1 BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar belakang masalah Paul Budi Kleden menyatakan, “masalah penderitaan adalah persoalan yang menggelisahkan umat manusia sepanjang zaman”.1 Pernyataan tersebut nampaknya sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia sebelum dan setelah berdirinya sebagai Negara, sampai dengan saat ini. Sebelum Indonesia berdiri sebagai Negara, bangsa Indonesia mengalami penderitaan. Penderitaan itu, antara lain karena penindasan dan perlakuan sewenang-wenang bangsa lain: Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Setelah berdiri menjadi Negara, bangsa Indonesia juga mengalami penderitaan. Penderitaan tersebut antara lain disebabkan oleh perlakuan sewenang-wenang para pemimpin bangsa. Berikut ini adalah contoh peristiwaperistiwa yang terjadi di Indonesia sebelum dan sesudah menjadi Negara. Peristiwa yang dialami bangsa Indonesia sebelum berdiri menjadi Negara Indonesia, yang mengakibatkan penderitaan antara lain The Batavian Fury (1740),2 perang Diponegoro (1825-1830), perang puputan di Bali, perang Aceh dan perang Patimura. Banyak orang yang mati karena peristiwa-peristiwa tersebut. Banyak orang kehilangan suami, istri, dan anak yang mereka cintai. Banyak orang dipaksa untuk menuruti kemauan pihak lain, misalnya romusa atau sistem kerja rodi yang dipaksakan oleh pemerintah Jepang. Pengalaman penderitaan yang serupa juga dialami oleh sebagian atau sekelompok warga Negara Indonesia, di Negara Indonesia (negaranya sendiri). Dalam kaitannya dengan hal ini, ada dua contoh yang akan dikemukakan dalam periode reformasi ini (1998-2007), yaitu: pertama, tentang dilema yang dihadapi etnis Tionghoa di Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh Shirley Lie.3 Etnis Tionghoa mengalami dilema karena dianggap sebagai orang asing di Indonesia, negerinya sendiri; senantiasa dicurigai; dan sering dijadikan Paul Budi Kleden, Membongkar Derita; Teodice: Kegelisahan Filsafat dan Teologi, Maumere: Ledalero, 2006, p. v. 2 The Batavian Fury merupakan peristiwa pembantaian massal terhadap etnis Tionghoa di Batavia yang dilakukan oleh VOC (lihat, Shirley Lie, Dilema Etnis Tionghoa di Indonesia, dalam Majalah Basis, No. 05-06, tahun ke-55, Mei-Juni, 2006, p. 14). 1 3 Shirley Lie, Dilema Etnis Tionghoa di Indonesia, dalam Majalah Basis, No. 05-06, tahun ke-55, Mei-Juni, 2006, p. 13-17. 2 kambing hitam dalam masalah-masalah sosial dan politik; sering diperlakukan dengan semena-mena (dibunuh, dirampok, dan diperkosa). Perlakuan yang diterima tersebut, mengakibatkan rasa duka yang mendalam dan mengkondisikan etnis Tionghoa Indonesia berada dalam dilema yang semakin dalam. Pemerintah berjanji untuk melindungi dan memberikan hak-hak kepada etnis Tionghoa Indonesia sebagai warga Negara Indonesia, khususnya penguasa-penguasa setelah Suharto.4 Akan tetapi, pada kenyataannya baik pemerintah ataupun masyarakat Indonesia pada umumnya (etnis bukan-Tionghoa), menurut Shirley, tidak pernah mengakui dan menerima etnis Tionghoa Indonesia sebagai warga Negara yang kedudukannya sama dengan penduduk ”asli”. Kedua, serangkaian peristiwa ledakan bom di malam Natal tahun 2000. Peristiwa itu terjadi ketika umat Kristen sedang merayakan Natal, tepatnya anggal 24 Desember 2000. Bom diledakkan disekitar gereja: di dalam gedung gereja, halaman, ataupun jalan disekitar gereja. Aritonang menyebut, sekurang-kurang ada 15 korban meninggal di samping banyak korban luka-luka dan korban material.5 Banyak pihak yang memberikan kecaman atas tindakan pengeboman tersebut, karena dipandang bahwa pengeboman tersebut merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Tindakan yang menyebabkan penderitaan bagi orang lain. Dalam uraiannya tentang pemikiran M.M. Thomas, A.A. Yewangoe menyebutkan bahwa penderitaan merupakan “sesuatu yang ada diantara masyarakat dalam bentuk kemiskinan, sebagai akibat dari struktur masyarakat yang tidak adil, yang menimbulkan situasi tertindas- penindas.”6 Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peristiwa-peristiwa sebagaimana tersebut di atas merupakan bentuk-bentuk pengalaman penderitaan. Gambaran peristiwa-peristiwa di atas melukiskan pengalaman penderitaan yang disebabkan oleh tindakan sewenang-wenang, penindasan dan ketidak-adilan suatu kelompok terhadap kelompok yang lain. Meskipun demikian, pengalaman penderitaan tidak sematamata disebabkan oleh penindasan, kesewenang-wenangan dan ketidak-adilan. Ada banyak Scn 3, p. 16. Jan S. Aritonang, Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005, p. 564-565. 6 A.A. Yewangoe, Teologia Crusis di Asia: Pandangan-pandangan Orang Kristen Asia mengenai Penderitaan dalam kemiskinan dan Keberagamaan di Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, p. 101. 4 5 3 pengalaman penderitaan yang disebabkan oleh bencana alam, misalnya bencana tsunami yang melanda Aceh dan Nias, gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, banjir, meletusnya gunung merapi; dan sakit penyakit. Dengan kata lain, pengalaman penderitaan dapat disebabkan baik oleh bencana alam, maupun bencana sosial.7 Berbagai reaksi terhadap pengalaman penderitaan muncul. Ada yang melakukan perlawanan secara fisik, yaitu dengan peperangan. Ada yang mengecam pihak-pihak yang mengakibatkan penderitaan (penindas, pembunuh, pelaku perusakan dan perampokan). Ada yang mengungkapkan belasungkawa kepada para penderita. Ada yang memberikan sumbangan-sumbangan berupa dana dan tenaga untuk membangun kembali sarana-sarana fisik (berupa gedung-gedung ibadah atau pun rumah-rumah warga yang rusak akibat gempa dan tsunami) yang telah rusak. Ada juga yang hanya menangis dan terdiam, tidak tahu apa yang harus lakukan untuk mengatasi dukacitanya. Setelah reaksi-reaksi tersebut, jauh kemudian, orang mulai berpikir dan berusaha merangkai peristiwa itu dengan kepercayaannya yang spontan akan kebaikan dan imannya akan Allah.8 A.2. Rumusan permasalahan Upaya manusia untuk memikirkan, merangkai dan menanggapi peristiwa penderitaan telah menghasilkan berbagai konsep penderitaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan konsep tersebut tidak lepas dari pendekatan yang berbeda, di mana masingmasing pendekatan mempunyai argumentasinya sendiri yang sedikit banyak berbeda dengan pendekatan yang lain. Ada yang melihat penderitaan dari segi sosiologi, antropologi, filsafat dan ada juga yang melihat dari segi teologi. Budi Kleden mengatakan bahwa ada tiga kerangka teori yang dapat dijumpai ketika melihat konsep penderitaan dari segi filsafat dan teologi,9 yaitu: pertama, penderitaan dalam kerangka pemikiran tentang keharmonisan. Kerangka ini berusaha untuk mempertanggungAti Hildebrandt Rambe dkk, Teologi Bencana: pergumulan iman dalam Konteks Bencana alam dan bencana sosial, Makasar: Oase Intim, 2006, p. 11-12. Bencana sosial meliputi kerusuhan, konflik sosial dan perang. 8Scn 1, p.1-2. 9Sda, p. 87-194. Di sini Budi Kleden menggunakan ungkapan “kerangka teori teodice”. Penyusun menggunakan ungkapan “kerangka teori penderitaan” sebagai ganti dari ungkapan “kerangka teori teodice” dengan alasan bahwa istilah teodice merupakan istilah yang terkait erat dengan persoalan penderitaan. Teodice yang dimaksud di sini adalah pembelaan Allah: upaya manusia untuk membela Allah terkait dengan keburukan yang terjadi di dunia. Keburukan yang mengakibatkan rasa duka yang mendalam. 7 4 jawabkan Allah di hadapan pengalaman penderitaan yang bertolak dari gagasan tentang keharmonisan, yaitu usaha manusia untuk mempertemukan berbagai pengalaman dan pikiran yang berbeda menjadi satu kesatuan yang harmonis.10 Kedua, penderitaan dalam kerangka teori privatio boni, yaitu penderitaan sebagai kekurangan dari kebaikan. Artinya penderitaan tidak berdiri sendiri, ia hanyalah kekurangan dari kebaikan.11 Ketiga, penderitaan dalam kerangka teori dosa asal. Dalam kerangka ini, penderitaan yang dialami manusia dalam dunia ini merupakan akibat dari perbuatan manusia yang berdosa, dosa yang diwarisi dari pasangan manusia purba (Adam dan Hawa).12 Ketiga kerangka teori itu tidak menghasilkan satu konsep penderitaan saja, tetapi banyak konsep penderitaan (paling sedikit tiga konsep penderitaan). Adanya berbagai macam tanggapan terhadap pengalaman penderitaan yang akhirnya juga menghasilkan berbagai konsep penderitaan mendorong penyusun untuk ikut terlibat dalam diskusi mengenai pokok penderitaan. Bagaimana manusia menanggapi pengalaman penderitaan hidupnya. Sebagai mahasiswa teologia, penyusun berniat untuk memberikan sumbang saran dalam diskusi ini dari perspektif teologis, teologi Kristen. Alasannya adalah bahwa pengalaman penderitaan bukan semata-mata persoalan sosial, akan tetapi juga permasalahan teologis. Drewes dan Mojau mengatakan bahwa Ilmu Teologi terdiri dari empat bidang, yaitu: Biblika, Historika, Sistematika dan Praktika.13 Begitu luas bidang Ilmu Teologia. Namun, penyusun tidak bermaksud untuk menyusuri seluruh bidang yang luas itu. Dalam hal ini, penyusun memilih untuk melihat penderitaan dari bidang Biblika. Sementara itu, bagian dari Alkitab yang menjadi pilihan penyusun untuk dikaji dalam tulisan ini adalah surat 1 Ptr. Jadi, dalam skripsi ini penyusun bermaksud mengemukakan, bagaimana penulis 1 Ptr. menanggapi penderitaan pada zamannya. Berdasarkan realitas penderitaan yang dialami oleh bangsa Indonesia era reformasi (termasuk di dalam gereja) dan kerinduan penyusun untuk memberikan sumbang saran dalam menanggapi penderitaan, maka permasalahan skripsi ini dirumuskan dalam dua rumusan, yaitu: (1) Bagaimanakah argumentasi-argumentasi teologis 1 Ptr. tentang pengalaman penderitaan?; (2) Apa dan bagaimana relevansi dari argumentasi- Scn 1, p. 89. Sda, p. 147. 12 Sda, p. 173-178. 13 B.F. Drewes dan Julianus Mojau, Apa itu Teologi? Pengantar ke dalam Ilmu Teologi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, p.vi. 10 11 5 argumentasi teologis 1 Ptr. tentang pengalaman penderitaan bagi gereja-gereja di Indonesia era reformasi?14 A.3. Batasan masalah dan Tujuan Kajian Melalui rumusan masalah di atas, penyusun bermaksud untuk memberikan batasan dalam skripsi ini sebagai berikut: tulisan ini membatasi diri pada pembahasan 1 Ptr. Meskipun demikian, tidak semua permasalahan dalam 1 Ptr. akan dibahas dalam tulisan ini. Dalam hal ini, penyusun memfokuskan diri pada permasalahan penderitaan, yaitu argumentasi teologis 1 Ptr. tentang pengalaman penderitaan. Yang dimaksud dengan argumentasi teologis adalah upaya-upaya penulis 1 Ptr. untuk menanggapi pengalaman penderitaan. “Menanggapi” meliputi penilaian-penilaian penulis terhadap pengalaman penderitaan dan upaya-upaya untuk mengatasi atau menghadapi pengalaman penderitaan tersebut berdasarkan keyakinan tentang karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus. Ada dua alasan pemilihan surat 1 Ptr. sebagai bahan kajian dalam tulisan ini, yaitu: Pertama, bahwa teks 1 Ptr. mengandung isu-isu sosial, termasuk di dalamnya permasalahan tentang penderitaan yang memungkinkan untuk diteliti lebih jauh. Kedua, permasalahan penderitaan merupakan pokok perhatian 1Petrus. Mengenai pokok permasalahan ini, Peter H. Davids (selanjutnya disebut Davids) mengatakan bahwa perhatian pokok 1 Ptr. adalah permasalahan penderitaan yang dihadapi orang-orang Kristen di Asia Kecil.15 Demikianlah alasan-alasan yang mendorong penyusun untuk membahas argumentasi teologis 1 Ptr. terhadap pengalaman penderitaan. Setelah melihat argumentasi teologi 1 Ptr. mengenai pengalaman penderitaan, selanjutnya penyusun akan mengarahkan diri kepada persoalan gereja-gereja di Indonesia. Maksudnya, melihat relevansi (hubungan, kaitan) dari hasil penafsiran atas argumentasiargumentasi teologis 1 Ptr. tentang pengalaman penderitaan bagi gereja-gereja di Indonesia. Tidak semua persoalan gereja menjadi pokok pembahasan, melainkan pokok persoalan penderitaan saja. 14 Selanjutnya, untuk menunjuk kepada, “gereja-gereja di indonesia era reformasi”, penyusun akan menggunakan iungkapan “gereja-gereja di Indonesia”. 15 Peter H. Davids, The First Epistle of Peter,Grand Rapids: Eerdmans, 1990, p. 23 6 Penyusun mencoba melihat relevansi argumentasi-argumentasi teologis 1 Ptr. bagi gereja-gereja di Indonesia karena persoalan penderitaan bukanlah permasalahan yang dihadapi oleh gereja tertentu saja, misalnya GKJ. Melainkan persoalan yang dihadapi oleh seluruh gereja yang ada di Indonesia, bahkan seluruh umat manusia. “Tulisan ini dimaksudkan sebagai sebuah tawaran untuk mempertimbangkan secara kritis berbagai reaksi spontan16 saat berhadapan dengan penderitaan”.17 Maksudnya, bagaimana menanggapi pengalaman penderitaan, pengalaman penderitaan yang dialami sendiri ataupun pengalaman penderitaan yang dialami orang lain yang disaksikan. Tanggapan yang dimaksud bukan merupakan tanggapan yang umum, tetapi tanggapan yang didasarkan pada pemahaman terhadap teks 1 Ptr., argumentasi teologis 1 Ptr. terhadap pengalaman penderitaan. B. Judul Berdasarkan pada rumusan permasalahan dan batasan masala sebagaimana tersebut di atas, maka penyusun memberi judul skripsi sebagai berikut: “Argumentasi-argumentasi teologis 1 Petrus tentang pengalaman penderitaan dan relevansinya bagi gereja-gereja di Indonesia era reformasi (1998-22007).” C. Metode penulisan Demi tercapainya tujuan penyusunan skripsi ini, penyusun menggunakan metode penulisan deskriptif-analitis. Sementara itu, untuk mengkaji argumentasi-argumentasi teologis 1 Ptr. tentang pengalaman penderitaan, penyusun akan menggunakan pendekatan sosio-retorik sebagai alat bantu. Pemilihan metode pendekatan tersebut didasarkan pada dua alasan, yaitu: pertama, Alkitab merupakan dokumen sosial,18 artinya“ teks Alkitab dimengerti sebagai buah karya para penulis sebagai anggota masyarakat tertentu; masyarakat Reaksi spontan yang dimaksud di sini adalah kegoncangan perasaan yang kemudian disebut rasa duka yang mendalam. Karena rasa duka, kemudian ada orang yang menangis, ada yang menguntai doa, ada yang menatap kosong dan terpekur. Namun ada juga yang secara langsung mencari bantuan dan menyalurkannya kepada para korban yang menderita. Lihat, Budi Kleden, p. 1. 17 Scn 1, p. 13. 18 Meno Soebagjo, Gambaran umum mengenai penggunaan teori-teori sosial dalam studi penafsiran Kitab Suci Ibrani (PL), Jurnal Fakultas Theologia Gema, vol. 30 No. 1, April 2006, p. 32. 16 7 dengan segala dinamikanya; termasuk ideologi-ideologi yang ada dan hidup di dalamnya”.19 Dengan demikian, para penulis Alkitab dan penerima pesannya terlibat dalam realita kehidupan masyarakat. Mereka, penulis dan penerima surat, turut mempengaruhi masyarakat. Selain itu, realita kehidupan mereka juga turut dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan yang ada. Jadi, ada hubungan timbal balik saling mempengaruhi dan dipengaruhi antara penulis dan penerima surat serta lingkungan, masyarakat dimana mereka berada. Berdasarkan pola hubungan timbal balik tersebut, maka ketika menulis gagasannya, penulis teks 1 Ptr. menggunakan bahasa dan cara berpikir yang sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat (dunia sosial penulis). Penulis, juga menggunakan symbol dan tanda-tanda bahasa yang berasal dari lingkungan dimana mereka berada. Karena Alkitab merupakan dokumen sosial yang dalam penulisannya dipengaruhi oleh budaya sosial yang ada, maka kita perlu mengetahui dunia sosial yang menghasilkannya, sehingga “dengan mendalami dunia sosial Alkitab, kita dapat menangkap aktualitas dari teks yang direnungkan. Kedua, Alkitab merupakan media komunikasi20 yang dipilih oleh para penulisnya untuk mengkomunikasikan pesan kepada orang atau kelompok orang tertentu, yaitu pesan yang bersifat pastoral-fungsional dan kontekstual. Artinya, teks Alkitab merupakan suatu jawaban yang sesuai dengan konteks zaman dan permasalahan spesifik yang ada.21 Teks menjawab permasalahan sosial yang terjadi pada waktu itu. Dengan menyaksikan bagaimana teks menjawab permasalahan sosial dalam kerangka atau struktur dunia sosial pada waktu itu, kita juga dapat yakin bahwa orang beriman pada masa kini dapat juga menghubungkan teks Alkitab dari masa lalu dengan struktur dunia sosial yang ada pada masa kini dalam rangka menjawab juga pergumulan sosial di masa kini.”22 Yusak Tridarmanto, “Pendekatan Sosial Dalam Penafsiran Kitab Perjanjian Baru”, Jurnal Fakultas Theologia Gema, vol. 30 No. 1, April 2006, p. 59. 20 Robby I. Chandra, Teologi dan Komunikasi, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1996, p. 15. Di sini Robby I. Chandra mengatakan bahwa untuk mengkomunikasikan suatu pesan kita bisa menggunakan beberapa media, antara lain tulisan, kata-kata lisan, lambang, gambar dan gerak-gerik. Oleh karena itu, Alkitab, sebagai salah satu karya tulis dapat digolongkan sebagai salah satu media komunikasi, yaitu media tulisan. Lihat juga, Ben Witherington III, Conflict and community in Corinth: a socio-rhetorical commentary on 1 and 2 Corinthians, 1995, p. 76-77. 21 M.W. Wiyanto,(Pengantar) Teologi Agama-Agama, tanpa tahun penerbitan, p. 2-3. 22 Emanuel Gerrit Singgih, Memetakan dunia sosial Alkitab: John Gager dan Robert Carroll, Jurnal Fakultas Theologia Gema, vol. 30 No. 1, April 2006, p. 14-15. 19 8 Bagaimana dengan pendekatan Retorik? Pada zaman PB, retorika telah mencapai popularitas yang lumayan tinggi.23 Ben Whiterington III bahkan menyebutkan bahwa pada awal abad pertama M., retorika telah menjadi disiplin ilmu yang utama dalam pendidikan tinggi di wilayah kekaisaran Romawi.24 Lebih lanjut, Witherington mengatakan bahwa ilmu retorika bukan merupakan ilmu yang dimonopoli oleh golongan berada, tetapi juga telah dikenal oleh masyarakat umum; retorika tidak hanya ditemukan di kota Roma, tetapi juga ditemukan di kota-kota besar di wilayah kekuasaan kekaisaran Romawi.25 Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa retorika Yunani telah mempengaruhi dunia pendidikan dan sastra di sebagian besar wilayah kekaisaran Romawi; termasuk Asia Kecil (daerah dimana penerima surat 1 Ptr. berada) dan Roma (tempat tinggal penulis surat).26 Oleh sebab itu dapat diasumsikan bahwa 1 Ptr. sedikit banyak telah dipengaruhi retorika Yunani. Asumsi tersebut diperkuat dengan beberapa bukti, antara lain: Pertama, 1 Ptr. merupakan karya sastra dari orang yang fasih dalam bahasa Yunani.27 Kedua, bahwa para penulis surat merupakan kelompok yang berada di kota Roma, yang sangat mungkin, banyak dipengaruhi oleh budaya Romawi-Yunani, termasuk retorika. Jadi, sangat besar kemungkinannya, bahwa penulis menggunakan ilmu retorika dalam menyampaikan gagasangagasannya.28 Paham umum mengenai ilmu retorika yang dimaksud disini adalah “seni mempergunakan bahasa sebagai wahana supaya kesan yang ditangkap atau diterima oleh pendengar, atau pembaca, sesuai dengan apa yang sebetulnya dimaksudkan oleh pembicara, atau penulis”.29 Berdasarkan suasana penyampaiannya, retorika terdiri dari tiga macam, yaitu: pertama, retorika yudisial atau retorika forensik,30 ialah retorika yang disampaikan Wenas Kalangit, Surat Galatia: Sebuah Retorika, forum Biblika No.9, 1999, p. 27. Ben Witherington III, Conflict and community in Corinth: a socio-rhetorical commentary on 1 and 2 Corinthians, 1995, p. 40. (selanjutnya disebut Witherington, Conflict and community) 25 Sda, p. 11. 26 Asia Kecil merupakan alamat penerima Surat, sementara Roma adalah tempat di mana para penulis berada. Lebih jauh, hal ini akan dibahas pada bab II. 27 Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru: pendekatan kritis terhadap masalah-masalahnya, 1994, p.292. 28Setelah mengadakan penelitian pustaka, penyusun belum atau tidak mendapatkan acuan buku-buku tafsir 1 Ptr., khususnya tafsir yang menggunakan pendekatan sosio-retorik. Oleh karena itu, penyusun akan mencoba membuktikan adanya pengaruh ilmu retorika dalam teks 1 Ptr. dalam proses tafsir yang akan menjadi bahasan pada bab II dan III. 29 Scn 23, p.29. 30 Retorika forensic merupakan istilah yang digunakan oleh Yusak Tridarmanto, dan Witherington. 23 24 9 dalam suasana pengadilan. Kedua, retorika deliberatif, ialah retorika yang disampaikan dalam suasana rapat. Ketiga, retorika epideiktik, ialah retorika yang disampaikan dalam suasana perayaan.31 Masing-masing isu yang disampaikan, dibagi atas dua sisi yang saling bertentangan. Retorika yudisial terdiri atas sisi-sisi tuduhan dan pembelaan, retorika deliberatif terdiri dari bujukan dan larangan, sedangkan retorika epideiktik terdiri dari pujian dan celaan.32 Menurut teori ilmu retorika, retorika disusun berdasarkan enam bagian,33 antara lain: pertama, exordium atau prooemium, yaitu bagian pembukaan yang menyatakan situasi atau kasus, yang berfungsi untuk menarik perhatian pendengar tentang pokok-pokok yang segera akan disampaikan. Kedua, narasi atau narratio, yaitu bagian yang menjelaskan atau memaparkan pokok persoalan yang sedang dipersoalkan. Ketiga, division atau partitio atau propositio, yaitu bagian yang menjelaskan bagian esensial dari si pembicara, atau bahkan mungkin bagian essensial dari lawan bicaranya yang sedang dipermasalahkan dan dicoba untuk diselesaikan. Dengan kata lain, bagian ini merupakan ringkasan dari bagian sebelumnya dan sekaligus merupakan persiapan atau jembatan untuk memasuki bagian selanjutnya, yaitu probatio. Keempat, probatio atau confirmatio, yaitu bagian yang memaparkan argumentasi pendukung pembicara atau penulis. Untuk maksud tersebut, pembicara atau penulis mengajukan bukti-bukti dan menguraikan contoh-contoh. Kelima, refutatio atau confutatio, yaitu bagian yang menunjukkan penolakkan terhadap argumentasi pihak lawan. Disini, pembicara menunjukkan dengan bukti apa yang salah dalam argumentasi yang dikemukakan pihak lawan. Keenam, peroratio atau conclusio, yaitu bagian yang menegaskan kembali apa yang telah diungkapkan dalam probatio dengan maksud menggugah perasaan para pendengar agar mereka mendukungnya. Scn 23, p. 29. Selanjutnya, Wenas mengingatkan, bahwa pada prakteknya sebuah pidato atau tulisan retorika memuat keenam unsur sekaligus. Sda, p. 29. 33 Ada perbedaan pandangan antara Yusak Tridarmanto dan Wenas dalam pembagian ini. Dengan tegas Wenas menyebutkan bahwa retorika harus terdiri dari enam bagian. Meskipun demikian kita perlu memperhatikan catatan kaki yang dibuat Wenas dalam catatan kaki No. 15. Di sana Wenas mengatakan bahwa “kadang-kadang beberapa bagian digabung menjadi satu bagian yang lebih besar.” Sementara, Yusak Tridarmanto mengatakan bahwa retorika disusun berdasarkan empat atau enam bagian. Penyusun berpendapat bahwa secara umum retorika disusun berdasarkan enam bagian, dalam hal ini penyusun mengikuti kedua pendapat sebelumnya. Akan tetapi, dalam kasus khusus, retorika bisa disusun berdasarkan empat bagian. hal itu terjadi karena adanya penggabungan beberapa bagian: unsur propotio yang bisa dicakup dalam unsur narratio dan unsur refutatio yang bisa dicakup dalam unsur probatio. 31 32 10 D. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I. Pendahuluan Dalam bagian ini penyusun akan menguraikan latar belakang masalah: mengapa penderitaan menjadi pokok persoalan yang dianggap penting untuk diangkat menjadi topok penyusunan skripsi. Selanjutnya, dipaparkan dua rumusan permasalahan skripsi. Setelah itu, secara berturut-turut akan dibahas mengenai judul, batasan masalah dan tujuan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. BAB II. Situasi sosial dan struktur 1 Petrus. Bagian ini akan menguraikan situasi sosial teks 1 Ptr. yang meliputi beberapa pokok, yaitu: 1. Penanggalan dan tempat penulisan. Bagian ini terdiri dari dua pokok, yaitu: a. Penanggalan. b. Tempat penulisan. 2. Penerima surat. Bagian ini terdiri dari: a. Lokasi geografis. b. Komposisi etnis penerima surat. c. Status hukum, sosial dan ekonomi. d. Identitas keagamaan. e. Interaksi penerima surat dengan orang-orang bukan Kristen di sekitarnya. 3. Penulis. 4. Struktur teks 1 Ptr. menurut kerangka retorika. BAB III. Argumentasi-argumentasi teologis 1 Petrus tentang pengalaman penderitaan. Sebelum membahas argumentasi-argumentasi teologis 1 Ptr. tentang penderitaan, terlebih dahulu akan dibahas secara singkat dan berturut-turut mengenai paham penderitaan menurut pandangan dunia Yunani Romawi (dalam hal ini penyusun memilih dua aliran filsafat, yakni filsafat Plato dan Stoa yang dipandang mewakili pandangan filsafat pada zaman 1 Ptr.); paham penderitaan dalam PL dan PB. Setelah 11 pandangan-pandangan tersebut dikemukakan, barulah penyusun akan membahas argumentasi-argumentasi 1 Ptr. (tafsir) tentang penderitaan. Selanjutnya, pada bagian akhir bab ini, penyusun akan mengemukakan ringkasan tafsir tersebut. BAB IV. Relevansi argumentasi-argumentasi teologis 1 Petrus tentang pengalaman penderitaan bagi gereja-gereja di Indonesia. Dalam bagian ini, penyusun akan mencoba melihat relevansi dari argumentasiargumentasi teologis 1 Ptr. tentang penderitaan dengan pengalaman penderitaan gereja-gereja di Indonesia era reformasi. Untuk itu, dalam bagian pertama akan dijelaskan munculnya gerakan reformasi, pemahaman masyarakat indonesia tentang reformasi,di mana gereja-gereja di indonesia menjadi bagian di dalamnya, serta kondisi masyarakat pada umumnya dan gereja pada khususnya setelah reformasi berjalan hampir sepuluh tahun; gereja yang masih mengalami penolakan dari masyarakat di sekitarnya. Pada bagian akhir akan dijelaskan bagaimana gereja memandang penolakan yang mengakibatkan dukacita itu dipandang melalui sudut pandang 1 Petrus.