kahin. Subversi sebagai Politik Luar Negeri, Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1997. Kanumoyoso, Bondan, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Jakarta : Sinar Harapan, 2001 Krane, George T, and Abla Amawi (ed), The Theoritical Evolution of International Political Economy: a Reader, New York, Oxford University Press,1997. Low, Linda Asean Economic Co-operation and Challenges (Singapore : ISEAS Publications, 2004). 109 Lane, Jan-Erik and Svante Ersson, Ekonomi Politik Komparatif (Comparative Political Economy). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1990 Lall, Sandjaja. Foreign Private Manufacturing Investment and Multinational Corporations. New York : Preager, 1975. Lev.Daniel S, Hukum Dan Politik Di Indonesia. Jakarta : LP3ES,1990. Lindbeck, Assar, The Political Economy of The Left : An Outsider’s View. New York: Harper & Row, 1977. Lindert, Peter H., Ekonomi Internasional, Jakarta : Bumi Aksara, 1994. Lubis, Todung Mulya, Hukum dan Ekonomi. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1978. Lubis, Todung Mulya dan Richard, M. Barbun. Peranan Hukum Dalam Perekonomian di Negara Berkembang. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1986. Macintyre, Andrew, Business and Politics in Indonesia, Sidney: Allen & Unwin,1991. Marans, J.Eugene. et .al.(ed). Manual of Foreign Investment in The United States. New York : McGraw-Hill,Inc, 1984. May, Brian, Indonesian Tragedy, Singapura: Routledge and Keegan Paul Ltd, 1978 110 Modelski, George. Transnational Corporations and World Order. San Fransisco, 1979. Myrdal, Gunnar, The Change of World Proverty, A World Anti-Proverty Program in Outline. England : Penguin Books, 1970. Muclinski, Peter, Multinational Enterprise and the Law. Oxford : Blackwell Publisher Ltd., 1997. Munck, Ronaldo, Politics and Dependency in the Third World : the Case of Amerika. London : Zed Books,1984. Muhaimin, Yahya A. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru : 1966-1971. Jakarta : LP3ES, 1989. _________________. Bisnis dan Politik Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 19501980. Jakarta : LP3ES, 1990 Napitupulu B., Joint Venture di Indonesia. Jakarta : Erlangga,1975. Nasution, Bismar. Keterbukaan Dalam Pasar Modal. Jakarta : UI Press, 2001. Nurkese, Ragnar. Causes Effects of Capital Movements, Internationl Movements . England : Penguin Books, Harmondsworth, 1972. 111 Paauw, Douglas M. From Colonial To Guided Economy dalam Ruth McVey, Indonesia. New Haven : Yale University Press, 1963 Packenham, Robert. The Dependency Movement : Scholarship and Politics in Development Studies, Cambridge, London : Harvard University Press,1992. Palan, Ronen. Global Political Economy : Contemporary Theories, London and New York : Routledge,2000. Panjaitan, Hulman. Hukum Penanaman Modal Asing. Jakarta : Ind-Hill Co, 2003. Pritchard, Robert. Economic Development, Foreign Investment and the Law. London : Kluwer Law International, 1996. Robock Stefan H dan Kenneth Simmonds, International Business and Multinational Enterprises, (Illionis : Richard D. Irwin, 1989). Richardson, Benjamin J. “Is East Asia Industrializations Too Quickly? Enviromental Regulation In Its Special Economic Zones”, UCLA Pacific Basin Law Journal, Vol.22 (2004). Robison, Richard. The Rise of Capital. Sydney : Allen & Unwin, 1988. ______________, “Politics and Markets in Indonesia’s Post Oil Era”, dalam : garry Rodan, Kevin Hewison, and Richard Robison (ed.), The Political Economy of Southeast Asia : an Introduction, Melbourne : Oxford University Press. 112 Robinson, Joan, Aspects of Development and Underdevelopment. Cambridge : Cambridge University Press, 1979. Rajagukguk, Erman, (1), Hukum Dalam Pembangunan. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982. _________________, (2) Indonesiasi Saham, Jakarta : Bina Aksara, 1985. _________________, (3) Hukum Investasi di Indonesia, Peraturan Perundangundangan dan Keputusan Pengadilan, Jakarta : Fakultas Hukum UI, 1996. _________________,(4).“Peranan Hukum di Indonesia : Menjaga Persatuan Bangsa, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, Makalah disampaikan dalam rangka Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas UI, 2000. _________________,(5) ”Reformasi Hukum Nasional”, Makalah Disampaikan pada Seminar Dies Natalis HMI, 1998. _________________, (6) “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi : Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Disampaikan Dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum di Fakultas Hukum UI, 1997. __________________, (7) Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan. Cetakan Pertama . Jakarta : Chandra Pratama, 2000. 113 _____________________, Hukum Investasi Di Indonesia: Anatomi Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Jakarta; Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, 2007. Ray. I.G. Penanaman Modal, Pedoman Prosedur Mendirikan danm Menjalankan Perusahaan Dalam Rangka PMA dan PMDN. Jakarta : Prandya Paramitra, 2000. Sadli, Mohammad. “Dificulties of Foreign Investor : A Comment”, Bulltein of Indonesian Economic Studies, (1970). ___________, “Foreign Investment in Developing Countries : Indonesia”, dalam P.Drysdale (ed), Direct Foreign Investment in Asia and the Pacific. Canbera : autralian National University Press. Senegenberger, Werner (ed). International Labour Standards and Economi Interdependence. Genewa : ILO Publications, 1994. Severino, JR. Rodolfo C, Asean Rises to Challlenge, Jakarta : The ASEAN Secretariat,1999. Siahaan, Bisuk. Industrialisasi di Indonesia : Sejak Hutang sampai Banting Stir, Jakarta : Pustaka Data,1996. 114 Soebagjo, Felix O. “Deregulasi, Kepastian Hukum dan Usaha Memantapkan Iklim Investasi”, Hukum dan Pembangunan, 5 Oktober 1990. _______________, Hukum Tentang Akuisisi Perusahaan di Indonesia, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2006. ______________,Pendapat Pada Sidang di Mahkamah Konstitusi, tanggal 20 November 2007. Soekanto. Winahyo, “Peraturan Pemerintah Daerah Versus Tahun Investasi”. Koran Tempo, 12 Oktober 2003. So,Alvin Y. Social Change and Development, Modernization, Dependency, and Worl-System Teories. California : Sage Publications, Inc.1953. Surter, John. Indonesianisasi: Politics in Changing Economy, 19401955. Ithaca : Cornell University, Modern Indonesia Project,1959. Sumardjono, Maria SW, Puspita Serangkum Aneka Masalah Hukum Agraria, Yogyakarta: Andi Offset, 1982. Sumantoro. (1) Aspek-Aspek Pengembangan Dunia Usaha Indonesia. Jakarta : Binacipta, 1977. __________. (2) Investment Law, Cooperation in Investment and the Indonesian Perspectives. Jakarta : Binacipta, 1982. 115 __________. (3) Kerjasama Patungan Dengan Modal Asing. Bandung : Alumni, 1984. Sunny, Ismail. Tinjauan Dan Pembahasan UUPMA dan Kredit Luar Negeri. Jakarta: Prandya Paramita,1976. Suprayitno, Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Penanaman Modal Asing, Harapan dan Kenyataan, Buletin Legalitas,2002. Syahputra, Tunggal Iman. Peraturan Perundang-Undangan Penanaman Modal di Indonesia. Buku I. Jakarta : C.V. Harvarindo, 1997. ______________________.Peraturan Perundang-Undangan Penanaman Modal di Indonesia. Buku 2. Jakarta: C.V. Harvarindo, 1999. Soehoed. Bunga Rampai Pembangunan Antara Harapan dan Ancaman Masa Depan. Jakarta : Puri Fadjar Mandiri dan Fakultas Teknik UI, 2002. Susanto, Sri Nur Hari, “Penguasaan Daerah Atas Bahan Galian/Pertambangan Dalam Perspektif Otonomi Daerah” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Aspek Hukum Penguasaan Daerah Atas Bahan Galian, di Fakultas Hukum Undip, 2 Desember 2009. Stanley D.Metsger, Foreign Investment and International Organization, International Organization,1966,h.299 Stiglitz, Joseph. Globalization and Its Discontents. London: Penguin Book, 2002. 116 Stelwagon, William M., “Financing Private Energy Projects In The Third World”, Catholic Lawyer, Vol.37 (1996). Tambunan, T.H. Tulus. Perekonomian Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2001. ______________. Industrialisasi di Negara Berkembang: Kasus Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia,2001. Thee Kian Wie. Industrialisasi di Indonesia. Jakarta : LP3ES, 1994. ____________. Penanaman Modal Asing Langsung di Indonesia. Jakarta : PMBLIPI, 1996. ____________. “Menyikapi Peranan Modal Jepang di Indonesia” dalam Prisma, Juli 1983. The Long Road To Reform: An Analysis of Foreign Investment Reform in Vietnam. Todaro, Michael P. Economic Development in the Third World. New York : Longman Inc,1987. Winters, Jeffrey A, Power in Motion : Modal Berpindah, Modal Berkuasa, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999. 117 Wet, Erika de “Labor Standard in Globalization Economy : The inclusion of Social Change in the GATT/WTO, “Human Rights Quarterly, 17, (1999). Wei Qi, Cheng, Investing in China, Legal Perspectives, Hongkong: Butterworth, 2003. Yanagina, Yukio (et.all). Law and Investment in Japan, Cases and Materials. London : Harvard University Press, 1994. B. MAJALAH, SURAT KABAR, DAN ARTIKEL Afrin, Zakia “Foreign Direct Investments and Sustainable Development in The LeastDeveloped Countries”, Annual Survey of International and Comparative Law, Vol.22 (2004). Attanasio John B., “Foreword: Verstehen And Dsipute Resolution”, Notre Dame Law Review, Vol.67 (1992). Acuff Jenna, L. “The Race To The Bottom: The United States Influence On Mexican Labor Law Enforcement” San Diego International Law Journal, Vol.5 (2004). Antony Allot. “The Effectiveness of Law”. Valparaiso University Law review, Volume 15 (1981). 118 Berg-Schlosser, Siegel and Samuel Huntington, “Political Development and Politcal Decay,” World Politics (1965). Bunnag, Jayavath “Law as an Economic Infrastructure’’, Thailand Year Book of International and Comparative Law, (Bangkok : Faculty of Law Chulolangkorn University, 1986). Basri, Faisal H., “Deregulasi Juni 1996”. Jurnal Tahunan Cides No.3. Jakarta : Pustaka Cidesindo, 1997. Boreale, Michael “Beachfront Property In Arizona: Loosening Resctrictions On Foreign Acquisition Of Mexican Real Estate And The Implications For Arizona Investors”, Arizona Journal Of International and Compartive Law, Vol.22 (2005). Berkowitz, Daniel Johannes Moenius, Katharina Pistor, “Legal Institutions and International Trade Flows” Michigan Journal Of International Law, Vol.26. Bars, Russel Lawrence. “Demokrasi dan Pembangunan”. Jurnal Keadilan Vol.1.No.1 (2001). Been, Vicki Joel C.Beauvais,”The Global Fith Amandement, NAFTA’S Investment Protections And The Misguided Quest For An International, “Regulatory Takings”, Doctrine”, New York University Law Review, Vol.78 (2003). Bata, Anselmus. “Perda Anti Investor” Suara Pembaharuan, 21 Mei 2003. 119 Chang, Ha Joon “Foreign Investment Regulation in Historical Perspective, Lessons for the Proposed WTO Investment Agreement”, March, 2003. Chua, Amy “The Profitable and the Powerless: International Accountability of Multinational Corporations”, American University International Law Review, Vol.19 (2004). David M.Trubek, “Toward s Social Theory of Law : An Essay on The Study of Law and Development”, The Yale Law Journal, Vol.82, No.1, (1972). Delissa A.Ridgway, The Honorable dan Mariya A Talib, “Globalization And Development-Free Trade Aid Investment and The Rule Of Law”, California Western International Law Journal, Vol.33 (2003). Eyth, Marcus “The Telmex Saga Continues: Foreign Investors Expectations And Realizations In The Struggle To Compte In The Mexican Telecomunaications Market”, Pace International Law Review, Vol.14 (2002). Fairbranks, Michael & Lindsay, State. “Memilih Kemakmuran : Agenda Untuk Membangkitkan Pasar”, Jurnal Reformasi Ekonomi.Vol. 2. No.1, 2001. Franck, Thomas M. “The New Development : Can American Law Legal Institutions Help Developing Contries”. Winconsin Law Review.No.3 (1972) Hober, Kaj. “Investment Arbitration In Eastern Europe: Recent Cases On Expropriation”, American Review of International Arbitration, Vol.14 (2003). 120 Gray, Cherl, “Reformasi Hukum di Negara Sedang Berkembang”, Jurnal Hukum Bisnis, vol.6 (1999) Hober, Kaj, “Investment Arbitration In Eastern Europe: Recent Cases On Expropriation”, American Review of International Arbitration, Vol.14 (2003). Hill, H. and B. Johns, “The Role of Direct Foreign Investment in Developing East Asian Countries”. Welwirtschaftliches Archiv, 121 (1985). Ismail, Tjip. Kebijakan Pengawasan Atas Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. makalah disampaikan dalam Seminar yang diselenggarakan USAID dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Joel C.Beauvais, Vicki Been, ,”The Global Fith Amandement, NAFTA’S Investment Protections And The Misguided Quest For An International”, New York University Law Review, Vol.78 (2003). Juoro, Umar. “Transformasi”. Jurnal Cides. Jakarta : Pustaka Cidesindo, 1999. Jurnal Hukum Bisnis, Urgensi Pembaruan Undang-undang Investasi, Volume 22No.5-Tahun 2003. Jablonski, Scott R. “Foreign Investment Dispute Resolution Does Have A Place In Trade Agreements In The Americas: A Comparative Look At Chapter 10 of The United States-Chile Free Trade Agreement”, University Of Miami InterAmerican Law Review, Vol.35 (2004). 121 Kelliat, Makmur. “Perspektif-Perspektif Globalisasi”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, No.5,2001. Kontan. 5 Januari 2004, “Duit Haram yang Menjadi Obat Penenang Sementara”, No.13, Tahun VIII. Lall, Sandjaja Foreign Private Manufacturing Investment and Multinational Corporations An Annoted Bibliography, (New York : Preager, 1975). Lothian, Tamara Katharina Pistor, “Local Institutions, Foreign Investment And Alternative Strategies of Development: Some Views From Practice”, Columbia Journal of Transnational Law, Vol. 42 (2003). Mills, Karen “Recent Development In Arbitration and ADR-Indonesia, International Arbitration Law Review, (2003). Mikiciuk, Michael, ”Foreign Direct Investment Succes In Ireland: Can Poland Duplicate Ireland’s Economic Succes Based On Foreign Direct Mendelson, Wallace. “Law and Development of Nations”. Vol.32 (1970) Mubyarto, “Investasi”, artikel Kompas, 24 Juli 2002. Nyhart,D.J.“The Role of Law in Economic Development”, Journal of International Law and Policy, Vol.9, (1980). 122 Nasution, Bismar,”Implikasi AFTA terhadap Kegiatan Investasi dan Hukum Investasi Indonesia” Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, Januari-Februari 2003. Noah Rubins, “The Enforcement and Annulment of International Arbitration Awwards in Indonesia”, American University International Law Review, Vol.20 (2005), hal.388-400. ”PMA hengkang dari Sabang”, Bisnis Indonesia, Kamis, 11 Oktober 2001. ”Presiden cemas Banyak PMA Kabur”, Republika, Senin, 29 Oktober 2001. “Penutupan Pabrik Sony Pengaruhi Investasi Batam”, Media Indonesia, Sabtu, 30 November 2002. Ribeiro, George A. “Doing Business in China After Its Accession To The World Trade Organization”, International Law Practicum, Vol.16 (2003). Renwald, Jessica Zoe “Foreign Invesment Law in The People’s Republic of China: What to Expect From Enterprise Establishment to Dispute Resolution”, Indiana International and Comparative Law Review, Vol.16 (2006). Rose-Susan-Aeckerman. “Public Policy and Law”, Valvaraiso University Law, Rubins, Noah “The Enforcement and Annulment of International Arbitration Awwards in Indonesia”, American University International Law Review, Vol.20 (2005). 123 Sabater, Anibal. “The Weaknesses of the “Rosatti Doctrine”: Ten Reasons Why ICSID’S Standing Provisions Do Not Discriminate Againts Local Investors” American Review of International Arbitration, Vol.15 (2004). Salgado, Victor. “The Case Againts Adopting Bit Law in The FTAA Framework” Wisconsin Law Review, Vol.5 (2006). ” Soal Insentif “Tax Holiday” Investor Lebih Butuh Jaminan Keamanan”, Kompas, Jum’at, 5 Oktober 2001. “ Seluruh Pelayanan Investasi di BKPM Langgar UU Otonomi Daerah”, Media Indonesia, 17 April 2004. Suraputra, Sidik “ICSID dan MIGA : Lembaga Internasional Untuk Meningkatkan Arus Modal”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 8,1999. Send, Rahul and Ramkishen S.Rajan, “Liberalisation Of International Trade In Financial Services In Southeast Asia: Indonesia, Malaysia, Philippines and Thailand”, Journal of International Financial Markets, Vol.5 (2002. Swenson, Deborah L “Why Do Developing Countries Sign Bits?”, U.C.Davis Journal of International Law and Policy, Vol.12 (2005). ”Sebanyak 20 ganjalan Investasi Diselesaikan”, November 2002. 124 Kompas, 28 Trent, Rebecca “Implications For Foreign Direct Investment In Sub-Saharan Africa Under The African Growth Opportunity Act”, Northwestern Journal of International Law and Business, Vol.23 (2002) hal.236. Vinuesa, Raul Emilio “Bilateral Investment Treaties And The Settlement Of Investment Disputes Under ICSID: The Latin American Experience”, Law and Business Review of the Americas, Vol.8 (2002Widjaya Theberge, Leonard J. “Law and Economic Development,”Journal of International Law and Policy, Vol.9, (1980). ”Wapres: Jangan Ada Gangguan Keamanan Bagi Investor”, Republika, Sabtu, 29 September 2001. White III, George O “Foreigners At The Gate : Sweeping Revolutionary Changes On The Central Kingdom’s Landscape Foreign Direct Investment Regulations & Dispute Resolution Mechanisms in The People’s Republic Of China”, Richmond Journal of Global Law and Business, Vol.3 (2001). W.Cookson II, Charles. “Long Term Direct Investment In Brazil”, University of Miami-American Law Review, Vol.35 (2004). Woodhouse, Erik J. “The Obsolescing Bargain Redux? Foreign Investment In The Electric Power Sector In Developing Countries”, New York University Journal of International Law and Politics, Vol.38 (2005-2006). 125 Winkler, Matteo M., “Arbitration Without Privity And Russian Oil: The Yukos case Before The Houston Court”, University of Pennsylvania Journal of International Economic Law, Vol.27 (2006) Yackee, Jason Webb. “Are BITS Such A Bright Idea Exploring The Ideational Basis Of Investment Treaty Enthusiasm” U.C. Davis Journal Of International Law and Policy, Vol.12 (2005) Zhou, Jian, “National Treatment in Foreign Investment Law : A Comparative Study A Chinese Perspective”, Touro International Law Review Spring, 2000. Rev.39. Zhang, Jim Jinpeng dan Jung Y.Lowe, “Foreign Investment Companies Limited By Shares: The Latest Chinese Organizational For Major International Ventures”, Northwestern Journal of International Law and Business, Vol.21 (2001). C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Republik Indonesia, Undang-undang 39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 126 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang No.1 Tahuan 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1970 No.46,dan Tambahan Lembaran. Negara No. 2943). Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara tahun 1970, No.47) Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1968 No. 33) Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor I tahun 1967 tentang Penananam Modal Asing (L.N. No.1 , 1967. Tambahan L.N. No.2818). Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 78 tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing Asing (LN.1958/138, TLN No.1725). Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda. Republik Indonesia, Ketetapan MPRS No.1/MPRS/1960 tentang Manifestor Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Daripada Haluan Negara. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No.17 tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing. 127 Republik Indonesia, Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1992 tentang Pemanfaatan Tanah Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan untuk Usaha Patungan dalam Rangka PMA. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1993 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No.17 tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1993 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1986 tentang Jangka Waktu Izin Perusahaan Penanaman Modal Asing. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1996 tentang Kegiatan Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka PMA di Bidang Eskpor dan Impor. Republik Indonesia, Surat Keputusan Presiden No.171 Tahun 1999 tentang Badan Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara. Republik Indonesia, Surat Keputusan Presiden No.121 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No.183 Tahun 1998 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 128 Republik Indonesia. Keputusan Presiden RI No.96 Tahun 1998 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup Bagi Penanaman Modal. Republik Indonesia. Keputusan Presiden RI No.99 Tahun 1998 tentang Bidang/Jenis Usaha yang Dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Badan/Jenis Usaha yang Terbuka untuk Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan Syarat Kemitraan. Republik Indonesia. Keputusan Menteri Negara/Kepala BKPM No.12/SK/1999 tentang Penyertaan Modal Dalam Perusahaan Induk (Holding). Republik Indonesia. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerjasa Dengan International Monetary Fund. 129