Buku Pengaturan Penanaman Modal di

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Pengertian penanaman modal kadangkala menimbulkan perbedaan penafsiran.
Sebagian pendapat menyatakan bahwa pengertian penanaman modal secara langsung
(direct investment) memiliki penafsiran yang sama dengan penanaman secara tidak
langsung atau melalui pasar modal (indirect investment).
Salah satu contoh perbedaan penafsiran pengertian penanaman modal terlihat
pada penyikapan terhadap pembelian 40% saham PT Indosat oleh perusahaan asing.
Jika mengacu pada Peraturan BAPEPAM-LK Nomor IX.H.1, perusahaan asing
tersebut diwajibkan melaksanakan penawaran tender. Permasalahannya, apakah
perusahaan asing tersebut dapat memiliki saham lebih dari 49%. Sementara itu, jika
mengacu pada Peraturan Presiden No.111 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha
Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang
Penanaman Modal, sektor telekomunikasi dan informatika penyeleggaraan jaringan
telekomunikasi yang tetap, kepemilikan modal asing maksimal 49%.
Untuk mengatasi perbedaan penafsiran tersebut, maka harus dilihat pada
pengertian yang tercantum dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang
Penananam Modal (selanjutnya disebut dengan UU PM). Pada bagian Penjelasan
umum alinea kelima UU PM disebutkan "Undang-undang ini mencakupi semua
kegiatan penanaman modal langsung di semua sektor" Selanjutnya, pada Pasal 2
disebutkan, “ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi penanaman modal di
semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia”.
Sementara itu, pada Penjelasan Pasal 2 UU PM menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan “penanaman modal di semua sektor di wilayah negara Republik
Indonesia” adalah penanaman modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal
tidak langsung atau portofolio.
1
Ketentuan dalam UU PM yang juga dapat digunakan untuk menafsirkan
pengertian tentang penanaman modal adalah batasan berlakunya UU PM. Dalam UU
PM tidak mencakup investasi yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan
di sektor minyak dan gas bumi, lembaga keuangan non bank, asuransi, sewa guna
usaha, pertambangan dalam kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara, investasi yang dikeluarkan oleh instansi teknis/sektor,
investasi portofolio (pasar modal) dan investasi rumah tangga.
Penafsiran di atas dipengaruhi oleh kebijakan penanaman modal sebelumnya.
Pada Pasal 2 Keputusan Presiden R.I No.17 Tahun 1986 tentang Persyaratan
Pemilikan Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing Untuk
Diberikan Perlakuan Yang Sama Seperti Perusahaan Penanaman Modal Dalam
Negeri. Syarat-syarat agar modal asing mendapat perlakuan yang sama dengan modal
dalam negeri adalah “perusahaan modal asing minimal 75% (tujuh puluh lima persen)
sahamnya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional, atau; minimal 51% (lima
puluh satu persen) sahamnya dijual melalui pasar modal, atau; minimal 51% (lima
puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional dan yang
dijual melalui pasar modal, dengan ketentuan bahwa saham yang ditawarkan untuk
dijual melalui pasar modal tersebut minimal 20% (dua puluh satu persen). Jika
memenuhi syarat tersebut, perusahaan modal asing diberikan perlakuan sama seperti
perusahaan yang dibentuk dalam rangka Undang-Undang No.6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapat dinyatakan bahwa kebijakan
penanaman modal Indonesia pada masa sebelumnya sampai dengan lahirnya UU PM,
memberikan pengertian yang berbeda antara penanaman modal langsung dengan
penanaman tidak langsung atau penanaman melalui pasar modal.
Dalam rangka lebih memberikan kepastian hukum, maka dalam perubahan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal perlu dirumuskan
perbedaan yang jelas dan tegas pengertian penanaman modal yang secara langsung
2
dengan penanaman modal melalui pasar modal. Dengan demikian tidak terjadi multi
tafsir terhadap pengertian penanaman modal.
3
BAB II
BENTUK-BENTUK PERUSAHAAN
PENANAMAN MODAL
Dalam melakukan kegiatan penanaman modal diperlukan suatu bentuk badan
usaha. Pilihan bentuk badan usaha akan mempengaruhi terhadap pengembangan
usaha, bentuk pertanggung jawaban, akses permodalan, pembagian keuntungan,
pembubaran perusahaan, dan lain-lain.
Bentuk perusahaan dalam penanaman modal dibedakan antara pemodal asing
dan pemodal dalam negeri. Ketentuan ini diatur pada bab IV Pasal 5 UU PM, yang
berbunyi:
1) Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha
yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha
perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan
hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik
Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
3) Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman
modal dalam bentuk perseoran terbatas dilakukan dengan:
a. mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;
b. membeli saham; dan
c. melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pengertian di atas mengandung makna bahwa penanaman dalam negeri
dalam melakukan investasi dapat membentuk badan hukum atau tidak berbadan
hukum. Sedangkan bagi penanaman modal asing wajib berbadan hukum yang
berbentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia. Selain itu, baik penanam
4
modal dalam negeri maupun asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk
perseroan terbatas dapat dilakukan dengan mengambil bagian saham atau membeli
saham.
Dengan demikian, Pasal 5 ayat (2) UU PM mensyaratkan penanaman modal
asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan
berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, bukan dalam bentuk CV
atau bentuk yang lain. Dasar hukum pembentukan PT mengacu pada Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Pembentukan PT sebagai pilihan dalam melakukan usaha dipengaruhi oleh
perkembangan PT dalam perekonomian di banyak negara. Secara historis PT telah
ikut meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia, baik melalui penanaman modal
asing maupun penanaman modal dalam negeri, sehingga PT merupakan salah satu
pilar pekonomian nasional.
Pertimbangan lain dipilihnya PT sebagai bentuk perusahaan dibandingkan
dengan bentuk yang lain adalah PT merupakan asosiasi modal dan sekaligus sebagai
badan hukum yang mandiri. Sebagai asosiasi modal maka ada kemudahan bagi
pemegang saham PT untuk mengalihkan sahamnya kepada orang lain, sedangkan
sebagai badan hukum yang mandiri berdasarkan UU PT menentukan bahwa
pertanggungjawaban pemegang saham hanya terbatas pada nilai saham yang dimiliki.
Unsur pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham PT tersebut
merupakan faktor yang penting sebagai pendorong bagi kesediaan para calon
penanam modal untuk menanamkan modalnya dalam PT. Perusahaan yang berbentuk
PT secara fungsional dituntut memberikan nilai tambah (value added), baik
berbentuk financial return bagi para pemegang saham (shareholders) maupun socialwelfare, yang sekurang-kurangnya value added bagi stakeholders.
Pertimbangan yang sangat menonjol orang lebih memilih PT sebagai bentuk
hukum bagi kegiatan bisnisnya adalah dikarenakan pemegang saham PT hanya
5
bertanggung jawab sebesar nilai saham yang diambilnya dan tidak meliputi harta
kekayaan pribadinya.
UU PT menegaskan prinsip tanggung jawab terbatas tersebut dengan
menetapkan bahwa pemegang saham PT tidak bertanggung jawab secara pribadi atas
perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian
perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya.
Namun demikian prinsip tanggung jawab terbatas pemegang saham tidak
berlaku mutlak. Dalam hukum positif Indonesia, kemungkinan untuk mengecualikan
prinsip tanggung jawab terbatas tersebut dimungkinkan jika: (a) persyaratan
perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; (b) pemegang saham
yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk
memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi; (c) pemegang
saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh perseroan; (d) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang
mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang
perseroan.
Organ PT yang memiliki kedudukan strategis adalah Direksi. Direksi dituntut
untuk menjadi organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan PT
untuk kepentingan dan tujuan PT serta mewakili baik di dalam maupun di luar
pengadilan.
Secara umum Direksi merupakan agent dari PT. UUPT menetapkan hal
demikian dalam pasal-pasal berikut: pertama, Pasal 1 butir 4 jo. Pasal 82 UUPT,
yang berbunyi: “Direksi merupakan organ perseroan yang bertanggung jawab penuh
atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili
perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
Anggaran Dasar”. Kedua, Pasal 79 ayat (1) UUPT yang berbunyi “Kepengurusan
perseroan dilakukan oleh Direksi”. Ketentuan ini, sebagaimana disebutkan dalam
6
penjelasannya, adalah menugaskan Direksi untuk mengurus perseroan yang antara
lain meliputi pengurusan sehari-hari dari perseroan.
Selain Direksi, karyawan (officer) atau orang lain juga diberikan
kemungkinan untuk mewakili PT (agent). Berkenaan dengan hal tersebut, UUPT
membatasi dengan ketentuan bahwa kemungkinan tersebut diberikan dengan kuasa
tertulis dari Direksi kepada 1 (satu) orang karyawan PT atau lebih atau orang lain
untuk dan atas nama PT melakukan perbuatan hukum tertentu.
Dalam hal ini Direksi bertindak selaku principal dari karyawan atau orang
lain yang diberi kuasa. Berkenaan dengan ketentuan mengenai agent, UU PT tidak
mengaturnya secara lebih lanjut, tetapi aturan mengenai kewenangan mewakilkan
dari Direksi selaku principal diatur dalam masing-masing Anggaran Dasar PT yang
bersangkutan, dan itupun terbatas hanya mengenai pengangkatan dan pemberhentian
pegawai, pemberian penghargaan atau pengenaan sanksi. Berkaitan dengan
pelaksanaan prinsip GCG, seharusnya terdapat penetapan sistem yang resmi dan
transparan bagi pengangkatan pegawai, penetapan gaji dan penilaian yang adil atas
kinerja pegawai.
Selanjutnya UU PT menetapkan kewajiban Direksi dan Komisaris untuk
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan
dan usaha perseroan. Keduanya dapat digugat ke pengadilan bilamana atas dasar
kesalahan dan kelalaiannya menimbulkan kerugian pada PT. Untuk anggota Direksi
terdapat tambahan ketentuan bahwa jika melakukan kesalahan atau kelalaiannya
tersebut dapat dituntut pertanggungjawaban penuh secara pribadi. Begitu pula dalam
hal kepailitan yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan PT
tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota
Direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian dimaksud.
Namun untuk mendukung terlaksananya prinsip-prinsip Good Corporate
Covernance (GCG), ketentuan-ketentuan yang dimuat UU PT tersebut di atas masih
menghadapi kendala. Karena, ketentuan UU PT dimaksud baru menjelaskan
7
tanggung jawab Direksi secara umum, yang secara teoritis lahir dari hubungan antara
PT dengan Direksi yang merupakan hubungan yang didasarkan atas kepercayaan
(Fiduciary of Relationship).
Bila hanya berpegang pada ketentuan UU PT, dapat menimbulkan
permasalahan dalam menentukan kapan dan bagaimana Direksi dianggap telah
melanggar prinsip-prinsip GCG. Hal ini mengingat adanya justifikasi dan fleksibilitas
yang diberikan kepada Direksi dalam melaksanaan tugas dan wewenangnya. Secara
konseptual fleksibilitas ini dikenal sebagai the Business Judgement Rule.
Berdasarkan prinsip ini, Direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab secara pribadi
sekalipun tindakannya mengakibatkan kerugian pada PT, baik karena salah
perhitungan atau hal lain di luar kemampuan yang menyebabkan kegagalan dari
tindakan tersebut, dengan syarat tindakan tersebut dilakukan dalam kerangka
keputusan bisnis yang tulus dan dibuat berdasarkan itikad baik.
Dalam prakteknya ada penyalahgunaan fungsi PT, misalnya munculnya
praktik-praktik pendirian PT yang hanya dimaksudkan sebagai “paper company”,
yakni suatu perusahaan yang di atas kertas berbentuk PT, namun hanya bertujuan
sebagai penarik dana pinjaman bagi perusahaan lain dalam satu kelompok untuk
mengelabui peraturan perundang-undangan.
Pada sisi lain, dalam prakteknya ada kemungkinan badan hukum asing yang
”beroperasi” di Indonesia tidak menggunakan PT. Berdasarkan Pasal 2 Ayat (5)
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan yang telah mengalami berbagai
perubahan, perubahan terakhir dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan, badan usaha tersebut dapat berbentuk, (a) sebagai tempat
kedudukan manajemen, (b) cabang perusahaan, (c) kantor perwakilan, (d) gedung
kantor, (e) pabrik, (f) bengkel, (g) gudang, (h) ruang untuk promosi dan penjualan, (i)
pertambangan dan penggalian sumber alam, (j) wilayah kerja pertambangan minyak
dan gas bumi, perikanan, peternakan,pertanian, perkebunan, dan kehutanan, proyek
konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apa pun
8
oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukan
tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia.
Ketentuan lain yang mengatur tentang pembentukan kantor perwakilan asing,
antara lain; pertama, Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2000 tentang kantor
Perwakilan Wilayah Perusahaan Asing dan Surat Keputusan Ketua BKPM No.
22/SK/2001 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keppres No. 90 Tahun 2000 tentang
Kantor Perwakilan Perusahaan Asing); kedua, menjadi mitra asing dalam eksplorasi
pertambangan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan, Mineral, dan Batu Bara. Ketiga, menjadi kontraktor proyek.
Dalam konteks proses pendirian dari suatu PT yang merupakan penanaman
modal asing sedikit berbeda dengan pendirian PT biasa. Ada beberapa proses awal
yang mesti dilalui dan beberapa instansi pemerintah yang terkait sehubungan dengan
penanaman modal asing ini, seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),
Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan.
Proses untuk mendirikan PT yang merupakan penanaman modal asing (PT
PMA) mengacu kepada Surat Keputusan BKPM No. 38 Tahun 1999 Tanggal 6
Oktober 1999 (Skep BKPM). Proses tersebut dimulai dengan menyampaikan
permohonan penanaman modal asing kepada BKPM. Bentuk surat permohonan ini
(formulir Model I PMA) sudah ada standarnya yang dapat diperoleh di toko buku
atau di BKPM. Formulir Model I PMA ini merupakan lampiran dari Skep BKPM di
atas.
Tahap selanjutnya setelah surat persetujuan BKPM diterbitkan adalah
mempersiapkan anggaran dasar perusahaan PMA. Anggaran dasar PMA tersebut
disampaikan melalui Notaris kepada Menteri hukum dan Hak Asasi Manusia untuk
9
mendapatkan pengesahan. Setelah pengesahan diperoleh, PT PMA diumumkan dalam
berita negara RI.
10
BAB III
PERUSAHAAN JOINT VENTURE
DALAM PENANAMAN MODAL
Badan usaha dalam rangka kegiatan penanaman modal dapat membentuk
perusahaan joint venture. Struktur kerja sama bisnis berdasarkan joint venture
masing-masing pihak akan mengatur permasalahan kontrol dan tanggung jawab
operasi usaha. Dimulai dengan perhitungan besaran kontrol dari jumlah perbandingan
penyertaan modal saham. Hasilnya adalah komposisi pemilikan saham dari para
pemegang saham. Ada pemegang saham mayoritas dan ada minoritas. Biasanya
investor/pihak Indonesia menjadi pemegang saham minoritas. Komposisi pemilikan
saham seperti ini diterapkan langsung dan seketika di tingkat kebijakan kontrol pada
rapat umum pemegang saham (RUPS) sebagai organ dengan kekuasaan tertinggi.
Pelaksanaan atas keputusannya didasarkan pada perhitungan hak suara dengan
ketentuan satu saham adalah satu hak suara.
Tingkat kebijakan kontrol kedua ada pada komposisi susunan direksi sebagai
pengurus dan komisaris sebagai pengawas. Komposisi susunan di tingkat tersebut
merefleksikan “kebijakan kontrol” atas komposisi pemilikan saham. Jika pemilikan
saham 70% asing dan 30% Indonesia, berapa pun jumlah anggota direksi dan
komisaris yag disepakati akan merefleksikan perbandingan yang sama. Area
tanggung jawab di tingkat direksi pun biasanya terimbas. Dalam kasus dengan asumsi
tersebut, posisi direktur utama dan direktur keuangan biasanya menjadi posisi
strategis dan milik pihak asing.
Dalam kegiatan perekonomian, Joint Venture adalah suatu unit terpisah yang
melibatkan dua atau lebih peserta aktif sebagai mitra. Kadang-kadang juga disebut
sebagai aliansi strategis, yang meliputi berbagai mitra, termasuk organisasi nirlaba,
sektor bisnis dan umum.
11
Menurut Erman Rajagukguk ialah suatu kerja sama antara pemilik modal
asing dengan pemilik modal nasional berdasarkan perjanjian, jadi pengertian tersebut
lebih condong pada joint venture yang bersifat internasional.1
Kedua pengertian tersebut mempunyai satu kesepakatan bahwasanya joint
venture ialah suatu perjanjian, maka harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian
menurut ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun dalam pengaturan joint
venture tersebut berada di luar KUH Perdata, karena joint venture termasuk ke dalam
perjanjian yang tidak bernama serta tidak diatur dalam KUH Perdata.
Unsur-unsur yang terdapat dalam joint venture ialah: kerjasama antara
pemilik modal asing dan nasional, membentuk perusahaan baru antara pengusaha
asing dan nasional, didasarkan pada kontraktual atau perjanjian.
Akan tetapi tidak semua usaha wajib didirikan joint venture antara pemilik
modal asing dengan pemilik modal nasional. Jenis perjanjian joint venture juga
dimungkinkan joint venture domestik. Joint venture domestik didirikan antara
perusahaan yang terdapat di dalam negeri dan joint venture Internasional yang
didirikan di Indonesia oleh dua perusahaan dimana salah satunya perusahaan asing.
Dalam perkembangannya, pemerintah mengharuskan perusahaan penanaman
modal asing membentuk perusahaan joint venture. Hal ini terjadi setelah peristiwa
Malari. Sebelumnya, pembentukan perusahaan joint venture bukanlah sesuatu yang
bersifat imperatif dan tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang No.1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing. Namun demikian, bentuk perusahaan joint
venture secara implisit dapat dilihat pada Pasal 23 Undang-Undang No. 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing.
1. Dalam bidang-bidang usaha yang terbuka bagi modal asing dapat diadakan
kerjasama antara modal asing dengan modal nasional.
2. Pemerintah menetapkan lebih lanjut bidang-bidang usaha, bentuk-bentuk dan
cara-cara kerjasama antara modal asing dan modal nasional dengan
1
Erman Rajagukguk, Hukum Penanaman Modal di Indonesia (Jakarta: Universitas Al Azhar
Indonesia, 2008)
12
memanfaatkan modal dan keahlian asing dalam bidang ekspor serta produksi
barang-barang dan jasa-jasa.
Ketentuan yang menunjukkan bahwa pembentukan perusahaan joint venture
bukan suatu keharusan juga dapat dilihat pada Pasal 27 UU PMA, yang berbunyi:
1. Perusahaan yang seluruh modal adalah modal asing wajib memberi
kesempatan partisipasi bagi modal nasional secara efektif setelah jangka
waktu tertentu dan menurut imbangan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2. Jikalau partisipasi termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan
penjualan saham-saham yang telah ada maka hasil penjualan tersebut dapat
ditransfer dalam valuta asli dari modal asing yang bersangkutan.
Pada bagian penjelasan UU PMA, dapat dilihat pada penjelasan Pasal 8, yang
berbunyi: untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan ekonomi maka Pemerintah
menentukan bentuk-bentuk kerjasama antara modal asing dan modal nasional yang
paling menguntungkan untuk tiap bidang usaha. Mungkin bentuk kerjasama ini
berwujud kontrak karya, joint venture atau bentuk lainnya.
Ketentuan lebih lanjut yang menunjukkan perusahaan joint venture bukan
suatu keharusan dapat dilihat pada Instruksi Presidium Kabinet No. 36/U/IN/6/1967
tentang Pemberian Perangsang-Perangsang Khusus Bagi Penanaman Modal Asing
Yang Mengadakan Kerjasama Modal Inodonesia Dalam Bentuk Joint Enterprises.
Ketentuan yang memberikan perangsang jika perusahaan asing berbentuk joint
venture menunjukkan bahwa perusahaan joint venture pada dasarnya bersifat sukarela
dan pemerintah hanya mendorong agar perusahaan modal asing membentuk
perusahaan joint venture dengan memberikan insentif.
Menurut Instruksi Presidium Kabinet No. 36/U/IN/6/1967, suatu perusahaan
joint venture dapat dibebaskan dari kewajiban untuk menanam modal sebesar
minimum 2,5 juta dollar untuk mendapatkan pembebasan pajak perseroan dan pajak
deviden. Selain itu, perusahaan yang berbentuk joint venture dapat diberikan lagi
13
tambahan pembebasan pajak perseroan dan pajak deviden selama satu tahun dengan
ketentuan jumlah pembebasan kedua pajak tidak akan melebihi lima tahun.2
Ketentuan UU PMA yang menyebutkan terbukanya kerjasama antara modal
asing dan modal nasional ditafsirkan sebagai tidak adanya suatu keharusan bagi
investor asing untuk mengadakan kerjasama dengan pengusaha Indonesia. Ketentuan
tersebut menunjukkan pada dasarnya pemerintah tidak mewajibkan perusahaan
penanaman modal asing membentuk perusahaan joint venture tetapi hanya
mendorong kerjasama tersebut, baik kerjasama pengusaha asing dengan swasta
Indonesia atau pemerintah, dengan memberikan perangsang tambahan berupa
pembebasan pajak perusahaan dan pajak keuntungan.3
Pada waktu itu, Pemerintah mendorong penanaman modal asing membentuk
perusahaan joint venture, terutama pada sektor-sektor yang produksinya belum
mencukupi kebutuhan dalam negeri, sektor-sektor yang memperluas ekspor, sektorsektor yang membuka kesempatan kerja yang cukup besar, sektor-sektor yang
memungkinkan pengalihan keterampilan dan teknologi dan sektor-sektor untuk
memelihara keseimbangan kualitas tata lingkungan.
Pada tanggal 15 Januari 1974, bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri
kedatangan Perdana Menteri Kakuei Tanaka, Jakarta dilanda demonstrasi dan
kerusuhan-kerusuhan.
Kerusuhan
tersebut
telah
menimbulkan
pembakaran-
pembakaran terutama terhadap mobil-mobil buatan Jepang. Hanya satu minggu
setelah peristiwa 15 Januari 1974, Pemerintah mengumumkan kebijaksanaan baru
dalam penanaman modal asing. Berdasarkan Keputusan Sidang Dewan Stabilisasi
Ekonomi Nasional yang diselenggarkan 22 Januari 1974, penanaman modal asing di
Indonesia harus berbentuk joint venture dengan modal nasional.
2
Instruksi Presidium Kabinet No.36/U/IN/1967 Tentang Pemberian PerangsangPerangsang Khusus Penanaman Modal Asing yang Mengadakan Kerjasama Dalam Bentuk
Joint Eenterprises tertanggal 3 Juni 1967.
3
Erman Rajagukguk, Indonesianisasi Saham, (Jakarta : Bina Aksara, 1985) hal. 11.
14
Keputusan ini ditindaklanjuti dengan beberapa peraturan pelaksana, yaitu
Surat Edaran Ketua BKPM No.B-1195/A/BK/X/1974. Kebijakan ini menentukan
perbandingan jumlah saham antara pihak asing dengan modal nasional yaitu setelah
10 tahun, perbandingannya saham nasional minimal 51% sementara pihak asing
maksimal 49%.4
Ketentuan ini akhirnya tidak berlaku lama, karena telah keluar Keputusan
Ketua BKPM No.5/SK/1987 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional Dalam
Perusahaan Penanaman Modal Asing. Dalam ketentuan ini, perusahaan penanaman
modal asing harus berbentuk patungan dengan penyertaan modal nasional minimal
20% dan meningkat menjadi paling kurang 51% dalam waktu 15 tahun.5 Namun
demikian, penyertaan modal nasional tidak harus dilakukan untuk perusahaan
penanaman modal asing yang berlokasi di kawasan berikat dan mengekspor 100%
hasil produksinya dapat didirikan dengan penyertaan nasional 5% atau lebih tanpa
keharusan peningkatan saham nasional.6
Keputusan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal No.5/SK/1987
diperbarui dengan Keputusan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal
No.08/SK/1989 tanggal 5 Mei 1989. Berdasarkan Ketua BKPM ini, perusahaan
penanaman modal asing yang mengekspor 100% hasil produksinya dan berlokasi di
kawasan berikat atau yang memiliki status entreport partikelir dapat didirikan dengan
penyertaan nasional 5% atau lebih tanpa keharusan peningkatan saham nasional.
Keputusan BKPM ini juga mengarahkan terjadinya perlakuan yang sama
antara perusahaan penanaman modal asing dengan perusahaan penanaman modal
dalam negeri. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan yang menyebutkan: pertama,
4
Keputusan Ketua BKPM No.5/SK/1987 tentang Persyaratan Pemilikan Saham
Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing.
5
Pasal 1 Keputusan Ketua BKPM No.5/SK/1987 tentang Persyaratan Pemilikan
Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing.
6
Pasal 2 Keputusan Ketua BKPM No.5/SK/1987 tentang Persyaratan Pemilikan
Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing.
15
perusahaan penanaman modal asing yang menjual sahamnya minimal 20% melalui
pasar modal sebagai saham atas nama sehingga minimal 45% sahamnya dimiliki oleh
negara dan/atau swasta nasional diberi perlakuan yang sama seperti Perusahaan
Penanaman Modal Dalam Negeri sehingga tidak diwajibkan meningkatkan saham
nasionalnya menjadi sekurang-kurangnya 51%.
Kedua, Perusahaan penanaman modal asing juga tidak diwajibkan
mengikutsertakan partisipasi nasional, jika memenuhi beberapa persyaratan. Hal ini
dapat dilihat dari Keputusan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal
No.16/SK/1989 tanggal 24 Oktober 1989 tentang Perubahan dan Tambahan
Keputusan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5/SK/1987 tentang
Persyaratan Pemilikan Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing.
Pasal 1 menyebutkan bahwa perusahaan penanaman modal asing dapat didirikan
dengan penyertaan saham seluruhnya 100% (seratus persen) dimiliki oleh peserta
asing, dengan syarat: berlokasi di Pulau Batam yang merupakan suatu kawasan
berikat, seluruh 100% hasil produksinya untuk diekspor dan dalam waktu 5 (lima)
tahun sesudah berproduksi secara komersial paling sedikit 5% dari sahamnya di jual
kepada mitra usaha nasional, tanpa keharusan peningkatan saham nasional.
Pengaturan penanaman modal asing diharuskan membentuk perusahaan joint
venture juga dapat dilihat pada Surat Keputusan Menteri Negara Penggerak Dana
Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 15/SK/1994 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam
Rangka Penanaman Modal Asing. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa penyertaan
modal saham dalam perusahaan patungan yang didirikan dalam rangka penanaman
modal asing, ditetapkan atas dasar kesepakatan para pihak dalam pendirian
perusahaan patungan tersebut. Kewajiban mendirikan perusahaan patungan
diperuntukkan pada sektor-sektor tertentu. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 8 ayat (1)
yaitu, bidang pelabuhan; produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk
umum; telekomunikasi; pelayaran; penerbangan; air minum; kereta api umum;
16
pembangkit tenaga atom; dan mass media. Ayat (2) menyebutkan bahwa perusahaan
patungan didirikan dengan modal saham perusahaan yang disetor dan ditempatkan
sekurang-kurangnya 5% (lima perseratus) dari jumlah modal saham perusahaan
diambil bagian oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang
seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan/atau warga negara Indonesia.
Berdasarkan perkembangan pengaturan tentang joint venture di Indonesia,
keharusan bagi penanam modal asing agar berbentuk joint venture dilakukan dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut.7
Pertama, Peningkatan modal dalam bentuk modal kerja ataupun modal
investasi untuk mesin-mesin, peralatan-peralatan spareparts, dan lain-lain. Hal ini
dapat terjadi karena bentuk usaha joint venture merupakan jenis usaha baru, sehingga
akan membawa modal baik yang berupa modal kerja ataupun modal investasi.
Kedua, dengan keahlian dan pengalaman terbatas di bidang “processing” dari
barang-barang yang selama ini hanya dikenal sebagai “barang jadi”, para pengusaha
nasional dapat mempertahankan fungsi dagangnya dan dapat mengambil alih fungsifungsi teknologis dari pihak investor asing pada suatu waktu tertentu.
Ketiga, investor asing ikut serta dalam joint venture dalam usaha untuk
mendapatkan saluran-saluran distribusi di daerah-daerah dimana jaringan-jaringan
distribusi yang telah ada tidak dapat mencapainya.
Keempat, dengan adanya keharusan investasi asing berbentuk joint venture,
maka perusahaan asing tersebut akan berusaha untuk menjaga hubungan yang baik
dengan pemerintah setempat, sehingga pemerintah dapat membantu dengan
memberikan kemudahan-kemudahan dalam usaha atau tidak menghambat berbagai
proyek perusahaan. Peluang ini juga didukung dengan adanya fakta bahwa
perusahaan lokal mempunyai kelebihan untuk bisa mengatasi hambatan-hambatan
7
Lihat Laurence J Brahm, Foreign Investment and Trade Law Invesment (California
: Stanford University Press, 2000) hal.74.
17
dalam birokrasi dan lebih jauhnya dapat mempengaruhi birokrasi sesuai dengan
tujuan atau kepentingan perusahaannya.
Pada waktu itu, ketentuan mengenai keharusan peningkatan penyertaan modal
nasional merupakan sesuatu yang wajar, oleh karena sering dominasi modal asing
dilihat sebagai simbol penguasaan ekonomi oleh negara-negara industri yang maju,
yang dianggap sebagai ancaman terhadap otonomi dan kedaulatan bangsa-bangsa
sedang berkembang. Misalnya, di Amerika Latin, Mexico adalah negara yang juga
mewajibkan para investor asing untuk melakukan kerja sama dengan perusahaanperusahaan Mexico, dimana penanaman modal asing hanya memegang posisi
kepemilikan minoritas. Sebelumnya, Mexico menerapkan kebijakan penanaman
modal asing yang liberal.8
Perusahaan penanaman modal asing di Indonesia dalam membentuk
perusahaan joint venture di Indonesia dapat bermitra dengan, pribumi, non pribumi
dan perusahaan negara. Dalam kenyataannya, perusahaan joint venture seringkali
agak sukar untuk mengetahui apakah partner Indonesia adalah pribumi atau nonpribumi. Karena, pada dasarnya modal milik non pribumi dan pengusaha-pengusaha
pribumi hanya bertindak sebagai wakil. Perusahaan ini dikenal dengan nama
“perusahaan Ali Baba”.9 Perusahaan Ali (pengusaha pribumi) bertugas untuk
memperoleh lisensi dan Baba (Cina peranakan atau totok) menyediakan modal dan
keahlian usaha. Perusahaan Ali Baba sudah ada sejak tahun 1950, tetapi jumlahnya
meningkat pesat pada masa Kabinet Ali pertama. Praktek kepemilikan saham seperti
ini dilakukan melalui nominee. Pada satu pihak yang oleh karena sesuatu
pertimbangan tidak dapat atau dapat tetapi tidak menjadi pemilik saham pada suatu
perseroan menggunakan pihak lain sebagai nominee-nya. Pengertian tidak dapat
digambarkan dengan suatu keadaan dimana pihak-pihak tertentu, berdasarkan
8
Said El-Nagar (ed), Investment Policies in The Arab Countries (International
Monetery Fund: 1990) hal. 75.
9
Charles Himawan, The Foreign Investment Process in Indonesia (Singapore:
Gunung Agung, 1980) hal.230.
18
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak dibenarkan menjadi
pemegang saham pada perseroan tertentu (misal PT lokal atau PT PMDN). Dalam
keadaan yang lain, pihak-pihak tertentu sebenarnya dapat menjadi pemegang saham
PT Indonesia tertentu karena yang bersangkutan warga negara Indonesia, namun
dengan berbagai pertimbangan (diantaranya menghindari public exposure yang
berkelebihan) memutuskan tidak mau memunculkan nama sendiri sebagai pemegang
saham pada suatu perseroan, namun memilih sebaiknya dan menggunakan nominee
mewakili kepentingannya.10
Pemerintah Indonesia mengharapkan agar partner asing dapat menemukan
partner pribumi dalam perusahaan-perusahaan joint venture secara seimbang. Namun,
dengan kekecualian perusahaan-perusahaan negara, bukan pengusaha pribumi yang
menanamkan modalnya, melainkan perusahaan “Ali-Baba” yang lebih banyak
berperanan dalam perusahaan-perusahaan joint venture. Praktek-praktek “Ali Baba”
merupakan sesuatu hal yang biasa bukan hanya dalam kasus perusahaan asing, tetapi
juga diantara perusahaan-perusahaan yang dimiliki orang-orang setempat, sebagai
contohnya perusahaan-perusahaan pribumi yang sangat terbatas secara efektif
dikendalikan oleh kelompok-kelompok non pribumi. Pada tahun 1950 ada cerita yang
popular di kalangan rakyat Indonesia mengenai seorang bernama Ali Baba, seorang
cerdik dan banyak akalnya dan sudah terbiasa mempermainkan raja dan
memperalatnya untuk cepat kaya dan memperoleh kekuasaan.
Pemerintah menyadari adalah tidak mudah untuk menemukan pengusahapengusaha pribumi mampu mengambil bagian dalam saham-saham joint venture,
sekalipun sebagai pemegang saham minoritas. Oleh karenanya, pemegang saham
kosong untuk pengusaha-pengusaha pribumi merupakan praktek umum. Dalam
banyak hal, partner asing meminjamkan uang kepada partner lokal untuk
penyertaannya dalam joint venture. Pinjaman mana diharapkan akan dapat dibayar
dari keuntungan yang diperoleh kemudian hari. Kadang-kadang partner lokal
10
Felix Oentong Soebagjo, Hukum Tentang Akuisisi Perusahaan di Indonesia,
(Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2006), hal.17.
19
memasukkan panyertaannya dalam bentuk hak atas tanah yang dipakai dalam usaha
joint venture tersebut. Bentuk lain dari penyertaannya adalah imbalan yang diberikan
berdasarkan hubungan baik partner lokal dengan birokrasi, sehingga urusan-urusan
perusahaan dengan birokrasi dapat diselesaikan dengan baik.
Kebijakan pemerintah yang mengharuskan perusahaan penanaman modal
asing membentuk perusahaan joint venture setelah peristiwa Malari 15 Januari 1974
tidak membawa hasil yang signifikan. Jumlah proyek penanaman modal asing dalam
bentuk joint venture setelah tahun 1974 justru terus mengalami kemunduran, yaitu
tahun 1974 berjumlah 126, tahun 1975 berjumlah 91, tahun 1976 berjumlah 43, tahun
1977 berjumlah 34 dan tahun 1978 berjumlah 7.11
Di samping itu, kebijakan pemerintah yang bersifat restriktif tersebut,
menyebabkan terjadinya penurunan perkembangan persetujuan penanaman modal
asing. Setidak-tidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan tidak efektifnya kebijakan
tentang pembentukan perusahaan joint venture, yaitu:
Pertama, kesulitan menemukan partner Indonesia yang memiliki modal yang
cukup besar untuk mengimbangi pemilik modal asing sehingga mencapai
perimbangan sekurang-kurangnya 50:50.
Kedua, persetujuan-persetujuan dalam perjanjian joint venture lebih banyak
didasarkan
pada
pertimbangan-pertimbangan
ad
hoc
bukan
pertimbangan-
pertimbangan yang bersifat jangka panjang, sehingga tidak membawa pengaruh yang
berkesinambungan bagi pembangunan ekonomi.
Ketiga, harapan pemerintah dan pengusaha swasta nasional bahwa semakin
banyaknya joint venture pengusaha Indonesia akan menarik manfaat yang lebih besar
dengan cara-cara produksi yang lebih modern, ternyata meleset dari yang
diperkirakan sebelumnya, karena justru produksi yang lebih shopisticated (modern)
itu merupakan cara yang padat modal (capital insentive). 12
11
Badan Koordinasi Penanaman Modal, 1977
Sumantoro, Aspek-Aspek Pengembangan Dunia Usaha Indonesia. (Jakarta :
Penerbit Binacipta,1977).hal.147.
12
20
Selain tidak membawa hasil yang signifikan dalam peningkatan investasi,
kebijakan yang yang mengharuskan perusahaan penanaman modal asing membentuk
joint venture juga membawa dampak yang kurang kondusif bagi iklim investasi. Hal
ini dapat dilihat dari pengaruh negatif kebijakan tersebut, yaitu:
Pertama, membuka peluang terjadinya “creeping” nasionalisasi. Pembentukan
perusahaan joint venture merupakan hasil dari perasaan nasionalisme di bidang
perekonomian. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi nasional
baik di sektor publik maupun swasta dalam pemilikan perusahaan-perusahaan
penanaman modal asing dengan cara membatasi aktivitas perusahaan-perusahaan
asing di sektor-sektor tertentu dan bentuk-bentuk larangan yang lain. Kebijakan ini
dapat dikategorikan sebagai “creeping” nasionalisasi atau erosi pemilikan dan kontrol
terhadap manajemen dari perusahaan-perusahaan penanaman modal tersebut.13
Kedua, menyebabkan terjadinya benturan kepentingan partner asing dengan
partner dalam negeri, karena masing-masing pihak merasa mendapat kerugian.
Partner lokal merasa dirugikan karena tidak dapat menguasai sepenuhnya manajemen
perusahaan karena harus dibagi dengan pihak asing yang lebih mempunyai
kemampuan. Jika joint venture dilaksanakan oleh suatu MNC, maka strategi dan
pasar akan ditentukan menurut cara-cara yang berlaku di dalam MNC tersebut. Selain
itu, kebijakan training, alih teknologi dan manajemen juga tidak diberikan secara
optimal.
Ketiga, partner asing juga merasa dirugikan perusahaan penanaman modal
asing harus berbentuk joint venture. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor, yaitu;
manajemen tidak seluruhnya berada di tangannya melainkan harus dibagi
kewenangannya dengan pihak domestik, teknologi harus terbuka bagi mitra lokal, dan
strategi pemasaran dari barang-barang produksi mungkin tidak sepenuhnya dapat
dikuasai karena tidak seluruhnya dapat disebarkan atau dipasarkan. Selain itu,
13
Masao Sakurai, Legal Problems of International Joint Ventures In Asia (Tokyo :
Institue of Developing Economies, 1980),hal. 97.
21
seringkali perusahaan joint venture terjadi pertentangan kepentingan antara
pemerintah penerima modal asing dengan penanam modal asing.
BAB IV
PENGATURAN BIDANG USAHA
UNTUK PENANAMAN MODAL
Pasal 12 ayat (1) UU PM menyebutkan bahwa semua bidang usaha atau jenis
usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha
yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. Ada bidang-bidang yang
tertutup karena alasan non-ekonomi dan ada bidang-bidang yang dibuka dengan
persyaratan karena kepentingan nasional secara khusus.
UU PM itu memberi kesempatan berusaha dengan kepastian hukum yang
lebih kuat. Undang-undang ini pada dasarnya sebagai pendorong bagi penanaman
modal. Dengan harapan adalah tambahan investasi yang lebih besar agar
perekonomian bertambah baik. Pada gilirannya, pertambahan investasi dan dinamika
ekonomi tersebut dapat menyelesaikan masalah pengangguran dan kemiskinan.
Pada Penjelasan Pasal 12 Ayat (1): Bidang usaha atau jenis usaha yang
tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan ditetapkan melalui Peraturan Presiden
disusun dalam suatu daftar yang berdasarkan standar klasifikasi tentang bidang usaha
atau jenis usaha yang berlaku di Indonesia, yaitu klasifikasi berdasarkan Klasifikasi
Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dan/atau Internasional Standard for
Industrial Classification (ISIC)
Selanjutnya, pada ayat 2, secara tegas undang-undang itu menyatakan
beberapa bidang usaha yang tertutup karena alasan tertentu. Bidang usaha yang
tertutup bagi penanam modal asing adalah: a) produksi senjata, mesiu, alat peledak,
dan peralatan perang; dan b) bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup
berdasarkan undang-undang.
22
Mengingat semua bidang tidak bisa ditarik ke dalam bidang usaha ekonomi
yang dikelola oleh penanam modal atau perusahaan, maka dengan pertimbanganpertimnbangan strategis, pemerintah dapat menutup bidang usaha tersebut.
Pada ayat 3, undang-undang itu menyebutkan: "Pemerintah berdasarkan
Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal,
baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral,
kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan
nasional lainnya."
Presiden diberi kewenangan untuk membuat kebijakan itu dan mengatur
bidang usaha. Pada Pasal 4 disebutkan: "Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang
tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup
dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan
Presiden."
Sementara itu, juga penting adalah bidang usaha yang terbuka dengan
persyaratan. Disebutkan bahwa: "Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka
dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan
sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi,
partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk
Pemerintah."
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa undang-undang ini sangat
memperhatikan kepentingan domestik. Faktor perlindungan sumber daya alam,
perlindungan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi,
pengawasan produksi dan distribusi, serta peningkatan kapasitas teknologi sudah
didiskusikan sebagai hal penting untuk menjadi bagian dari kebijakan negara.
Ketentuan ini oleh sebagian kalangan masyarakat dianggap bertentangan
dengan Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945, karena Pasal 12 ayat (4) menyebutkan
bahwa kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan
23
persyaratan akan diatur dengan Peraturan Presiden. Ketentuan ini dianggap
memberikan kebebasan penuh kepada Presiden untuk menentukan kriteria dan bidang
usaha yang terbuka dengan persyaratan dalam suatu Peraturan Presiden. Di samping
itu, menurut Pemohon, seharusnya bidang-bidang usaha yang terbuka dengan
persyaratan harus disebutkan secara jelas dalam undang-undang a quo, sedangkan
yang diatur dalam Peraturan Presiden hanyalah masalah-masalah teknis pengaturan.
Pemerintah memberikan jawaban bahwa Pasal 12 ayat (1), (3) dan (4) UU PM
tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2), (3) dan (5) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.14
Pemerintah mengemukakan beberapa alasan, bahwa bidang-bidang usaha
yang masuk kriteria tersebut di atas diatur dengan Peraturan Presiden, dengan
pertimbangan masalah tekhnis. Dengan Peraturan Presiden, dapat dikurangi atau
ditambah, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ekonomi.15
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa ketentuan tidak bertentangan UUD
1945. Alasannya, kata-kata “berdasarkan undang-undang”, sama pengertiannya
dengan “oleh undang-undang” Ketentuan Pasal 12 ayat (1), (3) dan (4) UU PM dapat
dinyatakan sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional).
Keputusan Mahkamah Konstitusi telah sesuai dengan konstitusi, karena
memang tidak ada muatan dalam Pasal 12 ayat (1), (3) dan (4) UU PM yang
bertentangan dengan UUD 1945. Kekhawatiran bahwa dengan Peraturan Presiden
akan memberi kesempatan yang besar kepada Presiden untuk menentukan bidang
usaha yang tertutup atau terbuka, sangat tidak beralasan. Karena, penentuan bidangbidang usaha tersebut telah “dipagari” dengan ketentuan yang lain, yaitu harus
14
Lihat Keterangan Pemerintah pada Sidang Mahkamah Konstitusi, pada 3
November 2007.
b15 Jawaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.I
Dalam Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
5 Desember 2007.
24
melindungi sumber daya alam, mengembangkan UMKM dan dapat meningkatkan
kapasitas teknologi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai daftar bidang usaha yang terbuka dengan
persyaratan di bidang penanaman modal dapat dilihat dalam peraturan Presiden
Nomor 77 Tahun 2007 dengan beberapa perubahan pada Peraturan Presiden No. 111
Tahun 2007. Dalam peraturan presiden tersebut terdapat ketentuan bahwa pihak asing
dapat menanamkan modalnya di Indonesia di bidang periklanan, karena bidang usaha
periklanan tidak termasuk dalam bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal
dalam negri dan penanaman modal asing []
25
BAB V
PENANAMAN MODAL DI BIDANG PERTAMBANGAN
Penanaman modal di bidang pertambangan, pada awalnya diatur dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan. Undang-undang tersebut sudah berlaku selama empat dasawarsa. Pada
masa diberlakukannya telah dapat memberikan sumbangan yang penting bagi
pembangunan nasional. Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut
yang materi muatannya bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan
hukum, ekonomi dan politik.
Pembangunan
pertambangan
menyesuaikan
diri
dengan
perubahan
lingkungan strategis, baik bersifat nasional maupun internasional. Untuk menghadapi
tantangan lingkungan strategis telah disusun Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009
Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut UU Minerba).
UU Minerba diharapkan dapat memberikan landasan hukum bagi langkahlangkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan
pertambangan mineral dan batubara. Paling tidak UU ini memiliki 6 (enam)
kelebihan dibandingkan dengan UU No. 11 Tahun 1967.16
Pertama, pengusahaan dan pengelolaan pertambangan dilakukan melalui
pemberian izin oleh pemerintah. Dengan pola ini, posisi negara berada di atas
perusahaan pertambangan, sehingga negara memiliki kewenangan untuk mendorong
perubahan kesepakatan bila ternyata merugikan bangsa Indonesia. Kewenangan ini
tidak ditemukan dalam pola perjanjian kontrak karya. Pada pola ini, perusahaan
pertambangan berada dalam posisi sejajar dengan negara sehingga perubahan atas
kontrak hanya dapat dilakukan dengan kesepakatan kedua pihak.
Kedua, undang-undang ini memperluas kewenangan pemerintah kota dan
kabupaten dalam memberikan izin pertambangan. Artinya, pemerintah provinsi dan
16
Lihat Bisnis Indonesia, Kamis 18 Desember 2008.
26
kabupaten/kota juga diberi kewenangan untuk mengeluarkan izin pertambangan di
wilayahnya. Kewenangan tersebut memungkinkan daerah memiliki kesempatan
untuk memperoleh penghasilan dari pengusahaan terhadap pertambangan minerba
tersebut. Hal ini pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat di
daerah.
Ketiga, mengakui kegiatan pertambangan rakyat dalam suatu wilayah
pertambangan. Pengakuan ini penting mengingat selama ini kegiatan pertambangan
rakyat dikategorikan liar dan ilegal, sehingga dilarang dengan ancaman hukuman
yang cukup berat. Padahal, kegiatan ini sudah berlangsung lama dan dilakukan secara
turun-temurun di sekitar lokasi pertambangan yang diusahakan, baik oleh BUMN
maupun swasta.
Keempat, UU Minerba mewajibkan perusahaan pertambangan yang sudah
berproduksi untuk membangun pabrik pengolahan di dalam negeri. Kehadiran pabrik
itu penting dalam upaya meningkatkan nilai tambah dari bahan tambang minerba,
selain membuka lapangan kerja baru bagi rakyat Indonesia. Pembangunan pabrik
pengolahan itu juga akan menimbulkan trickle down effect bagi masyarakat di sekitar
lokasi pabrik. Kondisi ini pada akhirnya dapat meningkatkan aktivitas ekonomi dan
kesejahteraan rakyat di sekitar lokasi pabrik.
Kelima, UU Minerba ini juga mencantumkan batasan luas wilayah kegiatan
pertambangan sebagai berikut : luas wilayah pemegang IUP Eksplorasi mineral
logam tidak melebihi 100.000 ha dan untuk operasi produksi mineral logam tidak
melebihi 25.000 ha,17 luas wilayah pemegang IUP Eksplorasi batubara tidak melebihi
50.000 ha dan untuk operasi produksi batubara tidak melebihi 15.000 ha,18 luas
wilayah pemegang IUP Eksplorasi mineral non logam tidak melebihi 25.000 ha dan
17
Lihat Pasal 50 dan Pasal 51Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral dan
Batubara .
18
Lihat Pasal 59 dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral
dan Batubara .
27
untuk operasi produksi tidak melebihi 5.000 ha,19, luas wilayah pemegang IUP
Eksplorasi batuan tidak melebihi 5.000 ha dan untuk operasi produksi batubara tidak
melebihi 1000 ha.20
Keenam, dalam UU Minerba beberapa ketentuan fiskal sebagai berikut, tarif
perpajakan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dari waktu ke
waktu/prevailing law,21 adanya kewajiban perpajakan tambahan sekitar 10%, yakni
6% untuk pemerintah pusat dan 4% untuk pemerintah daerah, 22 besaran tarif iuran
produksi (royalty) ditetapkan berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi dan harga.23
Selain beberapa kelebihan di atas, UU Minerba ini juga membawa perubahan
yang sangat fundamental, misalnya perubahan sistem Kontrak Karya (KK) dan
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi izin usaha
pertambangan, masa peralihan bagi kontrak karya yang sedang berjalan, dan
kewajiban pembangunan smelter (pengolahan) di dalam negeri. Sebelumnya,
berdasarkan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan, pengusahaan dan pengelolaan pertambangan menggunakan pola
kontrak karya. Dengan pola ini, manfaat yang diperoleh bangsa Indonesia dari
pengusahaan dan pengelolaan pertambangan minerba dinilai tidak maksimal, karena
posisi negara yang sejajar dengan perusahaan pertambangan. Padahal, negara
merupakan pemilik seluruh deposit minerba yang ada di perut bumi Indonesia.
Seluruh kekayaan tambang itu harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat Indonesia. Pada pasal 170 UU Minerba menyebutkan bahwa
Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang telah
19
Lihat Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral
dan Batubara .
20
Lihat Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral
dan Batubara .
21
Lihat Pasal 133 Ayat (3) dan Ayat (5), Pasal 136 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009
Pertambangan Mineral dan Batubara .
22
Lihat Pasal 134 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral dan
Batubara .
23
Lihat Pasal 137 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral dan
Batubara .
28
ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu
berakhirnya kontrak/perjanjian. UU tersebut juga mengatur bahwa meskipun KK dan
PKP2B yang berjalan tetap berlaku, namun ketentuan-ketentuan yang tercantum di
dalamnya harus disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU Minerba
diberlakukan. Tapi tidak semua ketentuan yang disesuaikan, ketentuan yang terkait
penerimaan negara tetap dipertahankan dan tidak perlu diubah.
Sementara itu, Pasal 33 UU Minerba menyebutkan bahwa pengusahaan
pertambangan yang sebelumnya menggunakan rezim kontrak dan perjanjian
selanjutnya dilakukan melalui tiga bentuk, yaitu (a) Izin Usaha Pertambangan (IUP),
(b) Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan (c) Perjanjian Usaha Pertambangan (PUP).
Bedanya, jika menggunakan bentuk kontrak dan perjanjian, maka pemerintah dan
perusahaan tambang merupakan dua pihak yang setara. Dengan metode bentuk izin,
posisi pemerintah bisa dikatakan lebih 'tinggi atau berkuasa' karena berlaku sebagai
pihak yang memberi izin kepada perusahaan tambang untuk melakukan aktivitas
tambang. Dengan begitu, pemerintah punya 'kuasa' untuk mencabut izin jika dirasa
perlu melalui prosedur yang ada.
Pemberian izin juga dibagi menjadi tiga, yaitu (a) untuk Izin Usaha
Pertambangan (IUP), izin diberikan kepada perusahaan tambang yang bisa
melakukan pertambangan skala besar. (b) Izin Pertambangan Rakyat (IPR) diberikan
untuk komunitas atau koperasi yang melakukan aktivitas pertambangan skala kecil.
(c) Perjanjian Usaha Pertambangan (PUP) dilakukan perusahaaan tambang dengan
badan pelaksana yang dibentuk pemerintah. Dalam sektor migas, badan tersebut
bersifat seperti BP Migas. PUP diharapkan lebih memberikan kepastian hukum
dibandingkan IUP dalam berusaha karena hingga saat ini Indonesia belum memiliki
prevailling law system yang baik.
Mengingat secara ekonomis, pengelolaan pertambangan di Indonesia dinilai
kurang menguntungkan negara karena banyak produk tambang dalam negeri yang
diekspor sebagai produk mentah, sehingga harganya murah. Setelah diolah di luar
29
negeri, banyak produk setengah jadi atau yang sudah jadi kembali diimpor ke
Indonesia. Dengan begitu, nilai tambah produk-produk tambang justru dinikmati
negara-negara lain. Maka dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, maka UU
Minerba menerapkan beberapa kewajiban bagi pemegang IUP dan PUP dalam
melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri tercantum
pada UU Minerba Pasal 110. Sementara itu, pada Pasal 171 disebutkan pelaksanaan
ketentuan tentang pemurnian terhadap pemegang Kontrak Karya yang telah
berproduksi dilaksanakan selambat-lambatnya 5 tahun sejak Undang-undang Minerba
disahkan. Kelayakan suatu tambang juga harus menjadi pertimbangan dalam
menentukan sejauh mana tingkat downstream industri yang wajib dilakukan oleh
perusahaan. Namun demikian, belum ada penjelasan rinci tentang penetapan batasan
minimum suatu tambang telah menjalankan kewajiban pengolahan dan pemurnian
dalam rangka peningkatan nilai tambah. Sebab jika tidak dibatasi tingkat minimum
downstream industri yang harus dijalankan dapat saja perusahaan tambang kembali
menjual raw material dalam bentuk bulk yang tidak dapat dikategorikan sebagai
komoditi.
Selain itu jangka waktu 5 tahun untuk memenuhi kewajiban melakukan
pengolahan di dalam negeri dinilai tidak efektif, mengingat pendirian pabrik harus
mempertimbangkan berbagai hal, diantaranya kapasitas minimum, batasan teknologi,
infrastruktur, energi, lokasi, biaya, sumber daya manusia, dan sebagainya.
Dalam UU Minerba juga tercantum mengenai kewajiban pembangunan
pengolahan (smelter) di dalam negeri. Hal ini ditetapkan untuk meningkatkan nilai
tambah produk-produk tambang dalam negeri. Selain itu, undang-undang ini juga
memperluas pemberian izin kepada perorangan selain badan usaha dan koperasi.
Perluasan ketentuan ini akan mendorong penerbitan izin lebih banyak lagi. Saat ini
sudah 8.375 KP diterbitkan pemerintah daerah.24 Mudahnya memperoleh izin
pertambangan membuka kemungkinan penguasaan produksi oleh pihak luar. Pada
24
Lihat Kompas, 19 Februari 2009.
30
saat ini, China sudah menjadi investor bagi perusahaan lokal dan kemungkinan India
akan segera menyusul. Selain upaya penguasaan saham perusahaan pertambangan
seperti dilakukan Tata Power dengan mengakuisisi 30 persen saham PT Arutmin dan
PT KPC, kerja sama dengan mendirikan perusahaan berbadan hukum Indonesia juga
akan semakin banyak.
Indonesia memiliki cadangan batu bara sekitar 120 miliar ton. Dalam lima
tahun terakhir, produksi nasional naik signifikan. Tahun 2009 produksi batu bara
nasional 250 juta ton, naik 175 juta ton dari produksi tahun 2004 sebesar 184,8 juta
ton. Kenaikan produksi terutama disebabkan kenaikan permintaan dunia dan harga
batu bara yang dipengaruhi kenaikan harga minyak. Dari total produksi tersebut, 190
juta ton diekspor dan sisanya 60 juta ton digunakan untuk kebutuhan dalam negeri.
Hanya dalam waktu satu tahun Indonesia menempati posisi pertama pengekspor batu
bara, menggeser Australia. Konsumen utama Indonesia antara lain Jepang, Korea
Selatan, Taiwan dan China.
Perusahaan-perusahaan swasta yang memproduksi batu bara antara lain
perusahaan yang memegang Perjanjian Karya Penguasaan Pertambangan Batu Bara
(PKP2B), diikuti pemegang kuasa pertambangan (KP) sekitar 7 persen. Badan usaha
milik negara hanya menyumbang 5 persen produksi nasional. Group Bumi Resources
melalui dua anak usahanya, Kaltim Prima Coal (KPC) dan Arutmin Indonesia
menempati urusan teratas dengan total produksi 58 juta ton diikuti Adaro Indonesia
(41 juta ton) dan PT Tambang Batu Bara Bukit Asam (15 juta ton).25
Saat ini sektor pertambangan memiliki kaitan dengan 16 UU sektor lain dan
berpotensi akan lebih banyak terjadi ketidaksinkronan. Hal ini disebabkan 16 UU
sektor lain tersebut belum mengakomodasikan secara spesifik berkaitan dengan
sektor pertambangan.
Implementasi UU Minerba juga tidak berdiri sendiri tetapi harus dikaitkan
dengan undang-undang lainnya seperti UU Kehutanan dan UU Lingkungan Hidup
25
Lihat Kompas, 19 Februari 2010
31
yang
berlaku.
Penerapan
undang-undang
lainnya
terkait
dengan
masalah
perlindungan masyarakat korban yang terkena dampak usaha tambang. Berikut ini
akan diperbandingkan sisi perubahan yang terkandung dalam undang-undang baru.
Keterkaitan dengan undang-undang yang lain akan mempengaruhi bagaimana
nanti implementasi yang lebih pasti dari UU Minerba ini dan bagaimana arah serta
gambaran pengelolaan sektor pertambangan
ke depan yang lebih pasti.
Implementasinya akan sangat tergantung pada situasi, kondisi, dan kepentingan
pengambil kebijakan pada saat peraturan pemerintah (PP) dan Perda dibuat.
Pada dasarnya substansi UU No.4 Tahun 2009, berusaha menggunakan arah
baru kebijakan pertambangan yang mengakomodasikan prinsip kepentingan nasional
(national interest) , kemanfaatan untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi
pengelolaan dan pengelolaan pertambangan yang baik (good mining practies).
Dengan sejumlah prinsip tersebut, maka dalam terjemahannya pada tingkat
konstruksi pasal-pasal terdapat beberapa point maju meski disertai dengan cukup
banyaknya klausul yang masih membutuhkan klarifikasi.
Menguatnya Hak Penguasaan Negara (HPN), termasuk penguasaan SDA,
Pemerintah menyelenggarakan asas tersebut lewat kewenangan mengatur, mengurus dan
mengawasi pengelolaan usaha tambang. Untuk itu dimulai dari perubahan sistem/rezim
kontrak menjadi sistem/rezim perijinan. Dalam sistem/rezim kontrak sebagaimana
diterapkan selama ini berdasarkan UU No.11 Tahun 1967, posisi pemerintah tidak saja
mendua yaitu sebagai regulator dan pihak yang melakukan kontrak, tetapi secara mendasar
juga merendahkan posisi Negara setara (level) kontraktor. Oleh sebab itu implikasi hukum
perubahan sistem/rezim dalam undang-undang yang baru (UU Minerba) ini adalah
mengembalikan asas HPN pada posisi secara ketatanegaraan.
32
BAB VI
PENGATURAN TANAH UNTUK
KEPENTINGAN PENANAMAN MODAL
Tanah mempunyai fungsi yang sangat penting untuk mendukung kegiatan
penanaman modal. Secara umum, masalah tanah diatur dalam Undang-Undang No.5
Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria (UUPA). Ketentuan lebih
lanjut, diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1980 tentang Pemanfaatan
Tanah Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan untuk Usaha Patungan dalam Rangka
Penanaman Modal Asing.
Keputusan Presiden No.23 Tahun 1980 menyebutkan bahwa hak guna usaha
dalam rangka penanaman modal asing dipegang oleh peserta Indonesia atas nama
badan hukum peserta Indonesia dalam usaha patungan yang bersangkutan. Jika dalam
usaha patungan terdapat lebih dari satu peserta Indonesia, maka hak guna usaha
diberikan atas nama salah satu dari peserta Indonesia tersebut. Permohonan untuk
memperoleh hak guna usaha harus diajukan oleh peserta Indonesia yang dapat
diperoleh dalam jangka waktu 35 tahun dengan kemungkinan diperpanjang paling
lama menjadi 60 tahun.26
Pemegang hak guna usaha yang peserta Indonesia dapat menyerahkan tanah
hak guna usaha dalam bentuk serah terima kepada usaha patungan, dengan ketentuanketentuan sebagai berikut:
a. Serah pakai tanah hak guna usaha berlaku untuk jangka waktu selama
berlangsungnya usaha patungan, akan tetapi tidak boleh melebihi jangka
waktu berlakunya hak guna usaha yang bersangkutan.
b. Untuk serah pakai tanah hak guna usaha tersebut pemegang hak guna usaha
dapat memperoleh nilai pengganti sebesar nilai kumulatif pengganti
26
Lihat Pasal 1 ayat (6) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1980 tentang
Pemanfaatan Tanah Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan untuk Usaha Patungan dalam
Rangka Penanaman Modal Asing.
33
pemanfaatan tanah hak guna usaha yang bersangkutan dan dapat memasukkan
jumlah tersebut sekaligus atau secara bertahap ke dalam usaha patungan
sebagai penyertaan modal.
c. Usaha patungan berkewajiban mengusahakan dengan baik tanah hak guna
usaha yang diserahpakaikan sesuai dengan kelayakan usaha.
d. Apabila tanah hak guna usaha yang diserahpakaikan itu dinilai tidak
diusahakan dengan baik, berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, maka dengan izin Ketua BKPM pihak peserta
Indonesia pemegang hak guna usaha dapat membatalkan serah pakai tersebut.
e. Serah pakai tanah hak guna usaha tersebut tidak boleh dibatalkan secara
sepihak oleh pemegang hak guna usaha, selama usaha patungan yang
bersangkutan memenuhi kewajiban kepada pemerintah maupun kepada
pemegang hak guna usaha.27
Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1980 dicabut dengan Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 1992 tentang Pemanfaatan Tanah Hak Guna Usaha dan
Hak Guna Bangunan Untuk Usaha Patungan Dalam Rangka Penanaman Modal
Asing. Pasal 1 ayat (4) menyebutkan, Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu
paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu
paling lama 25 (dua puluh lima) tahun sepanjang perusahaan yang bersangkutan
masih menjalankan usahanya dengan baik dan dapat diperbaharui. Selanjutnya, Pasal
2 ayat (1) menyebutkan, Hak Guna Usaha yang dipegang oleh Perusahaan Patungan
dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Pasal 3 ayat (1)
menyebutkan, bahwa dalam hal perusahaan patungan memerlukan tanah untuk
keperluan emplasemen, bangunan pabrik, gudang, perumahan karyawan dan
bangunan-bangunan lainnya, maka kepada usaha patungan tersebut dapat diberikan
27
Lihat Pasal 2 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1980 tentang
Pemanfaatan Tanah Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan untuk Usaha Patungan dalam
Rangka Penanaman Modal Asing.
34
Hak Guna Bangunan atas tanah yang bersangkutan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dengan ketentuan tanah yang dimohon tersebut
terletak di luar areal yang sudah ada Hak Guna Usahanya. Ayat (2), dalam hal tanah
yang dikehendaki untuk diberikan dengan Hak Guna Bangunan atas nama Perusahaan
Patungan tersebut termasuk dalam areal yang sudah Hak Guna Usahanya, maka status
haknya harus tetap Hak Guna Usaha dan tidak dapat diberikan Hak Guna Bangunan.
Mengenai tanah-tanah perkebunan, Pasal 6 menyebutkan bahwa perusahaan
penanaman modal asing yang memiliki/menguasai tanah-tanah perkebunan yang
dikembalikan
kepemilikannya/pengusahaannya
berdasarkan
Instruksi
Kabinet
Ampera Nomor 28/U/IN/17/1966 dan yang status haknya sudah dan/atau akan
berakhir dapat diberikan perpanjangan dan/atau memohon hak baru dengan ketentuan
mengubah statusnya menjadi Perusahaan Patungan dengan pihak Indonesia.
Pengaturan masalah hak atas tanah diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah
No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
Atas Tanah. Latar belakang lahirnya peraturan pemerintah ini adalah terjadinya
persaingan dengan negara-negara lain dalam menarik investasi asing. Karenanya,
pemerintah Indonesia melakukan deregulasi peraturan pertanahan agar investor asing
masuk ke Indonesia. Pasal 8 menyebutkan bahwa jangka waktu HGU adalah 35 tahun
dan dapat diperpanjang selama 25 tahun serta diperbaharui sekaligus untuk 35 tahun
lagi sehingga total 85 tahun. Selanjutnya, pasal 11 menyebutkan bahwa untuk
kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan atau pembaharuan Hak
Guna Usaha dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang
ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna
Usaha. Kemudian Pasal 28 menyebutkan bahwa untuk kepentingan penanaman
modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan dapat
dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu
pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan.
35
Ketentuan tentang hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah No.40 Tahun
1996 menimbulkan kontroversi karena dianggap bertentangan dengan UndangUndang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Menurut Maria S.W.
Sumardjono, ketentuan Peraturan Pemerintah 40 Tahun 1996 tidak bertentangan
dengan UUPA. Setidak-tidaknya ada dua alasan yang dikemukakan. Pertama,
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sendiri tidak
mengatur apakah yang akan terjadi setelah HGU dan HGB itu berakhir setelah
diperpanjang jangka waktunya kecuali menyebutkan bhawa HGU dan HGB akan
hapus apabila jika jangka waktunya berakhir. Logikanya adalah, dengan hapusnya
HGU dan HGB tersebut, di atas tanah bekas HGU dan HGB yang statusnya kini
menjadi tanah Negara dapat diberikan suatu hak atas tanah, termasuk kemungkinan
diberikan HGU dan HGB baru, baik kepada pemohon baru, maupun pemohon bekas
pemegang hak. Jika pemohonya adalah bekas pemegang hak yang lama yang masih
memenuhi persyaratan, maka istilah lebih tepat digunakan adalah pembaharuan hak,
mengingat bahwa HGU dan HGB itu tidak dimohon menjelang berakhirnya
perpanjangan waktu HGU dan HGB tersebut. Kedua, penggunaan istilah
pembaharuan hak, yang tentunya juga masih membuka kemungkinan untuk diberi
perpanjangan apabila syarat-syaratnya dipenuhi, adalah sesuai dengan metode
interpretasi terhadap pasal 29 dan pasal 35 UUPA sebagai salah satu cara
pembangunan hukum dengan jalan penemuan hukum (rechtsvinding).28
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah
No.41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing
yang Berkedudukan di Indonesia. Menurut peraturan pemerintah ini, orang asing
yang berkedudukan di Indonesia diperkenankan memiliki satu rumah untuk tempat
tinggal, baik berupa rumah yang berdiri sendiri atau satuan rumah susun, sepanjang
dibangun atas tanah berstatus Hak Pakai.
Lihat Maria Sumardjono, “Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996”, Kompas, 24
September 1996.
28
36
Pengaturan masalah tanah dalam UU PM diatur pada Pasal 22 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa perizinan hak atas tanah dapat diberikan dan diperpanjang di
muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal,
berupa:
a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima)
tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus
selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh
lima) tahun;
b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh)
tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus
selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh)
tahun; dan
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan
cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat
puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.
Selanjutnya, ayat (2) menyebutkan bahwa hak atas tanah dapat diberikan dan
diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, dengan
persyaratan antara lain:
a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan
perubahan struktur perekenomian Indonesia yang lebih berdaya saing;
b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang
memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis
kegiatan penanaman modal yang dilakukan;
c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas;
d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan
e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan
tidak merugikan kepentingan umum.
37
Selain itu, ayat (3) menyebutkan bahwa, hak atas tanah dapat diperbarui
setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan
baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. Akhirnya, ayat (4)
menyebutkan bahwa Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan
sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan
penanaman
modal
menelantarkan
tanah,
merugikan
kepentingan
umum,
menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pertanahan.
Fasilitas hak atas tanah dalam UU PM, pada dasarnya lebih moderat jika
dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya, yaitu Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Memang kalau dibandingkan dengan UndangUndang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, jangka waktu hak atas
tanah dalam UU PM, lebih lama sehingga terkesan liberal. Pasal 14 Undang-undang
No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menyebutkan bahwa, untuk
keperluan perusahaan-perusahaan modal asing dapat diberikan tanah dengan hak
guna-bangunan, hak guna-usaha dan hak pakai menurut peraturan perudangan yang
berlaku.
Hak atas tanah dalam UU PM, juga terkesan liberal jika dibandingkan dengan
UUPA. Hal ini dipengaruhi dari faktor yang mempengaruhi lahirnya undang-undang
ini yang anti modal asing, sebagaimana tercantum dalam jawaban Menteri Agraria
Mr.Sadjarwo yang mewakili pemerintah atas pemandangan umum Anggota DPR-RI
terhadap naskah RUU Pokok Agraria di muka Sidang Pleno DPR-GR, 14 September
196029:
“...Rancangan Undang-Undang ini selain akan menumbangkan puncak
kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan
29
Sadjarwo dalam Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, cetakan ke XIX
(Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003) hal.607-614.
38
tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan
sengketa-sengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing, dengan
aparat-aparatnya yang mengadu-dombakan aparat-aparat pemerintah dengan
rakyatnya sendiri, yang akibatnya mencetus sebagai peristiwa berdarah dan
berkali-kali pentraktoran-pentraktoran yang sangat menyedihkan”.
Selanjutnya dalam sidang terakhir untuk pembahasan UUPA, Sadjarwo
menegaskan bahwa UUPA mengeleminasi investasi asing. Undang-Undang ini
menyebutkan bahwa hak atas tanah paling lama 35 tahun dan setelah itu dapat
diperpanjang 25 tahun lagi.
Jangka waktu hak atas tanah dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960
tentang Pokok Agraria, tidak memadai lagi, sehingga pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
Pasal 11 menyebutkan tentang perpanjangan dan pembaruan Hak Guna
Usaha, bahwa:
(1) Untuk kepentingan penanam modal, permintaan perpanjangan atas pembaruan
Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat dilakukan
sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada
saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Usaha.
(2) Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud
ayat (1), untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha hanya
dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah
mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
(3) Persetujuan untuk dapat membeikan perpanjangan atau pembaruan Hak Guna
Usaha sebagaimana dimaksud Pasal 9 dan perincian uang pemasukan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam keputusan
pemberian Hak Guna Usaha yang bersangkutan.
39
Mengenai perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah untuk Hak Guna
Bangunan diatur lebih lanjut Pasal 28 yang berbunyi:
(1) Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan
pembaharuan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang
ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak
Guna Bangunan.
(2) Dalam hal pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) untuk perpanjangan atau pembaruan Hak Guna Bangunan hanya
dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah
mendapat persetuan dari Menteri Keuangan.
(3) Persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna
Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan perincian uang
pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam
keputusan pemberian Hak Guna Bangunan.
Ketentuan mengenai perpanjangan dan pembaruan Hak Pakai lebih lanjut
disebutkan pada Pasal 48 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan
pembaruan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dapat
dilakukan sekaligus dengan pembayaran uang pemasukan yang ditentukan
untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Pakai.
(2) Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), untuk perpanjangan atau pembaruan Hak Pakai hanya
dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah
mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
(3) Persetujuan untuk pemberian perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) serta perincian uang
40
pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam
keputusan pemberian Hak Pakai.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka hak atas tanah dalam UUPM
tidak jauh berbeda dengan Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996. Kedua peraturan
ini mengatur tentang jangka dan pembaharuan hak atas tanah. Meskipun ketentuan ini
tidak diatur dalam UUPA, Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 dan UUPM,
tidak bisa dinyatakan bertentangan dengan UUPA.
Setidak-tidaknya ada dua alasan bahwa Peraturan Pemerintah No.40 Tahun
1996 dan UUPM tidak bertentangan dengan UUPA. Pertama, UUPA tidak mengatur
tindak lanjut setelah berakhirnya HGU dan HGB. Dengan demikian, memberi
kemungkinan adanya perpanjangan dan pembaruan. Kedua, UUPA tidak melarang
adanya perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah. Ketiga, dalam hukum dikenal
metode penemuan hukum, artinya jika tidak diatur secara jelas, maka memberikan
ruang untuk melakukan interpretasi.30
Ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf a, b dan c dan Pasal 22 ayat (2) UUPM oleh
sebagian kalangan dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 C ayat (1)
dan Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945. Alasannya, antara
lain: Pertama, penguasaan hak atas tanah kepada penanam modal dalam bentuk HGU
selama 90 tahun, HGB selama 80 tahun, dan Hak Pakai selama 70 tahun,
mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup dan demi
kesejahteraan umat manusia. Kedua, ketentuan ini akan membatasi akses petani untuk
mendapatkan tanah garapan yang berakibat pada meningkatnya jumlah petani gurem
yang tidak mendapatkan jaminan untuk mengembangkan diri. Jangka waktu yang
sangat lama akan mengakibatkan masyarakat terjauhkan dari peluang untuk
mengakses tanah guna pertanian atas tanah negara, sementara pertumbuhan dan
tingkat populasi masyarakat terus bertambah. Ketiga, ketentuan ini lebih lama
daripada atas tanah yang diatur dalam UUPA bahkan lebih lama dari pada hak atas
30
Maria Sumardjono, Kompas, 24 September 1993
41
tanah yang diberikan Pemerintah Kolonial Belanda dalam Agrarische Wet 1870 yang
hanya membolehkan jangka waktu penguasaan selama 75 tahun. Sebagai
perbandingan HGU dan HGB yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 selama 60 tahun untuk HGU dan 50 tahun untuk HGB sedangkan untuk HGU
dalam UUPM diberikan paling lama 95 tahun dan untuk HGB diberikan paling lama
80 tahun dan Hak Pakai paling lama 70 tahun. Keempat, tanah sebagai cabang
produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus mengacu pada UndangUndang Dasar 1945 Pasal 33. Ketentuan ini memberikan perlindungan hukum bagi
rakyat terhadap cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Kelima,
menimbulkan ketidakpastian hukum karena bertentangan dengan Politik Pertanahan
Nasional dan aturan perundang-undangan lainnya. Keenam, menempatkan Hak Guna
Usaha dan Hak Guna Bangunan menjadi individualistik dan melupakan fungsi
sosialnya serta meniadakan kedaulatan rakyat.
Pemerintah memberikan jawaban bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf a, b dan c dan
Pasal 22 ayat (2) UUPM, tidak bertentangan dengan UUD 1945.31 Pertama,
perpanjangan sekaligus pada waktu pemberian hak-hak atas tanah tersebut bagi
penanam modal adalah merupakan insentif. Pelaksanaannya harus memenuhi syarat
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 ayat (2) UUPM. Kedua, hak atas tanah
tersebut baru dapat diperbaharui setelah dilakukan evaluasi. Evaluasi ini meliputi,
apakah tanah tersebut masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan
keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak. Pemerintah menegaskan, tidak benar bahwa
pemberian, perpanjangan, dan pembaharuan hak atas tanah tersebut diberikan dimuka
sekaligus, sehingga tidak otomatis Hak Guna Usaha (HGU) berjangka waktu 95
(sembilan puluh lima tahun) tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) 80 (delapan puluh)
tahun dan Hak Pakai 70 (tujuh puluh) tahun. Ketiga, hak atas tanah tersebut setiap
saat dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah. Pembatalan hak atas tanah ini,
jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan
31
Jawaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.I Dalam
Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Penanaman Modal, 5 Desember 2007.
42
umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan
tujuan pemberian hak atas tanahnya. Keempat, perpanjangan yang diberikan dimuka
adalah berupa jaminan dari negara bagi penanam modal untuk mendapatkan jangka
waktu yang cukup guna pengembalian modalnya. Ini berlaku untuk penanam modal
asing dan dalam negeri.
Jawaban pemerintah diperkuat dengan pendapat Felix Untung Soebagjo yang
menyatakan bahwa, kebijakan pertanahan dalam UUPM tidak bertentangan dengan
politik pertanahan nasional. Ketentuan ini pada dasarnya sama dengan apa yang
diatur dalam UUPA. Bedanya hanya dalam cara penyajian. Undang-undang
Penanaman Modal kelihatan “seksi”, pantas dilirik oleh calon penanam modal baik
dalam maupun luar negeri, pantas dijadikan acuan, pantas dijadikan sebagai
pedoman, pantas dijadikan sebagai alat bahwa kepastian hukum ada di Indonesia,
maka bisa dibuat dengan cara yang lebih manis, lebih bisa menggoda orang lain.
Lebih lanjut Felix Untung Soebagjo, bahwa ketentuan yang mengatur dan
memungkinkan pemberian hak guna usaha sampai dengan jumlah 95 tahun, HGB
sampai dengan jumlah 80 tahun, hak pakai sampai dengan 70 tahun kalau menurut
saya adalah ”rumusan sexy ” baru.32
Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996, lebih liberal dibandingkan dengan
Pasal 22 UU PM. Di samping itu, hak atas tanah dalam UU PM tidak bertentangan
dengan Pasal 33 Undang-Undang 1945 dan Pasal 27 ayat (2) dari Undang-Undang
Dasar 1945. Hal ini sesuai dengan adanya putusan-putusan dari Mahkamah
Konstitusi tiga perkara sebelumnya yang meliputi uji materil terhadap UndangUndang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Migas, Undang-Undang tentang Sumber
Daya Air.
32
Lihat, pendapat Dr.Felix Untung Soebagjo pada Sidang di Mahkamah Konstitusi,
tanggal 20 November 2007.
43
Pandangan tersebut diperkuat dengan pandangan ahli pemerintah yang lain,
yaitu Kurnia Toha yang menyatakan hak atas tanah dalam Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945, pemberian hak tersebut tetap tidak mengurangi kedaulatan negara untuk
melaksanakan mandat
mengadakan kebijakan dan pengurusan, pengaturan,
pengelolaan, dan pengawasan. Pendapat ini didasarkan pada argumentasi sebagai
berikut: Pertama, jaminan sangat penting berkaitan dengan hak atas tanah. Menurut
Nicholas McPurell, hak-hak ini tidak banyak artinya kalau kurang adanya jaminan
dari Pemerintah. Aaron Barzel mengatakan jaminan atas hak-hak atas tanah ini dalam
bentuk peraturan, aparatur pelaksana yang konsisten dan penyelesaian sengketa yang
adil di pengadilan atau arbitrase. Kedua, jangka waktu hak atas tanah merupakan
salah satu aspek dalam jaminan hak atas tanah. Semakin lama jangka waktu atas
suatu hak, maka semakin terjamin hak tersebut. Sebagai perbandingan, jangka waktu
hak atas tanah untuk penanam modal di Malaysia adalah 99 tahun, di Vietnam 70
tahun, di Thailand 90 tahun, di Kamboja 70 tahun dan di Cina 70 tahun. Ketiga,
pemberian hak atas tanah kepada penanam modal tidaklah berarti Pemerintah
kehilangan kontrol atau melepaskan pengawasan terhadap pelaksanaan hak atas tanah
tersebut. Keempat, di dalam Undang-Undang Pokok Agraria dikatakan bahwa hak
guna usaha bisa diberikan dalam 25 tahun dan diperpanjang kemudian 35 tahun dan
dapat diperbaharui kemudian 35 tahun. Sementara PP Nomor 40 Tahun 1996
mengatakan, 35 tahun ditambah 25 tahun dan bisa diperbaharui 35 tahun sekaligus.
Sedangkan, Undang-Undang Penanaman Modal Pasal 22 memberikan 60 tahun dan
dapat diperbaharui selama 35 tahun, jadi tidak langsung 95 tahun. Tetapi 60 tahun
kemudian dievaluasi apakah masih memenuhi syarat, kalau masih memenuhi syarat
maka bisa diperbaharui. Kelima, UU PM memberikan jaminan dan memperkuat
perlindungan kepada penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri,
besar maupun kecil.
44
Pendapat senada disampaikan oleh Ahli Pemerintah Bungaran Saragih, yang
menyatakan UUPM menelantarkan petani kecil, tidak tepat. UU PM akan
memfasilitasi adanya HGU pada sektor pertanian justru dapat memberi kesempatan
kepada petani kecil melalui program inti plasma. Pendapat ini didasarkan pada
pemikiran:
Pertama, Hak Guna Usaha (HGU) khususnya dalam pertanian diberikan yang
cukup luas atau besar dan jangka waktu yang panjang, pertanian pada umumnya
merupakan bisnis yang mempunyai resiko yang besar, tetapi resiko yang paling berat
adalah menyangkut resiko kepastian tentang kepemilikan dan penguasaan lahan.
Kalau hal ini tidak dapat diselesaikan ataupun dijamin, maka tidak akan ada orang
yang akan mau melakukan investasi di bidang pertanian, bukan hanya yang besar
atau yang kecil juga tidak mau investasi karena tidak ada kepastian mengenai
kepemilikan dan penguasaan lahan ini.
Kedua, di bidang pertanian pemberian HGU adalah usaha untuk mengurangi
resiko ketidakpastian tersebut. Waktu dulu kepemilikan lahan perkebunan dan
tambak udang oleh petani kecil sangat sulit sekali tetapi dengan adanya pemilik HGU
perusahaan besar dengan model inti plasma tersebut mereka menjadi ikut di dalam
proses itu. Dari pengalaman inti plasma ini, sebenarnya tidak perlu adanya istilah
diskriminasi. Untuk penanggulangan kemiskinan dan pengangguran di pedesaan,
bukan di pertanian saja, solusinya adalah di sektor jasa dan industri. Selanjutnya,
keterangan Ahli Pemerintah Umar Juoro, menyatakan sebagai berikut33: Pertama,
UUPM adalah dalam rangka untuk memfasilitasi perkembangan investasi baik
investasi dalam negeri maupun investasi dari luar negeri. Indonesia tergolong sebagai
under performance menurut laporan UNCTAD bersama-sama dengan Bangladesh,
Myanmar, Nepal, dan Philipina. Kedua, Indonesia masih jauh relatif aman
33
Lihat, pendapat Umar Juoro pada Sidang di Mahkamah Konstitusi, tanggal 20
November 2007.
45
dibandingkan Malaysia atau bahkan Cina dalam peran modal asing relatif terhadap
kemampuan kita memproduksi ekonomi. Di negara-negara Asia Tenggara adalah
persentasenya stok modal penanaman modal asing atau FDI adalah 39,5%. Jadi 40%
itu adalah bentuk FDI dari total PDB-nya kembali untuk Indonesia hanya 5,2%. Jadi
dari stock-nya itu data ini menunjukkan bahwa kurang lebih sama stock yang masuk
dengan stock yang keluar. Ketiga, ada korelasi yang kuat antara pertumbuhan
ekonomi dengan modal asing atau foreign direct investment terutama di industri
manufaktur. Karena dia akumulasi modalnya bisa berjalan lalu kemudian juga
penyerapan tenaga kerja dibandingkan dengan sektor primer maupun sektor sekunder.
Perusahaan yang dimiliki oleh modal asing itu membayar tenaga kerja baik itu tenaga
kerja blue collar atau tenaga kerja yang tidak berketrampilan, itu adalah lebih tinggi.
Kemudian untuk white collar atau pekerja-pekerja profesional adalah lebih tinggi
22%. Jadi pada umumnya adalah perusahaan asing dapat membayar upah yang lebih
tinggi dari perusahaan-perusahaan yang lainnya, ini yang korelasi antara upah
kesempatan kerja dengan modal asing. Keempat, dalam menciptakan kesempatan
kerja yang berupah tinggi dan juga meningkatkan keterampilan serta menciptakan
spill over dalam teknologi. Jadi dengan kata lain adalah semakin baik memfasilitasi
aliran modal dan juga semakin kredibilitas kebijakan Pemerintah semakin tinggi,
maka semakin banyak pekerja yang akan dapat masuk ke sektor yang berupah tinggi
dan juga mempunyai keterampilan, tetapi kembali tidak taken for granted. Harus
dilakukan upaya-upaya lebih lanjut. Peran modal asing adalah kalau dikelola dengan
baik itu akan menimbulkan efek yang lebih banyak positifnya daripada negatifnya.
Kemudian Cahtib Basri menyampaikan pendapat sebagai berikut34: Pertama,
Penciptaan lapangan kerja yang banyak sekali terjadi sebetulnya diciptakan oleh
UKM. Perusahaan yang di sektor formal itu penciptaan lapangan pekerjaannya
34
Lihat, pendapat Dr.Chatib Basri, pada Sidang di Mahkamah Konstitusi, tanggal 20
November 2007.
46
terbatas, tetapi kalau UKM yang perusahaan kecil menengah penciptaannya lapangan
kerjanya banyak, sayangnya yang bekerja di bawah sektor menengah gajinya itu
relatif kecil. Kemiskinan dapat diatasi kalau ada penciptaan lapangan kerja,
penciptaan lapangan kerja hanya dapat menolong kalau upahnya tinggi, upahnya
tinggi hanya dapat terjadi pada sektor formal, yang terjadi pada industri manufaktur
di Indonesia. Kedua, sebelum krisis Indonesia adalah salah satu negara dengan
pertumbuhan manufaktur tertinggi di Asia, tetapi sayangnya setelah krisis Indonesia
adalah salah satu negara dengan pertumbuhan manufaktur terendah di Asia.
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2),
yang menyatakan bahwa pemberian hak-hak atas tanah “dapat diperpanjang di muka
sekaligus maupun kata-kata “sekaligus di muka” telah mengurangi, memperlemah,
atau bahkan dalam keadaan tertentu menghilangkan kedaulatan rakyat di bidang
ekonomi sehingga dianggap bertentangan dengan konstitusi.35
Pendapat Mahkamah Konstitusi didasarkan pada pertimbangan sebagai
berikut: Pertama, ketentuan yang memungkinkan negara, in casu Pemerintah, untuk
menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah menghadapi kesulitan, karena
sudah ada perpanjangan di muka sekaligus. Kedua, kewenangan negara yang terdapat
dalam Pasal 22 Ayat (4) UU PM bersifat sangat eksepsional dan terbatas. Dikatakan
eksepsional dan terbatas karena negara tidak boleh menghentikan atau membatalkan
hak-hak atas tanah tersebut di luar alasan-alasan yang secara terbatas (limitatif) telah
ditentukan dalam Pasal 22 Ayat (4) UU PM. Dengan kata lain, negara tidak lagi
bebas menjalankan kehendaknya untuk menghentikan atau tidak memperpanjang
hak-hak atas tanah sebagaimana jika perpanjangan hakhak atas tanah itu tidak
diberikan secara di muka sekaligus. Ketiga, negara akan menghadapi persoalan
hukum, karena perusahaan penanaman modal akan mempersoalkan keabsahan
tindakan negara, yang menghentikan atau membatalkan perpanjangan hak-hak atas
35
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, No.21-22/PUU-V/2007 mengenai
Pengujian Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
47
tanah yang sudah diberikan perpanjangan di muka sekaligus. Keempat, pemerintah
tidak dapat menggunakan alasan pemerataan kesempatan, untuk menghentikan atau
membatalkan hak-hak atas tanah. Kelima, berkurang atau melemahnya kedaulatan
rakyat di bidang ekonomi sebagai akibat dari adanya kata-kata “dapat diperpanjang di
muka sekaligus” makin jelas jika dihubungkan dengan ketentuan tentang
penyelesaian sengketa, diantaranya melalui arbitrase.
Keputusan Mahkamah Konstitusi mengembalikan pengaturan izin hak atas
tanah kepada UU PA menimbulkan ketidakpastian hukum,36 dan menimbulkan
kekecewaan investor lokal dan investor asing, karena akan menambah biaya
investasi.37 Keputusan ini dapat dikatakan merupakan jalan tengah atau “win-win
solution”. Setidak-tidaknya, ada empat alasan, sebagai berikut:
Pertama, perpanjangan di muka sekaligus hak atas tanah, sama sekali tidak
mengurangi kedaulatan negara. Karena, negara masih tetap memiliki hak untuk
merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan
pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheerdaad) dan melakukan
pengawasan (toezichthoudendaad).
Landasan konstitusional hak menguasai negara terdapat pada Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang
berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat”
Ketentuan lebih lanjut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diatur dengan Pasal 2 ayat
(2) UUPA, yang berbunyi:
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan halhal sebagai dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
36
“Pengusaha Kecewa Atas Putusan Mahkamah Konstitusi”, Tempo, 27 Maret 2008.
Lihat “Mahkamah Konstitusi Matikan Daya Saing Ekonomi”, Media Indonesia,
Senin, 7 April 2008.
37
48
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara sebagai organisasi seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan
wewenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan bumi, air
dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan perbuatan
Hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada
ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat dalam arti kebangsaan, kesejateraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan
makmur.
(4) Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,
menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Pada Memori Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agaria di bawah angka II/2 mengenai dasar daripada
hak agraria nasional disebutkan bahwa: Undang-undang Pokok Agraria berpangkal
pada pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 tidak perlu dan tidak pula pada tempatnya bahwa bangsa
Indonesia ataupun negara bertindak sebagai pemilih. Berdasarkan rumusan ini, maka
dapat dinyatakan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat
bertindak selaku penguasa. Dengan demikian perkataan dikuasai bukan berarti
dimiliki, akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada negara
49
sebagai organisasi kekuasaan bangsa Indonesia untuk pada tingkatan tertinggi
melakukan wewenang-wewenang seperti disebutkan dalam pasal 2 ayat 2 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agaria.38
Ditinjau dari teori tentang hubungan negara dengan tanah dengan bertolak
dari pengakuan bahwa bumi, air dan ruang angkasa adalah kepunyaan bersama,
kepunyaan rakyat yang bersatu sebagai bangsa Indonesia, paling tidak ada dua
pendekatan yang dapat dikemukakan. Pendekatan pertama menyatakan bahwa
apabila Negara, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agaria, mempunyai hak menguasai, maka Negara sebagai badan
penguasa diberi wewenang dalam bidang publik oleh bangsa Indonesia, sebagaimana
halnya penguasa adat yang diberi wewenang oleh masyarakat hukumnya.39
Pendekatan kedua, menggunakan model Notonegoro mengenai hubungan
yang langsung antara negara dengan bumi dan sebagainya, menjelaskan bahwa
Negara mempunyai wewenang untuk menguasai tersebut karena Negara itu
merupakan perwujudan (personifikasi) dari rakyat, dengan perkataan lain, hak
menguasai itu sudah melekat dengan sendirinya pada Negara dalam kedudukannya
selaku wakil rakyat yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Wewenang negara ini pada gilirannya dapat didelegasikan kepada daerahdaerah sebagai pelaksanaan asas medebewind. Dalam hal ini, tata letak hubungan
antara rakyat, bangsa, dan negara dilihat sebagai suatu kontinum. Menurut
Notonagoro, mengenai hubungan langsung antara negara dengan bumi, air dan ruang
angkasa itu dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu:
1. Negara sebagai subyek, diberi kedudukan tidak sebagai perseorangan, tetapi
sebagai
negara,
jadi
sebagai
badan
kenegaraan,
sebagai
badan
yang
38
Maria Sumardjono, SW, Puspita Serangkum Aneka Masalah Hukum Agraria,
(Yogyakarta: Andi Offset, 1982), hal.11.
39
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1962), hal.6
50
publiekrechteijk. Dalam bentuk ini negara tidak mempunyai kedudukan yang
sama dengan perseorangan.
2. Negara sebagai subyek yang dipersamakan dengan perorangan, sehingga dengan
demikian hubungan antara negara dengan bumi dan sebagainya itu sama dengan
hak perorangan atas tanah.
3. Hubungan antara negara langsung dengan bumi dan sebagainya tidak sebagai
subyek perorangan dan tidak dalam kedudukannya sebagai negara yang memiliki
akan tetapi sebagai negara yang menjadi personifikasi dari rakyat seluruhnya,
sehingga dalam konsepsi ini negara tidak terlepas daripada rakyat, negara hanya
menjadi pendiri, menjadi pendukung daripada kesatuan-kesatuan rakyat.
Kedua pendekatan ini pada hakekatnya mempunyai orientasi yang sama, yaitu
penguasaan tanah itu bersifat kolektif dan kepada perorangan atau badan hukum
dapat diberikan sebagian dari hak bersama tersebut sesuai dengan kebutuhan masingmasing.
Mengenai hak menguasai negara dapat juga dilihat dari pendapat Mohammad
Hatta yang menyatakan bahwa hak menguasai negara mengandung makna bahwa
negara mengatur, bukan memiliki.40 Dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 Undang
Undang Dasar 1945 tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau
ondenemer.
Pada waktu itu, Panitia keuangan dan perekonomian bentukan Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang diketuai oleh
Mohammad Hatta merumuskan pengertian dikuasai oleh Negara :
a. Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman
keselamatan rakyat.
40
Sri Edi Swasono, Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, (Jakarta : UI Pres,
1987), hal. 17
51
b. Semakin besarnya Perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang
menggantungkan dasar hidupnya maka semakin besar mestinya peran serta
Pemerintah.
c. Tanah haruslah dibawah kekuasaan Negara.
d. Perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagai usaha Negara.
Berdasarkan perspektif historis di atas, hak atas tanah dalam kurun waktu
yang panjang sama sekali tidak mengurangi kedaulatan suatu negara untuk menguasai
tanah. Misalnya, Malaysia memberikan hak atas tanah bagi penanaman modal sampai
selama 99 tahun, Thailand memberikan hak atas tanah bagi penanaman modal sampai
selama 90 tahun (30 tahun x 3), Vietnam memberikan hak atas tanah bagi penanaman
modal sampai selama 70 tahun, China memberikan hak atas tanah bagi penanaman
modal sampai selama 70 tahun dan bisa lebih dari itu dengan pertimbangan tertentu.
Sementara itu, Kamboja memberikan hak atas tanah bagi penanaman modal sampai
selama 70 tahun. 41 Negara-negara ini tetap memiliki kedaulatan atas tanah. Demikian
pula Indonesia. Karena, pemerintah atau negara, sewaktu-waktu dapat mencabut hak
atas tanah, jika peruntukan hak tersebut tidak sesuai dengan permintaannya. Misalnya
suatu perusahaan meminta hak guna usaha sampai 75 tahun, tapi kemudian tanah
tersebut ditelantarkan hak tadi bisa dicabut. Di samping itu, penanam modal tidak
mempunyai kedaulatan di atas tanah tadi, karana penanam modal diharuskan
membayar pajak kepada negara. Hak atas tanah tersebut diberikan kepada penanaman
modal yang mendirikan perusahaan badan hukum Indonesia (Perseroan Terbatas) dan
tunduk pada hukum Indonesia.42
Kedua, argumentasi Mahkamah Kontitusi yang menyatakan bahwa ketika
negara menghentikan atau membatalkan perpanjangan hak-hak atas tanah, akan
menghadapi persoalan gugatan keabsahan, sekali lagi menunjukkan bahwa
41
Lihat Risalah Persidangan di Mahkamah Konstitusi tanggal 17 November 2007.
Penjelasan pemerintah atas pertanyaan Hakim Natabaya.
42
Erman Rajagukguk, Nyanyi Sunyi Kemerdekaan, (Jakarta: Program Pasca Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006).hal.223.
52
Mahkamah Konstitusi mempermasalahkan sesuatu yang sebenarnya bukan suatu
inkonstitusionalitas. Tetapi, hanya sesuatu kekhawatiran yang semestinya tidak perlu
dikhawatirkan. Mekanisme penyelesaian hukum adalah suatu mekanisme yang wajar
dan dibenarkan oleh hukum. Pihak manapun, akan diberikan kesempatan untuk
mengajukan gugatan, jika haknya diambil alih dengan cara-cara yang melanggar
peraturan-perundang-undangan. Dengan demikian, tidak perlu dikhawatirkan, jika
suatu saat Indonesia menghadapi gugatan hukum, selama tindakan-tindakan hukum
yang dilakukan telah sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan.
Ketiga, Mahkamah Kontitusi menggunakan pertimbangan bahwa pemerintah
tidak dapat menggunakan alasan pemerataan kesempatan, untuk menghentikan atau
membatalkan hak-hak atas tanah. Argumentasi ini kurang tepat untuk digunakan
menyatakan bahwa perpanjangan di muka sekaligus bertentangan dengan UUD 1945.
Program pemerataan sangat berbeda konteksnya, dengan perpanjangan di muka
sekaligus hak atas tanah bagi penanam modal. Sesuatu yang tidak proporsional, jika
suatu saat negara akan membagi tanah yang secara empiris sudah dimanfaatkan dan
mendatangkan kemanfaatan bagi negara dan masyarakat. Pemerintah, tentunya dalam
melaksanakan program pemerataan tanah, akan mencari tanah-tanah yang secara
empiris belum memberikan keuntungan ekonomis bagi masyarakat.
Keempat, pendapat Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan perpanjangan di
muka sekaligus, kurang memiliki basis konstitusional yang kuat. Karena yang
dipersoalkan hanya prosedur perpanjangan. Dalam perpanjangan ini, pemerintah
tidak serta merta akan memberikan perpanjangan di muka sekaligus. Tetapi,
pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh tentang efektifitas pengunggunaan
tanah tersebut, sebelum mengabulkan permohonan perpanjangan tersebut. Artinya,
pemerintah memiliki kedaulatan untuk mengabulkan atau menolak permohonan dari
penanam modal []
53
BAB VII
FASILITAS BAGI PENANAM MODAL
Fasilitas bagi penanam modal merupakan insentif atau kemudahankemudahan yang dapat diterima para penanam modal. Bentuk-bentuk fasilitas bagi
penanam modal disebutkan pada Pasal 18 ayat (4) UU PM yang berbunyi:
a. Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto sampai tingkat
tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu
tertentu.
b. Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk atas impor barang modal, mesin,
atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di
dalam negeri.
c. Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk bahan baku atau bahan penolong
untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan
tertentu.
d. Pembebasan atau Penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang
modal atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi d
dalam negeri selama jangka waktu tertentu.
e. Penyusutan atau Amortisasi yang dipercepat, dan
f. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha
tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.43
Fasilitas pajak sebagaimana dimaksud di atas diberikan secara selektif, karena
penanam modal akan mendapat insentif jika perusahaan tersebut melakukan investasi
pada sektor yang menyerap tenaga kerja, bidang usaha termasuk skala prioritas
43
Lihat Penjelasan Pasal 18 ayat 3 huruf e Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, yang dimaksud industri pionir adalah industri yang memiliki
keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan
teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
54
tinggi dan membangun infrastruktur. Selain itu, perusahaan tersebut harus melakukan
alih teknologi, industri tersebut merupakan industri pionir dan usahanya dilakukan di
daerah terpencil/daerah tertinggal/daerah perbatasan. Selanjutnya, perusahaan
tersebut harus menjaga kelestarian lingkungan hidup dan bermitra dengan usaha
mikro, kecil, menengah atau koperasi.44
Jika dibandingkan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing, insentif dalam UU PM pada dasarnya tidak terlalu jauh
berbeda. Undang-undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
menyebutkan, bahwa penanam modal asing diberikan insentif perpajakan, berupa,
pembebasan dari pajak perseroan atas keuntungan untuk jangka waktu tertentu yang
tidak melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari saat usaha mulai
berproduksi dan pembebasan pajak devisa atas bagian laba yang dibayarkan kepada
pemegang saham dengan syarat laba tersebut diperoleh dalam jangka waktu yang
tidak melebihi waktu 5 (lima) tahun.
Selain itu, perusahaan modal asing juga
diberikan pembebasan pajak perseroan atas keuntungan yang ditanam untuk jangka
waktu tertentu, tidak melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari saat
penanaman modal kembali. Akhirnya, perusahaan modal asing dibebaskan dari bea
masuk pada waktu perusahaan barang-barang perlengkapan tetap ke dalam wilayah
Indonesia, dan bea materai modal atas penempatan modal yang berasal dari
penanaman modal asing.
Selain fasilitas pajak sebagaimana diuraikan di atas, Undang-Undang No.1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing juga menyediakan keringanan berupa
pengenaan pajak perseroan. Tarifnya dilakukan secara proporsional dan setinggitingginya lima puluh perseratus, dengan jangka waktu tidak melebihi 5 (lima) tahun
sudah jangka waktu pembebasan.
Kemudian, pada Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 tentang Perubahan
Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, fasilitas
44
Lihat, Pasal 18 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal.
55
perpajakan diberikan dalam bentuk pembebasan dari bea materai modal atas
penempatan modal yang berasal dari penanaman modal asing. Selain itu, perusahaan
modal asing juga dibebaskan atau mendapat keringanan bea masuk dan pajak
penjualan pada waktu pemasukan barang-barang perlengkapan tetap ke dalam
wilayah Indonesia. Selanjutnya, perusahaan modal asing dibebaskan dari bea balik
nama atas akta pendaftaran kapal, sampai dengan 2 tahun setelah saat mulai produksi.
Dalam sejarah kebijakan penanaman modal Indonesia, tax holiday pernah
diberikan pada tahun 1970-an. Fasiltas ini dicabut pada tahun 1980-an ketika terjadi
rerfomasi perpajakan. Hal ini dipengaruhi pendapat bahwa pemberian fasilitas tax
holiday dinilai tidak adil karena yang dapat menikmati hanya sebagian pengusaha
tertentu sedangkan pengusaha kecil yang jumlahnya sangat banyak tidak dapat
menikmati dan malah memikul bebannya. Selain itu, pemberian tax holiday dianggap
bukan merupakan peralatan yang ampuh untuk menarik minat para investor
memasuki suatu industri,45 dan tax holiday terbukti bukan merupakan suatu kebijakan
yang efektif dalam menarik investor asing. Kemudian, pada tahun 1996 pemberian
insentif tax holiday dihidupkan kembali melalui Peraturan Pemerintah No.45 tahun
1996 yang antara lain pemberian insentif kepada industri-industri tertentu.46 Insentif
pajak dalam UUPM, jika dibandingkan dengan undang-undang negara lain, dapat
dinyatakan kalah bersaing. Karena, Undang-Undang ini tidak memberikan fasilitas
tax holiday. Sementara di negara-negara lain memberikan insentif berupa tax holiday.
Misalnya, Cina memberikan tax holiday selama 2 tahun ditambah dengan PPh 50%
sampai tahun ke 5, dan reinvestasi uang pajak dikembalikan 40%.47 Thailand
Pande Radja Silalahi, “menghidupkan kembali tax holiday”, Tempo, edisi 22/01,
26 Juli 1996. Lihat juga, “Tax Holiday Bukan Jaminan untuk Tarik Minat Investor” Harian
Ekonomi Neraca, Sabtu, 9 Agustus 2003.
45
46
Lihat juga Keputusan Presiden No.45 tahun 1996 tentang Tata Cara Pemberian
Fasilitas Insentif Kepada Perusahaan.
47
Lihat Equity Joint Venture Law (EJV Law) 1979 yang diamandemen pada tahun
2001 dan lihat juga Contractual Joint Venture Law (CJV), 1988.
56
memberikan insentif kepada penanam modal tax holiday berupa pembebasan bea
masuk pada impor barang modal dan bahan baku selama 3-8 tahun.48 Dalam
Investment Promotion Act diatur kriteria insentif yang diberikan kepada penanam
modal asing, yaitu: memberikan keuntungan secara ekonomis dan teknologi.
Pemberian insentif ini juga mempertimbangkan jumlah produsen yang sudah ada,
kapasitas produksi nasional dan proyek yang dipromosikan. Kemudian perusahaan
tersebut harus mempertimbangkan sumber daya nasional bahan baku dan tenaga
kerja, serta jumlah mata uang asing yang tersimpan.49
Vietnam memberikan tax holiday berupa, pembebasan dan/atau pengurangan
pajak 10%-20% selama 2-4 tahun dan pembebasan bea masuk atas impor barang
modal dan bahan baku. Insentif pajak ini diatur dalam Law on Investment 2004.
Kriteria untuk mendapatkan insentif ini, antara lain, termasuk dalam sektor tertentu
dan kawasan tertentu. 50
Sedangkan Singapura memberikan tax holiday berupa pengurangan pajak
kepada perusahaan (corporate tax) untuk jangka waktu antara 5 (lima) sampai 10
(sepuluh) tahun. Keringanan pajak perusahaan tersebut berlaku sejak tahun pruduksi
dari perusahaan yang bersangkutan.51
Sementara itu, Malaysia memberikan insentif berupa insentif pokok dan
insentif tambahan. Insentif ini diberikan dalam sektor tertentu, yaitu manufaktur,
pertanian, pariwisata dan hotel, riset dan pengembangan, pelatihan teknik dan
kejujuran, multimedia dan kegiatan komersial lain.
48
Lihat The Investment Promotion Act of 1997 perubahan terakhir 2002. Mencakup
pemberian insentif fiscal maupun non fiscal bagi penanaman modal asing maupun domestic
yang dipromosikan oleh Pemerintah.
49
Lihat The Investment Promotion Act of 1997.
50
Lihat Law on Investment No.59-2005, menggantikan Law on Investment 1996 jo
2000 tentang Foreign Investment dan Law on Promotion of Domestic Investment 1998,
berlaku efektif sejak 2006. Secara rinci diatur dalam Law on Tax, Law on Export and Import
Duty.
51
Lihat, The Economic Expansion Insentives Act, yang diperkenalkan pada tahun
1967 dan telah dilakukan perubahan pada tahun 1994.
57
Insentif pokok diberikan dalam bentuk pembebasan PPh sebesar 70% selama
5 tahun dan pemberian keringanan Investment Tax Allowance (ITA) sebesar 60%
selama 5 tahun. Sedangkan, insentif tambahan biasanya berupa pemotongan pajak
(tax dediction) atau keringanan pajak (tax allowance) yang ketentuannya tergantung
pada masing-masing sektor.52
Selain fasilitas pajak, UU PM juga memberikan fasilitas berupa hak transfer
dan repatriasi. Dibandingkan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing, hak transfer dan repatriasi tersebut, lebih rinci dan lebih
komprehensif. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 8 yang berbunyi:
(1)
Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang
diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2)
Aset yang tidak termasuk aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
aset yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai aset yang dikuasai oleh
negara.
(3)
Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam
valuta asing, antara lain terhadap:
a. modal;
b. keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain;
c. dana yang diperlukan untuk:
1. pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang
jadi; atau
2. penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup
penanaman modal;
d. tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal;
e. dana untuk pembayaran kembali pinjaman;
f. royalti atau biaya yang harus dibayar;
52
Lihat Industrial Coordination Act 1975 dan Promotion of Investment Act 1996,
diamandemen 1997.
58
g. pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam
perusahaan penanaman modal;
h. hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal;
i. kompensasi atas kerugian;
j. kompensasi atas pengambilalihan;
k. pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus
dibayar untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di
bawah kontrak proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan
l. hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pengalihan aset pada prinsipnya memang dapat dilakukan oleh penanam modal
sesuai dengan keinginannya, tetapi tidak sepenuhnya “bebas” karena masih harus
mengacu pada peraturan perundang-undangan, misalnya, peraturan tentang pelaporan
kepada Bank Indonesia.53 Selain itu, kebebasan pengalihan aset juga dibatasi dari
jenis asetnya, yaitu aset yang dikuasai negara tidak diijinkan dialihkan, misalnya
hutan, pertambangan, kekayaan laut dan energi yang lain.
Selanjutnya, ayat (5) menyebutkan bahwa hak transfer dan repatriasi tidak
mengurangi:
a. kewenangan Pemerintah untuk memberlakukan ketentuan peraturan perundangundangan yang mewajibkan pelaporan pelaksanaan transfer dana;
b. hak
Pemerintah
untuk
mendapatkan
pajak dan/atau royalti
dan/atau
pendapatan Pemerintah lainnya dari penanaman modal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. pelaksanaan hukum yang melindungi hak kreditor; dan
d. pelaksanaan hukum untuk menghindari kerugian negara.
Di samping itu, untuk mengantisipasi terhadap beberapa investor yang
meninggalkan begitu saja perusahaan di Indonesia, tanpa menyelesaikan kewajiban
53
Lihat , Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal.
59
mereka membayar upah buruh dan kewajiban lainnya, Pasal 9 ayat (1) menyebutkan,
bahwa dalam hal adanya tanggung jawab hukum yang belum diselesaikan oleh
penanam modal: a)
penyidik atau Menteri Keuangan dapat meminta bank atau
lembaga lain untuk menunda hak melakukan transfer dan/atau repatriasi; dan b)
pengadilan berwenang menetapkan penundaan hak untuk melakukan transfer dan/atau
repatriasi berdasarkan gugatan.
Selanjutnya, ayat (2) menyebutkan, bahwa Bank atau lembaga lain
melaksanakan penetapan penundaan berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b hingga selesainya seluruh tanggung jawab penanam
modal.
Pengaturan yang memberikan kepada penanam modal, hak untuk melakukan
transfer dan repatriasi itu didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu; pertama,
merupakan konsekuensi dari pelaku usaha untuk dan di dalam melaksanakan kegiatan
usahanya; kedua, konsekuensi dari melakukan tindakan korporasi.54 Penanaman
modal diperbolehkan melaksanakan repatriasi. Hal ini sesuai dengan peraturan
tentang lalu lintas devisa sejak tahun 1970 dimana Indonesia menganut sistem lalu
lintas devisa bebas. Jadi dengan demikian apa yang diatur di dalam UU PM, bukan
hal yang baru, tidak ada sesuatu yang istimewa tentang transfer dan repatriasi. Itu
semuanya sudah dijamin bisa dilakukan oleh setiap penduduk Indonesia untuk bisa
menggunakan, memanfaatkan devisa secara bebas.
Hal ini hanya penegasan khusus kepada mereka yang menanam modal di
Indonesia. Ini adalah salah satu cara dalam rangka melakukan promosi, karena UU
PM bukan hanya undang-undang yang mengatur norma-norma yang berlaku bagi
pelaku usaha yang berada di Indonesia, bukan hanya mengatur norma-norma hukum
bagi penduduk Indonesia, tetapi juga mempromosikan bahwa Indonesia adalah salah
54
Lihat, Felix Untung Soebagjo, Pendapat Pada Sidang di Mahkamah Konstitusi,
tanggal 20 November 2007.
60
satu negara yang layak dikunjungi untuk dijadikan tempat untuk melakukan
investasi[]
61
BAB VIII
KEDUDUKAN TENAGA KERJA
DALAM KEGIATAN PENANAMAN MODAL
Pengertian tenaga kerja dapat dilihat secara makro maupun mikro. Secara
makro, tenaga kerja atau manpower adalah kelompok yang menduduki usia kerja.
Pengertian ini bersifat kuantitas, yaitu jumlah penduduk yang mampu bekerja. Secara
mikro, tenaga kerja adalah karyawan atau employee yang mampu memberikan jasa
dalam proses produksi.
Memasuki abad ke -21 atau disebut era milenium ketiga, kehidupan dunia
bisnis ditandai berbagai perubahan. Beberapa pakar telah mengidentifikasi perubahan
tersebut. Naisbitt dan Aburdence (1985) mencatat berbagai perubahan tersebut
ditandai oleh pergeseran dari masyarakat industri ke arah masyarakat informasi,
pergeseran dari teknologi yang mengunakan banyak tenaga kerja (forced technology)
menjadi teknologi tinggi dan teknologi tekan tombol (high tech and high touch),
pergeseran dari ekonomi nasional menjadi perekonomian dunia, pergeseran dari
perencanaan jangka pendek ke arah perencanaan jangka panjang dan pergeseran dari
organisasi yang bersifat sentralisasi ke organisasi yang bersifat desentralisasi.
Adanya berbagai perubahan tersebut telah membawa dampak nyata terhadap
lingkungan bisnis yang dihadapi. Perubahan itu ditandai dengan tingkat persaingan
semakin tajam yang cenderung menjadi sesuatu yang konstan. Artinya, persaingan itu
tidak akan pernah berhenti, bahkan akan dirasakan semakin tajam. Jadi, persaingan
yang semakin tajam adalah fakta yang harus dihadapi oleh setiap perusahaan. Oleh
karena itu, jika ingin maju, persaingan itu harus ditanggapi sebagai suatu tantangan
yang harus ditaklukan, bukan untuk dihindari.
Dengan demikian, faktor tenaga kerja tidak semata-mata dipandang sebagai
faktor produksi sebagaimana halnya faktor-faktor produksi lainnya, tetapi merupakan
aset atau kekayaan perusahaan utama. Karena itu, dalam upaya untuk memenangkan
62
persaingan, maka faktor tenaga kerja sebagai asset perusahaan utama perlu dikelola
dengan benar. Mengelola tenaga kerja dengan benar berarti mewujudkan tenaga kerja
yang mampu bekerja dengan produktivitas kerja tinggi melalui pelaksanaan fungsi
administratif dan fungsi operasional. Fungsi administratif dan fungsi operasional
adalah dua hal yang terdapat dalam pengelolaan tenaga kerja, sedangkan
produktivitas kerja yang tinggi adalah tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan
tenaga kerja.
Produktivitas kerja dapat diartikan sebagai proses dan juga sebagai hasil.
Sebagai proses, pengertianproduktivitas kerja mengandung makna “the will”
(keinginan) dan “effort” (upaya) manusia untuk selalu meningkatkan kualitas
kehidupan dan penghidupannya di segala bidang. Oleh karena itu, makna utama
pengertian produktivitas kerja adalah sikap mental yang selalu memandang bahwa
kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik
dari hari ini. Kaitannya dengan pekerjaan, produktivitas berarti cara kerja hari ini
harus lebih baik dari cara kerja kemarin, hasil yang dicapai hari ini lebih baik dari
hari kemarin, dan hasil dicapai besok harus lebih banyak atau lebih baik dari yang
diperoleh hari ini.
Sebagai hasil, produktivitas telah dimaknai sebagai kinerja yang mencakup
efektivitas dan efisiensi. Efektivitas berhubungan dengan sejauhmana tujuan dapat
dicapai, sedangkan efisiensi berhubungan dengan sejauhmana sumber daya yang
dimiliki dapat digunakan secara tepat dan benar.
Masalah tenaga kerja dalam penanaman modal diatur pada Pasal 10 UU PM
menyebutkan bahwa:
(1) Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus
mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia.
(2)
Perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli warga negara
asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
63
(3) Perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja
warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing
diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada
tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ketentuan yang diatur dalam UU PM pada dasarnya hampir sama dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-undang sebelumnya. Undang-Undang No.1
Tahun 1967 juga menyebutkan perusahaan asing mempunyai kewajiban untuk
menggunakan tenaga kerja warga negara Indonesia dan menyelenggarakan dan/atau
memberikan fasilitas-fasilitas latihan dan pendidikan.55
Sebagai perbandingan, Vietnam juga melakukan pembatasan penggunaan
tenaga kerja asing. Investor asing mempunyai hak untuk merekrut tenaga kerja
Vietnam dan tenaga kerja kerja asing untuk jabatan management, tenaga ahli dan
tenaga teknisi sesuai dengan kebutuhan usaha.56
Sementara itu, Thailand juga membatasi penggunaan tenaga kerja asing. Pada
dasarnya Thailand agak membatasi penggunaan tenaga kerja asing dan amat
mendorong penggunaan tenaga kerja lokal. Beberapa jenis pekerjaan dan profesi
tidak diijinkan bagi tenaga kerja asing antara lain buruh, penjaga toko, penata rambut.
Kebijakan penggunaan tenaga kerja asing, antara lain: dapat menggunakan tenaga
kerja
asing
sepanjang
jabatan
terbuka,
perusahaan
asing
diwajibkan
menyelenggarakan training atau mengirimkan karyawan lokal untuk mengikuti
training, perusahaan yang menyelenggarakan training atau mengirimkan tenaga kerja
lokal untuk mengikuti training baik di dalam maupun luar negeri mendapatkan
55
Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing.
56
Lihat, Investment Law, 2004.
64
keringanan pajak dan perusahaan yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut
mendapat sanksi berupa kewajiban membayar 50% dari biaya training.57
Sedangkan Malaysia, ketentuan memperkerjakan tenaga kerja antara lain
sebagai berikut: perusahaan dengan modal disetor US$ 2 juta diijinkan untuk lima
posisi tenaga kerja asing, perusahaan dengan modal disetor kurang dari US$ 2 juta
akan dipertimbangkan dalam pemakaian tenaga kerja asing berdasarkan kriteria
tertentu dan tenaga kerja asing diperbolehkan untuk sektor konstruksi, perkebunan
dan jasa.
Kemudian, Cina memperbolehkan perusahaan penanaman
modal asing
mempekerjakan tenaga kerja asing dengan syarat mendapat persetujuan labor
administrative department dan pada posisi serta kualifikasinya belum mampu diisi
oleh tenaga lokal.58 []
BAB IX
KEWAJIBAN ALIH TEKNOLOGI BAGI PENANAM MODAL
Dalam era pembangunan dan modernisasi, Negara Dunia Ketiga memiliki
hasrat besar untuk menguasai teknologi, selayaknya yang terjadi di negara-negara
57
Lihat, Alien Business Act 1999, yang diamandemen pada tahun 2000.
58
The Investment Promotion Act of 1997.
65
maju. Teknologi sering disamakan dengan teknik-teknik produksi atau alat-alat
semata. Diasumsikan bahwa jika teknologi tersebut berhasil dalam negara tempat
teknologi tersebut diciptakan dan dikembangkan, maka teknologi tersebut akan
berhasil pula di daerah lain manapun.
Asumsi tersebut tidak dapat dibenarkan, sebab teknologi tidak berfungsi
dalam sebuah ‘vacuum social‘. Tetapi bergantung pada kondisi sosial, infrastruktur
baik fisik maupun tenaga kerja, serta ketersediaan bahan baku. Menyederhanakan alih
teknologi menjadi sekadar alih alat-alat dan teknik-teknik produksi sama halnya
mengharapkan hal-hal tersebut cukup efektif untuk menyelesaikan segala
permasalahan.
Alih teknologi sama sekali bukan hal yang sederhana, karena seringkali
menghadapi dilema, antara lain: Pertama, teknologi itu bukan sesuatu yang murah.
Dilema terletak pada sejauh mana Negara Dunia Ketiga bersedia membayar harga
teknologi yang cukup mahal itu. Untuk industri tinggi, pembelian teknologi secara
terpisah (partial) hampir mustahil. Kedua, pada satu pihak Negara Dunia Ketiga
ingin memelihara dan mempertahankan kemerdekaan, tetapi di pihak lain, dengan
alih teknologi ini bukan mustahil negara akan melepaskan sebagian kemerdekaan
tersebut. Sangat besar kemungkinan, teknologi yang dimasukkan tersebut
menimbulkan ketergantungan teknologi (technological dependency). Ketiga, apabila
ketergantungan teknologi ini sudah semakin tinggi, maka kreativitas masyarakat dan
anak sekolah akan merosot. Kemalasan untuk bersusah payah pun muncul. Akibat
yang paling jelek adalah berkurangnya lapangan pekerjaan sehingga terjadi
pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatkan angka pengangguran dan
kemiskinan. Inilah wajah tidak manusiawi dari alih teknologi.
Ketentuan tentang alih teknologi dalam UU PM disebutkan pada Pasal 15.
Ayat (3) menyebutkan bahwa perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan
kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Selanjutnya pada ayat (4)
66
menyebutkan Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing
diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga
kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Alih teknologi pada dasarnya sulit diimplementasikan, sebab biasanya
teknologi bukannya di’alih’kan, melainkan diperdagangkan (jual-beli) secara luas
dalam pasar internasional. Kalau kita bicara mengenai alih teknologi, maka
sesungguhnya kita bicara mengenai importasi teknologi dari negara-negara industri,
dalam hal ini negara-negara Barat.
Secara historis, perkembangan teknologi modern akibat revolusi industri
kapitalis di Barat telah membunuh teknologi yang telah berkembang sedemikian lama
di Negara Dunia Ketiga. Untuk mewujudkan kepentingan kapitalis imperialis, mereka
melabeli pandangan hidup yang berbeda dengan mereka sebagai tidak modern,
bahkan tidak beradab. Mereka mendekonstruksi nilai-nilai tradisional dan
mempengaruhi secara mental agar Negara Dunia Ketiga mau menerima hegemoni
pandangan hidup Barat. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
berperan besar dalam hal ini.
Secara teknis ada beberapa jenis dan cara alih teknologi. Korporasi
transnasional menjadi aktor kunci dalam proses ini, antara lain:
Pertama, Foreign Direct Investment, yaitu investasi jangka panjang yang
ditanamkan oleh perusahaan asing. Investor memegang kendali atas pengelolaan aset
dan produksi. Untuk menarik minat investor asing, Negara Dunia Ketiga menjalankan
berbagai kebijakan seperti liberalisasi, privatisasi, menjaga stabilitas politik, dan
meminimalkan campur tangan pemerintah. Padahal, kepemilikan asing atas modal
sama saja dengan membentangkan jalan lebar menuju keuntungan dan pelayanan bagi
korporasi transnasional. Mereka mengeksploitasi banyak keuntungan dengan resiko
yang ditanggung oleh Negara Dunia Ketiga.
Kedua, Joint Ventures, yaitu kerjasama (partnership) antara perusahaan yang
berasal dari negara yang berbeda dengan tujuan mendapat keuntungan. Dalam model
67
seperti ini, kepemilikan diperhitungkan berdasarkan saham yang dimiliki. Jenis alih
teknologi ini menjadi menarik sebab perusahaan-perusahaan asing dapat menghindari
terjadinya nasionalisasi atas perusahaan. Perlu diketahui bahwa dalam model FDI
(Foreign Direct Investment) resiko terjadinya nasionalisasi secara tiba-tiba adalah
cukup tinggi. Selain itu investor asing juga merasa riskan bila harus melakukan joint
ventures dengan perusahaan nasional Negara Dunia Ketiga.
Ketiga, Licensing Agreements, yaitu izin dari sebuah perusahaan kepada
perusahaan-perusahaan lain untuk menggunakan nama dagangnya (brand name),
merek, teknologi, paten, hak cipta, atau keahlian-keahlian lainnya. Pemegang lisensi
harus beroperasi di bawah kondisi dan ketentuan tertentu, termasuk dalam hal
pembayaran upah dan royalti. Biasanya cara ini digunakan oleh perusahaan asing
dengan mitra Negara Dunia Ketiga. Cara ini adalah yang paling memungkinkan
terjadinya alih pembayaran atau larinya modal dari Negara Dunia Ketiga kepada
perusahaan-perusahaan asing.
Keempat, Turnkey Projects, yaitu membangun infrastruktur dan konstruksi
yang diperlukan perusahaan asing untuk menyelenggarakan proses produksi di
Negara Dunia Ketiga. Bila segala fasilitas telah siap dioperasikan, perusahaan asing
menyerahkan ‘kunci’ kepada perusahaan domestik atau organisasi lainnya.
Perusahaan asing juga menyelenggarakan pelatihan pekerja dalam negeri agar suatu
saat dapat mengambil alih segenap proses produksi yang dibutuhkan. Kecil
kemungkinan terjadi alih teknologi sebab perusahaan domestik hanya bisa
mengoperasikan tanpa mengerti kepentingan pengembangan teknologi tersebut.
Perusahaan domestik juga tidak bisa membangunnya, sehingga peran mereka sekadar
menjadi budak suruhan.
Sementara itu, teknologi dapat dipindahkan dengan cara memperkerjakan
tenaga-tenaga ahli asing perorangan, menyelenggarakan suplai dari mesin-mesin dan
perlengkapan lainnya, perjanjian lisensi dalam teknologi si pemilik teknologi dapat
68
memudahkan teknologi dengan memberikan hak kepada setiap orang/badan untuk
melaksanakan teknologi dengan suatu lisensi.
Kebanyakan proses alih teknologi dilaksanakan melalui investasi asing
langsung yakni dengan pendirian anak cabang usaha, joint venture atau jenis
kerjasama lain dengan pengikutsertaan saham perusahaan asing yang merata. Inti dari
pengalihan teknologi adalah adanya kebutuhan teknologi dari pihak yang
memerlukan teknologi dengan pemilik teknologi yang menawarkan teknologi serta
proses pengaturan pengalihan teknologi. Pengalihan teknologi ini memberikan
sumbangan yang besar dalam meningkatkan modernisasi industri di negara sedang
berkembang. Negara-negara sedang berkembang dapat mengambil keuntungan dari
kerja sama yang diadakan yakni meningkatkan dan mengembangkan kemampuan
dalam mengkombinasikan ataupun memobiliasi secara efektif.
Jenis pemindahan atau dapat dibagi menjadi 3 kelompok, antara lain : (a)
transfer material, yakni suatu pemindahan teknologi dalam wujud lahiriah dan harfiah
dari suatu daerah atau bangsa ke dalam daerah atau bangsa lain; (b) transfer desain,
yakni suatu pemindahan teknologi yang terbatas kepada rancangan teknologi dari
suatu daerah atau bangsa ke daerah atau bangsa lain; dan (c) transfer kemampuan,
yakni suatu pemindahan teknologi dari suatu daerah atau bangsa ke daerah atau
bangsa lainnya dalam suatu bentuk keahlian atau keterampilan dan bukan dalam
bentuk jasmaniah atau rancangannya.
Selain itu, konsep alih teknologi dapat dibedakan antara tingkat nasional dan
tingkat perusahaan. Pada tingkat nasional, terdapat empat macam konsep alih
teknologi, yakni : pertama, alih teknologi secara geografis. Konsep ini menganggap
alih teknologi telah terjadi jika teknologi tersebut telah digunakan di tempat baru.
Kedua, alih teknologi kepada tenaga kerja lokal. Dalam konsep ini alih teknologi
terjadi jika tenaga kerja lokal sudah mampu menanganai teknologi impor dengan
efisien. Ketiga, transmisi dan difusi teknologi, yaitu alih teknologi terjadi jika
teknologi menyebar ke unit-unit produksi lokal lainnya di negara penerima teknologi.
69
Keempat, pengembangan dan adaptasi teknologi, yaitu alih teknologi baru terjadi jika
tenaga kerja lokal yang memahami teknologi tersebut mulai dapat mengadaptasi
untuk keperluan-keperluan spesifik setempat atau modifikasinya untuk berbagai
keperluan.
Dalam pelaksanaannya, alih teknologi seringkali menghadapi beberapa
hambatan, seperti ; pertama, hambatan yang timbul dari ketidaksempurnaan pasar
teknologi; kedua, hambatan yang disebabkan oleh kurangnya pengalaman dan
keterampilan Indonesia dalam menyelesaikan perjanjian hukum yang memadai untuk
memperoleh teknologu tersebut, karena alih teknologi merupakan hubungan hukum
antara pemberi teknologi dan penerima teknologi; ketiga, hambatan dari sikap
pemerintah baik legislatif maupun administratif dari negara pemilik teknologi dan
atau negara penerima teknologi; dan keempat, hambatan sumber keuangan karena
tingginya biaya alih teknologi.
Faktor lain yang punya andil terhambatnya proses alih teknologi (technical
know-how) adalah pembatasan modal dalam negeri dalam penguasaan minoritas dan
ketidaksempurnaan pengetahuan. Oleh karena itu, perlu ada campur tangan untuk
menjamin bahwa penerima lisensi setempat yang potensial tidak meningkatkan harga
lisensi asing yang dicari. Beberapa negara di ASEAN menerapkan campur tangan
yang jauh lebih menyeluruh. Sebagai contohnya, Filiphina membentuk Badan Alih
Teknologi (The Technology Transfer Board) dengan tujuan untuk mengatur jumlah
royalty sifat dari teknologi produksi dan retriksi-retiksi yang dikenakan dalam
penggunaannya.
Ada tiga hal yang perlu dianalisis dalam mencermati luas dan sifat alih
teknologi, yaitu; pertama, sampai seberapa jauhkah investasi asing dan bentuk
kerjasama lain memberikan kontribusi pada kenaikan produktivitas di negara
penerima; kedua, seberapa besarkah spin-off teknologi (yang biasa disebut sebagai
kebocoran dan keterkaitan) terhadap faktor-faktor produksi Indonesia, dan dengan
cara bagaimana manfaat teknologi baru dapat dinikmati. Ketiga, kelompok manakah
70
di negara penerima yang merupakan penerima manfaat utama : kelompok bisnis
tertentu, konsumen, pekerja atau kelompok lainnya.
Mekanisme pengalihan teknologi dari perusahaan modal asing/pemilik
teknologi pada negara penerima modal dan teknologi menimbulkan beberapa
pertentangan-pertentangan; perusahaan modal asing/multinasional mewakili satu
aparat yang permanem dari struktur produksi terutama di bidang manufacturing ;
kebanyakan negara sedang berkembang akan secara terus menerus tergantung pada
teknologi yang dihasilkan, negara sedang berkembang akan menjadi tidak puas,
bukan saja karena persyaratan dan kondisi dari pengalihan teknologi oleh perusahaan
modal asing/multinasional yang berat sebelah akan tetapi juga dengan hasil dari
pengalihan teknologi tersebut.
Untuk mengurangi pertentangan sebagai akibat dari proses pengalihan
teknologi tersebut, perlu ddirumuskan aliran dan pengaruh teknologi, keuangan atau
aspek-aspek teknik pengalihan teknologi serta bentuk organisasi dan mekanisme yang
berkaitan dengan pengalihan teknologi tersebut, peningkatkan kemampuan teknologi
nasional, dan memperhatikan perencanaan pembentukan pusat teknologi sehingga
dapat dikembangkan secara lebih progresif []
71
Bab X
TANGGUNG JAWAB SOSIAL BAGI PENANAM MODAL
Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility
(CSR) adalah suatu konsep bahwa perusahaan memiliki suatu tanggung jawab
terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam
segala aspek operasional perusahaan.
CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di mana ada
argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus
mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya
keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan
lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
Beberapa investor dan perusahaan manajemen investasi telah mulai
memperhatikan kebijakan CSR dari suatu perusahaan dalam membuat keputusan
investasi mereka, sebuah praktek yang dikenal sebagai "Investasi bertanggung jawab
sosial" (socially responsible investing).
Banyak pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan sosial dan
"perbuatan baik". Namun sesungguhnya sumbangan sosial merupakan bagian kecil
saja dari CSR. Perusahaan di masa lampau seringkali mengeluarkan uang untuk
proyek-proyek komunitas, pemberian bea siswa dan pendirian yayasan sosial. Mereka
juga seringkali menganjurkan dan mendorong para pekerjanya untuk sukarelawan
(volunteer) dalam mengambil bagian pada proyek komunitas sehingga menciptakan
suatu itikad baik dimata komunitas tersebut yang secara langsung akan meningkatkan
reputasi perusahaan serta memperkuat merek perusahaan. Dengan diterimanya
konsep CSR, terutama triple bottom line, perusahaan mendapatkan kerangka baru
dalam menempatkan berbagai kegiatan sosial di atas.
Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat
luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan
72
posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan
bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan
amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan
keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat terhadap
seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan
hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara
kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan
pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.
"dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi
paling berkuasa diatas planet ini. Institusi yang dominan di masyarakat
manapun harus mengambil tanggung jawab untuk kepentingan
bersama….setiap keputusan yang dibuat, setiap tindakan yang diambil
haruslah dilihat dalam kerangka tanggung jawab tersebut”
Sebuah definisi yang luas oleh World Business Council for Sustainable
Development (WBCSD) yaitu suatu suatu asosiasi global yang terdiri dari sekitar 200
perusahaan yang secara khusus bergerak dibidang "pembangunan berkelanjutan" (
sustainable development) yang menyatakan bahwa:
"CSR adalah merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha
untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan
ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan
dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh keluarganya".
Tanggung jawab sosial perusahaan sering didefinisikan secara sempit sebagai
akibat belum tersosialisasinya standar baku bagi perusahaan. Tanggung jawab sosial
perusahaan masih anggap sebagai suatu kosmetik belaka untuk menaikkan pamor
perusahaan atau menjaga reputasi perusahaan di masyarakat. Oleh karenanya ada
asumsi jika perusahaan sudah memberikan sumbangan atau donasi kepada suatu
institusi sosial berarti sudah melakukan tanggung jawab sosial sebagai sebuah
perusahaan.
73
Penerapan dan isu tanggung jawab sosial perusahaan yang dilakukan pada
saat ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan, sebagai berikut:
1. Pengaruh
dari
globalisasi
dan
internasionalisasi
yang
memaksa
perusahaan untuk dapat menerapkan fungsi tanggung jawab sosial
perusahaan. Bentuk globalisasi dan internasionalisasi ini dapat berupa
tekanan dari pihak ketiga (distributor, buyer, client, dan shareholder)
yang menjadi bagian atau mitra kerja dari perusahaan lokal. Mereka dapat
menetapkan suatu kondisi yang harus diikuti oleh perusahaan lokal dalam
memenuhi tanggung jawab sosialnya. Kondisinya ini biasanya dialami
oleh perusahaan yang berada di negara miskin dan berkembang dimana
memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi kepada investor dari negara
maju.
2. Ditinjau dari jenis perusahaan, umumnya yang menjalankan fungsi
tanggung jawab sosial adalah perusahaan yang bergerak dalam usaha
ekplorasi alam (tambang, minyak, hutan). Perusahan tambang lebih
mendapatkan perhatian dari masyarakat dibandingkan dengan perusahaan
non tambang (terutama LSM). Perusahaan tersebut diwajibkan untuk
melakukan penyeimbangan sebagai dampak dari eksplorasi yang
dilakukan seperti melakukan reklamasi alam, reboisasi, mendukung
pencinta alam, berpartisipasi dalam pengolahan limpah dan sebagainya.
Kenyataannya apakah perusahaan tersebut benar-benar menaruh perhatian
terhadap alam dan lingkungan sekitarnya, bukankah mungkin tanggung
jawab sosial yang diakukan oleh perusahaan hanya sebagai kedok untuk
melegalkan dan mengamankan kegiatan perusahaan sehingga tidak
dikritik oleh masyarakat.
3. Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang biasanya dilakukan adalah
pemberian fasilitas kepada para pekerja atau buruh. Kenyataannya bahwa
pemberian fasilitas baru akan terealisasi jika adanya ancaman mogok atau
74
unjuk rasa dari para buruh. Ini berarti tanggung jawab sosial perusahaan
terhadap para buruh didasarkan sebagai suatu negosiasi antara manajemen
dengan para buruh. Manajemen tentunya akan memperhitungkan dampak
yang ditimbulkan dengan adanya ancaman tersebut jika dinilai akan
merugikan perusahaan, maka (biasanya) tuntutan akan direalisasikan.
4. Bentuk lainya dari tanggung jawab sosial perusahaan sebatas pemberian
sumbangan, hibah, bantuan untuk bencana alam yang sifatnya momentum.
Musibah, bencana, atau malapetaka yang terjadi dapat dijadikan sebagai
momentum bagi perusahaan yang membentuk citra dan reputasi baik di
mata masyarakat.
5. Masih banyak contoh penerapaan tanggung jawab sosial perusahaan pada
saat ini yang bertujuan untuk memenuhi persyaratan atau mengikuti aturan
main supaya perusahaan dapat tetap menjaga citra dan existensinya di
hadapan para stakeholdernya.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka perlu dilakukan perubahan
paradigma perspektif bahwa tanggung jawab sosial perusahaan sering dijadikan
atribut bagi perusahan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan
caranya mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh masyarakat, asosiasi, dan
pemerintah. Seperti perusahaan tambang, perusahan kayu, perusahaan pengelola hasil
bumi, dan sejenisnya. Dampak yang ditimbulkan perusahan tidak seimbang dengan
usaha untuk merehabilitasi alam. Selain itu, untuk bisnis tertentu, tanggung jawab
sosial perusahaan dapat dijadikan perisai sebagai penetralisir dampak dari bisnis yang
dijalankan sekalipun bertentangan, misalkan perusahaan rokok sebagai sponsor event
olah raga. Sekalipun masyarakat mengetahui bahayanya rokok di lain pihak
masyarakat membutuhkan olahraga.
Ketentuan mengenai tanggung jawab sosial bagi perusahaan diatur dalam
Pasal 16 UUPM yang berbunyi bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab:
75
a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam
modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya
secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli,
dan hal lain yang merugikan negara;
d. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja;
dan
f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut setiap perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
tanggungjawab sosial dan lingkungan. Jika tidak dilaksanakan maka perseroan
tersebut akan dikenakan sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dengan
diterbitkannya Undang Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(PT), akan membawa perubahan besar terhadap managemen PT. Dimana PT
didorong untuk mengelola usahanya secara profesional. Selain itu, dalam UU
tersebut perusahaan harus memiliki komitmen tanggungjawab sosial dan lingkungan
dalam bentuk memperhatikan Corporate Social Responsibility(CSR). Selama ini
aturan CSR ini belum termuat dalam UU sebelumnya, yakni UU No.1 Tahun 1995
tentang PT. Dalam UU PT yang baru ini, perusahaan tidak lagi hanya sekedar
berbicara profit, tapi juga kondisi lingkungan, serta pemberdayaan masyarakat sekitar
perusahaan. Sehingga UU No. 1 Tahun 1995 tidak lagi memenuhi kebutuhan hukum
masyarakat seiring dengan perubahan ekonomi, politik dan kemajuan teknologi,
komunikasi dan era globalisasi.
Sementara dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang PT ini sangat mendukung
terselenggaranya good corporate government dikalangan dunia usaha. Beberapa hal
76
penting yang menjadi perubahan, yakni soal tanggung jawab direksi dan komisaris,
tanggung jawab sosial dan lingkungan. Walau belum keluar Peraturan Pemerintah
(PP) tentang UU No. 40 Tahun 2007 ini, namun perusahaan diminta untuk
menyiapkan diri untuk menyesuaikan dengan UU ini.
Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing mempunyai
tanggung jawab hukum dan kewajiban menaati hukum Indonesia. Jika ada kewajiban
hukum yang harus diselesaikan, kewajiban pajak, dan kewajiban lainnya, maka Bank
Indonesia atas permintaan Pemerintah atau Badan Koordinasi Penanaman Modal
dapat menunda hak untuk melakukan transfer atau repatriasi. Selain itu, penyidik atau
Menteri Keuangan dapat meminta bank atau lembaga lain untuk menunda hak
melakukan transfer dan/atau repatriasi, dan pengadilan berwenang menetapkan
penundaan hak untuk melakukan transfer dan/atau repatriasi berdasarkan gugatan.
Ketentuan tentang tanggung jawab penanaman modal didasarkan pada fakta
adanya investor yang kabur meninggalkan berbagai persoalan saat usahanya
bermasalah. Pada tahun 2006-2007 ada beberapa investor yang meninggalkan
Indonesia dan belum menyelesaikan kewajibannya, antara lain; pertama, PT Dong
Joe yang tutup Oktober 2006, jumlah karyawan 6.000 orang, kedua, PT Tong Yang
juga tutup pada Oktober 2006, jumlah karyawan 8.300 orang; ketiga, PT Tirai Tapak
Tiara dan PT Tampuk Yudha Inti yang tutup Oktober 2006, jumlah karyawan 3.000
orang dan keempat, PT.Bridor Indonesia tutup sejak bulan Desember 2007, jumlah
karyawan 38 orang;59 kelima, PT Livatech Eletronik Indonesia yang bergerak di
bidang perakitan komponen elektronik
hengkang dari Indonesia sehingga
menyebabkan 1.300 buruh terlantar.60
Perusahaan-perusahaan yang kabur tersebut sangat merugikan Indonesia, karena
buruh belum menerima upah dan belum mendapatkan hak pemutusan hubungan
“Pemerintah Belum Pernah Tuntaskan Kasus Investor Pengemplang”, Kompas,
Selasa, 8 April 2008.
59
60
Lihat, “1.300 Buruh Telantar akibat PMA Hengkang”, Kompas, Kamis, 8 Februari
2007.
77
kerja. Kerugian yang sangat besar juga dialami dunia perbankan, karena investor
tersebut belum menyelesaikan kewajibannya terhadap perbankan.
Pasal 15 ayat (2) UU PM menyebutkan, bahwa penanam modal memiliki
kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility).61
Selanjutnya, penjelasan Pasal 15 huruf b menyebutkan bahwa, yang dimaksud
dengan "tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada
setiap perusahaan penanam modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi,
seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat
setempat"
Ketentuan ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.62 Pasal 74 Undang-undang ini menyebutkan:
1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan.
2) Kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility)
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya dengan memperhatikan asas
kepatutan dan kewajaran.
3) Perseroan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan
(corporate social responsibility) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur
dengan peraturan pemerintah.63
61
Lihat, Tajuk Utama, “Mengapa CSR diwajibkan”, Bisnis Indonesia, Selasa, 3 Juli
2007.
62
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.
63
"Kadin; Wajib CSR "kerikil" dunia usaha", Bisnis Indonesia, 21 Juli 2007.
78
Penjelasan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang
Perseroan terbatas menyebutkan bahwa, kewajiban CSR ini bertujuan untuk
menciptakan hubungan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma dan budaya setempat.64
Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas dan untuk memperhatikan
penolakan sebagian kalangan, perlu dirumuskan format ideal tanggung jawab sosial
perusahaan sehingga dapat diperoleh mutual benefit antara perusahan dengan
stakeholdernya?. Untuk mendapatkan format ideal tanggung jawab sosial perusahaan,
beberapa hal yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Perusahan harus melakukan gap analisis antara apa yang ideal harus dilakukan
dengan apa yang telah dilakukan (existing) saat ini. Hasil dari gap analisis ini
dapat menjadi acuan bagi perusahaan untuk mendapatkan solusi yang benarbenar dibutuhkan sehingga kehadiran perusahaan tersebut memberikan
dampak positif bagi stakeholder.
2. Konsistensi dalam menjalankan komitmen harus menjadi bagian dan gaya
hidup dari semua level manajemen perusahaan. Oleh karenanya tanggung
jawab sosial perusahaan harus menjadi bagian dalam strategic plan
perusahaan mulai di mulai dari penentuan visi, misi, strategi, core belief, core
value, program, penyusunan anggaran sampai kepada evaluasi. Tujuan dengan
adanya strategic plan ini adalah untuk menjaga kesinambungan perusahaan di
masa yang akan datang. Di dalam strategic plan faktor tanggung jawab sosial
harus menjadi bagian dari road map perusahaan dalam rangka mencapai good
corporate governance (GCG). Untuk mengevalusi penerapan strategic plan
ini diperlukan tool yang dapat menjadi dashboard perusahaan di dalam
menilai kinerja yang dihasilkan. Tool yang digunakan dapat berupa metode
balanced scorecard atau hanya penerapan key performance indicator disetiap
objektif yang ingin dicapai.
64
Lihat “Jalan tengah CSR”, Bisnis Indonesia”, Rabu, 18 Juli 2007.
79
3. Sudah saatnya tanggung jawab sosial perusahaan dikelola oleh suatu divisi
tersendiri secara professional sehingga pertanggungjawaban terhadap
manajemen dan stakeholder dapat transparan dan terukur kinerjanya. Divisi
ini diberikan otoritas untuk dapat memutuskan secara cepat dan tuntas semua
perkara (isu) yang berhubungan dengan para stakeholder. Divisi ini harus
dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan pemerintah sebagai
regulator, lembaga swadaya masyarakat, asosiasi yang berhubungan, dan
masyarakat sehingga keputusan yang diambil dapat mengakomodir semua
kepentingan. Dalam prakteknya staff dari divisi ini dapat diisi oleh personal
dari berbagai perwakilan yang ada di stakeholder.
4. Idealnya, pemerintah juga harus memiliki department yang berfokus untuk
menagani regulasi tanggung jawab sosial perusahaan sehingga dapat menjadi
mediator dan fasilitator bagi semua pihak yang berkepentingan. Fungsi
lainnya dari department ini adalah sebagai auditor yang memberikan rangking
dalam periode tertentu bagi semua perusahaan sesuai dengan bidang dan
kelasnya, dengan adanya ranking ini memicu perusahaan untuk serius
menangani masalah tanggung jawab sosial perusahaan. Departemen ini harus
juga melibatkan institusi pendidikan dan akademisi untuk menjaga
transparansi dalam proses audit.
5. Pada era teknologi saat ini, peranan teknologi informasi dan komunikasi
(TIK) sudah menjadi keharusan bukan lagi sebagai pendukung perusahaan.
Oleh karena itu, perusahaan dapat memanfaatkan TIK semaksimal mungkin
untuk menciptakan proses yang efisien, efektif, transparan, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Misalkan dengan menggunakan software, internet,
portal, dan teleconference sebagai alat komunikasi dengan stakeholder yang
terintegrasi dengan proses bisnis yang ada dalam perusahaan.
80
BAB XI
PENYELENGGARAAN URUSAN PENANAMAN MODAL
Pasal 25 ayat (4) UU PM menyebutkan bahwa perusahaan penanaman modal
yang akan melakukan kegiatan usaha, wajib memperoleh izin sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan, kecuali
ditentukan lain dalam UU. Ayat (5) menyebutkan izin diperoleh melalui Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP).65
Selanjutnya pada Pasal 26 berbunyi:
(1)
Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu penanam modal dalam
memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai
penanaman modal.
(2)
Pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh lembaga atau instansi
yang
berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau
pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan
perizinan dan nonperizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang
berwenang mengeluarkan perizinan dan non perizinan di provinsi atau
kabupaten/kota.66
Pada Pasal 28 ayat (1) huruf j, disebutkan bahwa Badan Koordinasi Penanaman
Modal mempunyai tugas dan fungsi mengkoordinasi dan melaksanakan pelayanan
terpadu satu pintu.
Penyelenggaraan pelayanan perizinan terpadu satu pintu
adalah kegiatan
penyelenggaraan perizinan dan non perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari
tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat.
65
Pada Pasal 1 ayat (10) disebutkan bahwa PTSP adalah kegiatan penyelenggaraan
suatu perizinan dna non perizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang
dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan yang
proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya
dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.
66
Lihat, “Pelayanan investasi disepakati satu pintu”, Bisnis Indonesia, Senin, 26
Februari 2007, hal. 2.
81
atau dengan kata lain terjadinya pemangkasan tahapan dan prosedur, transparansi
biaya, penyederhanaan persyaratan, pengurangan waktu rata-rata dalam proses
perizinan dan Pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam
kaitannya dengan penyelengaaraan pelayanan.
Pelayanan Terpadu Satu Pintu dimaksudkan untuk mempermudah perizinan
investasi di Indonesia yang selama ini dikenal high cost karena banyaknya korupsi
birokrasi atau pungutan liar. Oleh karena itu, UU PM mencoba menghilangkan atau
mencegah korupsi birokrasi dengan cara menerapkan pelayanan terpadu satu pintu.67
Dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu diharapkan akan mempermudah proses
perizinan yang harus dimiliki dalam pendirian proyek penanaman modal
asing/penanaman modal dalam negeri di Indonesia. Pelayanan Terpadu Satu Pintu
akan menghadapi masalah koordinasi antar instansi. Sebagai contohnya, investasi di
sektor migas harus melalui tiga pintu, yaitu izin dari Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral, Kepala Badan Pelaksana Kegitan Usaha Migas dan Kementerian
Keuangan (Dirjen Bea Cukai). Ketiga instansi kadangkala terjadi umpang tindih
koordinasi penanaman modal.
Sebetulnya, sebelum lahir Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal, dengan mengacu pada Keputusan Presiden No.29 Tahun 2004
dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.24 Tahun 2006. Beberapa daerah telah
menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yaitu Kota Padangpanjang,
Kabupaten Serang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Sragen, Kota Yogyakarta,
Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gianyar, Kota Balikpapan dan Kota Makasar.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.24 Tahun 2006 mewajibkan kepada
Bupati atau Walikota untuk melakukan penyederhanaan penyelenggaraan perizinan
67
Lihat Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal. Dasar hukum pelaksanaan pelayanan satu atap sebelumnya diatur dalam Keputusan
Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka
Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan
Satu Atap.
82
melalui pelayanan terpadu satu pintu. Penyederhanaan pelayanan tersebut meliputi
pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan, percepatan waktu proses
penyelesaian, kepastian biaya pelayanan, kejelasan prosedur pelayanan, mengurangi
berkas kelengkapan permohonan perizinan, pembebasan biaya perizinan bagi usaha
kecil, mikro dan menengah, dan akses informasi bagi masyarakat.
Secara teknis, pelayanan terpadu dilakukan dengan pemberian kewenangan
kepada Kepala PPTSP untuk menandatangani perizinan dan non perizinan sebagai
delegasi kewenangan dari Bupati atau Walikota dengan tujuan untuk mempercapat
proses pelayanan.
Selain itu, Pelayanan Terpadu Satu Pintu juga diatur dalam Peraturan
Pemerintah No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pada sub bidang pelayanan penanaman modal telah dilakukan pembagian
antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah mempunyai urusan
mengkaji, merumuskan dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan
terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal.
Pemerintah pusat mempunyai kewenangan melayani dan memfasilitasi
pelayanan modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dan
memiliki tingkat resiko yang tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi.
Pemerintah pusat juga melayani penanaman modal pada bidang industri yang
merupakan prioritas tinggi pada skala nasional dan penanaman modal yang terkait
pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas
provinsi. Selanjutnya, pemerintah pusat juga memiliki kewenangan untuk penanaman
modal yang terkait dengan pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional,
menggunakan modal asing yang berasal dari pemerintah negara lain dan berdasarkan
perjanjian yang dibuat oleh pemerintah.
Selain itu, pemerintah pusat juga mempunyai urusan dalam pemberian izin
usaha kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang menjadi kewenangan
83
pemerintah, melaksanakan pelayananan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian
atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki wewenang
perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan pemerintah.
Sementara itu, pemerintah daerah provinsi mempunyai kewenangan untuk
merumuskan dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu
satu pintu kegiatan penanaman modal yang bersifat lintas kabupaten/kota. Selain itu,
Pemerintah daerah provinsi juga mempunyai urusan dalam hal pemberian izin usaha
kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang menjadi kewenangan provinsi
dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau
pelimpahan kewenangan perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan
provinsi.
Sedangkan, Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk
merumuskan dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu
satu pintu kegiatan penanaman modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.
Selain itu, Pemerintah daerah kabupaten/kota juga mempunyai urusan dalam hal
pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang menjadi
kewenangan kabupaten/kota dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu
berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan kewenangan perizinan dan non perizinan
yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.
Penyusunan Peraturan Presiden tentang pembentukan pelayanan terpadu satu
pintu bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum iklim investasi dan kenyamanan
berusaha, meningkatkan peran pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dalam memberikan pelayanan di bidang penanaman modal dan perizinan;
menyederhanakan proses penanaman modal dan berbagai perizinan lainnya;
mempercepat proses penanaman modal dan pengurusan berbagai perizinan, sehingga
menjadi faktor keunggulan tambahan dalam persaingan global; menurunkan biayabiaya yang terkait dengan perizinan sehingga tidak merugikan daya saing
84
internasional dan memperkuat konsistensi pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang
menyangkut iklim investasi.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, pembentukan pelayanan terpadu satu
pintu, paling tidak harus memenuhi empat prinsip, yaitu; pertama, non diskriminasi,
bahwa unit pelayanan terpadu wajib memberikan perlakuan sama bagi semua
penanam modal atau setiap pihak yang akan mengurus perizinan; kedua, transparansi,
pelayanan terpadu satu pintu wajib memberikan informasi secara jelas setidaktidaknya mengenai persyaratan, proses, jangka waktu, dan biaya pelayanan
penanaman modal dan perizinan lainnya; ketiga, akuntabilitas, bahwa proses
penanaman modal dan proses pengurusan perizinan lainnya harus menciptakan
kepastian tentang pertanggungan jawaban pelaksana kebijakan penanaman modal;
dan; keempat, keadilan yaitu bahwa setiap penanaman modal atau pihak yang
mengurus perizinan dilindungi hak-hak sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pada akhirnya, sistem ini harus dapat mengatasi tantangan-tantangan yang
komplek, antara lain, paradigma yang masih mengedepankan pendekatan kekuasaan.
Paradigma ini harus diubah menjadi paradigma yang mengutamakan pelayanan
publik. Di samping itu, harus diakhiri dualisme misi pengawas atau penegak hukum
dengan misi pelayanan dan harus ditanamkan pemahaman bahwa high cost economy
di tahap investasi akan berimplikasi menghambat minat investasi.
Berkaitan dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di daerah, di setiap Provinsi
harus didorong untuk membentuk Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi
(BKPMP). Begitu juga pada setiap Kabupaten/Kota harus dibentuk Badan Koordinasi
Penanaman Modal Kabupaten/Kota atau Kantor Penanaman Modal Kabupaten/Kota.
Lembaga ini melaksanakan fungsi Pelayanan Terpadu Satu Pintu di daerah. BKPM
melimpahkan pelaksanaan pelayanan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota, sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh BKPM.
Mulai awal tahun 2010, pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan
peraturan baru dalam melayani kebutuhan investor di bidang layanan perizinan dan
85
nonperizinan penanaman modal. Layanan itu meliputi kinerja layanan investasi
melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), penggunaan layanan investasi secara
digital dan online melalui Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara
Elektronik (SPIPISE atau National Single Window for Investment), serta
penyederhanaan dalam birokrasi penanaman modal lainnya.
Penetapan PTSP sesuai dengan amanat Peraturan Presiden No.27 tahun 2009
tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal. Diharapkan
pelayanan penanaman modal bisa dilakukan lebih cepat, mudah, murah yang
dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Sampai sekarang, baru 314 kabupaten dan kota yang telah mendirikan PTSP.
Artinya, masih ada sejumlah daerah yang sampai sekarang belum menerapkan sistem
pelayanan satu atap tersebut. Pelayanan terpadu seperti ini terbukti mampu
memangkas panjangnya birokrasi dan regulasi yang ada. Selama ini masyarakat
kesulitan dengan sistem kepengurusan birokrasi dan relugasi berbelit itu.
Kebijakan sistem PTSP dapat saja sebagai alternatif perbaikan dari Sistem
Pelayanan Satu Atap. Namun demikian, sistem baru ini tidak akan memberikan
perubahan yang diharapkan, jika tidak dapat menunjukan adanya efisien dalam
pelayanan, memiliki standar waktu dan biaya yang jelas, memiliki prosedur
pelayanan yang sederhana, dan mudah diakses oleh yang membutuhkan.
Beranjak dari tujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan PTSP di Bidang
Penanaman Modal sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 27Tahun 2009
tentang PTSP di Bidang Penanaman Modal; pelayanan perizinan dan nonperizinan
yang mudah, cepat, tepat, transparan, dan akuntabel; integrasi data dan pelayanan
perizinan dan nonperizinan; dan keselarasan kebijakan dalam pelayanan penanaman
modal antar sektor di pusat dan antara pusat dengan daerah,kemudahan pelayanan
perizinan dan nonperizinan penanaman modal baik bagi investor dalam negeri dan
investor asing yang membutuhkan pelayanan penanaman modal, maka penggunaan
SPIPISE inidiharapkan dapat memberikan kemudahan pelayanan perizinan dan
86
nonperizinan penanaman modal baik bagi investor dalam negeri dan investor asing
yang membutuhkan pelayanan penanaman modal. Dengan penggunaan SPIPISE ini
pundiharapkan investor dapat mengajukan permohonan perizinan dan non
perizinanmelalui internet dan disisi lain dengan penggunaan sistem ini akan
membantu Pemerintah dalam mengintegrasikan data realisasi penanaman modal di
berbagai daerah di Indonesia secara online []
87
BAB XII
NASIONALISASI TERHADAP PERUSAHAAN ASING
Nasionalisasi mengandung makna pengambilalihan hak kepemilikan penanam
modal. Pada dasarnya substansi tentang nasionalisasi bukan hal baru, karena
substansi ini juga diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA).
Hal yang membedakan adalah nilai kompensasi jika terjadi nasionalisasi.
Menurut UU PMA, jumlah kompensasi didasarkan pada persetujuan kedua belah
pihak, sedangkan menurut UU PM nilai kompensasi berdasarkan harga pasar yaitu
harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai
independen yang ditunjuk oleh para pihak.68 Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa
pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak
kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang.
Ayat (2)
menyebutkan, bahwa dalam hal pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau
pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah
akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar.
Kemudian ayat (3) menjelaskan, jika diantara dua belah pihak tidak tercapai
kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase.
Selanjutnya, penjelasan pasal 7 ayat (3) menyebutkan, bahwa yang dimaksud
dengan “arbitrase” adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan
yang didasarkan pada kesepakatan tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Jika
pemerintah melakukan nasionalisasi dan tidak tercapai kesepakatan mengenai
besarnya ganti rugi dan bagaimana cara pembayarannya, maka sengketa ini akan
dibawa kepada Arbitrase.69
68
Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal.
88
Kemungkinan besar sengketa akan diselesaikan melalui ICSID, karena
Indonesia sudah meratifikasi konvensi International Centre for Settlement of
Investment Disputes (ICSID) dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang
Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai
Penanaman Modal. Di samping itu, Pemerintah Indonesia juga menjadi anggota
Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase
Luar Negeri dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan
Convention on The Recognizition and Enforcement of Arbitral Awards.
Jaminan tidak ada nasionalisasi bagi perusahaan penanam modal asing di
Indonesia sangat penting. Karena, Indonesia pernah dua kali melakukan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing.
Pertama, pemerintah mengambil alih perusahaan-
perusahaan Belanda pada tahun 1958, berkaitan dengan perjuangan mengembalikan
Irian Barat dari pendudukan Belanda. Berkaitan dengan nasionalisasi ini, timbul
gugatan perusahaan tembakau Belanda di Bremen (German), ketika tembakau dari
perkebunan di Deli akan dilelang pada pasar tembakau di Bremen. Kasus ini terkenal
dengan kasus tembakau Bremen. Pokok permasalahannya bermula dari penjualan
tembakau dari bekas perusahaan Belanda yang dinasionalisasi oleh pemerintah
Indonesia. Pemilik perusahaan yang dinasionalisasi tersebut mengklaim tembakau
tersebut sebagai miliknya. Pengadilan Bremen dalam putusannya, antara lain,
menyatakan nasionalisasi yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah hak yang
berdaulat.70 Kedua, pemerintah melakukan pengambilalihan perusahaan-perusahaan
Inggris dan Amerika, pada waktu Indonesia mengadakan konfrontasi dengan
Malaysia. Pada tahun 1962 Indonesia menganggap Amerika dan Inggris sebagai
pendukung utama pembentukan Negara Malaysia, yang oleh pemerintah Soekarno
69
Indonesia dengan undang-undang No. 5 tahun 1968 telah meratifikasi Konvensi
ICSID ini. Konvensi ICSID mengatur tentang penyelesiaian sengketa antara pemerintah dan
Investor Asing berkaitan dengan penanaman Modal.
70
Erman Rajagukguk, Hukum Investasi di Indonesia, Anatomi Undang-Undang
No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas AlAzhar Indonesia, 2007) hal.48.
89
dianggap neo kolonialisme dan neo imperialisme. Politik luar negeri Indonesia pada
waktu itu anti Barat. Amerika dan Inggris dianggap menjadi pendukung utama neo
kolonialisme dan neo imperialisme sehingga Indonesia membuka hubungan erat
dengan Soviet Uni, negara-negara Eropa Timur, Cuba, China, Vietnam Utara dan
Korea Utara.
Dengan adanya ketentuan dalam UU PM dan pengalaman nasionalisasi yang
pernah dilakukan Indonesia, maka pada masa yang akan datang diperkirakan
Indonesia tidak akan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing,
berdasarkan alasan-alasan berikut ini: Pertama, sejak pemerintah Indonesia membuka
diri kepada modal asing dengan lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing yang telah digantikan dengan UUPM, tidak ada indikasi
atau tanda-tanda pemerintah berencana melakukan nasionalisasi. Kedua, keadaan
sosial ekonomi Indonesia masih memiliki besarnya pengangguran dan kerusakan
infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, pembangkit tenaga listrik, penggalian sumbersumber daya alam baru, memerlukan modal asing yang tidak sedikit. Ketiga,
keanggotaan Indonesia dalam organisasi perdagangan internasional dan perjanjian
bilateral mengenai promosi dan perlindungan penanaman modal dengan berbagai
negara, membuat tipis kemungkinan Pemerintah Indonesia
akan melakukan
nasionalisasi perusahaan asing. Selain itu, Indonesia juga telah menandatangani
perjanjian keamanan berinvestasi dengan 60 negara.
Praktik perlindungan investasi berupa jaminan tidak ada nasionalisasi
merupakan praktik internasional. Syarat-syarat untuk melakukan nasionaliasasi yang
berlaku secara internasional sangat ketat, yaitu; harus dilakukan melalui suatu
undang-undang, harus ada kompensasi terhadap perusahaan yang dinasionalisasi
sesuai dengan harga pasar dan nasionalisasi tidak boleh didasarkan pada alasan
politis, tetapi semata-mata alasan ekonomis.71
Kaj Hober, “Investment Arbitration In Eastern Europe: Recent Cases On
Expropriation”, American Review of International Arbitration, Vol.14 (2003) hal.383-384.
71
90
Vietnam perlindungan investasi diatur dalam Investment Law 2004 yang
menyebutkan tidak ada tindakan nasionalisasi, kecuali dalam kondisi tertentu dan
untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara.72 Thailand memberikan jaminan
dan perlindungan investasi diatur dalam Investment Promotion Act. Negara tidak
akan melakukan nasionalisasi terhadap kegiatan usaha individual/perusahaan yang
telah menerima sertifikat berdasarkan Investment Promotion Act.73
Sementara itu, pemerintah Malaysia juga menjamin tidak ada nasionalisasi
atau pengambialihan. Apabila hal tersebut harus dilakukan, pemerintah akan memberi
ganti rugi yang memadai.74 Cina juga memberikan jaminan tidak akan
menasionalisasi perusahaan asing.75
72
Lihat, Law on Investment No.59-2005
73
Lihat, The Investment Promotion Act of 1997.
74
Lihat, Promotion of Investment Act 1996, diamandemen 1997.
75
Lihat, Equity Joint Venture Law (EJV Law), 1979.
91
BAB XIII
MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA
PENANAMAN MODAL
Pasal 32 ayat (1) UU PM menyebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa di
bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanam modal, para pihak
terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.
Selanjutnya, ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut
dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau
pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, ayat (3) pasal ini menyebutkan bahwa, dalam hal terjadi sengketa
di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanaman modal dalam
negeri, para pihak dapat menyelesiakan sengketa tersebut melalui arbitrase
berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase
tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.
Ayat (4) mengatur dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal
antara pemerintah dengan penanaman modal asing, para pihak akan menyelesaikan
sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para
pihak.
Ketentuan ini pada dasarnya bukan merupakan substansi baru, karena pada
Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing juga diatur
tentang mekanisme arbitrase dalam penyelesaian ketidaksepakatan mengenai jumlah,
macam dan cara pembayaran kompensasi tersebut.76 Pasal 22 ayat (2) menyebutkan,
bahwa jikalau antara kedua belah pihak tidak tercapai persetujuan mengenai jumlah,
macam dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase
yang putusannya mengikat kedua belah pihak.
76
Lihat Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing.
92
Sebagai tindak lanjut UU PMA, Indonesia meratifikasi konvensi ICSID atau
International Centre for Settlement of Investment Disputes dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga
Negara Asing Mengenai Penanaman Modal.
Indonesia
menjadi
anggota
konvensi
ini
untuk
meyakinkan
dunia
internasional, bahwa bila terjadi sengketa dengan Pemerintah Indonesia mengenai
penanaman modal, kasus tersebut tidak harus diselesaikan lewat pengadilan di
Indonesia yang oleh penanam modal asing dapat dinilai akan bersifat subjektif atau
tidak obyektif.
Walaupun Indonesia menjadi anggota konvensi ini, tidak serta merta semua
sengketa penanaman modal antara penanam modal asing dengan Pemerintah
Indonesia diselesaikan melalui ICSID karena harus ada kesepakatan antara para pihak
yang bersengketa secara tertulis bahwa mereka sepakat akan menyelesaikan sengketa
melalui ICSID tersebut.
Selanjutnya, Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981
tentang Pengesahan Convention on The Recognizition and Enforcement of Arbitral
Awards, menjadi anggota Konvensi New York 1958 tentang pengakuan dan
pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri.
Namun demikian, keikutsertaan tersebut tidak menjadikan Indonesia serta
merta melaksanakan keputusan arbitrase luar negeri. Hal ini sesuai dengan Konvensi
New York yang menyatakan bahwa negara peserta dapat menolak pelaksanaan
arbitrase luar negeri apabila perjanjian pokok yang berisi penyelesaian sengketa
arbitrase tersebut bertentangan dengan undang-undang nasionalnya atau public policy
negara tersebut.
Sampai saat ini, setidak-tidaknya ada lima kasus yang penyelesainnya dibawa
ke arbitrase luar negeri.
Pertama, Bakrie Brothers vs. Trading Corporation of Pakistan.
93
Perkara ini terdaftar di Mahkamah Agung No.4231K/PDT/1986. Putusan
Mahkamah Agung RI memperkuat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan
Pengadilan Tinggi Jakarta yang menolak pelaksanaan keputusan arbitrase London
dengan alasan bahwa Bakrie Brothers tidak cukup didengar di dalam proses arbitrase
dan Bakrie Brothers telah membayar performance bond.
Kedua, Yani Heriyanto vs. E.D & F Man Sugar.
Perkara ini
ditangani
oleh
Mahkamah Agung RI, dengan
nomor
1205K/PDT/1990. Putusan Mahkamah Agung menolak melaksanakan putusan
arbitrase London dengan alasan perjanjian pokok yang memuat klausula pokok
administrasi tersebut bertentangan dengan public policy Indonesia karena perjanjian
tersebut tidak sah atau melanggar peraturan perundang-undangan. Pada waktu itu
berdasarkan Keppres Nomor 33 tahun 1971, tanggal 14 Juli 1971 hanya Bulog yang
boleh melakukan impor gula. Artinya pihak swasta tidak boleh melakukan impor gula
seperti yang diperjanjikan antara Yani Heriyanto dengan E.D & F Man sugar suatu
perusahaan Inggris.
Ketiga, Kalimantan Timur Coal (KPC) vs. Pemprov Kalimantan Timur
Penyelesaian sengketa melalui ICSID juga dipergunakan untuk perkara antara
Kalimantan Timur Coal (KPC) vs. Pemerintah Provinsi Kaltim. Dalam perkara ini,
ICSID mengabulkan permohonan Pemprov Kaltim. Gugatan ini terjadi di tengah
proses seleksi atas enam calon pembeli saham KPC dan Arutmin Indonesia yang
diduga mengganggu jalannya proses divestasi yang dilakukan oleh induk
perusahaannya, PT.Bumi Resources Tbk.
Persetujuan pengajuan arbitrase internasional yang diajukan oleh Pemprov
Kaltim itu disampaikan melalui surat dari ICSID dengan nomor kasus ARB/07/3
yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderalnya Ana Palacio, pada 18 Januari 2007.
Persetujuan itu merupakan jawaban atas permohonan Pemprov Kaltim, pada 5 April
94
2006 kepada ICSID yang berkedudukan di Washington DC untuk menggugat KPC,
Kalimantan Coal Limited, BP International Limited, dan Sanggata Kolding Ltd.77
Keempat, Karaha Bodas vs. Pertamina.
Sengketa ini bermula dari adanya Kontrak Operasi Bersama (Joint
Operatioan Contract) dimana Karaha Bodas Company, suatu perusahaan yang
didirikan di Cayman Islands, diberikan kuasa untuk mengembangkan proyek
Geotremal Karaha Bodas di Jawa Barat. Karena krisis ekonomi, dengan Keputusan
Presiden No.5 Tahun 1998, proyek tersebut ditunda. Penundaan proyek inilah yang
kemudian dijadikan dasar Karaha Bodas mengajukan masalah tersebut ke badan
arbitrase.
Pada 18 Desember 2000, Dewan Arbitrase di Jenewa memenangkan Karaha
Bodas dan mewajibkan Pertamina membayar ganti kerugian US$ 2666,166,654
berikut bunga 4% setahun.
Selanjutnya, Pertamina mengajukan permohonan pembatalan putusan
Arbitrase Jenewa tersebut kepada Pengadilan Negeri. Tanggal 27 Agustus 2002,
Pengadilan Negeri mengabulkan tuntutan Pertamina. Namun demikian, keputusan
tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung, dengan pertimbangan bahwa, pengadilan
yang berwenang membatalkan putusan arbitrase adalah pengadilan di tempat mana
putusan tersebut diambil.
Kelima, Pemerintah Indonesia vs Cemex
Sengketa antara pemerintah Indonesia dan Cemex, suatu perusahaan semen
Mexico adalah berkaitan dengan PT. Semen Gresik. Perselisihan ini terjadi karena,
pertama, Semen Padang dan Semen Tonasa ingin melepaskan diri dari PT. Semen
Gresik, dengan alasan agar dapat lebih berkembang. PT. Semen Gresik keberatan
77
Erman Rajagukguk, ibid, hal.113.
95
dengan rencana ini, karena pemisahan tersebut menyangkut pemilikan saham kedua
perusahaan tersebut oleh PT. Semen Gresik.
Kedua, gugatan Cemex untuk membeli sebagian saham Pemerintah dalam
PT.Semen Gresik. Menurut Cemex berdasarkan hak opsi dalam Perjanjian Jual Beli
Saham, tahun 1998.
Untuk menyelesaikan sengketa ini, Cemex mengajukan ke Arbitrase ICSID,
10 Desember 2003[]
BAB XIV
SANKSI BAGI PENANAM MODAL
Sanksi bagi penanam modal diatur pada Pasal 33 ayat (1) dalam UU PM, yang
berbunyi: Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan
penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat perjanjian
dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan
terbatas untuk dan atas nama orang lain.78
Ayat (2) menyebutkan bahwa, dalam hal penanam modal dalam negeri dan
penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi
hukum.
Selanjutnya, ayat (3) menyebutkan bahwa, dalam hal penanam modal yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan
78
Lihat Penjelasan Pasal 33 ayat (1) UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal. Tujuan pengaturan ayat ini adalah menghindari terjadinya perseroan yang secara
normatif dimiliki seseorang, tetapi secara materi atau substansi pemilik perseroan tersebut
adalah orang lain.
96
pemerintah melakukan kejahatan korporasi berupa tindak pidana perpajakan,79
penggelembungan biaya pemulihan,80 dan bentuk penggelembungan biaya lainnya
untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara berdasarkan
temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang dan telah mendapat
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhiri perjanjian
atau kontrak kerja sama dengan penanam modal yang bersangkutan.
Sementara itu, Pasal 34 menyebutkan bentuk sanksi, yaitu peringatan tertulis,
pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan atau fasilitas penanaman
modal atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
Ketentuan tentang sanksi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal merupakan ketentuan yang baru, karena baik dalam
Undang-Undang Penanaman Modal Asing maupun Undang-Undang Penanaman
Modal Dalam Negeri, masalah sanksi tidak diatur[]
79
Pada Penjelasan ayat (3) Pasal 33 Undang-Undang No.25 Tahun 2007 disebutkan;
Yang dimaksud dengan ”tindak pidana perpajakan” adalah informasi yang tidak benar
mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan menyampaikan surat
pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan
keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara dan
kejahatan lain yang diatur dalam undang-undang yang mengatur perpajakan.
80
Pada Penjelasan ayat (3) Pasal 33 Undang-Undang No.25 Tahun 2007 disebutkan:
Yang dimaksud dengan ”penggelembungan biaya pemulihan” adalah biaya yang dikeluarkan
di muka oleh penanam modal yang jumlahnya tidak wajar dan kemudian diperhitungkan
sebagai biaya pengeluaran kegiatan penanaman modal pada saat penentuan bagi hasil dengan
Pemerintah.
97
BAB XV
KAWASAN EKONOMI KHUSUS
UNTUK MENINGKATKAN PENANAMAN MODAL
Peraturan perundang-undangan yang juga mengatur tentang KEK adalah UU
PM. Pasal 31 UU PM mentebutkan bahwa pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus
akan diatur dalam Undang-Undang tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2009
Tentang Kawasan Ekonomi Khusus , KEK merupakan kawasan dengan batas
tertentu dalam wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia
yang
ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas
tertentu. Fungsi KEK adalah untuk melakukan dan mengembangkan usaha di
bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi, maritim
dan perikanan, pos dan telekomunikasi, pariwisata , dan bidang lain.
Kriteria yang harus dipenuhi agar suatu daerah dapat ditetapkan sebagai
KEK adalah sesuai dengan Rencana
mengganggu
kawasan
lindung,
Tata
Ruang Wilayah, tidak berpotensi
didukung pemerintah provinsi/kabupaten/kota
dalam pengelolaan KEK, terletak pada posisi yang strategis, mempunyai potensi
sumber
daya
unggulan
di
bidang kelautan dan perikanan, perkebunan,
pertambangan dan pariwisata , serta mempunyai batas yang jelas.
Sesuai
dengan
kriteria
tersebut,pemerintah
memutuskan
hanya
memprioritaskan pembentukan lima KEK dari 48 daerah kabupaten/kota yang
mengajukan usulan. Lima kawasan KEK tersebut diharapkan sudah dapat dibentuk
98
sampai dengan 2014. Lima Kawasan tersebut akan masuk dalam lima koridor yang
sebelumnya telah ditetapkan. Lima koridor tersebut Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua. Masing-masing KEK akan memiliki fokus sektor Industri yang
berbeda-beda. Sementara di masing-masing KEK akan didirkan klaster-klaster
tersendiri. Misalkan ditetapkan klaster sawit, ya maka itu sawit dan rumpunnya,
untuk KEK yang berada di Jawa, maka fokusnya bisa ke arah sektor industri
manufaktur. Kemudian Sumatra bisa masuk untuk industri oilchemical dan yang
berbasis mineral. Papua bisa untuk sektor energi dan pangan. Di sulawesi, DonggiSenoro yang bisa menjadi kawasan khusus untuk bangun pabrik pupuk ataupun
Industri methanol.
Salah satu daerah yang sudah ditetapkan untuk terus dikembangkan sebagai
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sehingga dapat dikatakan pioner Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) adalah Pulau Batam.
Pulau Batam merupakan salah satu daerah industri dan perdagangan di
Provinsi Kepulauan Riau yang telah melakukan kegiatan pembangunan ekonomi
dengan pesat.81 Selama 30 tahun Batam telah berkembang dengan pesat sebagai
kawasan industri dengan status Bonded Zone yang kemudian ingin ditingkatkan
menjadi Free Trade Zone.82 Letak geografisnya yang sangat strategis di Selat Malaka
dan sangat berdekatan dengan Singapura memungkinkannya mempunyai prospek
yang sangat baik sebagai kawasan perdagangan bebas.
Pengembangan Batam sebagai kawasan bebas tidak terlepas dari hasil
kesepakatan Indonesia, Singapura dan Malaysia tahun 1990 ketika membentuk
81
Pulau Batam memiliki luas 415 km2 merupakan bagian dari wilayah kepulaun Riau.
Lokasinya sangat strategis, sebelah utara berbatasan dengan Singapura, sebelah selatan berbatasan
dengan Kecamatan Moro, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Karimun dan sebelah timur
dengan Kecamatan Bintan Utara dan Bintan Selatan. Jarak dengan Singapura hanya 12,5 mil laut dan
dapat ditempuh melalui jalur laut dan udara.
82
Keputusan Presiden No.41 Tahun 1978, tanggal 24 November 1978 menetapkan seluruh
Pulau Batam sebagai Bonded Warehouse berdasarkan Peraturan Pemerintah tanggal 19 Juni 1992
mengubah status Pulau Batam dari Bonded Ware house menjadi Bonded Zone. Bonded Zone
merupakan salah satu bentuk SEZ.
99
segitiga pertumbuhan yang melibatkan
Riau, Singapura dan Malaysia (Sijori).
Tujuannya adalah untuk meningkatkan daya saing masing-masing kawasan dan untuk
memajukan ekspor perdagangan di pasar dunia.83 Keputusan Presiden No.74/1971
yang diperbaharui dengan Keputusan Presiden
No.41/1973, menetapkan Batam
sebagai daerah khusus industri yang dikendalikan langsung oleh pemerintah pusat,
yaitu dengan dibentuknya Badan Otorita Batam (BOB) sebagai pengelola kawasan
industri. Pembentukan BOB dan penetapan Batam sebagai kawasan industri pada
tahun 1971, mempunyai dasar pertimbangan strategi nasional dan internasional, di
mana pemerintah Republik Indonesia berkeinginan untuk melakukan pembangunan
dan pengembangan ekonomi skala internasional di wilayah Batam dan sekitarnya.
Langkah ini diambil dalam rangka mengantisipasi perkembangan serta hubungan
dengan negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.
Keberhasilan Kawasan Perdagangan Bebas Batam selama 30 tahun, telah
mendorong Indonesia untuk mengembangkan kawasan SEZ. Mengacu pada UndangUndang No.36 Tahun 2000 tentang Penetapan Perpu No.1 Tahun 2000 sebagai
Undang-Undang tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas,
seharusnya suatu kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas ditetapkan
melalui undang-undang.
Namun demikian, Pemerintah kemudian menerbitkan Perpu No.1 tahun 2007
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 Tentang Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Perpu No.1 Tahun 2007, yang kemudian
oleh DPR RI ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tanggal 2
November 2007. Berdasarkan Undang-Undang ini, pengembangan perdagangan dan
pelabuhan bebas ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Selain Batam, Indonesia juga mengembangkan kawasan Pulau Sabang
sebagai perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Pemerintah bersama DPR-RI telah
83
Mya Than, The Experience of Growth Zones in South-East Asia : Indonesia-MalaysiaSingapura”, Asia-Pasific Development Journal, Vol.7, No.1 Juni 2000,hal.4.
100
mengeluarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Pulau Sabang. Kendatipun sudah
ditetapkan regulasinya, kawasan Pulau Sabang dinilai lamban perkembangannya. Hal
ini disebabkan adanya kendala dalam implementasinya dan tidak terwujudnya
kepastian hukum. Di samping itu, kondisi perekonomian negara secara menyeluruh
ikut mempengaruhi minat investor untuk berinvestasi di Pulau Sabang. Masalah
keamanan di Aceh juga menjadi kendala bagi pengembangan Pulau Sabang. Namun
demikian, adanya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Pulau Sabang, merupakan satu
kebijakan regulasi yang dapat memberikan kepastian hukum. Tugas pemerintah
selanjutnya adalah melakukan promosi yang sungguh-sungguh menjamin keamanan
dalam negeri, khususnya di Aceh (pasca MOU antara Pemerintah dengan GAM),
serta menjamin kepastian hukum dalam berinvestasi sesuai dengan Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2000 tersebut.
Berbeda halnya dengan pengaturan Pulau Batam sebagai kawasan
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (FTZ-FP). Pembahasan RUU tentang
Penetapan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam tidak sempat
dirampungkan oleh DPR-RI periode 1999-2004, dan sampai saat ini DPR-RI maupun
pemerintah belum mengagendakan pembahasan kembali RUU tersebut dalam
Prolegnas, namun Batam sebagai FTZ-FP sudah berkembang pesat melalui kebijakan
regulasi lainnya.
Sebagai perbandingan, dalam penyelenggaraan KEK perlu diperhatikan
penyelenggaraan kawasan ekonomi khusus di negara lain. Misalnya, Cina telah
memulai membentuk KEK sejak tahun 1979 di Zhuhai, Shantao dan Shenzen di
Provinsi Guangdong dan Zianen di Provinsi Fujian. Pada kawasan ini, pemerintah
setempat
diizinkan
untuk
mengambil
langkah-langkah
untuk
mendorong
pengembangan ekonomi tanpa perlu persetujuan. Selain itu, kepemilikan swasta dan
investasi asing disahkan di kawasan-kawasan ini. Pembangunan KEK ini membawa
101
pengaruh yang signifikan dalam pertumbuhan investasi di Cina. Dalam membuka diri
ke dunia luar, Cina telah membangun berbagai jenis daerah ekonomi khusus meliputi
sebagai berikut : Special Economic Zones di Shenzen, Zhuhai, Xian-Men, Shantou,
Hainan dan Pudong di Shanghai, Kota pelabuhan pantai di 14 kota, 49 State-level
Economic and Technological Development Areas di 31 provinsi, 53 State-Level High
and New Technological Industrial Areas di 31 provinsi.
China bisa dikatakan sebagai negara yang paling sukses memikat investasi
asing dengan KEK. Pada Juli 1979, China melansir kebijakan membentuk kawasan
ekspor khusus di Zhuhai, Shantou, dan Shenzhen di Provinsi Guangdong serta
Xiamen di Provinsi Fujian. Mei 1980, zona kawasan ini diganti namanya menjadi
KEK. Pada April 1988, Hainan yang sebelumnya bagian dari Provinsi Guangdong
dimekarkan menjadi provinsi sendiri, dimasukkan ke KEK.
Selanjutnya pada tahun 1984, 14 kota pantai terbuka terhadap dunia luar.
Kota-kota terbukani tidak diberi status sebagai KEK. Kegiatan dunia usaha
dipusatkan pertama-tama di KEK dan kemudian di kota-kota terbuka. Di kawasankawasan tersebut, pemerintah setempat (pemda) diizinkan untuk mengambil langkahlangkah untuk mendorong pengembangan ekonomi tanpa perlu persetujuan dari
pemerintah pusat. Selain itu, kepemilikan swasta dan investasi asing disahkan di
kawasan-kawasan ini. KEK dan kota-kota terbuka ini secara efektif menjadi
laboratorium bagi investasi asing dan campuran (modal ventura).
Setelah membuat KEK, China membuka 54 kawasan pengembangan ekonomi
dan teknologi tingkat nasional serta kawasan industri yang menikmati kebijakan
khusus. Dari jumlah itu, 27 kawasan berada di kota dan provinsi di sepanjang pantai
timur China, sembilan kawasan berlokasi di daerah tengah, dan 13 lainnya di daerah
barat China.
Di samping itu, terdapat lima kawasan industri yang menikmati kebijakan
khusus tingkat nasional, yaitu Kawasan Pengolahan Ekspor Jinqiao (Shanghai),
Kawasan Pengolahan Ekspor Haichang (Xiamen, Provinsi Fujian), Kawasan
102
Pengembangan Daxie (Ningbo, Provinsi Zhejiang), dan Kawasan Pengembangan
Ekonomi Yangpu (Provinsi Hainan), dan Taman Industri Suzhou (Provinsi Jiangsu).
Kebijakan pembangunan kawasan-kawasan ekonomi khusus tentunya
ditopang juga oleh stabilitas sosial-politik dan kebijakan-kebijakan lainnya (fiskal
dan moneter) yang membuat iklim investasi China tidak hanya kondusif, tetapi
unggul bila dibanding negara-negara pesaing.
Selain itu, pemerintah China tak ketinggalan membangun infrastruktur yang
memadai. Sebab mereka menyadari seberapa hebat apapun potensi ekonomi suatu
wilayah, bila tidak ditunjung infrastruktur yang memadai tidak akan dilirik investor []
103
DAFTAR KEPUSTAKAAN
A. BUKU
Aminuddin, Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia. Ujung Pandang; Lephas,
1990.
Anaroga, Pandji, Perusahaan Multi Nasional, Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1985.
Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Penerbit Alumni,
1994.
Barton, John H & Fisher, Bart S. International Trade and Investment, Regulating
International Business. Toronto : Little, Brown and Company, 1986.
Baum, Warren C., Investasi Dalam Pembangunan: Pelajaran dari Pengalaman Bank
Dunia. Jakarta : UI Press, 1988.
Brittan, Sir Leon “Building on the Singapore Minesterial: Trade, Investment and
Competition,” Berlin, New York: Springer, 1998.
Beeson, Mark, Competing Capitalism : Australia, Japan and Economic Cooperation
in Asia-Pasific, Lonon : Macmillan,1999.
Booth, Anne dan McCawley, Peter, The Indonesian Economy During The Soeharto
Era. Malaysia : Oxford University Press, 1981.
104
Bowie, Alasdair and Unger, Danny. The Politics of Open Economies : Indonesia,
Malaysia, the Philippines and Thailand. Cambridge : United Kingdom
at the University Press. 1997.
Bresnan, John. Managing Indonesia : The Modern Political Economy. New York :
Columbia University Press. 1993
Brahm Laurence, Foreign Investment and Trade Law Investment, California:
University Press, 2000.
Cross, Frank B” Law and Economic Growth”, Texas Review, Vol.80 (2002).
Campbell, Dennis, International Business Transactions, Commentary, Forms and
Documents, including World-Processing Software, Netherlands: Kluwer
Law and Taxation Publisers, 1988.
Caporaso, James A.Theories of Political Economy. Cambridge : Cambridge
University Press,1992.
Caves, Richard. Multinational Enterprise and Economic Analysis. Cambridge :
University Press Cambridge. 1982.
Chilcote, Ronald H. Theories of Development and Underdevelopment. Colorado :
Westview Press, 1984.
Cribb, Robert, Indonesia Beyond Soeharto : Polity, Economy, Transition, New York,
London : M.E.Sharpe,1998.
105
Darmanto Latip, Yansen. Pilihan Hukum dan Pilihan Forum. Jakarta : UI Press,
2002.
Darto, Mariman. Investasi Antara Pertumbuhan dan Keadilan. Jakarta : The ARC,
2003.
Deyo, Frederick C. Dependent Development and Industrial Order, New York :
Praeger Publishers,1981.
Dobson, Wendy. Japan in East Asia : Trading and Investment Strategies, Singapore:
ISEAS,1993.
Edi Swasono, Sri. Ekspose Ekonomika Globalissme dan Kompetensi Sarjana
Ekonomi. Yogyakarta : Pustep UGM,2003.
Evans, Peter. Dependent Development : The Alliance of Multinational State, and
Capital in Barzil. New Jersey : Pricenton University Press.
Friedman, Lawrence M. American Law An Introduction. New York, London :
W.W.Norton & Company, 1984.
Fuady, Munir. Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek. Bandung: Citra Adiyta
Bhakti, 1986.
G. Wolgang.Friedman and George Kalmanoff. Joint International Ventures. New
York.1961.
106
Giddens, Anthony, The Consequence of Modernity, Cambridge : Cambridge
University Press,1990.
Gilpin, Robert. Global Political Economy: Understanding the International
Economic Order, Pricenton and Oxford : Pricenton University Press,
2001.
Hadi, Syamsul, Strategi Pembangunan Mahathir & Soeharto, Politik Industrialisasi
dan Modal Jepang di Malaysia dan Indonesia,Jakarta: Japan Foundation,
2005.
Hadiz, Vedi and Ian Chalmers (ed), The Politics of Economic Development in
Indonesia:
Contending
Perspectives.
London
and
New
York
:
Routledge,1997.
Haggard, Stephan, Pathways from the Periphery : the Politics of Growth in the Newly
Industrializing Countries, Ithaca and London : Cornell University Press,1990.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1962.
Hartono, C.F.G Sunaryati.(1)
Masalah-Masalah Dalam Joint Ventures Antara
Modal Asing dan Modal I ndonesia. Bandung : Alumni 1974.
______________________.
(2)
Beberapa
Masalah
Transnasional
Penanaman Modal Asing di Indonesia. Bandung : Binacipta,1979.
Hewitt, John, Joint Ventures.London : FT Law & Tax,1997.
107
Dalam
Hewison, Kevin, Richard Robison, and Garry Rodan (ed), South-east Asia in 1990s :
Autroritarinism, Democracy and Capitalisme, Sidney : Allen & Unwin.
Hill, Hal. (1) Industrialisasi di Indonesia : Indonesia’s Industrial Transformation.
Singapore : Institute of Southeast Asean Studies, 1977.
___________.(2) Investasi Asing dan Industrialisasi di Indonesia. Jakarta : LP3ES,
1990.
___________. (3) Foreign Investment and Industrialization in Indonesia. Singapore
: Oxford University Press,1988.
___________. (4) The Indonesian Economy in Crisis. Singapore : Institut of South
East Asian Studies, 1999.
___________. (5) Ekonomi Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Himawan, Charles. The Foreign Investment Proces of Law in Indonesia. Jakarta Singapore : Gunung Agung, 1980.
Houtte, Hans Van. The Law of International Trade. London : Sweet&Maxwell, 1995.
Hudson. Alastair. The Law on Investment Entities. London : Sweet&Maxwell, 2000.
JICA, JICA in Indonesian : Review of Our Program in 1999, Tokyo : 2000.
108
Juwana, Hikmahanto. Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional.
Jakarta : Lentera Hati, 2002.
___________. “Putusan Hakim dan Iklim Investasi”. Forum Keadilan : No.34,22
Desember 2002.
Jean Raymond Homere,” Intelectual Property Rights Can Help Stimulate The
Economic Development Of Least Developed Countries”,Columbia Journal of
Law & the Arts, Vol. 27 (2004).
Kahin, George Mc.Turnan. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca : Cornell
University Press, 1952.
Kahin, Audrey R. dan George McT.Kahin. Subversi sebagai Politik Luar Negeri,
Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia, Jakarta : Pustaka Utama
Grafiti, 1997.
Kanumoyoso, Bondan, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Jakarta :
Sinar Harapan, 2001
Krane, George T, and Abla Amawi (ed), The Theoritical Evolution of International
Political Economy: a Reader, New York, Oxford University Press,1997.
Low, Linda Asean Economic Co-operation and Challenges (Singapore : ISEAS
Publications, 2004).
109
Lane, Jan-Erik and Svante Ersson, Ekonomi Politik Komparatif (Comparative
Political Economy). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1990
Lall, Sandjaja. Foreign Private Manufacturing Investment and Multinational
Corporations. New York : Preager, 1975.
Lev.Daniel S, Hukum Dan Politik Di Indonesia. Jakarta : LP3ES,1990.
Lindbeck, Assar, The Political Economy of The Left : An Outsider’s View. New York:
Harper & Row, 1977.
Lindert, Peter H., Ekonomi Internasional, Jakarta : Bumi Aksara, 1994.
Lubis, Todung Mulya, Hukum dan Ekonomi. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1978.
Lubis, Todung Mulya dan Richard, M. Barbun. Peranan Hukum Dalam
Perekonomian di Negara Berkembang. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia, 1986.
Macintyre, Andrew, Business and Politics in Indonesia, Sidney: Allen &
Unwin,1991.
Marans, J.Eugene. et .al.(ed). Manual of Foreign Investment in The United States.
New York : McGraw-Hill,Inc, 1984.
May, Brian, Indonesian Tragedy, Singapura: Routledge and Keegan Paul Ltd, 1978
110
Modelski, George. Transnational Corporations and World Order. San Fransisco,
1979.
Myrdal, Gunnar, The Change of World Proverty, A World Anti-Proverty Program in
Outline. England : Penguin Books, 1970.
Muclinski, Peter, Multinational Enterprise and the Law. Oxford :
Blackwell
Publisher Ltd., 1997.
Munck, Ronaldo, Politics and Dependency in the Third World : the Case of Amerika.
London : Zed Books,1984.
Muhaimin, Yahya A. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru : 1966-1971. Jakarta :
LP3ES, 1989.
_________________. Bisnis dan Politik Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 19501980. Jakarta : LP3ES, 1990
Napitupulu B., Joint Venture di Indonesia. Jakarta : Erlangga,1975.
Nasution, Bismar. Keterbukaan Dalam Pasar Modal. Jakarta : UI Press, 2001.
Nurkese, Ragnar. Causes Effects of Capital Movements, Internationl Movements .
England : Penguin Books, Harmondsworth, 1972.
111
Paauw, Douglas M. From Colonial To Guided Economy dalam Ruth McVey,
Indonesia. New Haven : Yale University Press, 1963
Packenham, Robert. The Dependency Movement : Scholarship and Politics in
Development Studies, Cambridge, London : Harvard University
Press,1992.
Palan, Ronen. Global Political Economy : Contemporary Theories, London and New
York : Routledge,2000.
Panjaitan, Hulman. Hukum Penanaman Modal Asing. Jakarta : Ind-Hill Co, 2003.
Pritchard, Robert. Economic Development, Foreign Investment and the Law. London
: Kluwer Law International, 1996.
Robock Stefan H dan Kenneth Simmonds, International Business and Multinational
Enterprises, (Illionis : Richard D. Irwin, 1989).
Richardson, Benjamin J. “Is East Asia Industrializations Too Quickly? Enviromental
Regulation In Its Special Economic Zones”, UCLA Pacific Basin Law
Journal, Vol.22 (2004).
Robison, Richard. The Rise of Capital. Sydney : Allen & Unwin, 1988.
______________, “Politics and Markets in Indonesia’s Post Oil Era”, dalam : garry
Rodan, Kevin Hewison, and Richard Robison (ed.), The Political
Economy of Southeast Asia : an Introduction, Melbourne : Oxford
University Press.
112
Robinson, Joan, Aspects of Development and Underdevelopment. Cambridge :
Cambridge University Press, 1979.
Rajagukguk, Erman, (1), Hukum Dalam Pembangunan. Jakarta : Ghalia Indonesia,
1982.
_________________, (2) Indonesiasi Saham, Jakarta : Bina Aksara, 1985.
_________________, (3) Hukum Investasi di Indonesia, Peraturan Perundangundangan dan Keputusan Pengadilan, Jakarta : Fakultas Hukum UI, 1996.
_________________,(4).“Peranan Hukum di Indonesia : Menjaga Persatuan Bangsa,
Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, Makalah
disampaikan dalam rangka Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas UI, 2000.
_________________,(5) ”Reformasi Hukum Nasional”, Makalah Disampaikan pada
Seminar Dies Natalis HMI, 1998.
_________________, (6) “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era
Globalisasi : Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia,
Disampaikan Dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam
Bidang Hukum di Fakultas Hukum UI, 1997.
__________________, (7) Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan. Cetakan Pertama .
Jakarta : Chandra Pratama, 2000.
113
_____________________, Hukum Investasi Di Indonesia: Anatomi Undang-Undang
No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Jakarta; Fakultas Hukum
Universitas Al Azhar Indonesia, 2007.
Ray. I.G. Penanaman Modal, Pedoman Prosedur Mendirikan danm Menjalankan
Perusahaan Dalam Rangka PMA dan PMDN. Jakarta : Prandya Paramitra,
2000.
Sadli, Mohammad. “Dificulties of Foreign Investor : A Comment”, Bulltein of
Indonesian Economic Studies, (1970).
___________, “Foreign Investment in Developing Countries : Indonesia”, dalam
P.Drysdale (ed), Direct Foreign Investment in Asia and the Pacific. Canbera :
autralian National University Press.
Senegenberger, Werner (ed). International Labour Standards and Economi
Interdependence. Genewa : ILO Publications, 1994.
Severino, JR. Rodolfo C, Asean Rises to Challlenge, Jakarta : The ASEAN
Secretariat,1999.
Siahaan, Bisuk. Industrialisasi di Indonesia : Sejak Hutang sampai Banting Stir,
Jakarta : Pustaka Data,1996.
114
Soebagjo, Felix O. “Deregulasi, Kepastian Hukum dan Usaha Memantapkan Iklim
Investasi”, Hukum dan Pembangunan, 5 Oktober 1990.
_______________, Hukum Tentang Akuisisi Perusahaan di Indonesia, Jakarta: Pusat
Pengkajian Hukum, 2006.
______________,Pendapat Pada Sidang di Mahkamah Konstitusi, tanggal 20
November 2007.
Soekanto. Winahyo, “Peraturan Pemerintah Daerah Versus Tahun Investasi”. Koran
Tempo, 12 Oktober 2003.
So,Alvin Y. Social Change and Development, Modernization, Dependency, and
Worl-System Teories. California : Sage Publications, Inc.1953.
Surter, John. Indonesianisasi: Politics in Changing Economy, 19401955. Ithaca :
Cornell University, Modern Indonesia Project,1959.
Sumardjono, Maria SW, Puspita Serangkum Aneka Masalah Hukum Agraria,
Yogyakarta: Andi Offset, 1982.
Sumantoro. (1) Aspek-Aspek Pengembangan Dunia Usaha Indonesia. Jakarta :
Binacipta, 1977.
__________. (2) Investment Law, Cooperation in Investment and the Indonesian
Perspectives. Jakarta : Binacipta, 1982.
115
__________. (3) Kerjasama Patungan Dengan Modal Asing. Bandung : Alumni,
1984.
Sunny, Ismail. Tinjauan Dan Pembahasan UUPMA dan Kredit Luar Negeri. Jakarta:
Prandya Paramita,1976.
Suprayitno, Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Penanaman Modal
Asing, Harapan dan Kenyataan, Buletin Legalitas,2002.
Syahputra, Tunggal Iman. Peraturan Perundang-Undangan Penanaman Modal di
Indonesia. Buku I. Jakarta : C.V. Harvarindo, 1997.
______________________.Peraturan Perundang-Undangan Penanaman Modal di
Indonesia. Buku 2. Jakarta: C.V. Harvarindo, 1999.
Soehoed. Bunga Rampai Pembangunan Antara Harapan dan Ancaman Masa Depan.
Jakarta : Puri Fadjar Mandiri dan Fakultas Teknik UI, 2002.
Susanto, Sri Nur Hari, “Penguasaan Daerah Atas Bahan Galian/Pertambangan Dalam
Perspektif Otonomi Daerah” Makalah disampaikan pada Seminar
Nasional Aspek Hukum
Penguasaan Daerah Atas Bahan Galian, di
Fakultas Hukum Undip, 2 Desember 2009.
Stanley D.Metsger, Foreign Investment and International Organization, International
Organization,1966,h.299
Stiglitz, Joseph. Globalization and Its Discontents. London: Penguin Book, 2002.
116
Stelwagon, William M., “Financing Private Energy Projects In The Third World”,
Catholic Lawyer, Vol.37 (1996).
Tambunan, T.H. Tulus. Perekonomian Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2001.
______________. Industrialisasi di Negara Berkembang: Kasus Indonesia, Jakarta :
Ghalia Indonesia,2001.
Thee Kian Wie. Industrialisasi di Indonesia. Jakarta : LP3ES, 1994.
____________. Penanaman Modal Asing Langsung di Indonesia. Jakarta : PMBLIPI, 1996.
____________. “Menyikapi Peranan Modal Jepang di Indonesia” dalam Prisma, Juli
1983.
The Long Road To Reform: An Analysis of Foreign Investment Reform in Vietnam.
Todaro, Michael P. Economic Development in the Third World. New York :
Longman Inc,1987.
Winters, Jeffrey A, Power in Motion : Modal Berpindah, Modal Berkuasa, Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 1999.
117
Wet, Erika de “Labor Standard in Globalization Economy : The inclusion of Social
Change in the GATT/WTO, “Human Rights Quarterly, 17, (1999).
Wei Qi, Cheng, Investing in China, Legal Perspectives, Hongkong: Butterworth,
2003.
Yanagina, Yukio (et.all). Law and Investment in Japan, Cases and Materials. London
: Harvard University Press, 1994.
B. MAJALAH, SURAT KABAR, DAN ARTIKEL
Afrin, Zakia “Foreign Direct Investments and Sustainable Development in The LeastDeveloped Countries”, Annual Survey of International and Comparative Law,
Vol.22 (2004).
Attanasio John B., “Foreword: Verstehen And Dsipute Resolution”, Notre Dame
Law Review, Vol.67 (1992).
Acuff Jenna, L. “The Race To The Bottom: The United States Influence On Mexican
Labor Law Enforcement” San Diego International Law Journal, Vol.5
(2004).
Antony Allot. “The Effectiveness of Law”. Valparaiso University Law review,
Volume 15 (1981).
118
Berg-Schlosser, Siegel and Samuel Huntington, “Political Development and Politcal
Decay,” World Politics (1965).
Bunnag, Jayavath “Law as an Economic Infrastructure’’, Thailand Year Book of
International and Comparative Law, (Bangkok : Faculty of Law Chulolangkorn
University, 1986).
Basri, Faisal H., “Deregulasi Juni 1996”. Jurnal Tahunan Cides No.3. Jakarta :
Pustaka Cidesindo, 1997.
Boreale, Michael “Beachfront Property In Arizona: Loosening Resctrictions On
Foreign Acquisition Of Mexican Real Estate And The Implications For
Arizona Investors”, Arizona Journal Of International and Compartive Law,
Vol.22 (2005).
Berkowitz, Daniel Johannes Moenius, Katharina Pistor, “Legal Institutions and
International Trade Flows” Michigan Journal Of International Law,
Vol.26.
Bars, Russel Lawrence. “Demokrasi dan Pembangunan”. Jurnal Keadilan Vol.1.No.1
(2001).
Been, Vicki Joel C.Beauvais,”The Global Fith Amandement, NAFTA’S Investment
Protections And The Misguided Quest For An International, “Regulatory
Takings”, Doctrine”, New York University Law Review, Vol.78 (2003).
Bata, Anselmus. “Perda Anti Investor” Suara Pembaharuan, 21 Mei 2003.
119
Chang, Ha Joon “Foreign Investment Regulation in Historical Perspective, Lessons
for the Proposed WTO Investment Agreement”, March, 2003.
Chua, Amy “The Profitable and the Powerless: International Accountability of
Multinational Corporations”, American University International Law Review,
Vol.19 (2004).
David M.Trubek, “Toward s Social Theory of Law : An Essay on The Study of Law
and Development”, The Yale Law Journal, Vol.82, No.1, (1972).
Delissa A.Ridgway, The Honorable dan Mariya A Talib,
“Globalization And
Development-Free Trade Aid Investment and The Rule Of Law”, California
Western International Law Journal, Vol.33 (2003).
Eyth, Marcus “The Telmex Saga Continues: Foreign Investors Expectations And
Realizations In The Struggle To Compte In The Mexican Telecomunaications
Market”, Pace International Law Review, Vol.14 (2002).
Fairbranks, Michael & Lindsay, State. “Memilih Kemakmuran : Agenda Untuk
Membangkitkan Pasar”, Jurnal Reformasi Ekonomi.Vol. 2. No.1, 2001.
Franck, Thomas M. “The New Development : Can American Law Legal Institutions
Help Developing Contries”. Winconsin Law Review.No.3 (1972)
Hober, Kaj. “Investment Arbitration In Eastern Europe: Recent Cases On
Expropriation”, American Review of International Arbitration, Vol.14 (2003).
120
Gray, Cherl, “Reformasi Hukum di Negara Sedang Berkembang”, Jurnal Hukum
Bisnis, vol.6 (1999)
Hober, Kaj, “Investment Arbitration In Eastern Europe: Recent Cases On
Expropriation”, American Review of International Arbitration, Vol.14 (2003).
Hill, H. and B. Johns, “The Role of Direct Foreign Investment in Developing East
Asian Countries”. Welwirtschaftliches Archiv, 121 (1985).
Ismail, Tjip. Kebijakan Pengawasan Atas Perda Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. makalah disampaikan dalam Seminar yang diselenggarakan
USAID dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Joel C.Beauvais, Vicki Been, ,”The Global Fith Amandement, NAFTA’S Investment
Protections And The Misguided Quest For An International”, New York
University Law Review, Vol.78 (2003).
Juoro, Umar. “Transformasi”. Jurnal Cides. Jakarta : Pustaka Cidesindo, 1999.
Jurnal Hukum Bisnis, Urgensi Pembaruan Undang-undang Investasi, Volume 22No.5-Tahun 2003.
Jablonski, Scott R. “Foreign Investment Dispute Resolution Does Have A Place In
Trade Agreements In The Americas: A Comparative Look At Chapter 10 of
The United States-Chile Free Trade Agreement”, University Of Miami InterAmerican Law Review, Vol.35 (2004).
121
Kelliat, Makmur. “Perspektif-Perspektif Globalisasi”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, No.5,2001.
Kontan. 5 Januari 2004, “Duit Haram yang Menjadi Obat Penenang Sementara”,
No.13, Tahun VIII.
Lall, Sandjaja Foreign Private Manufacturing Investment and Multinational
Corporations An Annoted Bibliography, (New York : Preager, 1975).
Lothian, Tamara Katharina Pistor, “Local Institutions, Foreign Investment And
Alternative Strategies of Development: Some Views From Practice”,
Columbia Journal of Transnational Law, Vol. 42 (2003).
Mills, Karen “Recent Development In Arbitration and ADR-Indonesia, International
Arbitration Law Review, (2003).
Mikiciuk, Michael, ”Foreign Direct Investment Succes In Ireland: Can Poland
Duplicate Ireland’s Economic Succes Based On Foreign Direct
Mendelson, Wallace. “Law and Development of Nations”. Vol.32 (1970)
Mubyarto, “Investasi”, artikel Kompas, 24 Juli 2002.
Nyhart,D.J.“The Role of Law in Economic Development”, Journal of International
Law and Policy, Vol.9, (1980).
122
Nasution, Bismar,”Implikasi AFTA terhadap Kegiatan Investasi dan Hukum Investasi
Indonesia” Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, Januari-Februari 2003.
Noah Rubins, “The Enforcement and Annulment of International Arbitration
Awwards in Indonesia”, American University International Law Review,
Vol.20 (2005), hal.388-400.
”PMA hengkang dari Sabang”, Bisnis Indonesia, Kamis, 11 Oktober 2001.
”Presiden cemas Banyak PMA Kabur”, Republika, Senin, 29 Oktober 2001.
“Penutupan Pabrik Sony Pengaruhi Investasi Batam”, Media Indonesia,
Sabtu, 30 November 2002.
Ribeiro, George A. “Doing Business in China After Its Accession To The World
Trade Organization”, International Law Practicum, Vol.16 (2003).
Renwald, Jessica Zoe “Foreign Invesment Law in The People’s Republic of China:
What to Expect From Enterprise Establishment to Dispute Resolution”,
Indiana International and Comparative Law Review, Vol.16 (2006).
Rose-Susan-Aeckerman. “Public Policy and Law”, Valvaraiso University Law,
Rubins, Noah “The Enforcement and Annulment of International Arbitration
Awwards in Indonesia”, American University International Law Review,
Vol.20 (2005).
123
Sabater, Anibal. “The Weaknesses of the “Rosatti Doctrine”: Ten Reasons Why
ICSID’S Standing Provisions Do Not Discriminate Againts Local Investors”
American Review of International Arbitration, Vol.15 (2004).
Salgado, Victor. “The Case Againts Adopting Bit Law in The FTAA Framework”
Wisconsin Law Review, Vol.5 (2006).
” Soal Insentif “Tax Holiday” Investor Lebih Butuh Jaminan
Keamanan”, Kompas, Jum’at, 5 Oktober 2001.
“ Seluruh Pelayanan Investasi di BKPM Langgar UU Otonomi
Daerah”, Media Indonesia, 17 April 2004.
Suraputra, Sidik “ICSID dan MIGA : Lembaga Internasional Untuk Meningkatkan
Arus Modal”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 8,1999.
Send, Rahul and Ramkishen S.Rajan, “Liberalisation Of International Trade In
Financial Services In Southeast Asia: Indonesia, Malaysia, Philippines and
Thailand”, Journal of International Financial Markets, Vol.5 (2002.
Swenson, Deborah L “Why Do Developing Countries Sign Bits?”, U.C.Davis
Journal of International Law and Policy, Vol.12 (2005).
”Sebanyak 20 ganjalan Investasi Diselesaikan”,
November 2002.
124
Kompas, 28
Trent, Rebecca “Implications For Foreign Direct Investment In Sub-Saharan Africa
Under The African Growth Opportunity Act”, Northwestern Journal of
International Law and Business, Vol.23 (2002) hal.236.
Vinuesa, Raul Emilio “Bilateral Investment Treaties And The Settlement Of
Investment Disputes Under ICSID: The Latin American Experience”,
Law and Business Review of the Americas, Vol.8 (2002Widjaya
Theberge, Leonard J. “Law and Economic Development,”Journal of International
Law and Policy, Vol.9, (1980).
”Wapres: Jangan Ada Gangguan Keamanan Bagi Investor”, Republika, Sabtu,
29 September 2001.
White III, George O “Foreigners At The Gate : Sweeping Revolutionary Changes On
The Central Kingdom’s Landscape Foreign Direct Investment Regulations &
Dispute Resolution Mechanisms in The People’s Republic Of China”,
Richmond Journal of Global Law and Business, Vol.3 (2001).
W.Cookson II, Charles. “Long Term Direct Investment In Brazil”, University of
Miami-American Law Review, Vol.35 (2004).
Woodhouse, Erik J. “The Obsolescing Bargain Redux? Foreign Investment In The
Electric Power Sector In Developing Countries”, New York University
Journal of International Law and Politics, Vol.38 (2005-2006).
125
Winkler, Matteo M., “Arbitration Without Privity And Russian Oil: The Yukos case
Before The Houston Court”, University of Pennsylvania Journal of
International Economic Law, Vol.27 (2006)
Yackee, Jason Webb. “Are BITS Such A Bright Idea Exploring The Ideational Basis
Of Investment Treaty Enthusiasm” U.C. Davis Journal Of International Law
and Policy, Vol.12 (2005)
Zhou, Jian, “National Treatment in Foreign Investment Law : A Comparative Study
A Chinese Perspective”, Touro International Law Review Spring, 2000.
Rev.39.
Zhang, Jim Jinpeng dan Jung Y.Lowe, “Foreign Investment Companies Limited By
Shares: The Latest Chinese Organizational For Major International Ventures”,
Northwestern Journal of International Law and Business, Vol.21 (2001).
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia, Undang-undang 39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi
Khusus.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal.
126
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 tahun 1970 tentang Perubahan dan
Tambahan Undang-Undang No.1 Tahuan 1967 tentang Penanaman
Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1970 No.46,dan Tambahan
Lembaran. Negara No. 2943).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 tahun 1970 tentang Perubahan dan
Tambahan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara tahun 1970, No.47)
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1968 No. 33)
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor I tahun 1967 tentang Penananam Modal
Asing (L.N. No.1 , 1967. Tambahan L.N. No.2818).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 78 tahun 1958 tentang Penanaman
Modal Asing Asing (LN.1958/138, TLN No.1725).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi
Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda.
Republik Indonesia, Ketetapan MPRS No.1/MPRS/1960 tentang Manifestor Politik
Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Daripada Haluan Negara.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No.17 tahun 1992 tentang Persyaratan
Pemilikan Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing.
127
Republik Indonesia, Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1992 tentang Pemanfaatan
Tanah Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan untuk Usaha Patungan
dalam Rangka PMA.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1993 tentang Perubahan
Peraturan Pemerintah No.17 tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan
Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1993 tentang Perubahan
Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1986 tentang Jangka Waktu Izin
Perusahaan Penanaman Modal Asing.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1994 tentang Pemilikan
Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman
Modal Asing.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1996 tentang Kegiatan
Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka PMA di Bidang Eskpor dan
Impor.
Republik Indonesia, Surat Keputusan Presiden No.171 Tahun 1999 tentang Badan
Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara.
Republik Indonesia, Surat Keputusan Presiden No.121 tentang Perubahan Atas
Keputusan Presiden No.183 Tahun 1998 tentang Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM)
128
Republik Indonesia. Keputusan Presiden RI No.96 Tahun 1998 tentang Daftar Bidang
Usaha yang Tertutup Bagi Penanaman Modal.
Republik Indonesia. Keputusan Presiden RI No.99 Tahun 1998 tentang Bidang/Jenis
Usaha yang Dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Badan/Jenis Usaha
yang Terbuka untuk Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan Syarat
Kemitraan.
Republik Indonesia. Keputusan Menteri Negara/Kepala BKPM No.12/SK/1999
tentang Penyertaan Modal Dalam Perusahaan Induk (Holding).
Republik Indonesia. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003
tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya
Program Kerjasa Dengan International Monetary Fund.
129
Download